Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Epidemiologi adalah suatu rangkaian proses yang terus menerus dan

sistematik dalam pengumpulan data, pengolahan, analisis dan interpretasi serta


disiminasi informasi untuk aksi atau perencanaan, pelaksanaan dan penilaian
program kesehatan masyarakat berdasarkan evidence base. Program pencegahan
dan pemberantasan penyakit akan sangat efektif bila dapat dukungan oleh sistem
yang handal karena fungsi utamanya adalah menyediakan informasi epidemiologi
yang peka terhadap perubahan yang terdapat dalam pelaksanaan program
pemberantasan penyakit yang menjadi prioritas pembangunan.
Sesuai dengan strategi Indonesia sehat tahun 2015 dan kebutuhan
pembangunan sektor kesehatan di era desentralisasi ini Departemen kesehatan
Republik Indonesia sudah menetapkan visi dan misi Puskesmas. Visi
pembangunan kesehatan melalui Puskesmas adalah terwujudnya Kecamatan sehat
tahun 2015. Kecamatan sehat merupakan gambaran masyarakat kecamatan masa
depan yang hidup di lingkungan yang sehat dan perilaku hidup masyarakat yang
juga sehat, mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang ada di wilayahnya serta
memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pencapaian visi Indonesia
2015 dapat dicapai dengan menggerakan Puskesmas sebagai pelaksana teknis
Dinas Kesehatan terbawah yang memiliki enam kewajiban yang harus
dilaksanakan, yaitu upaya promosi kesehatan, kesehatan lingkungan (kesling),
kesehatan ibu anak dan keluarga berencana, perbaikan gizi masyarakat,
pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, serta pengobatan.
Program kesehatan Lingkungan pada masyarakat adalah bagian dari
program pembangunan kesehatan nasional. Tujuan utamanya adalah untuk

meningkatkan derajat kesehatan dan kemandirian masyarakat dalam pemeliharaan


kesehatan dengan titik berat pada upaya peningkatan kualitas hidup dan
pencegahan penyakit disamping pengobatan dan pemulihan. Indikator yang akan
dicapai adalah meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pola hidup bersih dan
sehat, meningkatnya industri dan tempat-tempat umum yang sehat, menurunnya
angka penyakit difteri, demam berdarah dan penyakit akibat kurang sehatnya
lingkungan di sekitar masyarakat.Di Puskesmas Cukir program kesling yang
dilaksanakan secara umum yaitu pengawasan terhadap tempat-tempat umum
(TTU), pengawasan terhadap tempat pengolahan makanan (TPM) dan
pengawasan terhadap industri rumah tangga. Program yang dituangkan dalam
tugas intregasi kepada petugas kesling adalah melaksanakan program UKS,
melaksanakan kunjungan TK, melaksanakan kunjungan SD, melaksanakan
kunjungan rumah, melaksanakan kunjungan TTU, melaksanakan kunjungan TPM,
serta penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang
didapatkan data terjadinya Demam Berdarah Dengue pada periode 1 Januari - 31
Desember 2014 sebanyak 7 orang yang tersebar di berbagai wilayah di jombang.
Sedangkan pada periode 1 Januari - 31 Mei 2012 didapatkan penderita difteri
sebanyak 47 orang yang tersebar di berbagai wilayah di jombang, dengan jumlah
30 orang anak-anak usia sekolah dan 17 orang sisanya berusia dewasa. Di wilayah
Cukir sendiri dilaporkan terdapat 3 warga yang menderitra difteri. Dilaporkan
pula terdapat 7 orang yang meninggal dengan disertai komplikasi.
Kegiatan yang dilakukan untuk penanggulangan DBD di Kabupaten
Jombang pada umumnya dan wilayah kerja Puskesmas Cukir pada khususnya
adalah terapi kebutuhan cairan sesuai dengan tingkatan penyakit DBD serta jenis

pasien anak atau dewasa. Serta melakukan penyuluhan pada warga masyarakat
mengenai cara pencegahan DBD.
Tujuan Kegiatan
1.1.1 Tujuan Umum
Menganalisa kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Cukir periode 1
Januari-31 Desember 2014.
1.1.2 Tujuan Khusus
1.
Menganalisa kejadian DBD berdasarkan usia di wilayah kerja Puskesmas
2.

Cukir periode 1 Januari-31 Desember 2014.


Menganalisa kejadian DBD berdasarkan jenis kelamin di wilayah kerja

3.

Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31 Desember 2014.


Menganalisa kejadian DBD berdasarkan waktu di wilayah kerja Puskesmas

4.

Cukir periode 1 Januari-31 Desember 2014.


Menganalisa kejadian DBD berdasarkan desa di wilayah kerja Puskesmas
Cukir periode 1 Januari-31 Desember 2014.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Dasar Pencegahan penyakit
2.1.1 Faktor Penentu Derajat Kesehatan
Derajat kesehatan penduduk, dapat diukur dari seberapa banyak warga
mesyarakat suatu penduduk yang baru atau sedang menderita sakit akibat berbagai
penyakit. Setiap penyakit selalu unik, artinya selalu memiliki keluhan, gejala, dan

kadang-kadang penyebab yang khas dan spesifik. Bila dari sekumpulan penyakit
yang banyak diderita oleh sebagian penduduk dapat diketahui faktor penyakit
tersebut dapat dihilangkan, maka proporsi penduduk yang sakit akan menurun
(morbiditas penduduk menurun) dan dikatakan perubahan ini sebagai derajat
kesehatannya meningkat.
Di dalam konsep kesehatan masyarakat, penyebab yang mendorong seorang
terjangkit suatu penyakit seringkali lebih dari satu faktor (multifaktorial). Saat
penyakit infeksi masih mendominasi penyakit manusia pada awal sampai hampir
akhir abad ke-20, berkembanglah konsep epidemiological triangle atau segitiga
epidemiologi. Menurut konsep ini derajat kesehatan yang ditunjukkan oleh adanya
penyimpangan fungsi/mental pada individu dari normalnya, ditentukan oleh tiga
faktor yaitu daya perusak agent of disease, ketahanan psiko-biologi, dan
keberpihakan lingkungan fisik biologi serta lingkungan sosial.
Saat penyakit manusia mulai beralih ke penyakit degeneratif, maka konsep
agent of disease ini menjadi kurang mampu menjelaskan terjadinya penyakit
mental, dietetik, genetik, dan penyakit degeneratif yang agent of disease-nya
merupakan bagian faktor host sendiri (penyakit genetik) dan atau bagian dari
lingkunagan hidupnya (depresi karena konflik keyakinan dengan norma yang
berlaku di lingkungan sosial).
Untuk mengatasi kelemahan konsep segitiga epidemiologi diatas, pada tahun
1974 Marc La Londe dari Kanada mengembangkan konsep yang dikenal dengan
The Health Field Concept yang kemudian dipertajam oleh Henrik L. Blum dengan
konsep The Force Field and Well Being Paradigma of Helath pada tahun 1984.

Marc La Londe, menjelaskan bahwa kondisi kesehatan seseorang atau komunitas,


dipengaruhi oleh kelompok faktor yang saling mempengaruhi, yaitu :
1)
2)
3)
4)

Kelompok faktor gaya hidup (Life Style)


Kelompok faktor lingkungan biofisik dan lingkungan sosial
Kelompok faktor ketahanan Psiko-biologi
Kelompok faktor yang bersumber dari upaya kesehatan pencegahan primer,
sekunder, dan tersier oleh organisasi kesehatan

2.1.2 Proses Perkembangan Penyakit (Natural History of Disease)


Perkembangan penyakit oleh para ahli kesehatan dibagi dalam 3 fase, yaitu :
1.

Fase Pre Patogenensis


Yaitu fase saat seseorang masih dalam keadaan sehat. Pada fase ini interaksi

keempat faktor determinan kesehatan (Lalonde-Blum) sudah terjadi. Bila interaksi


keempat faktor stressor La londe mampu menyebabkan tingginya ketahanan psiko
biologik dan menurunkan daya perusak stressor, maka orang tersebut akan tetap
sehat. Pada fase ini, kelompok orang sehat ini terbagi menjadi dua kelompok,
yaitu :
A. Kelompok sehat dan tidak beresiko kontak dengan stressor. Misalnya bayi
yang hidup di komunitas bekesadaran kesehatan lingkungan yang tinggi, maka
bayi tersebut akan terhindar dari resiko kena penyakit infeksi. Untuk
mencegah penyakit pada kelompok ini adalah dengan melalui kegiatan
promotion of health yang bertujuan mengurangi atau menghilangkan stressor,
mengembangkan lingkungan yang mendorong berkurangnya sterssor dan
mendorong meningkatnya ketahanan psiko biologik.
B. Kelompok sehat, tetapi beresiko kontak dengan stressor penyebab penyakit.
Contohnya adalah pengendara sepeda motor yang tidak mungkin menghindari
cidera akibat kecelakaan lalu lintas. Untuk kelompok sehat seperti ini maka

upaya pencegahan agar tidak sakit adalah spesific protection, artinya


perlindungan khusus dan spesifik. Pada contoh kecelakaan lalu lintas ini,
penggunaan helm pengendara sepeda motor merupakan bagian dari upaya
perlindungan spesifik.
2.

Fase patogenesis
Fase Patogenesis dimulai dengan adanya penyimpangan fungsi dan struktur

tubuh akibat prosoes perusak stressor. Proses penyimpangan berlanjut secara


dinamis akibat interaksi keempat faktor La Londe, karena itu dimungkinkan tanpa
diduga proses penyimpangan berhenti dan segera balik ke arah normal tanpa
intervensi apa-apa. Proses ini baru dirasakan oleh penderitanya apabila perubahan
fungsi struktur jasmani-mental-sosial melampaui batas clinical horizon. Seperti
saat ini sebelumnya, akibat dari meningkatnya ketahanan psikobiologik dan
lingkungan hidup akibat dari sesuatu yang tidak diperkirakan sebelumnya, tibatiba seseotrang yang sedang sakit tanpa pengobatan menjadi sembuh total.
Penyakit ini di dalam ilmu kedokteran dinamakan self limited diseases (penyakit
bisa sembuh sendiri).
Bila proses perubahan fungsi dan struktur mencapai point of no retur, maka
kondisi kesehatan sudah menjurus ke hilangnya harapan hidup atau meninggal
dunia. Pada fase ini upaya pencegahan yang paling tepat adalah early case
deyection ( penemuan kasus sedini mungkin ) dan Prompt Treatment (pengobatan
tepat) serta disability limitation (pembatasan kecacatan). Batas akhir fase ini
adalah saat penderita meninggal dunia,sembuh, ayau cacat. Pada saat itu proses
perubahan fungsi/struktur telah berhenti.
3.

Fase covalescence

Saat proses perubahan fungsi struktur sudah berhenti, maka fase tersebut
dianamakan fase konvalescence. Bagi yang fase ini masih hidup, maka umunya
penderita belum pulih kekuatan dan fungsi organ-organ tubuhnya. Oleh karena itu
upaya perbaikan yang bisa dilakukan adalah upaya rehabilitation (pemulihan
kondisi jasmani,mental, dan sosial) sesegera mungkin agar semua fungsi dan
struktur kembali normal. Upaya yang dilakukan dalam pemulihan pasca sakit ini
adalah : Pemulihan mental fisik sosial (Physical Mental and Social
Rehabilitation). Upaya ini mutlak dilakukan pada hampir semua orang yang baru
sembuh dari sakit.
2.2 Kejadian Luar Biasa / Wabah
Pengertian Wabah/KLB serta Kriteria KLB
1.

Wabah
Wabah penyakit menular adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit

menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata


melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat
menimbulkan mala petaka (UU No.4, 1984). Menteri menetapkan jenis-jenis
penyakit tertentu yang dapat menimbulkan wabah. Menteri menetapkan dan
mencabut penetapan daerah tertentu dalam wilayah Indonesia yang terjangkit
wabah sebagai daerah wabah.
2.

Kejadian Luar Biasa (KLB)


KLB adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan/kematian yang

bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu
(Peraturan Menteri Kesehatan RI, Nomor 560/Menkes/Per/VIII/1989). KLB

penyakit menular merupakan indikasi ditetapkannya suatu daerah menjadi suatu


wabah, atau dapat berkembang menjadi suatu wabah.
3.

Kriteria Kerja KLB


Kepala wilayah/daerah setempat yang mengetahui adanya tersangka wabah

(KLB penyakit menular) di wilayahnya atau tersangka penderita penyakit menular


yang dapat menimbulkan wabah, wajib segera melakukan tindakan-tindakan
penanggulangan seperlunya, dengan bantuan unit kesehatan setempat, agar tidak
berkembang

menjadi

wabah

(UU

4,

1984

dan

Permenkes

560/Menkes/Per/VIII/1989).
Suatu kejadian penyakit atau keracunan dapat dikatakan KLB apabila
memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Timbulnya suatu penyakit/ menular yang sebelumnya tidak ada/ tidak dikenal.
b. Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus menerus selama 3 kurun waktu
berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu).
c. Peningkatan kejadian penyakit/kematian, 2 kali atau lebih dibandingkan
dengan periode sebelumnya (jam, minggu, bulan, tahun).
d. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau
lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya.
e. Angka rata-rata perbulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan dua kali
lipat atau lebih dibanding dengan angka rata-rata per bulan dari tahun
sebelumnya.
f. Case Fatality rate (CFR) suatu penyakit dalam suatu kurun waktu tertentu
menunjukkan kenaikan 50% atau lebih, dibanding dengan CFR dari periode
sebelumnya.

g. Proportional Rate (PR) penderita dari suatu periode tertentu menunjukkan


kenaikan dua atau lebih diabnding periode, kurun waktu atau tahun
sebelumnya.
h. Beberapa penyakit khusus menetapkan kriteria khusus : kholera dan demam
berdarah dengue.
-

Setiap peningkatan kasus dari periode sebelumnya (pada daerah endemis).

Terdapat satu atau lebih penderita baru dimana pada periode 4 minggu
sebelumnya daerah tersebut dinyatakan bebas dari penyakit yang
bersangkutan.

i. Beberapa penyakit seperti keracunan, menetapkan 1 (satu) kasus atau lebih


sebagai KLB:
-

Keracunan makanan

Keracunan pestisida
Kriteria-kriteria diatas dalam penggunaan sehari-hari harus didasarkan pada

akal sehat atau common sense. Sebab belum tentu suatu kenaikan dua kali atau
lebih merupakan KLB. Sebaliknya suatu kenaikan yang kecil dapat saja
merupakan KLB yang perlu ditangani seperti penyakit : poliomyelitis dan tetanus
neonatorum, kasus dianggap KLB dan perlu penanganan khusus.
2.2.1

Penyakit-penyakit Menular yang Berpotensi Wabah/KLB


Penyakit-penyakit menular yang wajib dilaporkan adalah penyakit-penyakit

yang memerlukan kewaspadaan ketat yang merupakan penyakit-penyakit wabah


atau yang berpotensi wabah atau yang dapat menimbulkan kejadian luar biasa
(KLB).
Penyakit-penyakit menular dikelompokkan sebagai berikut:

1. Penyakit karantina atau penyakit wabah penting antara lain adalah:


a. DHF
b. Campak
c. Rabies
d. Tetanus Neonatorum
e. Difteri
f. Pertusis
g. Poliomyelitis
2. Penyakit potensi wabah/KLB yang menjalar dalam waktu cepat atau
mempunyai mortalitas tinggi, dan penyakit yang telah masuk program
eradikasi/eliminasi dan memerlukan tindakan segera:
a. Malaria
b. Frambosia
c. Influenza
d. Anthrax
e. Hepatitis
f. Typhus abdominalis
g. Meningitis
h. Keracunan
i. Encephalitis
j. Tetanus
3. Penyakit-penyakit potensial wabah/KLB lainnya dan beberapa penyakit
penting.

4. Penyakit-penyakit menular yang tidak berpotensi menimbulkan wabah dan


KLB tetapi diprogramkan, ditingkat kecamatan dilaporkan secara bulanan
melalui RR terpadu Puskesmas ke Kabupaten, dan seterusnya secara
berjenjang sampai ke tingkat pusat. Penyakit-penyakit tersebut meliputi :
Cacing, Lepra, Tuberculosa, Syphilis, Gonorhoe, Filariasis & AIDS, dll.
Sehingga petugas Poskesdes diharapkan melaporkan kejadian-kejadian
penyakit ini ke tingkat Kecamatan/ Puskesmas jika, dari penyakit-penyakit
diatas, pada keadaan tidak ada wabah/KLB secara rutin hanya yang termasuk
kelompok 1 dan kelompok 2 yang perlu dilaporkan secara mingguan. Bagi
penyakit kelompok 3 dan kelompok 4 bersama-sama penyakit kelompok 1 dan
2 secara rutin dilaporkan bulanan ke Puskesmas.
Jika peristiwa KLB atau wabah dari penyakit yang bersangkutan sudah
berhenti (incidence penyakit sudah kembali pada keadaan normal), maka penyakit
tersebut tidak perlu dilaporkan secara mingguan lagi. Sementara itu, laporan
penyakit setiap bulan perlu dilaporkan ke Puskesmas oleh Bidan desa/petugas di
Poskesdes.

2.2.2 Laporan Kewaspadaan (dilaporkan dalam 24 jam)


Laporan kewaspadaan adalah laporan adanya penderita, atau tersangka
penderita

penyakit

yang

dapat

menimbulkan

wabah. Yang

diharuskan

menyampaikan laporan kewaspadaan adalah:


a. Orang tua penderita atau tersangka penderita, orang dewasa yang tinggal
serumah dengan penderita atau tersangka penderita, Kepala Keluarga, Ketua
RT, RW, Kepala Desa.

b. Dokter, petugas kesehatan yang memeriksa penderita, dokter hewan yang


memeriksa hewan tersangka penderita.
Laporan kewaspadaan disampaikan kepada Lurah atau Kepala Desa dan atau
Poskesdes/unit pelayanan kesehatan terdekat selambat-lambatnya 24 jam sejak
mengetahui adanya penderita atau tersangka penderita atau tersangka penderita
(KLB), baik dengan cara lisan maupun tertulis. Kemudian laporan kewaspadaan
tersebut harus diteruskan kepada Poskesdes untuk diteruskan ke Puskesmas
setempat.
Isi laporan kewaspadaan antara lain:
o Nama atau nama-nama penderita atau yang meninggal
o Golongan Umur
o Tempat dan alamat kejadian
o Waktu kejadian
o Jumlah yang sakit dan meninggal
Diharapkan setelah adanya laporan kewaspadaan dari desa ke Puskesmas
maka pihak Puskesmas dapat segera merespon dengan melaporkan ke Dinkes
Kabupaten/Kota dengan menggunakan format W1 (laporan KLB) selama kurang
dari 24 jam dan ditindaklanjuti dengan melakukan penyelidikan epidemiologi.
Penyelidikan Epidemiologi dapat dilakukan oleh Tim Gerak Cepat (TGC)
Puskesmas bekerjasama TGC Desa dan TGC Kabupaten. Bersamaan Penyelidikan
Epidemiologi dilakukan juga upaya-upaya penanggulangan dengan melibatkan
masyarakat setempat.
2.3 Epidemiologi DBD
2.1 Definisi

Demam dengue merupakan salah satu varian klinis infeksi virus dengue
yang ditandai oleh demam tinggi mendadak, ditambah gejala penyerta 2 atau
lebih seperti nyeri kepala, nyeri retro orbita, nyeri otot dan tulang, ruam kulit,
leukopenia dan tidak ditemukan tanda kebocoran plasma (hemokonsentrasi,
efusi pleura, asites, hipoproteinemia) (WHO,2008).
Demam berdarah dengue merupakan salah satu varian klinis infeksi virus
dengue, yang ditandai oleh panas 2-7 hari dan pada saat panas turun disertai
dengan gangguan hemostatik dan kebocoran plasma (plasma leakage)
(Darmowandowo, 2008).
Demam berdarah dengue (DBD)

adalah

suatu

penyakit

yang

disebabkan oleh infeksi virus dengue. DBD disebabkan oleh salah satu
dari empat serotipe virus dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae (Lestari,
2007).
2.2 Etiologi
Penyebab penyakit Demam Berdarah Dengue sampai saat ini dikenal ada 4
serotype virus yaitu ;
1. Dengue 1 (DEN 1) diisolasi oleh Sabin pada tahun1944.
2. Dengue 2 (DEN 2) diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.
3. Dengue 3 (DEN 3) diisolasi oleh Sather
4. Dengue 4 (DEN 4) diisolasi oleh Sather.
Virus tersebut termasuk dalam group B Arthropod borne viruses
(arboviruses). Keempat tipe virus tersebut telah ditemukan di berbagai daerah
di Indonesia dan yang terbanyak adalah type 2 dan type 3. Penelitian di
Indonesia menunjukkan Dengue type 3 merupakan serotype virus yang
dominan menyebabkan kasus yang berat (Sukohar, 2014)
2.3 Cara Penularan
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu mausia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan
kepada manusia melalui nyamuk Aedes Aegypti. Aedes Albopictus, Aedes
Polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini,

namun merupakan vektor yang kurang berperan. Aedes tersebut mengandung


virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia.
Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8
10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat di tularkan kembali pada
manusia pada saat gigitan berikutnya. Sekali virus dapat masuk dan
berkembang biak di dalam tubuh nyamuk tersebut akan dapat menularkan
virus selama hidupnya (infektif).
Ditubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4 6 hari (intrinsic
incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia
kepada nyamuk dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang
mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam
timbul (Sylvana,2005).
2.4 Patofisiologi
Walaupun Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue disebabkan
oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya berbeda dan
menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan utama adalah adanya renjatan
yang khas pada DBD yang disebabkan kebocoran plasma yang diduga
karena

proses

immunologi, pada demam dengue hal ini tidak terjadi

(Sylvana, 2005).
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi dan patogenesis demam
berdarah dengue hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi
sebagian besar menganut"the secondary heterologous infection hypothesis"
yang mengatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah
infeksi dengue pertama mendapat infeksi berulang dengan tipe virus
dengue yang berlainan dalam jangka waktu tertentu yang diperkirakan

antara

6 bulan

sampai

tahun.

Patogenesis

terjadinya

renjatan

berdasarkan hipotesis infeksi sekunder dilihat pada gambar berikut ini :

(Sukohar,2014)
Akibat infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang berlainan pada
seorang penderita dengan kadar antibodi anti dengue yang rendah, respons
antibodi anamnestik

yang

mengakibatkan proliferasi

akan
dan

terjardi

transformasi

dalam
limfosit

beberapa
imun

hari
dengan

menghasilkan antibodi IgG anti dengue titer tinggi. Replikasi virus


dengue terjadi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah yang
banyak. Hal-hal ini semuanya akan mengakibatkan terbentuknya kompleks
antigen antibodi yang selanjutnya akan mengaktivasi sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a akibat antivasi C3 dan C5 menyebabkan
meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya
plasma melalui endotel dinding pembuluh darah (Sukohar,2014)
Pada penderita renjatan berat, volume plasma dapat berkurang sampai
lebih dari pada 30% dan berlangsung selama 24-48 jam. Renjatan yang

tidak ditanggulangi secara adekuat akan menimbulkan anoksia jaringan,


asidosis metabolik dan kematian. Sebab lain dari kematian pada DBD
ialah perdarahan saluran pencernaran hebat yang biasanya timbul setelah
renjatan berlangsung lama dan tidak dapat diatasi. Trombositopenia
merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar
penderita DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan
mencapai nilai terendah pada masa renjatan. Jumlah trombosit secara cepat
meningkat pada masa konvalesen dan nilai normal biasanya tercapai sampai
hari ke 10 sejak permulaan penyakit (Candra,2010)
Kelainan sistem koagulasi mempunyai juga peranan sebagai sebab
perdarahan pada penderita DBD. Berapa faktor koagulasi menurun termasuk
faktor II, V, VII, IX, X dan fibrinogen. Faktor XII juga dilaporkan
menurun. Perubahan

faktor

koagulasi

disebabkan

diantaranya

oleh

kerusakan hepar yang fungsinya memang terbukti terganggu, juga oleh


aktifasi sistem koagulasi (Sukohar, 2014).

(Sukohar,2014)
Pembekuan intravaskuler menyeluruh (PIM/DIC) secara potensial
dapat terjadi juga pada penderita DBD tanpa atau dengan renjatan.
Renjatan pada PIM akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan
memasuki renjatan irrevesible disertai perdarahan hebat, terlihatnya organorgan vital dan berakhir dengan kematian (Sukohar, 2014).
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar
demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga,
dan

menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda

dengan

kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus
dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi
IgG meningkat

sekitar

demam

hari

ke-14 sedangkan

pada infeksi

sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa
dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi

IgM

setelah

hari

sakit

kelima,

diagnosis infeksi

sekunder

dapat

ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM
yang cepat (Candra,2010).

(Candra,2010)
2.5 Diagnosis
A. Kriteria Klinis
Gejala klinis Demam Berdarah Dengue antara lain yaitu:
-

Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas , berlangsung terusmenerus selama 2-7 hari
Terdapat manifestasi perdarahan seperti:
o Uji tourniquet positif
o Ptekiae, ekimosis, purpura
o Perdarahan mukosa, episaksis, perdarahan gusi
o Hematemesis dan atau melena
Hepatomegali
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan
tekanan nadi ( 20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan
tangan dingin, kulit lembab, capillary refill time memanjng (>2 detik)
dan pasien tampak gelisah (WHO, 2008).

B. Kriteria Laboratorium
-

Trombositopenia (100.000 sel/ mm3 atau kurang)

Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler,


dengan manifestasi sebagai berikut:
1. Peningkatan hematokrit 20% dari nilai standar
2. Penurunan hematokrit 20% setelah mendapat terapi cairan
3. Efusi pleura atau pericardial, asites, hipoproteinemia
Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratorium

(atau hanya peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan diagnosis


kerja Demam Berdarah Dengue (WHO,2008)
Pada awal sakit, ketika penderita infeksi virus dengue timbul gejala
panas, tidak dapat dibedakan apakah akan menjadi varian klinis Demam
Dengue atau Demam Berdarah Dengue. Pada saat panas turun, penderita
Demam Berdarah Dengue ditandai dengan keadaan klinis yang
memburuk. Penderita tampak sakit berat, gangguan hemostatik yang
berupa gejala perdarahan menjadi lebih prominen dan kebocoran plasma
yang ditandai dengan adanya deficit cairan yang ringan berupa
peningkatan PCV 20% sampai gangguan sirkulasi atau syok
(Darmowandowo, 2008).
Gambaran klinis DBD tidak selalu khas. Keterlambatan dalam
menegakkan diagnosis menyebabkan penanganan tidak dapat dilakukan
pada

waktunya,

kelainan

menjadi ireversibel dan menyebabkan

kematian. Pada keadaan meragukan, pencitraan merupakan salah satu alat


penunjang diagnostik yang dapat digunakan untuk membantu menentukan
adanya kebocoran plasma yang dijumpai pada DBD dan tidak pada
demam dengue. Kebocoran plasma mengisi rongga tubuh seperti rongga
pleura dan rongga peritoneum yang pada keadaan berat dapat
menyebabkan syok hipovolemik (Pudjiadi, 2011).

2.6 Klasifikasi
Derajat Demam Berdarah Dengue diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada
setiap derajat sudah ditemukan trombositopeni dan hemokonsentrasi)
Derajat
I

Keterangan
Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi adalah uji bendung.
Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain
Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi menurun (20
mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut,
kulit dingin dan lembab dan anak tampak gelisah
Syok berat (profund shock), nadi tidak dapat diraba dan
tekanan darah tidak terukur

II
III

IV
(WHO,2008)

2.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Darah
Pada demam berdarah dengue umum dijumpai trobositopenia
(<100.000) dan hemokonsentrasi uji tourniquet yang positif merupakan
pemeriksaan penting.
Masa pembekuan

masih

dalam

batas

normal,

perdarahan biasanya memanjang. Pada analisis


masa

perdarahan

biasanya

memanjang.

Pada

tetapi

masa

kuantitatif ditemukan
analisis

kuantitatif

ditemukan penurunan faktor II, V, VII, IX, dan X. Pada pemeriksaan kimia
darah hipoproteinemia, hiponatremia (Sylvana, 2005).
2. Diagnosis etiologis
a. Serologi eliza, memeriksa IgM dan IgG dengue, dilakukan pada hari sakit
5, untuk lebih memperoleh hasil positif.
b. Serologis hemaglutinasi inhibisi, dengan mengambil serum sepasang,
serum pertama saat masuk rumah sakit dan serum kedua dilakukan 7
hari kemudian.
c. Virologi, isolasi virus dari specimen darah, usahakan pengambilan serum
saat periode febris, kemudian dengan dry ice dikirim ke pusat pemeriksaan
virologi (Darmowandowo, 2008).
3. Pemeriksaan pencitraan
a. Kelainan yang dapat terlihat pada infeksi dengue adalah sebagai
berikut:
a. Foto toraks :
-Dilatasi pembuluh darah paru (Gambar 1 dan 2)
-Efusi pleura (Gambar 1 dan 2)
-Kardiomegali (Gambar 2 b)
-Terkadang adanya efusi pleura terlihat sebagai diafragma yang
terletak lebih tinggi atau bentuk lengkung diafragma yang
asimetris; keadaan ini disebabkan adanya cairan subpulmonik atau
subfrenikus
b. USG toraks dan abdomen:
-Efusi pleura
-Efusi perkardium
-Hepatomegali
-Dilatasi vena hepatika
-Asites
-Penebalan dinding kandung empedu
2.8 Faktor Risiko Penularan Demam Berdarah Dengue
Salah satu faktor risiko penularan DBD

adalah

pertumbuhan

penduduk perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya


sarana

dan

prasarana transportasi

dan

terganggu

atau melemahnya

pengendalian populasi sehingga memungkinkan terjadinya KLB

Faktor risiko lainnya adalah kemiskinan yang mengakibatkan orang


tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan rumah yang layak dan
sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah yang benar. Tetapi di
lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang lebih makmur
terutama yang biasa bepergian.
Faktor risiko yang menyebabkan munculnya antibodi IgM anti dengue
yang merupakan reaksi infeksi primer, berdasarkan
wilayah

hasil

penelitian

di

Amazon Brasil adalah jenis kelamin laki-laki, kemiskinan, dan

migrasi. Sedangkan faktor risiko terjadinya infeksi sekunder yang menyebabkan DBD adalah jenis kelamin laki-laki, riwayat pernah terkena
DBD pada periode sebelumnya serta migrasi ke daerah perkotaan (Candra,
2010).
2.9 Pencegahan
Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian
vektornya, yaitu nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat
dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu :
A. Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara
lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah
padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan
manusia, dan perbaikan desain rumah. Sebagai contoh:
- Menguras bak mandi/penampungan air- sekurang-kurangnya
sekali seminggu.
- Mengganti atau menguras vas bunga dan tempat- minum burung
seminggu sekali.
- Menutup dengan rapat tempat penampungan- air.
- Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah
dan lain sebagainya.
B. Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan
jentik (ikan adu/ikan cupang), dan bakteri.
C. Kimiawi
Cara pengendalian ini antara lain dengan:

- Pengasapan atau fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion),


berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu
tertentu.
- Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air
seperti, gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan
mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan 3M Plus, yaitu
menutup, menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus
seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan
kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida,
menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala
dan disesuaikan dengan kondisi setempat (Sukohar, 2014).
2.10 Penatalaksanaan
1. Periode febris
Apabila penderita infeksi virus dengue dating pada periode febris, saat
atau ketika belum atau tidak dapat dibedakan Demam Dengue atau
Demam Berdarah Dengue , maka pengobatan yang dapat diberikan
adalah sebagai berikut:
o Antipiretik
o Antibiotik tidak diperlukan
o Makan disesuaikan dengan kondisi makannya
o Apabila penderita ditetapkan rawat jalan, maka kalau dalam
perjalanan didapatkan tanda klinis seperti dibawah ini
dianjurkan untuk segera datang ke RS untuk pengobatan
selanjutnya. Gejala dan tanda yang dimaksud adalah:
Nyeri abdomen
Tanda perdarahan di kulit, petekie, dan ekimosis
Perdarahan lain seperti epistaksis dan perdarahan gusi
Penderita tampak loyo dan perabaan terasa dingin
o Kebutuhan cairan harus dipenuhi. Pemberian cairan dapat
diberikan per oral, akan tetapi apabila penderita tidak mau

minum, muntah terus, atau panas yang terlalu tinggi maka


pemberian cairan intravena menjadi pilihan. Berikut adalah
formula cairan untuk memenuhi cairan rumatan yaitu formula
Halliday Segar dengan rincian sebagai berikut:
Berar

Badan Cairan rumatan (Volume)/24 jam

(Kg)
10
100 cc/kgBB
10-20
1000 cc + 50 cc/KgBB di atas 10 Kg
>20
1500 cc + 20 cc/KgBB diatas 20
(Darmowandowo,2008)
o Lakukan observasi setiap 6 jam atas tanda vitalnya, dengan
tujuan untuk mendeteksi tanda-tanda kebocoran plasma, yang
mengarah ke demam berdarah dengue.
2. Periode afebris
Pada saat temperatur turun, pada penderita DBD terjadi 2
fenomena yang dapat membawa penderita pada keadaan kritis bahkan
dapat berakhir dengan kematian apabila tidak tertangani secara benar,
yaitu adanya gangguan hemostatik berupa penurunan jumlah dan
kualitas trombosit, gangguan faktor beku darah, dan adanya kebocoran
plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah.
Proses kebocoran plasma dari pembuluh darah ini akan menimbulkan
deficit di dalam pembuluh darah. Apabila diurut tahapan klinis deficit
plasma dalam pembuluh darah akan didapat urutan sebagai berikut:
1. Peningkatan hematokrit 20%, tanpa disertai gejala gangguan
sirkulasi
2. Peningkatan hematokrit 20%, disertai munculnya gejala
penyempitan tekanan nadi

3. Peningkatan hematokrit 20%, disertai dengan timbulnya gejala


shock, yang ditandai dengan TD sistol dan diastole menurun, nadi
kecil dan cepat serta perabaan akral dingin
4. Peningkatan hematokrit 20%, disertai gejala nadi tak teraba dan
tekanan darah tak terukur
Setelah diagnosis DBD sudah ditentukan, maka tetapkan terlebih
dahulu derajatnya. Perlu ditegaskan bahwa untuk penatalaksanaan
DBD yang terpenting adalah pemberian cairan intravena sebatas cukup
mempertahankan sirkulasi yang efektif selama periode plasma leakage
disertai pengamatan yang teliti dan cermat secara periodik. Cairan
yang dipakai berupa kristaloid seperti D5 Normal salin, Ringer laktat,
D5 Ringer laktat, D5 Ringer asetat dan koloid yang mempunyai berat
molekul yang tinggi seperti plasma, plasma pengganti (Dexran, Haess
dll). Berikut ini adalah algoritma pemberian cairan pada penderita
DBD (Darmowandowo,2008)

(Darmowandowo,2006)

(Darmowandowo,2006)

2.11

(Darmowandowo,2006)
Komplikasi
Infeksi primer demam dengue biasanya self limiting disease. Kehilangan

cairan dan elektrolit, hiperpireksia, dan kejang demam adalah komplikasi yang
paling sering pada bayi dan anak kecil. Epistaksis, petechiae, dan lesi purpura
jarang terjadi namun dapat terjadi pada setiap tahap. Tertelan darah dari
epistaksis, muntah atau dikeluarkan oleh rektum, mungkin keliru ditafsirkan
sebagai perdarahan gastrointestinal. Pada orang dewasa dan mungkin pada
anak-anak, kondisi yang mendasari dapat menyebabkan perdarahan yang
signifikan secara klinis.

Di daerah endemik, demam berdarah dengue harus dicurigai pada anakanak dengan penyakit demam sugestif demam berdarah yang mengalami
hemokonsentrasi dan trombositopenia (Behrman, 2003)
2.12 Prognosis
Prognosis demam berdarah dapat terpengaruh oleh antibodi pasif atau
oleh infeksi sebelumnya dengan virus yang merupakan predisposisi
pengembangan demam berdarah dengue.
Kematian telah terjadi pada 40-50% pasien dengan syok, tetapi dengan
kematian perawatan intensif yang memadai harus terjadi dalam waktu kurang
dari 1% kasus. Kelangsungan hidup secara langsung berkaitan dengan terapi
suportif awal. Jarang, ada kerusakan otak yang disebabkan oleh sisa syok
berkepanjangan atau kadang-kadang oleh perdarahan intrakranial (Behrman,
2003).

BAB III
HASIL PENELITIAN

3.1 Kejadian DBD Berdasarkan Usia


Usia
Jumlah
%
6-7 hari
8-28 hari
1-11 bulan
1-4 tahun
7
26 %
5-9 tahun
5
18,5 %
10-14 tahun
3
11,1 %
15-19 tahun
3
11,1%
20-24 tahun
7
26%
25-29 tahun
1
3,7%
30-34 tahun
1
3,7%
35-39 tahun
40-44 tahun
45-49 tahun
50-54 tahun
55-59 tahun
60-64 tahun
65-69 tahun
+70 tahun
Jumlah
27
Tabel 2.1 Distribusi dan frekuensi DBD berdasarkan Usia di wilayah kerja
Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31 Desember 2014
Berdasarkan tabel di atas, kejadian DBD terbanyak terjadi pada usia 1-4
tahun dan usia 20-24 tahun pada tahun 2014, yaitu sebanyak 7 orang (sebesar
26%), didapatkan pula kejadian DBD pada usia 5-9 tahun sebanyak 5 orang
(sebesar 18,5%). Pada usia 10-14 dan 15-19 didapatkan sebesar 3 orang (11,1%),
dan pada usia 25-29 dan 30-34 didapatkan sebesar 1 orang (sebesar 3,7%).

Gambar 2.1 Grafik Distribusi dan frekuensi DBD berdasarkan Usia di wilayah
kerja Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31 Desember 2014

3.2 Kejadian Difteri Berdasarkan Jenis Kelamin


Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Jumlah

Jumlah tahun 2014


6
4
10

%
60%
40%

Tabel 2.2 Distribusi dan frekuensi difteri berdasarkan Jenis kelamin di wilayah
kerja Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31 Desember 2014
Berdasarkan tabel di atas, kejadian DBD pada tahun 2014 kejadian BDB
terbanyak pada laki-laki yaitu sebanyak 6 orang (sebesar 60%), Sedangkan pada
perempuan sebanyak 4 orang yaitu sebesar 40%.

Gambarl 2.2 Distribusi dan frekuensi difteri berdasarkan Jenis kelamin di wilayah
kerja Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31 Desember 2014
3.3 Kejadian Difteri Berdasarkan Waktu
BULAN

TAHUN

Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni

2011
1
1
1

Juli
Agustus
September
Oktober

TAHUN

33,3%
33,3%
33.3%

2012
1
2
Belum

33%
67%
-

diketahui
Belum

diketahui
Belum

diketahui
Belum

diketahui
Belum

November

diketahui
Belum

Desember

diketahui
Belum

JUMLAH

100 %

diketahui
3

100%

Tabel 2.3 Distribusi dan frekuensi difteri berdasarkan Bulan di wilayah kerja
Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31 Desember 2011 dan 1 Januari-31 Mei 2012

Berdasarkan tabel di atas, kejadian difteri pada tahun 2011 terjadi pada
bulan April sebanyak 1 orang (sebesar 33%) , bulan Mei sebanyak 1 orang
(sebesar 33%) , dan bulan Juni sebanyak 1 orang (sebesar 33%). Sedangkan
kejadian difteri pada tahun 2012 hingga periode 31 Mei 2012 sebanyak 3 orang
yaitu 1 orang (sebesar 33%) pada bulan April, dan bulan Mei sebanyak 2 orang
(sebesar 67%).

Gambar 2.3 Distribusi dan frekuensi difteri berdasarkan Bulan di wilayah kerja
Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31 Desember 2011 dan 1 Januari-31 Mei 2012
3.4 Kejadian Difteri Berdasarkan Desa
Nama daerah
Ceweng
Bandung
Kedawong
Ngudirejo
Grogol
Kayangan
Puton
Bendet

Jumlah
2
4
1
1
2
4
6
1

%
7,7%
15,3%
3,85%
3,85%
7,7%
15,3%
23%
3,85%

Cukir
2
7,7%
Jatirejo
Bulurejo
3
11,5%
Jumlah
26
Tabel 2.4 Distribusi dan frekuensi DBD berdasarkan desa di wilayah kerja
Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31 Desember 2014
Berdasarkan desa di wilayah Cukir yang mengalami kejadian DBD,
kejadian DBD terjadi hampir merata di desa wilayah Cukir. Pada tahun 2014 desa
yang mengalami kejadian DBD yaitu desa Puton sebanyak 6 orang (sebesar 23%),
desa Bandung dan Kayangan sebanyak 4 orang (sebesar 15,3%), dan desa
Bulurejo sebanyak 3 orang (sebesar 11,5%). Desa Ceweng, Grogol, Cukir
sebanyak 2 orang (sebesar 7,7 %), Sedangkan desa Kedawong, Ngudirejo, bendet
sebanyak 1 orang ( sebesar 3,85%).

Gambar 2.4 Distribusi dan frekuensi difteri berdasarkan desa di wilayah kerja
Puskesmas Cukir periode 1 Januari-31 Desember 2014
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian DBD
berdasarkan Usia

Dari hasil data diatas didapatkan kejadian DBD di wilayah kerja


puskesmas Cukir terbesar usia kejadian DBD terbanyak terjadi pada usia 1-4
tahun dan usia 20-24 tahun pada tahun 2014, yaitu sebanyak 7 orang pada periode
Januari Desember 2014, sesuai dengan Hasil Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia tahun 2011 di Provinsi Jawa Timur menemukan bahwa penderita yang
terkena difteri kebanyakan anak-anak, dari usia 4 tahun sampai 12 tahun. Hal ini
disebabkan sistem kekebalan tubuh mereka belum terbentuk sempurna. Terutama
pada remaja atau usia muda yang belum pernah mendapat imunisasi atau
imunisasi yang tidak sempurna.
Sesuai dengan Holmes, dalam Harrison's principles of internal medicine,
16th ed, 2005, bahwa angka kejadian difteri jarang terjadi pada bayi usia kurang
dari 6 bulan karena imunitas bayi masih dipengaruhi oleh IgG maternal yang
berasal dari ibu. Sedangkan pada bayi usia 6-12 bulan yang belum mendapat
imunisasi lebih rentan tertular difteri. Dan juga pada anak yang sudah mendapat
imunisasi dasar lengkap dan belum mendapat imunisasi booster dalam waktu 10
tahun, juga rentan tertular difteri.
Pada tahun 2012 di wilayah kerja Puskesmas Cukir ditemukan kasus difteri
pada usia 42 tahun sebanyak 1 orang. Sesuai dengan Dinkes Jawa Timur pada
tahun 2011, bahwa terjadinya difteri pada usia dewasa bisa disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya; tidak pernah mendapat imunisasi dasar atau sudah
pernah mendapat imunisasi dasar tapi belum pernah mendapat imunisasi booster,
sosial-ekonomi yang rendah seperti tinggal di tempat yang penuh sesak atau tidak
sehat, menurunnya imunitas sehingga mudah tertular difteri terutama pada orang

yang memiliki gangguan sistem kekebalan, dan siapapun yang bepergian ke


tempat atau daerah endemik difteri.
Menurut Holmes dalam Harrison's principles of internal medicine, 16th ed,
2005, kasus difteri pada dewasa terbanyak pada usia 40-49 tahun yang
menyebabkan angka kesakitan dan kematian pada beberapa negara terutama
negara berkembang. Disebabkan faktor-faktor antara lain; perpindahan populasi,
ketidakstabilan sosial-ekonomi, penurunan kesehatan, informasi yang kurang bagi
masyarakat, serta kurangnya persediaan untuk pencegahan dan terapi untuk
penyakit difteri.
4.2

Karakteristik Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian


Difteri berdasarkan Jenis Kelamin
Dari hasil data diatas didapatkan jumlah kejadian difteri berdasarkan jenis

kelamin di wilayah kerja Puskesmas Cukir tahun 2011, perempuan sebanyak


100% yaitu 3 orang dan perempuan tidak terdapat penderita berjenis kelamin lakilaki. Dan pada tahun 2012, perempuan sebanyak 33% yaitu 1 orang dan laki-laki
sebanyak 67% yaitu 2 orang. Selama tahun 2011 sampai 2012 jumlah kejadian
diare pada perempuan lebih banyak dibanding laki-laki. Deskripsi kasus difteri
berdasarkan jenis kelamin terlihat bahwa jenis kelamin perempuan lebih tinggi
dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki walaupun terlihat bahwa tidak
terdapat perbedaan terlalu mencolok. Jika dilihat dari keadaan di masyarakat,
bahwa aktifitas laki-laki yang lebih banyak di luar dapat menjadi salah satu faktor
resiko tertularnya difteri. Laki-laki juga cenderung kurang memperhatikan
hygiene perorangan salah satunya kebiasaan tidak mencuci tangan setelah bermain
dan langsung menjamah makanan juga menjadi salah satu faktor resiko terjadinya
difteri pada pria. Namun hal tersebut tidak begitu berpengaruh karena higienitas

perorangan tidak hanya dipengaruhi oleh jenis kelamin. Hal tersebut sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Puguh Suroto yang berjudul Faktor Resiko
Kejadian Difteri di Sidoarjo tahun 2010, hasil analisis menunjukkan bahwa faktor
risiko kejadian difteri yang tidak bermakna adalah jenis kelamin.
4.3 Karakteristik Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Difteri berdasarkan Bulan
Dari hasil data didapatkan angka tertinggi pada bulan April Juni baik pada
tahun 2011 maupun tahun 2012 sebanyak 3 kasus pada tahun 2011 dan 3 kasus
pada tahun 2012 dimana pada bulan-bulan ini terjadi pergantian musim dari
musim penghujan ke kemarau serta keadaan cuaca yang berdebu dan lebih
berangin, yang memudahkan penyebaran kuman penyebab dan droplet pada
manusia, juga terjadi perubahan adaptasi pada tubuh sehingga imunitas tubuh
menurun, akibatnya mudah terserang difteri. Dimana hal ini tidak menutup
kemungkinan menularkan kepada penduduk yang berada pada lingkungan yang
penuh dan sesak. Di negara tropis variasi musim kurang jelas, yang sering terjadi
adalah infeksi subklinis dan difteri kulit. Penyakit ini muncul terutama pada
bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis.
4.4
Karakteristik Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Difteri berdasarkan Desa
Dari data diatas didapatkan kejadian difteri berdasarkan desa di wilayah
Cukir, kejadian difteri terjadi hampir merata di desa wilayah Cukir. Pada tahun
2011 terdapat 3 desa yang mengalami kejadian difteri yaitu desa Kedawong
sebanyak 1 orang, desa Jatirejo sebanyak 1 orang, dan desa Kayangan sebanyak 1
orang. Sedangkan hingga 31 Mei 2012 desa yang mengalami kejadian difteri yaitu
desa Ngudirejo sebanyak 1 orang, desa Cukir sebanyak 1 orang, dan desa
Bulurejo sebanyak 1 orang.

Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa kepadatan penduduk
mempengaruhi penyebaran penyakit difteri. Apabila penduduk di suatu desa
menderita difteri, maka kemungkinan besar penduduk di desa sekitarnya
terjangkit oleh difteri juga.
4.5 Intervensi yang Dilakukan
4.5.1 Pencegahan Primer
Intervensi di lakukan ketika ditemukan kasus pertama pada bulan April
2012, karena berdasarkan teori dikatakan wabah (kejadian luar biasa) bila terdapat
satu kasus difteri di suatu wilayah yang mana sebelumnya tidak didapatkan kasus
difteri. Upaya pencegahan pada penyakit difteri ditujukan untuk mencegah agen
penyebab penyakit, mencegah terjadinya kontak agen penyebab sakit dan manusia
dengan modifikasi lingkungan, dan perilaku, serta karakteristik melalui upaya
promosi kesehatan dan perlindungan spesifik (health promotion and specific
protection) berupa imunisasi dasar lengkap dan dilanjutkan booster secara berkala.
Promosi kesehatan yang dapat dilakukan adalah berupa penyuluhan
kesehatan mengenai Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, mengenai sanitasi, penyebab,
penyebaran, dampak, dan pertolongan pertama pada penyakit difteri. Mengusulkan
kepada penduduk untuk mencanangkan program kerja bakti.
4.5.2 Percegahan Sekunder
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan pada penderita difteri adalah isolasi
pasien yang terinfeksi, pemberian Anti Difteri Serum (ADS), pemberian antibiotik
berupa penisilin prokain,pemberian kortikosteroid untuk mengurang edema laring
dan menjaga jalan nafas pasien agar tetap bebas serta menjaga agar tidak terjadi
komplikasi lain yang berat misalnya miokarditis, obstruksi jalan nafas akibat edema
laring, Acute Tubular Nekrosis (ATN), neuritis perifer.
4.5.3 Pencegahan Tersier

Untuk mempercepat proses pemulihan dan mencegah kekambuhan dengan


cara memperbaiki status gizi dengan cara makan-makanan yang bersih dan sehat,
minum air yang matang serta pola hidup sehat.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
1.

Rentang usia terbanyak kejadian difteri di wilayah kerja Puskesmas Cukir


periode 1 Januari-31 Desember 2011 dan 1 Januari-31 Mei 2012 didapatkan
pada usia 5-9 tahun.

2.

Jenis Kelamin terbanyak kejadian di wilayah kerja Puskesmas Cukir periode


1 Januari-31 Desember 2011 dan 1 Januari-31 Mei 2012 adalah perempuan.

3.

Kejadian difteri terbanyak di wilayah kerja Puskesmas Cukir terjadi antara


bulan April Mei baik pada periode 1 Januari-31 Desember 2011 maupun

4.

pada periode 1 Januari - 31 Mei 2012.


Kejadian difteri didapatkan pada 6 desa di wilayah Puskesmas Cukir pada
periode 1 Januari-31 Desember 2011 maupun pada periode 1 Januari - 31

Mei 2012.
5.2 Saran
5.2.1 Bagi instansi terkait (Puskesmas Cukir)
Hendaknya petugas kesehatan melakukan penyuluhan tentang pentingnya
imunisasi dasar lengkap dan imunisasi booster untuk mencegah insiden difteri.
Selain itu, dapat pula dilakukan kegiatan penyuluhan untuk memotivasi
masyarakat dalam menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Penting pula
dilakukan penyuluhan tentang bagaimana sikap masyarakat bila pada lingkungan
tempat tinggalnya terdapat kasus difteri.
Upaya penyuluhan dari Dinas Kesehatan dan Puskesmas hendaknya
dilakukan secara terus menerus sampai masyarakat betul-betul mamahami
akan pentingnya kesehatan diri dan lingkungan dalam mencegah terjadinya difteri.
Serta diharapkan dapat meningkatkan fasilitas serta akses sarana kesehatan agar
lebih mudah dijangkau.
5.2.2 Bagi masyarakat
Diharapkan lebih meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat, terutama
melakukan tindakan pencegahan terjadinya difteri seperti imunisasi dan hidup
di lingkungan yang bersih dan sehat. Diharapkan pula masyarakat dapat
meningkatkan pengetahuan dan informasi tentang penyakit difteri dengan
mengikuti penyuluhan dan imunisasi secara berkala sesuai dengan usia serta aktif
dalam pencegahan difteri.

DAFTAR PUSTAKA

Kadun I Nyoman, 2006, Manual Pemberantasan Penyakit Menular, CV


Infomedika, Jakarta.
Ditjen

P2PL,

Depkes

Penanggulangan

RI,

Revisi

Kejadian

Buku

Luar

Pedoman

Biasa

Penyelidikan

(Pedoman

dan

Epidemiologi

Penyakit),2007, Jakarta.
Ditjen P2PL, Depkes RI, Panduan Praktis Surveilens Epidemiologi Penyakit,
2003, Jakarta.
Ditjen P2PL, Depkes RI, Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas, 2005,
Jakarta.
Profil, 2004, Profil Kesehatan, http:// www.Bank Data/Depkes.go.id/
Supriyanto,dkk, 2008, Reaksi Kekebalan Anak Sekolah Terhadap Toksoid
Difteri.http:/www.kalbe.co.id/files/cdk/files/2008
Rumah

Sakit

Penyakit

Infeksi

Prof.

Dr.Sulianti

Imunisasi,http:/www.info@infeksi.com
Biofarma, 200, Vaksinasi, http:/www.biofarma.com, 2007

Saroso,

2007,

Seksi P & SE, 2008, KLB Difteri Jatim, Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur,
2008
Suroto, Puguh, 2010, Faktor Resiko Kejadian Difteri di Sidoarjo tahun 2010,
Surabaya

Anda mungkin juga menyukai