PENDAHULUAN
Kedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kedokteran
Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan yang memerlukan intervensi
psikiatrik. Tempat pelayanan kedaruratan psikiatri antara lain di rumah sakit umum, rumah
sakit jiwa, klinik dan sentra primer.
Kegawatdaruratan Psikiatrik merupakan aplikasi klinis dari psikiatrik pada kondisi
darurat. Kondisi ini menuntut intervensi psikiatrik seperti percobaan bunuh diri,
penyalahgunaan obat, depresi, penyakit kejiwaan, kekerasan atau perubahan lainnya pada
perilaku. Pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik dilakukan oleh para profesional di bidang
kedokteran, ilmu perawatan, psikologi dan pekerja sosial.
Penatalaksanaan pada pasien kegawatdaruratan psikiatrik sangat kompleks. Para
profesional yang bekerja pada pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik umumnya beresiko
tinggi mendapatkan kekerasan akibat keadaan mental pasien mereka.
Pasien biasanya datang atas kemauan pribadi mereka, dianjurkan oleh petugas
kesehatan lainnya, atau tanpa disengaja. Penatalaksanaan pasien yang menuntut intervensi
psikiatrik pada umumnya meliputi stabilisasi krisis dari masalah hidup pasien yang bisa
meliputi gejala atau kekacauan mental baik sifatnya kronis ataupun akut.
BAB II
PEMBAHASAN
KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI
Kegawatdaruratan psikiatri adalah gangguan akut perilaku, pikiran atau suasana hati
pasien yang jika tidak diobati dengan segera dapat merugikan, baik untuk dirinya atau orang
lain dalam lingkungan sekitarnya. Sebagai ujung tombak di lapangan, peran dokter sangat
penting dalam hal ini adalah sebagai bagian dari pelayanan kedaruratan medik yang
terintegrasi.
Kasus kedaruratan psikiatrik meliputi gangguan pikiran, perasaan dan perilaku yang
memerlukan intervensi terapeutik segera, antara lain: (Tomb, D.A. 2004)
a.
b.
c.
d.
e.
Evaluasi
Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat adalah tujuan
utama dalam melakukan evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera yang harus
dilakukan secara tepat adalah:
a. Menentukan diagnosis awal
b. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera pasien
c. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai
Dalam proses evaluasi, dilakukan:
1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik. Wawancara dilakukan lebih terstruktur, secara
umum fokus wawancara ditujukan pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit
gawat darurat. Keterangan tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman atau
polisi dapat melengkapi informasi, terutama pada pasien mutisme, tidak kooperatif,
negativistik atau inkoheren. Hubungan dokter-pasien sangat berpengaruh terhadap
informasi yang diberikan. Karenanya diperlukan kemampuan mendengar, melakukan
2
observasi dan melakukan interpretasi terhadap apa yang dkatakan ataupun yang tidak
dikatakan oleh pasien, dan ini dilakukan dalam waktu yang cepat.
2. Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwayat perjalanan
penyakit, pemeriksaan status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik dan jika
perlu pemeriksaan penunjang. Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan oeh
seorang dokter di unit gawat darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien. Tekanan
darah, suhu, nadi adalah sesuatu yang mudah diukur dan dapat memberikan informasi
bermakna. Misalnya seorang yang gaduh gelisah dan mengalami halusinasi, demam,
frekuensi nadi 120 per-menit dan tekanan darah meningkat, kemungkinan besar
mengalami delirium dibandingkan dengan suatu gangguan psikiatrik. Lima hal yang
harus ditentukan sebelum menangani pasien selanjutnya:
a. Keamanan pasien. Sebelum mengevaluasi
pasien, dokter harus dapat
memastikan bahwa situasi di UGD, jumlah pasien di ruangan tersebut aman
bagi pasien. Jika intervensi verbal tidak cukup atau kontraindikasi, perlu
dipikirkan pemberian obat atau pengekangan.
b. Medik atau psikiatrik. Penting bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya
medik, psikiatrik atau kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan jauh
berbeda. Kondisi medik umum seperti trauma kepala, infeksi berat dengan
demam inggi, kelainan metabolisme, intoksikasi atau gejala putus zat seringkali
menyebabkan gangguan fungsi mental yang menyerupai gangguan psikiatrik
umumnya. Dokter gawat darurat tetap harus menelusuri semua kemungkinan
penyebab gangguan fungsi mental yang tampak.
c. Psikosis. Yang penting bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi seberapa jauh
ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya tilikan. Hal ini dapat
mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang kita berikan serta
kepatuhannya dalam berobat.
d. Suicidal atau homicidal. Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri harus
diobservasi secara ketat. Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak
kekerasan atau pikiran bunuh diri harus selalu ditanyakan kepada pasien.
e. Kemampuan merawat diri sendiri. Sebelum memulangkan pasien, harus
dipertimbangkan apakah pasien mampu merawat dirinya sendir, mampu
menjalankan saran yang dianjurkan. Ketidakmampuan pasien
dan atau
High-potency
antipsychotics
seperti
haloperidol,
trifluoperazine,
perphenazine dsb
b. Atypical antipsychotics, seperti risperidone, quetiapine, olanzapine.
c. Injeksi benzodiazepine. Kombinasi benzodiazepine dan antipsikotik kadang sangat
efektif.
1. Keadaan Gaduh Gelisah
Keadaan gaduh gelisah bukanlah diagnosis dalam arti kata sebenarnya, tetapi hanya
menunjuk pada suatu keadaan tertentu, suatu sindrom dengan sekelompok gejala tertentu.
Keadaan gaduh gelisah dipakai sebagai sebutan sementara untuk suatu gambaran
psikopatologis dengan ciri-ciri utama gaduh dan gelisah. (Maramis dan Maramis, 2009).
Etiologi :
Keadaan gaduh gelisah merupakan manifestasi klinis salah satu jenis psikosis (Maramis
dan Maramis, 2009):
1.
2.
3.
4.
Delirium
Skizofrenia katatonik
Gangguan skizotipal
Gangguan psikotik akut dan sementara
4
badaniah ini yang menyebabkan gangguan fungsi otak itu mungkin terdapat di otak
sendiri dan karenanya mengakibatkan kelainan patologik-anatomik (misalnya
meningo-ensefalitis, gangguan pembuluh darah otak, neoplasma intracranial, dan
sebagainya), atau mungkin terletak di luar otak (umpamanya tifus abdominalis,
pneumonia, malaria, uremia, keracunan atropine/kecubung atau alcohol, dan
sebagainya) dan hanya mengakibatkan gangguan fungsi otak dengan manifestasi
sebagai psikosa atau keadaan gaduh-gelisah, tetapi tidak ditemukan kelainan
patologik-anatomik pada otak sendiri (Maramis dan Maramis, 2009).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada sindrom otak organik akut
biasanya terdapat kesadaran menurun sedangkan pada sindrom otak organik menahun
biasanya terdapat dementia. Akan tetapi suatu sindrom otak organik menahun
(misalnya tumor otak, demensia paralitika, aterosklerosis otak, dan sebagainya) dapat
saja pada suatu waktu menimbulkan psikosis atau pun keadaan gaduh gelisah. Untuk
mengetahui penyebabnya secara lebih tepat, perlu sekali dilakukan evaluasi internal
dan neurologis yang teliti (Maramis dan Maramis, 2009).
2. Skizofrenia dan gangguan skizotipal
Bila kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh gelisah itu
merupakan manifestasi suatu psikosis dari kelompok ini, yaitu psikosis yang tidak
berhubungan atau sampai sekarang belum diketahui dengan pasti adanya hubungan
dengan suatu penyakit badaniah seperti pada gangguan mental organik.
Skizofrenia merupakan psikosis yang paling sering didapat di negara kita.
Secara mudah dapat dikatakan bahwa bila kesadaran tidak menurun dan terdapat
inkoherensi serta afek-emosi yang inadequate, tanpa frustasi atau konflik yang jelas
maka hal ini biasanya suatu skizofrenia. Diagnosa kita diperkuat bila kelihatan juga
tidak ada perpaduan (disharmoni) antara berbagai aspek kepribadian seperti proses
berpikir, afek-emosi, psikomotorik dan kemauan (kepribadian yang retak, terpecahbelah atau bercabang = schizo; jiwa = phren),yaitu yang satu meningkat, tetapi yang
lain menurun. Pokok gangguannya terletak pada proses berpikir (Maramis dan
Maramis, 2009).
Dari berbagai jenis skizofrenia, yang sering menimbulkan keadaan gaduhgelisah ialah episode skizofrenia akut dan skizofrenia jenis gaduh-gelisah katatonik.
Di samping psikomotor yang meningkat, pasien menunjukkan inkoherensi dan afekemosi yang inadequate. Proses berpikir sama sekali tidak realistik lagi (Maramis dan
Maramis, 2009).
3. Gangguan psikotik akut dan sementara
Gangguan ini timbul tidak lama sesudah terjadi stress psikologik yang
dirasakan hebat sekali oleh individu. Stress ini disebabkan oleh suatu frustasi atau
konflik dari dalam ataupun dari luar individu yang mendadak dan jelas, umpamanya
dengan tiba-tiba kehilangan seorang yang dicintainya, kegagalan, kerugian dan
bencana. Gangguan psikotik akut
adalah gaduh-gelisah reaktif dan kebingungan reaktif (Maramis dan Maramis, 2009).
4. Psikosis Bipolar.
Psikosis bipolar termasuk dalam kelompok psikosa afektif karena pokok
gangguannya terletak pada afek-emosi. Tidak jelas ada frustasi atau konflik yang
menimbulkan gangguan mental ini. Belum ditemukan juga penyakit badaniah yang
dianggap berhubungan dengan psikosa bipolar, biarpun penelitian menunjuk kearah
itu. Tidak ditemukan juga disharmoni atau keretakan kepribadian seperti pada
skizofrenia; pada jenis depresi ataupun mania, bila aspek afek-emosinya menurun,
maka aspek yang lain juga menurun, dan sebaliknya (Maramis dan Maramis, 2009).
Pada psikosa bipolar jenis mania tidak terdapat inkoherensi dalam arti kata
yang sebenarnya, tetapi pasien itu memperlihatkan jalan pikiran yang meloncat-loncat
atau melayang (flight of ideas). Ia merasa gembira luar biasa (efori), segala hal
dianggap mudah saja. Psikomotorik meningkat, banyak sekali berbicara
5. Amok
Amok adalah keadaan gaduh-gelisah yang timbul mendadak dan dipengaruhi
oleh faktor-faktor
(Pedoman Penggolongan
trance).
individu itu dibuat tidak berdaya oleh orang lain, karena kehabisan tenaga atau karena
ia melukai diri sendiri, dan mungkin sampai ia menemui ajalnya (Maramis dan
Maramis, 2009).
Menilai dan Memprediksi Perilaku Kekerasan
Tanda-tanda adanya perilaku kekerasan yang mengancam (Sadock, et al, 2007):
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
Tatalaksana
Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah dibawa kepada kita, penting sekali kita
harus bersikap tenang. Dengan sikap yang meyakinkan, meskipun tentu waspada, dan katakata yang dapat menenteramkan pasien maupun para pengantarnya, tidak jarang kita sudah
dapat menguasai keadaan (Maramis dan Maramis, 2009).
Bila pasien masih diikat, sebaiknya ikatan itu disuruh dibuka sambil tetap berbicara
dengan pasien dengan beberapa orang memegangnya agar ia tidak mengamuk lagi. Biarpun
pasien masih tetap dipegang dan dikekang, kita berusaha memeriksanya secara fisik.
7
Sedapat-dapatnya tentu perlu ditentukan penyebab keadaan gaduh gelisah itu dan
mengobatinya secara etiologis bila mungkin (Maramis dan Maramis, 2009).
Suntikan intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeutik tinggi
(misalnya chlorpromazine HCL), pada umumnya sangat berguna untuk mengendalikan
psikomotorik yang meningkat. Bila tidak terdapat, maka suntikan neuroleptikum yang
mempunyai dosis terapeurik rendah, misalnya trifluoperazine, haloperidol (5 10 mg), atau
fluophenazine dapat juga dipakai, biarpun efeknya tidak secepat neuroleptikum kelompok
dosis terapeutik tinggi.
Bila tidak ada juga, maka suatu tranquailaizer pun dapat dipakai, misalnya diazepam
(5 10 mg), disuntik secara intravena, dengan mengingat bahwa tranquilaizer bukan suatu
antipsikotikum seperti neuroleptika, meskipun kedua-duanya mempunyai efek antitegang,
anticemas dan antiagitasi (Maramis dan Maramis, 2009).
Efek samping neuroleptika yang segera timbul terutama yang mempunyai dosis
terapeutik tinggi, adalah hipotensi postural, lebih-lebih pada pasien dengan susunan saraf
vegetatif yang labil atau pasien lanjut usia. Untuk mencegah jangan sampai terjadi sinkop,
maka pasien jangan langsung berdiri dari keadaan berbaring, tetapi sebaiknya duduk dahulu
kira-kira satu menit (bila pasien sudah tenang) (Maramis dan Maramis, 2009).
Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula agar ia jangan
mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang orang lain atau merusak barangbarang.
Bila pasien sudah tenang dan mulai kooperatif, maka pengobatan dengan
neuroleptika dilanjutkan per oral (bila perlu suntikan juga dapat diteruskan). Pemberian
makanan dan cairan juga harus memadai. Kita berusaha terus mencari penyebabnya, bila
belum diketahui, terutama bila diduga suatu
ditemukan, tentu diusahakan untuk mengobatinya secara etiologis (Maramis dan Maramis,
2009).
Pasien dengan amok, bila sampai kepada kita, biasanya sudah tidak mengamuk lagi,
kita tinggal berusaha tambah menentramkan saja dan mengobati keadaan fisik bila sudah
terganggu sewaktu dia dalam keadaan amok. Psikosis skizofrenia dan bipolar memerlukan
pengobatan jangka panjang dengan neuroleptika (Maramis dan Maramis, 2009).
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Kondisi pada keadaan kegawatdaruratan psikiatrik meliputi percobaan bunuh
diri, keadaan gaduh gelisah, ketergantungan obat, intoksikasi alkohol, depresi akut,
adanya delusi, kekerasan, serangan panik, dan perubahan tingkah laku yang cepat dan
signifikan, serta beberapa kondisi medis lainnya yang mematikan dan muncul dengan
gejala psikiatrik umum. Kegawatdaruratan psikiatrik ada untuk mengidentifikasi dan
DAFTAR PUSTAKA
1. Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI
2. Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.
Surabaya: Airlangga University Press.
3. Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York: Lippincott Williams
& Wilkins.
4. Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC.
10