Anda di halaman 1dari 16

Laporan Kasus Hidup

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Pembimbing:
Dr. Budi Suhendar, DFM, Sp.F
Dr.Baety Adhayati,Sp.F.

Disusun oleh:
Mutia Tri Pujianti 1102012184
Puspa Oktaviani - 1102012214

Rsud Dr. Dradjat Prawiranegara Serang


Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi
Kepaniteraan Klinik Ilmu Forensik
ILUSTRASI KASUS
Penderita datang ke Instalasi Rawat Darurat, dengan keluhan luka terbuka pada daerah
dahi. Sebelum kejadian korban sudah ada konflik dengan suaminya. Ini bukan yang pertama
kali korban dipukuli oleh suami. Korban mengaku pergi keluar untuk membeli botol susu
untuk anaknya dan pergi berbelanja seharian. Korban pulang ke kosan. Pelaku datang ke
kosan lalu terjadi adu mulut, sehingga pelaku mengeluarkan kata-kata kasar dan korban tidak
menerima perlakuan tersebut sehingga korban memukul pelaku dengan menggunakan botol
air mineral enam ratus milliliter. Setelah itu pelaku memukul korban pada daerah wajahnya
tetapi korban tidak mengetahui menerima berapa pukulan dengan menggunakan tangan
kosong. Kemudian mereka dipisahkan oleh teman korban dan saudara pelaku
STATUS FORENSIK KLINIK
Hari/tanggal pemeriksaan: Jumat, 31 Maret 2017, waktu pemeriksaan pukul 03.03 WIB
I. IDENTITAS PASIEN/KORBAN

Nama : FITA HADIYANI.


Jenis kelamin : PEREMPUAN.
Tempat / Tgl.Lahir : Pandeglang, 24 November 1991.
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga.
Kewarganegaraan : Indonesia.
Agama : Islam.
Alamat : Kampung kape. Cibenda Sukarame Carita
Pandeglang RT 012/004 Banten
II. ANAMNESIS/WAWANCARA
Penderita datang ke Instalasi Rawat Darurat, dengan keluhan luka terbuka
pada daerah dahi. Sebelum kejadian korban sudah ada konflik dengan suaminya.
Ini bukan yang pertama kali korban dipukuli oleh suami. Korban mengaku pergi
keluar untuk membeli botol susu untuk anaknya dan pergi berbelanja seharian.
Korban pulang ke kosan. Pelaku datang ke kosan lalu terjadi adu mulut, sehingga
pelaku mengeluarkan kata-kata kasar dan korban tidak menerima perlakuan
tersebut sehingga korban memukul pelaku dengan menggunakan botol air mineral
enam ratus milliliter. Setelah itu pelaku memukul korban pada daerah wajahnya
tetapi korban tidak mengetahui menerima berapa pukulan dengan menggunakan
tangan kosong. Kemudian mereka dipisahkan oleh teman korban dan saudara
pelaku.
III. PEMERIKSAAN FISIK UMUM

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang.


Kesadaran : Sadar penuh (GCS 15).
Tekanan darah :130 / 80 mmHg (seratus tiga puluh per delapan
puluh millimeter air raksa)
Nadi : 82 x / menit (Delapan puluh dua kali per menit)
Pernapasan : 20 x / menit (dua puluh kali per menit).
Suhu : 36,3 C (tiga puluh enam koma tiga derajat
celcius).
IV. PEMERIKSAAN FISIK
Status Lokalis
1. Pada dahi tepat pada garis pertengahan depan satu koma lima sentimeter dari
alis kanan sisi dalam terdapat luka terbuka dengan tepi tidak rata dasar
jaringan bawah kulit dan terdapat jembatan jaringan dengan ukuran satu koma
tiga sentimeter kali nol koma empat sentimeter kali nol koma dua sentimeter

2. Pada lengan bawah sisi luar tiga sentimeter dibawah siku terdapat luka lecet
geser yang berjalan dari atas kiri ke kanan bawah dengan ukuran empat koma
lima sentimeter kali satu sentimeter yang berwarna kemerahan.
3. Pada lengan kanan bawah sisi luar enam sentimeter dari siku terdapat luka
lecet gores dengan panjang dua sentimeter berwarna kemerahan.

4. Pada lengan bawah kanan sisi luar dua belas sentimeter dari siku terdapat luka
lecet gores dengan panjang dua koma lima sentimeter berwarna kemerahan.

5. Pada daerah pangkal jari kedua delapan koma lima sentimeter dari
pergelangan tangan bagian luar terdapat beberapa luka lecet tekan dengan
ukuran terbesar nol koma empat kali nol koma dua sentimeter dan ukuran
terkecil nol koma satu sentimeter kali nol koma satu sentimeter dengan luas
area satu koma dua sentimeter kali dua sentimeter.

6. Pada lengan bawah sebelah kiri sisi luar empat koma lima sentimeter dari siku
terdapat luka memar dengan ukuran satu sentimeter kali nol koma empat
sentimeter berwarna ungu kecoklatan.

7. Pada tungkai bawah kanan sembilan sentimeter dari lutut terdapat luka memar
berukuran tujuh koma lima sentimeter kali dua sentimeter berwarna hijau
kekuningan.

8. Pada tungkai bawah kanan dua belas sentimeter dari mata kaki kanan sisi
dalam terdapat luka memar dengan ukuran tiga koma lima sentimeter kali dua
sentimeter yang berwarna hijau kekuningan.

9. Pada tungkai bawah kiri empat belas sentimeter dari mata kaki kiri sisi luar
terdapat luka memar dengan ukuran tiga sentimeter kali satu sentimeter
berwarna hijau kekuningan.

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan

VI. TINDAKAN/PENGOBATAN
Dilakukan Penjahitan dan Pemberian Obat

VII. KESIMPULAN
Pada pemeriksaan penderita perempuan ini yang menurut keterangan lahir pada
tanggal dua puluh empat bulan November tahun seribu sembilan sembilan satu,
ditemukan beberapa luka memar, beberapa luka gores, beberapa luka tekan dan
luka terbuka akibat kekerasan tumpul.
TINJAUAN PUSTAKA
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada
tahun 2001 dicatat sebanyak 258 kasus KDRT, kemudian 226 kasus pada tahun 2002, 272
kasus pada tahun 2003, 328 kasus pada tahun 2004 dan 455 kasus pada tahun 2005 dan terus
meningkat hingga sekarang1.
Dari data diatas, ditemukan korban adalah penduduk perkotaan yang memiliki akses
dengan jaringan relawan dan memiliki pengetahuan yang cukup memadai mengenai KDRT
hingga dapat melaporkannya ke instalasi hukum1. Perlu diketahui bahwa kasus kejadian
KDRT yang sebenarnya dapat lebih tinggi daripada data yang dicatat karena kurangnya
pengetahuan mengenai KDRT di lingkungan penduduk dengan edukasi rendah hingga hanya
sedikit kasus KDRT yang dilaporkan.

Definisi
Berdasarkan Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Tahun 2004,
yang dimaksud dengan KDRT adalah Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga. Lingkup rumah tangga meliputi: suami, istri, dan anak (UU RI KDRT, 2004,
hal 33-34)2.

Siklus Kekerasan dalam Rumah Tangga


Walker (1979) mengemukakan teori siklus kekerasan yaitu sebagai berikut:
1. Tension-building phase
Disebut juga fase ketegangan, yaitu masa dimana ketegangan mulai terjadi, terus
mulai bertambah hingga memuncak. Korban merasa tidak berdaya. Pelaku memiliki
pandangan negatif dan kecurigaan yang berlebihan terhadap korban.
2. Explosion or battering phase
Yaitu fase penganiayaan. Ketegangan yang memuncak pada fase sebelumnya
dilepaskan dalam bentuk kekerasan baik verbal maupun fisik.
3. Honeymoon phase/calm phase
Merupakan fase terakhir atau penyesalan dimana pelaku merasa bersalah dan
menyesal telah melakukan kekerasan dan mengatakan bahwa tidak bermaksud
menyakiti korban. Pelaku meminta maaf, dan memberikan hadiah kepada korban.
Siklus di atas dapat terulang terus-menerus.

Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga


Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) mencatat
berbagai macam bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam KDRT dalam pasal 5 sampai
pasal 9.
Pasal 5 berbunyi Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga
terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a. Kekerasan fisik, b.
Kekerasan psikis, c. Kekerasan seksual, d. Penelantaran rumah tangga.
1. Kekerasan Fisik
Pasal 6 menyebutkan Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 5
huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
Bentuk-bentuk kekerasan fisik tersebut dijabarkan lebih luas oleh Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) APIK (2006) sebagai pukulan dengan anggota tubuh, pukulan
dengan tangan kosong, pukulan menggunakan benda atau alat, pelemparan benda,
pembenturan ke dinding, sundutan rokok, penyiraman dengan cairan (air keras,
cucian, minyak panas), cambukan, diinjak-injak, dibakar, diiris, dicubiti, dipelintir,
dicekik dan diseret.

2. Kekerasan Psikis
Pasal 7 berbunyi Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf
b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan
psikis berat pada seseorang.
Karakteristik kekerasan psikis menurut analisis LBH APIK (2006) meliputi
makian, umpatan, hinaan, peludahan, suami menikah lagi tanpa sepengetahuan istri,
suami memiliki wanita idaman lain (WIL), meninggalkan istri tanpa ijin, sifat otoriter,
berjudi dan mabuk, ancaman dengan benda tajam atau senjata api, pengambilan paksa
anak oleh keluarga suami, teror oleh keluarga suami, dan melakukan hubungan
seksual dengan orang lain di depan istri atau anak.

3. Kekerasan Seksual
Pasal 8 berbunyi Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5
huruf c meliputi: a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, b. Pemaksaan hubungan seksual
terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk
tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Menurut LBH APIK (2006) disebut kekerasan seksual apabila didapati
pemaksaan sepihak dalam melakukan hubungan suami istri, melakukan hubungan
suami istri dengan kekerasan, memaksa melakukan hubungan suami istri dengan cara-
cara yang tidak wajar, menelanjangi istri dengan paksa, dan memaksa istri
berhubungan dengan orang lain.

4. Penelantaran Rumah Tangga


Pasal 9 berbunyi, (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1)
juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan
cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam luar rumah
sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.
LBH APIK (2006) menambahkan karakteristik kekerasan ekonomi antara lain:
tidak diberi nafkah, diberi nafkah tetapi terbatas/kurang, tidak boleh bekerja, harta
bersama tidak dibagi, eksploitasi kerja, sampai istri tidak dipercaya memegang uang.
Inti dari penelantaran rumah tangga adalah dimana akses korban secara ekonomi
dihalangi dengan cara korban tidak boleh bekerja tetapi ditelantarkan, kekayaan
korban dimanfaatkan tanpa seijin korban, atau korban dieksploitasi untuk
mendapatkan keuntungan materi.

Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya KDRT yaitu:
1. Masyarakat
Mengenai norma-norma daerah dimana laki-laki dapat sepenuhnya
mengendalikan perempuan, norma yang memperbolehkan kekerasan sebagai
bentuk pendidikan, anggapan bahwa keperkasaan laki-laki ditunjukkan melalui
agresi dan dominasinya, kemudian peran gender yang kaku.
Seringkali perempuan diposisikan lebih rendah secara sosial, ekonomi, status
hukum sehingga menyebabkan ketidakadilan gender. Norma budaya di negara
berkembang cenderung memposisikan perempuan setelah laki-laki dan adanya
persepsi bahwa perempuan adalah milik laki-laki sehingga tindakan kekerasan
dalam rumah tangga dapat disebut wajar.
2. Lingkungan
Meliputi: kemiskinan, status sosial ekonomi yang rendah, pengangguran,
kelompok sebaya yang berperilaku menyimpang, pengisolasian perempuan dan
keluarga dari lingkungannya.
Kurangnya kepedulian lingkungan terhadap KDRT juga dapat menjadi faktor
risiko karena beberapa lingkungan menganggap bahwa KDRT adalah masalah
keluarga yang tidak perlu disebar-luaskan. Kemiskinan juga dapat menyebabkan
tekanan mental yang dapat memicu masalah dalam rumah tangga.
3. Hubungan
Meliputi: konflik perkawinan, kendali laki-laki terhadap harta dan
pengambilan keputusan dalam keluarga.
Penelitian mencatat bahwa perselisihan verbal secara signifikan diikuti oleh
kekerasan secara fisik pada istri yang seringkali disebabkan karena laki-laki lebih
dominan dalam keluarga, tekanan perekonomian dalam keluarga dan aspek yang
lain seperti adanya perselingkuhan dan ketidakstabilan hubungan.
4. Individu
Meliputi: kebanggaan sebagai laki-laki, trauma masa lalu, tidak adanya atau
penolakan figur ayah pada masa lalu, dan penggunaan alkohol.
WHO mencatat bahwa laki-laki yang melakukan KDRT menunjukkan
ketergantungan emosional, harga diri rendah dan ketidakmampuan
mengendalikan emosi. Mereka juga menunjukkan kebiasaan marah yang
berlebihan dan lebih mudah depresi termasuk memiliki gangguan kepribadian
antisosial dan agresif. Laki-laki pelaku KDRT memiliki karakteristik individu
yaitu usia muda, mengonkonsumsi alkohol/pecandu alkohol, mengalami depresi,
memiliki gangguan kepribadian, serta memiliki riwayat kekerasan dalam
keluarga.
Faktor individu dapat disebabkan oleh kebanggaan sebagai laki-laki yang
dianggap memiliki kemampuan lebih dari perempuan, tidak adanya figur ayah
atau penolakan figur ayah, dan trauma kekerasan masa kecil.

Dampak KDRT
KDRT memiliki efek pada kesehatan fisik dan mental korban hingga menyebabkan
berkurangnya kesejahteraan perempuan dalam komunitas. Dampak negatif yang dapat terjadi
yaitu:
a. Dampak pada Kesehatan Fisik
WHO mencatat kehidupan perempuan korban KDRT mengalami penurunan
kesehatan fisik maupun mental yang dapat berdampak serius hingga mengganggu
kehidupan sehari-hari maupun kematian. Korban-korban KDRT juga didapati sering
mengalami gangguan pencernaan seperti irritable bowel syndrome, dan gangguan
nyeri.
b. Dampak pada Kesehatan Reproduksi Wanita
Diskriminasi terhadap perempuan dan pandangan masyarakat mengenai tugas
utama perempuan yaitu merawat dan memenuhi kebutuhan suami, anak, mertua dan
orang tua. Perempuan yang baik adalah perempuan yang tidak mendahulukan
kebutuhan diri sendiri. Sikap stereotipik tersebut dapat mengakibatkan penelantaran
kebutuhan wanita. Perempuan dapat mengalami kesulitan melindungi diri sendiri dari
kehamilan yang tidak diinginkan atau penyakit menular seksual. Kekerasan seksual
dapat secara langsung melalui penularan penyakit seksual, infeksi, HIV, dan
kehamilan yang tidak diinginkan. Penelitian menunjukkan bahwa stress akibat
mempunyai banyak anak dapat meningkatkan risiko terjadinya KDRT. Penelitian
UNICEF di berbagai negara menunjukkan tingginya tingkat kekerasan pada masa
kehamilan yang mengakibatkan risiko terhadap kesehatan ibu dan janin, pemaksaan
seksual penyebab kehamilan yang tidak diinginkan, dan bahaya akibat komplikasi
aborsi.
c. Dampak pada Kesehatan Psikologis
Situasi yang dihadapi korban KDRT seringkali kompleks hingga menyebabkan
tekanan mental dan status psikologis. Korban dapat mengalami post-traumatic stress
disorder (PTSD), depresi, kecemasan, dan berisiko terhadap perilaku bunuh diri.
Hampir seluruh korban KDRT mengalami gangguan emosional lebih tinggi dan tidak
sedikit yang memiliki keinginan untuk bunuh diri. Dampak psikologis lainnya adalah
jatuhnya harga diri dan konsep diri korban (memandang diri negatif).
Pada korban KDRT anak-anak, ditemukan gangguan tumbuh kembang otak
anak yang mengganggu pertumbuhan kognitif dan sensorik. Gangguan tersebut dapat
membentuk sifat sangat sensitif, gangguan tidur, ketidakstabilan emosi, rasa ketakutan
yang berlebihan, sifat kekanak-kanakan, masalah berbahasa dan kesulitan dalam toilet
training. Anak-anak korban KDRT yang tumbuh dewasa seringkali menunjukkan
banyak masalah, baik masalah belajar maupun komunikasi sosial. Gangguan
kepribadian seperti psikosomatik, depresi dan kecenderungan untuk bunuh diri dapat
terjadi. Anak-anak tersebut juga memiliki risiko tinggi dalam penyalahgunaan obat-
obatan, kehamilan remaja dan perilaku kriminal.

Aspek Medikolegal KDRT


Semakin besarnya peranan lembaga-lembaga sosial dalam menanamkan kesadaran
akan hak dan memberikan pendampingan serta perlindungan kepada korban kasus KDRT
dipengaruhi oleh lahirnya peraturan perundang-undangan di Indonesia. Lahirnya UU no. 23
tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Peraturan Pemerintah No.4 tahun 2006 tentang
Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban KDRT, dan Peraturan Presiden no. 65
tahun 2005 tentang Komisi Nasional Terhadap Perempuan, UU no.13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, dan peraturan perundangan lainnya yang memberikan tugas
dan fungsi kepada lembaga-lembaga yang terkoordinasi memberikan perlindungan hukum
terhadap perempuan. Bahkan dalam rencana pembentukan peraturan perundang-undangan
tersebut tidak terlepas dari peran lembaga sosial.

A. UU no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga


UU yang disebut sebagai UU PKDRT tersebut diundangkan pada tanggal 22
September 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 no.95. Fokus
UU PKDRT adalah kepada upaya pencegahan, perlindungan dan pemulihan korban
kekerasan dalam rumah tangga.
UU PKDRT Pasal 3 menyebutkan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
dilaksanakan berdasarkan: a. Penghormatan hak asasi manusia, b. Keadilan dan
kesetaraan gender, c. Nondiskriminasi, dan d. Perlindungan korban.
Tujuan UU PKDRT disebutkan pada pasal 4 yaitu untuk: 1) Mencegah segala
bentuk kekerasan dalam rumah tangga, 2) Melindungi korban kekerasan dalam rumah
tangga, 3) Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan 4) Memelihara
keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

B. Peraturan Presiden No.65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan
Perpres Komnas Perempuan ialah merupakan penyempurnaan Keputusan Presiden
No.181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Perpres Komnas Perempuan Pasal 24 telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku
Keppres no.181 Tahun 1998 tentang Komini Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan.
Komnas Perempuan ini dibentuk berdasarkan prinsip negara hukum yang
menyadari bahwa setiap bentuk kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu
bentuk pelanggaran atas hak-hak asasi manusia sehingga dibutuhkan satu usaha untuk
mencegah dan menanggulangi terjadinya kekerasan terhadap perempuan.

Ketentuan Pidana
Ketentuan pidana terhadap pelanggaran KDRT diatur oleh UU RI No.23 Tahun 2004
tentang PKDRT sebagai berikut:
UU No.23 Tahun 2004 Pasal 44
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,- (lima belas juta
rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban
jatuh sakit atau luka berat, dipidanakan penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau
denda paling banyak Rp 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya
korban, dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak
Rp 45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah).
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami
terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalanakan pekerjaan atau jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling
banyak Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).
UU No.23 Tahun 2004 Pasal 45
(1) Setiap orang yang melakukan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,- (sembilan juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami
terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan atau jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling
banyak Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah).
UU No.23 Tahun 2004 Pasal 46
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas)
tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).
UU No.23 Tahun 2004 Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan
hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah)
atau paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).
UU No.23 Tahun 2004 Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 dan 47 mengakibatkan
korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali,
mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat)
minggu terus-menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya
janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan penjara paling lama
20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta
rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
UU No.23 Tahun 2004 Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) bagi setiap orang yang:
a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat 1.
b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 2.
UU No.23 Tahun 2004 Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana
tambahan berupa:
a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari
korban dalam jaraj dan waktu tertentu maupun pembatasan hak-hak tertentu dari
pelaku;
b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga
tertentu.

Hukum Terhadap Kekerasan dalam KUHP


Dalam melakukan pemeriksaan terhadap orang yang menderita luka akibat kekerasan,
pada hakikatnya dokter diwajibkan untuk dapat memberikan kejelasan tentang jenis luka
yang terjadi, jenis kekerasan atau senjata yang menyebabkan luka serta kualifikasi luka.
Kualifikasi luka dibahas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu Bab XX pasal
351 dan 352 serta Bab IX pasal 90:

Pasal 351
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 352
(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama
tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat
ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang
bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 353
(1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan itu mengkibatkan kematian yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun

Pasal 354
(1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan
penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahun.

Pasal 355
(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 356
Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga:
1. Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istrinya atau
anaknya;
2. Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan
tugasnya yang sah;
3. Jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang herbahaya bagi nyawa
atau kesehatan untuk dimakan atau diminum.

Pasal 358
Mereka yang sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian di mana terlibat
beberapa orang, selain tanggung jawab masing-masing terhadap apa yang khusus dilakukan
olehnya, diancam:
1. Dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, jika akibat penyerangan
atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat
2. Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, jika akibatnya ada yang mati.

Pasal 90 KUHP
Luka berat berarti:
Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali,
atau yang menimbulkan bahaya maut.
Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencahariaan.
Kehilangan salah satu panca indera
Mendapat cacat berat.
Menderita sakit lumpuh.
Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih.
Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.

Dari pasal-pasal tersebut maka penganiayaan dibagi menjadi 4 jenis tindak pidana,
yaitu: (1) Penganiayaan ringan, (2) Penganiayaan berdasarkan pasal 351 KUHP, (3)
Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat, dan (4) Penganiayaan yang mengakibatkan
kematian
Penganiayaan ringan yaitu penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencahariaan. Penganiayaan ringan
digolongkan sebagai luka derajat satu. Bila akibat suatu penganiayaan seseorang mengalami
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencahariaan yang bersifat
sementara, maka disebut luka derajat dua. Bila penganiayaan yang dilakukan mengakibatkan
luka berat, yaitu yang secara permanen menjadi halangan untuk mengerjakan pekerjaan,
jabatan atau pencaharian, atau hilang ingatan minimal 4 bulan seperti dalam pasal 90, maka
luka tersebut digolongkan menjadi luka derajat tiga.
Oleh karena istilah "penganiayaan" merupakan istilah hukum, yaitu "dengan sengaja
melukai atau menimbulkan perasaan nyeri pada seseorang", maka didalam Visum et
Repertum yang dibuat dokter tidak boleh mencantumkan istilah penganiayaan, karena itu
merupakan urusan hakim. Demikian pula dengan menimbulkan perasaan nyeri sukar sekali
untuk dapat dipastikan secara objektif, maka kewajiban dokter di dalam membuat Visum et
Repertum adalah menentukan derajat luka.

Upaya Pemulihan Korban KDRT


Peraturan Pemerintah RI no.4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama
Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga menyebutkan pada pasal 1 ayat (1)
yaitu, pemulihan korban adalah segala upaya yang dilakukan untuk membantu memberikan
penguatan kepada korban agar lebih berdaya secara fisik dan psikis. Sedangkan pasal 2 ayat
(1) menyebutkan upaya penyelenggaraan pemulihan adalah segala tindakan yang dilakukan
yang meliputi memberikan pelayanan kepada korban, pendampingan kepada korban.
Sedangkan orang yang melakukan pendampingan dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan,
pekerja sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani.
Bentuk-bentuk program pemulihan korban KDRT di Indonesia menurut PP PKPKDRT
pasal 4 yaitu: Pelayanan kesehatan, pendampingan korban, konseling, bimbingan rohani, dan
resosialisasi.

Pencegahan KDRT
Pencegahan KDRT terdiri dari (1) Pencegahan primer, (2) Pencegahan sekunder, dan
(3) Pencegahan tersier.
Tujuan dari pencegahan primer adalah memberikan intervensi sebelum masalah terjadi,
atau mencegah berkembangnya faktor risiko. Pencegahan primer KDRT adalah melalui
tindakan sebelum kekerasan terjadi, meliputi edukasi mengenai KDRT, serta dilakukannya
pendidikan kesehatan remaja, program untuk mengurangi stereotipik gender untuk pasangan
KDRT.
Tujuan dari pencegahan sekunder adalah untuk mengidentifikasi faktor risiko dan
mengambil tindakan untuk mengurangi faktor risiko. Tindakan yang dilakukan diantaranya
adalah program skrining di lembaga pelayanan kesehatan. Kunjungan rumah dapat dilakukan
untuk program skrining.
Pencegahan tersier dilakukan setelah masalah KDRT terjadi. Tindakan pencegahan
dirancang untuk meminimalkan dampak dan membantu proses pemulihan, kesejahteraan, dan
keamanan sesegera mungkin. Pencegahan tersier pada KDRT meliputi semua tindakan
pelayanan kepada korban dan pelaku secara langsung ketika kekerasan terjadi. Misalnya
perawatan trauma fisik yang dialami korban, perencanaan perlindungan, trauma psikologis,
rumah aman, konseling, kelompok suportif, pelayanan dan perlindungan untuk anak, dan
koordinasi dengan pihak-pihak terkait.
Pencegahan dan penanggulanagan kekerasan dalam rumah tangga memerlukan upaya
yang harus melibatkan berbagai lintas program dan sektoral, dengan keterlibatan Lembaga
Sosial Masyarakat (LSM) dan masyarakat sedini mungkin.
PEMBAHASAN
Pada korban, ditemukan luka-luka memar di punggung kaki kiri, punggung jari
telunjuk, jari tengah, jari manis, dan kelingking. Luka-luka tersebut sesuai dengan luka akibat
kekerasan tumpul.
Luka memar tersebut akibat pecahnya pembuluh darah sehingga terjadi ekstravasasi
darah ke jaringan sekitar dan manifestasinya berupa pembengkakan. Luka memar tersebut
diakibatkan oleh kekerasan tumpul. Warna luka memar pada korban dapat menunjukkan
waktu perkiraan timbulnya suatu kekerasan. Pada korban, luka memar berwarna merah
keunguan menandakan kekerasan baru saja terjadi.
Berdasarkan ketentuan dalam KUHP, kasus korban termasuk dalam penganiayaan
ringan karena pada umumnya yang dianggap sebagai hasil dari penganiayaan ringan adalah
korban dengan tanpa luka atau dengan luka lecet atau memar di lokasi tubuh yang tidak
berbahaya atau yang tidak menurunkan fungsi alat tubuh tertentu. Dalam kasus ini apabila
telah diputuskan, maka pelaku dapat dijerat dengan pasal 352 (1) KUHP dengan pidana
penjara paling lama tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.
Berdasarkan UU No.23 Tahun 2004 Bab III Larangan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, Pasal 5 menjelaskan setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah
tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :
a. Kekerasan Fisik
b. Kekerasan Psikis
c. Kekerasan Seksual
d. Penelantaran rumah tangga.
Pasal 6 menjelaskan kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a,
adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Adapun
ketentuan pidananya adalah (Pasal 44)
1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas
juta rupiah)
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban
mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah)
3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya
korban, dipidana dengan pidana paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp
45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah)
4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami
terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-
hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak
Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)
Dalam kasus ini, sesuai dengan UU No. 23 tahun 2004, dapat dimasukkan dalam
kekerasan dalam rumah tangga yang berupa kekerasan fisik. Atas tindakan pelaku terhadap
korban yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau
mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana paling lama 4 tahun atau
denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
DAFTAR PUSTAKA

Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran.


Ed 1. Cetakan Kedua. 1994
Budianto A, Wibisana W, Slamet P, dkk. Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi Pertama,
Cetakan Kedua. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 1997
Idries AM, Tjiptomartono AL. Penerapan ilmu kedokteran forensik dalam proses
penyidikan. Sagung seto :2008
Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Ed I. Jakarta : Bina Rupa Aksara. 1989
Pangemaran DR. Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Keluarga,
Hasil Penelitian di Jakarta, Jakarta: Program Studi Kajian Wanita Program
Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 2005.
Soesilo R. Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), Cetakan Ulang Kesepuluh.
Bogor : Poelita. 1988.

Anda mungkin juga menyukai