Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit TB paru merupakan penyakit infeksi menular yang banyak
didapatkan di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia dan biasanya
terjadi pada anak maupun orang dewasa. Penyakit TB paru diperkirakan telah
menginfeksi sepertiga dari penduduk dunia dengan kejadian sekitar 95 %
terjadi pada Negara-negara berkembang (Aditama, dkk, 2007). Peningkatan
penderita

HIV/AIDS

juga

menjadikan

kecenderungan

permasalahan

tuberkulosis paru semakin meningkat. Indonesia diperkirakan terdapat


500.000 kasus baru TB paru dan sekitar 175.000 diantaranya meninggal dunia
( Permatasari, 2005).

Penyakit TB paru sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan


masyarakat di Indonesia. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 1995, penyakit TB paru merupakan penyebab kematian nomor
tiga setelah penyakit kardiovaskuler, dan penyakit saluran pernafasan pada
semua kelompok usia dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi
(Aditama, dkk, 2007). Program pengobatan TB paru dengan metode Directly
Observe Treatment Shortcourse (DOTS) sudah dilakukan sejak tahun 1955
untuk menanggulangi masalah TB paru, namun sampai sekarang belum
mendapatkan hasil yang memuaskan (Permatasari, 2005). Ketidakberhasilan
ini didukung oleh adanya penularan TB Paru dari pasien TB Paru BTA Positif
(Depkes RI, 2002).

Indonesia merupakan negara ketiga di dunia dalam urutan jumlah penderita


TB paru setelah India dan Cina dengan persentase 10% dari total penderita TB
paru di dunia. Laporan WHO tahun 2006 dinyatakan bahwa kejadian kasus
TB paru BTA Positif di Indonesia diperkirakan 105 kasus baru per 100000

2
penduduk (240000 kasus baru setiap tahun) dengan prevalensi 578000 kasus
(untuk semua kasus). TB paru merupakan pembunuh nomor satu diantara
penyakit menular dan merupakan peringkat tiga dalam daftar sepuluh penyakit
pembunuh tertinggi di Indonesia yang menyebabkan sebesar 88000 kematian
setiap tahunnya (Kemas, 2009). Dinegara-negara berkembang kematian
penderita penyakit TB paru merupakan 25% dari seluruh kematian, yang
sebenarnya dapat dicegah. Laporan WHO pada tahun 2010, mencatat
peringkat Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TB paru
sebesar 429 ribu orang. Lima negara dengan jumlah terbesar pada tahun 2010
adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia (Kompas, 2011).

Angka kejadian TB paru di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2010 sebesar
107/100.000 penduduk, dan persentase kasus TB paru yang dapat
disembuhkan sebesar 89,3%. Angka kejadian TB paru pada tahun 2015 akan
turun sesuai dengan target Jawa Tengah (88 per 100.000 penduduk) (Dinkes
Propinsi Jateng, 2010). Temuan kasus tuberkulosis paru di Jawa Tengah
hingga tahun 2011 mencapai 20.623 kasus yang tersebar dalam tiga lembaga
yaitu puskesmas sebanyak 15.003 kasus, rumah sakit sebanyak 3.607 kasus
dan BKPM/BP4 sebanyak 2.013 kasus. Data di kota Semarang tahun 2011,
kejadian kasus suspect TB paru sebanyak 15.001 kasus, sedangkan TB paru
BTA positif sebanyak 989 kasus (Dinkes Kota Semarang, 2011).

Puskesmas Srondol termasuk sepuluh besar Puskesmas dengan angka kejadian


tuberkulosis yang tinggi di kota Semarang. Puskesmas Srondol juga menjadi
Puskesmas dengan peningkatan kasus TB paru tertinggi diantara 37
Puskesmas yang ada di kota Semarang (Dinkes kota Semarang, 2011).
Penderita TB paru BTA positif naik hampir 3 kali lipat di tahun 2011. Jumlah
penderita TB Paru yang tercatat di Puskesmas Srondol tahun 2010 sebanyak
25 penderita dengan perincian 8 penderita TB paru BTA positif, 10 penderita
TB paru BTA negatif rontgen positif dan 7 penderita kasus anak. Angka
kejadian TB paru di Puskesmas Srondol pada tahun 2011, terjadi peningkatan

3
jumlah penderita TB Paru yang sangat signifikan. Jumlah penderita TB paru
tahun 2011 sebanyak 49 (naik 96% dari tahun 2010) yang terdiri dari 20
penderita TB paru BTA positif, 18 penderita TB Paru BTA negatif Rontgen
positif dan 11 kasus TB Paru anak ( Puskesmas Srondol, 2011).

Beberapa faktor yang erat hubungannya dengan kejadian droplet nuclei


(percikan dahak) telah diteliti untuk mengetahui penyebab yang paling tepat
untuk terjadinya droplet nuclei. Penelitian menunjukkan bahwa faktor yang
berhubungan dengan penularan TB Paru adalah isolasi dahak (Istirochah,
2002). Penelitian lain dilakukan oleh Suwarsa ( 2001 ), diperoleh kesimpulan
bahwa salah satu variabel yang berhubungan dengan kejadian TB paru BTA
Positif adalah keeratan. Menurut penelitian Susilowati (2010), diperoleh
kesimpulan bahwa faktor yang berhubungan dengan kejadian TB paru:
riwayat tidur sekamar beresiko 3,839 kali lebih tertular TB dan isolasi dahak
yang tidak baik dari penderita TB bagi orang serumah beresiko 9,240 kalinya,
dan sedang yang tidak bermakna lama kontak dengan penderita TB.
Berdasarkan penelitian di atas, isolasi dahak merupakan salah satu faktor
terpenting yang harus dikaji lebih lanjut untuk mencegah proses penyebaran
atau penularan kuman pada anggota keluarga.

Salah satu faktor yang berkaitan dengan penularan atau kejadian TB paru
adalah isolasi dahak. Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan kepada
lima penderita TB paru BTA positif di wilayah kerja Puskesmas Srondol, yang
telah dikunjungi rumahnya dan diobservasi serta wawancara dan melihat
kondisi secara langsung di rumah penderita didapatkan hasil bahwa dari lima
penderita hanya satu penderita (20%) yang membuang dahaknya di tempat
khusus atau kaleng tertutup yang berisi pasir dan antiseptik, empat penderita
(80%) membuang dahak di sembarang tempat. Dua penderita (40%) bila
batuk menutup mulut, yang dua penderita (40%) tidak pernah menutup mulut
bila batuk dan satu penderita (20%) kadang- kadang. Lima penderita (100%)
tidak menjaga jarak waktu berkomunikasi, penderita menganggap bahwa tidak

4
akan terjadi pemaparan kuman pada keluarga saat bercakap-cakap. Tiga
penderita (60%)

kondisi rumah tampak gelap dan lembab karena sinar

matahari tidak bisa masuk, dan dua penderita (40%) kondisi rumah tampak
terang, dan ventilasi cukup baik.

Berdasarkan data di atas perlu dikaji lebih lanjut, bagaimana perilaku isolasi
dahak yang dilakukan oleh penderita TB paru BTA positif secara keseluruhan
di Puskesmas srondol. Sejauhmana pengetahuan, sikap, dan praktek tentang
isolasi dahaknya. Beberapa penderita tersebut di atas, ternyata ada sebagian
yang tinggal dalam satu rumah. Hal ini menunjukkan tingkat penularan yang
tinggi, oleh karena itu perlu mendapatkan perhatian dan pemikiran dari semua
fihak yang terkait. Sebagai sumber penularan adalah penderita TB paru BTA
positif.

Apabila dari 20 penderita TB paru BTA positif tidak melakukan isolasi dahak
yang baik, maka orang yang tinggal serumah mempunyai resiko tinggi
tertular. Bila diasumsikan bahwa setiap penderita TB paru BTA positif akan
menularkan kepada 2 orang sehat, maka pada setahun kemudian di Puskesmas
Srondol akan terdapat 40 orang tertular TB paru. Hal ini telah ditunjukkan di
masyarakat bahwa beberapa penderita baik itu dewasa maupun anak yang
tinggal dalam satu rumah. Berdasarkan data tersebut, perlu dilakukan
penelitian bagaimana perilaku isolasi dahak penderita TB paru BTA positif di
Puskesmas Srondol. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tersebut di Puskesmas Srondol, dengan harapan hasil penelitian ini
dapat digunakan sebagai acuan untuk mencegah terjadinya penularan TB paru.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan
masalah penelitian ini adalah: Bagaimana gambaran perilaku isolasi dahak
penderita TB Paru BTA positif di Puskesmas Srondol.

C Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran perilaku (pengetahuan, sikap dan praktek) isolasi
dahak penderita TB paru BTA positif di Puskesmas Srondol
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan pengetahuan penderita TB Paru BTA positif tentang
isolasi dahak di Puskesmas Srondol.
b. Mendeskripsikan sikap penderita TB Paru BTA positif tentang isolasi
dahak di Puskesmas Srondol.
c. Mendeskripsikan praktik penderita TB Paru BTA positif dalam
melakukan isolasi dahak di Puskesmas Srondol.

C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Responden
Penelitian ini diharapkan dapat merubah perilaku responden dalam rangka
mencegah penularan penyakit TB paru dengan melakukan isolasi dahak.
2. Puskesmas
Memberikan masukan dalam upaya untuk meningkatkan kegiatan program
Perawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) di wilayah kerja Puskesmas
Srondol dengan harapan dapat dijadikan sebagai program unggulan.
3. Peneliti
Memberikan

tambahan

kepustakaan

dalam

pengembangan

Ilmu

Keperawatan Komunitas khususnya TB Paru dan sebagai informasi untuk


penelitian selanjutnya.

D. Bidang Ilmu
Penelitian ini berkaitan dengan ilmu keperawatan khususnya ilmu
keperawatan komunitas.

6
E. Originalitas Penelitian
Tabel 1.1 Originalitas Penelitian
Peneliti/Judul/Tahun
Istirochah, Beberapa faktor
yang berhubungan dengan
kejadian penularan
tuberkulosis paru (studi
tentang anggota keluarga
penderita tuberkulosis paru
BTA positif di kota
Magelang 2002).

Desain
Explanatory
research, analisis
cross sectional,
populasinya
keluarga penderita
TB paru BTA
positif

Variabel
Lama kontak, Kepadatan
hunian,Riwayat tidur
sekamar,Keeratan
hubungan
keluarga,Isolasi dahak

Hasil
Dari 4 variabel
tersebut hanya isolasi
dahak yang secara
statistik mempunyai
hubungan yang
bermakna dengan
kejadian penulaan
Tuberkulosis dengan
P : 0,033 kekuatan
hubungan lemah C :
0,236

Susilowati dalam
penelitiannya yang berjudul
faktor- faktor yang
berpengaruh terhadap
kejadian tuberkulosisi di
kecamatan kaliangkrik
Magelang 2010

Explanatory
research, analisis
cross sectional,
populasinya
keluarga prnderita
TB paru BTA
positif

Variabel bebas: lama


kontak, kepadatan
hunian, riwayat tidur
sekamar, isolasi dahak.
Variabel terikatnya:
kejadian TB paru

bahwa faktor yang


berhubungan
dengan kejadian TB
paru: riwayat tidur
sekamar beresiko
3,839 kali lebih
tertular TB dan
isolasi dahak yang
tidak baik dari
penderita TB bagi
orang serumah
beresiko 9,240
kalinya, dan sedang
yang tidak
bermakna lama
kontak dengan
penderita TB.

Suwarsa
Faktor Faktor yang
Berhubungan dengan
Kejadian TB Paru BTA
Positif pada Kontak Serumah
di Kabupaten Garut Tahun
2001

cross sectional,
populasinya
keluarga prnderita
TB paru BTA +

Keeratan, Lama kontak,


Pendidikan, Pekerjaan,
Pengetahuan, Status gizi,
Hygiene sanitasi

Dari variebel tersebut


yang mempunyai
hubungan dengan
kejadian TB paru
BTA Positive pada
kontak serumah:
keeratan, Pendidikan,
Status gizi, Hygiene
sanitasi

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut di atas adalah desain


penelitian yang

dilakukan menggunakan deskriptif yang menggambarkan

perilaku isolasi dahak penderita TB paru BTA positif di Puskesmas Srondol


tahun 2013. Perilaku isolasi dahak terdiri dari pengetahuan, sikap, dan praktek
tentang isolasi dahak.

Anda mungkin juga menyukai