Anda di halaman 1dari 22

BAB I

LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
Nama

: Tn. S

Umur

: 28 tahun

Jenis kelamin

: Laki -laki

Alamat

: Warujayen, Nganjuk

Pekerjaan

: Wiraswasta

Agama

: Islam

Tanggal konsul ke poli THT

: 22 November 2014

B. ANAMNESIS
Dilakukan auto-anamnesis pada tanggal 22 November 2014 pk. 09.30
WIB di ruangan Dahlia lantai 1 RSUD Nganjuk, dan didapatkan data
anamnesis sbb:
1. Keluhan Utama:
Nyeri tenggorok sejak 4 hari yang lalu.
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Nyeri tenggorok dirasakan semakin lama semakin sakit dan terjadi terus
menerus. Nyeri tenggoroknya berkurang pada saat tidur. Nyeri teliga
dirasakan pada kedua teliga bersamaan dengan nyeri tenggorok. Pasien
juga mengeluhkan demam sejak 6 hari yang lalu, tetapi panasnya sudah
menurut sejak masuk rumah sakit. Makan dan minum pasien terganggu,
pilek (-), mual (-), muntah (-) dan batuk (-).
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengalami penurunan pendengaran sejak 2 tahun yang lalu.
Penurunan pendengaran dirasakan pada kedua teliga. Teliga kanan dan
kiri juga terasa grubuk-grubuk. Pasien juga sebelum tidak ada trauma
kepala, cairan (-), darah (-), corpus alienum (-). Pasien juga pernah nyeri
tenggorok kurang lebih 1 tahun yang lalu tapi tidak sesakit sekarang.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami gejala yang sama dengan
pasien.
5. Riwayat Kebiasaan

Merokok (+), meminum alkohol (-), minum es (+), makan gorengan (+)
6. Riwayat Pengobatan Sebelumnya
Belum pernah berobat sebelumnya
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a. Keadaan umum
: Tampak sakit
b. Kesadaran
: Compos mentis
c. Tanda-tanda vital
: TD : 130/80 mmHg
N : 96x/mnt
S :38oC
RR : 18x/mnt
d. Kepala
: Dalam batas normal
e. Leher
: Inspeksi : Dalam batas normal
Palpasi : tidak dilakukan sehingga tidak
diketahui apakah ada pembesaran KGB
f. Thorax
: Dalam batas normal
g. Abdomen
: Dalam batas normal
h. Ekstremitas
: Dalam batas normal
2. Status Lokalis THT
a. Telinga
Deformitas daun telinga (-/-),
Nyeri tekan mastoid (-/-),
MAE : Hiperemi (-/-), sekret (-/-), serumen (-/-)
Tes garpu tala tidak dilakukan karena kondisi ruangan tidak
memungkinkan

b. Hidung
Inspeksi :
Deformitas (-/-)
Deviasi septum (-),
Epistaksis (-/-)
Palpasi :
Krepitasi (-/-)
Rinoskopi Anterior :
Sekret (-/-)
Vestibulum
Kanan
:Lapang, Rambut (+), mukosa hiperemis (-),
Kiri

sekret (-), masa (-)


: Lapang, Rambut (+), mukosa hiperemis (-),
sekret (-), masa (-)
2

Konka inferior
Kanan
: Oedem (-), Hiperemi (-)
Kiri
: Oedem (-), Hiperemi (-)
Konka media
: (sulit dievaluasi)
Konka superior
: (sulit dievaluasi)
Rinoskopi Posterior
Tidak dilakukan
Pemeriksaan Sinus Paranasal
Nyeri tekan : Pipi (-/-), dahi (-/-), pangkal hidung (-/-)

c. Mulut
Sianosis (-)
Bibir kering (-)
Uvula : miring ke kiri, hiperemis (+)
Dinding faring : hiperemis (+), granulasi(+), detritus (+), massa
(-)
Tonsil : T1-T1, kripta ka/ki melebar, detritus +/+, hiperemis +/+

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang dilakukan yaitu pemeriksaan darah lengkap.
E. RESUME

Pasien datang ke poli THT-KL dengan keluhan nyeri tenggorok. Nyeri


tenggorok dirasakan semakin lama semakin sakit dan terjadi terus menerus
dan bersamaan dengan nyeri teliga. Makan dan minum terganggu. Pasien
mengalami penurunan pendengaran sejak 2 tahun yang lalu. Penurunan
pendengaran dirasakan pada kedua teliga. Teliga kanan dan kiri juga terasa
grubuk-grubuk. Pasien juga pernah nyeri tenggorok kurang lebih 1 tahun
yang lalu tapi tidak sesakit dan demam sejak 6 hari yang lalu sebelum
datang ke poli.. Pasien sering merokok, minum es nutrisari, dan makan
gorengan.
Dari pemeriksaan fisik di dapatkan keadaan umum tampak sakit, tanda
vital suhu 38C, Pada pemeriksaan tonsil tampak hiperemi dan dapatkan
detritus dan kripta melebar pada kedua tonsil. Ovula tampak miring ke kiei
dan hiperemis. Pada pemeriksaan faring didapatkan mukosa faring
hiperemis, dinding faring posterior bergranula, dan terdapat detritus.
F. DIAGNOSIS KERJA
Tonsilofaringitis Kronik
G. PENATALAKSANAAN
Lokal
Obat kumur (antiseptik)
Sistemik
Pada faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya
streptococcus group A diberikan antibiotik yaitu Penicillin G Benzatin
50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau amoksisilin 50mg/kgBB dosis dibagi
3kali/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3x500mgselama 6-10 hari atau
eritromisin 4x500mg/hari. Selain antibiotik juga diberikan kortikosteroid
karena steroid telah menunjukan perbaikan klinis karena dapat menekan
reaksi inflamasi. Steroid yang dapat diberikan berupa deksametason 816mg/IM sekali dan pada anak-anak 0,08-0,3mg/kgBB/IM sekali. dan pada
pasien dengan faringitis akibat bakteri bila terdapat nyeri berlebih atau
demam dapat diberikan paracetamol atau ibuprofen dan dianjurkan pasien
untuk berkumur-kumur dengan menggunakan air hangat atau antiseptik.
Nasihat
Menggunakan obat secara teratur dan sesuai anjuran

Berhenti merokok dan mengurangi makan makanan yang banyak


mengandung minnyak.
Minum air hangat
Kontrol kembali ke poli THT jika keluhan bertambah berat atau obat
habis.
H. PROGNOSIS
Umumnya prognosis pasien dengan faringitis adalah
b a i k . P a s i e n d e n g a n f a r i n g i t i s biasanya sembuh dalam waktu 1-2
minggu.
I. KOMPLIKASI
Sinusitis
Otitis media
Abses peritonsil
Abses parafaring
Abses retrofaringeal
Epiglotitis
Laringitis
Peneumonia
Penyakit jantung rematik
Glomerulonefritis

BAB 2
ANATOMI FARING
A. ANATOMI FARING
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti
corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak
pada bagian anterior kolum vertebra.
Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke
esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan
dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga
mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah
berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan
esophagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih
14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang.
Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia
faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.
Faring

terbagi

atas

nasofaring,

orofaring

dan

laringofaring

(hipofaring). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa


blanket) dan otot.
B. FARING TERDIRI
Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian
bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke
belakang adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil,
mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur penting,

seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus
faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan
invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi
mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen
jugulare, yang dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus dan n.asesorius spinal
saraf cranial dan v.jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan
foramen laserum dan muara tuba Eustachius.
Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah
palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah
rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra sevikal. Struktur yang
terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine,
fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan
foramen sekum.
Laringofaring (Hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas
anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah
vertebra servikal. Struktur pertama yang tampak di bawah lidah ialah
valekula. Bagian ini merupakan dua cengkungan yang dibentuk oleh
ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral
pada tiap sisi. Valekula disebut juga kantong pil (pill pockets) sebab pada
beberapa orang, kadang kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ.
Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk
omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang
kadang bentuk infantile (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam
perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya.
Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi glotis ketika menelan minuman
atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan
ke esophagus.
Ruang Faringeal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinis
mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring.

Ruang retrofaring( Retropharyngeal space), dinding anterior ruang ini


adalah dinding belakang faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia
faringobasilaris dan otot otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang
dan fasia prevertebralis. Ruang ini mulai dari dasar tengkorak di bagian atas
sampai batas paling bawah dari fasia servikalis. Serat serat jaringan ikat di
garis tengah mengikatnya pada vertebra.Di sebelah lateral ruang ini
berbatasan dengan fosa faringomaksila.
Ruang parafaring (Pharyngomaxillary Fossa), ruang ini berbentuk
kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat foramen
jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di
bagian dalam oleh m. konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus
asenden mandibula yang melekat dengan m. pterigoid interna dan bagian
posterior kelenjar parotis. Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak
sama besarnya oleh os stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian
anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas dan dapat mengalami
proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk
mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. Bagian yang lebih sempit
di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis interna, v. jugularis interna,
n. vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis
(carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh sesuatu
lapisan fasia yang tipis.

Gambar 1 Anatomi Faring

C. UNSUR UNSUR FARING


Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi,tergantung pada letaknya. Pada
nasofaring karena fungsinya untuk

saluran respirasi,maka mukosanya

bersilia, sedang epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet.


Dibagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena fungsinya
untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia.
Disepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang
terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam system
retikuloendotelial. Oleh karena itu faring dapat disebut juga daerah
pertahanan tubuh terdepan.
Palut Lendir
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui
hidung. Dibagian atas,nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak
diatas silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia kebelakang. Palut
lendir ini berfungsi untuk menangkap pertikel kotoran yang terbawa oleh
9

udara yang diisap. Palut lendir ini mengandung enzim Lyzozyme yang
penting untuk proteksi.
Otot
Otot otot faring tersusun dalam lapisan melingkar ( sirkular) dan
memanjang ( longitudinal ). Otot otot yang sirkular terdiri dari muskulus
konstriktor faring superior, media dan inferior. Otot-otot ini terletak sebelah
luar. Otot-otot ini berbentuk kipas dan tiap bagian bawahnya tertutup
sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Disebelah depan otot-otot ini
bertemu satu sama lain dan dibelakang bertemu pada jaringan ikat yang
disebut rafe faring ( raphe phariyngitis). Kerja otot konstriktor untuk
mengecilkan lumen faring. Otot-otot ini dipersyarafi oleh nervus vagus
(N.X).
Otot-otot yang longitudinal adalah musculus stilofaring dan musculus
palatofaring. Letak otot-otot ini disebelah dalam. Musculus stilofaring
gunanya untuk melebarkan faring dan menarik laring,sedangkan musculus
palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan menaikan bagian bawah
faring dan laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai elevator. Kerja kedua
otot itu penting pada waktu menelan. Musculus stilofaring dipersyarafi oleh
nervus IX sedangkan musculus palatofaring dipersyarafi oleh nervus X.
Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu
dalam satu sarung fasia dari mukosa yaitu musculus levator veli palatine,
musculus tensor veli palatine,musculus palatoglosus, musculus palatofaring
dan musculus azigos uvula.
Musculus levator veli palatine membentuk sebagian besar palatum
mole dan kerjanya untuk menyempitkan ismus faring dan memperlebar
ostium tuba Eustachius. Otot ini dipersyarafi oleh nervus X.
Musculus tensor veli palatina membentuk tenda palatum mole dan
kerjanya untuk mengencangkan bagian anterior palatum mole dan membuka
tuba Eustachius. Otot ini dipersyarafi oleh nervus X. Musculus palatoglosus
membentuk arkus anterior faring dan kerjanya menyempitkan ismus faring.
Otot ini dipersyarafi oleh nervus X.
Musculus palatofaring membentuk arkus posterior faring. Otot ini
dipersyarafi oleh nervus X. Musculus azigos uvula merupakan otot yang
kecil, kerjanya memperpendek dan menaikan uvula ke belakang atas. Otot
ini dipersyarafi oleh nervus X.
10

Pendarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak
beraturan. Yang utama berasal dari cabang arteri karotis eksterna ( cabang
faring assendens dan cabang fausial ) serta dari cabang arteri maksila interna
yakni cabang palatine superior.
Persyarafan
Persyarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus
faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari nervus
vagus,cabang dari nervus glosafaring dan serabut simpatis. Cabang faring
dari N.vagus berisi serabut mototirk. Dari pleksus faring yang ekstensif ini
keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali musculus stilofaring
yang dipersyarafi langsung oleh cabang N.glosofaring (N.IX).
Kelenjar Getah Bening
Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran yakni superior,
media dan superior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah
bening retfrofaring dan kelenjar getah bening servical dalam atas. Saluran
limfa media mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-digastrik dan kelenjar
servical dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar
getah bening servical dalam bawah.
Fosa Tonsil

Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas
lateralnya adalah M.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut
kutub atas ( upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fosa
supra tonsil.. fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan
tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh
fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring,dan disebut kapsul yang
sebenarnya bukan merupakan kapsul yang sebenarnya.
Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang
oleh jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil
yaitu tonsil faringal ( adenoid ), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga
tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil
palatine yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada
kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa
kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar
11

lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya beranekaragam dan mempunyai


celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa
yang juga meliputi kriptus. Didalam kriptus biasanya ditemukan leukosit,
limfosit,epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan lateral
tonsil melekat pada fasia laring yang disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak
melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada
tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari A. palatine minor, A. palatine
asendens, cabang tonsil A. maksila eksterna, A. faring asendens dan
A.linguinal dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi
dua oleh ligamentum glosoepiglotis. Di garis tengah, disebelah anterior
massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk
oleh papilla sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan
penjalaran duktus triglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila
ada massa tiroid lingual ( Lingual thyroid ) atau kista duktus tiroglosus.

12

BAB III
TONSILOFARINGITIS
A. DEFINISI
Tonsilofaringitis merupakan peradangan pada faring atau tonsil
ataupun keduanya yang disebabkan oleh bakteri dan juga oleh virus ditandai
dengan keluhan nyeri tenggorok
B. ETIOLOGI
Virus merupakan etiologi terbanyak dari faringitis akut terutama pada
anak berusia 3 tahun. Virus penyebab penyakit respiratori seperti
adenovirus, rhinovirus, dan virus parainfluenza dapat menjadi penyebabnya.
Streptococcus beta hemolitikusgrup A adalah bakteri terbanyak penyebab
penyakit faringitis atau tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup 1530%

pada

anak

sedangkan

pada

dewasa

hanya

sekitar

5-10%

kasus.mikroorganisme seperti klamidia dan mikoplasma dilaporkan dapat


menyebabkan infeksi, tetapi sangat jarang terjadi.
Faringotonsilitis kronik memiliki faktor predisposisi berupa radang
kronik di faring,seperti rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok,
minum alcohol, inhalasiuap dan debu, beberapa jenis makanan, hygiene
mulut yang buruk, pengaruh cuaca,kelelahan fisik, dan pengobatan tonsillitis
akut sebelumnya yang tidak adekuat
C. PATOGENESIS
Bakteri dan virus masuk dalam tubuh melalui saluran nafas bagian atas
akan menyebabkan infeksi pada hidung atau faring kemudian menyebar
melalui sistem limfa ke tonsil. Adanya bakteri dan virus patogen pada tonsil
menyebabkan terjadinya proses inflamasi dan infeksi sehingga tonsil
13

membesar dan dapat menghambat keluar masuknya udara. Infeksi juga


dapat mengakibatkan kemerahan dan edema pada faring serta ditemukannya
eksudat berwarna putih keabuan pada tonsil sehingga menyebabkan
timbulnya sakit tenggorokan, nyeri telan, demam tinggi dan bau mulut serta
otalgia.
Faringitis Streptococcus beta hemolitikus grup A (SBHGA) adalah
infeksi akut orofaring dan atau nasofaring oleh SBHGA. Penyebaran
SBHGA memerlukan penjamu yang rentan dan difasilitasi dengan kontak
yang erat. Faringitis akut jarang disebabkan oleh bakteri, diantara penyebab
bakteri tersebut, SBHGA merupakan penyebab terbanyak. Streptococcus
grup C dan D telah terbukti dapat menyebabkan epidemi faringitis akut,
sering berkaitan dengan makanan dan air yang terkontaminasi. Pada
beberapa kasus dapat menyebabkan glomerulonefritis akut (GNA).
Organisme ini lebih sering terjadi pada usia dewasa.
Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvaasi mukosa
faring yang kemudian menyebabkan respon peradangan lokal. Rhinovirus
menyebabkan iritasi mukosa faring sekunder akibat sekresi nasal. Sebagian
besar peradangan melibatkan nasofaring, uvula dan palatum mole.
Perjalanan penyakitnya adalah terjadi inokulasi dari agen infeksius di faring
yang menyebabkan peradangan lokal, sehingga menyebabkan eritema
faring, tonsil, dan keduanya. Infeksi Streptococcus ditandai dengan invasi
lokal serta pelepasan toksin ekstraseluler dan protease. Transmisi dari virus
yang khusus dan SBHGA terutama terjadi akibat kontak tangan dengan
sekret hidung dibandingkan dengan kontak oral. Gejala akan tampak setelah
masa inkubasi yang pendek yaitu 24 72 jam (Suardi, 2010).
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat
secara langsung menginvasi mukosa faring menyebabkan respon inflamasi
lokal. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis
maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang
dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat
hiperemi, kemudian edema dan sekresi yang meningkat.
Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan kemudian
cendrung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan

14

hiperemi, pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan


yang berwarnakuning, putih atau abu-abu terdapat dalam folikel atau
jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada
dinding faring posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjad imeradang dan
membengkak. Virus-virus seperti Rhinovirus dan Corona virus dapat
menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa faring akibat sekresi nasal.
Infeksi streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi lokal dan
pelepasan extracellular toxins dan protease yang dapat menyebabkan
kerusakan jaringan yang hebat karenafragmen M protein dari Group A
streptococcus memiliki struktur yang sama dengan sarkolema pada myocard
dan dihubungkan dengan demam rheumatic dan kerusakan katub jantung.
Selain itu juga dapat menyebabkan akut glomerulonefritis karena fungsi
glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi.
D. KLASIFIKASI FARINGITIS
1. Faringitis Akut
a. Faringitis viral
Disebabkan oleh rinovirus yang dapat menimbulkan gejala rhinitis
dan beberapa hari kemudian akan menimbulkan faringitis. Gejalanya
berupa demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan.
Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis.
b. Faringitis bakterial
Infeksi grup A Streptokokus B hemolitikus merupakan penyebab
faringitis akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%).
Pasien mengalami nyeri kepala, muntah, kadang-kadang demam
dengan suhu yang tinggi. Pada pemeriksaan tampak tonsil
memebesar, faring dan

tonsil hiperemis. Kelenjar limfa leher

anterior membesar, kenyal, dan nyeri tekan.


2. Faringitis Kronis
Faringitis kronis hiperplastik
Faktor Predisposisi :
Rinitis kronis dan sinusitis
Inflasi kronik yang dialami perokok dan peminum alkohol
Inhalasi uap yang merangsang
Infeksi
Daerah berdebu
Kebiasaan bernafas melalui mulut
Manifestasi Klinis :

15

Rasa gatal, kering dan berlendir yang sukar dikeluarkan dari


tenggorokan
Batuk serta perasaan mengganjal di tenggorokan
Pemeriksaan Fisik :
Penebalan mukosa di dinding posterior faring
Hipertrofi kelenjar limfe di bawah mukosa
Mukosa dinding faring posterior tidak rata (granuler)
Lateral band menebal
Penatalaksanaan :
Dicari dan diobati penyakit kronis di hidung dan sinus paranasal
Local dapat dilakukan kaustik dengan zat kimia (nitras argenti,
albothyl) atau dengan listrik (elektrokauter)
Sebagai simptomatik diberikan obat kumur atau isap, obat batuk
(antitusif atau ekspektoran).
Faringitis kronis atrofi
Faringitis yang timbul akibat rangsangan dan infeksi pada laring karena
terjadi rhinitis atrofi, sehingga udara pernafasan tidak diatur suhu dan
kelembabannya sehingga menimbulkan rangsangan infeksi pada faring.
Manifestasi Klinis :
Tenggorokan terasa kering dan tebal
Mulut berbau
Pemeriksaan Fisik :
Pada mukosa faring terdapat lendir yang melekat, dan bila lendir itu
diangkat akantampak mukosa dibawahnya kering.
Penatalaksanaan :
Terapi sama dengan rhinitis atrofi, ditambah obat kumur, obat
simtomatik dan menjaga hygiene mulut.
3. Tonsilitis Akut
a. Tonsillitis viral
Gejala tomsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai
rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus
Epstein Barr. Hemofilus influenza merupakan peyebab tonsillitis
akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada
pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada
palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien.
Terapi
Istirahat , minumcukup, analgetika, dan antivirus diberikan jika
gejala berat.
b. Tonsilitis bakterial

16

Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptococcus


beta hemolyticus yang dikenal sebagai strept throat, pneumokokus ,
streptococcus viridian dan streptococcus piogenes. Infiltrat bakteri
pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang
berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk
detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang
mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi
kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak kuning.
Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis
folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu membentuk
alur-alur maka akan terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak detritus ini
juga dapat melebar sehingga terbentuk semacam membarn semu (
pseudo membrane ) yang menutupi tonsil.
Tanda dan gejala
Masa incubator 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering ditemukan
adalah nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan
suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak
nafsu makan dan rasa nyeri di telinga ( otalgia ). Rasa nyeri ditelinga
ini karena nyeri alih ( referred pain) melalui syaraf n.glosofaringeus
(n. IX). Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis
dan terdapat detritus berbentuk folikel, lacuna atau tertutup oleh
membrane semu. Kelenjar mandibula membengkak dan nyeri tekan.
Terapi
Antibiotika spectrum lebar penisilin, eritromisin. Antipiretik dan
obat kumur yang mengandung desinfektan.
Komplikasi
Pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut,
sinusitis, abses peritonsil ( Quincy thorat), abses parafaring,
bronchitis

glomerulonefritis

akut,

miokarditis,

arthritis

serta

septicemia akibat infeksi v.jugularis interna (sindrom Lemierre).


Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernapas melalui
mulut, tidur mendengkur ( ngorok) , gangguan tidur karena
terjadinya sleep apnea yang dikenal sebagai Obstructive Sleep
Apnea Syndrome ( OSAS).
17

4. Tonsilitis Kronik
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik adalah rangsangan yang
menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca , kelelahan fisik dan penobatan tonsillitis akut yang
tidak adekuat. Kuman penyebabnya sma dengan tonsillitis akut tetapi
kadang-kadang kuman berubah menjadi kuman golongan gram negatif.
Patologi
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa
juga jarinagn limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan
jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami
pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi
oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan
akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa
tonsilaris. Pada anak prose ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submandibula.
Gejala dan tanda
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang
tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Rasa
ada yang mengganjal ditenggorokan , dirasakan kering ditenggoroakn
dan napas berbau
Terapi
Terapi local ditunjukan pada hygene mulut dengan berkumur atau obat
isap.
Komplikasi
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah
sekitarnya berupa rhinitis krinik, sinusitis atau otitis media secara
percontinuitatum. Kompliaksi jauh terjadi secara hematogen atau
limfogen dan dapat timbul endocarditis, arthritis, miositis, nefritis,
uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan furunkulosis.
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik,
gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma.
Indikasi tonsilektomi
The American Academy of Otolaryngology Head and Surgery Clinical
Indicator Compendium tahun 1995 menerapkan:
1. Serangan tonsillitis lebih dari tiga kali pertahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat.

18

2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan


menyebabkan ganguan pertumbuhan orofasial.
3. Sumbatan jalan napas yang beruba hipertofi tonsil dengan sumbatan
jalan napas ,sleep apnea , gangguan menelan, gangguan berbicara,
dan cor pulmonale
4. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang
tidak berhasil hilang dengan pengobatan
5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
6. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A
streptococcus beta hemoliticus.
7. Hipertofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
8. Otitis media efusa / otitis media supuratif.
E. GEJALA KLINIS
Gejala faringitis yang khas akibat bakteri Streptococcus berupa nyeri
tenggorokan dengan onset mendadak, disfagia, dan demam. Urutan gejala
yang biasanya dikeluhkan oleh anak berusia diatas 2 tahun adalah nyeri
kepala, nyeri perut, dan muntah. Selain itu juga didapatkan demam yang
dapat mencapai suhu 400 C, beberapa jam kemudian terdapat nyeri
tenggorokan. Gejala seperti rinorea, suara serak, batuk, konjungtivitis, dan
diare biasanya disebabkan oleh virus. Pada pemeriksaan fisik, tidak semua
klien tonsilofaringitis akut Streptococcus menunjukkan tanda infeksi
Streptococcus, yaitu eritema pada tonsil dan faring yang disertai dengan
pembesaran tonsil.
Tonsilofaringitis akut Streptococcus sangat mungkin jika dijumpai tanda dan
gejala sebagai berikut:
1. Awitan akut, disertai mual dan muntah.
2. Terdapat nyeri pada tenggorokan
3. Nyeri ketika menelan
4. Kadang disertai otalgia (sakit telinga)
5. Demam tinggi
6. Anoreksia
7. Malaise
8. Kelenjar limfa leher membengkak
9. Pada pemeriksaan tenggorokan ditemukan faring yang hiperemi,
pembesaran tonsil disertai hiperemia, kadang didapatkan bercak
kuning keabu-abuan yang dapat meluas membentuk seperti
membran. Bercak menutupi kripta dan terdiri dari leukosit, sel epitel
yang sudah mati dan kuman pathogen.

19

Pada tonsilofaringitis akibat virus, dapat juga ditemukan ulkus di


palatum mole dan dinding faring serta eksudat di palatum dan tonsil, tetapi
sulit dibedakan dengan eksudat pada tonsilofaringitis akibat Stretococcus.
Gejala yang timbul dapat menghilang selama 24 jam, berlangsung 4 10
hari.
Tanda klinis pada tonsilitis kronis yang sering muncul adalah kripta
yang melebar, pembesaran kelenjar limfe submandibula dan tonsil yang
mengalami perlengketan. Tanda klinis tidak harus ada seluruhnya, minimal
ada kripta yang melebar dan pembesaran kelenjar limfe submandibula.
Disebutkan dalam penelitian lain bahwa adanya keluhan rasa tidak nyaman
di tenggorokan, kurangnya nafsu makan, berat badan yang menurun,
palpitasi mungkin dapat muncul. Bila keluhan-keluhan ini disertai dengan
adanya hiperemi pada plika anterior, pelebaran kripta tonsil dengan atau
tanpa debris dan pembesaran kelenjar limfe jugulodigastrik maka diagnosa
tonsilitis kronis dapat ditegakkan.
Pada pemeriksaan tampak mukosa faring merah dan tidak rata akibat
adanya hiperplasia dari jaringan limfatik pada dinding posterior faring
(hipertrofi). Mukosa faring juga bisa tampak halus, dan mengkilat pada
beberapa kasus (atrofi). Melalui pemeriksaan hidung harus dipastikan tidak
adanya obstruksi jalan nafas di hidung yang dapat menjadi penyebab
faringitis kronis, ataupun adanya kelainan-kelainan lain seperti deviasi
septum atau hiperplasi konka.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan darah :
1. LED tinggi sekali
2. Lekositosis
3. Nilai hemoglobin dapat rendah
4. PCR meningkat
B. Pemeriksaan bakteriologi
Biakan hapus tenggorokan untuk membuktikan adanya kuman
streptococcus
C. Pemeriksaan serologi
Titer ASTO, Antistreptokinase, Antihyaluronidase
D. Elektrokardiogram
Pada demam reumatik/penyakit jantung reumatik dapat menunjukkan
berbagai kelainan sesuai dengan kelainan jantungnya.Yang paling sering

20

ditemukan ialah pemanjangan interval PR,yang dianggap sebagai salah


satu gejala minor.
E. Echocardiografi
Untuk melihat kondisi katup-katup jantung dan otot jantung.
G. PENATALAKSANAAN
Tujuan dari pemberian terapi ini adalah untuk mengurangi gejala dan
mencegah terjadinya komplikasi Pada faringitis akibat bakteri terutama bila
diduga penyebabnya streptococcus group A diberikan antibiotik yaitu
Penicillin G Benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau amoksisilin
50mg/kgBB dosis dibagi 3kali/hari selama 10 hari dan pada dewasa
3x500mgselama 6-10 hari atau eritromisin 4x500mg/hari. Selain antibiotik
juga diberikan kortikosteroid karena steroid telah menunjukan perbaikan
klinis karena dapat menekan reaksi inflamasi. Steroid yang dapat diberikan
berupa deksametason 8-16mg/IM sekali dan pada anak-anak 0,080,3mg/kgBB/IM sekali. dan pada pasien dengan faringitis akibat bakteri bila
terdapat nyeri berlebih atau demam dapat diberikan paracetamol atau
ibuprofen

dan

dianjurkan

pasien

untuk

berkumur-kumur

dengan

menggunakan air hangat atau antiseptik.


Pada viral faringitis pasien dianjurkan untuk istirahat, minum yang
cukup dan berkumur dengan air yang hangat. Analgetika diberikan jika
perlu. Antivirus metisoprinol (isoprenosine)diberikan pada infeksi herpes
simpleks

dengan

dosis

60-100mg/kgBB

dibagi

dalam

4-6

kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak <5 tahun diberikan
50mg/kgBb dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari.
Pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan terapi lokal dengan
melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan nitras argenti
atau dengan listrik (electro cauter ). Pengobatan simptomatis diberikan obat
kumur, jika diperlukan dapat diberikann obat batuk antitusif atau ekspetoran.
Penyakit pada hidung dan sinus paranasal harus diobati. Pada faringitis
kronik atrofi pengobatannya ditujukan pada rhinitis atrofi dan untuk
faringitis kronik atrofi hanyaditambahkan dengan obat kumur dan pasien
disuruh menjaga kebersihan mulut.

21

Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik,


gejala sumbatan, serta kecenderungan neoplasma. The American Academy
of Otolaryngology Head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium
tahun 1995 menetapkan indikasi tonsilektomi adalah sebagai berikut :
1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali pertahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat,
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial,
3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan
jalan napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan bicara, dan cor
pulmonale
4. Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang
tidak berhasil hilang dengan pengobatan,
5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan,
6. Tonsiliitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococus
hemolitikus,
7. Hipertropi tonsil yang dicurigai adanya keganasan,
8. Otitis media efusi / otitis media supuratif
H. KOMPLIKASI
Sinusitis
Otitis media
Abses peritonsil
Abses parafaring
Abses retrofaringeal
Epiglotitis
Laringitis
Peneumonia
Penyakit jantung rematik
Glomerulonefritis

22

Anda mungkin juga menyukai