Anda di halaman 1dari 3

Beringin dan Ka'bah di Dua Pengadilan

ANTASARI Azhar tak kuasa menyembunyikan kekesalannya. Kepada wartawan, Kepala


Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat itu baru saja mengumumkan bahwa kasus korupsi yang
melibatkan Gubernur Zainal Bakar harus ditunda penanganannya. "Alasan penundaan yang
spesifik ada pada Jaksa Agung, karena beliau penuntut umum tertinggi," kata Antasari, akhir
Januari lalu.
Dia tampak kecewa, sebab ia merasa pembrkasan perkara oleh anak buahnya itu telah lengkap
alias sudah P21. Kejaksaan tinggal melimpahkan barang bukti dan tersangka ke pengadilan,
setelah itu Zainal Bakar bisa segera didudukkan di kursi pesakitan.
Tapi, wuusss..., semua rencana indah itu tiba-tiba buyar. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh
memerintahkan Antasari menunda pengusutan kasus itu. Menurut Antasari, Kejaksaan Agung
telah mendengarkan paparan perkembangan kasus itu sebelum mengambil keputusan.
"Berdasarkan wacana yang disampaikan kepada saya, Kejaksaan Agung tidak mau perkara
tersebut gagal dalam proses penuntutan."
Antasari tak punya pilihan lain. Dia harus menuruti titah Jakarta. "Kami hanya diminta menunda.
Sampai kapan penundaannya, kita lihat saja perkembangannya," kata dia. Hingga beberapa hari
lalu, Zainal, yang juga kader Golkar Sumatera Barat, masih melenggang bebas. Dia juga hadir di
Jakarta, pekan lalu, ketika para gubernur seluruh Indonesia bertemu dalam sebuah rapat kerja.
Nasib Zainal memang tak seperti yang dialami Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
Abdullah Puteh. Yang terakhir ini harus pasrah meringkuk di Rumah Tahanan Salemba selama
kasus korupsi yang menempatkanya sebagai terdakwa disidangkan. Zainal juga bernasib lebih
mujur ketimbang puluhan anggota Dewan di berbagai daerah yang mesti menghuni hotel prodeo
akibat kasus korupsi.
Hari-hari ini tampaknya memang masa-masa suram bagi pejabat daerah (termasuk wakil
rakyatnya) yang dituding menilap duit rakyat. Kejaksaan gencar memburu mereka ke manamana. Zainal Bakar tak luput dari incaran. Dia sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak
Oktober 2004. Kasus yang membelitnya adalah penyalahgunaan dana APBD 2002 sebesar Rp
5,9 miliar.
Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat waktu itu, R.J. Soehandoyo, menyatakan korupsi
terjadi karena proses penyusunan anggaran tidak mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor
110 Tahun 2000 tentang Keuangan DPRD. "Akibatnya, pendapatan anggota Dewan lebih besar
dari ketentuan," katanya. Anggaran yang dimainkan itu, antara lain, untuk biaya asuransi, dana
taktis, sewa rumah, biaya telepon genggam, dan uang kehormatan.

Setelah diusut dan disidik, kejaksaan berhasil mengirim 43 anggota DPRD Tanah Minang
periode 1998-2003 ke pengadilan. Hasilnya, tiga pimpinan DPRD setempat divonis lima tahun
penjara, dan anggota biasa diganjar empat tahun oleh Pengadilan Tinggi. Zainal Bakar sendiri
diseret dalam kasus ini karena penyusunan APBD memang melibatkan Gubernur. "Perda APBD
itu baru bisa dijalankan setelah ditandatangani Gubernur," kata Marfendi, Anggota DPRD yang
juga Sekretaris Panitia Anggaran untuk perumusan APBD 2003.
Kepada wartawan, Zainal pernah menepis kalau dirinya korupsi. Menurut dia, keterlibatannya
dalam penyusunan APBD hanya sebatas tugas konstitusi. "Saya minta agar semua pihak
menghormati asas praduga tak bersalah," katanya.
Dengan adanya instruksi Jaksa Agung, untuk sementara ini Zainal boleh dibilang lolos. Ia masih
bisa berkiprah menjalankan tugas harian sebagai gubernur. Bahkan kepada orang-orang
dekatnya, dia menyatakan niatnya untuk maju dalam pemilihan kepala daerah, Juni mendatang.
"Kini sedang mencari dukungan politik," kata sumber Tempo. Golkar, partai tempat Zaenal
bernaung, hingga kini belum menetapkan calonnya.
Uniknya, kabar dukungan justru muncul dari pengurus Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
setempat. Baharuddin R., Ketua Wilayah PPP Sumatera Barat, tidak menepis kemungkinan itu.
Menurut dia, saat ini partainya masih dalam tahap penjaringan calon dan nama dia sendiri
masuk sebagai alternatif. "Kalau dalam penetapan nanti saya tidak jadi maju, maka Pak Zainal
yang akan jadi calon gubernur. Atau bisa saja Pak Zainal jadi calon gubernur dan saya calon
wakil gubernur," katanya pekan lalu. Zainal sendiri hingga Sabtu lalu tak bisa dikontak untuk
dimintai konfirmasi.
"Tren" para pejabat tersangkut kasus korupsi rupanya merambah juga hingga ke Provinsi
Banten. Gubernur Djoko Munandar, yang juga kader PPP, mesti berurusan dengan kejaksaan
tinggi setempat setelah dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus korupsi APBD 2003 senilai
Rp 14 miliar. Kisahnya bermula dari dana bantuan bencana alam yang dialokasikan pada Pos
Pengeluaran Tak Tersangka. Berdasarkan pengusutan kejaksaan ditemukan fakta bahwa dana
itu telah diselewengkan. Perinciannya: Rp 10,5 miliar digunakan untuk tunjangan perumahan
anggota Dewan, dan Rp 3,5 miliar untuk dana tunjangan kegiatan Dewan.
Maka beraksilah para jaksa dengan menjadikan para pejabat setempat sebagai tersangka.
Selain Djoko, kejaksaan juga menetapkan Dharmano K. Lawi (mantan Ketua DPRD 2001-2004),
Mu-grodi Muchsin dan Muslim Djamaludin (keduanya wakil ketua), sebagai tersangka.
Persidangan keduanya hingga kini masih berlangsung. Sekretaris DPRD 2001-2004, Tardian,
dan mantan Sekretaris Panitia Anggaran DPRD, Tuti S. Indra, juga menjalani nasib serupa.
Gubernur Djoko sendiri sudah diperiksa kejaksaan dua bulan silam.
I Gede Sudiatmaja, Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Banten, pernah mengatakan pemeriksaan
terhadap Djoko difokuskan pada pertanggungjawabannya sebagai kepala daerah yang

menyetujui pencairan dana Rp 14 miliar. Dari hasil pemeriksaan, pencairan dana Rp 14 miliar itu
dilakukan karena alasan kondisional, yakni berkaitan dengan hak bujet yang dimiliki Dewan.
"Beberapa kali Gubernur mengatakan bahwa pengambilan dana berkategori 'Tak Tersangka' itu
untuk menjaga kemitraan yang harmonis antara eksekutif dan legislatif," katanya.
Pengucuran dana untuk tunjangan perumahan pribadi anggota Dewan merupakan inisiatif
Gubernur. Hal itu terungkap dalam Surat Nomor 900/Keu-473/2003 yang ditujukan kepada
parlemen daerah. Isinya meminta persetujuan Dewan untuk mengalihkan penggunaan dana
bencana sebesar Rp 10,5 miliar untuk dana perumahan anggota DPRD. Demikian juga dana
tunjangan untuk kegiatan Dewan juga dikucurkan berdasarkan inisiatif Gubernur Banten. Dalam
surat bernomor 900/Keu-309/2003 tanggal 7 Februari, Djoko meminta persetujuan pimpinan
DPRD untuk pencairan dana Rp 3,5 miliar guna membiayai kegiatan sosialisasi Keputusan
Menteri Dalam Negeri. Melalui surat bernomor 162.4/DPRD/45a/II/2003 tanggal 7 Februari 2003
pimpinan DPRD menyetujui penggunaan dana Tak Tersangka itu.
Pada pemeriksaan, menurut Gede Sudiatmaja, Gubernur mengaku tak tahu-menahu surat
keputusan yang telah menyebabkan cairnya dana sebesar Rp 3,5 miliar. "Gubernur hanya
menandatangani satu SK, yakni soal pengeluaran dana sebesar Rp 10,5 miliar. Tentang SK yang
lain, Gubernur mengaku tidak pernah membuat dan menandatangani," katanya.
Kuasa hukum Djoko Munandar, Henry Yosodiningrat mengatakan, kliennya, baik secara pribadi
maupun sebagai Gubernur Banten tidak layak dijadikan tersangka. "Karena bentuk pelanggaran
yang dilakukan hanya merupakan pelanggaran administrasi, tidak tergolong bentuk kejahatan
tindak pidana korupsi," katanya. Djoko sendiri kepada wartawan menyatakan rela dan ikhlas
dijadikan tersangka. "Sebagai warga negara yang baik, mari kita bangun negara hukum,
tentunya dengan ketentuan-ketentuan, saya ikhlas dan saya rela (ditetapkan sebagai
tersangka)," katanya.
Kini, proses penyidikan Jaksa telah hampir rampung. Kalau semua lancar, bulan depan, sang
Gubernur akan duduk sebagai pesakitan di Pengadilan Negeri Serang. "Berkasnya hampir
rampung. Hanya masih ada beberapa bagian yang perlu dilengkapi," ujar Parwoto, Kepala Seksi
Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Banten, pekan lalu.
Toh, Djoko boleh lega karena dia tidak dibiarkan sendirian menghadapi masalahnya. Dewan
Perwakilan Wilayah PPP Banten, tempat Djoko berkiprah sebagai kader, pernah mengedarkan
tanda tangan meminta Kejaksaan Tinggi tidak menetapkan Djoko sebagai tersangka. "Itu bentuk
kepedulian partai atas kasus yang menimpa kadernya," kata sumber Tempo di PPP Banten
pekan lalu. Penunjukan Henry Yosodiningrat sebagai kuasa hukum, kabarnya, juga atas arahan
PPP pusat.
Tulus Wijanarko, Faidil Akbar (Banten), Febrianti (Padang)

Anda mungkin juga menyukai