Anda di halaman 1dari 3

POLITIK ISLAM DALAM ERA DEMOKRASI LIBERAL

Era demokrasi liberal ditandai dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah ( yang


kemudian terkenal dengan Maklumat X Bung Hatta, karena ditandatangani oeh Bung Hatta) No.
X pada 16 Oktober 1945 dan Maklumat 3 November 1945. Maklumat X berisi tentang
perubahan sistem pemerintahan Indonesia dari presidensial ke bentuk parlementer. Adapun
Maklumat 3 Noveber 1945 berisi tentang diberinya kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk
mendirikan partai-partai guna menyalurkan aspirasi politiknya.
Dengan sistem parlementer ini, Indonesia mengalami gonta-ganti kabinet. Usia kabinet
tidak bertahan lama, karena sering mengalami mosi tidak percaya ditengah jalan dan akhirnya
jatuh. Namun dalam sistem inilah Indonesia menampung banyak partai yang akan ikut
sertadalam Pemilu 1955. Dalam sistem ini pula umat islam mendapat kesempatan lagi untuk
memperjuangkan aspirasi mereka yang sebelumnya kandas oleh konsensus politik pada 1945.
29 September 1955, pemilu pertama di Indonesia dapat dilaksanakan. Pemilu ini diikuti
oleh banyak partai dengan latar belakang politik dan ideologi. Ada 39 partai politik yang ikut
dalam pemilu ini yang dipandang paling demokratis di Indonesia. Selain itu, terdapat pula 46
kelompok organisasi, 59 orang mewakili perorangan, dan 34 kelompok kumpulan. Semua
memperebutkan 257 kursi dari 15 daerah pilihan.
Dari pemilu ini, setidaknya ada tiga ideologi yang meraih suara terbesar dan akan
bersaing di Konstituante nantinya. Katiganya yaitu, Islam, nasionalis, dan komunis. Dikalangan
islam, partai-partai yang meraih suara dan kursi di Konstituante antara lain, Masyumi 7.798.619
suara (20,9% atau 57 kursi), NU 6.989.333 ( 18,4% atau 45 kursi), PSII 1.059.922 suara (2,9%
atau 8 kursi), Perti 465.359 ( 1,3% atau 4 kursi) dan PPTI 74.913 (0,2% atau 1 suara). Kalangan
nasionalis yang diwakili PNI memperoleh 9.070.218 suara (22,3% atau 57 kursi) dan PKI
memeperoleh 6.232.512 suara (16,4% atau 39 kursi).
Dari perolehan kursi tersebut, kalau disederhanakan, maka ada empat kekuatan partai
ketika itu, yaitu PNI, MASYUMI, NU, dan PKI. Meskipun partai-partai islam bersaing dalam
memperebutkan pengaruh di majelis konstituante mereka memeliki suara bulat untuk
memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Mereka berhadapan dengan partai-partai nasionalis
sekuler yang memperjuangkan Pancasil, seperti PNI,PSI, Partai Katolik, Parkindo, IPKI, dan
PKI. Sebenarnya ada satu ideologi lagi, yakni social ekonomi yang diperjuangkan Partai Buruh
dan Partai Murba, namun suara mereka tidak cukup berpengaruh. Dalam perkebangannya hanya
dua ideologi yang bertarung di Konsituante.
Pertarungan ideologi di Konsituante benar-benar bebas dan jauh dari tekanan-tekanan.
Masing-masing pihak leluasa mengeluarkan pandangan dan pendiriannya. Dipihak Islam, partaipartai yang membela islam sebagai dasar negra, seperti Masyumi, NU, PSII, dan Perti memiliki
satu suara. Mereka bias sejenak melupakan perbedaan dan persaingan untuk menghadapi
permasalahan yang krusial.

Dibeberapa daerah di Indonesia mulai muncul gerakan separatism dan mengatasnamakan


Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Di Jawa Barat, gerakan DI/TII ini dipimpin oleh
SM. Kartosuwirjo. Pada 7 Agustus 1949, ia memproklamasikan Negara Islam Indonesia di desa
Cisampang, Jawa Barat. DI/TII dan Kartosuwirjo melakukan kegiatan-kegiatan yang menggangu
republik. Ia dipandang sebagai Ratu Adil yang dapat membebaskan rakyat dari kesengsaraan dan
ketidakadilan.
Gerakan DI/TII juga berkebang didaerah-daerah lain, seperti Aceh, Jawa Tengah,
Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan. Di Aceh pemberontakan DI/TII dipimpin oleh Tengku
Daud Beureueh dan dimulai pada September 1953.
Di Jawa Tengah gerakan DI/TII dipimpin oleh Amir Fatah Wijayakusuma dan proklamasikan
pada akhir April 1949.
Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakkar dan dipicu
oleh ketidak senangannya terhadap pemerintah pusat. Ia dengan pangkat kolonel diperintahkan
untuk menertibkan pasukan gerilya di Makasar yang belum mau bergabung ke republik (TNI).
Sementara di Kalimantan Selatan, pemberontakan DI/TII dipimpin oleh Ibnu Hajar dan
terpusat di Kabupaten Hulusungai.
POLITIK ISLAM ERA DEMOKRASI TERPIMPIN
Berakhirnya era demokrasi liberal sejak keluarnya dekrit Presiden 1959 menandai
bermuanya era baru politik Indonesia yang disebut dengan era baru terpimpin.
Era ini dapat dianggap sebagai masa-masa sulit bagi partai islam. Setelah mengeluarkan dekrit,
Soekarno yang sudah terobsesi untuk menjadi penguasa mutlak di Indonesia memaksa
pembubaran partai masyumi pada 17 Agustus 1960.
Partai Masyumi, sebagaimana diungkapkan diatas dipaksa membubarkan diri karena dianggap
oposisi dan menentang revolusi yang menurut Soekarno belum selesai.
Masyumi dianggap duri dalam daging yang menggangu jalannya revolusi kita dan harus
disingkirkan. Masyumi adalah ujung tombak penegak demokrasi yang hendak dikuburkan
Soekarno melalui demokrasi terpimpin. Karenanya Soekarno mengambil sikap tegas untuk
membungkam tokoh-tokoh Masyumi. Banyak mantan tokoh Masyumi seperti, Mohammad
Natsir, Hamka, Burhanuddin Harahap, Mohammad Yunan Nasution, prawoto Mangkusaswito,
Isa Anshari dan Sjafruddin Parwiranegara yang mendekam dalam penjara tanpa proses hokum
yang wajar akibat perlawanan terhadap Soekarno.
NU, PSII dan Perti berusaha menyesuaikan diri dengan demokrasi ala Soekarno tersebut. Mereka
bersikap akomodatif sehingga bias hidup berdampingan dengan Soekarno dan bertahan dalam

alam demokrasi terpimpin Soekarno. NU adalah partai yang paling besar diantara ketiganya,
karena dapat dianggap sebagai pendukung utama setiap gagasan Soekarno.
Tokoh-tokoh NU yang ikut ambil bagian dalam demokrasi terpimpin ini antara lain: K.H.
Idham Chalid, K.H Achmad Sjaikhu dan K.H Saifudin Zuhri. K.H Idham Chalid menyatakan
bahwa masuk kedalam sistem demokrasi terpimpin adalah sesuai dengan hukum Allah.
Perjuangan politik islam dibumi Indonesia ini pun mengalami kegagalan kembali.
Kegagalan ini setidaknya disebabkan oleh tiga factor utama. Pertama dikalangan partai islam
sendiri tidak terdapat kata sepakat dalam menghadapi politik saat itu. Kedua, dari sudut historis ,
perpecahan ini tidak terlepas dari pertentangan paham antara kelompok modernis dan
tradisionalis yang sudah berjalan terutama sejak pertengahan abad ke-19. Ketiga, perpecahan
dipartai-partai islam dibaca dengan sangat jeli oleh Soekarno. Karenanya, ia memainkan politik
beah bumbu mengangkat yang satu menginjak yang lain.

Anda mungkin juga menyukai