PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Epidemiologi adalah suatu rangkaian proses yang terus menerus dan
pasien anak atau dewasa. Serta melakukan penyuluhan pada warga masyarakat
mengenai cara pencegahan DBD.
Tujuan Kegiatan
1.1.1 Tujuan Umum
Menganalisa kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Cukir periode 1
Januari-31 Desember 2014.
1.1.2 Tujuan Khusus
1.
Menganalisa kejadian DBD berdasarkan usia di wilayah kerja Puskesmas
2.
3.
4.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Dasar Pencegahan penyakit
2.1.1 Faktor Penentu Derajat Kesehatan
Derajat kesehatan penduduk, dapat diukur dari seberapa banyak warga
mesyarakat suatu penduduk yang baru atau sedang menderita sakit akibat berbagai
penyakit. Setiap penyakit selalu unik, artinya selalu memiliki keluhan, gejala, dan
kadang-kadang penyebab yang khas dan spesifik. Bila dari sekumpulan penyakit
yang banyak diderita oleh sebagian penduduk dapat diketahui faktor penyakit
tersebut dapat dihilangkan, maka proporsi penduduk yang sakit akan menurun
(morbiditas penduduk menurun) dan dikatakan perubahan ini sebagai derajat
kesehatannya meningkat.
Di dalam konsep kesehatan masyarakat, penyebab yang mendorong seorang
terjangkit suatu penyakit seringkali lebih dari satu faktor (multifaktorial). Saat
penyakit infeksi masih mendominasi penyakit manusia pada awal sampai hampir
akhir abad ke-20, berkembanglah konsep epidemiological triangle atau segitiga
epidemiologi. Menurut konsep ini derajat kesehatan yang ditunjukkan oleh adanya
penyimpangan fungsi/mental pada individu dari normalnya, ditentukan oleh tiga
faktor yaitu daya perusak agent of disease, ketahanan psiko-biologi, dan
keberpihakan lingkungan fisik biologi serta lingkungan sosial.
Saat penyakit manusia mulai beralih ke penyakit degeneratif, maka konsep
agent of disease ini menjadi kurang mampu menjelaskan terjadinya penyakit
mental, dietetik, genetik, dan penyakit degeneratif yang agent of disease-nya
merupakan bagian faktor host sendiri (penyakit genetik) dan atau bagian dari
lingkunagan hidupnya (depresi karena konflik keyakinan dengan norma yang
berlaku di lingkungan sosial).
Untuk mengatasi kelemahan konsep segitiga epidemiologi diatas, pada tahun
1974 Marc La Londe dari Kanada mengembangkan konsep yang dikenal dengan
The Health Field Concept yang kemudian dipertajam oleh Henrik L. Blum dengan
konsep The Force Field and Well Being Paradigma of Helath pada tahun 1984.
Fase patogenesis
Fase Patogenesis dimulai dengan adanya penyimpangan fungsi dan struktur
Fase covalescence
Saat proses perubahan fungsi struktur sudah berhenti, maka fase tersebut
dianamakan fase konvalescence. Bagi yang fase ini masih hidup, maka umunya
penderita belum pulih kekuatan dan fungsi organ-organ tubuhnya. Oleh karena itu
upaya perbaikan yang bisa dilakukan adalah upaya rehabilitation (pemulihan
kondisi jasmani,mental, dan sosial) sesegera mungkin agar semua fungsi dan
struktur kembali normal. Upaya yang dilakukan dalam pemulihan pasca sakit ini
adalah : Pemulihan mental fisik sosial (Physical Mental and Social
Rehabilitation). Upaya ini mutlak dilakukan pada hampir semua orang yang baru
sembuh dari sakit.
2.2 Kejadian Luar Biasa / Wabah
Pengertian Wabah/KLB serta Kriteria KLB
1.
Wabah
Wabah penyakit menular adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit
bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu
(Peraturan Menteri Kesehatan RI, Nomor 560/Menkes/Per/VIII/1989). KLB
menjadi
wabah
(UU
4,
1984
dan
Permenkes
560/Menkes/Per/VIII/1989).
Suatu kejadian penyakit atau keracunan dapat dikatakan KLB apabila
memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Timbulnya suatu penyakit/ menular yang sebelumnya tidak ada/ tidak dikenal.
b. Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus menerus selama 3 kurun waktu
berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu).
c. Peningkatan kejadian penyakit/kematian, 2 kali atau lebih dibandingkan
dengan periode sebelumnya (jam, minggu, bulan, tahun).
d. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau
lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya.
e. Angka rata-rata perbulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan dua kali
lipat atau lebih dibanding dengan angka rata-rata per bulan dari tahun
sebelumnya.
f. Case Fatality rate (CFR) suatu penyakit dalam suatu kurun waktu tertentu
menunjukkan kenaikan 50% atau lebih, dibanding dengan CFR dari periode
sebelumnya.
Terdapat satu atau lebih penderita baru dimana pada periode 4 minggu
sebelumnya daerah tersebut dinyatakan bebas dari penyakit yang
bersangkutan.
Keracunan makanan
Keracunan pestisida
Kriteria-kriteria diatas dalam penggunaan sehari-hari harus didasarkan pada
akal sehat atau common sense. Sebab belum tentu suatu kenaikan dua kali atau
lebih merupakan KLB. Sebaliknya suatu kenaikan yang kecil dapat saja
merupakan KLB yang perlu ditangani seperti penyakit : poliomyelitis dan tetanus
neonatorum, kasus dianggap KLB dan perlu penanganan khusus.
2.2.1
penyakit
yang
dapat
menimbulkan
wabah. Yang
diharuskan
Demam dengue merupakan salah satu varian klinis infeksi virus dengue
yang ditandai oleh demam tinggi mendadak, ditambah gejala penyerta 2 atau
lebih seperti nyeri kepala, nyeri retro orbita, nyeri otot dan tulang, ruam kulit,
leukopenia dan tidak ditemukan tanda kebocoran plasma (hemokonsentrasi,
efusi pleura, asites, hipoproteinemia) (WHO,2008).
Demam berdarah dengue merupakan salah satu varian klinis infeksi virus
dengue, yang ditandai oleh panas 2-7 hari dan pada saat panas turun disertai
dengan gangguan hemostatik dan kebocoran plasma (plasma leakage)
(Darmowandowo, 2008).
Demam berdarah dengue (DBD)
adalah
suatu
penyakit
yang
disebabkan oleh infeksi virus dengue. DBD disebabkan oleh salah satu
dari empat serotipe virus dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae (Lestari,
2007).
2.2 Etiologi
Penyebab penyakit Demam Berdarah Dengue sampai saat ini dikenal ada 4
serotype virus yaitu ;
1. Dengue 1 (DEN 1) diisolasi oleh Sabin pada tahun1944.
2. Dengue 2 (DEN 2) diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.
3. Dengue 3 (DEN 3) diisolasi oleh Sather
4. Dengue 4 (DEN 4) diisolasi oleh Sather.
Virus tersebut termasuk dalam group B Arthropod borne viruses
(arboviruses). Keempat tipe virus tersebut telah ditemukan di berbagai daerah
di Indonesia dan yang terbanyak adalah type 2 dan type 3. Penelitian di
Indonesia menunjukkan Dengue type 3 merupakan serotype virus yang
dominan menyebabkan kasus yang berat (Sukohar, 2014)
2.3 Cara Penularan
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu mausia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan
kepada manusia melalui nyamuk Aedes Aegypti. Aedes Albopictus, Aedes
Polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini,
proses
(Sylvana, 2005).
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi dan patogenesis demam
berdarah dengue hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi
sebagian besar menganut"the secondary heterologous infection hypothesis"
yang mengatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah
infeksi dengue pertama mendapat infeksi berulang dengan tipe virus
dengue yang berlainan dalam jangka waktu tertentu yang diperkirakan
antara
6 bulan
sampai
tahun.
Patogenesis
terjadinya
renjatan
(Sukohar,2014)
Akibat infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang berlainan pada
seorang penderita dengan kadar antibodi anti dengue yang rendah, respons
antibodi anamnestik
yang
mengakibatkan proliferasi
akan
dan
terjardi
transformasi
dalam
limfosit
beberapa
imun
hari
dengan
faktor
koagulasi
disebabkan
diantaranya
oleh
(Sukohar,2014)
Pembekuan intravaskuler menyeluruh (PIM/DIC) secara potensial
dapat terjadi juga pada penderita DBD tanpa atau dengan renjatan.
Renjatan pada PIM akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan
memasuki renjatan irrevesible disertai perdarahan hebat, terlihatnya organorgan vital dan berakhir dengan kematian (Sukohar, 2014).
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar
demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga,
dan
dengan
kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus
dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi
IgG meningkat
sekitar
demam
hari
ke-14 sedangkan
pada infeksi
sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa
dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi
IgM
setelah
hari
sakit
kelima,
diagnosis infeksi
sekunder
dapat
ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM
yang cepat (Candra,2010).
(Candra,2010)
2.5 Diagnosis
A. Kriteria Klinis
Gejala klinis Demam Berdarah Dengue antara lain yaitu:
-
Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas , berlangsung terusmenerus selama 2-7 hari
Terdapat manifestasi perdarahan seperti:
o Uji tourniquet positif
o Ptekiae, ekimosis, purpura
o Perdarahan mukosa, episaksis, perdarahan gusi
o Hematemesis dan atau melena
Hepatomegali
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan
tekanan nadi ( 20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan
tangan dingin, kulit lembab, capillary refill time memanjng (>2 detik)
dan pasien tampak gelisah (WHO, 2008).
B. Kriteria Laboratorium
-
waktunya,
kelainan
2.6 Klasifikasi
Derajat Demam Berdarah Dengue diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada
setiap derajat sudah ditemukan trombositopeni dan hemokonsentrasi)
Derajat
I
Keterangan
Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi adalah uji bendung.
Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain
Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi menurun (20
mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut,
kulit dingin dan lembab dan anak tampak gelisah
Syok berat (profund shock), nadi tidak dapat diraba dan
tekanan darah tidak terukur
II
III
IV
(WHO,2008)
masih
dalam
batas
normal,
perdarahan
biasanya
memanjang.
Pada
tetapi
masa
kuantitatif ditemukan
analisis
kuantitatif
ditemukan penurunan faktor II, V, VII, IX, dan X. Pada pemeriksaan kimia
darah hipoproteinemia, hiponatremia (Sylvana, 2005).
2. Diagnosis etiologis
a. Serologi eliza, memeriksa IgM dan IgG dengue, dilakukan pada hari sakit
5, untuk lebih memperoleh hasil positif.
b. Serologis hemaglutinasi inhibisi, dengan mengambil serum sepasang,
serum pertama saat masuk rumah sakit dan serum kedua dilakukan 7
hari kemudian.
c. Virologi, isolasi virus dari specimen darah, usahakan pengambilan serum
saat periode febris, kemudian dengan dry ice dikirim ke pusat pemeriksaan
virologi (Darmowandowo, 2008).
3. Pemeriksaan pencitraan
a. Kelainan yang dapat terlihat pada infeksi dengue adalah sebagai
berikut:
a. Foto toraks :
-Dilatasi pembuluh darah paru (Gambar 1 dan 2)
-Efusi pleura (Gambar 1 dan 2)
-Kardiomegali (Gambar 2 b)
-Terkadang adanya efusi pleura terlihat sebagai diafragma yang
terletak lebih tinggi atau bentuk lengkung diafragma yang
asimetris; keadaan ini disebabkan adanya cairan subpulmonik atau
subfrenikus
b. USG toraks dan abdomen:
-Efusi pleura
-Efusi perkardium
-Hepatomegali
-Dilatasi vena hepatika
-Asites
-Penebalan dinding kandung empedu
2.8 Faktor Risiko Penularan Demam Berdarah Dengue
Salah satu faktor risiko penularan DBD
adalah
pertumbuhan
dan
prasarana transportasi
dan
terganggu
atau melemahnya
hasil
penelitian
di
migrasi. Sedangkan faktor risiko terjadinya infeksi sekunder yang menyebabkan DBD adalah jenis kelamin laki-laki, riwayat pernah terkena
DBD pada periode sebelumnya serta migrasi ke daerah perkotaan (Candra,
2010).
2.9 Pencegahan
Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian
vektornya, yaitu nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat
dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu :
A. Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara
lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah
padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan
manusia, dan perbaikan desain rumah. Sebagai contoh:
- Menguras bak mandi/penampungan air- sekurang-kurangnya
sekali seminggu.
- Mengganti atau menguras vas bunga dan tempat- minum burung
seminggu sekali.
- Menutup dengan rapat tempat penampungan- air.
- Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah
dan lain sebagainya.
B. Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan
jentik (ikan adu/ikan cupang), dan bakteri.
C. Kimiawi
Cara pengendalian ini antara lain dengan:
(Kg)
10
100 cc/kgBB
10-20
1000 cc + 50 cc/KgBB di atas 10 Kg
>20
1500 cc + 20 cc/KgBB diatas 20
(Darmowandowo,2008)
o Lakukan observasi setiap 6 jam atas tanda vitalnya, dengan
tujuan untuk mendeteksi tanda-tanda kebocoran plasma, yang
mengarah ke demam berdarah dengue.
2. Periode afebris
Pada saat temperatur turun, pada penderita DBD terjadi 2
fenomena yang dapat membawa penderita pada keadaan kritis bahkan
dapat berakhir dengan kematian apabila tidak tertangani secara benar,
yaitu adanya gangguan hemostatik berupa penurunan jumlah dan
kualitas trombosit, gangguan faktor beku darah, dan adanya kebocoran
plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah.
Proses kebocoran plasma dari pembuluh darah ini akan menimbulkan
deficit di dalam pembuluh darah. Apabila diurut tahapan klinis deficit
plasma dalam pembuluh darah akan didapat urutan sebagai berikut:
1. Peningkatan hematokrit 20%, tanpa disertai gejala gangguan
sirkulasi
2. Peningkatan hematokrit 20%, disertai munculnya gejala
penyempitan tekanan nadi
(Darmowandowo,2006)
(Darmowandowo,2006)
2.11
(Darmowandowo,2006)
Komplikasi
Infeksi primer demam dengue biasanya self limiting disease. Kehilangan
cairan dan elektrolit, hiperpireksia, dan kejang demam adalah komplikasi yang
paling sering pada bayi dan anak kecil. Epistaksis, petechiae, dan lesi purpura
jarang terjadi namun dapat terjadi pada setiap tahap. Tertelan darah dari
epistaksis, muntah atau dikeluarkan oleh rektum, mungkin keliru ditafsirkan
sebagai perdarahan gastrointestinal. Pada orang dewasa dan mungkin pada
anak-anak, kondisi yang mendasari dapat menyebabkan perdarahan yang
signifikan secara klinis.
Di daerah endemik, demam berdarah dengue harus dicurigai pada anakanak dengan penyakit demam sugestif demam berdarah yang mengalami
hemokonsentrasi dan trombositopenia (Behrman, 2003)
2.12 Prognosis
Prognosis demam berdarah dapat terpengaruh oleh antibodi pasif atau
oleh infeksi sebelumnya dengan virus yang merupakan predisposisi
pengembangan demam berdarah dengue.
Kematian telah terjadi pada 40-50% pasien dengan syok, tetapi dengan
kematian perawatan intensif yang memadai harus terjadi dalam waktu kurang
dari 1% kasus. Kelangsungan hidup secara langsung berkaitan dengan terapi
suportif awal. Jarang, ada kerusakan otak yang disebabkan oleh sisa syok
berkepanjangan atau kadang-kadang oleh perdarahan intrakranial (Behrman,
2003).
BAB III
HASIL PENELITIAN
Gambar 2.1 Grafik Distribusi dan frekuensi DBD berdasarkan Usia di wilayah
kerja Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31 Desember 2014
%
60%
40%
Tabel 2.2 Distribusi dan frekuensi difteri berdasarkan Jenis kelamin di wilayah
kerja Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31 Desember 2014
Berdasarkan tabel di atas, kejadian DBD pada tahun 2014 kejadian BDB
terbanyak pada laki-laki yaitu sebanyak 6 orang (sebesar 60%), Sedangkan pada
perempuan sebanyak 4 orang yaitu sebesar 40%.
Gambarl 2.2 Distribusi dan frekuensi difteri berdasarkan Jenis kelamin di wilayah
kerja Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31 Desember 2014
3.3 Kejadian Difteri Berdasarkan Waktu
BULAN
TAHUN
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
2011
1
1
1
Juli
Agustus
September
Oktober
TAHUN
33,3%
33,3%
33.3%
2012
1
2
Belum
33%
67%
-
diketahui
Belum
diketahui
Belum
diketahui
Belum
diketahui
Belum
November
diketahui
Belum
Desember
diketahui
Belum
JUMLAH
100 %
diketahui
3
100%
Tabel 2.3 Distribusi dan frekuensi difteri berdasarkan Bulan di wilayah kerja
Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31 Desember 2011 dan 1 Januari-31 Mei 2012
Berdasarkan tabel di atas, kejadian difteri pada tahun 2011 terjadi pada
bulan April sebanyak 1 orang (sebesar 33%) , bulan Mei sebanyak 1 orang
(sebesar 33%) , dan bulan Juni sebanyak 1 orang (sebesar 33%). Sedangkan
kejadian difteri pada tahun 2012 hingga periode 31 Mei 2012 sebanyak 3 orang
yaitu 1 orang (sebesar 33%) pada bulan April, dan bulan Mei sebanyak 2 orang
(sebesar 67%).
Gambar 2.3 Distribusi dan frekuensi difteri berdasarkan Bulan di wilayah kerja
Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31 Desember 2011 dan 1 Januari-31 Mei 2012
3.4 Kejadian Difteri Berdasarkan Desa
Nama daerah
Ceweng
Bandung
Kedawong
Ngudirejo
Grogol
Kayangan
Puton
Bendet
Jumlah
2
4
1
1
2
4
6
1
%
7,7%
15,3%
3,85%
3,85%
7,7%
15,3%
23%
3,85%
Cukir
2
7,7%
Jatirejo
Bulurejo
3
11,5%
Jumlah
26
Tabel 2.4 Distribusi dan frekuensi DBD berdasarkan desa di wilayah kerja
Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31 Desember 2014
Berdasarkan desa di wilayah Cukir yang mengalami kejadian DBD,
kejadian DBD terjadi hampir merata di desa wilayah Cukir. Pada tahun 2014 desa
yang mengalami kejadian DBD yaitu desa Puton sebanyak 6 orang (sebesar 23%),
desa Bandung dan Kayangan sebanyak 4 orang (sebesar 15,3%), dan desa
Bulurejo sebanyak 3 orang (sebesar 11,5%). Desa Ceweng, Grogol, Cukir
sebanyak 2 orang (sebesar 7,7 %), Sedangkan desa Kedawong, Ngudirejo, bendet
sebanyak 1 orang ( sebesar 3,85%).
Gambar 2.4 Distribusi dan frekuensi difteri berdasarkan desa di wilayah kerja
Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31 Desember 2014
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian DBD
berdasarkan Usia
perorangan tidak hanya dipengaruhi oleh jenis kelamin. Hal tersebut sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Puguh Suroto yang berjudul Faktor Resiko
Kejadian Difteri di Sidoarjo tahun 2010, hasil analisis menunjukkan bahwa faktor
risiko kejadian difteri yang tidak bermakna adalah jenis kelamin.
4.3 Karakteristik Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Difteri berdasarkan Bulan
Dari hasil data didapatkan angka tertinggi pada bulan April Juni baik pada
tahun 2011 maupun tahun 2012 sebanyak 3 kasus pada tahun 2011 dan 3 kasus
pada tahun 2012 dimana pada bulan-bulan ini terjadi pergantian musim dari
musim penghujan ke kemarau serta keadaan cuaca yang berdebu dan lebih
berangin, yang memudahkan penyebaran kuman penyebab dan droplet pada
manusia, juga terjadi perubahan adaptasi pada tubuh sehingga imunitas tubuh
menurun, akibatnya mudah terserang difteri. Dimana hal ini tidak menutup
kemungkinan menularkan kepada penduduk yang berada pada lingkungan yang
penuh dan sesak. Di negara tropis variasi musim kurang jelas, yang sering terjadi
adalah infeksi subklinis dan difteri kulit. Penyakit ini muncul terutama pada
bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis.
4.4
Karakteristik Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Difteri berdasarkan Desa
Dari data diatas didapatkan kejadian difteri berdasarkan desa di wilayah
Cukir, kejadian difteri terjadi hampir merata di desa wilayah Cukir. Pada tahun
2011 terdapat 3 desa yang mengalami kejadian difteri yaitu desa Kedawong
sebanyak 1 orang, desa Jatirejo sebanyak 1 orang, dan desa Kayangan sebanyak 1
orang. Sedangkan hingga 31 Mei 2012 desa yang mengalami kejadian difteri yaitu
desa Ngudirejo sebanyak 1 orang, desa Cukir sebanyak 1 orang, dan desa
Bulurejo sebanyak 1 orang.
Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa kepadatan penduduk
mempengaruhi penyebaran penyakit difteri. Apabila penduduk di suatu desa
menderita difteri, maka kemungkinan besar penduduk di desa sekitarnya
terjangkit oleh difteri juga.
4.5 Intervensi yang Dilakukan
4.5.1 Pencegahan Primer
Intervensi di lakukan ketika ditemukan kasus pertama pada bulan April
2012, karena berdasarkan teori dikatakan wabah (kejadian luar biasa) bila terdapat
satu kasus difteri di suatu wilayah yang mana sebelumnya tidak didapatkan kasus
difteri. Upaya pencegahan pada penyakit difteri ditujukan untuk mencegah agen
penyebab penyakit, mencegah terjadinya kontak agen penyebab sakit dan manusia
dengan modifikasi lingkungan, dan perilaku, serta karakteristik melalui upaya
promosi kesehatan dan perlindungan spesifik (health promotion and specific
protection) berupa imunisasi dasar lengkap dan dilanjutkan booster secara berkala.
Promosi kesehatan yang dapat dilakukan adalah berupa penyuluhan
kesehatan mengenai Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, mengenai sanitasi, penyebab,
penyebaran, dampak, dan pertolongan pertama pada penyakit difteri. Mengusulkan
kepada penduduk untuk mencanangkan program kerja bakti.
4.5.2 Percegahan Sekunder
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan pada penderita difteri adalah isolasi
pasien yang terinfeksi, pemberian Anti Difteri Serum (ADS), pemberian antibiotik
berupa penisilin prokain,pemberian kortikosteroid untuk mengurang edema laring
dan menjaga jalan nafas pasien agar tetap bebas serta menjaga agar tidak terjadi
komplikasi lain yang berat misalnya miokarditis, obstruksi jalan nafas akibat edema
laring, Acute Tubular Nekrosis (ATN), neuritis perifer.
4.5.3 Pencegahan Tersier
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
1.
2.
3.
4.
Mei 2012.
5.2 Saran
5.2.1 Bagi instansi terkait (Puskesmas Cukir)
Hendaknya petugas kesehatan melakukan penyuluhan tentang pentingnya
imunisasi dasar lengkap dan imunisasi booster untuk mencegah insiden difteri.
Selain itu, dapat pula dilakukan kegiatan penyuluhan untuk memotivasi
masyarakat dalam menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Penting pula
dilakukan penyuluhan tentang bagaimana sikap masyarakat bila pada lingkungan
tempat tinggalnya terdapat kasus difteri.
Upaya penyuluhan dari Dinas Kesehatan dan Puskesmas hendaknya
dilakukan secara terus menerus sampai masyarakat betul-betul mamahami
akan pentingnya kesehatan diri dan lingkungan dalam mencegah terjadinya difteri.
Serta diharapkan dapat meningkatkan fasilitas serta akses sarana kesehatan agar
lebih mudah dijangkau.
5.2.2 Bagi masyarakat
Diharapkan lebih meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat, terutama
melakukan tindakan pencegahan terjadinya difteri seperti imunisasi dan hidup
di lingkungan yang bersih dan sehat. Diharapkan pula masyarakat dapat
meningkatkan pengetahuan dan informasi tentang penyakit difteri dengan
mengikuti penyuluhan dan imunisasi secara berkala sesuai dengan usia serta aktif
dalam pencegahan difteri.
DAFTAR PUSTAKA
P2PL,
Depkes
Penanggulangan
RI,
Revisi
Kejadian
Buku
Luar
Pedoman
Biasa
Penyelidikan
(Pedoman
dan
Epidemiologi
Penyakit),2007, Jakarta.
Ditjen P2PL, Depkes RI, Panduan Praktis Surveilens Epidemiologi Penyakit,
2003, Jakarta.
Ditjen P2PL, Depkes RI, Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas, 2005,
Jakarta.
Profil, 2004, Profil Kesehatan, http:// www.Bank Data/Depkes.go.id/
Supriyanto,dkk, 2008, Reaksi Kekebalan Anak Sekolah Terhadap Toksoid
Difteri.http:/www.kalbe.co.id/files/cdk/files/2008
Rumah
Sakit
Penyakit
Infeksi
Prof.
Dr.Sulianti
Imunisasi,http:/www.info@infeksi.com
Biofarma, 200, Vaksinasi, http:/www.biofarma.com, 2007
Saroso,
2007,
Seksi P & SE, 2008, KLB Difteri Jatim, Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur,
2008
Suroto, Puguh, 2010, Faktor Resiko Kejadian Difteri di Sidoarjo tahun 2010,
Surabaya