Anda di halaman 1dari 33

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis beserta anggota kelompok ucapkan


kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
makalah yang berjudul, Delayed Coking Unit dapat diselesaikan. Makalah ini
dibuat untuk melengkapi tugas Pengilangan Minyak Bumi dan Nabati, Jurusan
Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Riau, Tahun 2013.
Untuk bisa mewujudkan makalah ini, penulis beserta anggota kelompok
menemui berbagai kendala yang harus dilalui. Namun, berkat dorongan dan
bantuan baik moril maupun materil dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini
dapat juga diselesaikan dengan baik.
Sehubungan dengan hal diatas, penulis beserta anggota kelompok ingin
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada:
1. Ibu Nirwana, MT. , dosen mata kuliah Pengilangan Minyak Bumi dan Nabati
2.

Rekan-rekan satu angkatan yang telah berbagi informasi dalam penyelesain


makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini, penulis dan anggota telah berusaha

semaksimal mungkin untuk menghasilkan yang terbaik. Namun, penulis dan


anggota mengharapkan kritik dan saran guna penyempurnaan tulisan makalah ini.
Penulis dan anggota berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak dan semoga ALLAH SWT senantiasa melimpahkan Rahmat dan Karunianya kepada kita semua, Amin.

Pekanbaru, Maret 2013

Penulisi

DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................1
I.1 Latar Belakang................................................................................................1
I.2 Sekilas Tentang PT. Pertamina Persero .........................................................2
I.2.1 Gambaran Umum PT. Pertamina (Persero)...........................................2
I.2.2. Sejarah Pertamina Unit Pengolahan II Dumai.....................................2
I.3 Ruang Lingkup...............................................................................................5
I.4 Tujuan.............................................................................................................5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................6
II.1 Feed dan Produk Delayed Coking................................................................6
II.2 Aliran Proses Delayed Coking Unit............................................................11
II.3 Level Detector Coke Chamber...................................................................18
II.4 Variabel Proses Delayed Coking Unit........................................................22
II.5 Troubleshooting..........................................................................................26
BAB III. PENUTUP..............................................................................................28
Kesimpulan.......................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................30

ii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Minyak bumi merupakan produk perubahan secara alami dari zat-zat

organik selama ribuan tahun yang tersimpan di lapisan bumi dalam jumlah yang
sangat besar. Minyak bumi terutama digunakan untuk menghasilkan berbagai
macam bahan bakar diantaranya LPG, gasoline, avigas, jet fuel, kerosin, solar, dan
bahan lain seperti aspal, minyak pelumas, bahan pelarut, lilin, dan bahan
petrokimia.
Minyak bumi mentah (crude oil) adalah cairan coklat kehijauan hingga
hitam yang terdiri dari karbon dan hidrogen. Minyak bumi merupakan campuran
yang sangat komplek, mengandung ribuan senyawa hidrokarbon tunggal mulai
dari yang paling ringan seperti gas metana sampai dengan aspal yang berat dan
berwujud padat. Produksi komersial minyak bumi dimulai pada tahun 1857 dan
sejak itu produksi terus meningkat.
Berbagai teori bermunculan untuk menjelaskan asal minyak bumi. Teori
yang paling popular adalah organic source materials. Teori ini menyatakan bahwa
binatang dan tumbuhan - tumbuhan berakumulasi dalam tempat yang sesuai,
jutaan tahun yang lalu, seperti dalam swamps, delta atau shallow dalam laut.
Disana bahan organik akan terdekomposisi secara parsial dengan bantuan bakteri.
Karbohidrat dan protein dipecah menjadi gasgas atau komponen yang larut
dalam air dan terbawa pergi oleh air tanah. Sedangkan lemak- lemak yang
tertinggal dan bahan bahan yang terlarut, diubah secara perlahan lahan
menjadi minyak bumi melalui reaksi yang menghasilkan bahan- bahan dengan
titik didih rendah. Cairan minyak bumi yang dihasilkan kemudian dapat berpindah
ke pasir alam atau reservoir batu kapur

1.2 Sekilas Tentang PT. Pertamina Persero


1.2.1 Gambaran Umum PT. Pertamina (Persero)
Pertamina didirikan berdasarkan UU No. 08 tahun 1971 dengan nama
Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Bidang usahanya
adalah melaksanakan pengelolaan minyak dan gas bumi untuk memperoleh hasil
yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan negara serta memenuhi
kebutuhan bahan bakar migas dalam negeri.
Dalam bidang pengolahan minyak bumi, sampai saat ini Pertamina
memiliki tujuh unit pengolahan yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia,
antara lain:
Tabel 1.2 Kapasitas Unit Pengolahan Pertamina di Indonesia
No.

Unit Pengolahan

Daerah

Kapasitas (Barrel/hari)

1.

Unit Pengolahan (UP) I

Pangkalan Brandan

5.000

2.

Unit Pengolahan (UP) II

Dumai & Sei Pakning

180.000

3.

Unit Pengolahan (UP) III

Plaju & Sungai Gerong

134.000

4.

Unit Pengolahan (UP) IV

Cilacap

300.000

5.

Unit Pengolahan (UP) V

Balikpapan

252.000

6.

Unit Pengolahan (UP) VI

Balongan

125.000

7.

Unit Pengolahan (UP) VII

Kasim Sorong

10.000

JUMLAH

1.010.000

Sumber : Litbang PE UP II Dumai


Note : UP I idle/ dihentikan produksinya

1.2.2. Sejarah Pertamina Unit Pengolahan II Dumai

Saat ini, Pertamina UP II dumai mengoperasikan 2 buah kilang, dengan


kapasitas total sekitar 180 MBSD, yaitu :
1.

Kilang Minyak Putri Tujuh Dumai, dengan kapasitas 130 MBSD

2.

Kilang Minyak Sei Pakning dengan kapasitas 50 MBSD

Pembangunan kilang Pertamina Unit Pengolahan II Dumai dilaksanakan


mulai bulan April 1969 dan merupakan hasil kerjasama Pertamina dengan Far
East Sumitomo Japan. Pembangunan kilang dikukuhkan dalam SK direktur utama
Pertamina No.334/Kpts/DM/1967. Pelaksanaan teknis pembangunan dilaksanakan
oleh kontraktor asing, yaitu:
1. IHI ( Ishikawajima-Harima Heavy Industries) untuk pembangunan mesin
dan instalasi.
2. TAISEI construction, Co, untuk pembangunan konstruksi kilang.
Unit yang pertama didirikan adalah Crude Distilation Unit (CDU/100)
yang selesai pada bulan Juni 1971. Unit ini dirancang untuk mengolah minyak
mentah jenis Sumatera Light Crude (SLC) dengan kapasitas 100 MBSD. Tetapi
saat ini, Pertamina UP II Dumai beroperasi dengan menggunakan bahan baku
SLC 85 % dan Duri Crude Oil 15 %, dengan kapasitas pengolahan rata-rata 127
MBSD. Peresmian kilang ini dilakukan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 8
September 1971 dengan nama Kilang Putri Tujuh. Produk yang dihasilkan dari
kilang ini antara lain:
Naphtha
Kerosene
Solar/Automotive Diesel Oil (ADO)
Bottom Product berupa 55 % volume Low Sulphur Wax residu (LSWR)
untuk diekspor ke Jepang dan Amerika Serikat.
Pada tahun 1972, Kilang Putri Tujuh mengalami perluasan untuk
mengolah bottom product menjadi bensin premium dan komponen mogas dengan
mendirikan unit-unit baru seperti:
1. Platforming Unit.
2. Naphtha Rerun Unit.
3. Hydrobon Unit.
4. Mogas Component Blending Plant.

Perluasan selanjutnya dilakukan pada tanggal 2 April 1980 dengan


ditandatanganinya persetujuan perjanjian kerjasama antara Pertamina dengan
Universal Oil Product (UOP) dari Amerika Serikat dengan kontraktor utama
Technidas Reunidas Centunion dari Spanyol berdasarkan lisensi proses dari UOP.
Setelah proyek perluasan ini selesai dibangun, kilang baru ini diresmikan
oleh Presiden Soeharto pada tanggal 16 Februari 1984. Proyek ini mencakup
beberapa proses dengan teknologi tinggi yang terdiri dari unit-unit proses sebagai
berikut :
1.

High Vacuum Distillation Unit (110)

2.

Delayed Coking Unit (140)

3.

Coke Calciner Unit (170)

4.

Naphtha Hydrotreating Unit (200)

5.

Hydrocracker Unibon (211/212)

6.

Distillate Hydrotreating Unit (220)

7.

Continous Catalyst Regeneration-Platforming Unit (300/310)

8.

Hydrobon Platforming Unit/PL-1 (301)

9.

Amine-LPG Recovery Unit (410)

10.

Hydrogen Plant (701/702)

11.

Sour Water Stripper Unit (840)

12.

Nitrogen Plant (940)

13.

Fasilitas penunjang operasi kilang (utilitas)

14.

Fasilitas tangki penimbun dan dermaga baru.


Kilang Minyak Sei Pakning dibangun pada tahun 1968 oleh Refining

Associater (Canada) Ltd atau Refican dan selesai pada tahun 1969, dengan
kapasitas desain 25 MBSD. Beberapa sejarah penting Kilang Sei Pakning:
1.

Penyerahan kilang dari pihak Refican pada Pertamina pada tahun 1975

2.

Peningkatan kapasitas produksi menjadi 35 MBSd pada tahun 1977

3.

Peningkatan kapasitas produksi menjadi 40 MBSD pada tahun 1980

4.

Peningkatan kapasitas produksi menjadi 50 MBSD pada tahun 1982.

Beberapa jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) yang telah diproduksi oleh
Kilang Pertamina UP II Dumai saat ini adalah :
1.

Premium

2.

Jet Petroleum Grade

3.

Aviation Turbin.

4.

Kerosin

5.

Automotive Diesel Oil (ADO)

Sedangkan non-BBM antara lain :


1.

LPG

2.

Green Coke.
Saat ini, Pertamina UP II Dumai berencana untuk menghasilkan produk

baru dengan nama solar plus untuk bahan bakar busway.


1.3 Ruang Lingkup
Ruang lingkup makalah ini adalah penjelasan tentang bahan dan produk yang
dihasilkan oleh Naptha Splitter (Naptha Rerun Unit) dan Naptha Treater (Naptha
Hydrotreating). Juga sekilas gambaran Pertamina UP II Dumai, yang dilengapi
dengan flow chart Pertamina UP II Dumai.
1.4 Tujuan
1. Memahami dan dapat menggambarkan keluaran proses

yang mencakup

produk utama, produk samping, energi, dan limbah untuk industri proses
pengolahan minyak dan gas bumi.
2. Memahami dan dapat menggambarkan diagram alir proses dan sistem
pemroses yang digunakan di Pertamina UP II Dumai.
3. Mendapatkan gambaran tentang wujud pengoperasian sistem pemrosesan atau
fasilitas yang berfungsi sebagai sarana pengolahan minyak dan gas bumi.
4. Merupakan tugas kelompok yng diberikan oleh Ibu Nirwna selaku Dosen mata
kuliah Pengilangan Minyak Bumi dan Nabati.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ketika hidrokarbon ditahan pada temperatur yang tinggi selama periode
waktu tertentu dapat diasumsikan akan pecah menjadi dua atau lebih radikal
bebas. Radikal bebas ini kemudian masuk ke sederetan reaksi yang menghasilkan
produk total dengan rentang molekul yang lebar. Rentang produk ini mulai dari
hidrogen sampai bitumen dan coke.
Secara teori, reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut : panas dipergunakan
untuk mendisosiasikan senyawa (compound) membentuk radikal bebas.
C10H22 C8H17* + C2H5*
Radikal reaktif yang lebih tinggi tidak muncul dalam effluent produk yang
direngkah secara thermal, tetapi tergantung pada ukuran dan lingkungan dimana
mereka bereaksi dengan radikal yang lain. Senyawa-senyawa hidrokarbons
terdekomposisi menjadi olefins, bergabung dengan radikal yang
lain atau bereaksi dengan permukaan logam. Radikal yang besar tidak stabil dan
terdekomposisi membentuk olefins serta radikal yang lebih kecil.
C6H13* C5H10 + CH3*
C8H17* C4H8 + C4H9*
C4H9*

C4H8 + H*

Reaksi rantai radikal bebas berhenti ketika dua radikal berkombinasi atau
ketika terjadi reaksi radikal dengan logam atau racun (poison). BUKU PINTAR
MIGAS INDONESIA
C8H17* + H* C8H18
Reaksi polimerisasi dan kondensasi yang muncul pada kondisi
perengkahan thermal (thermal cracking) dapat berlangsung dalam berbagai cara
membentuk tar aromatik. Coke dan bitumen adalah polimer terakhir (ultimate
polymers). Molekul menjadi sangat besar dengan ikatan silang yang banyak.
Tidak adanya hidrogen akan menurunkan kelarutannya didalam hidrokarbon.
Coke mempunyai rasio hidrogen terhadap carbon kira-kira 1 : 1.

2.1

Feed dan Produk Delayed Coking


Sumber utama dari umpan Delayed Coking Unit adalah reduced crude dari

Vacuum Distillation Unit. Clarified

oil yang merupakan produk dari Fluid

Catalytic Crackers (FCC) dan thermal cracking tars dianggap sebagai komponen
umpan yang juga penting yaitu untuk meningkatkan kualitas coke.
Coking yields dan sifat produk tergantung pada karakteristik umpan dan
kondisi operasi. Terkait dengan operasi coking, klasifikasi yang sangat umum
dipakai untuk menggambarkan unsur utama dari residu adalah asphaltenes, resins,
dan aromatics.
Fraksi asphaltene adalah non-volatile, zat amorf (amorphous substance)
dengan berat molekul tinggi yang mengandung banyak koloid yang terdispersi
didalam minyak. Asphaltenes terutama tersusun dari carbon, hidrogen, nitrogen,
oksigen, sulfur, vanadium, dan molekul nickel yang tersusun dalam gugus
kompleks (complex clusters) atau lapisan (layers).
Fraksi resin dari residu mempunyai struktur yang sama dengan
asphaltenes. Resin merupakan material yang kental (viscous), yang menjelujur
(tacky materials) dengan volatilitas yang rendah. Berat molekul resin sedikit lebih
rendah daripada asphaltenes dan mengandung sejumlah material yang lebih
terkonsentrasi dari nitrogen dan sulfur.
Sedangkan aromatics adalah struktur yang sederhana yang tersusun dari
enam cincin carbon polisiklis

(polycyclic six carbon rings). Kandungan

conradson carbon dari umpan merupakan sifat yang paling menonjol yang
mempengaruhi yield coke. Carbon residue adalah carboneous material yang
dibentuk dan di-pirolisa dari umpan residu dan diukur langsung dari potensi
pembentukan coke dari umpan.
Sifat-sifat yang ikut membantu terjadinya superior coke adalah low sulfur,
low volatile matter content, low metals and ash content, low porosity, low
coefficient of thermal expansion (CTE) dan konduktivitas yang baik. Sifat-sifat
yang terakhir ini diukur setelah kalsinasi (calcining).

Kandungan sulfur yang tinggi tidak disukai untuk pembuatan anoda.


Selama proses grafitisasi (graphitization), evolusi sulfur dari kompleks carbonsulfur akan mendorong untuk mematahkan (fracturing) anoda. Kandungan logam
yang tinggi dari coke merusak kedua sifat electrical dan mechanical dari coke.
Volatile carbon matter merupakan sifat coke yang sangat menentukan yang
mempengaruhi harga jual dari green coke yang digunakan untuk industri pabrik
elektroda. Material ini mengandung volatile heavy hydrocarbon yang tersimpan
didalam coke matrix. Selama langkah kalsinasi dari pengkonversian green coke
menjadi calcined coke untuk carbon anodes, hidrokarbon yang berat diuapkan dan
secara esensial dihilangkan untuk memperbanyak hasil coke yang mempunyai
nilai carbon (carbon values) melebihi 98 persen.
Tiga klasifikasi yang umum dari produk coke adalah
1. Sponge (bunga karang)
Dihasilkan dari high resin asphaltene feedstock. Karena adanya impurities
dan low electrical conductivity, sponge coke tidak cocok untuk pembuatan
anoda. Penampakan fisis sponge coke adalah mengandung pori-pori yang
kecil yang dipisahkan oleh dinding yang tebal. Penggunaan dari coke jenis
ini adalah untuk :

Pembuatan electrode untuk digunakan dalam

electrical furnace

dalam pabrik Titanium oxide, baja.

Pembuatan anode untuk cell electrolytic dipabrik alumina.

Digunakan sebagai sumber carbon didalam pembuatan elemen


phosphor, calcium carbide, silica carbide.

Pembuatan graphite.

2. Honeycomb (sarang madu)


Dihasilkan dari low resin-asphaltene feedstock dan setelah kalsinasi dan
grafitisasi dapat menghasilkan anoda dengan kualitas yang memuaskan.
Pori-pori yang elipsoidal terdistribusi secara merata. Pori-porinya
unidirectional dan ketika dipotong melintang minor diameter, struktur
honeycomb terlihat jelas.

3. Needle (jarum).
Needle coke dihasilkan dari highly aromatic thermal tar atau decanted oil
feedstocks. Pada penampakannya, pori-pori yang unidirectional adalah
sangat kecil (very slender), berbentuk elliptical, dan dihubungkan pada
major diameter. Coke dengan sekelilingnya hampa yg mudah pecah dan
setelah pecah membentuk serpihan (splintery) atau bagian berbentuk
jarum (needle).
Disamping coke (typical yield 20% volume on feed) juga dihasilkan :

Gas

LPG (typical yield : 6-7% volume on feed)

Gasoline/cracked naphtha (typical yield : 15-16% volume on feed)

Light Coker Gas Oil/LCGO, typical yield : 35-36% volume on feed

Heavy Coker Gas Oil/HCGO, typical yield : 30-31%


Cracked distillates Delayed Coking Unit (LCGO dan HCGO) sungguh

berbeda dari distillate yang dihasilkan oleh unit lainnya. Cracked materials lebih
olefinic, lebih padat (denser), kurang stabil, dan incompatible untuk blending
dengan material yang murni (virgin materials). Olefins bersifat

tidak stabil,

dengan adanya udara yang cenderung untuk bereaksi membentuk gum. Blending
dari cracked materials dengan virgin materilas pada proporsi tertentu
menyebabkan perubahan pada pelarutan material yang menghasilkan peningkatan
kandungan BS & W-nya, selain juga akan mem-promote terjadinya color
unstability produk.

10

2.2.1

Aliran Proses Delayed Coking Unit


Aliran proses Delayed Coking secara umum dapat digambarkan sebagai
berikut :

Aliran proses dapat dikelompokkan menjadi lima seksi yang berbeda:


1. Seksi coking
Seksi coking terdiri dari coking heaters (2 unit jika 1 train atau 4
unit jika 2 train), coke chambers (2 unit jika 1 train atau 4 unit jika 2 train),
sebuah fasilitas injeksi anti foam, dan sebuah coke chamber condensate
receiver. Bottom kolom fraksinasi (yang disebut sebagai combined feed
karena terdiri dari fresh feed dan recycle liquid) ditarik oleh pompa bottom
fraksinasi dan dialirkan ke coking heaters.
High Pressure Steam diinjeksikan ke heater radiant coil dengan
menggunakan flow controller untuk membantu linear velocity agar tidak
terbentuk coke pada bagian dalam tube heater. Sebagai tambahan, High
Pressure Steam juga tersedia pada inlet tiap tube heater dengan
11

menggunakan

hand control, namun hanya digunakan dalam kondisi

emergensi untuk mencegah terjadinya coking/plugging pada tube heater


pada saat emergency stop.Heater effluent kemudian mengalir ke coke
chamber. Operasi coke chamber umumnya menggunakan cycle 48 jam.
Pada saat 1 unit coke chamber mengalami proses coking selama 24 jam, 1
unit coking chamber lainnya melakukan tahapan proses decoking selama
24 jam juga.
Sepasang coke chamber beroperasi dengan kerangan empat arah
(four way valve) pada inlet coke chamber untuk memungkinkan switching
dari satu coke chamber ke coke chamber lainnya. Untuk mengetahui level
coke pada coke chamber digunakan level detector radioaktif. Sebagai
tambahan terhadap line proses, disediakan line untuk quench water, steam,
condensate removal dan blowdown.
Material yang tidak membentuk coke (fraksi ringan) meninggalkan
top coke chamber melalui vapor line dan dialirkan ke main fractionator
dibawah bottom tray. Untuk mencegah kemungkinan penyumbatan
(plugging) pada overhead line coke chamber, maka dialirkan HCGO
quench yang diambil dari stream gas oil HCGO.
Tahapan

proses

(cycle)

Coking-Decoking

kedua

chamber

dapat

digambarkan sebagai berikut :

12

Jika diperlukan,
menggunakan

anti foam agent

diinjeksikan dengan

pompa injeksi anti foam agent ke bagian teratas dari

masing-masing coke chamber untuk mencegah foam carry over.


Jika level detector coke chamber tidak berfungsi maka dapat
dilakukan injeksi antifoam dengan menggunakan time base. Injeksi anti
foam dengan menggunakan time base biasanya mulai dilakukan 10jam
sebelum proses coking selesai/sebelum switch ke chamber lainnya hingga
1 jam setelah proses coking selesai/setelah switch ke chamber lainnya (11
jam injeksi).
Condensate receiver dipersiapkan untuk menangani kondensat
hidrokarbon yang terakumulasi ketika off-line coke chamber dipanaskan
(intermittent basis). Air dikumpulkan di water boot dan kemudian dikirim
ke wour water degassing drum di sour water stripping unit.Kondensat
hidrokarbon dipompa dengan coke chamber condensate pump dengan
menggunakan flow controller ke

line fresh feed pada inlet main

fractionator. Equalizing line diantara receiver dan main fractionator

13

berfungsi untuk menjaga gas blanket dan mencegah build up vapors di


drum.
2. Seksi fraksinasi
Seksi fraksinasi terdiri dari main fractionator, LCGO Stripper,
HCGO stripper, charge surge drum, main fractionator overhead receiver,
dan tanki cracked slop.
Cold feed ke DCU dipompa dari tangki umpan dengan pompa
storage feed yang dikendalikan oleh flow controller

yang di-cascade

dengan surge drum bottom level controller. Cold feed bercampur dengan
hot feed dari vacuum bottom di Vacuum Distillation Unit sebelum masuk
ke feed surge drum.
Total fresh feed dari feed surge drum dipompa oleh feed pump
dengan dikendalikan oleh flow controller yang di-cascade ke fractionator
bottom level controller. Aliran ini kemudian dipanaskan di feed/HCGO
heat exchanger, dan kemudian masuk ke main fractionator melalui
distributor. Sebagai alternatif, terdapat line feed yang masuk ke bottom
main fractionator melalui sebuah distributor yang berada di bawah level
liquid normal (50%). Line alternatif ini biasanya dipakai selama start up
atau kapan saja diperlukan untuk mempertahankan panas didalam kolom.
Cracked slop oil dari tangki cracked slop juga dapat ditambahkan ke fresh
feed upstream dari feed/HCGO heat exchanger yang dikendalikan oleh
flow controller.
HCGO ditarik dari HCGO accumulator dan didistribusikan sebagai
berikut:
Dipompa dengan menggunakan pompa sirkulasi dikembalikan ke
main fractionatorsebagai reflux.
Sebagian kecil digunakan sebagai quench ke coke chamber vapor
line.
Mayoritas aliran HCGO dibagi menjadi 3 aliran, yaitu disirkulasi
melalui debutanizer reboiler (dengan dikendalikan oleh flow
controller), disirkulasi melalui feed/HCGO heat

exchanger
14

(dengan dikendalikan oleh flow controller), dan disirkulasi melalui


HCGO

steam

generator

(dengan

dikendalikan

oleh

flow

controller), untuk kemudian dikembalikan ke main fractionator


melalui distributor sebagai reflux.
Net HCGO product mengalir dari HCGO accumulator ke HCGO
stripper. Sebagai stripping medium digunakan Medium Pressure
Steam (dikendalikan oleh flow controller). Net HCGO product
kemudian dipompakan oleh pompa produk melalui HCGO product
steam generator, HCGO product/BFW heat exchanger, dan HCGO
product cooler sebelum dialirkan ke tangki atau ke unit
downstream (Hydrocracker)).
LCGO ditarik dari LCGO accumulator dan dipompakan dengan
menggunakan pompa sirkulasi LCGO, dialirkan ke rich oil/lean oil heat
exchanger, didinginkan di absorber lean oil cooler dan di lean oil trim
cooler untuk kemudian dialirkan ke absorber sebagai lean oil (dengan
menggunakan flow controller). Absorber bottom stream, yang kaya LPG
disebut rich oil, mengalir
mengalir melalui rich oil/lean

oil heat exchanger (dengan

menggunakan bottom level controller) dan kemudian dikembalikan ke


main fractionator sebagai reflux.
Net LCGO product mengalir dari LCGO accumulator ke LCGO
stripper. Sebagai stripping medium digunakan Medium Pressure Steam
(dikendalikan oleh flow controller). Net LCGO product kemudian
dipompakan melalui LCGO product cooler dan LCGO product trim cooler
sebelum menuju tangki penyimpan atau ke unit downstream (distillate
hydrotreater). Stripped vapor dari stripper dikembalikan ke main
fractionator.
Overhead vapors yang meninggalkan top

main fractionator

dikondensasi didalam main fractionator overhead condenser, mengalir ke


trim cooler dan kemudian dikumpulkan di main fractonator overhead
receiver. Liquid dari receiver sebagian dipompakan kembali ke main
15

fractionator sebagai reflux dan sebagian lagi dipompakan ke high pressure


separators cooler, high pressure separator trim cooler, dan kemudian ke
high pressure separator di seksi konsentrasi gas. Net off-gas dikirim ke
compressor suction drum pada seksi konsentrasi gas. Air dikumpulkan di
water boot dan dipompakan ke Sour Water Stripping Unit.
3. Seksi konsentrasi gas
Seksi konsentrasi gas terdiri dari fractionator off gas compressor,
high pressure separator, kolom absorber, kolom debutanizer, dan LPG
splitter. Gas dari fractionator overhead receiver mengalir ke compressor
suction drum. Condesate liquid yang terjadi di compressure suction drum
dipompa dengan pompa suction drum dikembalikan ke fractionator
overhead receiver. Setelah di-compress, gas dialirkan ke high pressure
separator dan kemudian ke absorber dikontakkan dengan circulating
HCGO (disebut juga sebagai lean oil) untuk mengambil LPG yang
terkandung di dalam gas. Bottom absorber (disebut juga sebagai rich oil)
kemudian mengalir kembali ke main fractionator. Lean gas dari absorber
dialirkan ke fuel gas system.
Liquid high pressure separator dipompakan ke debutanizer melalui
debutanizer feed/bottom heat exchanger. Debutanizer memisahkan high
pressure separator liquid untuk

menghasilkan LPG (top product) dan

C5+/cracked naphtha (bottom product). Bottom debutanizer sebagian


dialirkan ke thermosiphon reboiler dan sebagian lagi diambil sebagai
produk dialirkan tangki penyimpan atau ke unit downstream (naphtha
hydrotreater) setelah melalui feed/bottom heat exchanger dan debutanizer
bottom cooler.
Overhead kolom dikondensasi secara parsial di debutanizer
overhead condenser sebelum masuk ke debutanizer overhead receiver.
Liquidnya sebagian dipompa sebagai reflux dan sebagian lagi mengalir ke
LPG splitter setelah dipanaskan di LPG splitter feed/bottom heat
exchanger.
16

LPG splitter berfungsi untuk menghilangkan ethane dan komponen


yang lebih ringan dari stream produk LPG. Bottom LPG splitter yang
merupakan produk LPG sebagian dialirkan ke thermosiphon LPG splitter
reboiler dan sebagian lagi diambil sebagai produk LPG dikirim ke tangki
penyimpanan setelah sebelumnya melalui LPG splitter feed/bottom heat
exchanger, digunakan sebagai pemanas. LPG splitter overhead vapor
dikondensasi secara parsial di LPG splitter overhead condenser sebelum
masuk ke LPG splitter overhead receiver. Liquid dari receiver dipompa
dengan pompa LPG splitter reflux kembali ke LPG splitter digunakan
sebagai reflux. Sedangkan gas dari receiver dikirim ke fuel gas system.
4. Seksi pembangkit steam
Di Delayed Coking Unit, steam dibangkitkan di beberapa tempat, yaitu :
Di dalam common convection section dari masing-masing sepasang
coking heater
Di circulating HCGO steam generator.
Di HCGO product steam generators.
Seksi pembangkit steam terdiri dari sebuah steam disengaging drum, dua
common convection steam generators, sebuah circulating HCGO steam
generator, sebuah product HCGO steam generator, sebuah blowdown
system dan sebuah chemical feed system.
Seksi pembangkit steam menghasilkan tiga macam steam, yaitu :
High Pressure Steam, dibangkitkan di coking heater common
convection section steam generator.
Medium Pressure Steam, dibangkitkan di circulating HCGO steam
generator dan di HCGO product steam generator.
Low Pressure Steam, dibangkitkan di continuous blowdown drum.
5. Seksi penanganan air dan blowdown (dipakai secara intermittent).
Fasilitas water handling dan blowdown terdiri dari sebuah coke pit,
sebuah clarifier, sebuah jet water storage

tank, sebuah blowdown


17

condenser knock out drum, sebuah blowdown condenser, dan sebuah


blowodown condenser separator. Peralatan water handling dipakai untuk
hydraulic decoking, water quench dari coke chambers, dan fines handling.
Line blowdown coke chamber, yang dipakai secara intermittent selama
cooling down dan warming up dari chamber, mengalir ke blowdown
condenser knock out drum.
Liquid yang ada di blowdown separator dan blowdown knock out
drum dipompakan dengan pompa blowdown condenser knock out drum
melalui blowdown condenser knockout drum cooler menuju tanki cracked
slop pada seksi fraksinasi. Vapour dari blowdown knock out drum
mengalir ke blowdown condenser separator. Air yang ada di blowodown
condenser separator mengalir ke blowdown separator secara gravitasi.
Vapor dari blowdown condenser separator mengalir ke flare header.
Hidrokarbon dari blowdown separator dan blowdown knock out drum
dipompa dengan pompa slop blowdown condenser separator dan dikirim
ke tanki cracked slop pada seksi fraksionasi.
Coke yang terbentuk di coke chamber dibor dengan menggunakan
hydraulic cutting tools yang menggunakan air tekanan tinggi dari pompa
jet hidrolik. Coke chamber berada diatas coke pit sehingga coke yang telah
dibor langsung dapat jatuh ke coke pit. Coke dari coke pit kemudian
dipindahkan ke belt conveyor dengan menggunakan travelling gantry
crane. Air yang digunakan untuk membor coke yang ada di coke chamber
mengalir dari sloped coke pit melalui vertical bar screen ke dalam settling
basin, untuk kemudian menggunakan settling basin pump out sump pump
dipompakan ke clarifier. Fines and scum pumpout pumps memompa
material dari clarifier kembali ke coke pit, sedangkan air dari clarifier
mengalir ke water transfer and quench pump sump untuk kemudian
dikirim ke tanki penampungan jet water tanki penampungan inilah yang
digunakan untuk membor coke yang ada di coke chamber dengan
menggunakan pompa jet hidrolik ke peralatan decoking.

18

Selain kelima seksi tersebut di atas, di dowstream Delayed Coking Unit


biasanya tersedia unit calciner untuk mengubah coke yang diproduksi oleh
Delayed Coking Unit (biasanya disebut green coke) menjadi calcined coke yang
merupakan bahan dasar untuk membuat anode. Di calciner, coke dipanaskan
hingga temperature 1100 s/d 1260oC terutama untuk menghilangkan volatile
matter.
2.3

Level Detector Coke Chamber


Pengukuran level coke chamber tidak dapat menggunakan level indicator

konvensional yang biasa dipakai untuk mengukur separator karena level yang
diukur adalah level padatan berupa coke. Alat ukur yang biasa digunakan untuk
mengukur level coke chamber adalah level detector radiometric. Level detector
radiometric yang sering digunakan sebagai level detector coke chamber adalah
level detector sinar gamma dan sinar neutron.
Secara teoritis sebenarnya ketinggi coke dalam coke chamber dapat
diperkirakan (linear terhadap total flow pass coking heater), namun level detector
tetap sangat diperlukan untuk :

Mencegah terjadinya foam over ke main fractionators

Mengetahui ketinggian foam yang mungkin terjadi saat proses coking di


coke chamber.

Optimasi penggunaan antifoam.

Mengetahui ketinggian coke saat selesai proses coking.

19

Tipe pengukuran level detector di coke chamber biasanya adalah point


source-point detector (level switch; tidak ada trending) untuk top coke chamber
dan point source-rod detector (continuous level measurement; ada trending) untuk
middle dan bottom coke
chamber.

Keterangan gambar:
1. Point source
2. Point detector
3. Kabel
4. Evaluation unit
20

Berdasarkan pengalaman penulis, walaupun sinar gamma mempunyai


kelemahan tidak dapat secara spesifik mengukur ketinggian foam pada permukaan
coke di coke chamber melainkan mengukur semua fluida yang melalui sourcedetector, namun penggunaan sinar gamma sudah cukup karena mempunyai
banyak keunggulan seperti telah disebutkan pada table II di atas. Mengenai
kelemahan sinar gamma yang tidak dapat secara spesifik mengukur ketinggian
foam sama sekali bukan masalah yang besar, karena secara teoritis pembentukan
coke dapat diprediksi karena linear terhadap flow pass coking heater.
Best practice perhitungan yield Delayed Coking Unit dapat digambarkan dalam
tabel berikut :

21

2.4

Variabel Proses Delayed Coking Unit


Coking unit dapat dioperasikan untuk menghasilkan high quality coke

ataupun untuk memaksimumkan yield gas, gasoline, dan produk middle. Yield
dan kualitas produk dipengaruhi oleh variable-variabel operasi sebagai berikut:
1. Sumber Crude dan Jenis Umpan
Sumber crude dan jenis umpan mempunyai pengaruh yang besar pada
yield dan kualitas coke. Conradson carbon content umpan merupakan sifat
yang paling menonjol yang menentukan yield dri coke. Kandungan
conradson carbon yang lebih tinggi dari feed menghasilkan coke yield
yang lebih tinggi. Sifat-sifat umpan yang terdiri dari komponen-komponen
asphaltenes, resin, dan aromatik serta tingkat impuritiesnya, sangat
mempengaruhi kualitas dari coke.
Coke dibentuk dengan mekanisme reaksi yang berbeda, yaitu:

Mekanisme reaksi pertama, suspensi kolodial dari senyawa


asphaltene dan resin. Disebabkan oleh sifat amorphnya dan
22

konsentrasi impurities yang tinggi, coke yang dihasilkan


senyawa

resin

dan

asphaltene

tidak

dikehendaki

dari
untuk

menghasilkan high grade carbon anodes.

Mekanisme reaksi kedua meliputi

polimerisasi dan kondensasi

dari aromatics. Coke dihasilkan melalui mekanisme kedua ini


mengandung konsentrasi aromatics yang tinggi dan konsentrasi
impurities yang rendah, yang kemudian akan memberikan
premium grade carbon anode setelah calcining dan graphitization.
2. Temperatur Coke Chamber
Temperatur dari coke chamber, yang diatur dengan mevariasikan
temperatur transfer coking heater, mempunyai pengaruh yang penting
terhadap yield maupun kualitas coke. Temperatur outlet dari heater harus
dipertahankan antara 485C s/d 510C. Pada temperatur yang lebih rendah
dari 485oC dihasilkan coke jenis tarry coke, sedangkan pada temperatur
yang lebih tinggi dari 510C kecepatan pembentukan coke di
heater akan meningkat tajam.

dalam

Untuk rentang temperatur 485C s/d

510C untuk jenis umpan yang sama maka kenaikan temperatur akan
memperbaiki kualitas coke. Kenaikan temperatur coke chamber akan
meningkatkan penguapan hidrokarbon, sehingga akan mengurangi coke
volatile carbon matter content, yang kemudian akan menghasilkan coke
yang lebih keras (kualitas yang diinginkan untuk anode). Namun hal ini
akan menyebabkan kandungan impurities meningkat, karena hidrokarbon
yang teruapkan lebih banyak mengandung hidrokarbon daripada
impurities seperti logam dan sulfur yang sebagian besar tertinggal dalam
coke. Temperatur optimum yang mengakomodir tingkat

kecepatan

pembentukan coke pada tube coking heater dan juga mengakomodir


kualitas coke dapat dicapai berdasarkan pengalaman operasi.
3. Tekanan Coke Chamber
Secara umum reaksi thermal cracking adalah fungsi waktu dan temperatur.
Namun tekanan coke chamber dapat juga berpengaruh, yaitu dalam hal
23

menentukan derajat penguapan. Semakin rendah tekanan maka semakin


keras coke yang terbentuk, dan sebaliknya semakin tinggi tekanan maka
semakin lunak coke yang terbentuk. Namun biasanya tekanan coke
chamber dijaga pada kondisi disain, yaitu sekitar 4 kg/cm2g.
4. Residence Time
Seperti dijelaskan dalam point V.3, reaksi thermal cracking salah satunya
merupakan fungsi waktu, yaitu residence time. Semakin lama residence
timenya maka yield coke semakin meningkat. Namun kondisi optimum
harus

dicapai

untuk

mengakomodir

yield

coke

dan

kecepatan

pembentukan coke pada tube coking heater maupun pada transfer line
(antara coking heater dan switching valve).
5. Combined Feed Ratio/CFR
Combined Feed Ratio/CFR didefinisikan sebagai volume dari fractionator
bottoms (fresh feed + recycle; atau total flow pass coking heater) dibagi
dengan volume fresh feed. Jika CFR turun maka coke yang dihasilkan
akan lebih keras coke volatile carbon matter content akan berkurang akibat
jumlah umpan yang mengalir dalam tube coking

heater berkurang

(sehingga linear velocity pun berkurang yang akan mengakibatkan


residence time meningkat) pada temperature coking heater yang sama.
Selain itu, kandungan impurities pun akan meningkat karena hidrokarbon
yang menguap tidak membawa serta logam dan sulfur. Combined feed
ratio dapat divariasikan dengan mengatur kecepatan penarikan gas oil
(LCGO atau HCGO). Kenaikan penarikan gas oil akan menurunkan ratio.
Typical combined feed ratio Delayed Coking Unit adalah 1,2 s/d 1,4.

24

25

26

2.5

Troubleshooting
Permasalahan yang terjadi di Delayed Coking Unit bukan hanya

permasalahan yang terkait dengan proses tetapi tidak jarang juga permasalahan
yang terkait dengan mechanical. Beberapa contoh permasalahan, penyebab, dan
troubleshooting yang terjadi di Delayed Coking Unit dapat dilihat dalam table VI
berikut ini:

Istilah-istilah

27

BS&W Basic Sediment & Water.

Cascade Penggabungan antara control satu dengan lainnya.

Cold feed Umpan dari tangki penyimpan (bukan dari unit upstream).

Color unstability Ketidakstabilan warna (biasanya terjadi pada produk diesel


yang mengandung cracked material)
Cracked naphtha Naphtha yang diproduksi oleh proses thermal cracking seperti
Delayed Coking Unit atau Visbraker.
Cracked slop Slop (sisa minyak/minyak yang terbuang atau tercampur dengan
air) yang berasal dari unit proses thermal cracking seperti Delayed Coking Unit
atau Visbraker.
Feed surge drum

Vessel penampung umpan yang berfungsi untuk menjaga

kestabilan penyediaan umpan.


Gantry crane Alat pengangkut coke untuk memindahkan coke dari coke pit ke
belt conveyor.
HCGO Heavy Coker Gas Oil, gas oil (yang lebih berat) yang dihasilkan oleh
main fractionator DCU.
HCGO accumulator Penampung produk HCGO di dalam main fractionators
DCU.
Hot feed Umpan yang berasal dari unit upstream langsung (bukan dari tangki
penyimpanan).
LCGO Light Coker Gas Oil, gas oil (yang lebih ringan) yang dihasilkan oleh
main fractionator DCU.
LCGO accumulator

Penampung produk LCGO di dalam main fractionators

DCU.

BAB III
28

KESIMPULAN
Unit Delayed Coking mengkonversi secara thermal minyak berat (heavy
oil) menjadi coke, gas oil, diesel oil, gasoline, dan gas. Ia dirancang untuk
menghasilkan jumlah maksimum dari cracked distillate disamping memproduksi
coke yang mana setelah treatment lebih lanjut dapat dipakai untuk produksi anoda
(anode production). Skema aliran (flow scheme) terdiri dari pengumpanan
(charging) vacuum bottom feedstock yang dikombinasi dengan recycle stream ke
coking heater, penahanan heater efluent di dalam coke chamber, dan fraksionasi
uncoked heater effluent untuk memisahkan product stream. Coke di pindahkan
dari coke chamber dan diumpankan ke Coke Calciner.
Sumber utama dari umpan Delayed Coking Unit adalah reduced crude dari
Vacuum Distillation Unit. Clarified

oil yang merupakan produk dari Fluid

Catalytic Crackers (FCC) dan thermal cracking tars dianggap sebagai komponen
umpan yang juga penting yaitu untuk meningkatkan kualitas coke.
Coking yields dan sifat produk tergantung pada karakteristik umpan dan
kondisi operasi. Terkait dengan operasi coking, klasifikasi yang sangat umum
dipakai untuk menggambarkan unsur utama dari residu adalah asphaltenes, resins,
dan aromatics.
Disamping coke (typical yield 20% volume on feed) juga dihasilkan :

Gas

LPG (typical yield : 6-7% volume on feed)

Gasoline/cracked naphtha (typical yield : 15-16% volume on feed)

Light Coker Gas Oil/LCGO, typical yield : 35-36% volume on feed

Heavy Coker Gas Oil/HCGO, typical yield : 30-31%

Tiga klasifikasi yang umum dari produk coke adalah


1. Sponge (bunga karang)
2. Honeycomb (sarang madu)
3. Needle (jarum).
Aliran proses dapat dikelompokkan menjadi lima seksi yang berbeda:
29

1. Seksi coking
2. Seksi fraksinasi
3. Seksi konsentrasi gas
4. Seksi pembangkit steam
5. Seksi penanganan air dan blowdown (dipakai secara intermittent).
Coking unit dapat dioperasikan untuk menghasilkan high quality coke ataupun
untuk memaksimumkan yield gas, gasoline, dan produk middle. Yield dan kualitas
produk dipengaruhi oleh variable-variabel operasi sebagai berikut:
1. Sumber Crude dan Jenis Umpan
2. Temperatur Coke Chamber
3. Tekanan Coke Chamber
4. Residence Time
5. Combined Feed Ratio/CFR

Daftar Pustaka
30

How to predict coker yield; Castiglioni, B.P.; Hydrocarbon Processing,


September 1983.
Operating Manual Naphtha Hydrotreater PERTAMINA Unit Pengolahan II
Dumai.
http://raz2305ans.multiply.com/journal/item/4
UOP Operating Manual , Delayed Coking Unit
http://www.tu-harburg.de/vt2/HPChE1/7-1-Industrial%20_reactions.pdf

31

Anda mungkin juga menyukai