Anda di halaman 1dari 13

2.

Definisi Guillain Barre Syndrom

Guillain Barre Syndrom (GBS) didefinisikan sebagai sebuah penyakit demyelinisasi


neurologist. Terjadi secara akut, berkembang dengan cepat. Biasanya mengikuti pola ascending
(merambat ke atas) mengenai akar saraf-saraf spinal dan perifer. Terkadang mengenai saraf-saraf
cranial. Memiliki rangkaian klinis dengan variabel yang tinggi.

(Symposium Guillain

BarreSyndrom, di Brussel, 1937).


Guillain Bare Syndrom adalah ganguan kelemahan neuro-muskular akut yang memburuk secara
progresif yang dapat mengarah pada kelumpuhan total, tatapi biasanya paralisis sementara
( Doenges:369).
2.2

Etiologi Guillain Barre Syndrom

Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih
menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
a.

Infeksi

b. Vaksinasi
c.

Pembedahan

d.

Penyakit sistematik

e.

Keganasan

f.

Systemic lupus erythematosus

g. Tiroiditis
h.

Penyakit addison

i.

Kehamilan atau dalam masa nifas

2.3

Manifestasi klinis Guillain Barre Syndrom

Sulit dideteksi pada awal kejadian, biasanya : Gejala berupa flu, demam, headache, pegal dan 10
hari kemudian muncul gejala lemah. Selang 1-4 minggu, sering muncul gejala berupa :
a.

Paraestasia (rasa baal, kesemutan)

b.

Otot-otot lemas (pada tungkai, tubuh dan wajah)

c.

Saraf-saraf cranialis sering terjadi patologi, shg ganguan gerak bola mata, mimik wajah,

bicara, d.

Gangguan pernafasan (kesulitan inspirasi)

e.

Ganggua saraf-saraf otonom (simpatis dan para simpatis)

f.

Gangguan frekuensi jantung

g.

Ganggua irama jantung

h.

Gangguan tekanan darah

i.

Gangguan proprioseptive dan persepsi terhadap tubuh diikuti rasa nyeri pada bagian

punggung dan daerah lainnya.


2.4 Klasifikasi Guillain Barre Syndrom
a.

Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis GBS yang paling

banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon autoimun
yang menyerang membrane sel Schwann.
b.

Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan

bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi.
Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala, yakni oftalmoplegia,
ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibodi Anti-GQ1b dalam 90% kasus.
c.

Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina; menyerang nodus

motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon
autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan
dapat berlangsung dengan cepat. Didapati antibodi Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-GD3
lebih sering ditemukan pada AMAN.
d.

Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga menyerang

aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang
berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna.
e.

Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang; dihubungkan

dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskular dan disritmia.
f.

Ensefalitis batang otak Bickerstaffs (BBE), ditandai oleh onset akut oftalmoplegia, ataksia,

gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks Babinski (menurut Bickerstaff, 1957; Al-Din et
al.,1982). Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas

dan ireguler terutama pada batang otak, seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya
berat, namun prognosis BBE cukup baik.
2.5

Fase Guillain Barre Syndrom

Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase,yaitu:


a.

Fase progresif

Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap, dikenal
sebagai titik nadir. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan
sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita.
Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih
berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan
mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta
gejala.
b.

Fase plateau.

Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik perburukan
ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai
dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang
atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama
jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat
dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan
khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang
serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai.
Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan
setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa
bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
c.

Fase penyembuhan

Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan
spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala
berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan
terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan
pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya

secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi.
Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja
kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu
yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf
yang terjadi pada fase infeksi.
2.6

Patofisiologi Guillain Barre Syndrom.

Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun ewat mekanisme limfosit
medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation. Masih diduga,
mekanismenya adalah limfosit yang berubah responya terhadap antigen.
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf perifer
dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan system penghantaran
implus terganggu.
Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer dan
myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan target potensial, dan biasannya
terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena
axor telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai
beberapa minggu setyelah proses keradangan terjadi
2.7

Pathway Guillain Barre Syndrom

Terlampir
2.8

Komplikasi Guillain Barre Syndrom

a.

Kegagalan jantung

b.

Kegagalan pernapasan

c.

Infeksi dan sepsis

d. Trombosis vena
e.
2.9
a.

Emboli paru
Pemeriksaan Diagnostik
Cairan serebrospinalis: meningkatnya kadar protein, limposit normal

b.

Elektromyografi: menurunnya konduksi saraf

c.

Test fungsi paru: menurunya kapasitas vital, perubahan peningkatan pH.

2.10
a.

Pemeriksaan Penunjang Guillain Barre Syndrom.

serebrospinal (CSS)

Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein
(100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan
kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein
mulai naik, bahkan lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik
dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit tidak
berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit
mononuclear/mm
a.

Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)

Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf, antara lain
prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau
absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf
motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang
dari 60% normal. EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai
degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala, sehingga
ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti
berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien
GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita
menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih
panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG.
b.

Pemeriksaan darah

Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk
yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase
lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat
sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala.
b.

Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat

Dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur
jaringan.Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya
hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu
sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.
c.

Elektrokardiografi (EKG)

Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia. Gelombang T akan


mendatar atauinverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak
sering.
d. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).
2.11 Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrom
a.
a).

Penatalaksanaan Keperawatan ( Perawatan Supportif)


Respirasi

Monitor ketat frekuensi dan pola nafas yaitu monitor oksimetri dan AGD. Pernafasan mekanik,
perawatan pasien dengan ventilator mekanik.
b).

Kardiovaskuler : monitor ketat frekuensi, irama, kekuatan denyut nadi (HR ) dan tekanan

darah (blood pressure ).


c).

Pemenuhan kebutuhan cairan, elektrolit dan nutrisi.

d).

Perawatan secara umum :

- physioterapi
- perawatan pada bagian-bagian tubuh yang tertekan
- pertahankan ROM sendi
- pertahankan fungsi paru
- kultur urine dan sputum tiap 2 minggu
- pencegahan terhadap tromboemboli
- pemberian antidepressant jika pasien depresi
b.

Penatalaksanaan Medis

a).

Pengobatan Spesifik

Plasmas exchange (plasmaphoresis) lebih efektif dalam 7 hari dari timbulnya serangan / gejala.
Diperlukan filter khusus yang menyerupai filter pada dialisa ginjal. Filter ini digunakan untuk
menyaring keluar antibodi-antibodi (merupakan media dari system imun) yang menyerang dan
merusak lapisan myelin dan saraf-saraf perifer. Tak ada pedoman yang pasti dalam melakukan
tindakan ini,namun umumnya sekitar 3-5 liter dari plasma pasien disaring keluar dan digantikan
pada waktu yang sama dengan plasma atau plasma + normal saline. Setiap hari setelah terapi
selesai, pasien diberi 4-5 unit FFP (Fresh Frozen Plasma) untuk menggantikan factor
pembeku darah yang dapat ikut tersaring keluar. Penggantian plasma diharapkan dilakukan setiap
hari selama 3-5 hari dan biasanya berhasil dengan sangat baik, namun jika pasien tidak berespon
terhadap terapi ini sampai hari ke lima maka terapi / tindakan ini tidak diulangi. Tindakan
penggantian plasma ini telah terbukti berhasil mencegah pasien menggunakan ventilator atau
mengurangi lamanya pasien menggunakan ventilator.Masalah yang timbul dengan tindakan
penggantian plasma antara lain :
o

Biayanya mahal.

Dapat menyebabkan hipotensi, arythmia, haematoma, thrombus dan komplikasi yang

mengarah terjadinya sepsis.


o

Membutuhkan perawat yang trampil.

b).

Pemberian immunoglobulin secara intravena yang diberikan dengan dosis 0,4 g/kg selama 5

hari berturut turut.


c).

Cairan , elektrolit dan nutrisi.

d).

Sedative dan analgetik.

ASUHAN KEPERAWATAN
3.1

Pengkajian

1.

Pengkajian

Identitas klien : meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status


Keluhan utama : kelumpuhan dan kelemahan

Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya kondisi / kelumpuhan, upaya yang
dilakukan selama menderita penyakit.
2.

Pemeriksaan Fisik

B1 (Breathing)
Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas vital / paru, reflek
batuk turun, resiko akumulasi secret.
B2 (Bleeding)
Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan.
B3 (Brain)
Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan ketajaman
penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu
badan.
B4 (Bladder)
Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.
B5 ( Bowel)
Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun, konstipasi
sampai hilangnya sensasi anal.
B6 (Bone)
Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi, paraplegi.
Pemeriksaan FT

Anamnesis

Keluhan utama pasien

Rasa lemas seluruh badan dan disertai adanya rasa nyeri

Paraestasia jari kaki s/d tungkai

Progresive weakness > 1 Ekstremitas

Hilangnya refleks tendon

Pendukung

Weakness berkembang cepat dalam 4 minggu

Gangguan sensory Ringan

Wajah nampak lelah meliputi otot-otot bibir terkesan bengkak

Tachicardi, cardiac arytmia, Tekanan Darah labil

Tidak ada demam

Inspeksi

Tampak kelelahan pada wajah

Otot-otot bibir terkesan bengkak

Kemungkinan adanya atropi

Kemungkinan adanya tropic change

Palpasi

Nyeri tekan pada otot

Auskultasi

Breathsound terdengar cepat

Vital Sign

Blood Preasure

Labil (selalu berubah-ubah)

Heart Rate

Tachicardy

Cardiac arythmia

Respiratory Rate

Hyperventilasi

Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar

Aktif

Kekuatan otot

Pasif

Lingkup Gerak Sendi, endfeel

Tes Isometrik Melawan Tahanan

Pada ketiga tes tersebut dominan menunjukkan adany kelemahan.

Gangguan sendi dimungkinkan pada kasus yang telah lama

Prinsip Penanganan
Pemeliharaan sistem pernapasan
Mencegah kontraktur
Pemeliharaan ROM
Pemeliharaan otot-otot besar yng denervated
Re-edukasi otot
Dilakukan sedini mungkin

Deep breathing Exercise

Mobilisasi ROM

Monitor Kekuatan Otot hingga latihan ktif dapat dimulai

Change position untuk mencegah terjadinya decubitus


Gerak pasif general ekstermitas sebatas toleransi nyeri untukmencegah kontraktur
Gentle massage untuk memperlancar sirkulasi darah
Edukasi terhadap keluarga

3.2

Diagnosa keperawatan

1. Resiko terjadi ketidakefektifan bersihan jalan nafas


2. Resiko tejadi ggn pertukaran gas
3. Ketidakefektifan pola nafas
4. Ggn komunikasi verbal
4. Rencana keperawatan
1.

Dx : Resiko terjadi bersihan saluran nafas tidak efektif b.d penurunan reflek menelan dan

peningkatan produksi saliva


Tujuan : Setelah dirawat sekret bersih, saliva bersih, stridor (-), sumbatan tidak terjadi
Tindakan:
- Lakukan perawatan EET setiap 2 jam
- Lakukan auskultasi sebelum dan setelah tindakan fisiotherapi dan suction
- Lakukan fisiotherapi nafas dan suction setiap 3 jam jika terdengar stridor atau SpO2 < 95 %

- Monitor status hidrasi


- Monitor vital sign sebelum dan setelah tindakan
- Kolaborasi pemberian bisolvon 3 X 1 tab
2.

Dx : Resiko terjadi ggn pertukaran gas b.d dengan adanya ggn fungsi paru sebagai efek

adanya atelektasis paru


Tujuan : Setelah dirawat
- BGA dalam batas normal
- Wh -/-, Rh -/-, suara paru +/+
- Cyanosis (-), SpO2 > 95 %
Tindakan:
- Lakukan pemeriksaan BGA setiap 24 jam
- Monitor SpO2 setiap jam
- Monitor respirasi dan cyanosis
- Kolaborasi :
Seting ventilator SIMV PS 15, PEEP +2, FiO2 40 %, I : E 1:2
Analisa hasil BGA
3.

Dx. : Resiko tinggi terjadi infeksi b.d pemakaian alat perawatan seperti kateter dan infus

Tujuan : setelah dirawat diharapkan


- Tanda-tanda infeksi (-)
leiko 3-5 X 10 4, Pada px urine ery (-), sylinder (-),
Suhu tubuh 36,5-37 oC
Tanda-tanda radang pada lokasi insersi alat perawatan (-)
Tindakan :
- Rawat ETT setiap hari
-Lakukan prinsip steril pada saat suction
- Rawat tempat insersi infus dan kateter setiap hari
- Ganti kateter setiap 72 jam
- Kolaborasi :
Pengggantian ETT dengan Tracheostomi

Penggantian insersi surflo dengan vanocath


Pemeriksaan leuko
Pemeriksaan albumin
Lab UL
Pemberian profilaksis Amox 3 X 500 mg dan Cloxacilin 3 X 250 mg
4.

Dx : Resiko terjadi disuse syndrome b.d kelemahan tubuh sebagai efek perjalanan penyakit

GBS
Tujuan : Setelah dirawat
-Kontraktur (-)
- Nutrisi terpenuhi
- Bab dan bak terbantu
- Personal hygiene baik
Tindakan:
- Bantu Bab dab Bak
- Monitor intake dan output cairan dan lakukan balance setia 24 jam
- Mandikan klien setiap hari
- Lakukan mirimg kanan dan kiri setiap 2 jam
- Berikan latihan pasif 2 kali sehari
- Kaji tanda-tanda pnemoni orthostatik
- Monitor status neurologi setiap 8 jam
- Kolaborasi:
Alinamin F 3 X 1 ampul

DAFTAR PUSTAKA
2.12

Hudak, Carolyn M, Barbara M, Gallo. 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Ed,VI. Vol

1.
2.13

Jakarta:

Doenges, Marlyn E. 1999. Rencana Asuhan keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan

Pedokumentasian
2.14

EGC

Perawatan

Pasien.

Ed

3.

Jakarta:

EGC

Bosch E.P.. 1998. Guillain-Barre Syndrome : an update of acute immuno-mediated

polyradiculoneuropathies.

The

Neurologist

(4);

211-226

. Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana & Dokumentasi Keperawatan. Ed 2. Jakarta:


2.15
Badan
2.16
Mada

2.17

EGC

Hadinoto, S, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Simposium Gangguan Gerak, hal 173-179,
Penerbit

FK

UNDIP,

Semarang.

Harsono, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Neurologi Klinis, edisi I : hal 307-310, Gadjah
University

Press,

Yogyakarta.

Staf Pengajar IKA FKUI, 1985, Sindroma Guillain Barre, dalam : Ilmu Kesehatan Anak, Jilid II : ha;

883-885, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai