Anda di halaman 1dari 3

Ketika Halaqah Tak Lagi Dirindui

6 September 2011

Ilustrasi (inet)
dakwatuna.com - Suara-suara mendengung bak lebah itu menumbuhkan suasana syahdu
dan khusyuk. Lantunan kalam Ilahi yang meluncur dari lisan-lisan shalih itu bak mantera
penguat jiwa. Murajaah hafalan surat-surat dalam Al-Quran serta talaqqi madahpenuh
dengan semangat dan optimisme yang tinggi. Pertemuan pekanan ini ibarat ruh bagi jiwa,
bak air untuk kehidupan.
Majelis pekanan yang lazim dikenal sebagai halaqah, tak bisa dipungkiri adalah nadi bagi
sebuah harakah Islamiyah. Di dalamnya, para kader dakwah berinteraksi secara intim dan
intens di bawah bimbingan seorang Murabbi. Pertemuan-pertemuan pekanan semacam
ini haruslah dinamis dan produktif agar harakah Islamiyah dapat terus menggulirkan
amal-amal dakwah demi kejayaan Islam. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa tak selalu
halaqah ini berjalan mulus. Ada kalanya rutinitas pekanan ini didera kelesuan. Karena
bagaimanapun pribadi-pribadi di dalamnya adalah manusia, bukan kumpulan para
malaikat, yang memiliki iman yang fluktuatif.
Mengapa sebuah halaqah tak lagi nyaman didatangi?
Pertama, disorientasi tujuan.
Motivasi orang mengikuti kajian rutin seperti halaqah sangat beragam. Ada yang karena
ingin mendalami ilmu agama. Ada yang tertarik oleh ajakan kawan. Ada yang
bersungguh-sungguh ingin menegakkan agama Allah. Pun tak sedikit yang semangat
berhalaqah agar naik jenjang keanggotaan dalam jamaah. Nah, ketika dirasa peluang naik
tingkat sangat kecil, bukan tidak mungkin semangat yang sebelumnya menyala-nyala
bisa langsung padam. Disorientasi tujuan ini berkaitan erat dengan ruhiyah seseorang
sehingga ketika ada yang mengalami hal ini, maka pasokan ruhiyahnya harus
ditingkatkan. Bisikan-bisikan hawa nafsu harus ditepis agar keikhlasan tetap terjaga.
Komitmen bergabung dalam jamaah dakwah harus dikuatkan kembali.

Kedua, pelaksanaan halaqah yang membosankan.


Bagaimanapun, mengelola halaqah ada seninya. Meskipun kurikulum sudah ada, silabus
sudah lengkap dan tujuan masing-masing materi sudah jelas, tetap saja diperlukan strategi
agar halaqah berjalan dinamis dan penuh kesan. Halaqah yang melibatkan semua
komponen dan bergerak menuju arah yang sama tentulah halaqah yang sangat dinantinantikan kehadirannya. Oleh karenanya setiap individu di dalam halaqah memiliki
peranan yang sangat penting demi mewujudkan halaqah yang dirindui.
Ketiga, hubungan Murabbi dengan mutarabbi.
Murabbi sebagai pemimpin dan pengendali halaqah memegang peranan yang paling
penting. Sosoknya haruslah mampu diterima semua anggota kelompok. Tidak ada
penolakan terhadap dirinya. Imam Hasan Al Banna mengibaratkan figur ini sebagai
syaikh dalam hal kepakaran ilmu, orang tua dalam hal kasih sayang, guru dalam hal
pengajaran, kakak dalam hal teladan dan pemimpin untuk urusan ketaatan.
Pernah ada seorang mutarabbi yang menyampaikan kepada Murabbinya, Ustadz, saya
usul dalam halaqah kita ketika adzan Isya berkumandang marilah kita segera shalat
berjamaah sebagaimana ketika kita shalat Maghrib. Tak dinyana, jawaban Sang Murabbi
begini.Akhi, saya ketika halaqah dengan para doktor-doktor syariah biasa saja gak shalat
Isya jamaah waktu halaqah. Shalatnya nanti di rumah saja biar waktu halaqah nggak
terlalu lama. Saya rasa, yang perlu diperbaiki itu komitmen Antum. Antum suka datang
telat, waktu halaqah tidur, kurang ihtiram, gak setor hafalan.
Menjadi pemimpin, tak boleh alergi kritik sebagaimana menjadi mutarabbi pun tak boleh
alergi nasihat dan teguran. Ketika jawaban tersebut disampaikan, maka si Al akh pun
balik membalas, Ustadz, saya kan usul. Usul itu bisa diterima atau ditolak. Kalo
diterima, Alhamdulillah kalo nggak ya nggak apa-apa. Jangan malah membeberkan aibaib saya
Ketika hubungan Murabbi-Mutarabbi seperti ini saling menyerang- pastilah halaqah
bukan lagi momen yang dirindukan. Ia akan menjadi waktu yang tidak diharapkan, atau
dijalani dengan terpaksa. Dihadiri tanpa semangat. Oleh karenanya harus ada hubungan
yang mesra antara Murabbi dengan mutarabbi-nya. Jika hubungan ini sudah tercipta,
niscaya halaqah akan menjadi momen yang dinanti-nanti.
Keempat, melemahnya militansi.
Bisa jadi, masa-masa awal mengikuti halaqah adalah momen-momen yang tak
terlupakan. Berkobar-kobarnya semangat dan keinginan meninggikan agama Allah.
Setelah itu akan dirasakan kestabilan dan keadaan yang biasa-biasa saja. Kesibukan
dunia, rutinitas kerja, tuntutan-tuntutan di luar dakwah dan kompleksitas dari ketiga
faktor di atas akan melemahkan militansi. Pada kondisi seperti ini, halaqah bisa berubah
menjadi sekedar rutinitas yang menjemukan. Hanya akan menjadi majelis setor muka.
Jika ini yang terjadi, maka wajarlah jika kelak lambat laun halaqah tak akan lagi dirindui.

Oleh karenanya, bangkitlah! Semangat itu tak dicari, tapi ditumbuhkan. Kemudian
dipupuk dan dijaga dari hama dan virus yang akan melemahkannya. Militansi tak kenal
musim. Ia harus dijaga senantiasa hidup dan menjadi api perjuangan.
Wahai Saudaraku, mari tumbuhkan kerinduan akan hari itu. Hari pertemuan kita dengan
saudara yang diikat karena Allah. Hari yang di dalamnya penuh keberkahan dan doa para
malaikat. Satu hari dalam setiap minggu yang kita dedikasikan untuk menghasilkan amalamal dakwah dalam bingkai harakah Islamiyah

Tentang Qonitatillah, MSc.

Anda mungkin juga menyukai