Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Maksud
Membuat peta deliniasi structural rapat, structural renggang,
fluvial, dan denudasional
Menghitung persen kelerengan dan menganalisis menggunakan
klasifikasi Van Zuidam, (1983)
Membagi satuan peta topografi berdasar perbadaan kerapatan
kontur (perbedaan sudut lereng).
Membuat sayatan topografi yang melewati semua satuan yang ada
Menentukan tata guna lahan.
1.2 Tujuan
Mampu membuat peta deliniasi structural rapat, structural
renggang, fluvial, dan denudasional
Mampu

menghitung

persen

kelerengan

dan

menganalisis

menggunakan klasifikasi Van Zuidam, (1983).


Mampu membagi satuan peta topografi berdasar perbadaan
kerapatan kontur (perbedaan sudut lereng).
Mampu membuat sayatan topografi yang melewati semua satuan
yang ada.
Mampu menentukan tata guna lahan.
1.3 Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Praktikum Laboratorium
Tempat: Ruang Seminar Lt. 3, Gedung Pertamina Sukowati .
Hari/tanggal : Rabu, 26 Maret 2014
Waktu
: 18.30-20.30 WIB

BAB II
DASAR TEORI
2.1 Proses Fluviatil
Bentang alam fluvial merupakan satuan geomorfologi yang erat
hubungannya dengan proses fluviatil. Sebelum lebih jauh membahas tentang
bentang alam fluviatil lebih dahulu dibahas pengertian tentang proses fluviatil.
Proses fluviatil adalah semua proses yang terjadi di alam, baik fisika maupun
kimia yang mengakibatkan adanya perubahan bentuk permukaan bumi, yang
disebabkan oleh aksi air permukaan. Di sini yang dominan adalah air yang
mengalir secara terpadu/terkonsentrasi (sungai) dan air yang tidak terkonsentrasi
(sheet water).
2.2 Macam Macam Proses Fluviatil
Proses fluviatil dapat dikelompokkan menjadi tiga macam proses yaitu:
1.Proses Erosi
Menurut Sukmana, 1979, proses erosi adalah suatu proses atau peristiwa
hilangnya lapisan permukaan tanah yang disebabkan oleh pergerakan air atau
angin. Sedangkan Arsyad, 1982, mendefinisikan proses erosi sebagai peristiwa
pindahnya atau terangkutnya tanah atu bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke
tempat

lain.

Menurut Holy, 1980, berdasarkan agen penyebabnya, agen penyebab erosi dapat
dibagi menjadi empat macam, yaitu erosi oleh air, erosi oleh angin, erosi oleh
gletser dan erosi oleh salju. Dalam bentang alam ini, agen penyebab erosi yang
paling dominan adalah air.
2.Proses Transportasi
Proses transportasi adalah proses perpindahan/pengangkutan material yang
diakibatkan oleh tenaga kinetis yang ada pada sungai sebagai efek dari gaya
gravitasi. Sungai mengangkut material hasil erosinya dengan berbagai cara, yaitu:
a. Traksi, yaitu material yang diangkut akan terseret pada dasar sungai.
b. Rolling, yaitu material akan terangkut dengan cara menggelinding di dasar
sungai.
c. Saltasi, yaitu material terangkut dengan cara menggelinding pada dasar sungai
2

d. Suspensi, yaitu proses pengangkutan material secara mengambang dan


bercampur dengan air sehingga menyebabkan air sungai menjadi keruh.
e. Solution, yaitu pengangkutan material larut dalam air dan memben-tuk larutan
kimia.
3. Proses Sedimentasi
Adalah proses pengendapan material karena aliran sungai tidak mampu
lagi mengangkut material yang di bawanya. Apabila tenaga angkut semakin
berkurang, maka material yang berukuran besar dan lebih berat akan terendapkan
terlebih dahulu, baru kemudian material yang lebih halus dan ringan.
Bagian sungai yang paling efektif untuk proses pengendapan ini adalah bagian
hilir atau pada bagian slip of slope pada kelokan sungai, karena biasanya pada
bagian

kelokan

ini

terjadi

pengurangan

energi

yang

cukup

besar.

Ukuran material yang diendapkan berbanding lurus dengan besarnya energi


pengangkut, sehingga semakin ke arah hilir, energi semakin kecil, material yang
diendapkan pun semakin halus.
2.3 Pola Pengaliran
Bentuk-bentuk tubuh air disebut sebagai pengaliran (drainage) meliputi
danau, laut, sungai, rawa dan sejenisnya. Melalui erosi dan penimbunan (deposisi)
yang dilakukan oleh air yang mengalir secara terus menerus, maka dapat
menyebabkan

perubahan

dan

perkembangan

dari

tubuh

air

tersebut.

Satu sungai atau lebih beserta anak sungai dan cabangnya dapat membentuk suatu
pola atau sistem tertentu yang dikenal sebagai pola pengaliran (drainage pattern).
Pola ini dapat dibedakan menjadi beberapa macam variasi bergantung struktur
batuan dan variasi lotologinya.
a. Pola Pengaliran Rectangular
Adalah pola pengaliran di mana anak-anak sungainya membentuk sudut
tegak lurus dengan sungai utamanya. Pola ini biasanya terdapat pada daerah
patahan yang bersistem teratur.
b. Pola pengaliran dendritic
Adalah pola pengaliran berbentuk seperti pohon dan cabang-cabangnya
yang berarah tidak beraturan. Pola ini berkembang pada daerah dengan batuan

yang resistensinya seragam, lapisan sedimen mendatar, batuan beku massif,


daerah lipatan, dan daerah metamorf yang kompleks
c. Pola pengaliran sejajar/parallel
Adalah pola pengaliran yang arah alirannya sejajar. Pola ini berkembang
pada daerah yang lerengnya mempunyai kemiringan nyata, dan batuan-nya
bertekstur halus.
d. Pola pengaliran trellis
adalah pola pengaliran yang berbentuk seperti daun dengan anak-anak
sungai sejajar, sungai utamanya biasanya memanjang searah dengan jurus
perlapisan batuan. Pola ini banyak dijumpai pada daerah patahan atau lipatan.
e. pola pengaliran radial
Adalah pola pengaliran yang arah-arah pengalirannya menyebar ke segala
arah dari uatu pusat. Umumnya berkembang pada daerah dengan struktur kubah
stadia muda, pada kerucut gunungapi, dan pada bukit-bukit yang berbentuk
kerucut.
f. pola pengaliran annular
Adalah pola pengaliran di mana sungai atau anak sungainya mempunyai
penyebaran yang melingkar, sering dijumpai pada daerah kubah berstadia dewasa.
g. pola pengaliran multi basinal
Disebut juga sink hole, adalah pola pengaliran yang tidak sempurna,
kadang tampak kadang hilangyang disebut sebagai sungai bawah tanah, pola ini
bekembang pada daerah karst atau batugamping.
2.3 Genesa Pembentukan lembah Sungai
Siklus lembah sungai dibagi menjadi tiga tingkatan (stadia) yaitu muda dewasa
dan tua
A. stadia muda, dicirikan oleh:
- biasanya di daerah hulu
- sungai sangat aktif, erosi berlangsung cepat
- erosi vertikal lebih kuat daripada erosi lateral
- lembah sungai mempunyai profil berbentuk V
- gradien sungai curam, terdapat jeram dan air terjun

- anak sungai sedikit dan kecil


- aliran sungai deras (energi pengangkutan besar)
- bentuk sungai relatif lurus
B. stadia dewasa, ditandai oleh:
- kecepatan aliran mulai berkurang
- gradien sungai sedang, tidak terdapat jeram dan air terjun
- mulai terbentuk dataran banjir dan tanggul alam
- erosi lateral (ke samping) lebih kuat dari erosi vertical
- mulai terbentuk meander sungai
- pada tingkat ini sungai mencapai kedalaman paling besar
C. stadia tua, ditandai oleh:
- kecepatan aliran semakin berkurang
- lebih banyak sedimentasi daripada erosi
- berkembang di daerah hilir
- banyak terbentuk sungai meander, danau tapal kuda dan tanggul alam
- terjadi pelebaran lembah walaupun sangat lembat

BAB III
METODOLOGI
3.1. Praktikum Laboratorium
3.1.1. Alat dan Bahan
a. Peta Topografi

Untuk mengetahui ketinggian suatu tempat dengan bantuan garis


kontur, serta menentukan delineasi, pola pengaliran sungai dan jalan.
b. Kertas Milimeter Block
Sebagai media menggambar profil eksagrasi sayatan peta topografi
daerah vulkanik.
c. Kertas Kalkir
Sebagai media mewarnai dan menggambar pola pengaliran serta jalan di
daerah vulkanik pada peta topografi.
d. Pensil Warna
Alat untuk mewarnai delineasi dan membuat pola pengaliran serta jalan
dari peta topografi daerah vulkanik.
e. Alat Tulis Standar (Pensil, Pulpen, Penghapus, Penggaris)
Sebagai alat untuk menggambar sayatan peta topografi dan
menggambar di kertas kalkir.
f. Selotip
Sebagai alat bantu untuk menempelkan kertas kalkir pada peta topografi.
g. Kalkulator
Sebagai alat bantu menghitung persen kelerengan daerah vulkanik.

3.2. Diagram Alir Praktikum


3.2.1. Delineasi dan Morfometri
Mulai
Menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan
(peta topografi, kertas kalkir, pensil warna, selotip)
Meletakkan kertas kalkir di atas peta topografi,
rekatkan dengan selotip
Mewarnai daerah structural rapat dengan warna ungu,
renggang dengan warna ungu muda, fluvial dengan
warna hijau, dan denudasional dengan warna coklat
6

Membuat sayatan pada 5 garis kontur disetiap masing


masing satuan, serta diukur panjang sayatan

Menghitung persen kelerengan pada tiap sayatan,


kemudian dicari rata rata. Lalu hitung beda ketinggian

Gunakan data yang telah didapat lalu analisis


menggunakan klasifikasi Van Zuidam (1983)

Selesai

3.2.2 Profil Sayatan


Mulai

Buat garis sayatan sepanjang 30 cm pada peta


topografi dengan melewati satuan structural rapat,
structural renggang, fluvial, dan denudasional

Hitung ketinggian pada garis kontur yang dilewati oleh


sayatan, menggunakan perbedaan interval kontur
1
IK =
x25000 = 12,5
2000

Buat hasil sayatan pada millimeter block dengan profil


exagrasi. Pada skala horizontal ialah 1:25000 dan
Plot titik titikskala
yang vertical
telah diketahui
ketinggiannya pada
ialah 1:12500
millimeter block. Kemudian hubungkan titik titik
tersebut sehingga Selesai
membentuk garis relief daratan

BAB IV
PERHITUNGAN MORFOMETRI
4.1 Fluvial
4.1.1 % Lereng
Masing masing sayatan yang memotong garis kontur dihitung
persen kelerengannya dengan menggunakan rumus :
% Lereng= h/ d 100 %
Keterangan :
d = panjang garis 25000
IK=

1
2000

25000 = 12,5 cm

h= 1 12,5 = 12,5 cm
12,5
5
x 100 x 100 =
n x 25000
n
Diperoleh hasil sebagai berikut :
Sayatan 1 =

5
=6,25
0,8

Sayatan 2 =

5
=10
0,5

Sayatan 3 =

5
=10
0,5

Sayatan 4 =

5
=8,3
0,6

Sayatan 5 =

5
=10
0,5

Jumlah

= 44,5 %

Rata-rata % lereng = 8,91 %

4.1.2 Beda Tinggi


Dari perhitungan garis kontur pada peta topografi dapat diketahui
beda tinggi pada daerah fluvial dengan cara mencari selisih tinggi
maksimal-tinggi minimum yaitu: Beda Tinggi 214-128 = 86 m
4.2 Struktural Rapat
4.2.1 % Lereng
Masing masing sayatan yang memotong garis kontur dihitung
persen kelerengannya dengan menggunakan rumus :
% Lereng= h/ d 100 %
Keterangan :
d = panjang garis 25000
IK=

1
2000

25000 = 12,5 cm

h= 5 12,5 = 62,5 cm
62,5
25
x 100 x 100 =
n x 25000
n
Diperoleh hasil sebagai berikut :
Sayatan 1 =

25
=41,66
0,6

Sayatan 2 =

25
=62,5
0,4

Sayatan 3 =

25
=31,25
0,8

Sayatan 4 =

25
=41,66
0,6

Sayatan 5 =

25
=50
0,5
9

Jumlah

= 227,07 %

Rata-rata % lereng = 45,4 %

4.2.2 Beda Tinggi


Dari perhitungan garis kontur pada peta topografi dapat diketahui
beda tinggi pada daerah fluvial dengan cara mencari selisih tinggi
maksimal - tinggi minimum yaitu: Beda Tinggi 770 - 500 = 270 m
4.3 Struktural Renggang
4.3.1 % Lereng
Masing masing sayatan yang memotong garis kontur dihitung
persen kelerengannya dengan menggunakan rumus :
% Lereng= h/ d 100 %
Keterangan :
d = panjang garis 25000
IK=

1
2000

25000 = 12,5 cm

h= 5 12,5 = 62,5 cm
62,5
25
x 100 x 100 =
n x 25000
n
Diperoleh hasil sebagai berikut :
Sayatan 1 =

25
=8,3
3

Sayatan 2 =

25
=8,92
2,8

Sayatan 3 =

25
=12,5
2

Sayatan 4 =

25
=6,75
3,7

10

Sayatan 5 =
Jumlah

25
=6,25
4
= 42,72 %

Rata-rata % lereng = 8,54 %

4.2.2 Beda Tinggi


Dari perhitungan garis kontur pada peta topografi dapat diketahui
beda tinggi pada daerah fluvial dengan cara mencari selisih tinggi
maksimal - tinggi minimum yaitu: Beda Tinggi 375 - 204 = 171 m

11

BAB V
PEMBAHASAN
Pada hari Rabu tanggal 26 Maret 2014 kami melakukan praktikum
Geomorfologi dengan acara Bentang Alam Fluvial. Dalam praktikum tersebut
pertama kami melakukan pewarnaan pada peta deliniasi, yang terbagi dalam
daerah structural rapat, structural ranggang, daerah fluvial, dan denudasional.
Kemudian kami melakukan pewarnaan terhadap pola pengaliran sungai dan jalan.
Setelah itu dilakukan perhitungan persen kelerengan pada daerah daerah tersebut.
Kemudian yang terahir ialah membuat sayatan pada peta topografi yang melalui
daerah structural rapat, renggang, daerah fluvial, dan denudasional
5.1 Fluvial
Pada daerah satuan fluvial dilakukan pewarnaan pada peta deliniasi
dengan warna hijau. Pewarnaan juga dilakukan terhadap tepian sungai yang
menggambarkan tentang dataran banjir. Di daerah tersebut ada beberapa nama
sungai yang dilakukan pewarnaan diantaranya ialah Kali Tjomal, Kali Bodjong,
Kali Wakung, dan lainnya.
Daerah tersebut merupakan daerah fluvial karena daerah tersebut terkena
proses fluviatil, atau akibat dari aktivitas air permukaan. Kemudian dilakukan
perhitungan morfometri pada daerah tersebut, yang didapatkan hasil persen
kelerengan sebesar 8,91%. Dengan hasil tersebut, kemudian dilakukan analisis
menggunakan klasifikasi Van Zuidam, (1983) dan didapatkan hasil bahwa daerah
tersebut memiliki morfologi berupa daerah bergelombang miring.
Pada daerah tersebut, sungai itu memiliki pola pengaliran jenis dendritic.
Karena memiliki pola aliran yang berbentuk menyerupai pohon yang bercabang
cabang. Pola pengaliran ini dapat terbentuk karena pada saat air mengalir dari
sumbernya, terdapat kekar kekar, yang mengakibatkan air masuk ke dalam
celahnya sehingga menerobos batuan dan membentuk cabang aliran baru. Selain
itu, pola pengaliran dendritic terbentuk karena disebabkan oleh litologi yang ada
di sekitarnya. Litologi pada daerah dengan pola pengaliran dendritic yaitu

12

cenderung seragam, dan berupa batuan yang sifat nya lunak (soft rock) yaitu
batuan sedimen.
Pada peta topografi, terlihat bahwa sungai tersebut terdapat morfologi
adanya channel bar dan point bar. Channel bar merupakan endapan yang berada di
tengah sungai. Channel bar dapat terebentuk karena beberapa faktor, yaitu karena
tepian sungai yang lebar, karena perbedaan kedalaman di tengah sungai. Biasanya
sungai tersebut pada bagian tengahnya dangkal. Selain itu dapat terjadi pula
karena mungkin saat banjir, air membawa material yang cukup besar, yang
kemudian kehilangan energi angkut, sehingga material tersebut terendapkan di
tengah sungai. Lalu terdapat material lain yang ikut tersangkut, dan terendapkan
di tengah sungai. Sehingga membentuk endapan yang cukup besar yang ada di
tengah sungai. Kemudian setelah dilihat dari ciri cirinya ditemukan adanya
meander, cabang cabang sungai dan dilihat dari bentuk sungai yang cukup lebar,
maka dapat diinterpretasikan bahwa sungai tersebut termasuk ke dalam stadia
dewasa.
5.2 Denudasional
Pada pembuatan peta deliniasi, daerah denudasional diberi warna coklat.
Daerah yang merupakan satuan denudasional ini meliputi Bandjaranjar,
Randudongkal, Karangmontjol, Sumurkidang, dan lainnya. Daerah itu disebut
denudasional karena daerah tersebut terlihat adanya hasil dari aktivitas manusia,
atau sebagai daerah yang digunakan sebagai masyarakat beraktivitas. Hal tersebut
dapat dilihat pada peta topografi yang ditemukan adanya jalan raya maupun jalan
kecil yang digunakan sebagai akses manusia. Selain itu juga terdapat garis garis
yang lurus atau tegas, yang menjadi batas antara daerah satu dengan yang lainnya.
Pada daerah denudasional, terlihat bahwa daerah tersebut terdapat pada kontur
yang sangat renggang. Hal ini menandakan bahwa daerah tersebut memiliki
ketinggian yang relatif datar. Sehingga sangat cocok digunakan sebagai areal
pemukiman warga. Karena daerahnya yang datar, dapat digunakan warga untuk
beraktivitas dengan mudah.
Daerah denudasional dapat terbentuk karena adanya erosi yang terjadi
pada sebuah dataran sehingga menyebabkan daerah tersebut tidak sebagai daerah

13

dataran yang terjal. Erosi mengakibatkan hilangnya sebagian permukaan tanah


sehingga tanah menjadi memiliki ketinggian yang relatif sama. Karena adanya
proses tersebut maka manusia memanfaatkannya sebagai areal pemukiman, dan
tempat masyarakat beraktivitas.
Pada daerah tersebut memiliki tata guna lahan sebagai areal pemukiman
warga, persawahan, perkebunan, akses jalan, dan sebagainya.
5.3 Struktural Rapat
Pada daerah structural rapat, dibuat pada peta deliniasi dengan warna ungu
tua. Daerah yang diwarnai dengan ungu tua menggambarkan bahwa daerah
tersebut memiliki kontur yang rapat, dan daerah yang terjal. Daerah structural
rapat meliputi Gunung Wisnu, Gunung Wadasgumantung, Djangkung, Gunung
Djenggol, Igir Sebenda, dan lainnya.
Kemudian pada daerah ini dilakukan pehitungan persen kelerengan yang
didapatkan hasil sebesar 45,4%. Selain itu juga dihitung beda tinggi dengan
mencari selisih antara Top Hill dan Down Hill yang didapatkan hasil sebesar 270
m. Dari kedua data tersebut, kemudian dilakukan analisis menggunakan
klasifikasi Van Zuidam, (1983) dan hasilnya diketahui bahwa daerah tersebut
memiliki morfologi berupa daerah berbukit terjal. Ini merupakan salah satu alasan
mengapa daerah ini disebut sebagai structural rapat.
Pada daerah structural rapat, terdapat sungai sungai yang mengalirinya,
yang memiliki pola pengaliran dendritic. Karena pada peta terlihat bahwa sungai
tersebut mengalir dan memiliki anakan sungai yang bercabang, yang menyerupai
cabang pohon. Pola pengaliran ini terbentuk karena adanya kekar yang
menimbbulkan celah sempit sehingga air mudah masuk dan menerobos, lalu
membentuk cabang sungai baru. Sungai tersebut termasuk ke dalam stadia
dewasa. Karena menurut interpretasi saya sungai tersebut sudah mulai memiliki
cabang cabang, yang merupakan penciri sungai stadia dewasa. Pada daerah
tersebut dapat di interpretasikan bahwa daerah tersebut memiliki litologi berupa
batuan beku dan batuan sedimen. Batuan beku tersebut merupakan hasil dari
material vulkanik yang juga menyusun daerah perbukitan tersebut. Selain itu juga
terdapat batuan sedimen yang juga menjadi salah satu faktor pendukung

14

terbentuknya sungai dengan pola pengaliran dendritic. Pada daerah seperti ini
biasanya dapat ditemukan banyak sekali kekar atau rekahan yang paling banyak
ditemukan di daerah sungai. Karena kekar merupakan salah satu faktor
terbentuknya cabang sungai.
Daerah dengan structural rapat memiliki tata guna lahan sebagai daerah
untuk tempat wisata, atau untuk berjalan jalan. Karena letaknya yang tidak terlalu
jauh dari pemukiman warga, bisa jadi daerah ini menjadi tempat warga berekreasi.
5.4 Struktural Renggang
Pada daerah structural renggang dibuat peta deliniasi dengan diberi warna
ungu muda. Daerah dengan warna ungu muda memiliki kontur yang cukup
renggang, sehingga dapat dikatakan bahwa daerah tersebut lebih landai. Daerah
yang termasuk ke dalam structural renggang meliputi Genitri, Mritja, Simaling,
Bulakan dan lainnya.
Kemudian pada daerah tersebut juga dilakukan perhitungan morfometri
yang dicari persen kelerengannya yang didapatkan hasil sebesar 8,54% dan beda
tinggi sebesar 171 m. Dengan data tersebut kemudian dilakukan analisis
menggunakan klasifikasi Van Zuidam, (1983) dan didapatkan kesimpulan bahwa
daerah tersebut memiliki morfologi berupa daerah bergelombang miring hingga
berbukit bergelombang. Dengan diketahui morfologi tersebut juga menjadi alasan
bahwa daerah tersebut termasuk kedalam structural renggang.
Pada daerah tersebut juga memiliki pola pengaliran sungai berupa
dendritic, karena alirannya yang cabangnya menyerupai cabang pohon. Pada
sungai yang ada pada daerah tersebut juga termasuk ke dalam stadia dewasa,
karena ditemukan adanya cabang cabang sungai yang menjadi pencirinya. Pada
daerah ini biasanya terdapat litologi berupa batuan beku dan sedimen. Batuan
tersebut biasanya berukuran relative lebih kecil dan bentuknya yang lebih
membundar. Karena telah tertransportasi cukup jauh.
Daerah tersebut juga biasanya dapat ditemukan struktur berupa kekar atau
bahkan patahan. Struktur kekar juga menjadi salah satu penyebab terbentuknya
sungai.

15

Pada daerah itu memiliki tata guna lahan sebagai areal persawahan,
perkebunan dan perumahan penduduk. Karena daerah yang relative landau,
sehingga sangat cocok untuk digunakan manusia dalam beraktivitas, dan menjadi
tempat tinggal.
5.5 Korelasi antara Satuan Fluvial, Denudasional, Struktural Rapat, dan
Struktural Renggang
Pada peta topografi tersebut terlihat bahwa daerah yang ada pada peta
tersebut terdapat korelasi yang berhubungan setelah dilakukan analisis. Pada
daerah structural rapat telah diketahui bahwa daerah tersebut merupakan daerah
yang cukup terjal dan curam. Sehingga pada daerah tersebut tidak ditemukan
adanya perumahan, maupun jalan yang digunakan oleh masyarakat untuk
beraktivitas sehari hari. Pada daerah dengan structural rapat juga ditemukan
banyak sungai sungai kecil yang menjadi sumber air yang kemudian sungai
sungai tersebut berkumpul di daerah yang memiliki kontur renggang dan menjadi
sebuah sungai yang besar. Sungai yang besar terletak di daerah dekat pemukiman
yang dapat menjadi sumber air bagi warga setempat. Kemudian pada daerah
structural renggang mulai ditemukan adanya jalan raya dan perumahan penduduk.
Karena daerah yang relative lebih landau, sehingga dapat digunakan sebagai areal
pemukiman dan persawahan. Setelah itu pada satuan denudasional terlihat bahwa
satuan tersebut terletak di daerah yang sangat landau, sehingga mudah untuk
dibangun areal perumahan dan tempat masyarakat beraktivitas. Pada daerah
tersebut juga terdapat sungai yang cukup besar yang aliran airnya berasal dari
daerah structural rapat. Pada daerah denudasional ditemukan banyak jalan raya
yang menjadi akses warga untuk berpergian.

16

BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Pada praktikum yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan sebagai
berikut :
Pada peta topografi tersebut dapat dibuat peta deliniasi yang terbagi atas
daerah dengan structural rapat yang diberi warna ungu, structural renggang
warna ungu muda, fluvial warna hijau, dan denudasional warna coklat.
Pada daerah structural rapat dihasilkan persen kelerengan sebesar 45,4%
dan beda tinggi sebesar 270 m, maka termasuk ke dalam morfologi
berbukit terjal. Pada structural renggang memiliki persen kelerengan
8,54% dan beda tinggi 171 m, maka termasuk ke dalam morfologi
berbukit bergelombang, dan pada fluvial persen kelerengan sebesar 8,91%
dan beda tinggi 86m maka termasuk kedalam bergelombang miring hingga
berbukit bergelombang.
Pada satuan rapat tata guna lahan sebagai daerah tempat wisata, pada
structural renggang sebagai areal persawahan dan pemukiman, fluvial
sebagai sumber air, dan denudasional sebagai pemukiman penduduk
6.2 Saran
Setelah melakukan praktikum dan analisa, maka terdapat beberapa saran
bagi para penduduk sekitar daerah tersebut. Untuk daerah yang memiliki
structural rapat dapat digunakan sebagai tempat wisata atau mendaki gunung, lalu
untuk daerah structural renggang dapat digunakan sebagai areal persawahan dan
perkebunan, daerah fluvial dapat digunakan sebagai saluran irigasi, sumber air,
PLTA dan lainnya. Kemudian daerah denudasional sebagai areal pemukiman.

17

DAFTAR PUSTAKA
http://aryadhani.blogspot.com/2009/05/bentang-alam-fluvial.html (Diakses pada
hari Rabu tanggal 2 April 2014 pukul 08.00 WIB)

18

LAMPIRAN

19

Anda mungkin juga menyukai