(Symposium Guillain
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih
menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
a.
Infeksi
b. Vaksinasi
c.
Pembedahan
d.
Penyakit sistematik
e.
Keganasan
f.
g. Tiroiditis
h.
Penyakit addison
i.
2.3
Sulit dideteksi pada awal kejadian, biasanya : Gejala berupa flu, demam, headache, pegal dan 10
hari kemudian muncul gejala lemah. Selang 1-4 minggu, sering muncul gejala berupa :
a.
b.
c.
Saraf-saraf cranialis sering terjadi patologi, shg ganguan gerak bola mata, mimik wajah,
bicara, d.
e.
f.
g.
h.
i.
Gangguan proprioseptive dan persepsi terhadap tubuh diikuti rasa nyeri pada bagian
Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis GBS yang paling
banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon autoimun
yang menyerang membrane sel Schwann.
b.
Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan
bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi.
Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala, yakni oftalmoplegia,
ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibodi Anti-GQ1b dalam 90% kasus.
c.
Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina; menyerang nodus
motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon
autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan
dapat berlangsung dengan cepat. Didapati antibodi Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-GD3
lebih sering ditemukan pada AMAN.
d.
Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga menyerang
aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang
berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna.
e.
Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang; dihubungkan
dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskular dan disritmia.
f.
Ensefalitis batang otak Bickerstaffs (BBE), ditandai oleh onset akut oftalmoplegia, ataksia,
gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks Babinski (menurut Bickerstaff, 1957; Al-Din et
al.,1982). Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas
dan ireguler terutama pada batang otak, seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya
berat, namun prognosis BBE cukup baik.
2.5
Fase progresif
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap, dikenal
sebagai titik nadir. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan
sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita.
Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih
berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan
mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta
gejala.
b.
Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik perburukan
ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai
dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang
atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama
jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat
dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan
khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang
serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai.
Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan
setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa
bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
c.
Fase penyembuhan
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan
spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala
berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan
terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan
pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya
secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi.
Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja
kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu
yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf
yang terjadi pada fase infeksi.
2.6
Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun ewat mekanisme limfosit
medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation. Masih diduga,
mekanismenya adalah limfosit yang berubah responya terhadap antigen.
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf perifer
dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan system penghantaran
implus terganggu.
Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer dan
myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan target potensial, dan biasannya
terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena
axor telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai
beberapa minggu setyelah proses keradangan terjadi
2.7
Terlampir
2.8
a.
Kegagalan jantung
b.
Kegagalan pernapasan
c.
d. Trombosis vena
e.
2.9
a.
Emboli paru
Pemeriksaan Diagnostik
Cairan serebrospinalis: meningkatnya kadar protein, limposit normal
b.
c.
2.10
a.
serebrospinal (CSS)
Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein
(100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan
kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein
mulai naik, bahkan lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik
dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit tidak
berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit
mononuclear/mm
a.
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf, antara lain
prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau
absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf
motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang
dari 60% normal. EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai
degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala, sehingga
ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti
berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien
GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita
menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih
panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG.
b.
Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk
yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase
lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat
sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala.
b.
Dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur
jaringan.Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya
hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu
sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.
c.
Elektrokardiografi (EKG)
Monitor ketat frekuensi dan pola nafas yaitu monitor oksimetri dan AGD. Pernafasan mekanik,
perawatan pasien dengan ventilator mekanik.
b).
Kardiovaskuler : monitor ketat frekuensi, irama, kekuatan denyut nadi (HR ) dan tekanan
d).
- physioterapi
- perawatan pada bagian-bagian tubuh yang tertekan
- pertahankan ROM sendi
- pertahankan fungsi paru
- kultur urine dan sputum tiap 2 minggu
- pencegahan terhadap tromboemboli
- pemberian antidepressant jika pasien depresi
b.
Penatalaksanaan Medis
a).
Pengobatan Spesifik
Plasmas exchange (plasmaphoresis) lebih efektif dalam 7 hari dari timbulnya serangan / gejala.
Diperlukan filter khusus yang menyerupai filter pada dialisa ginjal. Filter ini digunakan untuk
menyaring keluar antibodi-antibodi (merupakan media dari system imun) yang menyerang dan
merusak lapisan myelin dan saraf-saraf perifer. Tak ada pedoman yang pasti dalam melakukan
tindakan ini,namun umumnya sekitar 3-5 liter dari plasma pasien disaring keluar dan digantikan
pada waktu yang sama dengan plasma atau plasma + normal saline. Setiap hari setelah terapi
selesai, pasien diberi 4-5 unit FFP (Fresh Frozen Plasma) untuk menggantikan factor
pembeku darah yang dapat ikut tersaring keluar. Penggantian plasma diharapkan dilakukan setiap
hari selama 3-5 hari dan biasanya berhasil dengan sangat baik, namun jika pasien tidak berespon
terhadap terapi ini sampai hari ke lima maka terapi / tindakan ini tidak diulangi. Tindakan
penggantian plasma ini telah terbukti berhasil mencegah pasien menggunakan ventilator atau
mengurangi lamanya pasien menggunakan ventilator.Masalah yang timbul dengan tindakan
penggantian plasma antara lain :
o
Biayanya mahal.
b).
Pemberian immunoglobulin secara intravena yang diberikan dengan dosis 0,4 g/kg selama 5
d).
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1
Pengkajian
1.
Pengkajian
Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya kondisi / kelumpuhan, upaya yang
dilakukan selama menderita penyakit.
2.
Pemeriksaan Fisik
B1 (Breathing)
Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas vital / paru, reflek
batuk turun, resiko akumulasi secret.
B2 (Bleeding)
Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan.
B3 (Brain)
Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan ketajaman
penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu
badan.
B4 (Bladder)
Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.
B5 ( Bowel)
Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun, konstipasi
sampai hilangnya sensasi anal.
B6 (Bone)
Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi, paraplegi.
Pemeriksaan FT
Anamnesis
Pendukung
Inspeksi
Palpasi
Auskultasi
Vital Sign
Blood Preasure
Heart Rate
Tachicardy
Cardiac arythmia
Respiratory Rate
Hyperventilasi
Aktif
Kekuatan otot
Pasif
Prinsip Penanganan
Pemeliharaan sistem pernapasan
Mencegah kontraktur
Pemeliharaan ROM
Pemeliharaan otot-otot besar yng denervated
Re-edukasi otot
Dilakukan sedini mungkin
Mobilisasi ROM
3.2
Diagnosa keperawatan
Dx : Resiko terjadi bersihan saluran nafas tidak efektif b.d penurunan reflek menelan dan
Dx : Resiko terjadi ggn pertukaran gas b.d dengan adanya ggn fungsi paru sebagai efek
Dx. : Resiko tinggi terjadi infeksi b.d pemakaian alat perawatan seperti kateter dan infus
Dx : Resiko terjadi disuse syndrome b.d kelemahan tubuh sebagai efek perjalanan penyakit
GBS
Tujuan : Setelah dirawat
-Kontraktur (-)
- Nutrisi terpenuhi
- Bab dan bak terbantu
- Personal hygiene baik
Tindakan:
- Bantu Bab dab Bak
- Monitor intake dan output cairan dan lakukan balance setia 24 jam
- Mandikan klien setiap hari
- Lakukan mirimg kanan dan kiri setiap 2 jam
- Berikan latihan pasif 2 kali sehari
- Kaji tanda-tanda pnemoni orthostatik
- Monitor status neurologi setiap 8 jam
- Kolaborasi:
Alinamin F 3 X 1 ampul
DAFTAR PUSTAKA
2.12
Hudak, Carolyn M, Barbara M, Gallo. 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Ed,VI. Vol
1.
2.13
Jakarta:
Doenges, Marlyn E. 1999. Rencana Asuhan keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pedokumentasian
2.14
EGC
Perawatan
Pasien.
Ed
3.
Jakarta:
EGC
polyradiculoneuropathies.
The
Neurologist
(4);
211-226
2.17
EGC
Hadinoto, S, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Simposium Gangguan Gerak, hal 173-179,
Penerbit
FK
UNDIP,
Semarang.
Harsono, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Neurologi Klinis, edisi I : hal 307-310, Gadjah
University
Press,
Yogyakarta.
Staf Pengajar IKA FKUI, 1985, Sindroma Guillain Barre, dalam : Ilmu Kesehatan Anak, Jilid II : ha;