Anda di halaman 1dari 28

ANTIPSIKOTIK

Obat penyakit jiwa adalah obat-obat yang bekerja terhadap SSP dengan mempengaruhi
fungsi-fungsi psikis dan prosesproses mental. Dari banyak kelompok obat yang
memenuhi definisi ini, hanya psikofarmaka sejati yang akan dibicarakan di sini,
khususnya antipsikotika dan antidepresiva.
Di masa lampau, penyakit jiwa diobati dengan sedativa, seperti candu, bromida, dan
skopolamin, kemudian dengan barbital. Pengobatan ini sering kali dilengkapi dengan
beberapa cara lain, misalnya kerja kreatif, kur tidur (1922) atau metode metode yang
agak drastis (shock insulin, 1933 dan shock listrik, 1937). Pada schizofrenia parah
bahkan dilakukan operasi otak (leukotomia, 1935) untuk mengeluarkan sebagian otak.
Cara-cara ini menghasilkan efek yang cukup baik, terutama electroshock (Electro
Convulsive Therapy, ECT), tetapi pelaksanaannya dengan gejala yang hebat (serangan
epilepsi, kerusakan otak, hilangnya ingatan), telah menemui perlawanan dari baik pasien
maupun perawat.
Pendobrakan dalam farmakoterapi psikose telah dimulai dengan introduksi klorpromazin
pada tahun 1952. Antipsikotikum pertama ini disusul oleh alkaloida Rauwolfia reserpin
(1954), yaitu suatu obat hipertensi yang dewasa ini dianggap obsolet. Kemudian, banyak
antipsikotika lain dipasarkan, yang efektif dalam menanggulangi banyak gejala psikose.
Kemajuan selanjutnya dicapai di akhir tahun 1980-an dengan ditemukannya antipsikota
baru yang mampu menyembuhkan gejala-gejala negatif, yang kebal bagi obat-obat
terdahulu.
Obat-obat "baru" itu tidak mampu menyembuhkan 100% gangguan jiwa, namun banyak
gejalanya dapat dihalau atau dikurangi. Keadaan pasien dapat diperbaiki, hingga si pasien
dapat melanjutkan kehidupannya secara bebas dengan kualitas hidup yang baik. Lagi
pula, obat-obat ini tidak saja lebih efektif daripada obat-obat dan cara-cara lama,
melainkan mengubah drastis dan mempermudah perawatan pasien di rumah sakit
gangguan jiwa. Mereka menjadi lebih terbuka dan mau mengadakan kontak dengan para
dokter, perawat, dan terapisnya. Masa perawatannya di rumah sakit pun dapat
dipersingkat, karena sering kali pengobatannya dapat secara ambulan, artinya poliklinis,
di rumahnya sendiri. Resosialisasinya dalam masyarakat juga beriangsung lebih lancar.
Meskipun demikian, psikofarmaka ternyata tidak dapat menggantikan seluruhnya terapi
kIasik, seperti ECT pada keadaan depresi tertentu.
Psikofarmaka dalam arti sempit yang terutama digunakan untuk penanganan gangguan

jiwa, dapat digolongkan dalam 2 kelompok besar yakni :


a.
Antipsikotika, juga disebut neuroleptika atau major tranquillizers, yang bekerja
antipsikotik dan sedative. Obat ini digunakan khusus untuk bermacam-macam psikose
(antara lain schizofrenia) dan mania.
b.
Antidepresiva, yang berdaya memperbaiki suasana murung dan putus asa dan
terutama digunakan pada keadaan depresi, panic, dan fobia.
Klasifikasi. Ada ratusan penyakit jiwa dan gangguan perilaku, yang tidak mudah didiagnosa. Untuk memudahkan dan menstandarisasi diagnosa, lazimnya digunakan
klasifikasidari APA (American Psychiatric Association) dalam buku pedomannya DSM
IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi ke-4, 1996). Dalam
DSM IV ini diberikan definisi dan kriteria seksama dari semua gangguan psikiatris.
Di bawah ini diberikan ringkasan singkat dari sejumlah.gangguan jiwa terpenting yang
berkaitan dengan psikose.
a.
Psikose didefinisikan sebagai gangguan jiwa yang sangat merusak akal budi dan
pengertian (insight), timbulnya pandangan yang tidak realistis atau bizar (aneh), mempengaruhi kepribadian dan mengurangi berfungsinya si penderita. Gejala psikotis
mencakup waham (pikiran khayali), halusinasi, dan gangguan berpikir formil (tak dapat
berpikir riil), yang sering kali disebabkan oleh schizofrenia. Psikose dapat diobati dengan
antipsikotika (1).
b.
Neurose termasuk gangguan jiwa tanpa gejala psikotis. Kepribadian pasien relatif
kurang dirusak dan kontak dengan realitas tidak terganggu. Gangguan jiwa ini dapat
dianggap sebagai bentuk berlebihan dari reaksi normal terhadap situasi dan kejadiaan
dengan penuh stress. Gejalanya dapat disebut kegelisahan, cemas, murung, mudah
tersinggung, dan pelbagai perasaan tidak enak di tubuh. Penyakit ini dapat ditanggulangi
dengan tranquillizers.
c.
Sindroma Borderline, lengkapnya Borderline Personality Disorder (BPD), yang
gejalanya terletak di perbatasan antara neurose dan psikose. Sejak tahun 1987, sindrama
ini diakui sebagai penyakit jiwa dan dalam DSM 1996 dimuat kriteria untuk diagnosanya.
Gejalanya banyak sekali, yang utama antara lain impulsivitas (minuman keras /narkotika,
penyalahgunaan, mengendarai mobil secara membahayakan, hasrat kuat untuk membeli),
instabilitas emosional dengan perubahan suasana jiwa secara mendadak, dan percobaan
bunuh diri, kesulitan membuat kontak, karena menganggap segala sesuatu sebagai hitam-

putih. Ciri-ciri lainnya adalah ketakutan ditinggalkan dan sukar hidup sendiri, juga
kecurigaan kuat dengan hilangnya hubungan antara daya berpikir dan perasaan (disosiasi), masa-masa psikose singkat, dan masa-masa depresi. Akibat gejala-gejala ini,
penderita BPD mengalami banyak kesulitan dalam pergaulan dan cenderung menarik diri
dari kehidupan sosial. Pengobatan dilakukan poliklinis dengan kombinasi dari suatu
bentuk psikoterapi khusus (M.Lineham: Terapi perlakuan dialectis, 2,3) dan
psikofarmaka (antipsikotika, antidepresiva, atau obat-obat yang meregulasi suasana,
seperti litium).
d.
Mania didefinisikan sebagai kecenderungan patologis untuk suatu aktivitas
tertentu, yang tidak dapat dikendalikan, misalnya mengutil (kleptomania). Suasana jiwa
pasien muluk dan seolah-olah ada paksaan untuk bertindak, melakukan aktivitas
berlebihan, kegelisahan, dan perilaku tak terkendali. Bila masa-masa mania diselingi
masa-masa depresi, gangguan ini disebut depresi manis, Antidepresiva. Penanganan
mania dilakukan dengan antipsikotika, khususnya klorpromazin, haloperidol, dan
pimozida.

Schizofrenia (4,5,6).
Schizofrenia merupakan gangguan jiwa yang dalam kebanyakan kasus bersifat sangat
serius, berkelanjutan, dan dapat mengakibatkan kendala sosial, emosional, dan kognitif
(pengenalan, pengetahuan, daya membedakan; Lat. cognitus = dikenali). Akan tetapi, ada
pula banyak varian lain yang kurang serius. Schizofrenia adalah penyebab terpenting
gangguan psikotis, di mana periode psikotis diselingi periode 'normal', saat pasien bisa
berfungsi baik. Mulainya penyakit sering kali secara menyelinap, adakalanya juga dengan
mendadak. Pada pria, biasanya timbul antara usia 15-25 tahun, jarang di atas 30 tahun,
sedangkan pada wanita antara 25-35 tahun.
Penyebabnya masih belum diketahui, mungkin berkaitan dengan terganggunya
kesimbangan sistem kimiawi rumit di otak. Dewasa ini hanya ditetapkan adanya faktor
keturunan dengan faktor lingkungan sebagai pemeran penting.
Skizofrenia merupakan psikosis tipe khusus, yaitu gangguan mental yang disebabkan
oleh disfungsi otak yang diwariskan. Sifat yang menonjol ialah delusi, halusinasi (sering
dalam bentuk suara), gangguan pemikiran atau bicara. Gangguan mental ini merupakan
penyakit yang sering terjadi di antara 1 % penduduk atau kira-kira sama dengan insidens

diabetes melitus. Pada awalnya, penderita terserang penyakit selama masa remaja,
bersifat kronis dan " lumpuhkan". Skizofrenia mempunyai komponen genetik yang kuat
dan barangkali disertai kelainan biokimiawi dasar, akibat aktivitas berlebihan neuron
dopaminergik mesolimbik.
Istilah antipsikosis dan neuroleptik sama-sama digunakan untuk menunjuk sekelompok
obat yang tidak hanya dipakai khusus untuk skizofrenia, namun juga efektif untuk
beberapa jenis psikosis dan gaduh gelisah.
Obat-obat antipsikosis telah digunakan secara klinis selama 50 tahun. Reserpine dan
chlorpromazine merupakan obat pertama yang digunakan untuk skizofrenia. Meskipun
chlorpromazine kadangkala masih digunakan untuk terapi psikosis, obat-obat perintis ini
telah banyak digantikan oleh obat-obat baru. Bagaimanapun juga, dampak keuntungan
obat-abat tersebut terhadap dunia kedokteran jiwa-terutama dalam penanganan
skizofrenia sangatlah besar. Jumlah pasien yang membutuhkan rawat inap di rumah sakit
jiwa telah banyak berkurang, dan kecenderungan gangguan jiwa lebih banyak ke arah
dasar biologis.
Obat-obat neuroleptika juga disebut obat antiskizofren, obat antipsikotik atau
transquilizer mayor) terutama digunakan untuk mengobati skizofrenia tetapi juga efektif
untuk psikotik lainnya seperti keadaan maniak dan delirium. Obat-obat neuroleptika
tradisional (Iama) adalah inhibitor kompetitif pada berbagai reseptor, tetapi efek
antipsikotiknya mencerminkan penghambatan kompetitif dari reseseptor dopamin. Obatobat ini berbeda dalam potensinya tetapi tidak ada satu obatpun yang secara klinik lebih
efektif dari yang lain. Sebaliknya, obat antipsikotik "atipikal" yang lebih baru,
aktivitasnya yang unik adalah penghambatan reseptor serotonin. Terapi telah
menunjukkan ke arah penggunaan obat dengan potensi tinggi, seperti tiotiksen,
haloperidol, dan flufenazin. Klorpromazin prototip obat neuroleptika, jarang digunakan
karena sering terjadi efek samping yang berbahaya. Obat neuroleptika bukan untuk
pengobatan kuratif tidak menghilangkan gangguan pemikiran yang fundamental, tetapi
sering memungkinkan pasien psikotik berfungsi dalam lingkungnya yang suportif.
Psikotropik ialah obat yang bekerja pada atau mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau
pengalaman (WHO, 1966). Sebenarnya psikotropik baru diperkenalkan sejak lahirnya
suatu cabang ilmu farmakologi yakni psikofarmakologi, yang khusus mempelajari
psikofarmaka atau psikotropik. Psikofarmakologi berkembang dengan pesat sejak
ditemukannya alkaloid Rauwolfia dan klorpromazin yang ternyata efektif untuk

mengobati kelainan psikiatrik. Sekarang psikofarmakologi menjadi titik pertemuan antara


cabang ilmu klinik dan preklinik yaitu: farmakologi, fisiologi, biokimia, genetika serta
ilmu biomedik lain. Berbeda dengan antibiotik. pengobatan dengan psikotropik bersifat
simtomatik dan lebih didasarkan atas pengetahuan empirik. Hal ini dapat dipahami,
karena patofisiologi penyakit jiwa itu sendiri belum jelas. Psikotropik hanya mengubah
keadaan jiwa penderita sehingga lebih kooperatif dan dapat menerima psikoterapi dengan
lebih baik.
Dewasa ini terapi renjatan Iistrik (ECT, electro convulsive therapy) masih digunakan
dalam psikiatri, terutama untuk mengatasi depresi hebat dengan kecenderungan bunuh
diri. Biasanya ECT Iebih cepat menghilangkan depresi daripada obat. Keuntungan
penggunaan obat ialah pemberiannya Iebih mudah, dapat digunakan untuk pengobatan
masal, relatif murah (penderita tidak memerlukan perawatan di rumah sakit) dan
pemberiannya dapat dilaksanakan lebih cepat pada penderita yang tidak kooperatif.
Berdasarkan penggunaan klinik, psikotropik dibagi menjadi 4 golongan yaitu : (1)
Antipsikosis (major tranquilizer, neuroleptik) ;
(2) Antiansietas (antineurosis, minor tranquilizer) ;
(3) Antidepresin; dan
(4)Psikotogenik (psikotomimetik, psikodisleptik, halusinogenik).
Neuroleptik bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronik. Kegunaannya pada psikoneurosis dan penyakit psikosomatik belum jelas. Ciri terpenting obat neuroleptik ialah :
(1) Berefek antipsikosis, yaitu berguna mengatasi agresivitas, hiperaktivitas dan labilitas
emosional pada pasien psikosis. Efek ini tidak berhubungan langsung dengan efek
sedatif;
(2) Dosis besar tidak menyebabkan koma yang dalam ataupun anestesia;
(3) Dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversibel atau ireversibel; dan
(4) Tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan psikik dan fisik.
Antipsikotika, juga disebut neuroleptika atau major tranquillizers, adalah obat-obat yang
dapat menekan fungsi-fungsi psikis tertentu tanpa mempengaruhi fungsi-fungsi umum,
seperti berpikir dan kelakuan normal. Obat-obat ini dapat meredakan emosi dan agresi,

dan dapat pula menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa, seperti impian dan
pikiran khayali (halusinasi) serta menormalkan perilaku yang tidak normal. Oleh karena
itu, antipsikotika terutama digunakan pada psikosis, penyakit jiwa hebat tanpa keinsafan
sakit pada pasien, misalnya penyakit schizofrenia ("gila") dan psikosis mania-depresif.
Minor tranquillizers adalah anksiolitika yang digunakan pada gangguan kecemasan dan
pada gangguan tidur, seperti hipnotika.
Khasiat fisiologi dan penggunaan
Antipsikotika memiliki sejurnlah kegiatan fisiologi, yakni:
a.
Antipsikotis. Obat-obat ini digunakan untuk gangguan jiwa dengan gejala psikotis,
seperti schizofrenia, mania, dan depresi psikotis. Di samping itu, obat-obat ini digunakan
untuk menangani gangguan perilaku serius pada pasien demensia dan dengan handikap
rohani, juga untuk keadaan gelisah akut (excitatio) dan penyakit lata (p. Gilles de la
Tourette).
b.
Anxiolitis, yaitu mampu meniadakan rasa bimbang, takut, kegelisahan, dan agresi
yang hebat. Oleh karena itu, adakalanya obat ini digunakan dalam dosis rendah sebagai
minor tranquillizer pada kasus-kasus besar, di mana benzodiazepin kurang efektif,
misalnya pimozida dan thioridazin. Berhubung efek sampingnya, penggunaan
antipsikotika dalam dosis rendah sebagai anxiolitika tidak dianjurkan.
c.
Antiemetis berdasarkan perintangan neurotransmisi dari CTZ (Chemo Trigger
Zone) ke pusat muntah dengan jalan blokade reseptor dopamin, Karena sifat inilah, obat
ini sering digunakan untuk melawan mual dan muntah yang hebat, seperti pada terapi
sitostatika; sedangkan pada mabuk-jalan tidak efektif. Obat dengan daya antiemetis kuat
adalah proklorperazin dan thietilperazin. Obat lain dengan daya antimual yang baik
dalam dosis rendah adalah klorpromazin, perfenazin, triflupromazin, flufenazin, haloperidol (dan metoklopramida).
d.
Analgetis. Beberapa antipsikotika memiliki khasiat analgetis kuat, antara lain
levomepromazin, haloperidol, dan droperidol (Thalamonal). Tetapi obat ini jarang
digunakan sebagai obat antinyeri, kecuali droperidol. Obat lainnya dapat memperkuat
efek analgetika dengan jalan meningkatkan ambang-nyeri, misalnya klorpromazin.
Klorpromazin dan haloperidol adakalanya juga digunakan pada sedu (hiccup) yang tak
henti-henti dan gangguan keseimbangan bila obat lain tidak ampuh.

Mekanisme kerja
Semua psikofarmaka bersifat lipofil dan mudah masuk ke dalam CCS (cairan cerebrospinal), dan obat-obat ini melakukan kegiatannya secara langsung terhadap saraf otak.
Mekanisme kerjanya pada taraf biokimiawi belum diketahui dengan pasti, tetapi ada
petunjuk kuat bahwa mekanisme ini berhubungan erat dengan kadar neurotransmitter di
otak atau antar-keseimbangannya.

Penanganan schizofrenia (11,12,13)


Kesulitan utama penanganan semua gangguan jiwa adalah tidak adanya keinsafan sakit
pada kebanyakan pasien. Mereka menganggap halusinasi dan pikiran khayalnya sebagai
sesuatu yang sejati/riil dan selalu berpikir dirinya tidak sakit, sehingga sering kali
menolak minum obat. Lagi pula undang-undang yang ketat di banyak negara tidak
memungkinkan pengobatan/ opname dipaksakan bagi seseorang tanpa persetujuannya.
Pemaksaan hanya diizinkan jika pasien membahayakan dirinya sendiri atau orang lain.
Dengan demikian, tak jarang penderita psikotis hebat tidak bisa ditolong. Penderita
umumnya tidak bisa memelihara kebutuhan dasar dirinya dan berakhir sebagai
pengembara di jalan-jalan kota.
Jelaslah bahwa setelah masa psikose lewat, juga kesetiaan terapinya (drug compliance)
kurang besar, yang tak jarang mengakibatkan gagalnya pengobatan.
Schizofrenia tidak dapat disembuhkan, penanganannya bersifat simtomatis, yakni
menghalau gejala-gejalanya dan kemudian mencegah kambuhnya lagi. Di samping itu,
rehabilitasi psikososialnya sangat penting untuk reintegrasi pasien dalam masyarakat.
* Psikoterapi.
Dewasa ini para ilmiawan sepaham bahwa penanganan schizofrenia paling efektif terdiri
atas kombinasi dari farmakoterapi bersama psikoterapi, termasuk terapi kelakuan
kognitif, yang juga disebut "terapi bicara". Dokter/psikiater berusaha membangun
hubungan baik dengan pasiennya dan memperoleh kepercayaan mereka, juga mencoba
membantu mengatasi problema psikis mereka, serta memberikan petunjuk bagaimana
menghadapi masalah. Di samping itu, penting sekali untuk menunjang pula secara moril
keluarganya yang lazimnya sangat frustasi mengenai pergaulannya dengan pasien.
* Obat-obat klasik.

Umumnya dimulai dengan suatu obat klasik, terutama klorpromazin bila diperIukan efek
sedatif, trifluoperazin bila sedasi tidak dikehendaki, atau pimozida jika pasien justru
perIu diaktifkan. Efek antipsikotika baru menjadi nyata setelah terapi 2-3 minggu. Bila
sesudah masa latensi, obat-obat kelompok kimiawi lain. Flufenazin dekanoat digunakan
sebagai profilakse untuk mencegah kambuhnya penyakit. Thioridazin berguna pada
lansia untuk mengurangi GEP dan gejala antikolinergis. Obat-obat klasik terutama efektif
untuk meniadakan simtom pasitif, dan efeknya baru nampak setelah beberapa bulan.
Pengobatan perIu dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan lebih rendah untuk mencegah
residif, selama minimal 2 tahun dan tak jarang seumur hidup.
* Obat-obat atypis.
Obat-Obat atypis lebih ampuh untuk simtom negatif kronis, mungkin karena
pengikatannya pada reseptor -D1 dan D2 lebih kuat. Sulpirida. risperidon, dan olanzapin
dianjurkan bila obat-obat klasik tidak efektif (lagi) atau bila terjadi terIalu banyak efek
samping. Karena klozapin dapat menimbulkan agranulocytosis hebat (l-2% dari kasus),
selama terapi perIu dilakukan penghitungan lekosit setiap minggu.
* Obat-obat tambahan antikolinergika (trihexyfenidyl, orfenadrin) dan beta-blockers
(propranolol).
Obat-obat ini sering ditambahkan untuk menangguIangi efek-efek samping antipsikotika,
terutama gejala extrapiramidal (GEP). Benzodiazepin diberikan guna mengatasi
kegelisahan dan kecemasan.
* Penanganan altematif
Sejumlah psikiater (CPfeiffer, A.Hoffer) hanyalah berhasil baik dengan mengkombinasi
vitamin dan mineral tertentu dalam megadose. Penanganan ortomolekuler ini berdasarkan
penemuan bahwa pasien schizofreni mengalami defisiensi nutrien-nutrien bersangkutan.
Cara ini terdiri dari pemberian nutrien tepat dengan antar-perbandingan yang tepat ke selsel tubuh (Yun. orthos = lurus, tepat, sehat). Vitamin. Yang diberikan adalah vitamin C (3
x 1 g), niasinamida (3 x 1-2 g), piridoksin (2-3 x 250 mg), dan vitamin E (I x 400 mg).
Pilihan ini didasarkan pada sering ditemukannya kekurangan vitamin-vitamin tersebut di
otak penderita schizofrenia.
Mekanisme kerja penanganan schizofrenia
Menurut perkiraan hal ini disebabkan oleh terhambatnya pengubahan asam amino

triptofan menjadi niasinamida dalam otak, sehingga terjadi kekurangan vitamin B3 dan
kelebihan triptofan bebas. Triptofan berlebihan dapat mendorong pembentukan zat-zat
halusinogen tertentu (yang menimbulkan khayalan) dan dapat menimbulkan kelainan
pada suasana jiwa dan pengamatan. Halusinogen ini dapat dirombak oleh enzim MAO
(monoaminooksidase) yang justru memerlukan niasinamida (dan vitamin C) untuk kerjanya. Lagi pula pada schizofrenia terdapat kekurangan co-enzim NAD (nicotinamideadenine-dinucleotide) di otak yang dibentuk di bawah pengaruh niasinamida dan
berperan penting pada reaksi oksidasi dan reduksi di dalam sel. Vitamin B3 ini dan
piridoksin mutlak diperlukan untuk reaksi pengubahan triptofan, karena merupakan koenzim bagi hidroksilase.
Di samping vitamin-vitamin itu, elemen-elemen tertentu diberikan pula, yaitu:
magnesium (250 mg), zinc (50 mg), selenium (220 mcg), dan mangan (25 mg) sehari.
Dianjurkan pula diet tanpa bahan makanan yang mengandung asam amino, yang dapat
meningkatkan kadar atau aktivitas dopamin di otak, yakni kacang-kacangan (dari genus
Fiava), gluten (suatu protein dalam gandum), dan kacang tanah (mengandung banyak
glycine dan serine).
Dengan kombinasi ini, gejala penyakit ternyata dapat sangat dikurangi, sehingga banyak
pasien dapat berfungsi sosial lebih baik, bahkan dapat bekerja secara lebih kurang
normal.
Penggolongan Antipsikotika
Antipsikotika biasanya dibagi dalam dua kelompok besar, yakni obat typis atau klasik
dan obat atypis.
A.
Antipsikotika klasik, terutama efektif mengatasi simtom positif; pada umumnya
dibagi lagi dalam sejurnlah kelompok kimiawi sebagai berikut:
a.
Derivat fenotiazin: klorpromazin, levomepromazin, dan triflupromazin (Siquil)thioridazin dan periciazin- perfenazin dan flufenazin-perazin (Taxilan), trifluoperazin,
proklorperazin (Stemetil), dan thietilperazin (Torecan).
b.

Derivat thioxanthen: klorprotixen (Truxal) dan zuklopentixol (Cisordinol).

c.

Derivat butirofenon: haloperidol, bromperidol, pipamperon, dan droperidol.

d.

Derivat butilpiperidin: pimozida, fluspirilen, dan penfluridol.

B. Antipsikotika atypis.
Obat-obat atypis ini sulpirida, klozapin, risperidon, olanzapin, dan quetiapin (Seroquel)
bekerja efektif melawan simtom-simtom negatif, yang praktis kebal terhadap obat-obat
klasik. Lagi pula efek sampingnya lebih ringan, khususnya gangguan ekstrapiramidal dan
dyskinesia tarda.
Sertindol (Serdolect) setelah dipasarkan hanya satu tahun lebih, akhir 1998 ditarik dari
peredaran di Eropa, karena beberapa kali dilaporkan terjadinya aritmia dan kematian
mendadak (Pharma Selecta 1988; 14: 144). Obat atypis lainnya yang kini sedang
diselidiki secara klinis adalah oliperidon dan ziprasidon.
Obat-obat neroleptika dapat dibagi atas 5 kelompok utama berdasarkan struktur obat
yaitu ;
FENOTIAZIN
-

Klorpromazin

Flufetazin

Proklorperazin

Prometazin

Tioridazin

BENZISOKSAZOL
-

Risperidon

DIBENZODIAZEPIM
-

Klozapin

BUTIROFENON
-

Haloperidol

TIOXANTIN
-

Tiotiksen

Obat-obatan

dopamin

neuroleptik

PENURUNAN RESPON INTRASELULER


Gambar. Kerja menghambat dopamin obat-obatan neuroleptika

Jenis-Jenis Obat trankuilizer mayor

Anatensol
Bristol-Myers squibb K
Flufenazina hidroklorida 2,5 mg : 5 mg
Indikasi

: Trankuilizer major, gelisah, ketegangan dan gangguan mental lain.

Kontra indikasi : Kerusakan kulit otak bawah komatos, hipersensitivitas.


Perhatian
Dosis

: Dilaporkan adanya tardive dyskenesias


: Tablet disesuaikan keadaan, injeksi dosis awal : 0,5 ml
Intramuscular dengan pemberian 2,5-10 mg/hari setiap 6-8 jam.

Kemasan

: Botol 100 tablet 2,5 mg : 100 tablet 5 mg.

Cepezet
Mersi K
Klorpromazina hidroklorida 100 mg/tablet : 25mg/ml
Indikasi
: Pengobatan umum, neurosis, gangguan system saraf pusat yang
memerlukan penenang, pramedikasi anaestesi, hipotensi terkontrol, induksi hypothermia
dan antimuntah.
Psikiatri ; Skizofrenia, psikosis akut dan keadaan maniak akut.
Gangguan skizoefektif dan sindrom paranoid. Gangguan perilaku karena kelambatan
mental (obat tambahan)
Kontra indikasi : Pasien dengan depresi tulang belakang, gagal ginjal dan lever berat,
hipersensitivitas fenotiazina, vertigo dan mabuk perjalanan, bayi<6 bulan, sindrom Reye,
koma disebabkan barbiturate, alcohol
Efek samping : Lesu, mengantuk, pusing, sakit kepala, mulut kering, agitasi, gangguan
tidur, fotosensitif dan ruam kulit. Gangguan hati/sakit kuning kronis.
Dosis

Tablet disesuaikan dengan keadaan penderita, sebaiknya dimulai dengan dosis awal,

kemudian ditingkatkan secara berangsur-angsur. Dewasa : 10-25 mg tiap 4-6 jam.


Psikosis 200-800mg/hari. Anak-anak 0,5 mg/kgBB tiap 4-6jam(bila sangat perlu).
Ampul : skizefrenia dan psikosis lain : dewasa( IM) : Untuk meringankan gejala-gejala
akut : 25-50 mg setiap 6-8 jam. Anak 1-5 tahun (IM) : 0,5 mg/kgBB setiap 6-8 jam. Anak
6-12 tahun : 0,5 mg/kgBB setiap 6-8 jam. Tidak boleh melebihi 75 mg setiap hari.
Penderita usia lanjut atau debil : dosis lebih rendah dari dewasa (misalnya 25 mg setiap 8
jam) pada umumnya mencukupi. Untuk mual dan muntah yang berat : Dewasa (IM) awal
25 mg selanjutnya 25-50 mg setiap 3-4 jam sampai muntah berhenti, terapi selanjutnya
secara oral. Anak 1-5 tahun (IM) : 0,5 mg/kgBB tiap 6-8 jam. Anak 6-12 tahun : 0,5
mg/kgBB tiap 6-8 jam, maksimal 75 mg sehari.
Kemasan

: Botol 250 tablet salut selaput : Box, 10 ampul @ 2 ml injeksi.

Clozaril
Sandoz K
Klozapin 25 mg : 100 mg
Indikasi
: Pengobatan penderita resistant skizofrenia, yaitu penderita skizofrenia
yang non responsive atau intoleransi terhadap neuroleptik klasik.
Kontra
indikasi:
Hipersensitivitas,
penderita
dengan
riwayat
granulositopenia/agranulositosis, kerusakan fungsi sum-sum tulang belakang karena obat
tertentu, epilepsy tak terkontrol, psikosis alkoholik atau zat toksik lainnya, intoksikasi
obat, kematosis, depresi SSP, bagal hepatic, renal dan jantung berat.
Efek samping
: Granulosis sitopenia dan agranulositosis dan leukositosis dan atau
eosinofilia, fatique, pusing, sedasi, mulut kering, penglihatan memudar, gangguan
pengaturan keringat dan temperature, hipersalivasi, takikardia, hipotensi postural dengan
atau tanpa sinkop, hipertensi, depresi saluran napas, mual, muntah, konstipasi
incontoinens urine dan retensi urin.
Dosis
Kemasan

:
:

Bersifat individualistic
5x10 tablet 25 mg; 5x10 tablet 100 mg.

DAFTAR PUSTAKA

Mutschler Ernst. 1991. Dinamika Obat. Bagian Farmakologi dan Toksikologi. Penerbit
ITB. Bandung.

Mycek, Mary J. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2. Widya Medika. Jakarta.

Tjay Tan Hoan. 2002. Obat-Obat Penting. PT. Elex Media Komputindo, Kelompok
Gramedia. Jakarta.

Ganiswara Sulistia G. 1995. Farmakologi dan Toksikologi. Fakultas Kedokteran UI.


Jakarta.

Katzung G. Bertram. 2002. Farmakologi dasar dan Klinik Edisi 2. Penerbit Saalemba
Medika. Jakarta.

Tatalaksana Farmakologi
Penggunaan obat antipsikotik baik yang tipikal maupun
atipikal merupakan pilihan terapi dan yang paling sering
digunakan untuk mengobati gejala psikotik. Penggunaan
obat tersebut terbukti memberikan perbaikan gejala dan
mempertahankan pasien dari keberulangan.
Antipsikotik Tipikal
Penggunaan obat antipsikotik tipikal dalam beberapa
penelitian terakhir mulai jarang dikarenakan efek samping

dan ketersediaan obat antipsikotik atipikal yang semakin


luas. Haloperidol dan trifluoperazine dengan dosis 10-30 mg/
hari memberikan perbaikan pada gejala psikotik pasien usia
lanjut. Penggunaan depot juga berguna bagi pasien usia
lanjut yang memiliki masalah penggunaan secara oral. Dosis
rendah flupenazine dekanoat (9 mg tiap 2 minggu) terbukti
dapat memperbaiki gejala psikotik pasien.
Antipsikotik Atipikal
Penggunaan antipsikotik atipikal saat ini merupakan lini
pertama pengobatan gejala psikotik pasien usia lanjut karena
efek sampingnya yang lebih dapat ditolerir daripada
antipsikotik tipikal ataupun obat golongan non antipsikotik.
Namun demikian, tidak banyak penelitian yang
menggunakan sampel populasi pasien usia lanjut sehingga
efikasi dan keamanannya secara ilmiah masih perlu diteliti
lebih lanjut. Secara klinis antipsikotik atipikal telah terbukti
mempunyai efektifitas dan keamanan yang cukup dalam
mengobati gejala psikotik pasien usia lanjut.
Obat yang akan disebutkan selanjutnya adalah obatobat
antipiskotik atipikal yang saat ini beredar di Indonesia
dan telah disetujui oleh Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM) Indonesia.
Risperidone

Dibandingkan dengan semua jenis antipsikotik atipikal,


risperidone merupakan yang paling banyak diteliti. Hal
tersebut disebabkan efektifitas risperidone, dapat ditoleransi
pada dosis rendah (1,5-6mg/hari) dan memberikan perbaikan
yang nyata pada pasien skizofrenia usia lanjut.
Rainer et al meneliti penggunaan Risperidone dalam
rentang dosis fleksibel 0,5-2mg/hari untuk mengatasi agresi,
agitasi dan gangguan psikotik pada 34 pasien demensia rawat
inap dengan rata-rata usia 76 tahun. Hasilnya terjadi
perbaikan gejala yang dinilai dari Clinical Global Impression
(CGI) pada 82% responden penelitian. Frekuensi dan
keparahan halusinasi, waham, agresi dan iritabilitas juga
menurun, yang dilihat dari rating Neuropsychiatric Inventory
(NPI). Penggunaan risperidone pada kelompok tersebut
juga tidak membuat perubahan pada fungsi kognitif pasien
yang dilihat melalui skor Mini-Mental State Examination
(MMSE), Age Concentration Test [AKT] dan Brief Syndrome
Test [SKT]. Risperidone juga secara umum dapat ditoleransi
dan tidak menimbulkan efek samping ekstra piramidial yang
bermakna.6
Penelitian yang melibatkan lebih banyak pasien dan
tempat dilakukan oleh Arriola et al pada 263 pasien dengan
rata-rata usia 75,5 tahun. Dosis risperidone yang digunakan

pada penelitian (rata-rata(SD)) adalah 1,4 (0,7) mg/day pada


1 bulan dan 1,5 (0,8) mg/hari pada 3 bulan. Perbaikan gejala
diukur menggunakan Neuropsychiatric Inventory (NPI) dan
skala Clinical Global Impression of Severity (CGI-S). Hasilnya
terdapat penurunan skor NPI dan CGI-S yang secara statistik
bermakna. Perbaikan gejala terutama pada gejala agitasi/
agresif dan ganguan tidur. Penelitian tersebut juga mencatat
adanya perbaikan dari gejala ekstrapiramidal.7
Penelitian lain melibatkan pengumpulan data dari tiga
penelitian acak dengan menggunakan plasebo (randomized,
placebo-controlled trials) untuk melihat efikasi dan keamanan
risperidone dalam mengobati agitasi, afresi dan gejala
psikosis pada pasien demensia usia lanjut pada panti werdha.
Dosis rata-rata yang digunakan adalah 1mg/hari. Ditemukan
adanya perbaikan skor CGI, Cohen-Mansfield agitation inventory
(CMAI) dan behavioral pathology in Alzheimers
disease (BEHAVE-AD) pada semua responden penelitian
yang menggunakan risperidone dibandingkan plasebo.
Penelitian tersebut seperti penelitian yang lain yang
menggunakan risperidone juga tidak menemukan adanya efek
samping ortostatik, antikolinergik, jatuh dan penurunan
kognitif pada penggunaan sesuai rentang dosis pada
penelitian.8

Selain untuk mengatasi gejala agresivitas, agitasi dan


psikotik yang berkaitan dengan demensia, risperidone juga
digunakan pada pasien usia lanjut yang menderita skizofrenia.
Kepustakaan mencatat risperidone dan olanzapine adalah
dua antipsikotik atipikal yang paling sering digunakan pada
populasi pasien usia lanjut. Penelitian tersamar berganda
dilakukan selama 8 minggu terhadap 175 pasien rawat jalan,
pasien rawat inap dan panti werdha yang berusia 60 tahun ke
atas menggunakan risperidone (1 mg to 3 mg/hari) atau
olanzapine (5 mg to 20 mg/hari). Hasilnya terdapat perbaikan
pada nilai skor PANSS pada kedua kelompok. Efek samping
ektrapiramidal terlihat pada 9,2% pasien kelompok risperidone
dan 15,9% pasien kelompok olanzapine. Secara umum skor
total dari Extrapyramidal Symptom Rating Scale menurun pada
kedua kelompok di akhir penelitian. Peningkatan berat badan
juga didapatkan di dua kelompok namun lebih jarang terjadi
pada pasien yang menggunakan risperidone.9
Quetiapine
Pada tinjauan pustaka yang dilakukan oleh Zayas dan
Grossberg quetiapine dilakukan aman untuk pasien geriatri
dan tidak dihubungkan dengan peningkatan berat badan.
Untuk menghindari efek samping yang sering timbul pada
usia lanjut; hipotensi postural, dizziness dan agitasi,

direkomendasikan permulaan dosis awal yang rendah (25mg)


yang dititrasi sampai 100-300mg/hari.3
446
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 9, September 2009
Tatalaksana Psikofarmaka dalam Manajemen Gejala Psikosis
Penelitian lain mengatakan bahwa efek samping yang
sering mucul akibat penggunaan quetiapine adalah somnolen,
kelemahan bagian kaki bawah dan dizziness. Angka kejadian
sindrom ekstrapiramidal adalah 7% dari total 91 responden
yang mengikuti penelitian. Tidak didapatkan adanya
gangguan pada sistem kardiovaskuler dan jatuh pada
penelitian tersebut.10
Quetiapine juga terbukti bermanfaat dalam penanganan
gejala psikotik yang muncul akibat penggunaan obat agonis
dopamin pada pasien Parkinson. Penelitian yang dilakukan
oleh Reddy et al menyebutkan bahwa 80% pasien Parkinson
mengalami perbaikan dalam gejala psikotiknya setelah
pengobatan quetiapine dengan dosis rata-rata 54mg/hari
selama 10 bulan.11 Selain memperbaiki gejala psikotik pada
pasien parkinson yang memakan obat agonis dopamin,
quetiapine juga terbukti mempertahankan kognitif pasien
dalam penelitian yang dilakukan Juncos et al.
Penelitian Yang et al pada 91 orang pasien usia lanjut

menyebutkan terjadi peningkatan nilai skor Global Impression


Improvement (CGI) pada 89% sampel yang ikut serta
dalam penelitian tersebut. Lebih jauh lagi terlihat adanya
pengurangan skor sebesar 39,5% dari Brief Psychiatric Rating
Scale (BPRS). Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa
quetiapine mempunyai efikasi dan keamanan yang baik pada
pengobatan pasien psikosis usia lanjut.10
Laporan kasus dari sepuluh pasien usia lanjut penderita
skizofrenia kronik yang tidak mendapatkan respon dari suatu
jenis antipsikotik atipikal sehingga diganti dengan
quetiapine. Skor BPRS (50,1 S.D.13,6) kesepuluh pasien
tersebut secara signifikan (p=0,001)mengalami perbaikan
setelah 6 bulan pengobatan tanpa adanya efek samping dalam
pergerakan motorik dan peningkatan berat badan. Dosis ratarata
yang dipakai pada percobaan tersebut adalah 391mg/
hari (S.D.245), dengan rentang dosis antara 50-800mg/hari.12
Penelitian yang dilakukan oleh Rainer et al yang
membandingkan penggunaan quetiapine dengan risperidone
pada pasien dengan gangguan perilaku dan psikologis karena
demensianya memperlihatkan bahwa pada dosis rendah
keduanya secara sebanding efektif dan dapat ditolerir pada
pengobatan pasien yang mengalami gangguan perilaku dan
psikologis akibat demensia. Penelitian tersebut juga

memperlihatkan tidak adanya perubahan pada fungsi kognitif


yang diukur dengan skor MMSE dan Ageadjusted Concentration
Test (AKT) pada dua kelompok yang mendapat obat
yang berbeda. Pada penelitian tersebut rerata dosis
quetiapine yang digunakan adalah 7740mg/hari sedangkan
risperidone 0,90,3mg/hari.13 Penelitian perbandingan seperti
itu juga dilakukan oleh Morgente et al dengan membandingkan
quetiapine dengan olanzapine pada pengobatan
pasien parkinson yang mengalami gangguan psikotik akibat
obat agonis dopamin yang digunakan. Dari masing-masing
20 pasien yang menggunakan quetiapine dan clozapine,
terjadi perbaikan nilai BPRS dan CGI di kedua kelompok
pengobatan. Dosis yang digunakan pada percobaan tersebut
adalah 9147mg/hari untuk quetiapine dan 2612mg/hari
untuk clozapine.14
Jaskiw et al pada suatu percobaan open-label multisenter
mengatakan keamanan penggunaan dosis terbagi sampai
750mg/hari. Namun, oleh karena belum adanya penelitian lain
yang menggunakan dosis sebesar itu pada pasien geriatri,
disarankan untuk hanya menggunakan dosis setinggi itu
pada pasien yang benar-benar membutuhkan.3
Olanzapine
Data mengenai penggunaan olanzapine lebih terbatas

daripada risperidone. Pada penelitian yang dilakukan oleh


Madhusoodanan et al, olanzapine terbukti aman dan efektif
pada populasi pasien geriatri dan menimbulkan efek samping
ekstrapiramidal yang minimal serta tidak mempengaruhi
kondisi medis umum pasien.3
Olanzapine juga dihubungkan dengan manfaat terhadap
kognisi pasien geriatri daripada dengan penggunaan haloperidol.
Pada penelitian selama 6 minggu berhubungan
dengan penyakit Alzheimer, tidak terdapat peningkatan
kejadian sindrom ekstrapiramidal, penurunan kognitif dan
efek antikolinergik sentral pada pasien dengan penggunaan
olanzapine dibandingkan dengan plasebo.4
Penelitian yang melibatkan 94 pasien geriatri dengan
gangguan psikosis yang dirawat inap memperlihatkan
terjadinya perubahan yang bermakna dari CGI-I dengan
penurunan gejala dari data awal penelitian rata-rata sebesar
52,6%. Hal ini juga terjadi pada skor Brief Psychiatry Rating
Scale (BPRS). Dosis olanzapine yang digunakan berkisar
antara 5-20mg/hari (rata-rata 10,1mg/hari). Pada penelitian
tersebut efek samping yang sering muncul adalah somnolen,
dizziness, bradikinesia dan kelemahan kaki. Terjadi juga
peningkatan berat badan dan kadar gula serta trigliserida
puasa.15

Penelitian yang dilakukan Street et al dengan jumlah


pasien 204 membandingkan olanzapine dengan plasebo dalam
memperbaiki gejala psikologis dan perilaku pasien demensia
Alzheimer. Penelitian tersebut memperlihatkan terjadinya
perbaikan gejala psikologis dan perilaku pasien demensia
Alzheimer dilihat dari skor Neuropsychiatric Inventory-Nursing
Home version (NPI-NH). Dosis olanzapine yang
digunakan pada penelitian ini adalah 5mg/hari. Beberapa
pasien di dalam penelitian tersebut juga menggunakan dosis
olanzapine yang lebih tinggi yaitu 10mg/hari namun ternyata
tidak berbeda secara signifikan dalam memperbaiki gejala
dibandingkan dengan dosis olanzapine 5mg/hari.16
Efek samping somnolen dan peningkatan berat badan
juga ditemukan pada beberapa penelitian lain. Selain
somnolen, dizziness yang kemungkinan besar disebabkan
oleh hipotensi pada penggunaan olanzapine juga banyak
dikemukakan.15-17
Dosis olanzapine yang diberikan di beberapa penelitian
pada populasi pasien usia lanjut berkisar 5-20 mg/hari.15-18
Namun demikian peneliti melihat bahwa dosis yang lebih kecil
447
Tatalaksana Psikofarmaka dalam Manajemen Gejala Psikosis
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 9, September 2009

berkisar antara 5-7,5mg/hari ternyata merupakan dosis yang


paling banyak memperlihatkan efektifitas pengobatan.16
Clozapine
Penggunaan clozapine untuk mengatasi gejala psikotik
pada pasien parkinson sudah diteliti secara luas. Terdapat
bukti dari penelitian tersamar berganda bahwa clozapine
secara signifikan berguna memperbaiki gejala psikotik pada
pasien Parkinson. Dosis yang digunakan juga jauh lebih kecil
yaitu berkisar antara 6,2550mg/hari. Sebuah penelitian
retrospektif selama 5 tahun terhadap pasien parkinson yang
mengalami gejala psikotik mengatakan bahwa 19 dari 32
pasien melanjutkan pengobatan sampai selesai, 9 di
antaranya menghentikan pengobatan sesaat setelah
gejalanya menghilang tanpa merasakan efek samping ikutan
setelah putus obat. Efek samping yang paling sering
dikeluhkan adalah sedasi dan somnolen.17,18
Penelitian yang dilakukan oleh Sajatovic et al
memperlihatkan adanya perbaikan gejala teutama gejala
positif pada pasien yang menerima clozapine. Penelitian
tersebut melibatkan 329 pasien berusia 55 tahun ke atas.
Dosis yang dipakai pada penelitian tersebut rata-ratanya
278mg/hari. Pada penelitian tersebut juga berhasil
memperlihatkan bahwa pasien di atas 65 tahun kurang

responsif terhadap pengobatan daripada pasien yang berusia


di antara 55-65 tahun. Faktor usia juga menjadi faktor
peningkatan kejadian leukopenia/agranulositosis pada
pasien yang memakai clozapine.17-19
Dosis clozapine yang disarankan untuk digunakan pada
populasi pasien usia lanjut adalah 25-150mg/hari. Pasien juga
disarankan untuk tidak merokok karena akan mengurangi
konsentrasi clozapine di dalam plasma akibat peningkatan
bersihan di dalam darah.17
Zotepine
Zotepine dikatakan efektif dalam mengobati gejala
negatif pasien skizofrenia dan mencegah kekambuhan pada
pasien dengan skizofrenia yang kronik. Penggunaannya pada
pasien usia lanut harus hati-hati dengan kisaran dosis 75150mg/hari. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah
takikardia, hipotensi, perpanjangan interval QTc, somnolen
dan gangguan tidur.
17
Penelitian yang dilakukan terhadap 24 pasien demensia
(median usia 796,8 tahun) dengan gangguan psikologis dan
perilaku memperlihatkan bahwa zotepine efektif dan dapat
ditoleransi dengan baik. Efek samping yang paling muncul
adalah rasa lelah dan sedasi. Tidak terdapat gangguan

ekstrapiramidal pada pasien yang ikut dalam penelitian ini.20


Salah satu laporan kasus menyatakan penggunaan
zotepine dengan antidepresan paroxetine dilaporkan
meningkatkan risiko trombosis vena dalam. Penggunaan
zotepine bersamaan dengan benzodiazepine dan valpoat juga
pernah dilaporkan menyebabkan hipotermi pada dua laporan
kasus.17
Aripriprazole
Aripriprazole tergolong baru dalam dunia psikiatri. Cara
kerjanya yang unik sebagai parsial agonis di reseptor D2
mampu memperbaiki gejala positif maupun negatif pasien
psikotik. Lebih jauh lagi aripriprazole dikatakan memiliki efek
samping yang lebih kecil untuk terjadinya sindrom
ekstrapiramidal, sedasi, peningkatan berat badan dan efek
samping kardiovaskular. Sayangnya data penelitian masih
sangat sedikit mengenai manfaat, keamanan dan dosis obat
bagi pasien geriatri. Madhusoodanan et al pada penelitiannya
tahun 2004 menjelaskan tentang pengalaman klinis
penggunaan aripriprazole pada 10 pasien geriatri dengan
skizofrenia. Hasilnya, aripriprazole dinilai aman, memperbaiki
gejala positif dan negatif dan memiliki efek samping yang
sedikit.5
Satu hal yang harus diperhatikan adalah aripriprazole

berbeda dengan antipsikotik yang lain memiliki waktu paruh


yang relatif lebih panjang yaitu sekitar 75 jam. Untuk itu
penggunaan pada pasien usia lanjut yang memiliki fungsi
ginjal yang kurang baik harus diperhatikan.17

Anda mungkin juga menyukai

  • HVLT
    HVLT
    Dokumen10 halaman
    HVLT
    Ricky Chupruut Arisandy
    Belum ada peringkat
  • PBL Medikolegal 2
    PBL Medikolegal 2
    Dokumen31 halaman
    PBL Medikolegal 2
    Ricky Chupruut Arisandy
    Belum ada peringkat
  • Case Forensik Fita Hidup
    Case Forensik Fita Hidup
    Dokumen16 halaman
    Case Forensik Fita Hidup
    Ricky Chupruut Arisandy
    Belum ada peringkat
  • Puisi Lingkungan Alam
    Puisi Lingkungan Alam
    Dokumen1 halaman
    Puisi Lingkungan Alam
    Ricky Chupruut Arisandy
    Belum ada peringkat
  • YBBC
    YBBC
    Dokumen10 halaman
    YBBC
    Ricky Chupruut Arisandy
    Belum ada peringkat
  • Tugas Kelompok B1
    Tugas Kelompok B1
    Dokumen8 halaman
    Tugas Kelompok B1
    Rizky Triyadi
    Belum ada peringkat
  • Fisiologii
    Fisiologii
    Dokumen11 halaman
    Fisiologii
    Ricky Chupruut Arisandy
    Belum ada peringkat