Anda di halaman 1dari 21

ASURANSI

A. Asuransi Secara Umum1


Asuransi dalam Undang-Undang No.2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian adalah
perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada
tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung
karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab
hukum pihak ke tiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa
yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau
hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Badan yang menyalurkan risiko disebut "tertanggung", dan badan yang menerima risiko
disebut "penanggung". Perjanjian antara kedua badan ini disebut kebijakan: ini adalah sebuah
kontrak legal yang menjelaskan setiap istilah dan kondisi yang dilindungi. Biaya yang dibayar oleh
"tetanggung" kepada "penanggung" untuk risiko yang ditanggung disebut "premi". Ini biasanya
ditentukan oleh "penanggung" untuk dana yang bisa diklaim di masa depan, biaya administratif,
dan keuntungan.
Tujuan Asuransi

Memberikan jaminan perlindungan dari risiko kerugian yang diderita satu pihak.
Meningkatkan efisiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan
pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu dan
biaya.
Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu
dan tidak perlu mengganti/membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak
tentu dan tidak pasti.
Dasar bagi pihak bank untuk memberikan kredit karena bank memerlukan jaminan
perlindungan atas agunan yang diberikan oleh peminjam uang.
Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar kepada pihak asuransi akan dikembalikan
dalam jumlah yang lebih besar -> khusus untuk asuransi jiwa.
Menutup Loss of Earning Power seseorang atau badan usaha pada saat ia tidak dapat
berfungsi (bekerja)

Prinsip-prinsip Dasar Asuransi


Terdapat beberapa prinsip dasar dalam asuransi yang menjiwai dan menjadi pedoman dalam
penyelenggaraan kegiatan perasuransian.
1. Insurable Interest (kepentingan yang diasuransikan)
Bahwa pihak yang mengansuransikan harus memiliki kepentingan (interest) atas harta benda yang
dapat diasuransikan (insurable); kepentingan dan objek tersebut harus legal dan equitable (tidak
melawan hukum dan layak). Memiliki kepentingan atas obyek yang diasuransikan apabila Anda
menderita kerugian keuangan seandainya terjadi musibah yang menimbulkan kerugian atau
kerusakan atas obyek tersebut.

Pelanggaran prinsip ini bisa berakibat klaim tidak dapat dibayarkan. Apabila terjadi musibah atas
obyek yang diasuransikan dan terbukti bahwa Anda tidak memiliki kepentingan keuangan atas
obyek tersebut, maka Anda tidak berhak menerima ganti rugi.
2. Utmost Good Faith (itikad terbaik)
Tertanggung berkewajiban memberitahukan sejelas-jelasnya dan teliti mengenai segala fakta-fakta
penting yang berkaitan dengan obyek yang diasuransikan (fakta material yang akan mempengaruhi
Penanggung dalam menerima atau menolak suatu permohonan asuransi). Sedangkan pihak
Penanggung berkewajiban menjelaskan risiko-risiko yang dijamin maupun yang dikecualikan,
segala persyaratan dan kondisi pertanggungan secara jelas serta teliti. Kewajiban untuk
memberikan fakta-fakta penting tersebut berlaku :
Sejak perjanjian mengenai perjanjian asuransi dibicarakan sampai kontrak asuransi selesai dibuat,

Selama masa kontrak dan pada saat perpanjangan kontrak asuransi.


Pada saat terjadi perubahan pada kontrak asuransi dan mengenai hal-hal yang ada kaitannya
dengan perubahan-perubahan itu.

3. Indemnity (ganti rugi indemnitas)


Bertujuan mengembalikan posisi Tertanggung pada posisi sesaat sebelum terjadi kerugian yang
dijamin polis. Apabila obyek yang diasuransikan terkena musibah sehingga menimbulkan kerugian
maka kami akan memberi ganti rugi untuk mengembalikan posisi keuangan Anda setelah terjadi
kerugian menjadi sama dengan sesaat sebelum terjadi kerugian. Dengan demikian Anda tidak
berhak memperoleh ganti rugi yang lebih besar (mengambil keuntungan) daripada kerugian yang
Anda derita.
Beberapa cara pembayaran ganti rugi yang berlaku:
1.
2.

Pembayaran dengan uang tunai, atau


Perbaikan, atau Penggantian, atau Pemulihan kembali.

4. Subrogation (subrogasi)
Sebagai konsekuensi dari prinsip Indemnity adalah pengalihan hak (subrogasi) dari
Tertanggung kepada Penanggung jika Penanggung telah membayar ganti rugi kepada Tertanggung.
Prinsip subrogasi diatur dalam pasal 284 kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yang berbunyi:
Apabila seorang penanggung telah membayar ganti rugi sepenuhnya kepada tertanggung, maka
penanggung akan menggantikan kedudukan tertanggung dalam segala hal untuk menuntut pihak
ketiga yang telah menimbulkan kerugian pada Tertanggung.
5. Contribution (kontribusi)
Jika suatu objek diasuransikan ke beberapa perusahaan asuransi maka akan berlaku prinsip
kontribusi atas masing-masing perusahaan asuransi tersebut.
6. Proximate Cause (kausa proksimal)
Prinsip penyebab utama yang aktif dan efisien menimbulkan suatu kerugian dalam suatu
kejadian. Apabila kepentingan yang diasuransikan mengalami musibah atau kecelakaan, maka
pertama-tama kami akan mencari sebab-sebab yang aktif dan efisien yang menggerakkan suatu
rangkaian peristiwa tanpa terputus sehingga pada akhirnya terjadilah musibah atau kecelakaan
tersebut. Suatu prinsip yang digunakan untuk mencari penyebab kerugian yang aktif dan efisien

adalah: Unbroken Chain of Events yaitu suatu rangkaian mata rantai peristiwa yang tidak
terputus.

Pengertian Asuransi Kesehatan2


Asuransi kesehatan adalah sebuah jenis produk asuransi yang secara khusus menjamin
biaya kesehatan atau perawatan para anggota asuransi tersebut jika mereka jatuh sakit atau
mengalami kecelakaan. Secara garis besar ada dua jenis perawatan yang ditawarkan perusahaanperusahaan asuransi, yaitu rawat inap (in-patient treatment) dan rawat jalan (out-patient treatment).
Produk asuransi kesehatan diselenggarakan baik oleh perusahaan asuransi sosial, perusahaan
asuransi jiwa, maupun juga perusahaan asuransi umum.
Di Indonesia, PT Askes Indonesia merupakan salah satu perusahaan asuransi sosial yang
menyelenggarakan asuransi kesehatan kepada para anggotanya yang utamanya merupakan para
pegawai negeri baik sipil maupun non-sipil. Anak-anak mereka juga dijamin sampai dengan usia
21 tahun. Para pensiunan beserta istri ataupun suami juga dijamin seumur hidup.
Beberapa perusahaan asuransi kerugian dan asuransi jiwa telah memasarkan pula programprogram asuransi kesehatan dengan berbagai macam varian yang berbeda. Pada umumnya
perusahaan asuransi yang menyelenggarakan program asuransi kesehatan bekerja sama dengan
provider rumah sakit baik secara langsung maupun melalui institusi perantara sebagai asisten
manajemen jaringan rumah sakit.
Di luar golongan tersebut pemerintah juga menyediakan program asuransi kesehatan kepada
warga berpenghasilan rendah, kini disebut Jamkesmas, jaminan kesehatan masyarakat, di samping
program itu yang dibiayai oleh APBN, sejumlah pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota juga punya program serupa yaitu Jamkesda dan Jamkesos seperti, antara lain, di
kabupaten Musi Banyuasin pada 2002, Jembrana sejak 2003 di DIY sejak 2003 dan provinsi
Sumatra Selatan, di sana disebut Jamsoskes, sejak awal januari 2009 walaupun pada awal maret
2010 pemerintah pusat mengkaji kemungkinan melarang pembiayaan asuransi kesehatan lewat
APBD.
Pada tahun 2009, 116,8 juta dari sekitar 230 juta penduduk Indonesia memiliki asuransi
kesehatan disediakan baik oleh PT Askes Indonesia, PT Jamsostek, PT Asabri maupun lewat
program Jamkesmas atau asuransi lain.
Jenis-Jenis Asuransi Kesehatan 3
Dilihat dari pengelola dana

Pemerintah. Pengelola dana asuransi bisa dilakukan oleh pemerintah di mana peemberian
keuntungan biaya kesehatan lebih mudah diawasi. Akan tetapi, menurut info yang beredar
mutu pelayanannya kurang begitu baik sehingga terkadang nasabah merasa kecewa.
Swasta. Pengelola dana (premi) dilakukan oleh perusahaan swasta. Biasanya mutu
pelayanan yang diberikan relatif baik. Namun, kekurangannya yaitu sulit untuk mengawasai
biaya kesehatan.

Dilihat dari keikutsertaan anggota

Wajib. Dalam hal ini, individu diwajibkan untuk membeli polis asuransi kesehatan. Dalam
hal ini, misalnya para karyawan dalam sebuah perusahaan besar. Karyawan tentunya harus
mengikuti aturan perusahaan untuk membeli polis asuransi kesehatan di mana pembayaran
premi akan dipotong dari gaji per bulan.

Sukarela. Ini berarti orang memiliki kebebasan untuk memilih antara membeli atau tidak
membeli asuransi kesehatan. Dengan kata lain, tergantung dengan keinginan dan kebutuhan
dari orang tersebut.

Dilihat dari jumlah dana yang ditanggung

Seluruh biaya kesehatan ditanggung. Perusahaan asuransi akan menanggung semua biaya
perawatan nasabah tersebut. Misalnya mulai dari rawat jalan, inap, melahirkan, atau
perawatan untuk mata.
Biaya kesehatan akan ditanggung hanya yang tinggi saja. Artinya ada perusahaan asuransi
kesehatan yang hanya akan memberikan ganti rugi jika biaya yang dikeluarkan nasabah
dalam jumlah besar. Dengan kata lain, biaya kecil tidak menjadi tanggungan perusahaan
melainkan nasabah sendiri.

Dilihat dari yang ditanggung

Personal. Biasanya perusahaan asuransi akan memberikan perlindungan kesehatan untuk


personal. Dengan syarat orang tersebut merupakan warga negara Indonesia.
Kelompok. Kelompok bisa dari perusahaan dan bisa juga dari keluarga. Untuk perusahaan
biasanya perusahaan akan meminta data dari karyawannya dan dari keluarga akan meminta
dari jumlah anaknya. Untuk jumlah anggota biasanya minimal 5 orang.

Dilihat dari cara penggantian

Cashless. Cashless adalah cara pengajuan ganti rugi dengan langsung memberikan kartu
anggota pada rumah sakit rekanan perusahaan asuransi tersebut.
Reimbursement. Reimbursement adalah cara pengajuan klaim yang agak sedikit rumit.
Nasabah harus terlebih dahulu membayar keseluruhan biaya rumah sakit. Setelah itu, baru
kemudian mengurus dan melengkapi dokumen untuk diajukan kepada perusahaan asuransi
untuk meminta ganti rugi pembayaran rumah sakit sebelumnya. Akan tetapi, biasanya premi
yang ditawarkan relatif murah.

Aspek Hukum Asuransi Di Indonesia4


Hukum asuransi di Indonesia dibawa oleh Pemerintah Kolonial Belanda yang tertuang dalam
kodifikasi Wetboek Van Koophandel (Kitab Undang Undang Hukum Dagang). Dalam
WvK/KUHD diatur tentang Asuransi Komersial. Lebih lanjut tentang Usaha Perasuransian diatur
dalam UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuaransian (UU Asuransi), 11 Pebruari
1992, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13.
Kini, seiring dengan perkembangan zaman, yaitu :
1) Penjelasan Pasal 3 UU Nomor 2 Tahun 1992 menyatakan :
...selain pengelompokan jenis usaha, usaha asuransi dapat pula dibagi berdasarkan sifat dari
penyelenggaraan usahanya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu yang bersifat sosial dan yang
bersifat komersial...
2) Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam TAP Nomor X/MPR/2001
menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka
memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu.
3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28H ayat (3), hasil
amandemen kedua 18 Agustus 2000, yang menyatakan :

Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara
utuh sebagai manusia yang bermartabat; dan
4) Pasal 34 ayat (2), hasil amandemen keempat 11 Agustus 2002, yang menyatakan : Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat
yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan;
maka dI Indonesia selain Asuransi Komersial, dikenal juga dengan Asuransi Sosial/Jaminan
Sosial.
Dengan demikian prinsip-prinsip hukum asuransi komersial (Lex generalis) juga berlaku bagi
asuransi sosial (lex specialis), sepanjang tidak diatur lain oleh peraturan di lingkungan asuransi
sosial/jaminan sosial.
ASPEK HUKUM ASURANSI KOMERSIAL
1) Asuransi komersial diatur dalam :
(1) Burgerlijk Wetboek/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Staatsblad Tahun 1847 Nomor
23);
(2) Wetboek Van Koophandel/Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Staatsblad Tahun 1847
Nomor 23, sebagaimana telah beberapa kali dirubah, terakhir dengan UU Nomor 4 Tahun 1971
Tentang Perubahan Dan Penambahan Atas Ketentuan Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara 2959);
(3) Undang Undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian;
(4) Penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang terdapat di Peraturan Pemerintah No. 73
Tahun 1992;
(5) Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 1999 yang berisikan tentang perubahan Peraturan
Pemerintah No. 73 Tahun 1992;
(6) KMK No. 426/KMK/2003 yang berisi tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
(7) KMK No. 425/KMK/2003 yang berisi tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Usaha
Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi;
(8) KMK No. 423/KMK/2003 yang berisi tentang Pemeriksaan Perusahaan Perasuransian;
2) Pengertian Asuransi
Pasal 246 KUHD/WvK, Asuransi adalah Perjanjian dengan mana penanggung mengikatkan diri
kepada tertanggung dengan menerima premi untuk memberikan penggantian kepadanya
karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin
dideritanya akibat dari suatu evenement (peristiwa tidak pasti).
UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuaransian (UU Asuransi), 11 Pebruari 1992,
Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita

tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu
pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka asuransi merupakan suatu bentuk perjanjian
dimana harus dipenuhi syarat sebagaimana dalam Pasal 1320 KUH Perdata, namun dengan
karakteristik bahwa asuransi adalah persetujuan yang bersifat untung-untungan sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1774 KUH Perdata.
Pasal 1774 KUH Perdata
Suatu persetujuan untunguntungan (kansovereenkomst) adalah suatu perbuatan yang hasilnya,
mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, bergantung
kepada suatu kejadian yang belum tentu. Jadi asuransi adalah sebuah perjanjian yang bersifat
untung-untungan.
3) Unsur Asuransi

Asuransi harus mencakup unsur-unsur berikut ini:

1. Penanggung dan tertanggung, atau disebut juga sebagai Subjek Hukum.


2. Persetujuan antara si penanggung dan tertanggung,
3. Benda asuransi dan kepentingan si tertanggung,
4. Tujuan,
5. Premi dan risiko,
6. Peristiwa yang tidak pasti dan ganti rugi,
7. Syarat-syarat,
8. Polis asuransi.
4) Tujuan Asuransi
a. Pengalihan Risiko
Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risiko yang mengancam
harta kekayaan atau jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi
(penanggung), sejak itu pula risiko beralih kepada penanggung.
b.

Pembayaran Ganti Kerugian

Jika suatu ketika sungguhsungguh terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian (risiko
berubah menjadi kerugian), maka kepada tertanggung akan dibayarkan ganti kerugian yang
besarnya seimbang dengan jumlah asuransinya.
Dalam prakteknya kerugian yang timbul itu dapat bersifat sebagian (partial loss), tidak
semuanya berupa kerugian total (total loss). Dengan demikian, tertanggung mengadakan asuransi
bertujuan untuk memperoleh pembayaran ganti kerugian yang sungguh-sungguh diderita.

5) Berlakunya Asuransi
Hak dan kewajiban penanggung dan tertanggung timbul pada saat ditutupnya asuransi
walaupun polis belum diterbitkan. Penutupan asuransi dalam prakteknya dibuktikan dengan
disetujuinya aplikasi atau ditandatanganinya kontrak sementara (cover note) dan dibayarnya premi.

Selanjutnya sesuai ketentuan perundangan-undangan yang berlaku, penanggung atau perusahaan


asuransi wajib menerbitkan polis asuransi (Pasal 255 KUHD/WvK).
6) Prinsip Dasar Asuransi
Ada 6 prinsip dasar asuransi yang melandasi hukum Asuransi yang perlu diketahui oleh para
pengguna asuransi ataupun perusahaan penyedia asuransi:
1. Insurable Interest adalah hak pertanggungan yang muncul dari hubungan keuangan dan
diakui oleh hukum.
2. Utmost good faith memaksudkan segala sesuatu yang dipertanggungkan yang harus
diungkapkan secara detil dan lengkap.Oleh karena itu, kedua belah pihak harus jujur mengenai
objek yang dipertanggungkan.
3. Proximate cause adalah kejadian yang tidak terduga yang menyebabkan kerugian, tentu
tanpa adanya intervensi yang menyebabkan kerugian tersebut.
4. Indemnity adalah tanggung jawab penanggung untuk mengembalikan posisi finansial
si tertanggung ke posisi semula sebelum terjadi kerugian.
5. Subrogation adalah hak tuntut yang dimiliki oleh tertanggung kepada si penanggung,
atau sering disebut sebagai 'klaim'.
6. Contribution adalah hak penanggung untuk mengajak penanggung lainnya untuk
kerja sama.
7) Hukum Asuransi tentang Premi dan Polis
Dalam Hukum Asuransi dikenal kata premi dan polis, yakni dimana premi adalah kewajiban
yang harus dipenuhi oleh si tertanggung sebagai imbalan jasa si penanggung. Sementara, polis
adalah akta atau perjanjian antara si penanggung dan tertanggung.
8) Hukum Asuransi tentang Resiko dan Evenement
Dalam hukum Asuransi dikenal istilah risiko dan evenement yang adalah peristiwa yang terjadi
di luar kekuasaan manusia yang bisa terjadi secara tidak terduga dan hasilnya kerugian. Oleh
karena itu, perusahaan Asuransi menggunakan ilmu aktuaria yang berdasarkan pada statistik
dan probabilitas, namun harus berlandaskan pada Hukum Asuransi.
2.

ASPEK HUKUM ASURANSI SOSIAL

1) Asuransi Sosial diatur dalam :


(1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4456);
(2) UU RI Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256);
(3) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan
Kesehatan;

(4) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan
Kesehatan;
(5) Peraturan Presiden Republik
Pelayanan Kesehatan Tertentu;

Indonesia

Nomor

107

Tahun

2013

Tentang

(6) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2013 Tentang Standar
Tarif Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Dan Fasilitas
Kesehatan Tingkat Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan;
(7) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2013 Tentang
Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional;

2) Apakah kepesertaan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional yang dise- lenggarakan oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah kontrak ?

Pasal 246 KUHD/WvK dan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 2 Tahun 1992


Tentang Usaha

Perasuaransian (UU Asuransi) Asuransi adalah perjanjian, sedangkan berdasarkan


UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 19 ayat (1)
yang menyatakan : Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan
prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas;
Sedangkan Penjelasannya menyatakan :
Prinsip asuransi sosial meliputi:

1. kegotongroyongan antara yang kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan
muda, dan yang berisiko tinggi dan rendah;
2. kepesertaan yang bersifat wajib dan tidak selektif;
3. iuran berdasarkan persentase upah/penghasilan;
4. bersifat nirlaba.
Prinsip ekuitas yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan
medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya,
Maka kepesertaan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang dilaksanakan oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial adalah perjanjian pula. Oleh karena itu, ketentuan dalam
buku III BW/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku bagi BPJS.

Untuk memahami secara konprehensif tentang hubungan Peserta BPJS/SJSN dengan


BPJS dan hubungan BPJS dengan Rumah Sakit selaku provider kesehatan, kita perlu
mengetahui tentang asas asas perjanjian.
3) Asas-asas Perjanjian/Kontrak
Berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas yang dikenal
menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah: asas kebebasan berkontrak
(freedom of contract), asas konsensualisme (concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt
servanda), asas itikad baik (good faith) dan asas kepribadian (personality).
(1) Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) BW, yang
berbunyi: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
a. membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta
d. menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Berdasarkan asas ini, setiap orang yang telah dewasa (umur 21 tahun atau telah kawin)
dan mempunyai kecakapan hukum dapat melakukan perjanjian apapun sepanjang tidak
dilarang (baca : tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan/ketertiban umum) (periksa
pasal 1337 BW).
Pasal 1337
Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab
itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.
(2) Asas Konsensualisme (concensualism)
Asas konsensualisme disimpulkan dari Pasal 1320 ayat (1) BW. Dalam Pasal tersebut
ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara
kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada
umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan
kedua belah pihak.
Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua
belah pihak.
Pasal 1320 BW/KUHPerdata : Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.

(3) Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)


Asas ini disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan
dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa pihak ketiga harus
menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagai layaknya
undang-undang. Selain para pihak tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak
yang dibuat oleh para pihak. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) BW.
Pasal 1338 BW :
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak,
atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan
dengan itikad baik.
(4) Asas Itikad Baik (good faith)
Asas ini tercantum pada Pasal 1338 ayat (3) BW: Perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikad baik. Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus
melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh
maupun kemauan baik dari para pihak.
(5) Asas Kepribadian (personality)
Asas ini menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak
hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315 dan 1340 BW.
Pasal 1315 BW: Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau
perjanjian selain untuk dirinya sendiri.
Pasal 1340 BW: Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.
Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam
Pasal 1317 BW yang menyatakan: Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak
ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada
orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.
Syarat sahnya perjanjian
Sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam 1320, sedangkan perjanjian itu
tidak mempuinyai kekuatan mengikat manakala dalam prosesnya terdapat kekhilafan atau
diperoleh dengan paksaan atau penipuan sebagaimana diatur dalam pasal 1321.
Pasal 1321
Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan
(dwaling) atau diperoleh dengan paksaan (dwang) atau penipuan (bedrog).

Pengertian kekhilafan, paksaan atau penipuan adalah sbb :


Pasal 1322
Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan, kecuali jika kekhilafan
itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan. Kekhilafan tidak
mengakibatkan kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai diri orang yang dengannya
seseorang bermaksud untuk mengadakan persetujuan, kecuali jika persetujuan itu diberikan
terutama karena diri orang yang bersangkutan.
Pasal 1323
Paksaan yang diakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan
batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga
yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu.
Pasal 1324
Paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat
menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya,
atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat. Dalam pertimbangan hal
tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan.
Pasal 1325
Paksaan menjadikan suatu persetujuan batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap salah
satu pihak yang membuat persetujuan, melainkan juga bila dilakukan terhadap suami
atau istri atau keluarganya dalam garis ke atas maupun ke bawah.
Pasal 1326
Rasa takut karena hormat kepada bapak, ibu atau keluarga lain dalam garis ke atas, tanpa
disertai kekerasan, tidak cukup untuk membatalkan persetujuan.
Pasal 1327
Pembatalan suatu persetujuan berdasarkan paksaan tidak dapat dituntut lagi, bila
setelah paksaan berhenti persetujuan itu dibenarkan, baik secara tegas maupun secara diamdiam, atau jika telah dibiarkan lewat waktu yang ditetapkan oleh undang-undang untuk
dapat dipulihkan seluruhnya ke keadaan sebelumnya.
Pasal 1328
Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan
yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak
yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan
tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan harus dibuktikan.
Dari pasal di atas dapat ditarik KESIMPULAN TEGAS bahwa perjanjian itu dapat
mengikat atau batal. Mengikat jika sesuai pasal 1320 BW dan dapat dibatalkan karena
pasal 1321 BW. Tidak ada perjanjian yang kemudian dapat masuk ke dalam ranah pidana.
Sementara itu, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek Van Stafrecht voor
Indonesie) mengatur

PENIPUAN,
Pasal 378 :
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun
rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu
kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena
PENIPUAN dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
PENGGELAPAN,
Pasal 372 :
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya
atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan
karena kejahatan diancam karena PENGGELAPAN, dengan pidana penjara paling lama
empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Pasal 374
Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan
karena ada hubungan kerja atau karena pencaharian atau karena mendapat upah untuk itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

4) Asas Hukum Perjanjian Menurut BPHN


Di samping kelima asas di atas, di dalam lokakarya Hukum perikatan yang
diselenggarakan oleh Badan Pembina Hukum Nasional, Departemen Kehakiman (17 s/d 19
Desember 1985) asas dalam hukum perjanjian terbagi atas; asas kepercayaan, asas persamaan
hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan, asas
kebiasaan, dan asas perlindungan.
(1) Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan
perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka
dibelakang hari.
(2) Asas Persamaan Hukum
Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan
perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum.
Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum
itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.
(3) Asas Kesimbangan
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan
melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi
dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun
debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad
baik.
(4) Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap
dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang
membuatnya.

(5) Asas Moralitas


Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang
tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini
terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela
(moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan
menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang
bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan
(moral) sebagai panggilan hati nuraninya.
(6) Asas Kepatutan
Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPer. Asas ini berkaitan dengan ketentuan
mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat
perjanjiannya.
Pasal 1339
Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya,
melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut
berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.
(7) Asas Kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut
kebiasaan lazim diikuti.
(8) Asas Perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus
dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak
debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah. Asas-asas inilah yang menjadi
dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian
dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan
asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat
kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan
terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak.
3. ASPEK PIDANA ASURANSI
Dalam sistem hukum pidana di Indonesia dikenal asas legalitas yang tercantum pada Pasal 1
KUHP, yaitu :
Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan

perundang-undangan pidana yang telah ada lebih dahulu


((Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege)

Maka ada tidaknya aspek pidana di dalam perasuransian harus dikembalikan kepada UU
yang mengaturnya, yaitu :
1) UU Nomor 2 Tahun 1992 (Usaha Asuransi) Pasal 21 :
(1) Barang siapa menjalankan atau menyuruh menjalankan kegiatan usaha
perasuransian tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, diancam dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp
2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah).
(2) Barang siapa menggelapkan premi asuransi diancam dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 2.500.000.000 (dua milyar lima
ratus juta rupiah).
(3) Barang siapa menggelapkan dengan cara mengalihkan, menjaminkan, dan
atau mengagunkan tanpa hak, kekayaan Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan
Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 2.500.000.000,- (dua
milyar lima ratus juta rupiah).
(4) Barang siapa menerima, menadah, membeli, atau mengagunkan, atau menjual
kembali kekayaan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) yang diketahuinya
atau patut diketahuinya bahwa barang- barang tersebut adalah kekayaan Perusahaan
Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi, diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
(5) Barang siapa secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan pemalsuan
atas dokumen Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau
Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 22
Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21,
terhadap perusahaan perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan Undang undang ini
dan peraturan pelaksanaannya dapat dikenakan sanksi administratip, ganti rugi,
atau denda, yang ketentuannya lebih lanjut akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 adalah
kejahatan.
Pasal 24
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilakukan oleh atau atas
nama suatu badan hukum atau badan usaha yang bukan merupakan badan hukum,
maka tuntutan pidana dilakukan terhadap badan tersebut atau terhadap mereka yang
memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana itu atau yang bertindak sebagai
pimpinan dalam melakukan tindak pidana itu maupun terhadap kedua-duanya.

2) Bagaimana dengan SJSN-BPJS ?


a. Dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang SJSN ternyata tidak diketemukan tentang
KETENTUAN PIDANA.
b. Dalam UU Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS diketemukan tentang KETENTUAN
PIDANA, yaitu :
(1) Pasal 54
Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi yang melanggar larangan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k,
huruf l, atau huruf m dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 52 huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, atau huruf m adalah
larangan :
g.
menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan dihapuskannya suatu
laporan dalam buku catatan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha,
atau laporan transaksi BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial;
h.

menyalahgunakan dan/atau menggelapkan aset BPJS dan/atau Dana Jaminan

Sosial;
i.

melakukan subsidi silang antar program;

j. menempatkan investasi aset BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial pada jenis investasi
yang tidak terdaftar pada Peraturan Pemerintah;
k.
menanamkan investasi kecuali surat berharga tertentu
investasi peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan sosial;

dan/atau

l.
membuat atau menyebabkan adanya suatu laporan palsu dalam buku
catatan atau dalam laporan, atau dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, atau laporan
transaksi BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial; dan/atau
m.
mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan
adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, atau dalam dokumen
atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau merusak catatan pembukuan BPJS
dan/atau Dana Jaminan Sosial.
(2) Pasal 55
Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) atau
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 19 ayat (1) dan (2) :
(1) Pemberi Kerja wajib memungut Iuran yang menjadi beban Peserta dari
Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS.

(2) Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya
kepada BPJS.
(3) UU Nomor 20 2001 jo. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, karena aset BPJS adalah aset negara (walau sudah dipisahkan) berdasarkan Pasal 41
UU 24 Tahun 2011 :
Pasal 41
(1) Aset BPJS bersumber dari:
a. modal awal dari Pemerintah, yang merupakan kekayaan negara yang
dipisahkan dan tidak terbagi atas saham;
b. hasil pengalihan aset Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan program
jaminan sosial;
c. hasil pengembangan aset BPJS;
d. dana operasional yang diambil dari Dana Jaminan Sosial; dan/atau
e. sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 42 UU 24 Tahun 2011 Tentang BPJS :
Modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a untuk BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan ditetapkan masing-masing paling banyak
Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
ANALISIS PERJANJIAN BPJS-RUMAH SAKIT
Rahasia Kedokteran Rekam Medis
Pasal 4 angka 4 huruf c, Kewajiban Pihak Kedua :
Menyediakan data dan informasi tentang Sumber Daya Manusia dan sarana prasarana
PIHAK
KEDUA dan informasi lain tentang pelayanan kepada peserta (termasuk melihat Medical
Record)
yang dianggap
PERTAMA

perlu

oleh

PIHAK

Dalam Pasal 47 UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Pradok ditegaskan :


(1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik dokter,
dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik
pasien.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga
kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.

(3) Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.
UU 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Pasal 38 menyatakan :
(1) Setiap Rumah Sakit harus menyimpan rahasia kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dibuka untuk
kepentingan kesehatan pasien, untuk pemenuhan permintaan aparat penegak hukum
dalam rangka penegakan hukum, atas persetujuan pasien sendiri, atau berdasarkan
ketentuan peraturan perundangundangan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan
Menteri.
Penjelasan Pasal 38 Ayat (1) menjelaskan :
Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan hal yang ditemukan oleh dokter dan dokter gigi dalam rangka pengobatan dan dicatat
dalam rekam medis yang dimiliki pasien dan bersifat rahasia.
Pasal 44 UU 44 Tahun 2009 menyatakan :
(1) Rumah Sakit dapat menolak mengungkapkan segala informasi kepada publik
yang berkaitan dengan rahasia kedokteran.
(2) Pasien dan/atau keluarga yang menuntut Rumah Sakit dan menginformasikannya
melalui media massa, dianggap telah melepaskan hak rahasia kedokterannya kepada
umum.
(3) Penginformasian kepada media massa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberikan
kewenangan kepada Rumah Sakit untuk mengungkapkan rahasia kedokteran pasien
sebagai hak jawab Rumah Sakit.
Pasal 57 UU 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyatakan :
(1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah
dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:
a. perintah undang-undang;
b. perintah pengadilan;
c. izin yang bersangkutan;
d. kepentingan masyarakat; atau
e. kepentingan orang tersebut.

MEMBUKA RAHASIA diatur dalam KUHPidana Pasal 322 :


(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan
atau pencahariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan PIDANA
PENJARA paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu
rupiah.
(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat
dituntut atas pengaduan orang itu
Dengan demikian, pembukaan rahasia yang ditentukan oleh UU memberikan konsekwensi
dianggap telah melakukan tindak pidana. Hanya saja berupa delik aduan (klachtdelict).
Solusi : Minta persetujuan Pasien Yang bersangkutan
4)

Tenggang waktu pembayaran Klaim

Pasal 4 angka 2 huruf b

Membayar biaya pelayanan sebagaimana huruf a, wajib dilakukan tepat waktu untuk
menjaga likuiditas PIHAK KEDUA;

Lampiran II Perjanjian angka 6


Pembayaran Tagihan
a.
PIHAK PERTAMA wajib membayar tagihan biaya pelayanan kesehatan PIHAK
KEDUA paling lambat 15 (lima belas) hari sejak dokumen klaim diterima lengkap dan
benar di Kantor Cabang PIHAK PERTAMA.
b.
Kadualarsa klaim adalah 6 (enam) bulan terhitung sejak pelayanan diberikan.
Tagihan yang diajukan lebih dari 6 (enam) bulan sejak berakhirnya Bulan Pelayanan dan/atau
berakhirnya Perjanjian ini berhak untuk ditolak proses pembayarannya oleh PIHAK
PERTAMA.
c.
PIHAK PERTAMA tidak bertanggung jawab untuk membayar tagihan yang
timbul karena PIHAK KEDUA memberikan fasilitas dan/atau pelayanan kesehatan di luar
yang menjadi hak Peserta.
Pasal 24 UU 40 Tahun 2004
(2) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib membayar fasilitas kesehatan alas
pelayanan yang diberikan kepada peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak
permintaan pembayaran diterima.

Penjelasan Pasal 24 Ayat (2)


Ketentuan ini menghendaki agar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial membayar fasilitas
kesehatan secara efektif dan efisien. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dapat
memberikan anggaran tertentu kepada suatu rumah sakit di suatu daerah untuk melayani
sejumlah peserta atau membayar sejumlah tetap tertentu per kapita per bulan (kapitasi).
Anggaran tersebut sudah mencakup jasa medis, biaya perawatan, biaya penunjang, dan biaya
obat-obatan yang penggunaan rincinya diatur sendiri oleh pimpinan rumah sakit. Dengan

demikian, sebuah rumah sakit akan lebih leluasa menggunakan dana seefektif dan seefisien
mungkin.
6)

Pasal 11 Tentang SANKSI

Angka 1 :
Apabila Dalam pengajuan klaim/tagihan oleh PIHAK KEDUA terdapat klaim/tagihan yang
bermasalah, maka PIHAK PERTAMA berhak untuk menangguhkan pembayaran pada
klaim/tagihan yang bermasalah tersebut
Tidak jelas apa yang dimaksud dengan masalah. Perlu diperjelas apa yang dimaksud
dengan masalah itu.
Angka 4 :
Dalam hal salah satu pihak diketahui menyalahgunakan wewenang dengan melakukan
kegiatan moral hazard atau fraud seperti membuat klaim fiktif yang dibuktikan dari hasil
pemeriksaan Tim Pemeriksa Internal maupun Eksternal sehingga terbukti merugikan pihak
lainnya, maka pihak yang menyalahgunakan wewenang tersebut berkewajiban untuk
memulihkan kerugian yang terjadi dan pihak yang dirugikan dapat membatalkan Perjanjian
ini secara sepihak.
Jika sanksi di atas ini tidak ditaati, maka dapat masuk ke ranah pidana (penggelapan uang
negara/korupsi). Bahkan jika sudah dipulihkanpun, belum tentu lepas dari aspek pidananya
mengingat uang BPJS adalah uang negara.
Kita simak ketentuan UU 31 Tahun 1999 Tentang Korupsi Pasal (1):
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
sedikit
Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).
7)

PASAL 12 (PENGAKHIRAN PERJANJIAN) huruf d :

Salah satu Pihak melakukan merger, konsolidasi, atau diakuisisi oleh perusahaan lain.
Pengakhiran berlaku efektif pada tanggal disahkannya pelaksanaan merger, konsolidasi atau
akuisisi tersebut oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Seharusnya : Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
8)

Pasal 16 (Lain-lain) angka 4 :

Batasan Tanggung Jawab


PIHAK PERTAMA tidak bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas dan pelayanan kesehatan
dari PIHAK KEDUA kepada Peserta dan terhadap kerugian (--berarti perdata, penulis--)
maupun tuntutan (--berarti pidana--) yang diajukan oleh Peserta kepada PIHAK KEDUA yang
disebabkan karena kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh PIHAK KEDUA dalam
menjalankan tanggung jawab profesinya seperti, termasuk tetapi tidak terbatas pada,

kesalahan dalam melakukan pemeriksaan dan pengobatan, kesalahan dalam memberikan


indikasi medis atau kesalahan dalam memberikan tindakan medis.

DAFTAR PUSTAKA

Thabrany, Hasbullah. Asuransi Kesehatan di Indonesia. Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan


FKMUI, Depok 2001.
Thabrany, H. Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta,
1999.
http://www.asuransi-kesehatan.net/jenis-jenis-asuransi-kesehatan/
http://fkm.unair.ac.id/download/Materi%20Abdul%20Mubarok_Aspek%20Hukum%20Kontrak
%20Asuransi%20di%20Indonesia.pdf

Anda mungkin juga menyukai