Oleh :
Ni Made Shanti
1618012036
Perceptor :
dr. Karyanto, Sp.Rad.
JAWABAN
1.Proses terjadinya Sinar-X hingga foto siap baca
Syarat-syarat terbentuknya sinar-X didalam tabung sinar-X yaitu sumber elektron, gaya
pemercepat, ruang yang hampa udara, alat pemusat berkas elektron, dan benda penghenti
gerakan elektron/target. Komponen-komponen utama tabung sinar-X adalah katoda/
elektroda negatif (sumber elektron). Katoda ini terbuat dari nikel murni dimana celah antara
2 batang katoda disisipi kawat pijar (filamen) yang menjadi sumber elektron pada tabung
sinar-X. Filamen terbuat dari kawat wolfram (tungsten) digulung 13 dalam bentuk spiral.
Bagian yang mengubah energi kinetik elektron yang berasal dari katoda adalah sekeping
logam wolfram yang ditanam pada permukaan anoda. Arus yang diberikan pada tabung
sinar-X pada kisaran milliampere (mA) berfungsi untuk memijarkan filamen sehingga
terbentuk awan elektron pada filamen. Selanjutnya beda potensial dalam kisaran kilovolt
(kV) berfungsi untuk memeberikan energi kinetik pada elektron- elektron tersebut.
Anoda atau elektroda positif biasa disebut sebagai target, jadi anoda disini berfungsi sebagai
tempat tumbukan elektron. Focussing cup ini terdapat pada katoda yang berfungsi sebagai
alat untuk mengarahkan elektron secara konvergen ke target agar elektron tidak terpancar
kemana- mana. Rotor atau stator terdapat pada bagian aoda yang berfungsi sebagai alat
untuk memutar anoda. Glass metal envelope (vacum tube) adalah tabung yang gunanya
membungkus komponen-komponen penghasil sinar- X agar menjadi vacum atau
menjadikan ruang hampa udara. Oil adalah komponen yang cukup penting karena saat
elektron-elektron menabrak target pada anoda, energi kinetik yang berubah menjadi sinar-
X hanyalah 1% selebihnya berubah menjadi panas mencapai 20000C, jadi peran oil ini
sebagai pendingin tabung sinar-X. Window atau jendela adalah tempat keluarnya sinar-X,
window ini terletak dibagian bawah tabung. Tabung bagian bawah dibuat lebih tipis dari
tabung bagian atas, dikarenakan agar sinar-X dapat keluar melalui window tersebut tanpa
mempengaruhi komponen-komponen lain.
Pada gambar menunjukkan proses pembentukan sinar-X yang terjadi didalam tabung sinar-
X yaitu didalam tabung sinar-X terdapat katoda dan anoda (sebagai filamen) dan tabung
tersebut merupakan tabung hampa udara. Filamen merupakan bagian yang berfungsi
sebagai penghasil elektron. Untuk menghasilkan elektron, filamen harus dipanaskan dengan
cara mengalirkan arus listrik pada filamen tersebut. Setelah filamen berpijar, maka akan
terbentuk awan-awan elektron disekitar filamen tersebut. Setelah eleketron terbentuk,
elektron siap ditembakkan ke anoda dengan kecepatan yang tinggi. Untuk menembakkan
elektron ke anoda diperlukan suatu tegangan yang tinggi hingga ribuan volt (kilovolt).
Elektron-elektron yang ditembakkan akan menumbuk target dan akan berinteraksi dengan
atom-atom dari target tersebut. Setelah itu, sinar-X akan keluar melalui jendela tabung yang
terletak dibagian bawah tabung.
Arus (mA) berpengaruh pada filamen agar filamen tersebut panas sehingga menghasilkan
elektron. Semakin besar arus yang diberikan semakin banyak elektron yang dihasilkan.
Semakin besar arus filamen semakin tinggi suhu filamen dan berakibat semakin banyak
elektron dibebaskan persatuan waktu. Sedangkan tegangan (kV) berpengaruh pada katoda,
sehingga semakin besar tegangan (kV) yang diberikan semakin cepat elektron ditembakkan
ke target (anoda). Tegangan dan arus ini saling berhubungan dalam menghasilkan sinar-X.
Tegangan dibutuhkan untuk menghasilkan sumber elektron, arus dibutuhkan untuk
memanaskan filamen.
Prosesing
Siklusnya sama dengan proses manual hanya terdapat perbedaan pada pemerasan dari
kelebihan larutan developing sebelum memasuki fixer, mengurangi kebutuhan pencucian
dengan air antara dua larutan ini.
Self developing films adalah alternatif lain selain manual processing. Film x-ray dalam bentuk
sachet spesial yang mengandung developer dan fixer. Setelah pemaparan, label developer
ditarik, larutan developer diperah pada film, dan dipijat disekitarnya. Setelah sekitar 15 detik,
label (tab) fixer ditarik dan diperah dan film dibilas hingga bersih dengan air mengalir selama
10 menit.
Tahap prosesing
Developing
Developer dapat berupa bubuk atau cairan. Di bagian bawah tangki pembangkit diletakkan
bubuk pembangkit lalu ditaruh cairannya kemudian diaduk. Fil dicelupkan selama 4 menit.
Kristal halida perak pada emulsi diubah jadi hitam metal keperakan untuk menghasilkan bagian
hitam atau abu-abu pada gambar.
Rinsing
Cairan penetap ini berbentuk garam. Setelah dibilas selama 10 menit kemudian dimasukkan ke
dalam tangki penetap selama 10 menit.
Fixation Kristal halida perak yg tidak sensitif pada emulsi disingkirkan tuk menampakkan
bagian putih atau transparan pada gambar dan emulsi dikeraskan.
Washing
Film dicuci dengan air mengalir tuk menghilangkan sisa2 larutan fixer.
Drying
2. Gambaran tampak
Gambaran tampak terjadi setelah film sinar X dibangkitkan pada larutan pembangkit.
Gambaran laten setelah masuk pembangkit (cairan developer) akan menghasilkan
gambaran radioopak. Gambaran laten (1b) bila diproses pada cairan pembangkit akan
menimbulkan gambaran radiolusen. Setelah sinar-x yang keluar dari tabung mengenai
dan menembus obyek yang akan difoto. Bagian yang mudah ditembusi sinar x (seperti
otot, lemak, dan jaringan lunak) meneruskan banyak sinar x sehingga film menjadi
hitam. Sedangkan bagian yang sulit ditembus sinar x (seperti tulang) dapat menahan
seluruh atau sebagian besar sinar x akibatnya tidak ada atau sedikit sinar x yang keluar
sehingga pada film berwarna putih. Bagian yang sulit ditembus sinar x
mengalami ateonasi yaitu berkurangnya energi yang menembus sinar x, yang
tergantung pada nomor atom, jenis obyek, dan ketebalan. Adapun bagian tubuh yang
mudah ditembus sinar x disebut Radiolusen yang menyebabkan warna hitam pada film.
Sedangkan bagian yang sulit ditembus sinar x disebut Radioopaque sehingga film
berwarna putih. Telah diketahui bahwa panjang gelombang yang besar yang dihasilkan
oleh kV rendah akan mengakibatkan sinar-x nya mudah diserap. Semakin pendek
panjang gelombang sinar-x (yang dihasilkan oleh kV yang lebih tinggi) akan membuat
sinar-x mudah untuk menembus bahan.
2. Diagnosis banding dan ciri-ciri radiologis bayangan opak pada foto thoraks
NO. DIAGNOSA Interpretasi Hasil Gambaran Radiologis
BANDING
3. Diagnosis banding dan ciri-ciri radiologis bayangan radiolusen pada foto thoraks
a. Tuberkulosis primer : dapat berlokasi dimana saja dalam paru, namun sarang dalam
parenkim paru sering disertai oleh pembesaran kelenjar limfe regional (kompleks primer)
Tidak disertai gejala klinis
Lokasi kelainan biasanya pada satu lobus, terutama lobus kanan bagian bawah,
tengah, dan lingula serta segmen anterior lobus atas
15% pada foto thoraks terlihat normal
Pada paru dijumpai infiltrat dan kavitas
Kelainan: limfadenopati, parenchymal disease, miliary disease, dan efusi pleura
b. Tuberkulosis sekunder : sarang biasanya di lapangana atas dan segmen apikal lobus
bawah, walaupun kadang dapat terjadi juga di lapangan bawah, biasanya disertai
pleuritis.
Klasifikasi tuberkulosis sekunder menurut American Tuberculosis Association :
1. Tuberkulosis minimal : yaitu luas sarang-sarang yang terlihat tidak melebihi
daerah yang dibatasi oleh garis median, apeks, dan iga 2 depan; sarang soliter
dapat berada di mana saja tidak harus berada di kavitas atas. Tidak ditemukan
adanya lubang.
2. Tuberkulosis lanjut sedang : luas sarang-sarang yang bersifat bercak-bercak
tidak melebihi luas satu paru, sedangkan bila ada lubang, diameternya tidak
melebihi 4 cm. Jika sifat bayangan sarang-sarang berupa awan yang
menjelma menjadi daerah konsolidasi yang homogen, luasnya tidak boleh
melebihi luas satu lobus.
3. Tuberkulosis sangat lanjut : luas daerah yang dihinggapi oleh sarang-sarang
lebih daripada klasifikasi kedua diatas, atau bila ada lubang-lubang, maka
diameter keseluruhan semua lubang melebihi 4 cm.
Ada beberapa cara pembagian kelainan yang dapat dilihat pada foto Roentgen.
Salah satu pembagian adalah menurut bentuk kelainan, yaitu :
1. Sarang eksudatif, berbentuk awan-awan atau bercak, yang batasnya tidak tegas
dengan densitas rendah
2. Sarang produktif, berbentuk butir-butir bulat kecil yang batasnya tegas dan
densitasnya sedang
3. Sarang induratif atau fibrotik, yaitu yang berbentuk garis-garis, atau pita tebal,
berbatas tegas dengan densitas tinggi.
4. Kavitas (lubang)
5. Sarang kapur ( kalsifikasi)
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB dalam percik
renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 mikrometer), akan terhirup dan dapat
mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh
mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik.
Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada
individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman
TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan
akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat
tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan
kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer
secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian masa
inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2−12 minggu,
biasanya berlangsung selama 4−8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman
berkembang biak hingga mencapai jumlah 103–104, yaitu jumlah yang cukup untuk
merangsang respons imunitas selula.
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi
kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan
adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa
inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang
berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti.
Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas
selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan
enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini,
tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di kelenjar
limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau
pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair
dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi,
akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di
segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat
menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat
merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial
atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus
sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai
lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen.
Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe
superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal,
dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif
(tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan
fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru
saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut
(acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk
dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis
diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit
bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu
(host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama
di bawah dua tahun.
Pemeriksaan penunjang yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun
gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain.
Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis
TB, kecuali gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB
adalah sebagai berikut:
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat (visualisasinya selain
dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral)
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrate
h. Tuberkuloma
Pada TB paru anak, ciri radiografi adalah berukuran relatif lebih besar dan pentingnya
limfadenopati dibandingkan dengan ukuran yang kurang signifikan pada fokus parenkim.
Adenopati selalu hadir dengan tuberkulosis pada anak, tetapi tidak dapat dilihat oleh
radiograf polos ketika temuan paru lainnya muncul. Kebanyakan kasus TB paru pada anak,
infiltrat ringan parenkim dan limfadenopati resolusi secara spontan, radiografi dada tetap
normal, dan anak tanpa gejala. Pada beberapa anak, kelenjar getah bening hilus dan
mediastinum terus membesar dan dapat segera terlihat pada rontgen dada. Sumbatan
sebagian bronkus yang disebabkan oleh kompresi eksternal dari node membesar dapat
menyebabkan terperangkapnya udara, hiperinflasi, dan bahkan emfisema. Nodus yang
menempel dan menyusup ke dinding bronkus, caseum mengisi lumen menyebabkan
obstruksi lengkap. Hal ini menyebabkan atelektasis yang biasanya melibatkan distal segmen
lobar ke lumen terhambat. Yang dihasilkan bayangan radiografi biasanya disebut
runtuhnya-konsolidasi atau lesi segmental. Temuan ini mirip dengan yang disebabkan oleh
aspirasi benda asing; pada dasarnya, kelenjar getah bening bertindak sebagai benda asing.
Beberapa lesi segmental di lobus yang berbeda dapat terlihat pada 25% anak-anak.
Gambar Chest x-ray pada anak dengan TB paru primer
Perbedaan tuberkulosis primer (TB anak) dengan tuberkulosis sekunder (TB dewasa/re-
infeksi) antara lain, dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
TB primer TB sekunder
(TB anak) (TB dewasa)
Lokasi Dapat di semua bagian paru Apeks dan infra klavikuler
Kelenjar limfe regional Membesar Tidak
Penyembuhan Perkapuran Fibrosis
Penyebaran Hematogen Sering Jarang
Darah mengalir dari pirau kiri ke kanan, ASD jarang berhubungan dengan terjadinya gagal
jantung atau hipertensi pulmonal pada anak-anak dan lansia. Jarang juga ASD dengan
defek yang besar menyebabkan gagal jantung pada anak bayi. Konsekuensi hemodinamik
ASD dengan defek yang besar biasanya muncul pada pasien dewasa pada dekade ketiga
atau keempat, dimana gejalanya mirip dengan gagal jantung karena ventrikel kanan
mempunyai beban yang berlebihan, aritmia atrium karena peregangan atrium yang kronik
dan juga hipertensi pulmonal (Fulton, 2008). Riwayat ASD ditemukan hampir 6% dari
anak-anak yg menderita penyakit jantung bawaan yang bertahan hidup dalam satu tahun
pertama.ASD merupakan penyakit jantung bawaan yang sering didiagnosa pada orang
dewasa (Bender et al., 2011). ASD mempunyai rasio perbandingan wanita dan laki-laki
2:1
Rontgen dada biasanya menunjukkan temuan non spesifik, seperti pembesaran atrium
kanan, ventrikel kanan, pembuluh darah paru, atrium kiri, dan segmen proksimal
SVC.ASD dapat memberikan gambaran foto thorax normal dalam tahap awal ketika
ASD kecil. Dapat juga memberikan gambaran tanda-tanda peningkatan aliran paru
(peningkatan aliran paru atau vaskularisasi shunt), pembuluh darah paru membesar,
vaskularisasi upper zone prominen, tanda-tanda akhir dari hipertensi arteri paru,
pembesaran ruang jantung : atrium kanan, ventrikel kanan dengan catatan atrium kiri
normal dalam ukuran dan arkus aorta kecil normal.
Gambar 1. Foto Thoraks PA pada ASD: sedikit peningkatan pada arteri pulmonalis
marking dengan ukuran jantung yang normal. Segmen arteri pulmonal utama adalah
convex
b. VSD (Ventricular Septal Defect)
VSD diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi atau fisiologisnya. Bila berdasarkan
klasifikasinya, VSD terjadi pada bagian membranous dan muscular pada septum
ventrikel. VSD membranous dapat dibagi menjadi VSD defek suprakristal,
perimembranous, dan malalignment. VSD muscular dapat terjadi di region inlet atau
outlet atau dalam bagian trabekular septum. VSD secara fisiologinya dibagi berdasarkan
ukuran defek dan resistensi vaskuler relatif dalam sirkulasi sistemik dan pulmonal.
Sebanyak 40% VSD dapat menutup sendiri sebelum usia 3 tahun. Tiga komplikasi VSD
antara lain:
1. Regurgitasi trikuspid karena daun katup septal pada katup trikuspid rusak oleh
aneurisma septum ventrikel yang menyebabkan penutupan sendiri pada VSD
perimembranous.
2. Regurgitasi aorta karena herniasi sinus aorta kanan ke arah defek.
3. Infundibular pulmonal stenosis dari hipertrofi ventrikel kanan sehingga ventrikel kanan
terbagi menjadi segmen jalur keluar dan jalur masuk (double-chambered right
ventricle)
Tingkat I
Umumnya pasien PDA tingkat I tidak bergejala. Pertumbuhan dan perkembangan fisik
berlangsung dengan baik. Pada pemeriksaan EKG dan foto polos dada tidak ditemukan
pembesaran jantung.
Tingkat II
Pasien sering menderita infeksi saluran napas, tetapi pertumbuhan fisik masih sesuai
dengan umur. Peningkatan aliran darah ke sirkulasi pulmonal dapat terjadi sehingga
timbul hipertensi pulmonal ringan. Umumnya pada pasien yang tidak tertangani dengan
baik pada tingkat ini PDA akan berkembang menjadi tahap III atau IV.
Tingkat III
Infeksi saluran napas makin sering terjadi. Pertumbuhan anak biasanya terlambat; pada
pemeriksaan, anak tampak kecil tidak sesuai umur dengan gejala-gejala gagal jantung.
Nadi memiliki amplitudo yang lebar. Jika melakukan aktivitas, pasien akan mengalami
sesak napas yang disertai dengan sianosis ringan. Pada pasien dengan duktus berukuran
besar, gagal jantung dapat terjadi pada minggu pertama kehidupan. Pada foto polos dada
dan EKG ditemukan hipertrofi ventrikel kiri dan atrium kiri serta hipertrofi ventrikel
kanan ringan. Suara bising jantung dapat didengar di antara sela iga 3 dan 4.
Tingkat IV
Keluhan sesak napas dan sianosis semakin nyata. Tahanan sirkulasi paru lebih tinggi
daripada tahanan sistemik sehingga aliran darah di duktus berbalik dari kanan ke kiri.
Foto polos dada dan EKG menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri, atrium kiri, dan
ventrikel kanan. Kondisi pasin ini disebut sindrom Eisenmenger.
Gambaran foto toraks PDA tergantung besar kecilnya PDA yang terjadi.
- Bila PDA kecil sekali, gambaran jantung dan pembuluh darah paru normal
Gambar 4. Gambaran radiologi pada pasien dengan PDA cukup besar. Tampak adanya
penonjolan aorta, pembesaran atrium kiri, hipertrofi ventrikel kiri
- Bila keadaan telah lanjut dan timbul tanda hipertensi pulmonal, gambaran radiologinya:
• Pembuluh darah paru bagian sentral melebar.
• Hilus melebar. Pembuluh darah paru perifer berkurang.
• Ventrikel kanan semakin besar karena adanya hipertrofi dan dilatasi.
• Arteri pulmonalis menonjol.
• Aorta descendens lebar dengan arkus yang menonjol.
• Atrium kiri nampak normal kembali. Pembesaran dari arkus aorta di samping
pembesaran a. pulmonalis adalah khas dan dapat dipakai untuk membedakan PDA dari
ASD atau VSD.
Gambar 5. Gambaran PDA dengan hipertensi pulmonal. Tampak gambaran khas hipertensi
pulmonal, yaitu pulmonary tree (Hilus melebar, pembuluh darah paru perifer berkurang)
Gambar 6. Kardiomegali dengan dilatasi Arteri Pulmonal. Terlihat pleothora pulmonal
bilateral/dilatasi pembuluh darah paru/pulmonary tree
Gambar 7. Terlihat gambaran PDA closure device, terletak pada tempat yang tepat,
kardiomegaly, penebalan kontur arteri pulmonal dan pleothora bilateral
d. TOF (Tetralogy of Fallot)
Tetralogi Fallot adalah lesi jantung sianotik paling sering. Tanpa intervensi bedah,
kebanyakan penderita TOF meninggal pada usia anak-anak. Penderita TOF tanpa
sianotik dengan pulmonal stenosis ringan-sedang dan pirau kanan ke kiri kadang
dijumpai dan disebut pink TOF. TOF ditandai dengan adanya VSD subaorta besar,
overriding aorta sehingga dikaitkan dengan ventrikel kanan dan kiri, obstruksi alur keluar
ventrikel kanan, biasanya infundibular dengan pulmonal stenosis, dan hipertrofi ventrikel
kanan, namun yang berperan dalam patofisiologi hanya tanda VSD nonrestriktif dan
pulmonal stenosis.
Gambar 8. Foto thorax PA pada pasien TOF
e. COA (Coarctation of Aorta)
Koartasio aorta adalah suatu penyakit jantung bawaan berupa penyempitan pada arkus
aorta distal atau pangkal aorta desendens torakalis, baik diatas duktus arteriosus (pre-
ductal), di depan duktus arteriosus (juxta ductal) atau dibawah duktus arteriosus (post
ductal). Gejalanya mungkin baru timbul pada masa remaja, tetapi bisa juga muncul pada
saat bayi, tergantung kepada beratnya tahanan terhadap aliran darah. Gejalanya berupa
pusing, pingsan, kram tungkai pada saat melakukan aktivitas, tekanan darah tinggi yang
terlokalisir (hanya pada tubuh bagian atas), kaki atau tungkai teraba dingin , kekurangan
tenaga , sakit kepala berdenyut, perdarahan hidung, dan nyeri tungkai selama
melakukan aktivitas.
a. Organ intraperitoneal
Merupakan organ yang berada di dalam cavum abdomen yang sebagian besar (>2/3
permukaan organnya) diliputi oleh peritoneum visceral dan biasanya memiliki
penggantung. Organ tersebut adalah:
1) Gaster
2) Vessica fellea
3) Lien
4) Duodenum pars superior
5) Hepar
6) Jejunum
7) Ileum
8) Colon transversum
9) Colon sigmoid
10) Caecum
11) Appendix vermiformis
12) Cauda pancreas
b. Organ retroperitoneal
Organ yang berada di dalam cavum abdomen dan sebagian kecil (hanya 1/3 bagian
organnya) ditutupi oleh peritoneum visceral sejak lahir hingga dewasa, meliputi traktur
urinarius dan vascular besar, antara lain:
1) Renal
2) Ureter
3) Vesica urinaria
4) Vena cava inferior
5) Aorta abdominalis
6) Ductus thoracicus
Organ retroperitoneal sekunder
Organ yang berada di dalam cavum abdomen yang awalnya terletak intraperitoneal
kemudian menjadi retroperitoneal, yaitu:
1) Colon ascendens
2) Colon descendens
3) Rectum
4) Pancreas (caput, collum, corpus)
5) Duodenum (pars descendens, transversum, dan descendens)
Sel ganglion enterik berasal dari differensiasi sel neuroblast. Selama perkembangan normal,
neuroblast dapat ditemukan di usus halus pada minggu ke 7 usia gestasi dan akan sampai ke
kolon pada minggu ke 12 usia gestasi. Kemungkinan salah satu etiologi Hirschsprung adalah
adanya defek pada migrasi sel neuroblast ini dalam jalurnya menuju usus bagian distal. Migrasi
neuroblast yang normal dapat terjadi dengan adanya kegagalan neuroblast dalam bertahan,
berpoliferase, atau berdifferensiasi pada segmen aganglionik distal. Distribusi komponen yang
tidak proporsional untuk pertumbuhan dan perkembangan neuronal telah terjadi pada usus yang
aganglionik. Komponen tersebut adalah fibronektin, laminin, neural cell adhesion molecule,
dan faktor neurotrophic.
Terdapat tiga pleksus neuronal yang menginnervasi usus, pleksus submukosal (Meissner),
Intermuskuler (Auerbach), dan pleksus mukosal. Ketiga pleksus ini terintegrasi dan berperan
dalam seluruh aspek fungsi usus, termasuk absorbsi, sekresi, motilitas, dan aliran darah.
Motilitas yang normal utamanya dikendalikan oleh neuron intrinsik. Ganglia ini
mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dimana relaksasi mendominasi. Fungsi usus
telah adekuat tanpa innervasi ekstrinsik. Kendali ekstrinsik utamanya melalui serat kolinergik
dan adrenergik. Serat kolinergik ini menyebabkan kontraksi, dan serat adrenergik
menyebabkan inhibisi. Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung, sel ganglion tidak
ditemukan sehingga kontrol intrinsik menurun, menyebabkan peningkatan kontrol persarafan
ekstrinsik. Innervasi dari sistem kolinergik dan adrenergik meningkat 2-3 kali dibandingkan
innervasi normal. Sistem adrenergik diduga mendominasi sistem kolinergik, mengakibatkan
peningkatan tonus otot polos usus. Dengan hilangnya kendali saraf intrinsik, peningkatan tonus
tidak diimbangi dan mengakibatkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltik
yang tidak terkoordinasi, dan pada akhirnya, obstruksi fugsional.
Tidak adanya ganglion yang meliputi pleksus Auerbach yang terletak pada lapisan otot dan
pleksus Meisneri pada submukosa. Serabut syaraf mengalami hipertrofi dan didapatkan
kenaikan kadar asetilkolinesterase pada segmen yang aganglionik. ganguan inervasi
parasimpatis akan menyebabkan kegagalan peristaltik sehingga mengganggu propulsi isi usus.
obstruksi yang terjadi secara kronik akan menyebabkan distensi abdomen yang sangat besar
1. Hirschprung disesase (HD) klasik (75%), segmen aganglionik tidak melewati bagian
atas segmen sigmoid.
Pemeriksaan Radiologi
1. Foto Polos Abdomen dapat menunjukkan adanya loop usus yang distensi dengan adanya
udara dalam rectum
2. Barium enema. Jangan membersihkan kolon bagian distal dengan enema sebelum
memasukkan kontras enema karena hal ini akan mengaburkan gambar pada daerah zona
transisi. Kateter diletakkan didalam anus, tanpa mengembangkan balon, untuk menghindari
kaburnya zona transisi dan beresiko terjadinya perforasi. Foto segera diambil setelah injeksi
kontras, dan diambil lagi 24 jam kemudian. Colon bagian distal yang menyempit dengan bagian
proksimal yang mengalami dilatasi merupakan gambaran klasik penyakit Hirschsprung. Akan
tetapi temuan radiologis pada neonatus lebih sulit diinterpretasi dan sering kali gagal
memperlihatkan zona transisi. Gambaran radiologis lainnya yang mengarah pada penyakit
Hirschsprung adalah adanya retensi kontras lebih dari 24 jam setelah barium enema dilakukan
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada HD. Pada foto polos
abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk
membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan standar dalam
menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas HD, maka dapat dilanjutkan
dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan
feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah
proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan
obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid
9. Cara pemeriksaan, cara pemotretan, penilaian dan gambaran radiologis dari atresia ani
Atresia ani di klasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria antara lain :
1. Menurut Berdon, membagi atresia ani berdasarkan tinggi rendahnya kelainan, yakni :
a. Atresia ani letak tinggi : bagian distal rectum berakhir di atas muskulus levator ani (> 1,5cm
dengan kulit luar).
b. Atresia ani letak rendah: distal rectum melewati musculus levator ani ( jarak <1,5cm dari
kulit luar).
PERSIAPAN PASIEN
Tidak ada persiapan khusus yang harus dilakukan tetapi untuk mendapatkan gambaran yang
baik maka sebelum dilakukan proyeksi bayi di letakkan dengan posisikepala berada di bawah
dan kaki berada di atas selama +_ 5mnt dengan tetap menjaga kenyamanan pasien.
Tujuan Persiapan
Tujuannya adalah agar udara dalam kolon dapat mencapai rectum bagian distal anal yang di
pasang marker sehingga pada foto daerah antara marker dengan bayangan udara yang tertinggi
dapat diukur.
PROYEKSI PEMERIKSAAN
B. Posisi Lateral
Untuk melihat ketinggian atresia ani.
Posisi Pasien : Pasien diposisikan dalam keadaan inverse ( kepala di bawah, kaki di
atas) dengan salah satu sisi tubuh bagian kiri atau kanan menempel kaset. Kedua paha
di tekuk semaksimal mungkin ke arah perut agar bayangan udara pada radiograf tidak
tertutup oleh gambaran paha. MSP (mid sagital plane) tubuh sejajar terhadap garis
pertengahan film, MCP (mid coronal plane) tubuh diatur tegak lurus terhadap film.
Posisi Objek : Obyek diatur sehingga daerah abdomen bagian distal masuk dalam
film. Pada daerah anus di pasang marker.
CR: Horisontal tegak lurus kaset.
CP: Pada trokhanter mayor.
FFD: 90cm
Eksposi dilakukan pada saat pasien tidak bergerak.
Alternatif pemeriksaan invertogram pada kasus atresia ani untuk memperlihatkan bayangan
udara di dalam colon mencapai batas maksimal tinggi/ naik di daerah rectum bagian distal.
Posisi Pasien : Pasien diposisikan prone.
Posisi Objek : kedua paha ditekuk (hip fleksi), angkat bagian punggung bayi sehingga
letak pelvis lebih tinggi dan kepala/wajah lebih rendah. Kaset pada salah satu sisi lateral
dengan trokhanter mayor pada pertengahan kaset.
Meteorismus atau perut kembung adalah peningkatan volume udara padasaluran cerna dan /
atau dalam rongga peritonium. Tampak sebagai perut yang kembung pada bayi / anak yang
terbaring telentang.
1. Aerofagi
2. Sindrom malabsorpsi
Absorpsi yang buruk dapat spesifik pada satu nutrien tertentu atau secara umum. Malabsorsi
dengan steatore biasanya disebabkan oleh penyakit seliaka atau fibrosis kistik. Tinja berlemak,
bau, pucat dan banyak, sertasering. Sang ibu mungkin melaporkan kesulitan dalam menyiram
tinja di toilet karena tinja cenderung mengambang. Distensi abdomen karena gasdan cairan
dalam usus yang mengalami distensi diikuti oleh turunnya berat badan dan atrofi otot.
3. Ileus paralitik
Suatu keadaan dimana peristaltik usus berhenti sehingga terjadi akumulasi udara dan cairan di
dalam usus yang berdilatasi. Penyebab paling sering antara lain peritonitis dan pasca operasi.
Pada gambaran radiologis didapatkan dilatasi usus halus dan usus besar, multipel air fluid level,
tidak ada/sedikit step ladder, terkadang dapat sangat sulit membedakan ileus paralitik dari
obstruksi usus besar.
4. Ileus obstruktif
Obstruksi dapat pula disebabkan antara lain oleh penyakit Hirschprung yang disebabkan oleh
tidak adanya pleksus mesenterika pada satu segmen usus besar, tersering pada daerah
rektosigmoid. Pasase mekonium yang terlambat diikuti oleh konstipasi dan distensi. Pada foto
polos abdomen didapatkan gambaran obstruksi usus dan tidak ada udara di rektum, sementara
pada pemeriksaan barium enema ditemukan penyempitan lumen usus segment distal, adanya
zona transisiratio rectosigmoid < 1, retensi barium dan ascending bariumdalam 24 jam.
5. Enterokolitis Nekrotikan
Paling sering di ICU anak, suatu kegawatdaruratan bedah yang paling sering pada
kedokteran neonatal, pembedahan biasanya diperlukan, dengan mortalitas sekitar
20%. Biasa pada bayi prematur. Etiologinya tidak diketahui, tetapi imaturitas, infeksi,
iskemia usus, dan pemberian susu enteral berperan pada patogenesis penyakit ini.
Dengan gejala berupa diare berdarah dan sepsis. Pada foto polos abdomen didapatkan
gambaran ileus (dilatasi usus), dengan karakteristik pnematosis intestinalis, yaitu
gambaran udara berupa garis atau bubble kecil di dinding usus, dan udara di vena
porta.