Obat penyakit jiwa adalah obat-obat yang bekerja terhadap SSP dengan mempengaruhi
fungsi-fungsi psikis dan prosesproses mental. Dari banyak kelompok obat yang
memenuhi definisi ini, hanya psikofarmaka sejati yang akan dibicarakan di sini,
khususnya antipsikotika dan antidepresiva.
Di masa lampau, penyakit jiwa diobati dengan sedativa, seperti candu, bromida, dan
skopolamin, kemudian dengan barbital. Pengobatan ini sering kali dilengkapi dengan
beberapa cara lain, misalnya kerja kreatif, kur tidur (1922) atau metode metode yang
agak drastis (shock insulin, 1933 dan shock listrik, 1937). Pada schizofrenia parah
bahkan dilakukan operasi otak (leukotomia, 1935) untuk mengeluarkan sebagian otak.
Cara-cara ini menghasilkan efek yang cukup baik, terutama electroshock (Electro
Convulsive Therapy, ECT), tetapi pelaksanaannya dengan gejala yang hebat (serangan
epilepsi, kerusakan otak, hilangnya ingatan), telah menemui perlawanan dari baik pasien
maupun perawat.
Pendobrakan dalam farmakoterapi psikose telah dimulai dengan introduksi klorpromazin
pada tahun 1952. Antipsikotikum pertama ini disusul oleh alkaloida Rauwolfia reserpin
(1954), yaitu suatu obat hipertensi yang dewasa ini dianggap obsolet. Kemudian, banyak
antipsikotika lain dipasarkan, yang efektif dalam menanggulangi banyak gejala psikose.
Kemajuan selanjutnya dicapai di akhir tahun 1980-an dengan ditemukannya antipsikota
baru yang mampu menyembuhkan gejala-gejala negatif, yang kebal bagi obat-obat
terdahulu.
Obat-obat "baru" itu tidak mampu menyembuhkan 100% gangguan jiwa, namun banyak
gejalanya dapat dihalau atau dikurangi. Keadaan pasien dapat diperbaiki, hingga si pasien
dapat melanjutkan kehidupannya secara bebas dengan kualitas hidup yang baik. Lagi
pula, obat-obat ini tidak saja lebih efektif daripada obat-obat dan cara-cara lama,
melainkan mengubah drastis dan mempermudah perawatan pasien di rumah sakit
gangguan jiwa. Mereka menjadi lebih terbuka dan mau mengadakan kontak dengan para
dokter, perawat, dan terapisnya. Masa perawatannya di rumah sakit pun dapat
dipersingkat, karena sering kali pengobatannya dapat secara ambulan, artinya poliklinis,
di rumahnya sendiri. Resosialisasinya dalam masyarakat juga beriangsung lebih lancar.
Meskipun demikian, psikofarmaka ternyata tidak dapat menggantikan seluruhnya terapi
kIasik, seperti ECT pada keadaan depresi tertentu.
Psikofarmaka dalam arti sempit yang terutama digunakan untuk penanganan gangguan
putih. Ciri-ciri lainnya adalah ketakutan ditinggalkan dan sukar hidup sendiri, juga
kecurigaan kuat dengan hilangnya hubungan antara daya berpikir dan perasaan (disosiasi), masa-masa psikose singkat, dan masa-masa depresi. Akibat gejala-gejala ini,
penderita BPD mengalami banyak kesulitan dalam pergaulan dan cenderung menarik diri
dari kehidupan sosial. Pengobatan dilakukan poliklinis dengan kombinasi dari suatu
bentuk psikoterapi khusus (M.Lineham: Terapi perlakuan dialectis, 2,3) dan
psikofarmaka (antipsikotika, antidepresiva, atau obat-obat yang meregulasi suasana,
seperti litium).
d.
Mania didefinisikan sebagai kecenderungan patologis untuk suatu aktivitas
tertentu, yang tidak dapat dikendalikan, misalnya mengutil (kleptomania). Suasana jiwa
pasien muluk dan seolah-olah ada paksaan untuk bertindak, melakukan aktivitas
berlebihan, kegelisahan, dan perilaku tak terkendali. Bila masa-masa mania diselingi
masa-masa depresi, gangguan ini disebut depresi manis, Antidepresiva. Penanganan
mania dilakukan dengan antipsikotika, khususnya klorpromazin, haloperidol, dan
pimozida.
Schizofrenia (4,5,6).
Schizofrenia merupakan gangguan jiwa yang dalam kebanyakan kasus bersifat sangat
serius, berkelanjutan, dan dapat mengakibatkan kendala sosial, emosional, dan kognitif
(pengenalan, pengetahuan, daya membedakan; Lat. cognitus = dikenali). Akan tetapi, ada
pula banyak varian lain yang kurang serius. Schizofrenia adalah penyebab terpenting
gangguan psikotis, di mana periode psikotis diselingi periode 'normal', saat pasien bisa
berfungsi baik. Mulainya penyakit sering kali secara menyelinap, adakalanya juga dengan
mendadak. Pada pria, biasanya timbul antara usia 15-25 tahun, jarang di atas 30 tahun,
sedangkan pada wanita antara 25-35 tahun.
Penyebabnya masih belum diketahui, mungkin berkaitan dengan terganggunya
kesimbangan sistem kimiawi rumit di otak. Dewasa ini hanya ditetapkan adanya faktor
keturunan dengan faktor lingkungan sebagai pemeran penting.
Skizofrenia merupakan psikosis tipe khusus, yaitu gangguan mental yang disebabkan
oleh disfungsi otak yang diwariskan. Sifat yang menonjol ialah delusi, halusinasi (sering
dalam bentuk suara), gangguan pemikiran atau bicara. Gangguan mental ini merupakan
penyakit yang sering terjadi di antara 1 % penduduk atau kira-kira sama dengan insidens
diabetes melitus. Pada awalnya, penderita terserang penyakit selama masa remaja,
bersifat kronis dan " lumpuhkan". Skizofrenia mempunyai komponen genetik yang kuat
dan barangkali disertai kelainan biokimiawi dasar, akibat aktivitas berlebihan neuron
dopaminergik mesolimbik.
Istilah antipsikosis dan neuroleptik sama-sama digunakan untuk menunjuk sekelompok
obat yang tidak hanya dipakai khusus untuk skizofrenia, namun juga efektif untuk
beberapa jenis psikosis dan gaduh gelisah.
Obat-obat antipsikosis telah digunakan secara klinis selama 50 tahun. Reserpine dan
chlorpromazine merupakan obat pertama yang digunakan untuk skizofrenia. Meskipun
chlorpromazine kadangkala masih digunakan untuk terapi psikosis, obat-obat perintis ini
telah banyak digantikan oleh obat-obat baru. Bagaimanapun juga, dampak keuntungan
obat-abat tersebut terhadap dunia kedokteran jiwa-terutama dalam penanganan
skizofrenia sangatlah besar. Jumlah pasien yang membutuhkan rawat inap di rumah sakit
jiwa telah banyak berkurang, dan kecenderungan gangguan jiwa lebih banyak ke arah
dasar biologis.
Obat-obat neuroleptika juga disebut obat antiskizofren, obat antipsikotik atau
transquilizer mayor) terutama digunakan untuk mengobati skizofrenia tetapi juga efektif
untuk psikotik lainnya seperti keadaan maniak dan delirium. Obat-obat neuroleptika
tradisional (Iama) adalah inhibitor kompetitif pada berbagai reseptor, tetapi efek
antipsikotiknya mencerminkan penghambatan kompetitif dari reseseptor dopamin. Obatobat ini berbeda dalam potensinya tetapi tidak ada satu obatpun yang secara klinik lebih
efektif dari yang lain. Sebaliknya, obat antipsikotik "atipikal" yang lebih baru,
aktivitasnya yang unik adalah penghambatan reseptor serotonin. Terapi telah
menunjukkan ke arah penggunaan obat dengan potensi tinggi, seperti tiotiksen,
haloperidol, dan flufenazin. Klorpromazin prototip obat neuroleptika, jarang digunakan
karena sering terjadi efek samping yang berbahaya. Obat neuroleptika bukan untuk
pengobatan kuratif tidak menghilangkan gangguan pemikiran yang fundamental, tetapi
sering memungkinkan pasien psikotik berfungsi dalam lingkungnya yang suportif.
Psikotropik ialah obat yang bekerja pada atau mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau
pengalaman (WHO, 1966). Sebenarnya psikotropik baru diperkenalkan sejak lahirnya
suatu cabang ilmu farmakologi yakni psikofarmakologi, yang khusus mempelajari
psikofarmaka atau psikotropik. Psikofarmakologi berkembang dengan pesat sejak
ditemukannya alkaloid Rauwolfia dan klorpromazin yang ternyata efektif untuk
dan dapat pula menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa, seperti impian dan
pikiran khayali (halusinasi) serta menormalkan perilaku yang tidak normal. Oleh karena
itu, antipsikotika terutama digunakan pada psikosis, penyakit jiwa hebat tanpa keinsafan
sakit pada pasien, misalnya penyakit schizofrenia ("gila") dan psikosis mania-depresif.
Minor tranquillizers adalah anksiolitika yang digunakan pada gangguan kecemasan dan
pada gangguan tidur, seperti hipnotika.
Khasiat fisiologi dan penggunaan
Antipsikotika memiliki sejurnlah kegiatan fisiologi, yakni:
a.
Antipsikotis. Obat-obat ini digunakan untuk gangguan jiwa dengan gejala psikotis,
seperti schizofrenia, mania, dan depresi psikotis. Di samping itu, obat-obat ini digunakan
untuk menangani gangguan perilaku serius pada pasien demensia dan dengan handikap
rohani, juga untuk keadaan gelisah akut (excitatio) dan penyakit lata (p. Gilles de la
Tourette).
b.
Anxiolitis, yaitu mampu meniadakan rasa bimbang, takut, kegelisahan, dan agresi
yang hebat. Oleh karena itu, adakalanya obat ini digunakan dalam dosis rendah sebagai
minor tranquillizer pada kasus-kasus besar, di mana benzodiazepin kurang efektif,
misalnya pimozida dan thioridazin. Berhubung efek sampingnya, penggunaan
antipsikotika dalam dosis rendah sebagai anxiolitika tidak dianjurkan.
c.
Antiemetis berdasarkan perintangan neurotransmisi dari CTZ (Chemo Trigger
Zone) ke pusat muntah dengan jalan blokade reseptor dopamin, Karena sifat inilah, obat
ini sering digunakan untuk melawan mual dan muntah yang hebat, seperti pada terapi
sitostatika; sedangkan pada mabuk-jalan tidak efektif. Obat dengan daya antiemetis kuat
adalah proklorperazin dan thietilperazin. Obat lain dengan daya antimual yang baik
dalam dosis rendah adalah klorpromazin, perfenazin, triflupromazin, flufenazin, haloperidol (dan metoklopramida).
d.
Analgetis. Beberapa antipsikotika memiliki khasiat analgetis kuat, antara lain
levomepromazin, haloperidol, dan droperidol (Thalamonal). Tetapi obat ini jarang
digunakan sebagai obat antinyeri, kecuali droperidol. Obat lainnya dapat memperkuat
efek analgetika dengan jalan meningkatkan ambang-nyeri, misalnya klorpromazin.
Klorpromazin dan haloperidol adakalanya juga digunakan pada sedu (hiccup) yang tak
henti-henti dan gangguan keseimbangan bila obat lain tidak ampuh.
Mekanisme kerja
Semua psikofarmaka bersifat lipofil dan mudah masuk ke dalam CCS (cairan cerebrospinal), dan obat-obat ini melakukan kegiatannya secara langsung terhadap saraf otak.
Mekanisme kerjanya pada taraf biokimiawi belum diketahui dengan pasti, tetapi ada
petunjuk kuat bahwa mekanisme ini berhubungan erat dengan kadar neurotransmitter di
otak atau antar-keseimbangannya.
Umumnya dimulai dengan suatu obat klasik, terutama klorpromazin bila diperIukan efek
sedatif, trifluoperazin bila sedasi tidak dikehendaki, atau pimozida jika pasien justru
perIu diaktifkan. Efek antipsikotika baru menjadi nyata setelah terapi 2-3 minggu. Bila
sesudah masa latensi, obat-obat kelompok kimiawi lain. Flufenazin dekanoat digunakan
sebagai profilakse untuk mencegah kambuhnya penyakit. Thioridazin berguna pada
lansia untuk mengurangi GEP dan gejala antikolinergis. Obat-obat klasik terutama efektif
untuk meniadakan simtom pasitif, dan efeknya baru nampak setelah beberapa bulan.
Pengobatan perIu dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan lebih rendah untuk mencegah
residif, selama minimal 2 tahun dan tak jarang seumur hidup.
* Obat-obat atypis.
Obat-Obat atypis lebih ampuh untuk simtom negatif kronis, mungkin karena
pengikatannya pada reseptor -D1 dan D2 lebih kuat. Sulpirida. risperidon, dan olanzapin
dianjurkan bila obat-obat klasik tidak efektif (lagi) atau bila terjadi terIalu banyak efek
samping. Karena klozapin dapat menimbulkan agranulocytosis hebat (l-2% dari kasus),
selama terapi perIu dilakukan penghitungan lekosit setiap minggu.
* Obat-obat tambahan antikolinergika (trihexyfenidyl, orfenadrin) dan beta-blockers
(propranolol).
Obat-obat ini sering ditambahkan untuk menangguIangi efek-efek samping antipsikotika,
terutama gejala extrapiramidal (GEP). Benzodiazepin diberikan guna mengatasi
kegelisahan dan kecemasan.
* Penanganan altematif
Sejumlah psikiater (CPfeiffer, A.Hoffer) hanyalah berhasil baik dengan mengkombinasi
vitamin dan mineral tertentu dalam megadose. Penanganan ortomolekuler ini berdasarkan
penemuan bahwa pasien schizofreni mengalami defisiensi nutrien-nutrien bersangkutan.
Cara ini terdiri dari pemberian nutrien tepat dengan antar-perbandingan yang tepat ke selsel tubuh (Yun. orthos = lurus, tepat, sehat). Vitamin. Yang diberikan adalah vitamin C (3
x 1 g), niasinamida (3 x 1-2 g), piridoksin (2-3 x 250 mg), dan vitamin E (I x 400 mg).
Pilihan ini didasarkan pada sering ditemukannya kekurangan vitamin-vitamin tersebut di
otak penderita schizofrenia.
Mekanisme kerja penanganan schizofrenia
Menurut perkiraan hal ini disebabkan oleh terhambatnya pengubahan asam amino
triptofan menjadi niasinamida dalam otak, sehingga terjadi kekurangan vitamin B3 dan
kelebihan triptofan bebas. Triptofan berlebihan dapat mendorong pembentukan zat-zat
halusinogen tertentu (yang menimbulkan khayalan) dan dapat menimbulkan kelainan
pada suasana jiwa dan pengamatan. Halusinogen ini dapat dirombak oleh enzim MAO
(monoaminooksidase) yang justru memerlukan niasinamida (dan vitamin C) untuk kerjanya. Lagi pula pada schizofrenia terdapat kekurangan co-enzim NAD (nicotinamideadenine-dinucleotide) di otak yang dibentuk di bawah pengaruh niasinamida dan
berperan penting pada reaksi oksidasi dan reduksi di dalam sel. Vitamin B3 ini dan
piridoksin mutlak diperlukan untuk reaksi pengubahan triptofan, karena merupakan koenzim bagi hidroksilase.
Di samping vitamin-vitamin itu, elemen-elemen tertentu diberikan pula, yaitu:
magnesium (250 mg), zinc (50 mg), selenium (220 mcg), dan mangan (25 mg) sehari.
Dianjurkan pula diet tanpa bahan makanan yang mengandung asam amino, yang dapat
meningkatkan kadar atau aktivitas dopamin di otak, yakni kacang-kacangan (dari genus
Fiava), gluten (suatu protein dalam gandum), dan kacang tanah (mengandung banyak
glycine dan serine).
Dengan kombinasi ini, gejala penyakit ternyata dapat sangat dikurangi, sehingga banyak
pasien dapat berfungsi sosial lebih baik, bahkan dapat bekerja secara lebih kurang
normal.
Penggolongan Antipsikotika
Antipsikotika biasanya dibagi dalam dua kelompok besar, yakni obat typis atau klasik
dan obat atypis.
A.
Antipsikotika klasik, terutama efektif mengatasi simtom positif; pada umumnya
dibagi lagi dalam sejurnlah kelompok kimiawi sebagai berikut:
a.
Derivat fenotiazin: klorpromazin, levomepromazin, dan triflupromazin (Siquil)thioridazin dan periciazin- perfenazin dan flufenazin-perazin (Taxilan), trifluoperazin,
proklorperazin (Stemetil), dan thietilperazin (Torecan).
b.
c.
d.
B. Antipsikotika atypis.
Obat-obat atypis ini sulpirida, klozapin, risperidon, olanzapin, dan quetiapin (Seroquel)
bekerja efektif melawan simtom-simtom negatif, yang praktis kebal terhadap obat-obat
klasik. Lagi pula efek sampingnya lebih ringan, khususnya gangguan ekstrapiramidal dan
dyskinesia tarda.
Sertindol (Serdolect) setelah dipasarkan hanya satu tahun lebih, akhir 1998 ditarik dari
peredaran di Eropa, karena beberapa kali dilaporkan terjadinya aritmia dan kematian
mendadak (Pharma Selecta 1988; 14: 144). Obat atypis lainnya yang kini sedang
diselidiki secara klinis adalah oliperidon dan ziprasidon.
Obat-obat neroleptika dapat dibagi atas 5 kelompok utama berdasarkan struktur obat
yaitu ;
FENOTIAZIN
-
Klorpromazin
Flufetazin
Proklorperazin
Prometazin
Tioridazin
BENZISOKSAZOL
-
Risperidon
DIBENZODIAZEPIM
-
Klozapin
BUTIROFENON
-
Haloperidol
TIOXANTIN
-
Tiotiksen
Obat-obatan
dopamin
neuroleptik
Anatensol
Bristol-Myers squibb K
Flufenazina hidroklorida 2,5 mg : 5 mg
Indikasi
Kemasan
Cepezet
Mersi K
Klorpromazina hidroklorida 100 mg/tablet : 25mg/ml
Indikasi
: Pengobatan umum, neurosis, gangguan system saraf pusat yang
memerlukan penenang, pramedikasi anaestesi, hipotensi terkontrol, induksi hypothermia
dan antimuntah.
Psikiatri ; Skizofrenia, psikosis akut dan keadaan maniak akut.
Gangguan skizoefektif dan sindrom paranoid. Gangguan perilaku karena kelambatan
mental (obat tambahan)
Kontra indikasi : Pasien dengan depresi tulang belakang, gagal ginjal dan lever berat,
hipersensitivitas fenotiazina, vertigo dan mabuk perjalanan, bayi<6 bulan, sindrom Reye,
koma disebabkan barbiturate, alcohol
Efek samping : Lesu, mengantuk, pusing, sakit kepala, mulut kering, agitasi, gangguan
tidur, fotosensitif dan ruam kulit. Gangguan hati/sakit kuning kronis.
Dosis
Tablet disesuaikan dengan keadaan penderita, sebaiknya dimulai dengan dosis awal,
Clozaril
Sandoz K
Klozapin 25 mg : 100 mg
Indikasi
: Pengobatan penderita resistant skizofrenia, yaitu penderita skizofrenia
yang non responsive atau intoleransi terhadap neuroleptik klasik.
Kontra
indikasi:
Hipersensitivitas,
penderita
dengan
riwayat
granulositopenia/agranulositosis, kerusakan fungsi sum-sum tulang belakang karena obat
tertentu, epilepsy tak terkontrol, psikosis alkoholik atau zat toksik lainnya, intoksikasi
obat, kematosis, depresi SSP, bagal hepatic, renal dan jantung berat.
Efek samping
: Granulosis sitopenia dan agranulositosis dan leukositosis dan atau
eosinofilia, fatique, pusing, sedasi, mulut kering, penglihatan memudar, gangguan
pengaturan keringat dan temperature, hipersalivasi, takikardia, hipotensi postural dengan
atau tanpa sinkop, hipertensi, depresi saluran napas, mual, muntah, konstipasi
incontoinens urine dan retensi urin.
Dosis
Kemasan
:
:
Bersifat individualistic
5x10 tablet 25 mg; 5x10 tablet 100 mg.
DAFTAR PUSTAKA
Mutschler Ernst. 1991. Dinamika Obat. Bagian Farmakologi dan Toksikologi. Penerbit
ITB. Bandung.
Mycek, Mary J. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2. Widya Medika. Jakarta.
Tjay Tan Hoan. 2002. Obat-Obat Penting. PT. Elex Media Komputindo, Kelompok
Gramedia. Jakarta.
Katzung G. Bertram. 2002. Farmakologi dasar dan Klinik Edisi 2. Penerbit Saalemba
Medika. Jakarta.
Tatalaksana Farmakologi
Penggunaan obat antipsikotik baik yang tipikal maupun
atipikal merupakan pilihan terapi dan yang paling sering
digunakan untuk mengobati gejala psikotik. Penggunaan
obat tersebut terbukti memberikan perbaikan gejala dan
mempertahankan pasien dari keberulangan.
Antipsikotik Tipikal
Penggunaan obat antipsikotik tipikal dalam beberapa
penelitian terakhir mulai jarang dikarenakan efek samping