Anda di halaman 1dari 13

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat
pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus
frontal,
sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri (Mehra dan Murad, 2004). Sinus
paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke
dalam rongga hidung (Soetjipto dan Mangunkusomo,2007). Semua sinus
dilapisi oleh epitel saluran pernafasan bersilia yang mengalami modifikasi dan
mampu menghasilkan mukus serta sekret yang disalurkan ke dalam rongga
hidung. Pada orang sehat, sinus terutamanya berisi udara (Hilger,1997).
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media,
ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid
anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal
(KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus
unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan
ostiumnya dan ostium sinus maksila (Drake,1997).
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa
rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan,
kecuali sinus frontal dan sinus sfenoid. Sinus maksila dan sinus etmoid telah
ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid
anterior pada anak yang berusia kurang lebih delapan tahun. Pneumatisasi
sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal
pada usia antara 15-18 tahun (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007; Lee,
2008).

2.1.1. Sinus Maksila


Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila
disebut juga antrum Highmore (Tucker dan Schow, 2008). Saat lahir, sinus
maksila bervolume 6-8 ml. Sinus ini kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa (Mehra dan
Murad, 2004). Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah
permukaan fasial os maksila yang disebut fossa canina, dinding posteriornya
adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya adalah dinding
lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita, dan dinding
inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila
berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus
semilunaris melalui infundibulum etmoid ( Tucker dan Schow, 2008)
Menurut Soetjipto dan Mangunkusomo (2007) dari segi klinik yang
perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:
a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan kadang-kadang juga gigi
taring dan gigi M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam
sinus sehingga infeksi gigi rahang atas mudah naik ke atas menyebabkan
sinusitis.
b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase
hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid
anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.

Dikutip dari: Paranasal Sinuses: Atlas of Human Anatomy (Netter, F.H., 2006)
Gambar 2.1 : Anatomi Sinus Maksila

2.1.2. Sinus Frontal


Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun
dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun (Ramalinggam,
1990).
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar
daripada lainya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah.
Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan
kurang lebih lima persen sinus frontalnya tidak berkembang (Lee, 2008).
Ukuran sinus frontal adalah mempunyai tinggi 2.8 cm , lebarnya 2.4
cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus
berlekuk-lekuk (Netter, 2006; Soetjipto dan Mangunkusomo,2007). Tidak
adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto
Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus (Rachman,2005).

Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan
fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke
daerah ini (Lund, 1997; Soetjipto dan Mangunkusomo,2007).
Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus
frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid (Lee, 2008).

2.1.3. Sinus Etmoid


Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling penting karena
dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa
bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior.
Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cm dan lebarnya 0.5
cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior (Netter, 2006;
Mangunkusomo, 2007).
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang
terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya
bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid
anterior yang bermuara ke meatus media dan sinus etmoid posterior bermuara
ke di meatus superior. Sel-sel etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak,
letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka
media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid
posterior biasanya lebih besar dan sedikit jumlahnya dan terletak di posterior
dari lamina basalis (Hilger, 1997; Ballenger, 2009).
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit,
disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid
yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu
penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus
maksila.

Pembengkakan

atau

peradangan

di

resesus

frontal

dapat

menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat


menyebabkan sinusitis maksila (Mehra dan Murad, 2004).
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan
lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat
tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita (Soetjipto dan

Mangunkusomo,2007 ; Ballenger, 2009). Di bagian belakang sinus etmoid


posterior berbatasan dengan sinus sfenoid (Hilger,1997).

2.1.4. Sinus Sfenoid


Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya
1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang,
pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat
berdekatan dengan rongga sinus (Hilger, 1997; Netter, 2006).
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa superior serebri
media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah
lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan di
sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons
(Ramalinggam, 1990).

2.2.

Fisiologi Sinus Paranasal


Menurut Drake (1997) dan Soetjipto dan Mangunkusomo (2007)
sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai
fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.

Menurut Lund (1997) beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus
paranasal antara lain adalah:
a.

Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)


Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan

mengatur
kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus
kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tipa kali bernapas, sehingga dibutuhkan
beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus.
b.

Sebagai penahan suhu (thermal insulator)


Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi

orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan

tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan
organ-organ yang dilindungi.
c.

Membantu keseimbangan kepala


Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang

muka, akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar satu persen dari berat kepala, sehingga
teori ini dianggap tidak bermakna.
d.

Membantu resonansi suara


Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan

mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus
dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang
efektif. Lagi pula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus
pada hewan-hewan tingkat rendah.
e.

Sebagai perendam perubahan tekanan udara


Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan besar dan mendadak,

misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.


f.

Membantu produksi mukus


Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil

dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk


membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi kerana mukus
ini keluar dari meatus media, tempat yang paling strategis.

Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa


bersilia dan palut lendir di atasnya (Hilger,1997). Di dalam sinus silia bergerak
secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti
jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat
dua aliran transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok
sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring
di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus
posterior bergabung dengan resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di
postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret
pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung
(Ramalinggam, 1990; Adam, 1997).

2.3.

Klasifikasi Sinusitis
Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut
dengan batas sampai delapan minggu dan kronik jika lebih dari delapan
minggu (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Konsensus tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan
batas sampai empat minggu, subakut antara empat minggu sampai tiga bulan
dan kronik jika lebih dari tiga bulan

atau berdasarkan jenis atau tipe

inflamasinya yaitu infectious atau non-infectious (Mangunkusomo dan


Soetjipto,2007; Sobol, 2011).
Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut,
subakut dan kronis (Hilger, 1997). Sedangkan berdasarkan penyebabnya
sinusitis dibagi kepada sinusitis tipe rinogen dan sinusitis tipe dentogen.
Sinusitis tipe rinogen terjadi disebabkan kelainan atau masalah di hidung
dimana

segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat

menyebabkan sinusitis. Sinusitis tipe dentogen pula terjadi disebabkan


kelainan gigi serta yang sering menyebabkan sinusitis adalah infeksi pada gigi
geraham atas yaitu gigi pre molar dan molar (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007).

2.4.

Sinusitis Tipe Dentogen

2.4.1. Definisi
Sinusitis didefinikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis
(Kumar dan Clark, 2005). Lapisan mukosa dari sinus paranasal merupakan
lanjutan dari mukosa hidung. Hidung dan sinus paranasal merupakan
bagian dari sistem pernapasan. Penyakit yang menyerang bronkus dan paruparu juga dapat menyerang hidung dan sinus paranasal. Oleh karena itu,
dalam kaitannya dengan proses infeksi, seluruh saluran nafas dengan
perluasan-perluasan anatomik
(Hueston,2002).

harus dianggap

sebagai

satu

kesatuan

2.4.2. Insidens dan Epidemiologi


Menurut Wald (1990) di Amerika menjumpai insiden pada orang
dewasa antara 10-15% dari seluruh kasus sinusitis yang berasal dari infeksi
gigi. Ramalinggam (1990) di Madras, India mendapatkan bahwa rinosinusitis
maksila tipe dentogen sebanyak sepuluh persen kasus yang disebabkan oleh
abses gigi dan abses apikal. Menurut Becker et al. (1994) dari Bonn, Jerman
menyatakan sepuluh persen infeksi pada sinus paranasal disebabkan oleh
penyakit pada akar gigi. Granuloma dental, khususnya pada premolar kedua
dan molar pertama sebagai penyebab rinosinusitis maksila dentogen. Hilger
(1994) dari Minnesota, Amerika Serikat menyatakan terdapat sepuluh persen
kasus rinosinusitis maksila yang terjadi setelah gangguan pada gigi. Menurut
Farhat (2004) di Medan mendapatkan insiden rinosinusitis dentogen di
Departemen THT-KL/RSUP Haji Adam Malik sebesar 13.67% dan yang
terbanyak disebabkan oleh abses apikal (71.43%).

2.4.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi


Etiologi sinusitis tipe dentogen ini adalah :
a. Penjalanan infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses apikal gigi dari
gigi kaninus sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering
terjadi pada kasus-kasus akar gigi yang hanya terpisah dari sinus oleh
tulang yang tipis, walaupun kadang-kadang ada juga infeksi mengenai
sinus yang dipisahkan oleh tulang yang tebal (Ross, 1999).
b. Prosedur ekstraksi gigi. Pencabutan gigi ini dapat menyebabkan
terbukanya dasar sinus sehingga lebih mudah bagi penjalanan infeksi
(Saragih, 2007).
c. Penjalaran penyakit periodontal yaitu dijumpai adanya penjalaran infeksi
dari membran periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus
(Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).
d. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan
sinus maksila (Ross, 1999).
e. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan
tambahan akibat pengisian saluran akar yang berlebihan (Saragih, 2007).
f. Osteomielitis pada maksila yang akut dan kronis (Mangunkusomo; Rifki,
2001).

g. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista


radikuler dan folikuler (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).
h. Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat
menyebabkan obstruksi ostium yang memicu sinusitis (Mangunkusomo
dan Soetjipto,2007).

2.4.4. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteomeatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang
melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan
lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk
membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zatzat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang
masuk bersama udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke
ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan (Ramalinggam, 1990;
Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Faktor yang

paling

penting

yang

mempengaruhi patogenesis

terjadinya sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi
obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang
menyebabkan

fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan

mukus
dengan kualitas yang kurang baik (Kieff dan Busaba, 2004). Disfungsi silia
ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus (Hilger,
1997).
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena
infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga
jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar,
2009). Pulpa terbuka maka kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan
pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan
mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan
berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian
dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar.
Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi

mukosa sinus. Disfungsi silia,


sekresi

obstruksi ostium sinus serta abnormalitas

mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga

terjadinya sinusitis maksila (Drake, 1997).


Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini
berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan
kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah
sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis.

2.4.5. Gejala Klinis


Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise, dan nyeri
kepala yang tidak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik
biasanya seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri
pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik dan turun tangga
(Tucker dan Schow, 2008). Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul
dan menusuk, serta nyeri di tempat lain karena nyeri alih (referred pain).
Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau
busuk. Batuk iritatif non-produktif juga seringkali ada (Sobol,2011).
Sinusitis maksilaris dari tipe odontogen harus dapat dibedakan
dengan rinogen karena terapi dan prognosa keduanya sangat berlainan. Pada
sinusitis maksilaris tipe odontogenik ini hanya terjadi pada satu sisi serta
pengeluaran pus yang berbau busuk. Di samping itu, adanya kelainan apikal
atau periodontal mempredisposisi kepada sinusitis tipe dentogen. Gejala
sinusitis dentogen menjadi lebih lambat dari sinusitis tipe rinogen
(Mansjoer,2001).

2.4.6. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan dengan palpasi turut membantu
menemukan nyeri tekan pada daerah sinus yang terkena (Saragih, 2007)
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, nasoendoskopi
sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini (Mangunkusomo
dan Soetjipto,2007). Rinoskopi anterior memberi gambaran anatomi

dan

mukosa yang edema, eritema, dan sekret yang mukopurulen. Lokasi sekret
dapat menentukan sinus mana yang terkena. Rinoskopi posterior dapat

melihat koana dengan baik, mukosa hipertrofi atau hiperplasia (Mansjoer,


2001).
Pemeriksaan penunjang lain adalah transiluminasi. Hanya sinus frontal
dan maksila yang dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan
menjadi suram atau gelap (Ross, 1999). Dengan nasal endoskopi dapat
diketahui sinus mana yang terkena dan dapat melihat adanya faktor etiologi
lokal. Tanda khas ialah adanya pus di meatus media pada sinusitis maksila,
etmoidalis anterior dan frontal atau pus di meatus superior pada sinusitis
etmoidalis posterior dan sfenoidalis (Mehra dan Murad, 2004; Mangunkusomo
dan Soetjipto,2007). Selain itu, nasal endoskopi dilakukan untuk menegakkan
diagnosis sinusitis akut dimana pus mengalir ke bawah konka media dan akan
jatuh ke posterior membentuk post nasal drip (Ross, 1999).
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau CTscan. Foto polos posisi Waters, posteroanterior, dan lateral umumnya hanya
mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal.
Kelainan yang akan terlihat adalah perselubungan, batas udara-cairan (airfluid level) pada sinusitis maksila atau penebalan mukosa (Mehra dan Murad,
2004). CT-scan sinus merupakan gold standard karena mampu menilai
anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara
keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai
penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan
atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus
(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan
mengambil sekret dari meatus media atau superior, untuk mendapat antibiotik
yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi
sinus maksila (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Kebanyakan sinusitis
disebabkan infeksi oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Moraxella catarrhalis. Gambaran bakteriologik dari sinusitis yang berasal dari
gigi geligi didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga menyebabkan pus
berbau busuk dan akibatnya timbul bau busuk dari hidung (Ross, 1999).
Di samping itu, sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding
medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskopi dapat

dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan


irigasi sinus untuk terapi (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

2.4.7. Terapi
Prinsip terapi :
a.

Atasi masalah gigi

b.

Konservatif dilakukan dengan memberikan obat-obatan atau irigasi

c.

Operatif
Antibiotik

dan

dekongestan

merupakan

terapi

pilihan

pada

sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan


mukosa serta
membuka sumbatan ostium sinus (Tucker dan Schow, 2008). Antibiotik
pilihan berupa golongan penisilin seperti
kuman

telah

resisten atau

Amoksisilin. Jika

diperkirakan

memproduksi beta-laktamase, maka dapat

diberikan Amoksisilin-Klavulanat atau jenis Cephalosporin generasi kedua


(Chambers dan Deck, 2009). Terapi lain dapat diberikan jika diperlukan
seperti mukolitik, analgetik, steroid oral dan topikal, pencucian rongga
hidung dengan natrium klorida atau pemanasan. Selain itu, dapat dilakukan
irigasi sinus maksilaris atau koreksi gangguan gigi (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007). Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) adalah operasi
pada hidung dan sinus yang menggunakan endoskopi dengan tujuan
menormalkan kembali ventilasi sinus dan klirens mukosiliar (Longhini;
Bransletter; Ferguson, 2010). Prinsip BSEF ialah membuka dan membersihkan
kompleks osteomeatal sehingga drainase dan ventilasi sinus lancar secara
alami. Selain itu, operasi Caldwell Luc dapat juga dilakukan untuk
memulihkan sumbatan sinus atau infeksi sinus maksila. Tindakan ini
dilakukan dengan mengadakan suatu rute untuk mengkoneksi sinus maksila
dengan hidung sehingga memulihkan drainase (Cho dan Hwang, 2008).

2.4.8. Komplikasi
Komplikasi sinusitis adalah kelainan orbital disebabkan oleh sinus
paranasal yang berdekatan dengan mata. Yang paling sering ialah sinusitis
etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi
melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah

edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan


selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007). Komplikasi lain adalah infeksi orbital menyebabkan mata
tidak dapat digerakkan serta kebutaan karena tekanan pada nervus optikus
(Hilger, 1997).
Osteomielitis dan abses subperiosteal paling sering timbul akibat
sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis
sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi (Tucker dan
Schow, 2008)
Infeksi otak yang paling berbahaya karena penyebaran bakteri ke
otak melalui tulang atau pembuluh darah. Ini dapat juga mengakibatkan
meningitis, abses otak dan abses ekstradural atau subdural (Hilger, 1997).
Komplikasi sinusitis yang lain adalah kelainan paru seperti bronkitis
kronis dan bronkiektasi. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan
kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu, dapat juga menyebabkan
kambuhnya asma bronchial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya
disembuhkan (Ballenger, 2009).

2.4.9. Prognosis
Prognosis sinusitis tipe dentogen sangat tergantung kepada tindakan
pengobatan yang dilakukan dan komplikasi penyakitnya. Jika, drainase sinus
membaik dengan terapi antibiotik atau terapi operatif maka pasien mempunyai
prognosis yang baik (Mehra dan Murad, 2004).

Anda mungkin juga menyukai