Sinus 2
Sinus 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Dikutip dari: Paranasal Sinuses: Atlas of Human Anatomy (Netter, F.H., 2006)
Gambar 2.1 : Anatomi Sinus Maksila
Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan
fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke
daerah ini (Lund, 1997; Soetjipto dan Mangunkusomo,2007).
Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus
frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid (Lee, 2008).
Pembengkakan
atau
peradangan
di
resesus
frontal
dapat
2.2.
Menurut Lund (1997) beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus
paranasal antara lain adalah:
a.
mengatur
kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus
kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tipa kali bernapas, sehingga dibutuhkan
beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus.
b.
orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan
tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan
organ-organ yang dilindungi.
c.
muka, akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar satu persen dari berat kepala, sehingga
teori ini dianggap tidak bermakna.
d.
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus
dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang
efektif. Lagi pula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus
pada hewan-hewan tingkat rendah.
e.
2.3.
Klasifikasi Sinusitis
Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut
dengan batas sampai delapan minggu dan kronik jika lebih dari delapan
minggu (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Konsensus tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan
batas sampai empat minggu, subakut antara empat minggu sampai tiga bulan
dan kronik jika lebih dari tiga bulan
2.4.
2.4.1. Definisi
Sinusitis didefinikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis
(Kumar dan Clark, 2005). Lapisan mukosa dari sinus paranasal merupakan
lanjutan dari mukosa hidung. Hidung dan sinus paranasal merupakan
bagian dari sistem pernapasan. Penyakit yang menyerang bronkus dan paruparu juga dapat menyerang hidung dan sinus paranasal. Oleh karena itu,
dalam kaitannya dengan proses infeksi, seluruh saluran nafas dengan
perluasan-perluasan anatomik
(Hueston,2002).
harus dianggap
sebagai
satu
kesatuan
2.4.4. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteomeatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang
melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan
lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk
membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zatzat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang
masuk bersama udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke
ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan (Ramalinggam, 1990;
Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Faktor yang
paling
penting
yang
mempengaruhi patogenesis
terjadinya sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi
obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang
menyebabkan
mukus
dengan kualitas yang kurang baik (Kieff dan Busaba, 2004). Disfungsi silia
ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus (Hilger,
1997).
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena
infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga
jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar,
2009). Pulpa terbuka maka kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan
pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan
mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan
berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian
dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar.
Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi
dan
mukosa yang edema, eritema, dan sekret yang mukopurulen. Lokasi sekret
dapat menentukan sinus mana yang terkena. Rinoskopi posterior dapat
2.4.7. Terapi
Prinsip terapi :
a.
b.
c.
Operatif
Antibiotik
dan
dekongestan
merupakan
terapi
pilihan
pada
telah
resisten atau
Amoksisilin. Jika
diperkirakan
2.4.8. Komplikasi
Komplikasi sinusitis adalah kelainan orbital disebabkan oleh sinus
paranasal yang berdekatan dengan mata. Yang paling sering ialah sinusitis
etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi
melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah
2.4.9. Prognosis
Prognosis sinusitis tipe dentogen sangat tergantung kepada tindakan
pengobatan yang dilakukan dan komplikasi penyakitnya. Jika, drainase sinus
membaik dengan terapi antibiotik atau terapi operatif maka pasien mempunyai
prognosis yang baik (Mehra dan Murad, 2004).