Anda di halaman 1dari 8

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Kecacingan Pada Anak 8-9

Tahun Di SD Neg 023971Binjai Tahun 2012.


Ris Desy* Ridarty** Jhon Sahat*** Betty Susanti****
Abstrak
Infeksi kecacingan merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan menginfeksi
banyak anak di seluruh dunia, diperkirakan 60% anak di Indonesia menderita infeksi kecacingan.
Penyakit ini berhubungan dengan lingkungan, karena sumbernya melalui tanah atau (Soil
Transmitted Helminths). Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi kecacingan adalah
kebersihan perorangan,sanitasi sekolah dan sanitasi rumah. Telah dilakukan penelitian di SDN
023971 Binjai, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor dominan terjadinya infeksi
kecacingan pada anak 8-9 tahun di SDN 023971 Binjai Tahun 2013. Jenis penelitian ini adalah
deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa
siswi yang berumur 8-9 tahun yaitu sebanyak 79 orang. Pengambilan sampel dalam penelitian ini
menggunakan total sampling, data dalam penelitian ini diperoleh dengan kuisioner dan data dari
Dinkes Sumut 2013. Berdasarkan uji regresi linear berganda hasil penelitian menunjukkan bahwa
faktor dominan yang mempengaruhi infeksi kecacingan adalah sanitasi sekolah p=0,023;p<0,05,
dan kebersihan perorangan dengan nilai p=0,721. Oleh karena itu diharapkan kepada siswa untuk
hidup sehat, dan kepada pihak sekolah diharapkan kerjasamanya untuk menjaga kebersiham
lingkungan sekolah tetap bersih dan terhindar dari infeksi kecacingan.
Kata-kata Kunci :

Infeksi kecacingan, Kebersihan perorangan,Ssanitasi sekolah, Infeksi


kecacingan

PENDAHULUAN
Infeksi cacing merupakan salah satu
penyakit yang paling umum tersebar dan
menjangkiti banyak manusia di seluruh
dunia.Sampai saat ini infeksi kecacingan
masih tetap merupakan suatu masalah
karena kondisi sosial dan ekonomi.Pada
umumnya, cacing jarang menimbulkan
penyakit serius tapi dapat menyebabkan
gangguan
kesehatan
kronis
yang
berhubungan dengan faktor ekonomis.
Kecacingan merupakanpenyakit yang
berhubungan lingkungan, karena sumber
penyakit ini dapat ditularkan melalui tanah
atau disebut Soil Transmitted Helminths.
Dapat menyebabkan kekurangan gizi
sehingga tumbuh kembang anak akan
terganggu karena berkurangnya energi
protein,
karbohidrat
dan
dapat
menyebabkan anemia(Zulkoni, 2010).
Menurut
data
WHO
(Nevi,
2006).Seperempat
penduduk dunia
terinfeksi kecacingan kronis. Diperkirakan
1,4 milyar orang kecacingan Ascaris
lumbricoides (cacing gelang), 1 milyar
orang oleh Trichuris trichiura (cacing
cambuk) dan 1,3milyar orang kecacingan
Ancylostoma duodenale (cacing tambang).
Nematoda usus terdapat sejumlah spesies
yang ditularkan melalui tanah atau Soil
Transmitted Helminth dapat di sebabkan
secara umum oleh cacing gelang Ascaris
lumbricoides, cacing tambang oleh
Ancylostoma duodenale dan Necator
amiricanus dan cacing cambuk oleh
Trichuris trichiura (Gandahusada, 2000).
Telur Ascaris lumbricoidesyang telah
dibuahi jatuh di tanah liat untuk
berkembang, menjadi matang dalam waktu
3 minggu pada suhu optimum 250300C.Trichuris
trichiuraakan
matang

dalam 3-6 minggu pada suhu optimum


30oC.telur matang kedua spesies ini tidak
menetas dalam tanah dan dapat bertahan
hidup beberapa tahun khususnya telur
Ascaris lumbricoides.Selain keadaan tanah
dan iklim yang sesuai, keadaan endemi
juga dipengaruhi sampai menjadi bentuk
infekstif dan maasuk kedalam tubuh
manusia. Ini terjadi di lingkungan anak
yang berdefekasi di saluran air terbuka dan
di halaman sekitar rumah, makan tanpa
cuci tangan, bermain-main di tanah sekitar
rumah dan penggunaan tinja yang
mengandung telur cacing untuk Fertilizer
di kebun sayuran. Pada Ancylostostoma
duodenale. Seringkali pekerja perkebunan
yang langsung berhubungan dengan tanah
mendapat infeksi lebih 70%. Kebiasaan
defekasi di tanah dan pemakaian tinja
sebagai pupuk kebun penting dalam
penyebaran infeksi. Tanah yang baik untuk
pertumbuhan larva adalah tanah gembur
( pasir, humus) dengan suhu optimum 230250C. untuk menghindari infeksi, antara
lain adalah dengan memakai sandal atau
sepatu(Gandahusada, 2000).
Salah satu aspek yang penting dalam
penanggulangan infeksi kecacingan adalah
dengan cara meningkatkan hygiene
perorangan serta sanitasi lingkungan dan
makanan meliputi : Mandi pakai sabun 2
kali sehari, Memotong dan membersihkan
kuku, Cuci tangan sebelum makan dan
sehabis buang air besar, Memasak
makanan dan minuman, Buang air besar di
latrin yang memenuhi syarat, Menjaga
kebersihan lingkungan rumah, dan
Menggunakan air bersih. Faktor yang
menyebabkan terjadinya penularan infeksi
kecacingan pada anak adalah sanitasi
lingkungan yang tidak baik, seperti tidak
cuci tangan sebelum dan setelah buang air
besar, kuku panjang dan jarang di potong,

kurangnya
pemakaian
latrin
yang
menimbulkan pencemaran tanah dengan
tinja, di bawah pohon, di tempat mencuci
dan di tempat pembuangan sampah,
apabila ada kotoran maka lalat akan datang
dan menghinggap ke makanan. kebiasaan
makan secara mentah atau setengah
matang, kebiasaan penggunaan feces
manusia sebagai pupuk tanaman, dan
kebiasaan tidak menggunakan alas kaki,
Menunjukkan
bahwa
terdapat
kecenderungan semakin baik sanitasi dan
kebersihan peorangan maka semakin baik
perilaku dalam hubungan dengan penyakit
kecacingan.
Hal
tersebut
akan
menyebabkan gangguan pencernaan pada
anak, penyerapan protein sehingga
penderita
mengalami
gangguan
pertumbuhan dan anemia akibat kurang
gizi. (Wachidanijah, 2002).
Lingkungan yang telah terkontaminasi
(tanah, debu, dan lain-lain), maka semakin
tinggi derajat infeksi kecacingan di suatu
daerah, Jumlah telur yang dapat
berkembang, menjadi semakin banyak
pada masyarakat dengan infeksi yang
semakin berat, karena berdefekasi di
sembarang tempat, khususnya di tanah,
merupakan suatu kebiasaan sehari-hari.
Oleh sebab itu pentingnya sanitasi dan
kebersihan perorangan tentang penularan
penyakit ini(Gandahusada, 2000).
Di Indonesia, penyakit cacing adalah
penyakit rakyat umum, infeksinyapun
dapat terjadi oleh beberapa jenis cacing
sekaligus. Diperkirakan lebih dari 60%
anak anak sekolah dasar di Indonesia
menderita suatu infeksi cacing, rendahnya
mutu sanitasi menjadi penyebabnya. Pada
anak-anak, cacingan akan berdampak pada
gangguan kemampuan untuk belajar, dan
pada orang dewasa akan menurunnya

produktivitas kerja. Dalam jangka panjang


hal ini akan berakibat menurunnya kualitas
sumber daya manusia.Secara umum
makanan cacing dalam tubuh adalah
protein, Karbohidrat, dan darah(Zulkoni,
2010).
Beberapa survei infeksi kecacingan di
berbagai Provinsi, Di Sumatera (78%),
Kalimantan (79%), Sulawesi (88%), Nusa
Tenggara Barat (92%) dan Jawa barat
(90%).( Sutanto, 2009).Berdasarkan data
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara
hasil survey kecacingan pada anak sekolah
dasar tahun 2011 di temukan kejadian
infeksi kecacingan paa anak sekolah dasar
dengan prevalensi 77.1 % dan telah
diberikan pengobatan untuk mengatasi
kecacingan. Namun, pada tahun 2012 di
lakukan
kembali
survei
di
10
Kabupaten/kota menunjukkan 320 kasus
kecacingan dengan prevalensi 32.3% dan
di SDN 023971 Binjai menunjukkan
prevalensi kecacingan 64.0%. Dengan
hasil pemeriksaan cacing gelang 61.0%,
dan cacing cambuk 3.0% (Dinkes Sumut,
2012).
Berdasarkan penelitian (Jalaluddin, 2009),
tentang Pengaruh Sanitasi Lingkungan,
Personal Hygiene dan Karateristik Anak
terrhadap Infeksi Kecacingan pada murid
Sekolah Dasar di Kecamatan Blang
mangat kota Lhoksemawe yaitu ada
hubungan santasi lingkungan, personal
hygiene dan karateristik anak dengan
infeksi kecacingan doperoleh untuk
sanitasi rumah dan sekolah (50.7%),
personal hygiene (53.30%) dan karateristik
anak meliputi pengetahuan (36.0%), sikap
(43.3%), Hal ini terjadi murid belum
memahami
penyebab,
gejala,
cara
penularan dan upaya pencegahan penyakit
kecacingan.

Berdasarkan survei yang di lakukan


peneliti di SDN 023971Binjai didapatkan
melalui observasi , anak sekolah yang
sedang bermain di tanah, tidak mencuci
tangan setelah bermain, kondisi kantin
yang menjual jajanan terbuka, dan
memiliki 2 kamar mandi yangtidak tidak
tersedia air bersih yang memadai.
Berdasarkan hasil wawancara dengan10
orang murid, 3 murid mengatakan meraka
tidak suka menggunakan alas kaki pada
saat bermain bola di halaman pada saat
jam istirahat, 4 mengatakan mereka tidak
mencuci tangan dengan sabun ketika mau
makan, dan 3 orang murid mengatakan
tidak mencuci tangan dan kaki setelah
bermain di halaman. Hal ini menunjukkan
bahwa siswa-siswi ada yang menderita
kecacingan sesuai data dari Dinkes Sumut
2012 bahwa 61 orang siswa-siswi
terinfeksi kecacingan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain
deskriptif analitik dengan pendekatan
cross sectional yang bertujuan untuk
melihat faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya Infeksi Kecacingan panak anak
8-9 tahun di SDN 023971 Binjai Tahun
2012. Penelitian ini dilaksanakan di SDN
023971 Binjai Tahun 2013. Penelitian
dilaksanakan mulai tanggal 15 Maret
sampai 11 Mei 2012.

Populasi dalam penelitian ini adalah siawa


siswi SDN 023971 Binjai yang berumur 89 Tahun yaitu 79 orang. Sampel penelitian
menggunakan total sampling yaitu seluruh
populasi di jadikan sebagai sampel
penelitian yaitu 79 orang. Metode
pengumpulan data dalam penelitian ini
dilakukan dengan dua cara yaitu : Data

primer diperoleh dengan menggunakan


kuisioner dimana peneliti membuat
kuisioner berdasarkan kerangka konsep
yang ada. Kuisioner tersebut diisi oleh
responden. Data sekunder diperoleh dari
Dinas kesehatan provinsi Sumatera Utara.
Untuk mengetahui hubungan dari kedua
variabel independent dan dependent yaitu
faktor-faktor terjadinya kejadian infeksi
kecacingan pada anak 8-9 tahun. Maka di
lakukan uji statistik dengan menggunakan
uji regresi linear berganda dengan tingkat
kepercayaan (CI) 95% pada nilai ()=
0,05.
HASIL PENELITIAN
Tabel 1
Distribusi frekuensiResponden
Berdasarkan Karateristik Data
Demografi Di SDN 023971 Binjai
Tahun 2012
No
1

Karateristik

Frekuensi

Persentase
(%)

54
25
79

68,4
31,6
100

40
39
79

50,6
49,4
100

Usia
8
9
Jumlah
Jenis
kelamin
Laki-laki
Perempuan
Jumlah

Tabel 2
Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Terjadinya Infeksi
Kecacingan Pada Anak 8-9 Tahun Di
SDN 023971 Tahun 2012
No

Karakteristik

Kebersihan
perorangan
Baik
Tidak baik
Sanitasi
sekolah
Memenuhi
syarat

Frekuensi

Persentasi
(%)

47
32

59.5
40.5

30

38.0

Tidak
memenuhi
syarat
Terjadinya
kecacingan
Positif
Negatif
Jumlah

49

62.0

61
18
79

77.2
22.8
100

Tabel 3
Uji RegresiLlinear
BergandaTerjadinya Infeksi
KecacinganPada anak 8-9 Tahun
di SDN 023971 Tahun 2012
Karateristi
k
Nilai
Kebersihan
perorangan
Sanitasi
sekolah

SE

.
309
.
03
4
.
669

.
355
.
094
.
398

.869

.388

.
040

.358

0,721

.
356

2.50
4

0,023

PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil uji regresi linear
berganda bahwa kebersihan perorangan
tidak mempengaruhi terjadinya infeksi
kecacingan pada anak. Dapat dilihat
berdasarkan nilai p=0,721 atau lebih besar
dari 0,05 maka tidak ada pengaruh yang
signifikan antara kebersihan perorangan
dengan terjadinya infeksi kecacingan pada
anak. Hal ini disebabkan karena bukan
hanya kebersihan perorangan yang
mempengaruhi
terjadinya
infeksi
kecacingan pada anak melainkan ada
faktor lain yang menyebabkan terjadinya
infeksi kecacingan pada anak yaitu sanitasi
sekolah dan sanitasi rumah. hal ini dapat di
lihat di SDN 023971 yang temukan
berdasarkan hasil observasi bahwa kondisi
lingkungan sekolah yang tidak baik, tidak
tersedianya air bersih, banyak siswa-siswi
yang yang bermain tanpa menggunakan
alas kaki, siswa-siswi yang memiliki kuku

panjang, dan kondisi jajanan di kantin


yang menjual makanan terbuka. Hal ini
juga di dukung oleh (Entjang,2003) bahwa
penyebab anak kecacingan itu adalah
karena sanitasi lingkungan yang tidak baik,
kebiasaan tidak menggunakan alas kaki,
tidak memotong kuku, makanan yang di
hinggapi lalat karena makanan tidak di
tutup dan kebiasaan tidak mencuci tangan
pakai sabun sebelum makan dan setelah
buang air besar. Kita ketahui bahwa pada
dasarnya anak di sekolah lebih banyak
bermain dan sering terkontaminasi dengan
tanah.

Pada dasarnya upaya higiene antara lain


meminum air yang sudah direbus sampai
mendidih dengan suhu 100 0C selama 5
menit, mandi dua kali sehari agar badan
selalu bersih dan segar, mencuci tangan
dengan sabun sebelum memegang
makanan, mengambil makanan dengan
memakai alat seperti sendok atau penjepit
dan menjaga kebersihan kuku serta
memotongnya apabila panjang. kuku yang
terawat dan bersih juga merupakan
cerminan kepribadian seseorang, kuku
yang panjang dan tidak terawat akan
menjadi tempat melekatnya berbagai
kotoran yang mengandung berbagai bahan
dan mikro organisme diantaranya bakteri
dan telur cacing. Penularan kecacingan
diantaranya bermain dengan tanah yang
telah terkontaminasi dengan telur cacing ,
kuku yang kotor yang kemungkinan
terselip telur cacing akan tertelan ketika
makan, hal ini diperparah lagi apabila
tidak terbiasa mencuci tangan memakai
sabun sebelum makan (Azwar, 2004).
Di dukung oleh penelitian Mahfuddin,
dkk (1994) pada murid Sekolah Dasar di
Kelurahan Duren Sawit Jakarta Timur

bahwa mencuci tangan yang benar dan


menggunakan sabun sebelum makan dapat
mengurangi infeksi cacing gelang.
Menurut asumsi peneliti pada dasarnya
apabila upaya kesehatan pribadi telah
dilaksanakan untuk memelihara dan
mempertinggi derajat kesehatan seperti
memelihara kebersihan dengan mandi 2
kali sehari dan tidak berdefekasi di
sembarang
tempat
maka
infeksi
kecacingan dapat di cegah agar tidak
menganggu kesehatan anak. Berdasarkan
hasil uji regresi linear berganda bahwa
sanitasi sekolah mempengaruhi terjadinya
infeksi kecacingan pada anak. Dapat
dilihat berdasarkan nilai p=0,023 atau
lebih kecil dari 0,05 maka ada pengaruh
yang signifikan antara sanitasi sekolah
dengan terjadinya infeksi kecacingan pada
anak. Hal ini di pengaruhi karena sekolah
merupakan tempat bermain yang paling
lama di lalui oleh anak. Anak yang pada
umumnya tidak lepas dari tanah dan saat
bermain tidak menggunakan alas kaki saat
bermain, kemudian kondisi kamar mandi
yang tidak memenuhi syarat, seperti tidak
tersedianya air bersih, tidak berfungsinya
latrin dengan baik, kamar mandi yang
jarang dibersihkan dan kondisi jajanan di
kantin yang menjual makanan yang
terbuka.
Hal tersebut telah di peroleh berdasarkan
hasil observasi yang dilakukan di sekolah.
Di dukung pula oleh (Muslim, 2009) Anak
usia sekolah merupakan kelompok rentan
terinfeksi cacing. Tanah halaman sekolah
merupakan tempat bermain paling disukai
bagi anak. Pada tanah halaman mungkin
mengandung larva infektif cacing, peluang
anak untuk terinfeksi cacing akan semakin
besar Perilaku bermain ini tentu tidak lepas
dari terjadinya kontak dengan tanah
halaman sekolah. Kenyataan yang kita

temui pada hampir sebagian besar Sekolah


Dasar di pedesaan adalah kondisi sanitasi
kamar mandi yang cukup memprihatinkan.
Hampir dapat dipastikan perawatan kamar
mandi ini kurang baik sehingga area tanah
di sekitarnya memiliki sanitasi yang
kurang baik. Kondisi sanitasi sekolah yang
kurang
baik
inilah
yang
dapat
menyebabkan terjadinya infeksi cacing
pada anak sekolah dasar. Di dukung pula
oleh penelitian Jalaluddin (2009), bahwa
ada pengaruh antara Sanitasi lingkungan
sekolah
dengan
terjadinya
infeksi
kecacingan dapat dilihat berdasarkan hasil
uji chi square dengan nilai p=0,00 atau
<0,05.
Kesehatan lingkungan di Indonesia masih
merupakan masalah utama dalam usaha
peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Masalah
lingkungan
ini
meliputi
kurangnya
penyediaan
air
bersih,
kurangnya pembuangan kotoran yang
sehat, keadaan rumah yang tidak sehat,
usaha hygiene yang belum menyeluruh,
pembuangan sampah dan limbah di daerah
pemukiman yang kurang baik. Kondisi ini
dipicu oleh multifaktor, diantaranya
tingkat kemampuan ekonomi masyarakat,
kurangnya pengetahuan tentang kondisi
lingkungan
yang
baik,
kurangnya
kesadaran dalam pemeliharaan lingkungan
dan masih kurangnya kebijakan-kebijakan
dari
pemerintah
yang
mendukung
peningkatan kualitas kesehatan lingkungan
ini (Muslim, 2009). Keadaan sehat
merupakan hasil interaksi antara manusia
dan lingkungannya yang serasi dan
dinamis.
Lingkungan
yang
tidak
memenuhi standar kesehatan diketahui
merupakan faktor resiko timbulnya
gangguan kesehatan masyarakat. Infeksi
kecacingan merupakan salah satu penyakit
yang erat hubungannya dengan hygiene

dan
sanitasi
lingkungan
seperti
penggunaan air minum yang tidak bersih,
tidak memadainya sarana pembuangan
kotoran, limbah, sampah, dan perumahan
yang tidak memenuhi standar kesehatan.
Kurangnya kebersihan lingkungan ini
menyebabkan angka kejadian infeksi
kecacingan semakin meningkat.Berarti
semakin
baik
kondisi
lingkungan
seseorang
maka
semakin
kecil
kemungkinan
terjadinya
infeksi
kecacingan pada murid SD. Sarana
Pembuangan sampah di lingkungan rumah
tidak tertata dengan baik ( Entjang, 2003).
Adapun syarat kantin yang memenuhi
syarat adalah (a) Ada persediaan air bersih
untuk mengolah makanan, mencuci tangan
dan mencuci peralatan makan (b)
Mempunyai tempat penyimpanan bahan
makanan dan peralatan makan yang bebas
dari serangga dan hewan pengerat (c) Ada
tempat khusus penyimpanan bahan bukan
pangan (sabun cuci piring, cairan anti
serangga) yang terpisah dari tempat
penyimpanan bahan pangan (d) Tempat
yang bersih dan tertutup untuk pengolahan
dan persiapan penyajian makanan (e) Kasir
berada di tempat khusus, minimal orang
yang bertugas di kasir tidak bertugas
menyiapkan makanan karena kuman
penyakit dapat tersebar ke makanan
melalui tangan yang habis memegang uang
(f) Mempunyai tempat pembuangan
sampah padat, cair dan gas (g) Pastikan
juga jajanan kemasan yang dijual di kantin
belum kadaluarsa dan sudah lolos
sertifikasi BPOM (Badan Pemeriksaan
Obat dan Makanan).
Keadaan lingkungan sekolah dan rumah
yang tidak memenuhi syarat kesehatan
menyebabkan
tingginya
prevalensi
cacingan pada murid sekolah dasar di

daerah ini. Hal ini sesuai dengan teori


Blum yang menyatakan bahwa faktor
lingkungan mempunyai kontribusi yang
paling besar di dalam mempengaruhi
status
kesehatan
individu
maupun
masyarakat (Notoatmodjo, 2005)
Menurut asumsi peneliti di lapangan
bahwa faktor yang mempengaruhi
terjadinya infeksi kecacingan pada anak
adalah sanitasi sekolah, dimana di ketahui
berdasarkan hasil jawaban responden
menggambarkan
bahwa
kondisi
lingkungan sekolah yang tidak baik,
seperti kamar mandi, halaman, dan kantin
sekolah yang memungkinkan anak untuk
terinfeksi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan
pada bab sebelumnya, hasil penelitian ini
dapat disimpulkan sebagai berikut;
Kebersihan
perorangan
tidak
mempengaruhi
terjadinya
infeksi
kecacingan pada anak. Hal ini di tunjukkan
berdasarkan nilai signifikan (p= 0,72 >0,05
).
Sanitasi
sekolah
mempengaruhi
terjadinya infeksi kecacingan di ketahui
berdasarkan nilai (p= 0,023; P<0,05).
Berdasarkan hasil pembahasan dan
kesimpulan yang telah diuraikan diatas,
peneliti mengajukan beberapa saran yaitu :
Diharapkan dapat menerapkan cara hidup
sehat baik dirumah maupun di lingkungan
sekolah agar terhindar dari infeksi
kecacingan, seperti membawa bekal dari
rumah agar tidak jajan sembarangan saat
berada di lingkungan sekolah. Diharapkan
dapat memperhatikan kondisi lingkungan
sekolah agar terjaga kebersihannya,
kepada guru penjaskes di harapkan dapat
memberikan materi pelajaran tambahan
tentang cara pola hidup sehat kepada
siswa-siswi agar terhindar dari infeksi

kecacingan.
Diharapkan
lebih
memperhatikan jenis jajanan yang di jual,
menutup jajanan yang terbuka agar tidak di
hinggapi lalat dan menjaga kebersihan di
area kantin. Diharapkan tidak hanya
meneliti di lingkungan sekolah tetapi
sanitasi rumah juga perlu di teliti, dan
lebih menggunakan metode observasi
untuk mengetahui
hal-hal apa yang
mempengaruhi anak terinfeksi cacing.
KEPUSTAKAAN
Agustina. 2000. Telur Cacing Ascaris
Lumbricoides pada Tinja dan Kuku
Anak Balita serta pada tanah di
Kecamatan Paseh Kabupaten
Bandung. Tesis.
Azwar,
A.2004.
Pengantar
Ilmu
Kesehatan Lingkungan. Jakarta :
Mutiara
Bakta IM. 1995. Aspek Epidemiologi
Infeksi Cacing Tambang Pada
Penduduk Desa Bali. Jakarta:
jurnal Medika.
Brown 1983. Dasar Parasitologi Klinis.
Penerjemah Rukmono.Jakarta.
Depkes RI, 1998. Pedoman Program
Pemberantasan
Penyakit
Kecacingan. Jakarta.
Dirjen P2M dan PL.2000. Pedoman
Program Pemberantasan Penyakit
Kecacingan. Jakarta : Depkes RI
Entjang.
2003.
Cetakan
ke-II.
Mikrobiologi dan Parasitologi
untuk Akademi Keperawatan dan
Sekolah Tenaga Kesehatan yang
Sederajat. Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti.
Gandahusada
Sriasi.
Dkk.
2000..
Parasitologi Kedokteran. Edisi
ketiga. Jakarta: FKUI.
Helmy D. 2000. Penyakit cacing di Unit
Pemukiman Transmigrasi Propinsi
Bengkulu Pada Anak Sekolah
Dasar. Jakarta : Media Litbang.
Mahfuddin H. 1994. Infeksi Cacing yang
Ditularkan Melalui Tanah Khususnya

Trichuris
Trichiura
dengan
Albendazole dan Mebendazole.
Majalah Parasitologi, Jakarta. 9.(1).
Mansjoer, Arif. Dkk.1999. Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi ketiga. Jilid 1.
Jakarta: Media Aesculapius.
Muslim. 2009.
Parasitologi untuk
Keperawatan. Cetakan I. Jakarta:
EGC.
Notoatmodjo.2003.Metodologi Penelitian
Kesehatan.Cetakan
III. Edisi
Revisi. Jakarta : Rineka cipta.
2003. Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Jakarta : Rineka cipta.
Poesporodjo, JR dan Sadjimin T. 2002.
Hubungan antara Tanda dan
Gejala Penyakit Cacing dan
Kejadian Kecacingan pada Anak
Usia Sekolah Dasar di kabupaten
Sulawesi
Tengah.
Jurnal
epidemiologi Indonesia.
Soedarto. 2008. Parasitologi Klinik.
Cetakan I. Surabaya: Airlangga
Unversity Press.
Sudjana. 2005. Metode Statistika. Tarsito :
Bandung.
Sutanto Inge.Dkk.2009. Edisi keempat.
Parasitologi
Kedokteran.
Departemen Parasitologi, Jakarta:
FKUI.
Wachidanijah. 2002. Pengetahun, sikap
dan
perilaku
anak
serta
lingkungan rumah dan sekolah
dengan kejadian infeksi cacing
anak SD. Yogjakarta : Program
Pascasarjana UGM.
Zulkoni Akhsin. 2010. Cetakan pertama.
Parasitologi. Yogyakarta : Nuha
Medica.

Anda mungkin juga menyukai