PENDAHULUAN
aspirasi sebenarnya masyarakat dan sekaligus supaya lolos dari upaya kelompokkelompok yang sering menggunakan kepentingannya dengan symbol-symbol
primordial.
Tentu kita harus sadar pula, kesadaran masyarakat kita yang selama ini
tidak dibangun dalam pola pikir dan kultur yang demokratis bahkan sebenarnya
yang berkembang adalah alam sakwsangka, merupakan unsur-unsur yang
memiliki potensi konflik yang tinggi dalam mendukung terpecahnya masyarakat
kita. Dalam keadaan ini, usaha menempatkan konflik dalam batas-batas tertentu
untuk mencapai sebuah kompromi, konsensus atau kesepakatan lain dimana
semua sisi diterima dan dihargai secara legitimate sangat penting. Disini semua
unsur harus mendapat perhatian yang proporsional ketika persamaan akan
diterjemahkan maknanya.Perlu adanya kepercayaan dalam orang kebanyakan dan
mencari jaminan semua warga negara tersebut bahwa mereka akan memiliki
kesempatan yang sama untuk mencapai cita-cita mereka.
Konsep demokrasi dalam konsep Islam yang paling kental terlihat dari
prinsip-prinsipnya, yaitu musyawarah (perundingan), musawa (kesetaraan), dan
syura (konsultasi dalam artian luas).Prinsip-prinsip ini memiliki tafsiran luas
terhadap gagasan ide demokrasi. Menurut Amien Rais, seperti yang telah dikutip
Anders Uhlin dalam bukunya Oposisi berserak, ada 5 prinsip demokrasi dalam
Islam yakni: Pertama, pemerintahan harus dilandaskan pada keadilan. Kedua,
sistem politik harus dilandaskan pada prinsip syura dan musyawarah.Ketiga,
terdapat prinsip kesetaraan yang tidak membedakan orang atas dasar gender,
etnik, warna kulit, atau latar belakang sejarah, sosial atau ekonomi dan lainlain.Keempat, kebebasan di definisikan sebagai kebebasan berfikir, berpendapat,
pers, beragama, kebebasan dari rasa takut, hak untuk hidup, mengadakan gerakan
dll.Dan yang terakhir, pertanggungjawaban para pemimpin kepada rakyat atas
kebijakan-kebijakan mereka. Dan semua ini, menurut Amien Rais tidak lepas dari
check and balance sebagai kontrol rakyat terhadap para pemimpin mereka.
Seperti apa yang dikatakan Gus Dur (Anders Uhlin,1998;83), Islam secara
inheren bersifat demokratis. Namun demikian, Islam tidak punya hak monopoli
terhadap ide-ide demokratis.Sebab perjuangan demi hak-hak asasi manusia dan
diatas
makap
ada
penjudsulan
makalah
ini
diberikanj
II. Pembahasan
tangan rakyat mengandung pengertian tiga hal : pertama, pemerintah dari rakyat
(goverment of the people); kedua, pemerintahan oleh rakyat (goverment by
people); ketiga, pemerintahan untuk rakyat (goverment for people). Jadi hakikat
suatu pemerintahan yang demokratis bila ketiga hal diatas dapat dijalankan dan
ditegakkan dalam tata pemerintahan. ( Rosyada, 2003 : 111)
Nilai dan prinsip Islam sebenarnya menyangkut gagasan demokrasi.Islam
menurut definisinya adalah universal, bukan teritorial.Universalisme Islam ini
tampak dari kandungan ajaran-ajarannya yang meliputi berbagai bidang, seperti
hukum agama, keimanan, etika, kemanusiaan, sikap hidup, prinsip-prinsip
keadilan (sosial) dan lain-lain.Karena itu, seperti yang disinyalir dalam al Qur an,
bahwasanya Islam merupakan Rahmat untuk seluruh Alam, dunia dan semua
bangsa tanpa memandang batas-batas geografis, rasial atau strata sosial. Dalam Al
Qur an (QS 02:256) menyebutkan bahwa" Tidak ada paksaan dalam memeluk
(agama) Islam...", yang secara normatif mengandung makna terhadap pengakuan
Islam akan hak dan keberadaan pengikut agama lain atau para ahli Kitab.
Pengakuan ini secara otomatis merupakan prinsip dasar doktrin Islam terhadap
pluralisme agama dan sosial budaya sebagai sunnatullah.
2.1 Hubungan Demokrasi dengan Islam
Salah satu isu yang paling populer sejak dasawarsa abad kedua puluh yang
baru lalu adalah isu demokratisasi. Perdebatan dan wacana hubungan anatara
Islam dan demokrasi sebagaimana diakui oleh Mun`im A. Sirry memang masih
menjadi tema perdebatan dan wacana yang menarik dan belum tuntas. Karena itu
kesimpulan yang diberikan oleh para pakar di atas (Larry Diamond, Juan J. Linze,
Seymour Martin Lipset dan Samuel P. Huntington) bahwa Islam tidak sesuai
dengan demokrasi hanyalah bagian dari wacana yang berkembang di kalangan
para pakar politik Islam ketika mereka mengkaji hubungan Islam dan demokrasi.
Bedasarkan pemetaan yang dikembangkan oleh John L.Esposto dan James P.
Piscatory (Sukron Kamil,2002) secara umum dapat dikelompokkan dalam tiga
kelompok pemikiran (Mun`in A. Sirry,2002).
Pertama, Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda.
Islam tidak bisa disubordinatkan dengan demokrasi. Islam merupakan sistem
poltik yang self-sufficient. Hubungan keduanya bersifat mutually exclusive. Islam
di pandang sebagai sistem politik alternatif terhadapdemokrasi. Dengan demikian
Islam dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda, karena itu demokrasi sebagai
konsep Barat tidak tepat untuk dijadikan sebagai acuan dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sementara Islam sebagai agama yang
kaffah (sempurna) yang tidak saja mengatur persoalan teologi (akidah), dan
ibadah, melainkan mengatur segala aspek kehidupan umat manusi. Ini
diungkapkan misalnya oleh elit Kerajaan Arab Saudi dan elit politik Iran pada
masa awal revolusi Iran, Syekh Fadhallah Nuri, Sayyid Qutb, Thabathabai, alSyarawi dan Ali Benhadj
Kedua, Islam berbeda dengan demokrasi apabila demokrasi apabila
demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti dipahami dan dipraktikan di
negara-negara maju (Barat), sedangkan Islam merupakan sistem politik
demokratis kalau demokrasi didefinisikan secara subtantif,yakni kedaulatan di
tangan rakyat dan negara merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat ini.
Dengan demikian dalam pandangan kelompok ini demokrasi adalahkonsep yang
sejalan dengan Islam setelah diadakan penyesuaian penafsiran terhadap konsep
demokrasi itu sendiri. Diantara tokoh dari kelompok ini adalah al-Maududi,
Rasyid al-Ghanaoushi, Abdul Fattah Morou dan Taufiq asy-Syawi. Di Indonesia
diwakili oleh Moh. Natsir danJalalddin Rahmat.
Ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung
sistem politik demokrasi seperti yang dipraktikannegara-negara maju.Di
Indonesia, pandangan yang ketiga tampaknya yanglebih dominankarena
demokrasi sudah menjadi bagian integral sistem pemerintahan Indonesia dan
Negara-Negara muslim lainnya.
Islam sebagai jaminan demokrasi tidak bisa disandarkan pada kekuatan
dan kesadaran tokoh, tanpa masuk dalam program pendidikan politik massa yang
memliki tujuan mendasar. Sebagai kekuatan simbolis massa, Islam harus
memberanikan dasar-dasar berpijak secara moral terhadap supermasi hukum dan
keadilan sosial dalam sistem politik yang terbuka , sekaligus menjadi kekuatan
komunitas yang mampu membuka kesadaran subkultur yang tertutup.
2.2 Politik Islam terhadap Proses Demokratisasi Bangsa Indonesia
Secara umum, pada dasarnya kaum Muslim sudah tidak lagi memiliki
persoalan dengan demokrasi. Kontroversi apakah Islam kompatibel dengan
demokrasi tidak lagi menjadi isu besar yang diperdebatkan, seperti lima atau enam
dekade silam. Bagi mereka, masalahnya kini bukanlah apakah Islam cocok
dengan demokrasi, tapi bagaimana demokrasi bisa digunakan untuk mendukung
aspirasi dan cita-cita politik mereka. Inilah yang kini terjadi di Mesir dan juga di
Indonesia.Bagi mereka, demokrasi bukanlah persoalan, tapi justru sebuah jawaban
yang bisa digunakan untuk memperjuangkan agenda politik mereka.
Hubungan agama dan politik di Indonesia memang tidak bisa disepelekan.
Rasanya tidak ada soal politik yang bisa diperbincangkan tanpa mengaitkan
dengan isu agama. Dominasi politik Islam dan peranan para politikus Islam
menentukan kekuatan politik Islam. Dinamika politik yang baru, tidak hanya
memperebutkan posisi birokrasi agama, tapi juga bagaimana mengusai pusat
kekuasaan itu.
Dalam dunia politik, kita menyaksikan munculnya partai-partai Islam dengan
corak baru. Didesak oleh situasi yang terus berubah, partai-partai ini
mendifinisikan kembali jatidirinya yang berbeda dari partai-partai serupa pada
tahun 1950an.Di tengah persaingan partai-partai politik yang begitu ketat
diperlukan kreatifitas untuk survive. Tantangan terbesar partai-partai Islam kini
bukanlah bagaimana mendirikan negara Islam atau menerapkan Syari'ah, tetapi
bagaimana tujuan akhir bernegara bisa dicapai. Tujuan akhir bernegara (termasuk
negara Islam), saya kira, sama, yakni mewujudkan keadilan, menghadirkan
kesejahteraan, dan menciptakan kenyamanan. Tak peduli apakah suatu partai
politik menggunakan bendera merah, biru, kuning, hijau, atau putih, selama partai
itu tak memperlihatkan keseriusan dalam memperjuangkan tujuan dasar
bernegara, dia akan ditinggalkan orang. Orang memilih partai bukan lagi
berdasarkan preferensi agama atau aliran, tapi sejauh mana partai-partai itu bisa
memenuhi kebutuhan nyata hidup mereka.
Karena alasan ini, beban yang dipikul pengelola partai-partai berlandaskan
agama, sejatinya lebih berat ketimbang beban yang dipikul pengelola partai-partai
sekular.Hal ini karena partai-partai Islam mengusung dua klaim besar sekaligus,
yakni menjalankan misi agama yang mulia dan menegakkan cita-cita politik yang
luhur.Pengalaman telah mengajarkan kelompok-kelompok Islam untuk tidak
melawan sesuatu yang secara massif diterima orang. Alih-alih menentang
demokrasi, kaum Islamis justru mendukungnya dan menggunakannya untuk
kepentingan dan aspirasi politik mereka. Dengan kerja keras dan kampanye yang
simpatik, merekaberusaha memobilisasi massa, memenangkan Pemilu, menguasai
parlemen, dan mengubah konstitusi.
Tapi, politik selalu tidak mudah. Demokrasi adalah arena di mana hasrathasrat harus dinegosiasikan. Para pengelola partai Islam harus berhadapan dengan
lawan-lawan politik yang berbeda ideologi dan kepentingan. Mereka juga harus
berhadapan dengan konstituen sendiri untuk menjelaskan setiap keputusan dan
langkah yang diambil. Yang terjadi justru sebaliknya. Partai-partai Islam dipaksa
untuk beradaptasi dengan keadaan. Para politisi Islamis harus menurunkan
tuntutan mereka dan menyesuaikannya dengan kenyataan yang mereka hadapi.
Berbagai studi tentang hubungan Islam dan demokrasi menunjukkan bahwa
demokrasi tidak membuat kelompok-kelompok Islamis semakin radikal, tapi
justru membuat mereka semakin moderat dan pragmatis. Bahkan, absennya
demokrasi, sering kali, malah membuat kelompok-kelompok Islam semakin
ekstrim.
Salah satu persoalan yang kita hadapi dalam transisi menuju demokrasi ini
adalah
konflik-konflik
dan
ketegangan
yang
kerap
terjadi
dalam
III.
Kesimpulan
III.1Demokrasi adalah keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahannya
kedaulatan berada ditangan rakyat, kekuasan tertinggi berada dalam
keputusan bersama rakya, rakyat berkuasa, pemrintahan rakyat dan
kekuasaan oleh rakyat sehingga makna demokrasi merupakan dasar hidup
bermasyarakat yang mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang
memberikan ketentuan dalam masalah dan menilai kebijakan negara.
Sedangkan hakekat demokrasi mengandung pengertian pemerintah dari,
oleh, dan untuk rakyat
III.2Hubungan Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda,
dan Islam adalah Sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem
politik demokrasi
III.3Proses demokratis disini mengajak kaum Muslim untuk bersikap toleran
di tengah budaya intoleransi, bagaimana mengajak mereka untuk
menghormati hak-hak minoritas di tengah rasa percaya diri berlebih
sebagai partai politik
10
Daftar Pustaka
Society.1999.Jakarta :Erlangga
Kurzman, Charles.1998.Wacana Islam Liberal.Jakarta : Paramadina
Rosyada,
Dede
dkk.2000.Demokrasi,
Hak
Asasi
Manusia
Masyarakat
11
12