BAB I
PENDAHULUAN
Tubuh selalu melakukan hemeostasis. Baik sel baik berdiri sendiri maupun sebagai
sel tunggal maupun bergabung sebagai organisma multiselluler, harus berkomunikasi agar
tetap eksis. Sel-sel dalam organisma juga membutuhkan komunikasi satu sama lain baik
yang dekat maupun yang jauh, untuk menjaga keseimbangan, pertumbuhan dan
perkembangan hidup organisma. Komunikasi intrasel maupun intersel dilakukan melalui
suatu jejaring (network) komunikasi, dengan tujuan mengkoordinasi dan regulasi
pertumbuhan, diferensiasi, metabolisma sel dan bahkan ketahanan hidup. Sel menyajikan
berbagai informasi melimpah . Ternyata sel tidak selamanya dapat berkomunikasi secara
mulus, karena pada kenyataannnya ada penyakit yang timbul akibat adanya gangguan
komunikasi sel. Padahal komunikasi sel berfungsi untuk memelihara kondisi seimbang di
dalam sel (hemeostasis) guna memenuhi kebutuhan hidup sel dan menanggapi stimulus dari
luar sel. Pada hakikatnya, sel senantiasa berupaya memberi respon terhadap lingkungan yang
selalu berubah. Stimulus dari luar sel diterima dan masuk ke dalam sel melalui proses
transduksi. Pesan stimulus dilanjutkan oleh kurir kedua yang membangkitkan proses
fosforilasi pada substrat efektornya, dan akhirnya pesan stimulus diubah ke respon fisiologik
yang tepat, baik di dalam sitoplasma maupun di dalam nukleus (Paul S.Poli, 2009).
Tetanus merupakan kelainan neurologi yang disebabkan oleh toksin bakteri
Clostridium tetani. Bakteri Clostridium Tetani merupakan kuman berbentuk gram-positif
anaerob motil yang ditemukan di seluruh dunia pada tanah, lingkungan gersang, kotoran
binatang dan kadang- kadang pada feses manusia. Kontaminasi luka dengan spora C. Tetani
sering terlihat tetapi pembentukan tunas dan produksi toksin hanya terjadi pada jaringan
tubuh yang mati, pada bagian tubuh dengan benda asing dan pada infeksi aktif. Gejala
tetanus seringkali dimulai dari otot-otot fasial seperti otot tulang rahang (Locjaw) dan
kemudian berlanjut ke otot-otot leher, bahu, punggung dan ektremitas atas serta bawah.
Spasme yang menyeluruh mengganggu pernafasan. (Toy, et al, 2014).
Tetanus akibat bakteri Clostridium Tetani menghasilkan tetanospasmin yang
menyebabkan
terjadi ralaksasi otot. Berdasarkan hal tersebut diatas mahasiswa ingin lebih memahami
tentang efek tetanospasmin terhadap kontraksi otot. Artikel ini dibuat
untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah sel eksitabel sehingga diharapkan pemahaman mengenai sel
eksitabel menjadi lebih baik. Tentunya dalam pembuatan tugas ini masih banyak
kekurangan untuk itu diperlukan kritik dan saran yang membangun.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Neuromuskular Junction
Neuromuskular Junction menghubungkan sistem saraf ke sistem otot melalui sinapsis
antara serabut saraf eferen dan serat otot , juga dikenal sebagai sel-sel otot . Sebagai
potensial aksi mencapai akhir dari motor neuron , Voltage gate chanell calsium terbuka
yang memungkinkan kalsium masuk ke neuron . Kalsium mengikat sensor
protein
(sinaptotagnin ) dari vesikel sinaptik memicu vesikel fusi dengan membran plasma dan
pelepasan neurotransmitter berikutnya dari motor neuron ke dalam celah sinaptik . Pada
vertebrata , motor neuron melepaskan asetilkolin ( Ach ) , sebuah neurotransmitter molekul
kecil , yang berdifusi melalui sinaps dan mengikat reseptor nicotinic acetylcholine
(nAChRs ) pada membran plasma dari serat otot , juga dikenal sebagai sarcolemma .
nAChRs yang ionotropic , yang berarti mereka berfungsi sebagai saluran ligan gated ion .
Pengikatan Ach dengan reseptor dapat mendepolarisasi serat otot , menyebabkan kaskade
yang akhirnya menghasilkan kontraksi otot (Wikipedia, 2015)
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap
berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:
1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan enzim
2.
kolin asetiltransferase
Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang disebut
membuka
saluran
Ca
2+ yang
sensitive
terhadap
voltase
listrik
sehingga
memungkinkan aliran masuk Ca 2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca 2+ ini
memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi
kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke
dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang menonjol
dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengan kerapatan
yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat
pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan
membuka saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi
membran. Masuknya ion Na + akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga
terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi
membran otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang
serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot.
5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh enzim
asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut: Asetilkolin + H2O Asetat +
Kolin Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis
rongga sinaps
6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di mana
protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin. Setiap reseptor
asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran yang akan segera terbuka
setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5 protein subunit, yatiu 2
protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya
asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah melewati saluran
tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post sinaptik.
Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran
serat otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir).
Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu
potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot (Kevin
Lim, 2015)
Beberapa sifat dari reseptor asetilkolin di neuromuscular junction adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5. Dua molekul asetilkolin harus berikatan untuk membuka saluran ion, yang
memungkinkan aliran baik Na + maupun K+
6.
Bisa ular -bungarotoksin berikatan dengan erat pada subunit - dan dapat digunakan
untuk melabel reseptor atau sebagai suatu ligand berafinitas untuk memurnikannya.
7. Autoantibody terhadap reseptor termasuk penyebab miastenia grafis.
(Kevin Lim, 2015). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
perantara
protein
(G
protein-coupled
reseptor).Neuron-neuron
yang
10
16. Dengan demikian pengikatan ion-ion Ca pada troponin terhenti, dan kompleks
troponin-tropomiosin kembali menghambat tempat-tempat perlekatan pada
filament aktin,
17. Jadi serat ini dipertahankan dalam keadaan istirahat.
18. Kebutuhan energi untuk transfort aktif ion-ion Ca ke dalam reticulum sarkoplasma
tersedia dari pemecahan ATP, dan karena itu kontraksi dan relaksasi keduanya
membutuhkan ATP.
19. Rangkaian perangsangan/ kontraksi melalui system tubulus T menerangkan
mengapa semua myofibril pada serat otot diaktivasi secara serentak dan hampir
bersamaan
dengan
merambatnya
potensial
aksi
pada
(http://cahyadiblogsan.blogspot.com/2012/02/kontraksi-otot.html )
sarkolema.
11
12
eksotoksin
yang
dihasilkan
kejang otot rangka (Mahadewa, 2009). Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium
tetani,
bakteri
bersifat
bertahan di berbagai lingkungan ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat.
Clostridium tetani telah diisolasi dari tanah,
debu
jalan, feses
Bakteri tersebut biasanya memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka
tusuk minor, atau ujung potongan umbilikus pada neonatus; pada 20% kasus, mungkin
tidak ditemukan tempat masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui ulkus kulit, abses,
gangren, luka bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau
abdominal/pelvis, persalinan dan
setelah pembedahan
sporanya, akan
pada lingkungan
13
bertindak untuk mencegah penghambatan neurotransmitter rilis dari interneuron spinal cord
(Aruma , 2014). Fungsi tetanolisin diketahui dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang
sehat pada luka terinfeksi, menurunkan potensial reduksi dan meningkatkan pertumbuhan
organisme anaerob. Tetanolisin ini diketahui dapat merusak membran sel lebih dari satu
mekanisme. Tetanospasmin (toksin spasmogenik) ini merupakan neurotoksin potensial yang
menyebabkan penyakit. Tetanospasmin ini mempengaruhi pembentukan dan pengeluaran
neurotransmiter glisin dan GABA pada terminal inhibisi daerah presinaps sehingga pelepasan
neurotransmiter inhibisi dihambat dan menyebabkan relaksasi otot terhambat. Batas dosis
terkecil tetanospasmin yang dapat menyebabkan kematian pada manusia adalah 2,5 nanogram
per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk manusia dengan berat badan 75 kg.
(Idmgarud, 2009).
G. Mekanisma Kerja Tetanospasmin
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke susunan
saraf pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction,
kemudian
bermigrasi
melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui pembuluh limfe dan
darah ke susunan saraf pusat. Masih belum jelas mana yang lebih penting, mungkin
keduanya terlibat. Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan
pada
neuromuscular
junction lebih memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik
ke saraf motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd
menuju
sistem
saraf
mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan -amino butyric acid (GABA).
Pada
saat
terjadi kegagalan menghambat refleks motorik sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak
terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot
berupa
spasme
otot
yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah
terkena paling awal karena jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis
terkena paling akhir, mungkin akibat aksi toksin di batang
gagalnya
penghambatan
berat,
aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan neuronal
toksin sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang baru,
14
sehingga terjadi kegagalan pada respon reflek motor pada stimulasi sensorik. Penghambatan
ini disebabkan karena pemecahan synaptobrevin (protein yang berfungsi pada pelepasan
vesikel, sehingga mengurangi inhibisi dan meningkatkan kecepatan istirahat pada neuron.
(Stephen, 2014). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 5,6 dan 7.
15
16
pelepasan
transmiter.
Sedangkan
Sanberg
dkk
mengemukakan
bahwa
BAB III
KESIMPULAN
1. Ternyata sel tidak selamanya dapat berkomunikasi secara mulus, karena pada
kenyataannnya ada penyakit yang timbul akibat adanya gangguan komunikasi sel.
Padahal komunikasi sel berfungsi untuk memelihara kondisi seimbang di dalam sel
(hemeostasis) guna memenuhi kebutuhan hidup sel dan menanggapi stimulus dari luar
sel.
2. Berbagai neurotransmitter yang ditemukan di sistem saraf yaitu excitatory
(acetylcholine,aspartate,dopamine,histamine ,norepinephrine,epinephrine ,glutamate,
serotonin ) dan Inhibitory (GABA,Glycine ) .
3. Untuk bisa berfungsi dengan baik, otot manusia harus bisa melakukan kontraksi dan
relaksasi. Untuk bisa melakukan kontraksi, sel-sel otot membutuhkan aliran sinyal
neurotransmitter acetylcholine yang berasal dari sel-sel saraf (neuron) motorik (motoneuron/alpha motoneuron) di sumsum tulang belakang (medulla spinalis). Untuk
bisa melakukan relaksasi, sel-sel -motoneuron di sumsum tulang belakang
membutuhkan penghambat (inhibitor) berupa neurotransmitter yang dikirimkan oleh
neuron lainnya, yaitu GABA (Gamma Amino Butiric Acid) dan Glycine.
4. Tetanospasmin yang merupakan zinc- dependent endopeptidase memecah vesicleassociated membrane protein II ( VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida
tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga
pemecahan ini mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur
inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan -amino butyric acid (GABA). Pada saat
17
berupa
spasme
18
Daftar Pustaka
Aroma Arum, 2014. Dental Caries As A Risk Factor Of Teatanus. J.Medula Unila Volume 3
Nomer 2.
Behrman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak. Nelson. Volume 2.Jakarta: EGC. 2000
Contraction of skleletal muscle. http://samedical.blogspot.com/2010/07/contraction-ofskeletal-mus
Faal 1, Departemen Ilmu Faal ,Fakultas Kedokteran , Universitas Airlangga
Guyton, 2011. Guyton and Hall texbook of medical Psysiologi Twelfth Edition, Elsevier,Inc
Keadaan kontraksi dan relaksasi miofibril .https://sites.google.com/a/wdpsd.com/generalhuman-anatomy-and-physiology/updates/unit-5
Kevin Lim, 2004.The Neuromuscular Junction
Kiking Rirtawan, 2004. Tetanus, USU Digitaly Library
Mahadewa TGB, Maliawan S. Diagnosis & Tatalaksana Kegawat Daruratan Tulang
Belakang.Jakarta: CV Sagung Seto;2009
Muscular system, 2015.http://whs-anatomyphysiology.wikispaces.com/Muscular+System
Muscle contraction .http://yewbiotech.com/blog/muscle-contraction/
Mekanisma kerja tetanospasmin.http://www.uark.edu/misc/jdurdik/MechPATH/skinwn.html
Mardianto dkk, 2012, neurotransmitter
Paul s.Poli, 2011. Komunikasi sel.Penerbit Buku Kedokteran EGC
Ribbe, 2012. Infection and Phatogenicity
Synaptic Vesicle Exocytosis, Cold Spring Harbor Laboratory Press.
19
http://cshperspectives.cshlp.org/content/3/12/a005637/F2.expansion.html
Stephen, et al, 2014. Adjunctive Use of Ceftriaxone and Sodium Valproate in the
Management of Tetanus: A Case Report and Literature Review
Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek PM, editors.
Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005.p.1401-4.
Widodo, 2013. Neurotransmitter