Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tumbuhan Lantana camara L.
1. Taksonomi Tumbuhan Lantana camara L.
Lantana camara L. tumbuh sebagai tanaman liar, tersebar di daerah tropis
hampir seluruh benua. Ditemukan pada tempat-tempat terbuka yang terkena sinar
matahari atau agak ternanung. Tumbuhan yang berasal dari Amerika ini dapat
ditemukan di daerah dataran rendah sampai ketinggian 1.700 m di atas permukaan
laut dan banyak dipakai sebagai tanaman pagar. Perdu tegak atau agak memanjat
dengan tinggi 0,5 - 4 m, daun tunggal, batang berkayu, bercabang banyak, ranting
berbentuk segi empat, berduri dan berambut (Wardiyono, 2010).
Tumbuhan Lantana camara L. dapat diklasifikasikan sebagai berikut
(Dalimartha, 2003):
Kingdom
Divisio
Sub Divisio
Sub Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies

: Plantae
: Spermatophyta
: Eudicots
: Asterids
: Lamiales
: Verbenaceae
: Lantana
: Lantana camara Linn

Gambar 2.1. Tumbuhan Lantana camara L.


2. Morfologi Tumbuhan Lantana camara L.
Tumbuhan Lantana camara L. mempunyai herba batang yang berbulu dan
berduri, serta berukuran lebih kurang 2 m. Kulit batang berwarna coklat dengan
permukaan kasar. Daunnya kasar, berwarna hijau berbentuk oval, beraroma dan
berukuran panjang beberapa sentimeter dengan bagian tepi daun yang bergerigi.
Bercabang banyak, ranting berbentuk segi empat, ada varietas berduri dan ada
varietas yang tidak berduri. Daun tunggal, tulang daun menyirip. Bunga dalam
rangkaian yang bersifat rasemos mempunyai warna putih, merah muda, dan jingga
kuning. Buah seperti buah buni berwarna hitam mengkilap bila sudah matang
(Dalimartha, 2003).
3. Kandungan Kimia dan Manfaat Tumbuhan Lantana camara L.
Lantana camara L. adalah gulma berbahaya dari family Verbenaceae yang
terdiri dari sekitar 650 spesies yang tersebar lebih dari 60 negara. Tiga varietas
Lantana camara L. telah dilaporkan dari India di mana Lantana camara L.
varietas aculeata adalah yang paling umum. Minyak esensial dan ekstrak tanaman
ini digunakan dalam obat-obatan herbal untuk pengobatan berbagai penyakit
manusia seperti kulit gatal, kusta, kanker, cacar air, campak, asma, maag, tumor,
tekanan darah tinggi, tetanus, rematik, dan lain-lain (Seth et al., 2012). Seluruh

bagian tanaman Lantana camara L. telah dilakukan penelitian untuk kandungan


kimianya. Semua studi ini mengungkapkan adanya terpenoid, steroid dan alkaloid
sebagai konstituen utama. Kegiatan antimikroba minyak esensial dan ekstrak
Lantana camara L. sebelumnya sudah dikaji yang menunjukkan peran potensial
terhadap beberapa mikroorganisme patogen sebagai agen antimikroba baru,
khususnya terhadap kerja bakteri. Selain itu, tanaman ini telah terbukti memiliki
efek beracun dan penolak terhadap hama serangga tertentu (Zoubiri dan
Baaliouamer, 2011).
Kandungan daun dan bunga Lantana camara L. berpotensi untuk dijadikan
sebagai insektisida nabati karena mengandung lantadena A [1], lantadena B [2],
lantadena C [3], lantadena D [4], asam lantat [5], asam lantanilat [6], (Nasution,
2003). Selain itu, pada tahun 1994, Rini Asterina melakukan pemeriksaan pada
daun Lantana camara L. dan memperoleh adanya senyawa golongan flavanoid.
Tumbuhan ini merupakan salah satu tumbuhan yang berpotensi untuk digunakan
dan dikembangkan sebagai obat untuk mencegah infeksi pada luka adalah
tumbuhan Lantana camara L. Akar berkhasiat mengatasi influenza disertai
demam tinggi, TBC kelenjar, rematik, bengkak terbentur (memar), keputihan
(leukorea), kencing nanah (gonore), gondongan (parotitis, mumps) dan sakit
kulit.Daun berkhasiat mengatasi sakit kulit, gatal-gatal, bisul, luka, batuk, rematik,
memar, dan bengkak. Bunga berkhasiat mengatasi, TBC dengan batuk berdarah,
sesak napas (Dalimartha, 2003). Air perasan daun Lantana camara L.
juga

telah

digunakan

tuberkulosis (Shari, 2007).

secara

tradisional

untuk

mengobati

CH3

H
C

CH3

COOH

CH3

CH3
C
CH3

COOH

[1]

[2]
O
O

CH3
CH

CH 2

CH3

COOH

COOH

CH 3

CH 3

[3]

[4]

COOH
O
HO

O
COOH

CH3
C
CH3

O
HO

[5]

[6]

B. Senyawa Metabolit Sekunder


Senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang umumnya
mempunyai bioaktifitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan tersebut dari
gangguan hama penyakit untuk tumbuhan itu sendiri atau lingkungannya.

Senyawa metabolit sekunder telah banyak digunakan sebagai zat warna, racun,
aroma makanan, obat-obatan dan sebagainya. Senyawa metabolit sekunder dapat
digolongkan ke dalam beberapa golongan senyawa bahan alam seperti terpenoid,
steroid, flavonoid, dan alkaloid (Lenny, 2006a).
1. Terpenoid
Terpenoid merupakan komponen-komponen tumbuhan yang mempunyai
bau dan dapat diisolasi dari bahan nabati dengan penyulingan yang disebut
sebagai minyak atsiri. Minyak atsiri yang berasal dari bunga pada awalnya dikenal
dari penentuan struktur secara sederhana, yaitu dengan perbandingan atom
hidrogen dan atom karbon dari suatu senyawa terpenoid yaitu 8 : 5 dan dengan
perbandingan tersebut dapat dikatakan bahwa senyawa tersebut adalah golongan
terpenoid (Lenny, 2006a).
Kata terpenoid mencakup sejumlah besar senyawa tumbuhan, istilah ini
digunakan untuk menunjukkan bahwa secara biosintesis semua senyawa
tumbuhan itu berasal dari senyawa yang sama. Sebagian besar senyawa terpenoid
mempunyai kerangka karbon yang dibangun oleh dua atau lebih unit C-5 yang
disebut unit isopren. Unit C-5 ini dinamakan demikian karena kerangka
karbonnya sama seperti senyawa isopren (Lenny, 2006b).

Gambar 2.2. Kerangka Isopren dan Unit Isopren

10

Senyawa-senyawa organik bahan alam yang tergolong


terpenoid

memperlihatkan

keteraturan.

Dari

segi

struktur,

molekul terpenoid dibangun oleh dua atau lebih unit isoprena


yang umumnya bergabung secara kepala-ke-ekor. Keteraturan ini
disebabkan oleh asal usul dari senyawa-senyawa ini dalam
jaringan organisme mempunyai banyak persamaan (Achmad,
1985).
a. Klasifikasi Terpenoid
Senyawa terpenoid dapat diklasifikasikan sesuai dengan jumlah satuan C 5
penyusunnya, yang meliputi hemiterpen (C 5) [7], monoterpen (C10) [8],
seskuiterpen (C15) [9], diterpen (C20) [10], sesterterpen (C25), triterpen (C30) [11],
dan tertraterpen (C40) [12] (Matsjeh, 1996).
CH3

CH3

OH

H3C

H3C
H3C

CH3H3C

CH3

H3C

[7]

CHCH2CH2OH

[8]

[9]
H

CH3

CH3

OH

CH3

CH3
H3C

O
CH3

CH3

CH3

OH

11

[10]
CH3

[11]
CH3

H3C

CH3

H3C
CH3
CH3

H3C

H3C

H3C

[12]
b. Identifikasi Terpenoid
Anggota yang rendah dari golongan terpenoid (senyawa C 10 dan C15) sering
dapat diperoleh dengan cara distilasi uap dari tanaman yang segar atau kering,
sedangkan anggota yang lebih tinggi (C 20 atau lebih) biasanya diisolasi dengan
cara ekstraksi dengan pelarut kemudian dipisahkan dan dimurnikan dengan cara
kristalisasi, distilasi, dan kromatografi (Matsjeh, 1996).
Identifikasi adanya terpenoid pada ekstrak tumbuhan dapat dilakukan
dengan menggunakan pereaksi Liebermenn-Buchard. Terpenoid memberikan
reaksi positif (range warna dari merah hingga ungu) ketika dipanaskan dengan
asam asetat anhidrat dan diteteskan dengan sedikit asam sulfat (Robinson, 1995).
2. Alkaloid
Sejarah alkaloid hampir setua peradaban manusia. Manusia telah
menggunakan obat-obatan yang mengandung alkaloid dalam minuman,
kedokteran, teh, tapal, dan racun (Lenny, 2006b). Alkaloid berasa pahit, biasanya

12

banyak dipakai sebagai bahan obat dan juga sebagai zat penolak ataupun penarik
serangga (Sukorini, 2006).
Alkaloid merupakan komponen senyawa metabolit sekunder yang terbesar
dalam tumbuhan dan pada umumnya bersifat basa yang mengandung satu atau
lebih atom nitrogen yang biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari sistem
siklik (Harborne, 1987). Alkaloid adalah senyawa organik siklik yang
mengandung atom nitrogen. Alkaloid juga merupakan golongan zat metabolit
sekunder yang terbesar, yang pada saat ini telah diketahui ada sekitar 5500 buah.
Alkaloid pada umumnya mempunyai keaktifan fisiologi yang menonjol, sehingga
oleh manusia alkaloid sering dimanfaatkan untuk pengobatan (Taofik, 2010).
8
10

14

11

19

15

13

12

16

18

6
5

H
17

N
H
1

4
3

20

21

Gambar 2.3. Kerangka Dasar Senyawa Alkaloid


Sebagian besar alkaloid mempunyai kerangka dasar polisiklik termasuk
cincinheterosiklik nitrogen serta mengandung substituen yang tidak terlalu
bervariasi. Atom nitrogen alkaloid hampir selalu berada dalam bentuk gugus amin
(NR2) atau gugus amida (CONR2) dan tidak pernah dalam bentuk gugus nitro
(NO2) atau gugus diazo (N=N). Sedang substituen oksigen biasanya
ditemukan sebagai gugus fenol (OH), metoksi (OCH3) atau gugus
metilendioksi (OCH2O), (Lenny, 2006b).
a. Klasifikasi Alkaloid
Alkaloid dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis cincin heterosiklik
nitrogen yang merupakan bagian dari struktur molekul, maka alkaloid dapat

13

dibedakan atas beberapa jenis seperti alkaloid pirolidin [13], alkaloid piperidin
[14], alkaloid isokuinolin [15], alkaloid kuinolin [16], dan alkaloid indol [17].
NH
N

N
H

[13]

[14]

N
H

[15]

[16]

[17]

Beberapa golongan alkaloid yang paling banyak ditemukan di alam antara


lain nikotin [18], kafein [19], efedrina [20], koniina [21], kolkhisina [22], sitisina
[23], dan atropina [24].
OH

NH

CH3
N

N
CH3

CH3 N
O

NMe
N

N
H

[18]

[19]
NHCOCH3

CH3O

[20]

[21]

NH

CH3O

CH3O

O
OMe

NMe

OCOCHPh

CH2OH

14

[22]

[23]

[24]

b. Identifikasi Alkaloid
Kebanyakan alkaloid yang telah diisolasi berupa padatan/kristal dengan titik
lebur yang tinggi. Sedikit alkaloid yang berbentuk amorf seperti nikotin dan
koniina yang berwujud cair pada suhu kamar. Pada umumnya, basa bebas alkaloid
larut dalam pelarut organik, namun beberapa jenis dari golongan pseudoalkaloid
dan protoalkaloid larut dalam air. Juga garam alkaloid dan alkaloid kuarterner
sangat larut dalam air (Matsjeh,1996).
Identifikasi adanya alkaloid pada ekstrak tumbuhan dapat dilakukan dengan
beberapa cara yaitu dengan menggunakan berbagai pereaksi seperti pereaksi
Mayer, Dragendorff, Wagner, asam silikotungstat 5%, asam tanat 5%, dan larutan
asam pikrat jenuh. Pereaksi Mayer paling banyak digunakan untuk mendeteksi
alkaloid karena pereaksi ini memberikan endapan putih hampir pada semua
senyawa golongan alkaloid. Pereaksi Mayer dapat dibuat dengan cara melarutkan
1,36 gram HgCl2 dalam 60 mL air suling pada bagian lain melarutkan pula 5 gram
KI dalam 10 mL air suling. Dicampur dan diencerkan dengan air suling sampai
100 mL (Robinson, 1995).
3. Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada
tanaman hijau, kecuali alga. Flavonoid termasuk senyawa fenolik alam yang
potensial sebagai antioksidan dan mempunyai bioaktifitas sebagai obat. Senyawasenyawa ini dapat ditemukan pada batang, daun, bunga, dan buah. Flavonoid
adalah suatu kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-

15

senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, dan biru, dan sebagian zat warna
kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan (Waji dan Sugrani, 2009).
C

Gambar 2.4. Kerangka Dasar Senyawa Flavonoid


Flavonoid berupa senyawa yang larut dalam air, dapat diekstraksi dengan
etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstraknya dikocok dengan
eter minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu warnanya berubah
jika ditambahkan basa atau amonia; flavonoid mudah dideteksi pada kromatogram
atau dalam larutan (Harborne, 1987).
a. Klasifikasi Flavonoid
Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom
karbon, dimana dua cincin benzena (C6) terikat pada suatu rantai propana (C3)
sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6. Susunan ini dapat menghasilkan
tiga jenis struktur, yakni 1,3-diarilpropan atau flavonoid [25], 1,2-diarilpropan
atau isoflavonid [26], dan 1,1-diarilpropan atau neoflavonoid [27] (Waji dan
Sugrani, 2009).
3

B
1

A
1

[25]
b. Identifikasi
Flavonoid

[26]

A
1

2
B

[27]

Identifikasi adanya flavonoid pada ekstrak tumbuhan dapat dilakukan


dengan cara menambahkan FeCl3 1% dalam air atau etanol ke dalam larutan

16

cuplikan. Apabila positif flavonoid, pereaksi ini menimbulkan warna hijau, biru
atau hitam kuat (Harborne, 1987).
4. Steroid
Steroid merupakan senyawa yang memiliki kerangka dasar karbon yang
spesifik yaitu kerangka 1,2-siklopentanoperhidrofenantren (Achmad, 1986).
Steroid juga dapat diartikan sebagai hidrokarbon jenuh dengan 17 atom karbon
dalam sistem cincin dimana tiga cincin beranggota enam atom karbon dan satu
cincin beranggota lima atom karbon (Harborne, 1987). Kerangka dasar dari
steroid ini sekaligus merupakan ciri-ciri khusus yang membedakan steroid dengan
senyawa organik bahan alam lainnya.
12

R 2 R1
17

11

13
R3
D 16
C
1
9
Gambar 2.5. Kerangka Dasar Senyawa Steroid
2

a. Klasifikasi Steroid

3
4

10
5

14

15

Struktur senyawa steroid sangat beragam, sebagian besar senyawanya


bersifat nonpolar, sehingga untuk mengisolasinya menggunakan senyawa yang
bersifat nonpolar (Sulastry dan Kurniawati, 2010). Steroid terdiri atas beberapa
kelompok senyawa dan pengelompokan ini didasarkan pada efek fisiologis yang
diberikan oleh masing-masing senyawa. Kelompok-kelompok tersebut antara lain
sterol seperti stigmasterol [28], asam empedu seperti asam kolat [29], hormon
seks seperti testosteron [30], hormon adrenokortikoid seperti aldosteron [31],
aglikon kardiak seperti diqitoksigenin [32], dan sapogenin seperti diosgenin [33]
(Lenny, 2006a).
OH

HO

HO

OH

COOH

17

[28]

[29]
OH

O
OH

CH2OH

[30]

[31]
O

O
O
O

OH
OH

HO

[32]

[33]

H
CH3

18

b. Identifikasi Steroid
Identifikasi senyawa steroid pada ekstrak tumbuhan dapat dilakukan dengan
menggunakan pereaksi Liebermann-Buchard. Apabila positif steroid, pereaksi ini
akan menimbulkan warna biru hingga hijau (Robinson, 1995).
C. Isolasi Senyawa Bahan Alam
Isolasi senyawa bahan alam adalah proses pemisahan komponenkomponen kimia yang terdapat dalam suatu bahan alam. Pemisahan ini didasarkan
pada adsorpsi dan partisi senyawa terhadap penyerap dan cairan pengelusi. Salah
satu usaha mengefektifkan isolasi senyawa tertentu dengan pemilihan pelarut
organik yang akan digunakan pada isolasi tersebut, dimana pelarut polar akan
lebih mudah melarutkan senyawa polar dan sebaliknya senyawa nonpolar lebih
mudah larut dalam pelarut nonpolar (Harborne, 1987). Isolasi senyawa bahan
alam terdiri dari ekstraksi, fraksinasi, pemurnian dan identifikasi.
1. Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Cara
ekstraksi yang tepat tergantung pada bahan tumbuhan yang diekstraksi dan jenis
senyawa yang diisolasi. Sebelum ekstraksi dilakukan, biasanya bahan-bahan
dikeringkan lebih dahulu kemudian dihaluskan pada derajat kehalusan tertentu
(Harborne, 1987).
Secara umum, ekstraksi senyawa metabolit sekunder dari seluruh bagian
tumbuhan seperti bunga, buah, kulit batang, dan akar menggunakan sistem
maserasi. Maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut organik

19

pada suhu ruangan. Proses ini menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam
karena dengan perendaman sampel tumbuhan akan terjadi pemecahan dinding dan
membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel, sehingga
metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik
dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama perendamannya.
Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektifitas yang tinggi
dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam pada pelarut tersebut.
Secara umum pelarut metanol merupakan pelarut yang paling umum digunakan
dalam proses isolasi senyawa bahan alam karena sifatnya yang dapat melarutkan
seluruh golongan metabolit sekunder (Lenny, 2006c).
2. Metode Pemisahan (Fraksinasi)
Pemisahan kandungan senyawa pada tumbuhan didasarkan pada adsorpsi
dan partisi senyawa terhadap penyerap dan cairan pengelusi. Pemisahan biasanya
dilakukan dengan

menggunakan teknik

kromatografi. Beberapa macam

kromatografi yang sering digunakan yaitu kromatografi kolom, kromatografi


kertas, kromatografi gas cair dan kromatografi lapis tipis.
a) Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis (KLT) digunakan secara luas karena menggunakan
peralatan sederhana, murah, cepat, dan daya pisah cukup baik. Identifikasi secara
KLT berkaitan dengan fase diam, fase gerak, dan penampak bercak. Fase diam
berupa plat lapis tipis seperti silika gel. Pemilihan pelarut sebagai fase gerak
sangat menentukan pemisahan senyawa. Penampak bercak yang umum digunakan
adalah sinar UV. Dikenal pula penampak bercak yang disemprotkan pada fase

20

diam seperti asam sulfat untuk semua golongan senyawa. Serium sulfat digunakan
umumnya untuk golongan senyawa alkaloid, steroid, sapogenin, dan terpenoid.
Terdapat pula penampak bercak spesifik terhadap alkaloid yang disemprotkan
pada fase diam yakni pereaksi Dragendorff yang akan menampakkan warna
bercak jingga (Arnida dan Sutomo, 2008).
Pemisahan komponen suatu senyawa pada kromatografi ini tergantung pada
adsorben terhadap masing-masing komponen. Komponen yang larut terbawa oleh
fase diam (adsorben) dengan perpindahan kecepatan yang berbeda. Pemilihan
eluen pada kromatografi sebaiknya dimulai dari pelarut organik dengan tingkat
kepolaran rendah, seperti n-heksana dan peningkatan kepolaran dengan etil asetat
atau pelarut yang lebih polar lainnya (Harborne, 1987).
Jarak pengembangan senyawa pada kromatografi biasanya dinyatakan
dengan angka Rf yaitu :
Jarak yang ditempuh oleh senyawa
Rf =
Jarak yang ditempuh oleh pelarut
Angka Rf (Rate of follow) menyatakan besaran perbandingan kecepatan
bergeraknya komponen terlarut terhadap fase gerak (pelarut).
Adsorben (padatan penyerap) yang paling sering dgunakan untuk KLT
adalah alumina (Al2O3) dan silika gel (SiO 2). Alumina lebih polar daripada silika
gel, dan senyawa ini sering dinyatakan lebih aktif daripada silika gel. Alumina
lebih cocok untuk analisis senyawa-senyawa nonpolar atau kurang polar (seperti
hidrokarbon, eter, aldehida, keton, dan alkil halida) karena senyawa-senyawa
polar sangat kuat teradsorpsi pada adsorben ini. Analisis KLT senyawa-senyawa
polar pada alumina umumnya menghasilkan nilai Rf yang rendah dan pemisahan

21

yang minimal. Sebaiknya silika gel dipilih sebagai adsorben untuk senyawasenyawa polar (asam karboksilat, alkohol, amina) karena senyawa-senyawa
nonpolar teradsorpsi lemah pada silika gel. Analisis KLT senyawa-senyawa
nonpolar pada silika gel umumnya memberikan harga Rf yang tinggi dan
pemisahan yang minimal (Firdaus, 2011).
Sifat-sifat pelarut pengembang juga merupakan faktor dominan dalam
menentukan mobilitas komponen-komponen campuran. Jika pelarut lebih polar
daripada komponen campuran, molekul-molekul pelarut akan menggantikan
molekul-molekul komponen pada padatan adsorben, dan komponen-komponen
tersebut ikut bergerak bersama pelarut (fasa gerak) dan menunjukkan harga Rf
yang tinggi. Sebaliknya jika pelarut kurang polar daripada komponen campuran,
maka komponen akan tetap berada pada adsorben dan tidak digerakkan oleh
pelarut (harga Rf = 0). Umumnya, kemampuan suatu pelarut pengembang untuk
menggerakkan senyawa pada suatu adsorben berkaitan dengan polaritas pelarut.
Kemampuan ini disebut kekuatan elusi (Firdaus, 2011).
Tabel 2.1. Beberapa pelarut pengelusi untuk KLT

p
o
l
a
r
i
t
a
s
b)

Pelarut
Metanol
Etanol
Aseton
Etil asetat
Kloroform
Dietil eter
Metilen diklorida
Benzena
Toluena
Karbon tetraklorida
Heksana
Kromatografi Kolom

Titik didih
65
78
56
77
61
35
41
80
111
77
68

k
e
k
u
a
t
a
n
e
l
u
s
i

22

Terjadinya pemisahan komponen-komponen pada plat KLT dengan Rf


tertentu dapat dijadikan sebagai panduan untuk memisahkan komponen kimia
tersebut dengan menggunakan kromatografi kolom. Sebagai fasa diam digunakan
silika gel dan eluen yang digunakan disesuaikan dengan hasil yang diperoleh dari
KLT (Lenny, 2006c).
Seperti halnya KLT, kromatografi kolom adalah suatu bentuk kromatografi
serapan. Kromatografi kolom juga disebut kromatografi elusi karena senyawasenyawa yang terpisah dielusikan dari dalam kolom. Prinsip kromatografi kolom
samadengan prinsip dalam KLT, yakni senyawa-senyawa dalam campuran
terpisahkan oleh partisi antara padatan penyerap sebagai fasa diam dan pelarut
sebagai fasa gerak yang mengalir melewati padatan adsorben. Semakin kuat
terserapnya suatu zat pada fasa diam dan semakin menurun kelarutannya zat
dalam fasa gerak, maka semakin lambat zat tersebut bermigrasi sepanjang fasa
diam dengan arah yang searah dengan aliran pelarut (Firdaus, 2011).
1) Kromatografi Kolom Cair Vakum
Cara ini pertama kali dipublikasikan oleh Coll dkk pada tahun 1977 dengan
menggunakan corong Buchner kaca masir atau kolom pendek untuk mengisolasi
diterpena sembrenoid dari terumbu karang Australia. Kolom kromatografi
dikemas kering dalam keadaan vakum agar diperoleh kerapatan kemasan
maksimum. Vakum dihentikan, pelarut yang kepolarannya rendah dituangkan ke
permukaan penjerap lalu divakumkan lagi. Kolom dihisap sampai kering dan
sekarang siap dipakai (Hostettmann, dkk, 1995).

23

Sampel dilarutkan dalam pelarut yang cocok, dimasukkan langsung pada


bagian atas kolom dan dihisap perlahan-lahan ke dalam kemasan dengan
memvakumkannya. Kolom dielusi dengan campuran pelarut yang cocok, mulai
dari pelarut yang kepolarannya rendah lalu ditingkatkan perlahan-lahan, kolom
dihisap sampai kering pada setiap pengumpulan fraksi. Kromatografi cair vakum
menggunakan tekanan rendah untuk meningkatkan laju aliran fase gerak
(Hostettmann, dkk, 1995).
2) Kromatografi Kolom Flash
Pelarut pengelusi yang digunakan untuk kromatografi kolom sama halnya
dengan yang digunakan pada KLT. Semakin polar pelarut yang digunakan maka
semakin cepat pula komponen-komponen dalam campuran bermigrasi melalui
kolom. Randah atau tidak adanya pemisahan komponen-komponen nonpolar dari
suatu campuran dapat terjadi bila digunakan pelarut polar. Namun bila pelarut
polar digunakan untuk mendapatkan pemisahan optimum senyawa-senyawa
nonpolar, maka komponen-komponen polar dalam campuran tidak dapat
terelusikan (Firdaus, 2011).
Berkaitan dengan masalah ini, maka untuk mencapai pemisahan yang
optimum senyawa polar dan senyawa nonpolar dalam suatu campuran, komposisi
pelarut yang melewati kolom dapat diubah secara bertingkat ke pelarut yang lebih
polar dengan cara menaikkan komposisi pelarut yang lebih polar dalam suatu
campuran dua pelarut (Firdaus, 2011).

24

3. Pemurnian
Teknik yang paling sederhana dan efektif untuk pemurnian padatan senyawa
organik adalah kristalisasi. Senyawa yang berbentuk kristal mudah ditangani,
kemurniannya mudah diperkirakan dan seringkali lebih mudah diidentifikasi
daripada cairan atau minyak. Teknik kristalisasi melibatkan pelarutan padatan
kotor (impure) dalam volume minimum pelarut panas dan penyaringan untuk
memindahkan pengotor yang tidak larut. Kristal dapat terbentuk dengan cara
penjenuhan larutan yang diikuti dengan penguapan pelarut perlahan-lahan sampai
terbentuknya kristal. Selain itu, pengkristalan dapat pula dilakukan dengan cara
mendinginkan larutan jenuh pada temperatur yang sangat rendah (Firdaus, 2011).
Proses kristalisasi membutuhkan pelarut yang sesuai untuk melarutkan zatzat pengotor. Pelarut yang digunakan tidak bereaksi dengan senyawa yang akan
dikristalkan, lebih volatil sehingga mudah dipisahkan dari kristal, tidak beracun
dan tidak mudah terbakar, dan sangat larut dalam pelarut panas dan tidak larut
dalam pelarut dingin (Firdaus, 2011).
Tabel 2.2. Pelarut-pelarut untuk kristalisasi
Kelompok senyawa
Hidrokarbon
Eter
Halida
Senyawa karbonil

Pelarut-pelarut yang disarankan


Petroleum eter, heksana, sikloheksana, toluena
Eter, diklorometana
Diklorometana, kloroform
Etil asetat, aseton

Alkohol, asam

Etanol

Garam organik

Air

25

D. Identifikasi Senyawa Metabolit Sekunder


1. Uji Pereaksi
Identifikasi senyawa metabolit sekunder yang diperoleh dapat digunakan uji
pereaksi seperti pada tabel berikut ini:
Tabel 2.3. Beberapa Pereaksi dan Hasil Uji Senyawa Metabolit Sekunder
No
.

Pereaksi

Liebermann-Burchard

FeCl3

3
4
5

Dragendorff
Wagner
Mayer

Hasil
warna merah hingga ungu
warna biru atau hijau
warna hijau, biru atau
kompleks biru hitam
warna jingga
endapan coklat
endapan putih

Keterangan
+ Terpenoid
+ Steroid
+ Flavonoid
+ Alkaloid
+ Alkaloid
+ Alkaloid

2. Uji Titik Leleh


Titik leleh suatu zat murni adalah termperatur pada tekanan 1 atm di mana
fase cair dan fase padat senyawa tersebut berada dalam keadaan kesetimbangan.
Temperatur di mana cairan mulai tampak dan temperatur di mana padatan tidak
tampak lagi dinyatakan sebagai jarak titik leleh. Titik leleh suatu senyawa padat
dapat memberikan petunjuk derajat kemurniannya dan dapat juga membantu
dalam mengidentifikasinya. Meskipun tidak selalu benar, namun dapat
dipertimbangkan bahwa jarak titik leleh yang tajam (<2 oC), yakni antara mulai
tampak titik-titik cairan dalam sampel sampai tidak ada lagi padatan sedikitpun,
memberikan petunjuk yang dapat dipercaya bahwa senyawa tersebut adalah murni
(Firdaus, 2011).

26

3. Uji Spektroskopi
Metode spektroskopi adalah metode elusidasi struktur yang sering
digunakan setelah melakukan sintesis atau isolasi komponen senyawa bahan alam.
Metode ini meliputi spektroskopi Ultraviolet dan Tampak (UV-Vis), spektroskopi
Infra-Merah (IR), dan spektroskopi Massa (MS).
a) Spektroskopi UV-Vis
Spektrofotometer UV-Vis merupakan suatu analisis berdasarkan atas
pengukuran serapan suatu larutan yang dilalui radiasi monokromatis. Penyerapan
cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum ultraviolet bergantung pada struktur
elektronik dari molekul. Spektrum ultraviolet dari senyawa-senyawa organik
berkaitan erat dengan transisi-transisi di antara tingkatan-tingkatan tenaga
elektronik (Sastrohamidjojo, 1991).
Spektrofotometer UV-Vis digunakan untuk menentukan secara deskriptif
senyawa flavonoid yang didapat dari hasil pemisahan senyawa dengan KLT.
Spektrofotometer FTIR dapat digunakan untuk menentukan gugus-gugus fungsi
yang terdapat pada suatu senyawa, sehingga serapan yang dihasilkan pada
spektrum FTIR dapat memperkuat dugaan bahwa isolat tersebut merupakan
senyawa flavonoid (Sastrohamidjojo, 1991).
Spektrum serapan kandungan kimia tumbuhan dapat diukur dalam larutan
yang

sangat

encer

dengan

pembanding

blanko-pelarut

menggunakan

spektrofotometer yang merekam otomatis. Senyawa tanpa warna diukur pada


daerah panjang gelombang 200-400 nm, senyawa berwarna pada panjang
gelombang 400-800 nm (Harborne, 1987).

27

Pelarut yang banyak digunakan untuk spektrofotometer UV ialah etanol


95% karena kebanyakan golongan senyawa larut dalam pelarut tersebut. Alkohol
absolut komersial dihindari karena mengandung benzena yang dapat menyerap di
daerah sinar UV pendek. Pelarut lain yang sering digunakan ialah air, metanol,
heksana, dan eter. Pelarut seperti kloroform dan piridin umumnya haris dihindari
karena menyerap kuat di daerah 200-260 nm (Harborne, 1987).
b) Spektroskopi Infra-Merah (IR)
Spektroskopi inframerah dilakukan pada daerah inframerah yaitu dari
panjang gelombang 0,78 1000 m atau pada kisaran frekuensi 12800 10 cm-1.
Teknik spektroskopi inframerah terutama digunakan untuk mengetahui gugus
fungsional suatu senyawa, juga untuk mengidentifikasi senyawa, dan menentukan
struktur molekul. Spektrum inframerah dapat dibagi menjadi daerah inframerah
dekat, inframerah pertengahan, dan inframerah jauh, seperti diperlihatkan pada
tabel 2.4. (Fernandez, 2011).
Tabel 2.4. Daerah Spektrum Inframerah
Daerah
Dekat
Pertengahan
Jauh

Panjang
gelombang ()
m
0,78 2,5
2,5 50
50 1000

Bilangan
gelombang ()
cm-1
12800 4000
4000 200
200 10

Frekuensi ()
Hz
3.8x1014 1.2x1014
1.2x1014 6.0x1014
6.0x1014 3.0x1014

Aplikasi spektroskopi infra merah paling banyak digunakan pada daerah


pertengahan dengan kisaran bilangan gelombang 4000 sampai 670 cm -1 atau
dengan panjang gelombang 2,5 sampai 15 m. Spektrum infra merah dari
senyawa kovalen juga mempunyai sifat fisik yang karakteristik, artinya

28

kemungkinan dua senyawa mempunyai spektrum sama adalah kecil sekali


(Fernandez, 2011).
Penggunaan spektroskopi inframerah untuk penentuan struktur senyawa
organik yang didasarkan pada perbedaan dalam keadaan vibrasi dan rotasi
molekul untuk mengabsorpsi sinar infra merah. Jadi, untuk dapat mengabsorpsi,
molekul harus memiliki perubahan momen dipol sebagai akibat dari vibrasi energi
vibrasi molekul yang berhubungan dengan spektrum infra merah. Metode ini
berfungsi untuk mengetahui gugus fungsi yang terdapat dalam senyawa organik
(Khopkar, 2008).
Senyawa dengan gugus fungsional yang ingin diidentifikasi dapat diketahui
dengan menguji struktur IR-nya dan menggunakan data korelasi untuk
mendeduksi gugus fungsionalnya. Data korelasi beberapa gugus fungsi dapat
dilihat pada tabel 2.5.
Tabel 2.5. Pita Absorbsi Inframerah
Gugus

Senyawa

Frekuensi (cm-1)

Alkohol
Asam
Amina primer
Amina sekunder
Amida
Alkuna
Alkena
Aromatik
Alkana
Aldehida

3580 - 3650
2500 - 2700
~ 3500
3310 - 3500
3140 - 3320
3300
3010 - 3095
~ 3030
2853 - 2962
2700 - 2900

CC

Alkuna

2190 - 2260

C=C

Alkena

1630 - 160

C=O

Ester

OH
NH

CH

1650

29

c) Spektroskopi Massa (MS)


Spektroskopi massa adalah instrumen yang dapat menyeleksi molekulmolekul gas bermuatan berdasarkan massa atau beratnya. Umumnya spektrum
massa diperoleh dengan mengubah senyawa suatu sampel menjadi ion-ion
bergerak cepat yang dipisahkan berdasarkan perbandingan massa terhadap muatan
(m/e). Proses ionisasi menghasilkan partikel-partikel bermuatan positif, di mana
massa yang terdistribusi adalah spesifik terhadap senyawa induk (Khopkar, 2008).
Metode ini berguna untuk menentukan berat molekul senyawa dan ditunjang
adanya fragmentasi ion molekul yang menghasilkan pecahan-pecahan spesifik
untuk suatu senyawa berdasarkan m/e dari masing-masing fragmen yang
terbentuk. Terbentuknya fragmen-fragmen dengan terjadinya pemutusan ikatan
apabila disusun kembali akan dapat menentukan kerangka struktur senyawa yang
diperiksa (Lenny, 2006c).
Spektroskopi massa didasarkan pada pengubahan komponen cuplikan (M)
menjadi ion-ion gas cuplikan (M+).

Sinar e50-100 eV

M+ + 2e

ion-ion kecil

Ion-ion yang dihasilkan dilakukan pengukuran spektrum (m/e) (UPI Bandung,


2001).

Anda mungkin juga menyukai