Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I
PENDAHULUAN
Tubuh selalu melakukan hemeostasis. Baik sel baik berdiri sendiri maupun sebagai
sel tunggal maupun bergabung sebagai organisma multiselluler, harus berkomunikasi agar
tetap eksis. Sel-sel dalam organisma juga membutuhkan komunikasi satu sama lain baik
yang dekat maupun yang jauh, untuk menjaga keseimbangan, pertumbuhan dan
perkembangan hidup organisma. Komunikasi intrasel maupun intersel dilakukan melalui
suatu jejaring (network) komunikasi, dengan tujuan mengkoordinasi dan regulasi
pertumbuhan, diferensiasi, metabolisma sel dan bahkan ketahanan hidup. Sel menyajikan
berbagai informasi melimpah . Ternyata sel tidak selamanya dapat berkomunikasi secara
mulus, karena pada kenyataannnya ada penyakit yang timbul akibat adanya gangguan
komunikasi sel. Padahal komunikasi sel berfungsi untuk memelihara kondisi seimbang di
dalam sel (hemeostasis) guna memenuhi kebutuhan hidup sel dan menanggapi stimulus dari
luar sel. Pada hakikatnya, sel senantiasa berupaya memberi respon terhadap lingkungan yang
selalu berubah. Stimulus dari luar sel diterima dan masuk ke dalam sel melalui proses
transduksi. Pesan stimulus dilanjutkan oleh kurir kedua yang membangkitkan proses
fosforilasi pada substrat efektornya, dan akhirnya pesan stimulus diubah ke respon fisiologik
yang tepat, baik di dalam sitoplasma maupun di dalam nukleus (Paul S.Poli, 2009).
Tetanus merupakan kelainan neurologi yang disebabkan oleh toksin bakteri
Clostridium tetani. Bakteri Clostridium Tetani merupakan kuman berbentuk gram-positif
anaerob motil yang ditemukan di seluruh dunia pada tanah, lingkungan gersang, kotoran
binatang dan kadang- kadang pada feses manusia. Kontaminasi luka dengan spora C. Tetani
sering terlihat tetapi pembentukan tunas dan produksi toksin hanya terjadi pada jaringan
tubuh yang mati, pada bagian tubuh dengan benda asing dan pada infeksi aktif. Gejala
tetanus seringkali dimulai dari otot-otot fasial seperti otot tulang rahang (Locjaw) dan
kemudian berlanjut ke otot-otot leher, bahu, punggung dan ektremitas atas serta bawah.
Spasme yang menyeluruh mengganggu pernafasan. (Toy, et al, 2014).
Tetanus akibat bakteri Clostridium Tetani menghasilkan tetanospasmin yang
menyebabkan

peningkatan stimulasi yang berulang pada motor neuron sehingga tidak

terjadi ralaksasi otot. Berdasarkan hal tersebut diatas mahasiswa ingin lebih memahami
tentang efek tetanospasmin terhadap kontraksi otot. Artikel ini dibuat

untuk memenuhi

salah satu tugas mata kuliah sel eksitabel sehingga diharapkan pemahaman mengenai sel
eksitabel menjadi lebih baik. Tentunya dalam pembuatan tugas ini masih banyak
kekurangan untuk itu diperlukan kritik dan saran yang membangun.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Neuromuskular Junction
Neuromuskular Junction menghubungkan sistem saraf ke sistem otot melalui sinapsis
antara serabut saraf eferen dan serat otot , juga dikenal sebagai sel-sel otot . Sebagai
potensial aksi mencapai akhir dari motor neuron , Voltage gate chanell calsium terbuka
yang memungkinkan kalsium masuk ke neuron . Kalsium mengikat sensor

protein

(sinaptotagnin ) dari vesikel sinaptik memicu vesikel fusi dengan membran plasma dan
pelepasan neurotransmitter berikutnya dari motor neuron ke dalam celah sinaptik . Pada
vertebrata , motor neuron melepaskan asetilkolin ( Ach ) , sebuah neurotransmitter molekul
kecil , yang berdifusi melalui sinaps dan mengikat reseptor nicotinic acetylcholine
(nAChRs ) pada membran plasma dari serat otot , juga dikenal sebagai sarcolemma .
nAChRs yang ionotropic , yang berarti mereka berfungsi sebagai saluran ligan gated ion .
Pengikatan Ach dengan reseptor dapat mendepolarisasi serat otot , menyebabkan kaskade
yang akhirnya menghasilkan kontraksi otot (Wikipedia, 2015)
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap
berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:
1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan enzim
2.

kolin asetiltransferase
Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang disebut

vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.


3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap berikutnya.
Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel dengan membran
presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar 10.000 molekul
transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara
spontan sehingga menghasilkan potensial end plate miniature yang kecil. Kalau sebuah
akhir saraf mengalami depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan

membuka

saluran

Ca

2+ yang

sensitive

terhadap

voltase

listrik

sehingga

memungkinkan aliran masuk Ca 2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca 2+ ini
memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi
kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke
dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang menonjol
dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengan kerapatan
yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat
pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan
membuka saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi
membran. Masuknya ion Na + akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga
terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi
membran otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang
serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot.
5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh enzim
asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut: Asetilkolin + H2O Asetat +
Kolin Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis
rongga sinaps
6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di mana
protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin. Setiap reseptor
asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran yang akan segera terbuka
setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5 protein subunit, yatiu 2
protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya
asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah melewati saluran
tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post sinaptik.
Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran
serat otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir).
Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu
potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot (Kevin
Lim, 2015)
Beberapa sifat dari reseptor asetilkolin di neuromuscular junction adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.

Merupakan reseptor nikotinik (nikotin adalah agonis terhadap reseptor)


Merupakan glikoprotein bermembran dengan berat molekul sekitar 275 kDa.
Mengandung lima subunit, terdiri dari 2
Hanya subunit yang mengikat asetilkolin dengan afinitas tinggi.

5. Dua molekul asetilkolin harus berikatan untuk membuka saluran ion, yang
memungkinkan aliran baik Na + maupun K+
6.
Bisa ular -bungarotoksin berikatan dengan erat pada subunit - dan dapat digunakan
untuk melabel reseptor atau sebagai suatu ligand berafinitas untuk memurnikannya.
7. Autoantibody terhadap reseptor termasuk penyebab miastenia grafis.
(Kevin Lim, 2015). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 3 : The Neuromuscular Junction (Kevi Lim, 2015)

Gambar 4: Muscle contraction


(http://yewbiotech.com/blog/muscle-contraction/
B. Neurotransmitter
Neourotransmitter merupakan zat kimia yang membawa informasi menyebrangi
celah sinaptik dari suatu neuron menuju neuron berikutnya. Saat ini terdapat lebih dari 100
berbagai neurotransmitter yang telah dikenali. Dari penelitian, ditemukan bahwa
neurotransmitter yang ditemukan berbeda dalam bagian atau daerah otak yang berbeda.
Neurotransmitter dilepaskan pada saat terjadinya stimulasi saraf. Neurotransmitter berfungsi
dalam membedakan fungsi

dari berbagai jaringan otak (Mardianto dkk, 2012).

Neurotransmiter merupakan senyawa kimia pembawa pesan yang meneruskan informasi


elektrik dari sebuah neuron ke neuron lain atau sel efektor. Sifat neurotransmiter adalah
sebagai berikut: disintesis di neuron presinaps, disimpan di vesikel dalam neuron presinaps
dilepaskan dari neuron di bawah kondisi fisiologis , segera dipindahkan dari sinaps melalui
uptake atau degradasi ,berikatan dengan reseptor menghasilkan respon biologis. Berbagai
neurotransmitter yang ditemukan di sistem saraf yaitu excitatory (acetylcholine,aspartate,
,dopamine,histamine ,norepinephrine , epinephrine ,glutamate ,serotonin ) dan Inhibitory
(GABA,Glycine ) (Widodo, 2013)
Asetilkolin merupakan substansi transmitter yang disintesis diujung
presinap dari koenzim asetil A dan kolin dengan menggunakan enzim kolin asetiltransferase.
Kemudian substansi ini dibawa ke dalam gelembung spesifiknya. Ketika kemudian
gelembung melepaskan asetilkolin ke dalam celah sinap, asetilkolin dengan cepat memecah
kembali asetat dan kolin dengan bantuan enzim kolinesterase, yang berikatan dengan
retikulum proteoglikan dan mengisi ruang celah sinap. Kemudian gelembung mengalami
daur ulang dan kolin juga secara aktif dibawa kembali ke dalam ujung sinap untuk digunakan
kembali bagi keperluan sintesis asetilkolin baru (Tri Wibowo, 2012)
Beberapa sifat dari reseptor asetilkolin di neuromuscular junction adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.

Merupakan reseptor nikotinik (nikotin adalah agonis terhadap reseptor)


Merupakan glikoprotein bermembran dengan berat molekul sekitar 275 kDa.
Mengandung lima subunit, terdiri dari 2
Hanya subunit yang mengikat asetilkolin dengan afinitas tinggi.
Dua molekul asetilkolin harus berikatan untuk membuka saluran ion, yang

memungkinkan aliran baik Na + maupun K+


6.
Bisa ular -bungarotoksin berikatan dengan erat pada subunit - dan dapat digunakan
untuk melabel reseptor atau sebagai suatu ligand berafinitas untuk memurnikannya.
7. Autoantibody terhadap reseptor termasuk penyebab miastenia grafis.
(Kevin Lim, 2015).

-Aminobutyric acid (GABA) adalah neurotransmiter inhibisi utama pada sistem


saraf pusat. GABA berperan penting dalam mengatur exitability neuron melalui sistem saraf.
Pada manusia, GABA juga bertanggung jawab langsung pada pengaturan tonus otot.GABA
dibentuk dari dekarboksilasi glutamat yang dikatalis oleh glutamate decarboxylase
(GAD).GAD umumnya terdapat dalam akhiran saraf. Aktivitas GAD membutuhkan
pyridoxal phosphate (PLP) sebagai kofaktor. PLP dibentuk dari vitamin B6 (pyridoxine,
pyridoxal, and pyridoxamine) dengan bantuan pyridoxal kinase. Pyridoxal kinase sendiri
membutuhkan zinc untuk aktivasi. Kekurangan pyridoxal kinase atau zinc dapat
menyebabkan kejang, seperti pada pasien preeklamsi.Reseptor GABA dibagi dalam dua jenis:
GABAA dan GABAB. Reseptor GABAA membuka saluran florida dan diantagonis oleh
pikrotoksin dan bikukulin, yang keduanya dapat mnimbulkan konvulsi umum.Pada
vertebrata, GABA berperan dalam inhibisi sinaps pada otak melalui pengikatan terhadap
reseptor spesifik transmembran dalam membran plasma pada proses pre dan post sinaps.
Pengikatan ini menyebabkan terbukanya saluran ion sehingga ion klorida yang bermuatan
negatif masuk kedalam sel dan ion kalium yang bermuatan positif keluar dari sel. Akibatnya
terjadi perubahan potensial transmembran, yang biasanya menyebabkan hiperpolarisasi.
Reseptor GABAA merupakan reseptor inotropik yang merupakan saluran ion itu sendiri,
sedangkan Reseptor GABAB merupakan reseptor metabotropik yang membuka saluran ion
melalui

perantara

protein

(G

protein-coupled

reseptor).Neuron-neuron

yang

menghasilkanyang menghasilkan GABA disebut neuron GABAergic. Sel medium spiny


merupakan salahsatu contoh sel GABAergic .(Tri Yuwono, 2012)
Glisin (Gly, G) atau asam aminoetanoat adalah asam amino alami paling sederhana.
Rumus kimianya NH2CH2COOH. Glisin merupakan asam amino terkecil dari 20 asam amino
yang umum ditemukan dalam protein.Glisin bekerja sebagai transmiter inhibisi pada sistem
saraf pusat, terutama pada medula spinalis, brainstem, dan retina. Jika reseptor glisin
teraktivasi, korida memasuki neuron melalui reseptor inotropik, menyebabkan terjadinya
potensial inhibisi post sinaps (Inhibitory postsynaptic potential / IPSP). Strychnine
merupakan antagonis reseptor glisin yang kuat, sedangkan bicuculline merupakan antagonis
reseptor glisin yang lemah. (Tri Yuwono, 2012)
C. Mekanisma umum Kontraksi Otot
Timbul dan berakhirnya kontraksi otot terjadi dalam urutan-urutan tahap berikut:
1. Suatu potensial aksi berjalan di sepanjang sebuah syaraf motorik sampai ke ujungnya

pada serabut otot.


2. Di setiap ujung, saraf menyesekresi zat neurotransmitter yaitu asetilkolin dalam
jumlah sedikit.
3. Asetilkolin bekerja pada daerah setempat pada membran serabut otot untuk membuka
banyak kanal kation berpintu aseltilkolin melalui molekul protein yang terapung
pada membran.
4. Terbukanya kanal berpintu asetilkolin memungkinkan sejumlah besar ion natrium
untuk berdifusi ke bagian dalam membran serabut otot. Hal ini menyebabkan
depolarisasi setempat yang kemudian menyebabkan permukaan kanal natrium
berpintu listrik (voltage-gated sodium channel). Peristiwa ini akan menimbulkan suatu
potensial aksi pada membran.
5. Potensial aksi akan berjalan di sepanjang membran serabut otot dengan otot dengan
yang sama seperti potensial aksi berjalan di sepanjang membran serat saraf.
6. Potensial aksi akan menimbulka depolarisasi membran otot dan banyak aliran
potensial aksi mengalir melalui pusat serabut otot. Disini, poetensial aksi
menyebabkan retikulum sarkoplasma melepaskan sejumlah besar ion kalsium yang
telah tersimpan di retikulum ini.
7. Ion kalsium meginisiasi kekuatan menarik antara filamen aktin dan miosin yang
menyebabkab kedua filamen tersebut bergeser satu sama lain dan menghasilkan
proses kontraksi.
8. Setelah kurang dari satu detik, ion kalsium dipompa kembali ke dalam retikulum
sarkoplasma oleh pompa membran CA ++, dan ini tetap disimpan dalam retikulum
sampai potensial aksi otot tang baru datang lagi, pengeluaran ion kalsium dari
miofibril akan menyebabkan kontraksi otot terhenti. (Guyton, 2011)
D. Kejadian- kejadian molekuler selama kontraksi
1. Sebelum kontraksi otot, suatu potensial aksi merambat sepanjang sarkolema dan
dari sini diteruskan ke bagian dalam serat melalui tubulus T .
2. Potensial aksi dari tubulus-tubulus T menyebabkan perubahan pada potensial
membran dalam sisterna terminal reticulum sarkoplasma dan ini menyebabkan
pelepasan pada ion-ion Ca dari reticulum ke dalam sarkoplasma seklilingnya
(dalam keadaan istirahat sebagian besar Ca dalam serat terpusat pada sisterna
terminal reticulum sarkoplasma).
3. Ion-ion Ca ini berikatan pada troponin (troponin C) yang mempunyai afinitas
sangat kuat terhadap ion-ion Ca ini. Selama keadaan istirahat, kompleks troponin
(toponin I)-tropomiosin menghambat tempat perlekatan pada filament aktin untuk

kepala-kepala myosin, mungkin secara fisik menutupi kepala-kepala myosin


tersebut.
4. Melalui pengikatan ion-ion Ca pada molekul troponin, molekul ini diperkirakan
berubah bentuk. Dengan demikian hambatan tempat perlekatan pada filament
aktin oleh kompleks troponin-tropomiosin ditiadakan.
5. Kapala-kepala myosin kemudian dengan segera secara fisik berhubungan dengan
tempat-tempat perlekatan aktin dimana mencetuskan pergeseran filament-filamen.
6. Fragmen-fragmen meromiosin berat dapat berikatan dengan salah satu ujungnya
pada tempat tertentu pada filament aktin yang terdapat setiap 36 nm.
7. Hal ini adalah sama betul dengan preodisitas aktin, dan sekarang diyakini bahwa
setiap kepala myosin selama kontraksi arahnya miring berkontak dengan
filament aktin terdekat.
8. Selama kontraksi, filament aktin bergeser lebih jauh dari pada jarak antara 2
kepala myosin yang berturutan.
9. Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut : setelah terikat pada suatu tempat
perlekatan pada filament aktin, setiap kepala myosin mengangguk ke arah garis
M, sehingga filament aktin tertarik pada jarak tertentu ke arah garis M.
10. Segera sesudah itu, kepala myosin dilepaskan dari tempat perlekatan dan kembali
ke posisi semula tegak lurus tehadap fragmen meromiosin yang berbentuk batang.
11. Pada posisi ini kepala myosin berhubungan dengan tempat perlekatan berikutnya
yang terletak sepanjang filament aktin, tidak jauh dari tempat tersebut, setelah itu
kepala myosin kembali mengangguk ke arah garis M dan seterusnya.
12. Dengan demikian filament aktin tertarik selangkah demi selangkah ke arah garis
M. Anggukan-anggukan kepala myosin disebabkan oleh suatu perubahan kekuatan
pengikatan antara kepala dan bagian batang molekul meromiosin akibat
pengikatan pada filament aktin.
13. ATPase yang terdapat pada kepala myosin akan memecah ATP sehingga tersedia
energi yang digunakan untuk kontraksi.

10

14. Kontraksi ini berlangsung terus selama ion-ion Ca dalam sarkoplasma


konsentrasinya masih cukup tinggi.
15. Akan tetapi dengan memakai pompa Ca aktif di dekat membrane reticulum
sarkoplasma ion-ion Ca terus menerus dan secara aktif dipompakan ke dalam
sisterna longitudinal reticulum berlangsung kira-kira 20 mili detik, kemudian
konsentrasi Ca dalam sarkoplasma menurun sampai tingkat paling rendah (kurang
dari 10

M) yang terdapat selama keadaan istirahat.

16. Dengan demikian pengikatan ion-ion Ca pada troponin terhenti, dan kompleks
troponin-tropomiosin kembali menghambat tempat-tempat perlekatan pada
filament aktin,
17. Jadi serat ini dipertahankan dalam keadaan istirahat.
18. Kebutuhan energi untuk transfort aktif ion-ion Ca ke dalam reticulum sarkoplasma
tersedia dari pemecahan ATP, dan karena itu kontraksi dan relaksasi keduanya
membutuhkan ATP.
19. Rangkaian perangsangan/ kontraksi melalui system tubulus T menerangkan
mengapa semua myofibril pada serat otot diaktivasi secara serentak dan hampir
bersamaan

dengan

merambatnya

potensial

aksi

pada

(http://cahyadiblogsan.blogspot.com/2012/02/kontraksi-otot.html )

sarkolema.

11

Gambar 3: Mekanisma kontraksi otot. (https://sites.google.com/a/wdpsd.com/general-humananatomy-and-physiology/updates/unit-5)

Gambar4. Pergerakan kepala myosin dan aktin (NeuroGASTRO, 2015 )(www.neurogo2015.org/)


E. MEKANISMA RELAKSASI OTOT
Untuk bisa berfungsi dengan baik, otot manusia harus bisa melakukan kontraksi dan
relaksasi. Untuk bisa melakukan kontraksi, sel-sel otot membutuhkan aliran sinyal
neurotransmitter acetylcholine yang berasal dari sel-sel saraf (neuron) motorik (motoneuron/alpha motoneuron) di sumsum tulang belakang (medulla spinalis). Untuk bisa

12

melakukan relaksasi, sel-sel -motoneuron di sumsum tulang belakang membutuhkan


penghambat (inhibitor) berupa neurotransmitter yang dikirimkan oleh neuron lainnya, yaitu
GABA (Gamma Amino Butiric Acid) dan Glycine.Untuk bisa melakukan tugasnya, GABA
dan Glycine harus diantar/ditransport dalam bentuk gelembung (vesikel) dari tempat
penyimpanannya sampai ke tempat bertemu antar sel neuron (sinaps).Setelah vesikel yang
mengandung GABA dan Glycine tadi sampai di sinaps dengan -motoneuron, maka vesikel
akan membuka pintunya dengan bantuan protein yang disebut synaptobrevin.Setelah pintu
vesikel terbuka, maka GABA dan Glycine dapat melakukan tugasnya, yaitu menghambat
aliran sinyal acetylcholine sehingga sel-sel otot dapat mengalami relaksasi.

F. PATOFISIOLOGI PENYAKIT TETANUS


Tetanus adalah penyakit infeksi akut disebabkan
oleh

Clostridium tetani, ditandai

eksotoksin

yang

dihasilkan

dengan peningkatan kekakuan umum dan kejang-

kejang otot rangka (Mahadewa, 2009). Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium
tetani,

bakteri

bersifat

obligat anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu

bertahan di berbagai lingkungan ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat.
Clostridium tetani telah diisolasi dari tanah,

debu

jalan, feses

manusia dan binatang.

Bakteri tersebut biasanya memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka
tusuk minor, atau ujung potongan umbilikus pada neonatus; pada 20% kasus, mungkin
tidak ditemukan tempat masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui ulkus kulit, abses,
gangren, luka bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau
abdominal/pelvis, persalinan dan

setelah pembedahan

aborsi. Jika organisme ini berada

anaerob yang sesuai untuk pertumbuhan

sporanya, akan

pada lingkungan

berkembang biak dan

menghasilkan toksin tetanospasmin dan tetanolysin. Tetanospasmin adalah neurotoksin poten


yang bertanggung jawab terhadap manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit
memiliki efek klinis. (Laksmi , 2014)
Tetanus bacillus mengeluarkan dua racun, tetanospasmin dan tetanolysin.
Tetanolysin mengoptimalkan kondisi bakteri untuk haemolysisnya. Tetanospasmin mengarah
ke sindrom klinis tetanus .Tetanospasmin adalah polipeptida dua rantai 150.000 Da yang
awalnya tidak aktif. Rantai berat (100.000 Da) dan rantai ringan (50.000 Da) yang
dihubungkan oleh sebuah lingkaran sensitif protease yang dibelah oleh jaringan Protease
meninggalkan jembatan disulfida yang menghubungkan dua rantai. Cahaya atau A-rantai,
seng endopeptidase menyerang-vesikel protein membran sociated (VAMP), synaptobrevin

13

bertindak untuk mencegah penghambatan neurotransmitter rilis dari interneuron spinal cord
(Aruma , 2014). Fungsi tetanolisin diketahui dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang
sehat pada luka terinfeksi, menurunkan potensial reduksi dan meningkatkan pertumbuhan
organisme anaerob. Tetanolisin ini diketahui dapat merusak membran sel lebih dari satu
mekanisme. Tetanospasmin (toksin spasmogenik) ini merupakan neurotoksin potensial yang
menyebabkan penyakit. Tetanospasmin ini mempengaruhi pembentukan dan pengeluaran
neurotransmiter glisin dan GABA pada terminal inhibisi daerah presinaps sehingga pelepasan
neurotransmiter inhibisi dihambat dan menyebabkan relaksasi otot terhambat. Batas dosis
terkecil tetanospasmin yang dapat menyebabkan kematian pada manusia adalah 2,5 nanogram
per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk manusia dengan berat badan 75 kg.
(Idmgarud, 2009).
G. Mekanisma Kerja Tetanospasmin
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke susunan
saraf pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction,

kemudian

bermigrasi

melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui pembuluh limfe dan
darah ke susunan saraf pusat. Masih belum jelas mana yang lebih penting, mungkin
keduanya terlibat. Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan

pada

neuromuscular

junction lebih memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik
ke saraf motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd
menuju

sistem

saraf

pusat. Tetanospasmin yang merupakan zinc- dependent

endopeptidase memecah vesicle- associated membrane protein II ( VAMP II atau synaptobrevin)


pada suatu ikatan peptida tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di
sinaps, sehingga pemecahan

ini mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya

mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan -amino butyric acid (GABA).
Pada

saat

interneuron menghambat motor neuron alpha juga terkena pengaruhnya,

terjadi kegagalan menghambat refleks motorik sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak
terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot

berupa

spasme

otot

yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah
terkena paling awal karena jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis
terkena paling akhir, mungkin akibat aksi toksin di batang
gagalnya

penghambatan

otak. Pada tetanus

berat,

aktivitas otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom,

aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan neuronal
toksin sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang baru,

14

sehingga memanjangkan durasi penyakit ini (Laksmi, 2014).


Tetanus merupakan kelainan neurologi dimana Closridium Tetani untuk
pembentukan tunas dan produksi toksin hanya terjadi pada jaringan tubuh yang mati, pada
bagian tubuh dengan benda asing dan pada infeksi aktif. Toksin yang dilepaskan akan
menyekat pelepasan beberapa neurotransmitter inhibisi termasuk asam -aminobutirat
(GABA) sehingga organ vesikel pada sinaps mengalami perubahan. Dengan penurunan
inhibisi laju cetusan (firing rate) resting motor neuron akan meningkat. Karena peningkatan
stimulasi yang berulang pada motor neuron, maka ion kalsium yang dilepaskan dari
retikulum sarkoplasma tetap terikat pada troponin dan memperpanjang waktu untuk
pendauran jembatan silang (atau cross-bridge cycling) sehingga tidak terjadi relaksasi otot.
(Toy, et al, 2014)
Tetanospasmin menghambat pelepasan neuron inhibitor yang berfungsi mengatur
kontraksi otot sehingga otot akan berkontraksi secara tidak terkontrol yang menyebabkan
terjadi kekakukan. Neuron yang melepaskan neurotransmiter inhibitor mayor yaitu Gamma
Aminobutyric Acid

dan glisin. Dimana GABA dan glisin sensitif terhadap tetanospasmin

sehingga terjadi kegagalan pada respon reflek motor pada stimulasi sensorik. Penghambatan
ini disebabkan karena pemecahan synaptobrevin (protein yang berfungsi pada pelepasan
vesikel, sehingga mengurangi inhibisi dan meningkatkan kecepatan istirahat pada neuron.
(Stephen, 2014). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 5,6 dan 7.

Gambar 4: Vesikel sinap eksositosis


http://cshperspectives.cshlp.org/content/3/12/a005637/F2.expansion.html

15

Gambar 6: Vesikel Sinap normal dan yang dihambat tetanospasmin


http://www.uark.edu/misc/jdurdik/MechPATH/skinwn.html

Gambar 7. Mekanisma kerja tetanospasmin


https://www.studyblue.com/notes/note/n/lecture-9-infection-and-pathogenicity/deck/5968595
Pengaruh tetanospasmin terhadap pelepasan neurotransmiter dapat terjadi melalui
invasi saraf terminal, aksi potensial dependent calcium entry, dan peranan kalsium itu sendiri
terhadap pelepasan transmiter. Terdapatnya hambatan aliran kalsium oleh toksin juga dapat
menghambat pelepasan eurotransmiter, selain itu pelepasan transmiter dari saraf terminal
presinaps juga tergantung pada kalsium. Toksin diketahui dapat memodifikasi proses
mekanisme perubahan 4 Ca dependent menjadi 1 Ca dependent, bersamaan dengan
meningkatnya daya ikat kalsium. Vesikel sinaptik memerlukan 4 kalsium untuk dapat berataut
pada membran presinaps bagian dalam, untuk kemudian bergabung dan melepaskan

16

transmiter. Tetanospasmin ini merubah keadaan tadi menjadi 1 ca dependent, bersamaan


dengan menurunnya afinitas terhadap kalsium. Dengan demikian vesikel sinaps menjauhi
membran presinaps yang aktif dan neurotransmiter yang gagal dilepaskan. Hipotesa lain oleh
Gambale dan Montal, yang menyebutkan bahwa setelah toksin masuk ke dalam sel,
meniumbulkan passive cation channel yang menyebabkan sel tetap berdepolarisasi sehingga
mencegah

pelepasan

transmiter.

Sedangkan

Sanberg

dkk

mengemukakan

bahwa

tetanospasmin dapat menginhibisi pelepasan asetilkolin dari sel faeokromositoma adrenal


tikus dan mencegah akumulasi cGMP (cyclic guanosin monophosphate) (Idmgarut blogs,
2009).

BAB III
KESIMPULAN
1. Ternyata sel tidak selamanya dapat berkomunikasi secara mulus, karena pada
kenyataannnya ada penyakit yang timbul akibat adanya gangguan komunikasi sel.
Padahal komunikasi sel berfungsi untuk memelihara kondisi seimbang di dalam sel
(hemeostasis) guna memenuhi kebutuhan hidup sel dan menanggapi stimulus dari luar
sel.
2. Berbagai neurotransmitter yang ditemukan di sistem saraf yaitu excitatory
(acetylcholine,aspartate,dopamine,histamine ,norepinephrine,epinephrine ,glutamate,
serotonin ) dan Inhibitory (GABA,Glycine ) .
3. Untuk bisa berfungsi dengan baik, otot manusia harus bisa melakukan kontraksi dan
relaksasi. Untuk bisa melakukan kontraksi, sel-sel otot membutuhkan aliran sinyal
neurotransmitter acetylcholine yang berasal dari sel-sel saraf (neuron) motorik (motoneuron/alpha motoneuron) di sumsum tulang belakang (medulla spinalis). Untuk
bisa melakukan relaksasi, sel-sel -motoneuron di sumsum tulang belakang
membutuhkan penghambat (inhibitor) berupa neurotransmitter yang dikirimkan oleh
neuron lainnya, yaitu GABA (Gamma Amino Butiric Acid) dan Glycine.
4. Tetanospasmin yang merupakan zinc- dependent endopeptidase memecah vesicleassociated membrane protein II ( VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida
tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga
pemecahan ini mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur
inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan -amino butyric acid (GABA). Pada saat

17

interneuron menghambat motor neuron alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi


kegagalan menghambat refleks motorik sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak
terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot

berupa

spasme

otot yang tiba-tiba dan potensial merusak.


5. Pengaruh tetanospasmin terhadap pelepasan neurotransmiter dapat terjadi melalui
invasi saraf terminal, aksi potensial dependent calcium entry, dan peranan kalsium itu
sendiri terhadap pelepasan transmiter. Terdapatnya hambatan aliran kalsium oleh
toksin juga dapat menghambat pelepasan eurotransmiter, selain itu pelepasan
transmiter dari saraf terminal presinaps juga tergantung pada kalsium. Toksin
diketahui dapat memodifikasi proses mekanisme perubahan 4 Ca dependent menajadi
1 Ca dependent, bersamaan dengan meningkatnya daya ikat kalsium. Vesikel sinaptik
memerlukan 4 kalsium untuk dapat berataut pada membran presinaps bagian dalam,
untuk mkemudian bergabung dna melepaskan transmiter. Tetanospasmin ini merubah
keadaan tadi menjadi 1 ca dependent, bersamaan dengna menurunnya afinirtas
terhadap kalsium. Dengan demikian vesikel sinaps menjauhi membran presinaps yang
aktif dan neurotransmiter yang gagal dilepaskan. Hipotesa lain oleh Gambale dan
Montal, yang menyebutkan bahwa setelah toksin masuk ke dalam sel, menimbulkan
passive cation channel yang menyebabkan sel tetap berdepolarisasi sehingga
mencegah pelepasan transmiter. Sedangkan Sanberg dkk mengemukakan bahwa
tetanospasmin dapat menginhibisi pelepasan asetilkolin dari sel faeokromositoma
adrenal tikus dan mencegah akumulasi cGMP (cyclic guanosin monophosphate).

18

Daftar Pustaka
Aroma Arum, 2014. Dental Caries As A Risk Factor Of Teatanus. J.Medula Unila Volume 3
Nomer 2.
Behrman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak. Nelson. Volume 2.Jakarta: EGC. 2000
Contraction of skleletal muscle. http://samedical.blogspot.com/2010/07/contraction-ofskeletal-mus
Faal 1, Departemen Ilmu Faal ,Fakultas Kedokteran , Universitas Airlangga
Guyton, 2011. Guyton and Hall texbook of medical Psysiologi Twelfth Edition, Elsevier,Inc
Keadaan kontraksi dan relaksasi miofibril .https://sites.google.com/a/wdpsd.com/generalhuman-anatomy-and-physiology/updates/unit-5
Kevin Lim, 2004.The Neuromuscular Junction
Kiking Rirtawan, 2004. Tetanus, USU Digitaly Library
Mahadewa TGB, Maliawan S. Diagnosis & Tatalaksana Kegawat Daruratan Tulang
Belakang.Jakarta: CV Sagung Seto;2009
Muscular system, 2015.http://whs-anatomyphysiology.wikispaces.com/Muscular+System
Muscle contraction .http://yewbiotech.com/blog/muscle-contraction/
Mekanisma kerja tetanospasmin.http://www.uark.edu/misc/jdurdik/MechPATH/skinwn.html
Mardianto dkk, 2012, neurotransmitter
Paul s.Poli, 2011. Komunikasi sel.Penerbit Buku Kedokteran EGC
Ribbe, 2012. Infection and Phatogenicity
Synaptic Vesicle Exocytosis, Cold Spring Harbor Laboratory Press.

19

http://cshperspectives.cshlp.org/content/3/12/a005637/F2.expansion.html
Stephen, et al, 2014. Adjunctive Use of Ceftriaxone and Sodium Valproate in the
Management of Tetanus: A Case Report and Literature Review
Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek PM, editors.
Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005.p.1401-4.
Widodo, 2013. Neurotransmitter

Anda mungkin juga menyukai