Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

Seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka


dinding perut dan dinding uterus. Pertolongan operasi persalinan merupakan tindakan
dengan tujuan untuk menyelamatkan ibu maupun bayi. Infeksi setelah oprasi
persalinan masih tetap mengancam sehingga perawatan setelah operasi memerlukan
perhatian untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian.
Seksio sesarea telah menjadi tindakan bedah kebidanan kedua tersering yang
digunakan di Indonesia dan di luar negeri. Ia mengikuti ekstraksi vakum dengan
frenkuensi yang dilaporkan 6 % sampai 15%. Alasan terpenting untuk perkembangan
ini adalah: peningkatan prevalensi primigravida, peningkatan usia ibu, peningkatan
insiden insufisiensi plasenta, perbaikan pengamatan kesejahteraan fetus, peningkatan
keengganan melakukan tindakan persalinan pervaginam yang sukar.
Sayatan pada dinding uterus dan dinding depan abdomen menimbulkan luka
bekas operasi seksio sesarea. Hal ini menyebabkan terputusnya jaringan dan
kerusakan sel. Luka sembuh karena degenerasi jaringan atau oleh pembentukan
granulasi. Sel-sel yang cidera mempunyai kapasitas regenerasi yang akan
berlangsung bila struktur sel yang melatar belakangi tidak rusak. Bila otot cidera,
akan terjadi hipertropi sel - sel marginal atau garis tepi. Pada sistem saraf perifer tidak
terjadi regenerasi bila badan sel rusak, namun bila akson rusak, terjadi degenerasi
akson sebagian dan disusul dengan regenerasi. Pada torehan bedah yang biasa,
jaringan otot ditoreh, sel epitel regenerasi diatas jaringan granulasi. Menurut statistik
tentang 3.509 kasus seksio sesarea, indikasi untuk seksio sesarea adalah disproporsi
janin panggul 21 %, gawat janin 14 %, plasenta previa 11 %, pernah seksio sesarea 11
%, kelainan letak 10 %, incoordinate uterine action 9%, pre-eklampsia dan hipertensi
7 %, dengan angka kematian ibu sebelum dikoreksi 17 0/00, dan sesudah dikoreksi

0,58 0/00, sedang kematian janin 14,5 0/00, pada 774 persalinan yang kemudian
terjadi, terdapat 1,03 0/00 ruptura uteri.
Menurut Bensons dan Pernolls, angka kamatian pada operasi sesar adalah 40
80 tiap 100.000 kelahiran hidup. Angka ini menunjukkan resiko 25 kali lebih besar
dibanding persalinan pervaginam. Malahan untuk kasus karena infeksi mempunyai
angka 80 kali lebih tinggi dibandingkan dengan persalinan pervaginam. Komplikasi
tindakan anestesi sekitar 10 % dari seluruh angka kematian ibu.
Dari hasil Penelitian yang dilakukan oleh Hetik Kuswanti, 1999 Mahasiswa
program Studi Kebidanan Sutomo di Ruang Bersalin RSUD Dr. Sutomo mengenai
Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Perawatan Luka. Menunjukkan 8 (61,54 %)
termasuk kategori berpengetahuan baik, 5 (3 8,46 %) terkategorikan berpengetahuan
cukup. Berdasarkan data laporan tahunan RS. Kota pada tahun terdapat kejadian
infeksi pada bekas luka seksio sesarea 3 dari 67 pasien yang mengalami seksio
sesarea. Sedangkan tahun terdapat kejadian infeksi pada bekas luka seksio sesarea 1
dari 70 pasien post seksio sesare. Dari data tersebut dapat penulis simpulkan bahwa
terjadi penurunan kejadian infeksi pada bekas luka seksio sesarea dari tahun 2006 ke
tahun 2007. Untuk lebih menurunkan angka kejadian infeksi tersebut perlu peran
serta dari pasien dalam perawatan luka post seksio sesarea. Dalam hal ini diperlukan
pengetahuan tentang perawatan luka post seksio sesarea.
Pasien yang telah melakukan operasi akan merasakan cemas bila melihat
lukanya dan akan takut untuk merawat lukanya itu. Oleh sebab itu pasien dan
keluarganya harus mengerti langkah - langkah dasar dari cara perawatan luka yang
ditutupi. Memberi kesempatan pada pasien atau anggota keluarganya untuk mencoba
tekniknya di bawah pengawasan sebelum keluar rumah sakit akan berguna sekali.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tujuan Perawatan Post Operasi


Tujuan perawatan pasca operasi adalah pemulihan kesehatan fisiologi dan
psikologi wanita kembali normal. Periode postoperatif meliputi waktu dari akhir
prosedur pada ruang operasi sampai pasien melanjutkan rutinitas normal dan gaya
hidupnya.
Secara klasik, kelanjutan ini dibagi dalam tiga fase yang tumpang tindih pada
status fungsional pasien. Aturan dan perhatian para ginekolog secara gradual
berkembang sejalan dengan pergerakan pasien dari satu fase ke fase lainnya. Fase
pertama, stabilisasi perioperatif, menggambarkan perhatian para ahli bedah terhadap
permulaan fungsi fisiologi normal, utamanya sistem respirasi, kardiovaskuler, dan
saraf. Pada pasien yang berumur lanjut, akan memiliki komplikasi yang lebih banyak,
dan prosedur pembedahan yang lebih kompleks, serta periode waktu pemulihan yang
lebih panjang.
Periode ini meliputi pemulihan dari anesthesia dan stabilisasi homeostasis,
dengan permulaan intake oral. Biasanya periode pemulihan 24-28 jam. Fase kedua,
pemulihan postoperatif, biasanya berakhir 1-4 hari. fase ini dapat terjadi di rumah
sakit dan di rumah. Selama masa ini, pasien akan mendapatkan diet teratur, ambulasi,
dan perpindahan pengobatan nyeri dari parenteral ke oral. Sebagian besar komplikasi
tradisional postoperasi bersifat sementara pada masa ini. Fase terakhir dikenal dengan
istilah kembali ke normal, yang berlangsung pada 1-6 minggu terakhir. Perawatan
selama masa ini muncul secara primer dalam keadaan rawat jalan. Selama fase ini,
pasien secara gradual meningkatkan kekuatan dan beralih dari masa sakit ke aktivitas
normal.

2.2 Pedoman Perawatan Post Operasi


Setelah operasi selesai, penderita tidak boleh ditinggalkan sampai ia sadar. Harus
dijaga supaya jalan napas tetap bebas. Periode postoperatif meliputi waktu dari akhir
prosedur pada ruang operasi sampai pasien melanjutkan rutinitas normal dan gaya
hidupnya. Penderita yang menjalani operasi kecuali operasi kecil, keluar dari kamar
operasi dengan infus intravena yang terdiri atas larutan NaCl 0,9% atau glukosa 5%
yang diberikan berganti-ganti menurut rencana tertentu. Di kamar operasi (atau
sesudah keluar dari situ) ia, jika perlu, diberi pula transfusi darah. Pada waktu operasi
penderita kehilangan sejumlah cairan, sehingga ia meninggalkan kamar operasi
dengan defisit cairan. Oleh karena itu, biasanya pascaoperasi minum air dibatasi,
sehingga perlu pengawasan keseimbangan antara cairan yang masuk dengan infus,
dan cairan yang keluar. Perlu dijaga jangan sampai terjadi dehidrasi, tetapi sebaliknya
juga jangan terjadi kelebihan dengan akibat edema paru-paru. Untuk diketahui, air
yang dikeluarkan dari badan dihitung dalam 24 jam berupa air kencing dan cairan
yang keluar dengan muntah harus ditambah dengan evaporasi dari kulit dan
pernapasan. Dapat diperkirakan bahwa dalam 24 jam sedikitnya 3 liter cairan harus
dimasukkan untuk mengganti cairan yang keluar.
Sebagai akibat anestesi, penderita pascaoperasi biasanya enek, kadang sampai
muntah. Ia tidak boleh minum, sampai rasa enek hilang sama sekali; kemudian, ia
boleh minum sedikit-sedikit, untuk lambat laun ditingkatkan. Dalam 24 sampai 48
jam pascaoperasi, hendaknya diberi makanan cair; sesudah itu, apalagi jika sudah
keluar flatus, dapat diberi makanan lunak bergizi untuk lambat-laun menjadi makanan
biasa.
Pada pascaoperasi peristalik usus mengurang dan baru lambat laun pulih kembali.
Pada hari kedua pascaoperasi biasanya usus bergerak lagi; dengan gejala mules,
kadang-kadang disertai dengan perut kembung sedikit. Pengeluaran flatus dapat
dibantu dengan pemberian dosis kecil prostigmin, dengan teropong angin dimasukkan
ke dalam rektum, dan kadang-kadang perlu diberikan klisma kecil terdiri atas 150 cc.
campuran minyak dan gliserin. Pemberian antibiotik pada pascaoperasi tergantung

dari jenis operasi yang dilakukan. Misalnya, setelah kista ovarium kecil diangkat,
tidak perlu diberi antibiotik; akan tetapi sesudah histerektomi total dengan
pembukaan vagina, sebaiknya obat tersebut diberikan.
Pasien dengan masalah kesehatan membutuhkan perawatan postoperatif dalam
ICU untuk mendapatkan ventilasi jangka panjang dan monitoring sentral. Ketika
pasien diserahterimakan kepada perawat harus disertai dengan laporan verbal
mengenai kondisi pasien tersebut berupa kesimpulan operasi dan intruksi pasca
operatif. Intruksi pasca operatif harus sesuai dengan elemen berikut:
1) Tanda Tanda Vital
Evaluasi tekanan darah, nadi, dan laju pernapasan dilakukan setiap 15-30 menit
sampai pasien stabil kemudian setiap jam setelah itu paling tidak untuk 4-6 jam.
Beberapa perubahan signifikan harus dilaporkan sesegera mungkin. Pengukuran ini,
termasuk temperatur oral, yang harus direkam 4 kali sehari untuk rangkaian sisa
pasca operatif. Anjurkan pernapasan dalam setiap jam pada 12 jam pertama dan setiap
2-3 jam pada 12 jam berikutnya. Pemeriksaan spirometri dan pemeriksaan respirasi
oleh terapis menjadi pilihan terbaik, utamanya pada pasien yang berumur tua,
obesitas, atau sebaliknya pada pasien lainnya yang bersedia atau yang tidak bisa
berjalan.
2) Perawatan Luka
Fokus

penanganan

luka

adalah mempercepat

penyembuhan

luka

dan

meminimalkan komplikasi dan biaya perawatan. Fokus utama dalam penanganan


luka adalah dengan evakuasi semua hematoma dan seroma dan mengobati infeksi
yang menjadi penyebabnya. Perhatikan perdarahan yang terlalu banyak (inspeksi
lapisan dinding abdomen atau perineal). Lakukan pemeriksaan hematokrit sehari
setelah pembedahan mayor dan, jika perdarahan berlanjut, diindikasikan untuk
pemeriksaan ulang. Luka abdomen harus diinspeksi setiap hari. Umumnya luka
jahitan pada kulit dilepaskan 3-5 hari postoperasi dan digantikan dengan SterilStrips.Idealnya, balutan luka diganti setiap hari dan diganti menggunakan bahan
hidrasi yang baik. Pada luka yang nekrosis, digunakan balutan tipis untuk

mengeringkan dan mengikat jaringan sekitarnya ke balutan dalam setiap penggantian


balutan. Pembersihan yang sering harus dihindari karena hal tersebut menyebabkan
jaringan vital terganggu dan memperlambat penyembuhan luka.
a. Pengertian
Suatu penanganan luka yang terdiri dari membersihkan luka, mengangkat jahitan,
menutup dan membalut luka sehinga dapat membantu proses penyembuhan luka.
b. Tujuan
1. Mencegah terjadinya infeksi.
2. Mempercepat proses penyembuhan luka.
3. Meningkatkan kenyamanan fisik dan psikologis.
c. Persiapan
1. Alat
a. Set perawatan luka dan angkat jahitan dalam bak instrumen steril :
Sarung tangan steril.
Pinset 4 (2 anatomis, 2 cirurgis)
Gunting hatting up.
Lidi waten.
Kom 2 buah.
Kasa steril.
b. Plester
c. Gunting perban
d. Bengkok 2 buah
e. Larutan NaCl
f. Perlak dan alas
g. Betadin
h. Korentang
i. Alkohol 70%
j. Kapas bulat dan sarung tangan bersih

2. Lingkungan
Menutup tirai / jendela.
Merapikan tempat tidur.
3. Pelaksanaan
Mengatur posisi sesuai dengan kenyamanan pasien.
Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan yang akan dilakukan.
Inform Consent.
d. Prosedur Pelaksanaan
1. Jelaskan prosedur pada klien dengan menggambarkan langkah-langkah
perawatan luka.
2. Dekatkan semua peralatan yang diperlukan.
3. Letakkan bengkok dekat pasien.
4. Tutup ruangan / tirai di sekitar tempat tidur.
5. Bantu klien pada posisi nyaman.
6. Cuci tangan secara menyeluruh.
7. Pasang perlak dan alas.
8. Gunakan sarung tangan bersih sekali pakai dan lepaskan plester. Angkat
balutan dengan pinset.
9. Lepaskan plester dengan melepaskan ujung dan menariknya dengan perlahan,
sejajar pada kulit dan mengarah pada balutan.
10. Dengan sarung tangan/pinset, angkat balutan.
11. Bila balutan lengket pada luka, lepaskan dengan memberikan larutan NaCl.
12. Observasi karakter dan jumlah drainase.
13. Buang balutan kotor pada bengkok, lepaskan sarung tangan dan buang pada
bengkok yang berisi Clorin 5%.
14. Buka bak instrumen, siapkan betadin dan larutan NaCl pada kom, siapkan
plester, siapkan depres.
15. Kenakan sarung tangan steril.

16. Inspeksi luka, perhatikan kondisinya, letak drain, integritas jahitan dan
karakter drainase serta palpasi luka (kalau perlu).
17. Bersihkan luka dengan larutan NaCl dan betadin dengan menggunkan pinset.
Gunakan satu kasa untuk setiap kali usapan. Bersihkan dari area yang kurang
terkontaminasi ke area yang terkontaminasi. Gunakan dalam tekanan progresif
menjauh dari insisi/tepi luka.
18. Gunakan kasa baru untuk mengeringkan luka/insisi. Usap dengan cara seperti
pada langkah 17.
19. Melepaskan jahitan satu persatu selang seling dengan cara : menjepit simpul
jahitan dengan pinset cirurgis dan ditarik sedikit ke atas kemudian
menggunting benang tepat dibawah simpul yang berdekatan dengan kulit/pada
sisi lain yang tidak ada simpul.
20. Olesi luka dengan betadin.
21. Menutup luka dengan kasa steril dan di plester.
22. Merapikan pasien.
23. Membersihkan alat-alat dan mengembalikan pada tempatnya.
24. Melepaskan sarung tangan.
25. Perawat mencuci tangan.
e. Hal hal yang perlu diperhatikan
1. Pengangkatan balutan dan pemasangan kembali balutan dapat menyebabkan
pasien terasa nyeri.
2. Cermat dalam menjaga kesterilan.
3. Mengangkat jahitan sampai bersih tidak ada yang ketinggalan.
4. Teknik pengangkatan jahitan di sesuaikan dengan tipe jahitan.
5. Peka terhadap privasi klien.

BAB III
PENUTUP

Perawatan luka post SC merupakan tindakan yang sangat bermanfaat, baik


dilihat dari segi kesehatan maupun dari segi kosmetiknya. Hal tersebut berguna untuk
mencegah terjadinya komplikasi pada ibu-ibu yang harus menjalani atau memilih
operasi seksio sesarea sebagai jalan untuk melahirkan bayi mereka. Untuk itu,
dibutuhkan tenaga medis profesional yang mampu memahami dan menerapkan
perawatan luka pasca operasi seksio sesarea dengan baik dan benar.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Pengetahuan Ibu Post SC Tentang Perawatan Luka Sectio Sesarea di
Ruang

Nifas

RS.

dilihat:

Juli

2013.

<http://skripsipedia.wordpress.com/2012/10/23/pengetahuan-ibu-post-sctentang-perawatan-luka-sectio-sesarea-di-ruang-nifas-rs/>.
Shafitri A. 2013. Perawatan Luka Post Op SC. dilihat: 3 Juli 2013.
<http://piteasha.blogspot.com/2013/05/bab-ii-perawatan-luka-post-opsc.html>.

10

PERAWATAN LUKA POST SC

11

Anda mungkin juga menyukai