I. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. D
Umur
: 41 Tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Suku Bangsa
: Makassar
Agama
: Islam
Alamat
Pekerjaan
: IRT
Tanggal Pemeriksaan
: 15 Juli 2013
: 617196
Tempat Pemeriksaan
: RSWS
Pemeriksa
: dr. A
II. ANAMNESIS
Keluhan utama
PEMERIKSAAN
STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : Komposmentis, Sakit Sedang, Gizi Baik
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Pernapasan : 24x/menit
Suhu : 36,9oC
A. Inspeksi
PEMERIKSAAN
Palpebra
Apparatus lakrimalis
Silia
Kongjungtiva
Bola mata
Kornea
Bilik Mata Depan
Iris
Pupil
Lensa
Mekanisme muscular
OD
Edema (-)
Hiperlakrimasi (-)
Sekret (-)
Tampak selaput berbentuk
segitiga di bagian nasal
dengan apeks mencapai
pupil, Hiperemis (-)
Normal
Jernih
Kesan Normal
Coklat, Kripte (+)
Bulat, Sentral
Jernih
Ke segala Arah
OS
Edema (-)
Hiperlakrimasi (-)
Sekret (-)
Hiperemis (-)
Normal
Jernih
Kesan Normal
Coklat, Kripte (+)
Bulat, Sentral
Jernih
Ke segala Arah
Lensa
Jernih
Jernih
I. Slit lamp
SLOD : Konjungtiva hiperemis (-), Tampak selaput berbentuk segitiga di
bagian nasal dengan apeks mencapai pupil, komea jernih, BMD
kesan normal, iris coklat kripte (+), pupil bulat sentral RC (+),
lensa jernih.
SLOS : Konjungtiva hiperemis (-), kornea jernih, BMD kesan normal,
iris coklat kripte (+), pupil bulat sentral RC (+), lensa jernih.
J. Diafanoskopi
Tidak dilakukan pemeriksaan
K. Oftalmoskopi
Tidak dilakukan pemeriksaan
L. RESUME
Perempuan 41 tahun, datang ke poliklinik mata RSWS dengan keluhan
rasa mengganjal pada mata kanan yang dirasakan secara perlahan- lahan
sejak 9 bulan yang lalu, dan membesar secara perlahan-laha, nyeri (-),
Mata merah (-), rasa berpasir pada mata (-), rasa mengganjal pada mata (-),
air mata berlebih (-), kotoran mata berlebih (-), rasa gatal (+) kadang-kadang,
rasa silau (-), penglihatan kabur (-), riwayat pasien sering terpapar sinar
matahari,debu dan asap kendaraan bermotor (+)
Pada pemeriksaan oftalmologi pada inspeksi tampak selaput
berbentuk segitiga di bagian nasal dengan apeks mencapai pupil pada
Konjungtiva OD, pada pemeriksaan visus VOD 6/19 dan VOS 6/6. Pada
palpasi tidak ditemukan kelainan. Penyinaran oblik dan Slit lamp pada OD
didapatkan pada konjungtiva hiperemis (-), tampak selaput berbentuk segitiga
di bagian nasal dengan apeks mencapai pupil, kornea jernih, BMD kesan
normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), dan lensa jernih.
Pada OS didapatkan konjungtiva hiperemis (-), kornea jernih, BMD kesan
normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), dan lensa jernih
M. Diagnosa
OD Pterigium Stadium III
N. Terapi
Rencana operasi OD Eksisi Pterigium
O. Prognosis
P.
Quo ad vitam
Quo ad sanationem
Quo ad visam
Quo ad kosmeticum
: Bonam
: Bonam
: Bonam
: Bonam
Diskusi
Dari hasil anamnesis pada pasien ini didapatkan keluhan rasa
mengganjal pada mata kanan yang dirasakan secara perlahan-lahan sejak
kurang lebih 9 bulan yang lalu, ada rasa gatal (+) kadang-kadang, riwayat
pasien sering terpapar sinar matahari,debu dan asap kendaraan bermotor (+)
Pada pemeriksaan oftalmologi pada inspeksi tampak selaput
berbentuk segitiga di bagian nasal dengan apeks mencapai pupil pada
Konjungtiva OD, pada pemeriksaan visus VOD 6/19 dan VOS 6/6. Pada
palpasi tidak ditemukan kelainan. Penyinaran oblik dan Slit lamp pada OD
didapatkan pada konjungtiva tampak selaput berbentuk segitiga di bagian
nasal dengan apeks melewati mencapai pupil.
Berdasarkan hasil anamnesis dan hasil pemeriksaan oftalmologi
tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien menderita OD Pterigium
Stadium III
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva
yang bersifat degeneratif dan invasif, berbentuk segitiga yang tumbuh mejalar
ke kornea dengan puncak segitiga di kornea.Timbunan atau benjolan ini
membuat penderitanya agak kurang nyaman karena
biasanya akan
faktor
pencetus timbulnya pterigium seperti sinar matahari, angin dan debu serta
rajin merawat dan menjaga kebersihan kedua mata.Oleh sebab itu,
dianjurkan untuk selalu memakai kacamata pelindung atau topi pelindung bila
keluar rumah
PTERIGIUM
I.
DEFENISI
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva
yang bersifat degeneratif dan invasif. Pterigium (L. Pterygion = sayap) adalah
lipatan sayap pada konjungtiva yang merambah pada kornea dari kedua sisi
dalam fisura intrapalpebra. Pterigium juga suatu proses degeneratif dan
hiperplastik dengan fibrovaskular berbentuk segitiga (sayap) yang muncul
pada konjungtiva, tumbuh terarah dan menginfiltrasi permukaan kornea
antara lain lapisan stroma dan membrana Bowman. Pterigium pertama kali
dijelaskan oleh Susruta ( India ), ahli bedah mata yang pertama di dunia 1000
tahun sebelum masehi. Pterigium dapat bervariasi bentuknya dari yang kecil,
lesi atrofi sampai lesi fibrovaskular besar yang tumbuh agresif dan cepat yang
dapat merusak topografi kornea dan dalam kasus lanjut mengaburkan pusat
optik kornea.(1-5)
EPIDEMIOLOGI
Pterigium merupakan kelainan mata yang umum dibanyak bagian
dunia, dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 0,3%-29%. Studi
epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar matahari
yang kronis, dengan meningkatnya prevalensi geografis dalam perikhatulistiwa garis lintang 37o utara dan selatan khatulistiwa.(8)
Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk (2002) melaporkan
orang berkulit hitam (usia 40-84 tahun) di Barbados, yang terletak di daerah
tropis 13 utara khatulistiwa, memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi
(23,4%) sedangkan tingkat prevalensi orang kulit putih di perkotaan (usia 40101 tahun) Melbourne, Australia kurang dari (1,2%). Prevalensi pterigium
orang kulit putih lebih dari 40 tahun di pedesaan Australia (6,7%), dan di
perkotaan orang Cina Singapura yang
prevalensi (6,9%). Penelitian ini juga melaporkan orang Indonesia lebih dari
40 tahun, tingkat prevalensinya di Sumatera (16,8%) yakni lebih tinggi
daripada semua ras lainnya yang telah dipelajari sebelumnya, kecuali dengan
penduduk kulit hitam dari Barbados.(9)
Secara umum studi lain pterigium, prevalensi pterigium di Sumatera
meningkat seiring bertambahnya usia. Hal yang jarang terjadi untuk
seseorang menderita pterigium sebelum usia 20 tahun. Pasien yang usianya
lebih dari 40 tahun memiliki prevalensi tertinggi untuk terjadinya pterigium,
sementara pasien berusia 20-40 tahun dilaporkan memiliki insiden tertinggi
terjadinya pterigium. Beberapa studi dimana pterigium ditemukan lebih
banyak pada laki-laki.(9,10)
Tingkat rekurensi pada pasca ekstirpasi di Indonesia berkisar 35% 52%. Data di RSCM angka rekurensi pterigium mencapai 65,1% pada
penderita dibawah usia 40 tahun dan sebesar 12,5% diatas 40 tahun. Hal ini
sesuai dengan penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa kekambuhan
pasca transplantasi limbal sel sebesar 14% dan kekambuhan pasca bare
sclera sebesar 60%.(3)
III.
ANATOMI KONJUNGTIVA
Konjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang melapisi
permukaan aspek posterior dari kelopak mata dan anterior bola mata.
Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet.
Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea.(1,2)
1.
Krause (terdapat pada jaringan ikat sub conjunctival forniks, sekitar 42 buah
di atas forniks dan 8 buah di bawah forniks) dan kelenjar Wolfring (terdapat
di sepanjang batas atas tarsus superior dan sepanjang batas bawah tarsus
inferior).(2)
Gambar 1.
Gambar 2.
ETIOLOGI
Etiologi pterigium sepenuhnya tidak diketahui. Tetapi penyakit ini
lebih sering pada orang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan
yang paling mungkin adalah pengaruh efek berkepanjangan faktor lingkungan
seperti terpapar sinar matahari (sinar ultraviolet), panas, angin tinggi dan
debu. Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki disebut-sebut sebagai
faktor etiologi.(1-3,7)
Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal
pada kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini
mengaktifkan faktor pertumbuhan jaringan yang menginduksi angiogenesis
dan proliferasi sel. Radiasi cahaya UV tipe B menjadi faktor lingkungan yang
paling signifikan dalam patogenesis pterigium. Penelitian terbaru telah
melaporkan bahwa gen p53 dan human papilloma virus dapat juga terlibat
dalam patogenesis pterigium.(7,8)
V.
FAKTOR RESIKO
Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni
radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara
dan faktor herediter.(13)
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterigium adalah
ekspoure sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan
konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan poliferasi sel. Letak lintang,
waktu diluar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga merupakan
faktor penting.
2. Faktor genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterigium dan berdasarkan penilitian case control menunjukkan riwayat
keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan autosom dominan.
3. Faktor lain
10
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi di dareah limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadi limbal
defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis pterigium.
VI.
KLASIFIKASI
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,
stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah
episklera, yaitu:(13)
11
a.Pterigium progresif
Tebal
dan
vaskular
Pembuluh
darah
jelas.
5. Vaskuler : Pterygium tebal,merah,progresif,ditemukan pada anak muda
(tumbuh cepat karena banyak pembuluh darah)
Membrannaceus : Pterygium tipis seperti plastik,tidak terlalu merah,terdapat
pada orang tua.
12
Gambar 3.
STADIUM I
STADIUM III
Gambar 4.
VII.
STADIUM II
STADIUM IV
PATOFISIOLOGI
Patogenesis pterigium ditandai dengan degenerasi kolagen dan
elastotic proliferasi fibrovaskular yang menutupi epitel. Radiasi sinar UV
dapat menyebabkan mutasi pada gen seperti gen supresor tumor p53,
sehingga berakibat pada terekspresinya gen ini secara abnormal pada epitel
pterigium. Temuan ini menunjukkan bahwa pterigium bukan hanya lesi
degeneratif, tetapi bisa menjadi manifestasi dari proliferasi sel yang tak
terkendali. Matriks metalloproteinase (MMP) dan jaringan inhibitor MMPs
(TIMPs) pada pinggir pterigium mungkin bertanggung jawab untuk proses
inflamasi, tissue remodeling, dan angiogenesis yang menjadi ciri pterigium,
serta perusakan lapisan Bowmandan invasi pterigium ke dalam kornea.(1,5,6,8)
13
MMP-9,
MTI-MMP, dan
MT2-MMP, yang
menyebabkan
DIAGNOSIS
1. Anamnesis.
Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah,
gatal, mata sering berair, gangguan penglihatan. Selain itu perlu juga
ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja
di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi,
serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.(13)
2. Pemeriksaan fisik.
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskuler pada
permukaan kojungtiva. Pterigium dapat memberikan gambaran vaskular
dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan flat. Pterigium
paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke
15
PENATALAKSANAAN
Karena kejadian pterigium berkaitan dengan aktivitas lingkungan,
penanganan pterigium asimptomatik atau dengan iritasi ringan dapat diobati
dengan kacamata sinar UV-blockking dan salep mata. Anjurkan pasien untuk
menghindari daerah berasap atau berdebu sebisa mungkin. Pengobatan
pterigium yang meradang atau iritasi dengan topikal dekongestan atau
kombinasi antihistamin atau kortikosteroid topikal ringan empat kali sehari.(5)
Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang
dapat diindikasikan untuk: (1) alasan kosmetik, (2) perkembangan lanjutan
yang mengancam daerah pupil (sekali pterigium telah mencapai daerah pupil,
tunggu sampai melintasi disisi lain), (3) diplopia karena gangguan digerakan
okular.(2)
Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan
pterigium dan untuk mencegah terjadinya rekurensi.(8)
Indikasi pembedahan pterigium McReynold, yaitu:(10,16)
a. Pterigium telah memasuki kornea lebih dari 4 mm.
b. Pertumbuhan yang progresif, terutama pterigium jenis vaskular.
c. Mata terus berair dan terasa mengganjal.
d. Visus menurun.
e. Telah memasuki daerah pupil atau melewati limbus.
f. Alasan kosmetik.
g. Mengganggu pergerakan bola mata.
h. Mendahului operasi intra okuler.
Berbagai teknik bedah yang digunakan saat ini untuk pengelolaan
pterigium.(2,4,8,13)
1. Bare sclera: Pada teknik ini tidak ada jahitan atau benang absorable yang
digunakan untuk melekatkan konjungtiva ke superfisial sklera dan
meninggalkan suatu daerah sclera terbuka. Kerugian dari teknik ini
16
Gambar 5.
A. Bare sclera, B. Simple closure, C. Sliding Flaf, D. Rotation Flap, E. Conjungtival graf
17
adalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini
terbentuk karena adhesi dari konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea
marjinal. Hal ini biasanya terjadi pada luka bakar akibat zat kimia pada mata.
(2)
18
19
BOSNIAN
JOURNAL
OF
BASIC
MEDICAL
SCIENCE .
2010;10(4):308-13.
8. Ang KPL, Chua LLJ, Dan HTD. Current concepts and techniques in
pterigium treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006;18: 308313.
9. Gazzard G, Saw MS, et al. Pterigium in Indonesia: prevalence, severity,
and risk factors.Br J Ophthalmol .2002;86:134146.
10. Fisher
PJ.
Pterigium.
Updated:
2012.
Available
from:
URL:http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview. Accessed
June 15, 2013
11. Lang KG, Lang EG. Conjunctiva. In:, Lang KG, Gareis O, Lang EG,
Recker D, Wagner P, editors. Ophthalmology: A Pocket Textbook Atlas 2 nd
ed. New York: Thieme Stuttgart. 2006. p. 67 - 72.
12. Riordan P, Eva. Anatomi & Embriologi Mata. Oftalmologi Umum. Edisi
17. Penerbit Widya Medika. Jakarta. 2007. p: 1-27, 119
13. Laszuarni.Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Updated : 2009.
Available from: URL: repository.usu.ac.id.Accessed July 15 ,2012.
14. Sharma KA, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting in
Pterigium Surgery. Postgraduate Department of Opthalmology, Govt.
Medical College, Jammu. 2004;6(3):149-52.
15. Dushku N, John KM, Schultz SG, Reid WT. Pterygia Pathogenesis:
Corneal Invasion by Matrix Metalloproteinase Expressing Altered Limbal
Ephitelial Basal Cells. Arch Ophthamol. 2001;119:695-706.
16. Drakeiron. Pterigium. 2008 December. [cited 2013 15 Juli]. Available
from: http://drakeiron.wordpress.com/prosedures/pterigium.html.
20
17. Jacobs JM, Hawes MJ. Ophthalmic Pathology and Intraocular Tumors.
Section 4. American Academy Of Ophthalmology; 2011-2012.p.58
21