(Case Report)
Oleh:
Meriska Cesia Putri
Nabila Luthfiana
Triola Fitria
Perseptor
dr. Adang Azhar, Sp.F
dr. Muhammad Galih Irianto, Sp. F
Strangulasi
Distribusi Luka
Luka-luka pada KDRT biasanya mempunyai distribusi tertentu, sebagai
berikut:
Luka pada domestic violence biasanya sentral.
Tempat luka yang umum adalah daerah yang biasanya tertutup oleh pakaian
(misalnya dada, payudara dan perut).
Wajah, leher, tenggorokan dan genitalia juga tempat yang sering mengalami
perlukaan.
Lebih dari 50% luka disebabkan karena kekerasan pada kepala dan leher.
Pelaku laki-laki menghindari untuk menyerang wajah, tetapi kemudian
memukul kepala bagian belakang.
Luka pada wajah dilaporkan pada 94% korban domestic violence.
Trauma pada maxillofacial termasuk luka pada mata dan telinga, luka pada
jaringan lunak, kehilangan pendengaran, dan patah pada mandibula, patah
tulang hidung, orbita dan zygomaticomaxillary complex.
Akibat Kekerasan
Akibat Fisik
◦ Kematian akibat kekerasan fisik, pembunuhan atau bunuh diri.
◦ Trauma fisik berat: memar berat luar/dalam, patah tulang, kecacatan.
◦ Trauma fisik dalam kehamilan, yang beresiko terhadap ibu dan janin
(abortus, kenaikan berat badan ibu tidak memadai, infeksi, anemia, BBLR).
◦ Kehamilan yang tak diinginkan dan kehamilan dini akibat perkosaan atau
kebebasan dalam mengikuti KB, yang dapat diikuti dengan tindakan aborsi,
tertular PMS, HIV/AIDS atau komplikasi kehamilan, termasuk sepsis, aborsi
spontan, dan kehamilan prematur.
◦ Meningkatnya resiko terhadap kesakitan, misalnya gangguan ginekologis,
perdarahan pervaginam berat, PMS, infeksi saluran kencing, dan gangguan
pencernaan.
Akibat Nonfisik
◦ Gangguan mental, misalnya depresi, ketakutan dan cemas, rasa rendah diri,
kelelahan kronis, sulit tidur, mimpi buruk, disfungsi seksual, gangguan makan,
ketagihan alkohol dan obat, atau mengisolasikan dan menarik diri.
◦ Pengaruh psikologis terhadap anak karena menyaksikan kekerasan, misalnya kelak
cenderung melakukan kekerasan terhadap pasangannya.
Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp
12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal
47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan
akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau
kejiwaan sekurangkurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus
atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam
kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling
sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang :
◦ a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1);
◦ b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan
pidana tambahan berupa :
◦ a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari
korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari
pelaku;
◦ b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga
tertentu.
Pasal 51
Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4)
merupakan delik aduan.
Pasal 52
Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)
merupakan delik aduan.
Pasal 53
Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang
dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.
Pelaku KDRT dapat juga dijerat dengan KUHP terutama tentang
penganiayaan.
Korban dengan luka ringan dapat merupakan hasil dari tindak pidana
penganiayaan ringan (pasal 352 KUHP), sedangkan korban dengan luka
sedang dapat merupakan hasil dari tindak penganiayaan (pasal 351 (1)
atau 353 (1)). Korban dengan luka berat (pasal 90 KUHP) dapat
merupakan hasil dari tindak pidana penganiayaan dengan akibat luka
berat (pasal 351 (2) atau 353 (2)) atau akibat penganiayaan berat (pasal
354 (1) atau 355 (1)).
Pembuktian Kasus KDRT
Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban
saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah,
apabila disertai dengan suatu alat yang sah lainnya. Adapun alat-alat
bukti yang sah menurut KUHAP, yang diatur dalam pasal 184 adalah
sebagai berikut :
◦ Keterangan saksi
◦ Keterangan ahli
◦ Surat
◦ Petunjuk
◦ Keterangan terdakwa
Pembahasan
Anamnesis
Korban (TN. SA) datang dengan kesadaran penuh ditemani oleh satu
orang anaknya pada hari Rabu 14 Maret 2018 ke ruang Forensik RS
Abdul Moeloek pukul 10.17 WIB, meminta dilakukan pemeriksaan
terhadap dirinya. Korban datang tanpa membawa Surat Permintaan
Visum dari kepolisian. Korban mengaku mendapat kekerasan dari istri
ke-2 dengan cara memukul dengan menggunakan tangan. Kejadian ini
terjadi pada hari Minggu 11 Maret 2018 di penginapan di daerah Teluk
Betung.
Korban datang dengan kesadaran baik, penampilan bersih, sikap selama
pemeriksaan kooperatif. Keadaan umum jasmaniah baik, denyut nadi 84 kali
permenit, dan pernafasan 20 kali permenit. Gambaran keadaan pasien saat
pertama kali datang tampak tenang. Saat korban datang mengenakan kemeja
motif batik berwarna hitam putih lengan pendek, memakai kacamata
berwarna hitam dan celana panjang berwarna hitam.
Pasien datang tanpa membawa Surat Permintaan Visum dari pihak kepolisian
sehingga pasien hanya berhak mendapat keterangan berupa Surat Keterangan
Medis.
Hal tersebut dibenarkan oleh pasal 133 KUHAP dimana permintaan keterangan
ahli dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas
untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan/atau pemeriksaan
bedah mayat. Surat Keterangan Medis yang diperoleh korban tidak memiliki
kekuatan untuk digunakan dalam proses peradilan sebab tanpa disertai
jaminan hukum.
Status Lokalis
Pada dahi 3 cm dari batas atas alis kiri 4cm dari garis tengah dahi terdapat luka 1x 0,2cm
berwarna kemerahan
Pada bahu kanan terdapat luka 1,5x3cm berwarna kemerahan
Pada lengan atas kanan 12cm dari atas lipat lengan terdapat memar berwarna kebiruan
berukuran 1,5 x 1 cm
Pada lengan atas kanan 3 cm dari lipat lengan terdapat memar berukuran 1 x 2cm dan
1x1,5cm
Pada lengan atas kanan 1,5cm dari lipat lengan terdapat luka lecet 1,02 cm berwarna
kemerahan
Pada lengan bawah kanan 9cm dari lipat lengan terdapat luka lecet 0,5 x 0,3cm berwarna
kemerahan.
Pada lengan bawah kiri 13 cm di bawah lipat lengan terdapat luka lecet ukuran 0,5cm x 0,2
cm dan 0,2 x 0,2 cm berwarna kemerahan
Pada lengan atas kiri 5 cm diatas lipat lengan terdapat luka lecet 0,2 x0,1 cm berwarna
kemerahan
Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa kekerasan dalam
rumah tangga paling banyak terjadi dalam bentuk kekerasan tumpul
yang salah satunya dapat berupa luka memar. Luka pada kekerasan
dalam rumah tangga biasanya memiliki distribusi sentral. Wajah, leher,
tenggorokan dan genitalia juga tempat yang sering mengalami
perlukaan. Lebih dari 50% luka disebabkan karena kekerasan pada
kepala dan leher. Luka pada wajah dilaporkan pada 94% korban
kekerasan rumah tangga.
Dasar Hukum
Sesuai dengan pasal 352 KUHP, korban termasuk dalam penganiayaan
ringan. Hal ini disebabkan oleh karena luka pada korban berupa memar
dan bengkak, yang tidak mengakibatkan penurunan fungsi organ
tertentu, serta tidak mengakibatkan hambatan dalam melakukan
pekerjaan maupun jabatan atau mata pencahariannya. Pelaku dapat
dijerat dengan pasal 352 (1) KUHP dengan pidana penjara paling lama
tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.
Berdasarkan UU No.23 Tahun 2004 Bab III Larangan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, Pasal 5 menjelaskan “setiap orang dilarang melakukan kekerasan
dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan
cara :
◦ a. Kekerasan Fisik
◦ b. Kekerasan Psikis
◦ c. Kekerasan Seksual
◦ d. Penelantaran rumah tangga.