Anda di halaman 1dari 26

Pen dahuluan

Setelah makan, nutrien yang masuk diserap dan masuk ke dalam darah. Selama
periode ini, glukosa berlimpah dan berfungsi sebagai sumber energi utama. Terdapat hormon
yang disekresi oleh pankreas yaitu insulin. Insulin memiliki efek penting pada metabolisme
karbohidrat, lemak, dan asam amino darah serta mendorong penyimpanan bahan-bahan
tersebut. Insulin mengurangi konsentrasi glukosa darah dengan mendorong penyerapan
glukosa oleh sel dari darah untuk digunakan dan disimpan. Insulin merupakan satu-satunya
hormon yang mampu menurunkan kadar glukosa darah. Akan tetapi apabila terdapat
gangguan pada insulin, maka metabolisme glukosa tersebut terganggu dan menyebabkan
gangguan yang dinamakan diabetes mellitus tipe 2.1
Makalah ini diharapkan dapat membantu penulis dan pembaca mengerti mengenai
diabetes melitus tipe 2 dalam hal anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,
working diagnosis, differential diagnosis, etiologi, epidemiologi, manifestasi klinik,
patofisiologi, penatalaksanaan, komplikasi, prognosis, pencegahan. Dengan demikian,
penatalaksanaan kasus diabetes melitus tipe 2 dapat dilaksanakan dengan baik.

Anamnesis
Hal yang dapat ditanyakan adalah mengenai keluhan utamanya yaitu lemas sejak 2
minggu lalu. Selain itu bisa ditanyakan juga mengenai onest gejala bisa bertahap dimulai dari
haus dan poliurua. Tanyakan juga adakah gejala lain diantaranya adalah sesak napas, nyeri
abdomen, mengantuk, bingung. Tanya pula adakah tasa lapar, gelisah, ingin pingsan,
takikardi, berkeringat, dan berbagai gejala neurologis seperti nyeri kepala dan defisit
neurologis.2

Dalam riwayat penyakit dahulu, ditanyakan apakah pasien diketahui mengidap


diabetes? Bagaimana manifestasinya dan apa obat yang didapat? Bagaimana pemantauan
kontrol: frekuensi pemeriksaan urin, tes darah, HbA1C, dan kesadaran akan hipoglikemi?
Tanyakan pula mengenai komplikasi sebelumnya. Adakah riwayat masuk rumah sakit karena
hipoglikemi/hiperglikemi? Adakah penyakit vaskular: iskemia jantung (MI, angina, CCF),
penyakit vaskular perifer (klaudikasio, nyeri saat istirahay, ulkus, perawatan kaki, impotensi),
neuropati perifer, neuropati otonom (gejala gastroparesis-muntah, kembung, diare). Adakah
retinopati, hiperkolesterolemia, hipertrigliserida, disfungsi ginjal, hipertensi dan terapi, dan
aktivitas olahraganya?2
Dalam riwayat obat-obatan, tanyakan apakah pasien sedang menjalani terapi diabetes:
diet saja, obat-obat hipoglikemia oral, atau insulin? Tanyakan mengenai obat yang bersifat
diabetogenik (misalnya kortikosteroid, siklosporin)? Tanyakan apakah ada riwayat merokok
atau penggunaan alkohol? Apakah pasien memiliki alergi?Apakah menjalani terapi suntik
insulin? Siapa yang memberikan suntikan insulin?2
Pada riwayat keluarga dan sosial, tanyakan pula adakah riwayat diabetes melitus
dalam keluarga? Apakah diabetes mempengaruhi kehidupan?2

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang pertama dilakukan adalah melihat keadaan umum dan juga
kesadaran pasien. Selanjutnya pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah memeriksa tandatanda vital yang terdiri dari suhu, tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan. Suhu tubuh
yang normal adalah 36-37oC. Pada pagi hari suhu mendekati 36oC, sedangkan pada sore hari
mendekati 37oC. Tekanan darah diukur dengan menggunakan tensimeter dengan angka
normalnya 120/80 mmHg. Pemeriksaan nadi biasa dilakukan dengan melakukan palpasi a.
radialis. Frekuensi nadi yang normal adalah sekitar 60-100 kali permenit. Dalam keadaan
normal, frekuensi pernapasan adalah 16-24 kali per menit.3
Selain itu, lakukan pemeriksaan vaskularisasi perifer yaitu apakah nadi teraba, atau
bruit? Pemeriksaan kaki juga dilakukan untuk melihat ulkus, selulitis, neuropati (sensasi raba
halus), tusuk jarum, monofilamen, rasa getar, rasa posisi sendi, refleks, dan neuropati
otonom. Periksa mata untuk ketajaman penglihatan dan respons pupil.2

Hasil pemeriksaan fisik pasien menunjukkan keadaan umum baik, tekanan darah
120/80 mmHg, frekuensi nadi 88x/menit, suhu normal, frekuensi napas 16x/menit. Selain itu
terdapat bercak hiperpigmentasi pada lipatan leher dan ketiak.

Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin
Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium sebagai berikut:4
1. Hemoglobin (Hb): Prosedur pengambilan sampelnya tidak ada pembatasan pada
asupan makanan atau minuman. Selain itu, turniket yang terpasang harus kurang dari
satu menit. Bila pengambilan darah lewat darah vena, darah yang dikumpulkan
berjumlah 3 sampai 5 ml dalam tabung tertutup lembayung. Kadar normal Hb adalah
pria dewasa: 13.5-17 g/dl, wanita dewasa: 12-15 g/dl.
2. Hematokrit (Ht): Prosedur pengambilan sampelnya tidak ada pembatasan pada asupan
makanan atau minuman. Selain itu, turniket yang terpasang harus kurang dari dua
menit. Bila pengambilan darah lewat darah vena, darah yang dikumpulkan berjumlah
3 sampai 5 ml dalam tabung tertutup lembayung. Kadar normal Ht adalah pria
dewasa: 40-54%, wanita dewasa:36-46%
3. Sel darah putih (Leukosit): Untuk mengkaji nilai sel darah putih adalah dari hitung
darah lengkap. Hal ini dilakukan untuk menentukan adanya infeksi. Jumlah normal
sel darah putih adalah dewasa: 4500-10000 l
4. Trombosit: Prosedur pengambilan sampelnya tidak ada pembatasan pada asupan
makanan atau minuman. Bila pengambilan darah lewat darah vena, darah yang
dikumpulkan berjumlah 3 sampai 5 ml dalam tabung tertutup lembayung. Jumlah
normal trombosit adalah dewasa: 150000-400000 l
Gula Darah
Kadar glukosa darah serum puasa normal adalah 70 sampai 110 mg/dl. Hiperglikemia
didefinisikan sebagai kadar glukosa puasa yang lebih tinggi dari 110 mg/dl, sedangkan
hipoglikemia bila kadarnya lebih rendah dari 70 mg/dl. Glukosa difiltrasi oleh glomerulus
ginjal dan hampir semuanya direabsorbsi oleh tubulus ginjal selama kadar glukosa dalam

plasma tidak melebihi 160 sampai 180 mg/dl. Jika konsentrasi serum naik melebihi kadar ini,
glukosa tersebut akan keluar bersama urin, dan disebut glikosuria.5
Kadar Gula darah sewaktu pasien adalah 252 mg/dl.
Hemoglobin A1C (HbA1C)
A1C merupakan hemoglobin terglikosilasi dan dikenal juga sebagai glikohemoglobin
yang merupakan komponen kecil hemoglobin, bersifat stabil dan terbentuk secara perlahan
melalui reaksi non-enzimatik dari hemoglobin dan glukosa. Reaksi non-enzimatik ini
berlangsung terus-menerus sepanjang umur eritrosit (kira-kira 120 hari), sehingga eritrosit tua
mengandung A1C lebih tinggi daripada eritrosit muda. Proses glikosilasi non-enzimatik ini
dipengaruhi langsung oleh kadar glukosa darah. Karena eritrosit bersifat permeabel dilalui
glukosa maka pengukuran kadar A1C mencerminkan keadaan glikemik selama masa 120
hari.6
Berdasarkan waktu paruh A1C yang lamanya sekitar setengah dari masa hidup
eritrosit yaitu 60 hari, maka pemeriksaan kadar A1C digunakan untuk memantau keadaan
glikemik untuk kurun waktu 2-3 bulan yang lampau. Nilai normal kadar A1C adalah 5-8%
dari kadar Hb total. Pada penderita DM dengan hiperglikemia kronik, jumlah protein yang
terglikosilasi (A1C) akan meningkat. Pemeriksaan A1C digunakan untuk menilai efek
perubahan pengobatan 8-12 minggu sebelumnya tetapi tidak dapat dipakai untuk menilai
hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan ini dianjurkan untuk dilakukan sedikitnya 2x
dalam setahun.6
Kadar HbA1C pasien adalah 10%.
Glukosa Urin
Pemeriksaan glukosa urin merupakan pemeriksaan yang kurang akurat karena tidak
semua peningkatan kadar glukosa darah akan disertai dengan terjadinya glukosuria.
Pemeriksan glukosa urin hanya dilakukan pada penderita yang tidak dapat atau tidak mau
memeriksa kadar glukosa darah.6
Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)

TTGO telah digunakan untuk mendiagnosis diabetes awal secara pasti, namun tes ini
tidak dibutuhkan untuk penapisan dan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan
manifestasi klinis diabetes dan hiperglikemia.5
Cara pelaksanaan TTGO adalah:3
-

Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari dan tetap

melakukan kegiatan jasmani seperti biasa


Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelim pemeriksaan, minum air

putih tanpa gula tetap diperbolehkan


Diperiksa konsentrasi gula darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),

dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit


Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah

minum larutan glukosa selesai


Diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok
Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3 yaitu:3

< 140 mg/dl normal


140 - <200 mg/dl toleransi glukosa terganggu
> 200 mg/dl diabetes

Homeostasis Model Assessment-Estimated Insulin Resistance (HOMA IR)


HOMA IR sekarang sudah banyak digunakan untuk memperkirakan resistensi insulin
dalam penelitian. Dibandingkan dengan metode gold standard euglemic clamp untuk
mengukur resistensi insulin, pengukuran menggunakan HOMA IR lebih mudah. HOMA-IR
dihitung mengalikan insulin plasma puasa (FPI) dengan glukosa plasma puasa (FPG),
kemudian dibagi dengan constanta 22,5. HOMA-IR= (FPIxFPG)/22,5. Metode ini sudah
digunakan oleh semua etnis. Satu studi mengatakan bahwa range normal HOMA-IR pada
kaum Hispanic sehat mungkin lebih tinggi dari Kaukasian di Amerika tengah dan utara, dan
memang populasi ini terkenal memiliki potensi genetik DM 2, yang dekat kaitannya dengan
resistensi insulin.7
Variabel berikut termasuk dalam risiko: jenis kelamin, usia, BMI, rasio
pinggang/panggul, FPG, tekanan darah, aktivitas fisik, konsumsi alkohol, rokook, tingkat
edukasi, riwayat hepatitis, kadar lipid puasa (trigliserid, kolesterol total, HDL, dan LDL), dan
serum transaminase (ALT dan AST). Insulin diukur dalam serum beku di -80 oC dalam 1 jam
5

setelah pengambilan sampel. Sekumpulan insulin diukur menggunakan enzyme-linked


immunosorbent assay insulin kit menggunakan kurva standard dilengkapi dengan kit.7
Dalam hasil, direkomendasikan menggunakan nilai HOMA-IR dari orang Mexico
yaitu HOMA-IR <2,60 sebagai nilai normal, HOMA-IR 2,60-3,80 sebagai borderline high
tanpa melabel bahwa orang tersebut memiliki resistensi insulin, dan HOMA-IR >3,80 sebagai
high memiliki korelasi jelas dengan resistensi insulin.7

Working Diagnosis
Diabetes Melitus Tipe 2 (DM2)

Gambar 1. Alogaritma pendekatan diagnosis diabetes melitus.6


Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Dalam
menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara
pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk
memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di
laboratorium klinik yang terpercaya. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat
dapat juga dipakau bahan darah utuh, vena, maupun kapiler dengan memperhatikan angkaangka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan
hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.3

PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada
tidaknya gejala khas DM. Gejala khas Dm terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat
badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas,
kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria), dan pruritus
vulva (wanita). Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal
satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan
gejala kjas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis
DM dapat melalui cara berikut:3
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/L). Glukosa
plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir.
2. Atau, gejala klasik DM + glukosa plasma > 126 mg/dL (7 mmol/L). Puasa diartikan
pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO > 200mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO dilakukan
dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram
glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
Pemerikaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan Indeks Massa
Tubuh (IMT) > 25 kg/m2 dengan faktor risiko lain sebagai berikut: 1) aktivitas fisik kurang,
2) riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama (first degree relative), 3) masuk
kelompok etnik risiko tinggi (African American, Latino, Native American, Asian American,
Pasific Islander), 4) Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat > 4000 gram atau
riwayat diaberes melitus gestasional (DMG), 5) Hipertensi, 6) Kolesterol HDL <35 mg/dL
dan atau trigliserida > 250 mg/dL, 7) wanita dengan sindrom polikistik ovarium, 8) riwayat
toleransi glukosa terganggu atau gula darah puasa terganggu, 9) keadaan lain yang
berhubungan dengan resistensi insulin (obesitas, akantosis nigrikans, dan 10) riwayat
penyakit kardiovaskular.3
Pada penapisan dapat dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa atau sewaktu atau
TTGO. Untuk kelompok risisko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif,
pemeriksaan penunjang ulang dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka yang berusia >45
tahun tanpa faktor risiko, pemeriksan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun atau lebih
cepat tergantung dari klinis masing-masing pasien.3

Pada pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk


umumnya tidak dianjurkan karena disamping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut bagi
mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan
penyaring bersama penyakit lain (general check-up) adanya pemeriksaan penyaring untuk
DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan.3
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa
terganggu (TGT), dan gklukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditentukan
langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan
sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang
menjadi DM, 1/3 tetap TGT, dan 1/3 lainnya akan kembali normal. Adanya TGT ini risiko
terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering berkaitan
dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi, dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola
kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan
pencegahan primer dan sekunder dapat segera diterapkan.3
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan konsentrasi glukosa
darah sewaktu atau konsentrasi glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes
toleransi glukosa oral (TTGO) standar.3
Tabel 1. Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan
Diagnosis DM (mg/dL).3

Konsentrasi glukosa
darah sewaktu
Konsentrasi glukosa
darah puasa

Plasma vena
Darah kapiler

Bukan DM
<100
<90

Belum Pasti DM
100-199
90-199

DM
>200
>200

Plasma vena
Darah kapiler

<100
<90

100-125
90-99

>126
>100

Differential Diagnosis
Maturity-Onset Diabetes of the Young (MODY)
Dua persen hingga 5% pasien diabetes tidak dapat secara jelas dimasukkan ke dalam
fenotipe diabetes tipe 1 atau tipe 2 dan dikatakan mengidap MODY. Pada para pasien ini,
terjadi defek primer di fungsi sel b yang terjadi tanpa kerusakan sel b, tetapi mengenai massa
8

sel b dan/atau produksi insulin. Kini menjadi jelas bahwa MODY adalah hasil akhir dari
berbagai kelompok defek genetik yang ditandai oleh defek monogenik yang diwariskan
secara dominan autosom, dengan tingkat penetrasi tinggi, awitan dini, biasanya sebelum usia
25 tahun, berbeda dengan usia 40 tahun bagi kebanyakan pasien diabetes tipe 2, tidak adanya
obesitas, dan tidak adanya autoantibodi sel islet dan sindrom resistens insulin.8
Sejauh ini, diketahui enam defek genetik berbeda. Glukokinase, yang diperkirakan
berperan dalam MODY2, mengkatalisis pemindahan fosfat dari ATP ke glukosa, yang
merupakan reaksi pertama dan penentu kecepatan dalam metabolusme glukosa. Glukokinase
yang diekspresikan di sel b pankreas mengontrol influks glukosa dengan mengendalikan
pemasukannya ke dalam siklus glikolitik, yang akhirnya dapat menimbulkan sekresi insulin,
Mutasi inaktivasi pada enzim ini meningkatkan ambang untuk pelepasan insulin sehingga
derajat hiperglikemua hanya disertai sekresi insulin yang rendah dan akhirnya terjadi
peningkatan sedang glukosa darah. Pernah dilaporkan mutasi aktivasi yang menyebabkan
aktivitas enzim bergeser ke arah yang berlawanan, berupa peningkatan sekresi insulin pada
kadar glukosa yang lebih rendah sehingga terjadi keadaan hipoglikemia kronik dan
hiperinsulinisme. Sisa 5 gen lainnya yang dapat menyebabkan munculnya MODY adalah
faktor transkripsi yang mengontrol ekspresi insulin di sel b dan massa sel b; IPF-1 juga
berperan sentral dalam pembentukan pankreas. Selain heterogenitas genetik, MODY juga
ditandai oleh heterogenitas klinis. Sebagian bentuk MODY (MODY1, MODY3, dan
MODY5) disebabkan adanya defek berat terhadap sekresi insulin oleh sel b disertas seluruh
penyulit diabetes, sedangkan yang lainnya (MODY2) menyebabkan hiperglikemua kronik
ringan yang biasanya tidak memburuk seiring dengan waktu.8
Latent Autoimmune Diabetes in Adults (LADA)
LADA adalah terminologi yang paling sering untuk mendeskripsikan pasien dengan
fenotipe DM 2 yang digabung dengan antibodi islet dan kegagalan lambat progresif sel b .
Jika didefinisikan lagi sebagai fenotip DM 2 digabung dengan antibodi islet, prevalensi dari
LADA adalah 10% dari subjek DM berusia 40-75 tahun. Prevalensi serupa ditemukan pada
pasien non-insulin dependen usia lebih dari 35 tahun pada diagnosis DM2. Sesungguhnya,
frekuensi serupa dari LADA ditemukan sekitar pasien DM2 dari semua usia di UK. Pasien
DM2 lebih muda dari 35 tahun pada diagnosis, frekuensu LADA lebih tinggi (~25%).
Meskipun pasien LADA dari definisi tidak insulun dependen dan selama setelah diagnosis
perta,a dari diabetes, dalam 6 tahun, fungsi sel b mengalami kerusakan parah, membuat
9

pasien LADA menjadi dependen insulin. Meskipun demikian, kegagalan sel b, didefinisikan
sebagai tidak terukurnya c-peptida puasa, mungkin memerlukan 12 tahun sampai terjadi pada
pasien dengan antibodi islet. Hal ini penting untuk mengklarifikasi bahwa obesitas tidak
menjadi pengecualian LADA. Obes tipe 2 seperti pasien diabetes dengan antibodi islet
menunjukkan kegagalan progresif sel b. Juneja et al menemukan bahwa hanya islet antibodi
(ICAs) atau GAD antibodi (GADAs) mendefinisikan LADA (~tipe 1 diabetes); bukan
BMI, usia, atau gejala klinik. Konsentrasi yang dinggi dari antibodi islet memprediksikan
kegagalan sel b di masa depan, dimana sedikit jumlah antibodi islet, khususnya ICAs yang
kurang, diasosiasikan dengan kegagalan sel b yang progresif.9

Epidemiologi
Menurut penelitian epidemiologi yang disampaikan saat ini dilaksanakan di
Indonesia, kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua
tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%.3
Di Pekajangan prevalensi ini agak tinggi disebabkan di daerah itu banyak perkawinan
antara kerabat. Sedangkan di Manado, Waspadji menyimpulkan mungkin angka itu tinggi
karena pada studi itu populasinya terdiri dari orang yang datang sukarela, jadi agak lebih
selektif. Tetapi kalau dilihat dari segi geografi dan budayanya yang dekat Filipina, ada
kemungkinan prevalensi di Manado memang tinggi, karena prevalensi diabetes di Filipina
juga tinggi yaitu sekitar 8,4% sampai 12% di daerah urban dan 3,85 sampai 9,7% di daerah
rural.3
Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 1993, kekerapan DM di daerah
urban yaitu di kelurahan Kayuputih adalah 5,69% sedangkan di daerah rural yang dilakukan
oleh Augusta Arifin di suatu daerah di Jawa Barat tahun 1995, angka itu hanya 1,1%. Disini
jelas ada perbedaan antara prevalensi di daerah urban dengan daerah rural. Hal ini
menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian diabetes. Tetapi di Jawa Timur
angka itu tidak berbeda yaitu 1,43% did aerah urban dan 1,47% di daerah rural. Hal ini
mungkin disebabkan tingginya prevalensi Diabetes Melitus Terkait Malnutrisi (DMTM) atau
yang sekarang disebut diabetes tipe lain di daerah rural di Jawa Timur, yaitu sebesar 21,2%
dari seluruh diabetes di daerah itu.3

10

Penelitian antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depon didapatkan prevalensi DM
tipe 2 sebesar 14,7% suatu angka yang sangat mengejutkan. Demikian juga di Makassar
prevalensi diabetes terakhir tahun 2005 yang mencapai 12,5%. Pada tahun 2006, survei
melaporkan prevalensi DM di daerah DKI Jakarta sebesar 12,1% dengan DM yang terdeteksi
sebesar 3,8% dan DM yang tidak terdeteksi sebesar 11,2%. Berdasarkan data ini diketahui
bahwa kejadian DM yang belum terdiagnosis masih cukup tinggi, hampir 3x lipat dari jumlah
kasus DM yang sudah terdeteksi.3
Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global yang tadi dibicarakan
terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan
demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau 2
dekade yang akan datang kekerapan DM di Indonesia akan meningkat dengan drastis.3

Etiologi
Pada pasien dengan DM 2, penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat. Indeks
untuk DM 2 pada kembar monozigot hampir 100%. Risiko berkembangnya diabetes tipe 2
pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% unuk anak cucunya. DM2 ditandai dengan
kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari selsel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat diri kepada reseptor-reseptor
permukaan tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselular yang menyebabkan mobilisasi
pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transport glukosa menembus membran sel.
Pada pasien-pasien dengan DM 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor.
Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel
yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik.
Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insukin dengan sistem
transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat mengganggu kerja insulin. Pada
akhirnya, timbul kegagalan sel b dengan menurunnya jumlah insulin yang beredar dan tidak
lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar 80% pasien DM 2 mengalami
obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, maka kelihatannya akan timbul
kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan DM 2. Pengurangan berat badan
menyebabkan DM 2. Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan perbaikan dalam
sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi gluksosa.5

11

Manifestasi Klinik
Pasien dengan DM tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun,
dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan
tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemi yang lebih berat, pasien tersebut mungkin menderita
polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis
karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif. Sejumlah insulin
tetap disekresi dan masuh cukup untuk menghambat ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat
dan pasien tidak berespons terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obat hipoglikemi oral,
mungkin diperlukan terapi insulin untuk menormalkan kadar glukosanya. Pasien ini biasanya
memperlihatkan kehilangan sensitifitas perifer terhadap insulin. Kadar insulinn pada pasien
sendiri mungkin berkurang, normal atau malahan tinggi, tetapi tetap tidak memadai untuk
mempertahankan kadar glukosa darah normal. Penderita juga resisten terhadap insulin
eksogen.5

Patofisiologi
Dua defek metabolik yang menandai DM 2 adalah (1) berkurangnya kemampuan
jaringan perifer berespons terhadap insulin (resistensi insulin) dan (2) disfungsi sel b yang
bermanifestas sebagai kurang adekuatnya sekresi insulin dalam menghadapi resistensi insulin
dan hiperglikemia. Pada sebagian besar kasus, resistensi insulin merupakan poses primer, dan
diikuti oleh disfungsi sel b yang semakin parah.8
Resistensi insulin didefinisikan sebagai resistensi terhadap efek insulin pada
penyerapan, metabolisme, atau penyimpanan glukosa. Resistensi insulin merupakan
gambaran khas pada kebanyakan pasien DM 2 dan hampir selalu ditemukan pada pengidap
diabetes yang kegemukan. Peran resistensi insulin dalam patogenesis DM2 dapat
diperkirakan dari temuan bahwa (1) resistensi insulin sering terdeteksi 10 20 tahun sebelum
awitan diabetes pada orang dengan predisposisi dan (2) dalam penelitian prospektif, resistensi
insulin adalah prediktor terbaik untuk timbulnya diabetes masa mendatang. Resistensi insulin
menyebabkan berkurangnya penyerapan glukosa di otot dan jarigan lemak dan
ketidakmampuan hormon menekan glukoneogenesis di hati. Studi-studi fungsional pada
orang dengan resistensi insulin memperlihatkan terjadinya banyak kelainan kuantitatif dan
12

kualitatif dalam jalur pembentukan sinyal insulin, termasuk penurunan jumlah reseptor
insulin; penurunan kadar zat antara aktif dalam jalur pembentukan sinyal insulin; dan
gangguan translokasi., penambatan, dan fusi vesikel yang mengandung GLUT-4 ke membran
plasma.8
Diketahui bahwa resistensi insulin adalah suatu fenomena kompleks. Disini kita akan
membahas sebagian dari faktor yang diduga berperan dalam penurunan sensitivitas terhadap
insulin padapasien diabetes.8

Gambar 2. Tahap-tahap metabolik diabetes tipe 2.8


Defek genetik pada reseptor insulin dan jalur pembentukan sinyal insulin. Kelainan
loss-of-function di reseptor insulin atau zat-zat antara di bagian hilirnya merupakan kandidat
untuk menjelaskan resistensi insulin pada DM 2. Pada mencit, knockout gen yang mengode
berbagai protein pembentuk sinyal insulin menyebabkan resistensi insulin, hiperinsulinemia,
dan hiperglikemia, menyerupai DM 2 pada manusia. Sayangnya, ekstrapolasi model
knockout gen-tunggal ini ke penyakit manusia kurang memuaskan. Mutasi titik pada reseptor
insulin relatif jarang terjadi, menyebabkan tidak lebih dari 1% sampai 5% pasien dengan
resistensi insulin. Analisis terhadap gen-gen kandidat yang berperan dalam sekresi insulin
atau kerja insulin serta studi-studi keterkaitan genom secara keseluruhan pada keluarga yang
terkena menghasilkan banyak polimorfisme yang berkaitan dengan fenotipe diabetes tipe 2,
tetapi pada kebanyakan kasus, keterkaitan ini lemah, atau penelitian-penelitian tersebut tidak
reproducible. Dari analisis-analsis ini, tampaknya meskipun risiko populasi yang mempunyai
varian genetik tertentu mungkin signifikan, risiko timbulnya diabetes untuk individu tertentu
13

yang memiliki varian tersebut kecil. Cukuplah dikatakan, meskipun tidak ada yang
menyangkal peran komponen genetik dalam resistensi insulin, gen-gen yang berperan masih
belum teridentifikasi. Dasar genetik dari resistensi insulin, dan karenanya DM 2, tetap
merupakan teka-teki.8
Obesitas dan resistensi insulin. Keterkaitan obesitas dengan DM 2 telah diketahui
sejak beberapa dekade yang lalu, dan obesitas viseral merupakan venomena yang umum
ditemukan pada kebanyakan kasus DM 2. Keterkaitan antara obesitas dan diabetes
diperantarai oleh efek terhadap resistensi insulin. Resistensi insulin dapat dijumpai bahkan
pada obesitas simpel tanpa disertai oleh hiperglikemia, menunjukkan bahwa dalam keadaan
kelebihan lemak terdapat kelainan mendasar pada pembentukan sinyal insulin. Risiko
diabetes meningkat seiring dengan peningkatan indeks massa tubuh. Tidak hanya jumlah
absolut, tetapi juga distribusi lemah tubuh memiliki efek pada sensitivitas terhadap insulin:
Obesitas sentral lebih besar kemunkinannya menyebabkan resistensi insulin dibandingkan
dengan endapan lemak perifer. Meskipun banyak detil dari apa yang disebut sebagai sumbu
adipo-insulin perlu diuraikan, berikut ini adalah beberapa jalur yang diperkirakan berperan
menyebabkan resistensi insulin.:8

Peran asam lemak bebas (FFA): Studi-studi potong lintang memperlihatkan korelasi
terbalik antara FFA plasma puasa dan sensitivitas terhadap insulin. Selain itu, kadar
trigliserida intrasel sering sangat meningkat di jaringan hati dan otot pada orang
dengan obesitas, mungkin karena kelebihanFFA dalam darah mengendap di organorgan ini. Trigliserida intrasel dan produk-produk metabolisme asam lemak
merupakan inhibitor kuat pembentukan sinyal insulin dan menyebabkan keadaan
resistensi insulin didapat. Efek lipotoksik FFA ini kemungkinan besar diperantarai

oleh penurunan aktivitas protein-protein kunci pembentuk sinyal insulin.


Peran adipokin dalam resistensi insulin: Semakin banyak diketahui bahwa jaringan
lemak bukan lah sekedar depo penyimpanan lemak yang pasif, tetapi juga berfungsi
sebagai organ endokrin yang mengeluarkan hormon sebagai respons pada perubahan
status metabolik. Telah berhasil diidentifikas berbagai protein yang dibebaskan ke
dalam sirkulasi sistemik oleh jaringan adiposa, dan protein-protein ini secara kolektif
disebut sebagai adipokin. Disregulasi sekresi adipokin (baik meningkat atau menurun
secara abnorma) meripakan salah satu mekanisme yang menghubungkan resistensi
insulin dan obesitas. Beberpaa adipokin diduga berperan dalam resistensi insulin,
termasuk leptin, adiponektin, dan resistin. Untuk mempersingkat, hanya yang pertama
14

yang dibahas. Leptin bekerja pada reseptor di susunan saraf pusat dan beberapa
tempat lain dan berfungsi untuk mengurangi asupan makanan dan menimbulkan rasa
kenyang. Hewan yang kekurangan leptin memperlihatkan resistensi insulin berat yang
pulih dengan pemberian leptin. Meskipun banyak dari efek leptin pada sensitivitas
terhadap insulin diperantarai reseptor di susunan saraf pusat, sebagian efek
bekerjalangsung di tingkat jaringan sasaran insulin. Peran leptin pada keadaan

resistensi insulin pada manusia merupakan aspek yang sedang aktif diteliti.
Peran peroxisome proliferator-activated receptor gamma (PPARg) dan tiazolinedion
(TZD): TZD adalah suatu kelas senyawa antidiabetes yang dikembangkan pada awal
tahun 1980-an sebagai antioksidan. Reseptor sasaran untuk TZD diketahui adalah
PPARg suatu reseptor nukleus dan faktor transkripsi. PPARg diekspresikan dalam
jumlah besar di jaringan lemak, dan pengaktifan reseptor oleh TZD menyebabkan
modulasi ekspresi gen di adiposit, yang akhirnya menyebabkan penurunan resistensi
insulin. Sasaran pengaktifan PPARg antara lain adalah beberapa adipokin yang
dibahas diatas. Pengaktifan PPARg juga menurunkan kadar asam lemak bebas yang
ikut berperan dalam resistensi insulin pada obesitas.

Gambar 3. Hubungan obesitas dan resistensi insulin.8


Secara singkat, resistensi insulin pada DM2 merupakan suatu fenomena kompleks dan
multifaktor. Defek genetik dalam pembentukan sinyal insulin tiak sering ditemukan dan, jika
ada, lebih besar kemungkinannya merupakan polimorfisme dengan efek samar dan bukan
mutasi yang menyebabkan inaktivasi. Pada sebagian besar pasien, resistensi insulin adalah
fenomena didapat, dan obesitas merupakan hal utama dalam fenomena ini.8
Disfungsi sel b pada diabetes tipe 2 menyebabkan ketidakmampuan sel-sel ini
beradaptasi terhadap kebutuhan jangka-panjang resistensi insulin perifer dan peningkatan
15

sekresi insulin. Pada keadaan resistensi insulin, sekresi insulin mula-mula meningkat untuk
setiap kadar glukosa dibandingkan keadaan normal. Keadaan hiperinsulinemia ini adalah
suatu kompensasi untuk resistensi perifer dan sering dapat mempertahankan glukosa plasma
normal selama bertahun-tahun. Namun, akhirnya kompensasi sel b menjadi tidak adekuat,
dan terkadi perkembangan hingga pasien mengalami diabetes yang nyata. Hal ini mendasar
kegagalan adaptas sel b ini tidak diketahui, tetapi dipostilasikan bahwa beberapa mekanisme,
termasuk efek samping kadar asam lemak bebas yang tinggi dalam darah atau hiperglikemia
kronik dapat berperan. Disfungsi sel b pada DM2 bermanifestasi sebagai gangguan kualitatif
dan kuantitatif.:8

Disfungsu sel b kualitatif pada awalnya timbul samar, dan muncul sebagai hilangnya
pola sekresi pulsasi insulin normal dan melemahnya fase cepat pertama sekresi insulin
saat terjadi peningkatan glukosa plasma. Seiring dengan waktu, gangguan sekresi
mengenai semua fase sekresi insulin, dan meskipun pada diabetes tipe 2 tetap terjadi
sekresi basal insulin, tetapi sangat berkurang memadai untuk mengatasi resistensi

insulin.
Disfungsi sel b kuantitatif tercermin oleh penurunan massa sel b, degradasi islet, dan
pengendapan amiloid di islet. Protein amiloid islet adalah temuan khas pada pasien
DM 2 dan terdapat pada lebih dari 90% islet pengidap diabetes yang diperiksa.
Amiloidosis islet dapat menyebabkan penurunan massa sel b meskipun belum jelas
apakah amiloid berperan atau hanya merupakan konsekuansi penurunan sel b.
Meskipun data pada studi manusia masih sedikit, studi-studi dari model diabetes pada
hewan menunjang rangkaian kejadian di atas dan menunjukkan hiperplasia sel b pada
keadaan pradiabetes diikuti oleh penurunan massa sel b yang berbarengan dengan
perkembanan ke diabetes klinis. Dalam konteksi ini, perlu dicatat bahwa massa sel b
yang nornal pada pengidap diabetes sebenarnya menunjukkan pengurangan relatif
dibandingkan derajat resistensi insulinnya.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Medika Mentosa
Tabel 2. Agen-agen Hipoglikemik Oral.5
Agen

Waktu

Frekuensi

Dosis

Dosis

Paruh

Pemberian

Awal

Rumatan

Toksisitas

Ukuran
Tablet
16

Glipizid

(jam)
2-4

(Glucotrol)
Gliburid

(mg)
2,5

(mg)
5-40

sehari
10

(Micronase,
DiaBeta)
Metformin

Dua kali

Sekali atau

Tiga kali

(mg)
5, 10

Kulit
5,0

dua kali
1,3-4,5

Gastrointestinal

2,5-20,0

Hematologik
Kulit

1,25-5

Gastrointestinal
1000

Hematologik
1500-1700 Asidosis laktat

500, 850

(Glucophage)
sehari
Rosiglitazone
Sekali sehari 4,0
4-8
Edema
4,0
Pioglitazone
Sekali sehari 30
30-45
Edema
30
Pada DM 2, sebagai penyakit yang progresif, obat-obat oral hipoglikemik dianjurkan.
Obat-obatan yang digunakan adalah pensensitif insulin dan sulfinilurea. Dua tipe pensensitif
yang tersedia yaitu metformin dan tiazolidinedion. Metformin yang merupakan suatu
buguanid, dapat diberikan sebagai terapi tunggal pertama dengan dosis 500 hingga 1700 mg /
hari. Metformin menurunkan produksi glukosa hepatik, menurunkan absorbsi glukosa pada
usus, dan meningkatkan kepekaan insulin, khussunya pada pasien dengan obesitas. Asidosis
laktat jarang terjadi namun merupakan komplikasi yang serius, khususnya pada insufisiensi
ginjal dan gagal jantung kongestif. Tiazolinedion meningkatkan kepekaan insulin perifer dan
menurunkan produksi glukosa hepatik. Efek obat ini kelihatannya menjadi perantara interaksi
dengan proliferator peroksisom reseptor inti yang mengaktifkan reseptor gamma (PPARg).
Dua analog tiazolinedion, yaitu rosigitazon dan dengan dosis 4 hingga 8 mg / hari dan
pioglitazon dengan dosis 30 hingga 45 mg / hari dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau
dikombinasi dengan metformin, sulfonilurea, atau insulin. Obat-obatan ini dapat
menyebabkan retensi air dan tidak dianjurkan untuk diberikan pada pasien dengan gagal
jantung kongestif.5
Bila kadar glukosa tidak dapat dikontrol secara optimal dengan menggunakan caracara yang sudah dijelaskan, pasien-pasien DM 2 dengan sisa sel-sel pulau Langerhans yang
masih berfungsi, merupakan calon yang tepat untuk menggunakan sulfonilurea. Obat-obat ini
merangsang fungsi sel beta dan meningkatkan sekresi insulin. Sebaliknya, pasien-pasien
dengan DM 1 yang telah kehilangan kemampuannya untuk menyekresi insulin, pengobatan
dengan sulfonilurea menjadi tidak efektif. Dua bahan campuran sulfonilurea yang paling
sering digunakan adalah glipizid, 2,5 hingga 40 mg / hari, dan gliburid, 2,5 hingga 25 mg /
hari. Gliburid memiliki waktu paruh lebih lama daripada glipizid, dan dosis total hariannya
dapat diberikan sekali sehari. Gabungan sulfonilurea dengan pensensitif insulin adalah terapi
17

obat yang paling sering digunakan untuk pasien-pasien dengan DM 2. Untuk menurunkan
peningkatan kadar glukosa postprandial pada pasien ini, absorbsi karbohidrat dapat
diturunkan atau diperlambat dengan mengonsumsi akarbosa preprandial, yaitu penghambat
alfa glukosida yang bekerja pada usus halus dengan menyekat pencernaan kompleks
karbohidrat.5
Penatalaksanaan Non-Medika Mentosa
Penatakalsanaan DM didasarkan pada (1) rencana diet, (2) lathian fisik dan
pengaturan aktivitas fisik, (3) agen-agen hipoglikemik oral, (4) terapi insulin, (5) pengawasan
glukosa di rumah, dan (6) pengetahuan tentang diabetes dan perawatan diri. Diabetes adalah
penyakit kronik, dan pasien perlu menguasai pengobatan dan belajar bagaimana
menyesuaikannya agar tercapai kontrol metabolik yang optimal.5
Rencana diet pada pasien diabetes dimasukdkan untuk mengatur jumlah kaori dan
karbohidrat yang dikonsumsi setiap hari. Jumlah kalori yang disarankan bervariasi,
bergantung pada kebutuhan apakah untuk mempertahankan, menurunkan, atau meningkatkan
berat tubuh. Sebagai contoh, pada pasien obesitas, dapat ditentukan diet dengan kalori yang
dibatasi hingga berat badan pasien turun hingga ke keadaan semula dan untuk pertumbuhan.
Rencana diet haqrus didapat dengan berkonsultasi dahulu dengan ahli gizi yang terdaftar dan
berdasarkan pada riwayat diet pasien, makanan yang lebih disukai, gaya hidup, latar belakang
budaya dan aktivitas fisik.5
Untuk mencegah hiperglikemia postprandial dan glikosuria, pasien-pasien diabetik
tidak boleh makan karbohidrat berlebihan. Umumnya karbohidrat merupakan 50% dari
jumlah total kalori per hari yang diizinkan. Karbohidrat ini harus dibagi rata sedemikian rupa
sehingga ada yang dimakan oleh pasien sesuai dengan kebutuhannya sepanjang hari.
Contohnya, jumlah yang lebih besar harus dimakan pada waktu melakukan kegiatan fisik
yang lebih berat. Lemak yang dimakan harus dibatasi sampai 30% dari total kalori per hari
yang diizinkan, dan sekurang-kurangnya setengah dari lemak haris dari jenis polyunsaturated.
Sistem makanan penukar yang telah dikembangkan untuk membantu pasien menangani
dietnya sendiri. Sistem ini mengelompokkan makanan-makanan dengan kadar karbohidrat,
protein, dan lemak yang hampir sama, sehingga kalorinya pun sama. Cara ini akan
memungkinkan pasien menukar makanannya dengan makanan lain dalam kelompok yang
sesuai. Pendekatan lain dalam merencanakan diet untuk menghitung karbohidrat dan
disesuaikan dengan dosis insulin kerja pendek yang sesuai. Pasien dapat menghitung jumlah
18

karbohidrat yang disajikan maupun garam karbohidrat total. Insulin dapat digunakan dengan
rasio 1 unit per 15 gram karbohidrat total. Rasio ini dapat ditingkatkan bergantung pada
respons pasien. Pasen dengan DM 2 yang resisten terhadap insulin mungkin membutuhkan 2
hingga 5 unit untuk setiap karbohidrat yang disajikan atau untuk setiap 15 gram karbohidrat
total.5
Latihan fisik kelihatannya mempermudah transpor glukosa ke dalam sel-sel dan
meningkatkan kepekaan terhadap insulin. Pada individu sehat, pelepasan insulin menurun
selama latihan fisik sehingga hipoglikemia dapat dihindarkan. Namun, pasien yang mendapat
suntikan insulin, tidak mampu memakai cara ini, dan peningkatan ambilan glukosa selama
latihan fisik dapat menimbulkan hipoglikemia. Faktor ini penting khususnya ketika pasien
melakukan latihan fisik saat insulin telah mencapai kadar maksimal atau puncaknya. Dengan
menyesuaikan waktu pasien dalam melakukan latihan fisik, pasien mungkin dapat
meningkatkan pengontrolan kadar glukosa mereka. Contohnya, bila pasien melakukan latihan
fisik saat kadar glukosa darahnya tinggi, mereka mungkin dapat menurunkan kadar glukosa
hanya dengan latihan fisik itu sendiri. Sebaliknya, bila pasien merasa perlu melakukan latihan
fisik ketika kadar glukosa rendah, mereka mungkin harus mendapat karbohidrat tambahan
untuk mencegah hipoglikemia.5

Komplikasi
Komplikasi-komplikasi Dm dibagi menjadi 2 kategori mayor: (1) komplikasi
metabolik akut dan (2) komplikasi-komplikasi vaskular jangka panjang.5
Komplikasi Metabolik Akut
Hipergliemia, hiperosmolar, koma nonketotik (HHNK) adalah komplikasi metabolik
akut lain dari DM 2 yang lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif,
hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum lebih
besar dari 600 ml/dL. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik, dan
dehidrasi berat. Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera
ditangani. Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50%. Pengobatan HHNK adalah rehidrasi,
penggantian elektrolit, dan insulin regular. HHNK tidak terdapat ketosis.5
19

Komplikasi Kronik Jangka Panjang


Kompliasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan pembuluh-pembuluh
kecil mikroangipati dan pembuluh-pembuluh sedang dan besar makroangiopati.
Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina
(retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati
diabetik), otot-otot serta kulit. Dipandang dari sudut histokimia, lesi-lesi ini ditandai dengan
peningkatan penimbunan glikoprotein. Selain itu, karena senyawa kimia dari membran dasar
dapat berasal dari glukosa, maka hiperglikemia menyebabkan bertambahnya kecepatan
pembentukan sel-sel membran dasar. Penggunanan glukosa dari sel-sel ini tidak
membutuhkan insulin. Bukti histologik mikroangiopati sudah tampak nyata pada penderita
gangguan toleransi glukosa. Namun, manifestasi klinis penyakit vaskular, retinopati atau
nefropati biasanya baru timbul 15 sampai 20 tahun sesudah awitan diabetes.5

Gambar 4. Retinopati diabetik, terdapat pendarahan, eksudat,


neovaskularisasim dan pelebaran vena-vena pada fundus.5
Ada kaitan yang kuat antara hiperglikemia dengan insidens dan berkembangnya
retinopati. Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma (pelebaran sakular yang kecil)
dari arteriola retina. Akibatnya, pendarahan, neovaskularisasi, dan jaringan parut retina dapat
mengakibatkan kebutaan. Pengobatan yang paling berhasil untuk retinopati adalah
fotokoagulasi keseluruham retina. Sinar laser difokuskan pada retina, menghasilkan parut
korioretinal. Setelah pemberian sinar beberapa seri, maka akan dihasilkan sekitar 1800 parut
yang ditempatkan pada kutub posterior retina. Pengobatan dengan cara ini nampaknya dapat
menekan neovaskularisasi dan perdarahan yang menyertainya.5
Neuropati dan katarak disebabkan oleh gangguan jalur poliol (glukosa sorbitol
fruktosa) akibat kekurangan insulin. Terdapat penimbukan sorbitol dalam lensa sehingga
mengakibatkan pembentukan katarak dan kebutaan. Pada jaringan saraf, terjadi penimbunan
sorbitol dan fruktosa serta penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati.
20

Perubahan biokimia dalam jaringan saraf akan mengganggu kegiatan metabolik sel-sel
Schwann dan menyebabkan hilangnya akson. Kecepatan konduksi motorik akan berkurang
pada tahap dini perjalanan neuropati. Selanjutnya timbul nyeri, parestesia, berkurangnya
sensasi getar dan proprioseptik, dan gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks-refleks
tendon dalam, kelemahan otot dan atrofi. Neuropati dapat menyerang saraf-saraf perifer
(mononeuropati dan polineuropati), saraf-saraf kranial atau sistem saraf otonom.
Terserangnya sistem saraf otonom dapat disertai diare nokturnal, keterlambatan pengosongan
lambung dengan gastroparesis, hipotensi postural dan impotensi. Pasien dengan neuropati
otonom diabetik dapat menderita infark miokardial akut tanpa nyeri. Pasien ini juga dapat
kehilangan respons katekolamin terhadap hipoglikemia dan tidak menyadari reaksi-reaksi
hipoglikemia.5
Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis.
Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh insufisiensi insulin dapat menjadi
penyebab jenis penyakit vaskular ini. Gangguan-gangguan ini berupa: (1) penimbunan
sorbitol dalam intima vaskular, (2) hiperlipoproteinemia, dan (3) kelainan pembekuan darah.
Pada akhirnya, makroangiopati diabetik ini akan mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika
mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang
disertai klaudikasio intermiten dan gangren pada ekstremitas serta insufisiensi serebral dan
stroke. Jika yang terkena adalah arterioa koronaria dan aorta, maka dapat mengakibatkan
angina dan infark miokardium.5
Prognosis
Tahun 2009, diabetes melitus menjadi tujuh besar penyebab kematian di Amerika
Serikat. Diabetes berkontribusi menyebabkan kematian dalam banyak kasus dan mungkin
banyak yang kurang dilaporkan sebagai penyebab kematian. Secara keseluruhan, tingkat
kematian pada orang diabetes dua kali lebih besar daripada orang yang di usia sama tampa
diabetes.10
Penyebab kesakitan dan kematian karena DM karena perkembangan penyakit
kardiovaskular, renal, neuropati, dan retinopati. Komplikasi ini, terutama penyakit
kardiovaskular, adalah sumber utama beban untuk pasien DM.10

Pencegahan
21

Menurut WHO pada tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada 3 jenis yaitu:3

Pencegahan primer: semua aktivitas yang ditujukan untuk mencegah timbulnya


hiperglikemia pada individu yang berisiko untuk jadi diabetes atau pada populasi

umum.
Pencegahan sekunder: menemukan pengidap DM sedini mungkin, musalnya dengan
tes penyaringan terutama pada populasi risiko tinggi. Dengan demikian pasien
diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, hingga dengan demikian
dapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah ada

komplikasi masih reversibel.


Pencegahan tersier: Semua upaya untuk mencegah komploikasi atau kecacatan akibat
komplikasi itu. Usaha ini meliputi: mencegah timbulnya komplikasi, mencegah
progresi daripada komplikasi itu supaya tidak menjadi kegagalan organ, dan
mencegah kecacaran tubuh.
Dalam hal ini Indonesia cukup beruntung karena sejak tahun 1993 PERKENI telah

menyusun dan memberlakukan konsensus pengelolaan diabetes di Indonesia yang


ditandatangani oleh seluruh ahli di bidang diabetes. Di dalam buku konsensus itu sudah
dicanangkan bahwa pencegahan adalah upaya yang harus dilaksanakan sejak dini. Mengenai
pencegahan ini ada sedikit perbedaan mengenai definisi pencegahan yang tidak terlalu
mengganggu. Dalam konsensus yang mengacu ke pada WHO 1985, pencegahan ada 3 jenis
yaitu pencegahan primer berarti mencegah timbulnya hiperglikemia, pencegahan sekunder
mencegah komplikasi sedangkan pencegahan tersier mencegah kecacatan akibat komplikasi.3
Dalam menyelenggarakan upaya pencegahan ini diperlukan suatu strategi yang efisien
dan efektif untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Seperti juga pada pencegahan penyakit
menular, ada 2 macam strategi untuk dijalankan antara lain:3

Pendekatan populasi/masyarakat. Semua upaya yang bertujuan untuk mengubah


perilaku masyarakat umum. Yang dimaksud adalah mendidik masyarakat agar
menjalankan cara hidup sehat dan menghindari cara hidup berisiko. Upaya ini
ditujukan tidak hanya untuk mencegah diabetes tetapi juga untuk mencegah penyakit
lain sekaligus. Upaya ini sangat berat karena target populasinya sangat luas, oleh
karena itu harus dilakukan tidak saja oleh profesi tetapi harus oleh segala lapiran
masyarakat termasuk pemerintah dan swasta (LSM, pemuka masyarakat, dan agama)

22

Pendekatan individu berisiko tinggi. Semua upaya pencegahan yang dilakukan pada
individu-individu yang berisiko untuk menderita diabetes pada suatu saat kelak. Pada
golongan ini termasuk individu yang: berumur >40 tahunm gemuk, hipertensi,
riwayat keluarga DM, riwayat melahirkan bayi >4kg, riwayat DM pada saat
kehamilan, dislipidemia
Pencegahan primer adalah cara yang paling sulit dilakukan karena yang menjadi

sasaran adalah orang-orang yang belum sakit. Cakupannya menjadi sangat luas. Yang
bertanggung jawab bukan hanya profesi tetpai seluruh masyarakat termasuk pemerintah.
Semua pihak harus mempropagandakan pola hidup sehat dan menghindari pola hidup
berisiko. Menjelaskan kepada masyarakat bahwa mencegah penyakit jauh lebih baik daripada
mengobatinya. Kampanye makanan sehat dengan pola tradisional yang mengandung lemak
rendah atau pola makanan seimbang adalah alternatif terbaik dan harus sudah mulai
ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak taman kanak-kanak. Tempe misalnya adalah
makanan tradisional kita yang selain sangat bergizi, ternyata juga banyak khasiatnya
misalnya sifat antibakteri dan menurunkan kadar kolesterol.3
Cara bisa lewat guru-guru atau lewat acara radio atau televisi. Selain makanan juga
cara hidup berisiko lainnya harus dihindari. Jaga berat badan agar tidak gemuk, dengan
olahraga teratur. Dengan menganjurkan olahraga kepada kelompok berisiko tinggi, misalnya
anak-anak pasien diabetes, merupakan salah satu upaya pencegahan primer yang sangat
efektif dan murah.3
Mencegah timbulnya komplikasi, menurut logika lebih mudah karena populasinya
lebih kecil, yaitu pasien diabetes yang sudah diketahui dan sudah berobat, tetapi
kenyataannya tidak demikian. Tidak gampang memotivasi pasien untuk berobat teratur, dan
menerima kenyataan bahwa penyakitnya tidak bisa sembuh. Syarat untuk mencegah
komplikasi adalah kadar glukosa darah harus selalu terkendali mendekati angka normal
sepanjang hari sepanjang tahun. Di samping itu seperti tadi sidah dibicarakan, tekanan darah
dan kadar lipid juga harus normal. Dan supaya tidak ada resistensi insulin, dalam upaya
pengendalian kadar glukosa darah dan lipid harus diutamakan cara-cara nonfarmakologisnya
dulu secara maksimal, misalnya dengan diet dan olahraga, tidak merokok, dan lain-lain. Bila
tidak berhasil baru menggunakan obat baik oral maupun insulin.3
Pada pencegahan sekunder pun, penyuluhan tentang perilaku sehat seperti pada
pencegahan primer harus dilaksanakan, ditambah dengan peningkatan pelayanan kesehatan
23

primer di pusat-pusat pelayanan kesehatan mulai dari rumah sakit kelas A sampai ke unit
paling depan yaitu puskesmas. Di samping itu juga diperlukan penyluhan kepada pasien dan
keluarganya tentang berbagai hal mengenai penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi.
Penyulihan ini dilakukan oleh tenaga yang terampil baik oleh dokter atau tenaga kesehatan
lain yang sudah dapat pelatihan untuk itu. Usaha ini akan lebih berhasil bila cakupan pasien
diabetesnya juga luas, artinya selain pasien yang selama ini sudah berobat juga harus
mencakup pasien diabetes yang belum berobat atau terdiagnosis, misalnya kelompok
penduduk dengan risiko tinggi. Kelompok yang tidak terdiagnosis ini rupanya tidak sedikit.
Di AS saja kelompok ini sama besar dengan yang terdiagnosism bisa dibayangkan keadaan di
Indonesia.3
Oleh karena itu pada tahun 1994 WHO menyatakan bahwa pendeteksian pasien baru
dengan cara skrining dimasukkan ke dalam upaya pencegahan sekunder agar bila diketahui
lebih dini komplikasi dapat dicegah karena masih reversibel. Untuk negara berkembang
termasuk Indonesia upaya ini termasuk mahal.3
Peran profesi sangat ditantang untuk menekan angka pasien yang tidak terdiagnosis
ini, supaya pasien jangan datang meminta pertolongan kalau sudah sangat terlambat dengan
berbagai komplikasi yang dapat mengakibatkan kematian yang sangat tinggi. Dari sekarang
harus sudah dilakukan upaya bagaimana caranya menjaring pasien yang tidak terdiagnosis itu
agar mereka dapat melakukan upaya pencegahan baik primer maupun sekunder.3
Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang diakibatkannya termasuk dalam
pencegahan teriser. Upaya ini terdiri dari 3 tahap:

Pencegahan komplikasi diabetes, yang pada konsensus dimasukkan sebagai

pencegahan sekunder
Mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi untuk tidak menjurus kepada penyakit

organ.
Mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena kegagalan organ atau jaringan
Dalam upaya ini diperlukan kerja sama yang baik sekali, baik antara pasien dengan

dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang terkait dengan komplikasinya. Dalam hal
peran penyluhan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk
mengendalikan diabetesnya. Peran ini tentu saja akan merepotkan dokter yang jumlahnya

24

terbatas. Oleh karena itu dia harus dibantu oleh orang yang sudah dididik untuk keperluan
penyuluhan diabetes (diabetes educator).3

Penutup
Laki-laki berusia 45 tahun ini menderita diabetes melitus tipe 2. Hal ini dapat
dicurigai dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik sehingga didapatkan working diagnosis
tersebut. Akan tetapi, ada pula differential diagnosis dari penyakit ini yaitu maturity onset
diabetes mellitus of the young (MODY) dan latent autoimmune diabetik of adult (LADA).
Perlu

lebih

diperhatikan

lagi

mengenai

ciri-ciri

masing-masing

penyakit

untuk

membedakannya agar bisa menentukan diagnosis yang pasti. Dengan diagnosis yang tepat,
penatalaksanaaanya akan menjadi tepat, baik secara medika mentosa maupun secara
nonmedika mentosa. Dengan penatalaksanaan yang tepat, kualitas hidup pasien tersebut akan
meningkat.

Daftar Pustaka
1. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2011.h.
781, 786.
2. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2006.
h.138.
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009. h. 31-2,
4. Kee JL. Pedoman pemeriksaan laboratorium dan diagnostik. Edisi ke-6. Jakarta:
EGC; 2008.
5. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta: EGC; 2006. h.126025

6. Halin SL, Iskandar I, Edward H, Kosasih R, Sudiono H. Kimia klinik. Edisi ke-2.
Jakarta:Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Ukrida; 2013.h. 60.
7. Qu HQ, Li Q, Rentfro AQR, Fisher-Hoch SP, McCormick JB. The definition of
insulin resistance using HOMA-IR for Americans of Mexican descent using machine
learning. PloS ONE 2011 Jun; 6(6):1-4.
8. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins dan Cotran dasar patologis penyakit. Edisi
ke-7. Jakarta: EGC; 2010. h. 1221..
9. Stenstrom G, Gottsater A, Bahktadze E, Berger B, Sundkvist G.Latent autoimune
diabetes in adults definition, prevalence, b-cell function, and treatment. ProQuest
Medical Library 2005 Des;54:S68.
10. Type
2
Diabetes

Mellitus,

diunduh

dari:

http://emedicine.medscape.com/article/117853-overview#aw2aab6b2b6, 5 November
2013.

26

Anda mungkin juga menyukai