PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit TB paru merupakan penyakit infeksi menular yang banyak
didapatkan di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia dan biasanya
terjadi pada anak maupun orang dewasa. Penyakit TB paru diperkirakan telah
menginfeksi sepertiga dari penduduk dunia dengan kejadian sekitar 95 %
terjadi pada Negara-negara berkembang (Aditama, dkk, 2007). Peningkatan
penderita
HIV/AIDS
juga
menjadikan
kecenderungan
permasalahan
2
penduduk (240000 kasus baru setiap tahun) dengan prevalensi 578000 kasus
(untuk semua kasus). TB paru merupakan pembunuh nomor satu diantara
penyakit menular dan merupakan peringkat tiga dalam daftar sepuluh penyakit
pembunuh tertinggi di Indonesia yang menyebabkan sebesar 88000 kematian
setiap tahunnya (Kemas, 2009). Dinegara-negara berkembang kematian
penderita penyakit TB paru merupakan 25% dari seluruh kematian, yang
sebenarnya dapat dicegah. Laporan WHO pada tahun 2010, mencatat
peringkat Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TB paru
sebesar 429 ribu orang. Lima negara dengan jumlah terbesar pada tahun 2010
adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia (Kompas, 2011).
Angka kejadian TB paru di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2010 sebesar
107/100.000 penduduk, dan persentase kasus TB paru yang dapat
disembuhkan sebesar 89,3%. Angka kejadian TB paru pada tahun 2015 akan
turun sesuai dengan target Jawa Tengah (88 per 100.000 penduduk) (Dinkes
Propinsi Jateng, 2010). Temuan kasus tuberkulosis paru di Jawa Tengah
hingga tahun 2011 mencapai 20.623 kasus yang tersebar dalam tiga lembaga
yaitu puskesmas sebanyak 15.003 kasus, rumah sakit sebanyak 3.607 kasus
dan BKPM/BP4 sebanyak 2.013 kasus. Data di kota Semarang tahun 2011,
kejadian kasus suspect TB paru sebanyak 15.001 kasus, sedangkan TB paru
BTA positif sebanyak 989 kasus (Dinkes Kota Semarang, 2011).
3
jumlah penderita TB Paru yang sangat signifikan. Jumlah penderita TB paru
tahun 2011 sebanyak 49 (naik 96% dari tahun 2010) yang terdiri dari 20
penderita TB paru BTA positif, 18 penderita TB Paru BTA negatif Rontgen
positif dan 11 kasus TB Paru anak ( Puskesmas Srondol, 2011).
Salah satu faktor yang berkaitan dengan penularan atau kejadian TB paru
adalah isolasi dahak. Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan kepada
lima penderita TB paru BTA positif di wilayah kerja Puskesmas Srondol, yang
telah dikunjungi rumahnya dan diobservasi serta wawancara dan melihat
kondisi secara langsung di rumah penderita didapatkan hasil bahwa dari lima
penderita hanya satu penderita (20%) yang membuang dahaknya di tempat
khusus atau kaleng tertutup yang berisi pasir dan antiseptik, empat penderita
(80%) membuang dahak di sembarang tempat. Dua penderita (40%) bila
batuk menutup mulut, yang dua penderita (40%) tidak pernah menutup mulut
bila batuk dan satu penderita (20%) kadang- kadang. Lima penderita (100%)
tidak menjaga jarak waktu berkomunikasi, penderita menganggap bahwa tidak
4
akan terjadi pemaparan kuman pada keluarga saat bercakap-cakap. Tiga
penderita (60%)
matahari tidak bisa masuk, dan dua penderita (40%) kondisi rumah tampak
terang, dan ventilasi cukup baik.
Berdasarkan data di atas perlu dikaji lebih lanjut, bagaimana perilaku isolasi
dahak yang dilakukan oleh penderita TB paru BTA positif secara keseluruhan
di Puskesmas srondol. Sejauhmana pengetahuan, sikap, dan praktek tentang
isolasi dahaknya. Beberapa penderita tersebut di atas, ternyata ada sebagian
yang tinggal dalam satu rumah. Hal ini menunjukkan tingkat penularan yang
tinggi, oleh karena itu perlu mendapatkan perhatian dan pemikiran dari semua
fihak yang terkait. Sebagai sumber penularan adalah penderita TB paru BTA
positif.
Apabila dari 20 penderita TB paru BTA positif tidak melakukan isolasi dahak
yang baik, maka orang yang tinggal serumah mempunyai resiko tinggi
tertular. Bila diasumsikan bahwa setiap penderita TB paru BTA positif akan
menularkan kepada 2 orang sehat, maka pada setahun kemudian di Puskesmas
Srondol akan terdapat 40 orang tertular TB paru. Hal ini telah ditunjukkan di
masyarakat bahwa beberapa penderita baik itu dewasa maupun anak yang
tinggal dalam satu rumah. Berdasarkan data tersebut, perlu dilakukan
penelitian bagaimana perilaku isolasi dahak penderita TB paru BTA positif di
Puskesmas Srondol. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tersebut di Puskesmas Srondol, dengan harapan hasil penelitian ini
dapat digunakan sebagai acuan untuk mencegah terjadinya penularan TB paru.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan
masalah penelitian ini adalah: Bagaimana gambaran perilaku isolasi dahak
penderita TB Paru BTA positif di Puskesmas Srondol.
C Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran perilaku (pengetahuan, sikap dan praktek) isolasi
dahak penderita TB paru BTA positif di Puskesmas Srondol
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan pengetahuan penderita TB Paru BTA positif tentang
isolasi dahak di Puskesmas Srondol.
b. Mendeskripsikan sikap penderita TB Paru BTA positif tentang isolasi
dahak di Puskesmas Srondol.
c. Mendeskripsikan praktik penderita TB Paru BTA positif dalam
melakukan isolasi dahak di Puskesmas Srondol.
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Responden
Penelitian ini diharapkan dapat merubah perilaku responden dalam rangka
mencegah penularan penyakit TB paru dengan melakukan isolasi dahak.
2. Puskesmas
Memberikan masukan dalam upaya untuk meningkatkan kegiatan program
Perawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) di wilayah kerja Puskesmas
Srondol dengan harapan dapat dijadikan sebagai program unggulan.
3. Peneliti
Memberikan
tambahan
kepustakaan
dalam
pengembangan
Ilmu
D. Bidang Ilmu
Penelitian ini berkaitan dengan ilmu keperawatan khususnya ilmu
keperawatan komunitas.
6
E. Originalitas Penelitian
Tabel 1.1 Originalitas Penelitian
Peneliti/Judul/Tahun
Istirochah, Beberapa faktor
yang berhubungan dengan
kejadian penularan
tuberkulosis paru (studi
tentang anggota keluarga
penderita tuberkulosis paru
BTA positif di kota
Magelang 2002).
Desain
Explanatory
research, analisis
cross sectional,
populasinya
keluarga penderita
TB paru BTA
positif
Variabel
Lama kontak, Kepadatan
hunian,Riwayat tidur
sekamar,Keeratan
hubungan
keluarga,Isolasi dahak
Hasil
Dari 4 variabel
tersebut hanya isolasi
dahak yang secara
statistik mempunyai
hubungan yang
bermakna dengan
kejadian penulaan
Tuberkulosis dengan
P : 0,033 kekuatan
hubungan lemah C :
0,236
Susilowati dalam
penelitiannya yang berjudul
faktor- faktor yang
berpengaruh terhadap
kejadian tuberkulosisi di
kecamatan kaliangkrik
Magelang 2010
Explanatory
research, analisis
cross sectional,
populasinya
keluarga prnderita
TB paru BTA
positif
Suwarsa
Faktor Faktor yang
Berhubungan dengan
Kejadian TB Paru BTA
Positif pada Kontak Serumah
di Kabupaten Garut Tahun
2001
cross sectional,
populasinya
keluarga prnderita
TB paru BTA +