Anda di halaman 1dari 20

I.

PENDAHULUAN
Bronkiolitis akut adalah infeksi saluran pernafasan bawah akut dengan gejala utama
akibat peradangan bronkioli yang terutama disebabkan oleh virus. (1) Sering mengenai anak usia
dibawah satu tahun dengan insiden tertinggi umur 6 bulan,

(2,3)

Bronkiolitis akut yang terjadi

dibawah umur satu tahun kira-kira 12 % dari seluruh kasus, sedangkan pada tahun kedua lebih
jarang lagi, yaitu sekitar setengahnya. Penyakit ini menimbulkan morbiditas infeksi saluran
pernafasan bawah terbanyak pada anak. Penyebab yang paling banyak adalah virus
Respiratory Syncytial, kira-kira 45 55 % dari total kasus. Sedangkan virus lain seperti
Parainfluenza, Rhinovirus, Adenovirus dan Enterovirus sekitar 20%.(2)
Bakteri dan Mikoplasma sangat jarang menyebabkan bronkiolitis pada bayi. (2,4)Belum ada
bukti bahwa bakteri sebagai penyebab bronkiolitis.(1,4) Sekitar 70 % kasus bronkiolitis pada bayi
terjadi gejala yang berat sehingga harus dirawat dirumah sakit, sedangkan sisanya dirawat
dipoliklinik. Sebagian besar infeksi saluran nafas ditularkan lewat droplet infeksi. Infeksi primer
oleh virus RSV biasanya tidak menimbulkan gejala klinik, tetapi infeksi sekunder pada anak
tahun-tahun pertama kehidupan akan bermanifestasi berat.(2)
Sebanyak 11,4 % anak berusia dibawah 1 tahun dan 6 % anak berusia 1 2 tahun di AS
pernah mengalami bronkiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000 kasus perawatan di RS dan
menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya. Bronkiolitis merupakan 17 % dari semua kasus
perawatan di RS pada bayi. Frekuensi bronkiolitis dinegara-negara berkembang hampir sama
dengan di Amerika Serikat. Insiden terbanyak terjadi pada musim dingin atau musim hujan di
negara-negara tropis.(4)
Diagnosis bronkiolitis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis. Keadaan tersebut harus
dibedakan dengan asma yang kadang-kadang juga timbul pada usia muda. Anak dengan asma
akan memberikan respon terhadap pengobatan dengan bronkodilator, sedangkan anak dengan
bronkiolitis tidak. Bronkiolitis juga harus dibedakan dengan bronkopneumonia yang disertai
enfisema obstruktif dan gagal jantung.(3)
Bronkiolitis virus dapat menyebabkan infeksi pernafasan berat pada masa kanak-kanak.
Walaupun demikian pada kondisi yang terbatas seringkali tidak memerlukan pengobatan. Pada
jumlah yang sedikit anak yang mendapatkan pengobatan penanganan utama termasuk
pemberian oksigen dan cairan yang adekuat dan pengawasan hati-hati untuk mendeteksi
sebagian anak yang mungkin memerlukan intervensi lebih.(5)
Infeksi oleh respiratory syncitial virus (RSV) memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi
terutama pada anak dengan resiko tinggi dan imunokompromise. Oleh karena itu langkah
preventif dilakukan dengan pemberian imunisasi aktif dan pasif. Saat ini juga sedang
dikembangkan vaksin virus. Usaha untuk mengembangkan vaksin virus hidup yang dilemahkan

(attenuated live viral vaccines) mengalami hambatan karena imunogenositas yang rendah dan
kecenderungan virus untuk berubah kembali menjadi tipe liar.(6)
Bronkhiolitis yang disebabkan oleh virus jarang terjadi pada masa neonatus. Hal ini
karena antibodi neutralizing dari ibu masih tinggi pada 4 6 minggu kehidupan, kemudian akan
menurun. Antibodi tersebut mempunyai daya proteksi terhadap infeksi saluran nafas bawah,
terutama terhadap virus.(2)
Prognosis dari bronkiolitis tergantung berat ringannya penyakit, cepatnya penangangan
dan penyakit latar belakang (penyakit jantung, defisiensi imun dan prematuritas).(1)

II.

DEFINISI
Bronkhiolitis adalah penyakit IRA bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada
bronkiolus.(1,2,4) yang sering di derita bayi dan anak kecil yang berumur kurang dari 2 tahun.
(3,7,8)

angka kejadian tertinggi rata-rata ditemukan pada usia 6 bulan (2,3) secara klinis ditandai

dengan pernafasan cepat, retraksi dinding dada dan whezing. (4,8) bronkhiolitis bisa disertai
dengan superinfeksi bakteri.(1)

http://www.nlm.nih.gov/MEDLINEPLUS/ency/imagepages/17098.htm

III.

ETIOLOGI
Bronkiolitis sebagian besar disebabkan oleh Respiratory syncytial virus(RSV)(1,3,4,7), penyebab
lainnya adalah parainfluenza virus, Eaton agent (mycoplasma pneumoniae), adenovirus dan
beberapa virus lainnya.(1,3,7) tetapi belum ada bukti kuat bahwa bronkhiolitis disebabkan oleh
bakteri.(1,4)

Pada tahun 1957 Chanock dan Finberg mengisolasi RSV dari 2 orang anak yang menderita
penyakit saluran pernafasan bagian bawah. Beem dan rekan kerjanya pada tahun 1960
mengidentifikasi

virus

tersebut

mula-mula

diisolasi

dari

simpanse

dan

disebut

dengan chimpanze coryza agent pada anak belia usia dibawah 2 tahun dengan penyakit
saluran pernafasan bawah. Sesudah itu RSV ditemukan sebagai agen penyebab pada
sebagian besar kasus anak dengan bronkhiolitis baik sebelumnya maupun saat ini. Human
metapneumovirus sekarang menjadi penyebab 8 % dari bronkhiolitis, dimana sebelumnya RSV
ditemukan negatif. Infeksi oleh virus lainnya terutama rhinovirus, adenovirus, semua tipe
parainfluenza virus, enterovirus dan influenza virus telah diringkas oleh Hall dan Hall.(8)

IV.

EPIDEMIOLOGI
Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratory tersering pada bayi. Paling sering terjadi pada
usia 2 24 bulan, puncaknya pada usia 2 8 bulan. Sembilan puluh lima persen kasus terjadi
pada anak berusia dibawah 2 tahun dan 75 % diantaranya terjadi pada anak dibawah usia 1
tahun. Orenstein menyatakan bahwa bronkiolitis paling sering terjadi pada bayi laki-laki berusia
3 6 bulan yang tidak mendapatkan ASI, dan hidup dilingkungan padat penduduk. Selain
Orenstein, Louden menyatakan bahwa bronkiolitis terjadi 1,25 kali lebih banyak pada anak lakilaki daripada anak perempuan. Dominasi pada anak laki-laki yang dirawat juga disebutkan oleh
Shay, yaitu 1,6 kali lebih banyak daripada anak perempuan; sedangkan Fjaerli menyebutkan
63% kasus bronkiolitis adalah laki-laki.(4)
Sebanyak 11,4 % anak berusia dibawah 1 tahun dan 6 % anak berusia 1 2 tahun di AS
pernah mengalami bronkhiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000 kasus perawatan di rumah
sakit dan menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya. Bronkiolitis merupakan 17 % dari
semua kasus perawatan di RS pada bayi. Frekuensi bronkiolitis di negara-negara berkembang
hampir sama dengan di AS. Insiden terbanyak terjadi pada musim dingin atau pada musim
hujan di negara-negara tropis.(4,9)
Di RSU Dr. Soetomo penderita laki-Iaki lebih banyak. Faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah
jenis kelamin laki-laki, status sosial ekonomi rendah, jumlah anggota keluarga yang besar,
perokok pasif, berada pada tempat penitipan anak atau ke tempat-tempat umum yang ramai,
rendahnya antibodi maternal terhadap RSV, dan bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu.
RSV menyebar melalui droplet dan inokulasi/kontak langsung, seseorang biasanya aman
apabila berjarak lebih 6 feet dari seseorang yang menderita infeksi RSV. Droplet yang besar
dapat bertahan di udara bebas selama 6 jam, dan seorang penderita dapat menularkan virus
tersebut selama 10 hari. Di negara dengan 4 musim, bronkiolitis banyak terdapat pada musim
dingin sampai awal musim semi, di negara tropis pada musim hujan. Di Bagian Ilmu Kesehatan
Anak RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2002 dan tahun 2003, bronkiolitis banyak
didapatkan pada bulan Januari sampai bulan Mei.(10)

Pada tahun 2005 pada pola rawat jalan umur < 1 tahun di rumah sakit Pemerintah Provinsi
NAD didapatkan angka 355 kasus atau sekitar 8,62 % kasus bronkhitis dan bronkiolitis akut.
Pada usia 1 - 4 tahun kasus yang sama didapatkan angka 544 atau 12 %, usia 5 14 tahun
578 kasus atau 9,74 %, usia 15 24 tahun 789 kasus atau 10.8 %, usia 25 44 tahun 566
kasus atau 7,6 %, usia 45 64 tahun 388 kasus atau 9,5 %, usia > 65 tahun 558 kasus atau
10.8 %.(11)
Rerata insidens perawatan setahun pada anak berusia di bawah 1 tahun adalah 21,7 per 1000
dan semakin menurun seiring dengan pertambahan usia, yaitu 6,8 per 1000 pada usia 1 2
tahun. Lama perawatan adalah 2 4 hari, kecuali pada bayi prematur dan kelainan bawaan
seperti penyakit jantung bawaan (PJB). Bradley menyebutkan bahwa penyakit akan lebih berat
pada bayi muda. Hal ini ditunjukkan dengan lebih rendahnya saturasi O2 juga pada bayi yang
terpapar asap rokok pasca natal. Beberapa prediktor lain untuk beratnya bronkiolitis atau yang
akan menimbulkan komplikasi yaitu bayi dengan masa gestasi < 34 minggu, usia < 3 bulan,
sianosis, saturasi < 90 %, laju respiratori > 70 x/menit, adanya ronki, dan riwayat displasia
bronkopulmoner (bronchopulmonary displasia, BPD).
Kenaikan jumlah perawatan karena bronkiolitis dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
perubahan kriteria perawatan anak dengan IRA, kebiasaan pengasuhan dengan lebih banyak
anak yang dititipkan ditempat penitipan anak (TPA), dan faktor virus sendiri yaitu perubahan
virulensi strain RSV. Selain itu terdapat juga faktor perubahan kriteria diagnostik terutama
mikrobiologis dan panduan terapi serta turunya mortalitas bayi prematur dan bayi dengan
kelainan bawaan kompleks yang merupakan resiko tinggi perawatan karena RSV.
Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di negara-negara berkembang daripada di negaranegara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya status gizi dan ekonomi, kurangnya
tunjangan medis, serta kepadatan penduduk di negara berkembang. Angka mortalitas di negara
berkembang pada anak-anak yang dirawat adalah 1 3 %.(4)

V.

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350nm), termasuk
paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian penting dari RSV
untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein )yang mengikat sel dan protein F
(fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya.
Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam
strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala yang pernapasan yang
lebih berat dan menimbulkan sekuele. Masa inkubasi RSV 2 - 5 hari. Virus bereplikasi di dalam
nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui
penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV

mempengaruhi sistem saluran napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa
bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia.
Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan
debris dan fibrin kedalam lumen bronkiolus.(8,10)
Infeksi virus pada epitel bersilia bronkus menyebabkan respon inflamasi akut, ditandai dengan
obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mucus, timbunan debris selular/sel-sel mati yang
terkelupas, kemudian diikuti dengan infiltrasi limfosit peribronkial dan edema submukosa.
(4)

Karena tahanan aliran udara berbanding terbalik dengan diameter penampang saluran

pernafasan, maka sedikit saja penebalan mukosa akan memberikan hambatan aliran udara
yang besar.(2,4,8) terutama pada bayi yang memiliki penampang saluran pernafasan yang kecil.
Resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi, tetapi karena radius
saluran respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka akan menyebabkan air traping dan
hiperinflasi. Ateletaksis dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi total dan udara yang terjebak
diabsorbsi total.(4)
Anatomi Pernafasan Manusia

Sumber : http://breathebetter.blogspot.com

Saluran Pernafasan Anak

Sumber : http://healthlibrary.epnet.com
Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus tertimbun di
dalam bronkiolus . Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih
terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin,
substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan
epitel saluran napas juga meningkatkan ekpresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1)dan
produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi
sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris
dan mukus serta spasme otot polos saluran napas.Adapun respon paru ialah dengan
meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran
napas, dead space serta meningkatkan shunt.(8)

Sumber : http://www.uptodate.com/patients/content
Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru. Penurunan kerja
ventilasi paru akan menyebaban ketidakseimbangan ventilasi perfusi, yang berikutnya akan
menyebabkan hipoksemia dan kemudian terjadi hipoksia jaringan. Resistensi karbondioksida
(hiperkapnea) tidak selalu terjadi,

kecuali pada beberapa pasien. Semakin tinggi laju

pernafasan, maka semakin rendah tekanan oksigen arteri. Kerja pernafasan akan meningkat
selama end expiratory lung volume meningkat dan compliance paru menurun. Hiperkapnea
biasanya baru terjadi bila respirasi mencapai 60x/menit.(4)
Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus dalam 3-4 hari,
sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat sampai 15 hari .(4,10) Jaringan mati
akan dibersihkan oleh makrofag.(4) Ada 2 macam fenomena yang mendasari hubungan antara
infeksi virus saluran napas dan asma: (1) Infeksi akut virus saluran napas pada bayi atau anak
keci seringkali disertai wheezing. (2) Penderita wheezing berulang yang disertai dengan
penurunan tes faal paru, ternyata seringkali mengalami infeksi virus saluran napas pada saat
bayi/usia muda. Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan selular. Respon
antibodi sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi usia muda mempunyai
respon imun yang lebih buruk.(10)

VI.

KLASIFIKASI DAN MANIFESTASI KLINIS


Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan bersin. Gejala
ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu makan berkurang.
Kemudian timbul distres nafas yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing, sesak napas.

Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya
terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita infeksi saluran
nafas atas yang ringan.Bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali dan
bahkan ada yang mengalami hipotermi.(2,3,10)
Terjadi distres nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit, kadang-kadang disertai
sianosis, nadi juga biasanya meningkat. Terdapat nafas cuping hidung, penggunaan otot bantu
pernafasan dan retraksi. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru
(terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat ekspirasi yang memanjang , wheezing yang
dapat terdengar dengan ataupun tanpa stetoskop. Hepar dan lien teraba akibat pendorongan
diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi.(2,10) Ronkhi nyaring halus kadang-kadang
terdengar pada akhir inspirasi atau pada permulaan ekspirasi. (2,3) Pada keadaan yang berat
sekali suara pernafasan hampir tidak terdengar karena kemungkinan obstruksi hamper total.
(3)

Ekspirasi memanjang dan mengi kadang-kadang terdengar dengan jelas.(2)

Beratnya penyakit ditentukan berdasarkan skala klinis. Digunakan berbagai skala klinis,
misalnya Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI) atau modifikasinya
mengukur

laju

pernafasan/respiratory

rate (RR),

usaha

nafas,

yang

beratnya wheezing dan

oksigenasi.
Skala klinis yang digunakan Abul Ainine dan Luyt adalah :
1.

Respiratory Rate (RR) : dihitung manual, baik dengan palpasi dan melihat gerakan dada,
dilakukan selama 1 menit penuh, dua kali perhitungan diambil rata-ratanya.

2.

Heart Rate (HR) diambil dari pulse oxymetri yang dibaca lima kali selama pengamatan 1 menit,
diambil rata-ratanya.

3.

Saturasi O2 : dari pulse oxymetri yang dibaca lima kali selama pengamatan 1 menit, diambil
rata-ratanya.

4.

Respiratory clinical status yang dinilai menggunakan RDAI menurut Lowell dkk.

5.

Status aktivitas bayi (empat tingkat : tidur, tenang, rewel dan menangis).
Sedangkan Shuh, yang diadaptasi oleh Dobson, menilai skor klinis sebagai berikut :

1.

Keadaan umum : diberi skor 0 (tidur) hingga 4 (sangat rewel)

2.

Penggunaan otot bantu nafas : Skor 0 (tidak ada retraksi) hingga 3 (retraksi berat)

3.

Wheezing : skor 0 (tidak ada) hingga 3 (wheezing hebat inspiratorik dan ekspiratorik).(4)

Atas dasar frekuensi nafas dan keadaan umum bronkiolitis dibagi menjadi : bronkiolitis ringan
dan bronkiolitis berat (R 60 x/ menit).(1)

Berdasarkan gejala klinis, bronkiolitis juga dibagi menjadi bronkiolitis ringan, sedang, berat
dengan tanda sebagai berikut(5,12) :
Tabel 1.
Klasifikasi Bronkiolitis berdasarkan gejala klinis
Bronkiolitis

VII.

Ringan

Sedang

Berat

Kemampuan
untuk
makan normal
Sedikit atau tidak ada
gangguan pernafasan
Tidak kebutuhan akan
oksigen
tambahan
(saturasi O2 > 95 %

Gangguan pernafasan
sedang
dengan
beberapa
kontraksi
dinding
dada
dan
nafas cuping hidung
Hipoksemia
ringan
dan dapat dikoreksi
dengan oksigen
Mungkin
menampakkan
pernafasan
yang
pendek ketika makan
Mungkin
memiliki
episode apnoe yang
singkat

Tidak dapat untuk


makan
Gangguan
pernafasan
berat,
dengan
retraksi
dinding dada yang
jelas, nafas cuping
hidung
dan
dengkuran.
Hipoksemia
yang
tidak
terkoreksi
dengan
oksigen
tambahan
Mungkin
terdapat
peningkatan frekuensi
atau episode apnoe
yang panjang.
Mungkin
menampakkan
peningkatan
kelelahan.

DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium
dan pemeriksaan penunjang lainnya,(4) berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan
adanya epidemi RSV di masyarakat.(10)

7.1. Anamnesis
Gejala awal berupa gejala infeksi saluran nafas atas akibat virus, seperti pilek ringan, batuk dan
demam.(4) yang mengenai anak usia maksimal 24 bulan yang lebih banyak terkena adalah usia
dibawah 12 bulan.(7) Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang disertai dengan sesak

nafas. Selanjutnya dapat ditemukan wheezing, merintih, nafas berbunyi, muntah setelah batuk,
rewel dan penurunan nafsu makan.(1,4,7) Adanya riwayat kontak dengan penderita infeksi saluran
pernafasan atas.(13)
Kriteria bronkiolitis terdiri dari: (1) wheezing pertama kali, (2) umur 24 bulan atau kurang, (3)
pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya batuk, pilek, demam
dan (4) menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing.(10)
7.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisis pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis adalah adanya takipnea,
takikardia, dan peningkatan suhu diatas 38,5 0C dan bisa mencapai suhu 41 0C. Selain itu
dapat juga ditemukan konjungtivitis ringan faringitis, dan otitis media.(4,7)
Obstruksi saluran respiratori bawah akibat respon inflamasi akut akan menimbulkan gejala
ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha pernafasan yang dilakukan anak untuk
mengatasi obstruksi akan menimbulkan nafas cuping hidung dan retraksi interkostal. Selain itu
dapat juga ditemukan ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat terjadi dan bila
gejala menghebat dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia < 6 minggu. (4,7) Selain itu
ditemukan pernafasan yang pendek dan saturasi O2yang rendah dan tanda dehidrasi.(13)
7.3. Pemeriksaan Penunjang
7.3.1.

Laboratorium
Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya normal demikian pula dengan
elektrolit. Pada pasien dengan peningkatan lekosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk
batang.(4,10)Analisa gas darah (AGD) diperlukan untuk anak dengan gangguan pernafasan berat,
khususnya yang membutuhkan ventilator mekanik, gejala kelelahan dan hipoksia.(4,7) Analisa
gas darah dapat menunjukkan adanya hipoksia akibat V/Q mismatch dan asidosis metabolik
jika terdapat dehidrasi.(10)
Untuk menemukan RSV dilakukan kultur
immunofluoresence

assay dan enzyme

virus, rapid antigen detection test (direct


linked

immunosorbant

assay.

ELISA).

Atau polimerase chain reaction(PCR), dan pengukuran titer antibody pada fase akut dan
konvalesens.(4)
Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi atau bilasan
nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu yang lama,
dan hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus.(10)

7.3.2.

Radiologi
Foto Thorak diindikasikan pada :

Pasien yang diperkirakan memerlukan perawatan lebih

Pasien dengan pemburukan klinis yang tidak terduga

Pasien dengan penyakit jantung dan paru yang mendasari.(7)


Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat paru-paru
mengembang (hyperaerated). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang tersebar, atau
pneumonia (patchy infiltrates). Tetapi gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada
asma, pneumonia viral atau atipikal, dan aspirasi. Dapat pula ditemukan gambaran ateletaksis
terutama saat konvalesens akibat secret pekat bercampur sel-sel mati yang menyumbat, air
trapping, diafragma datar, dan peningkatan diameter anteroposterior.(4,6,10)
Bronchiolitis Obliterans X-ray imaging

Sumber : www.pharmacology2000.com
Pada x-foto lateral, didapatkan diameter AP yang bertambah dan diafragma tertekan ke bawah.
Pada pemeriksaan x-foto dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan: siluet
jantung yang menyempit, jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter
anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horisontal, pembuluh darah
paru tampak tersebar.(10)
Dalam penegakan diagnosis bronkiolitis perlu memperhatikan manifestasi klinis yang dapat
menyerupai penyakit lain, epidemiologi, rentang usia terjadinya kasus, dan musim-musim
tertentu dalam satu tahun.(4,6)

VIII.

DIAGNOSIS BANDING
Dalam penegakan diagnosis bronkiolitis, perlu memperhatikan manifestasi klinis yang dapat
menyerupai penyakit lain. Diagnosis banding sebaiknya dipikirkan, misalnya asma bronkiale
serangan pertama, bronkhitis, gagal jantung kongestif, edema paru, pneumonia, aspirasi benda
asing, refluks gastroesophageal, sistik fibrosis, miokarditis, pneumothorak, pertussis.(1,4,5,9,10)

IX.

PENATALAKSANAAN
Infeksi virus RSV biasanya sembuh sendiri (self limited) sehingga sebagian besar tatalaksana
bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu pemberian oksigen, minimal handling pada bayi,
cairan intravena dan kecukupan cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen
minimal, tunjangan respirasi bila perlu, dan nutrisi. Setelah itu barulah digunakan bronkodilator,
antiinflamasi seperti kortikosteroid, antiviral seperti ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin
RSV, RSV immunoglobuline (polyclnal) atau humanized RSVmonoclonal antibody (palvizumad).
(2,4)

Bronkiolitis ringan biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan peroral yang adekuat.
Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat inap. Penderita resiko tinggi harus
dirawat inap, diantaranya: berusia kurang dari 3 bulan, prematur, kelainan jantung, kelainan
neurologi, penyakit paru kronis, defisiensi imun, distres napas. Tujuan perawatan di rumah sakit
adalah terapi suportif, mencegah dan mengatasi komplikasi, atau bila diperlukan pemberian
antivirus.(10)
Manajemen dasar pengobatan bronkiolitis adalah meyakinkan pasien secara klinis stabil,
oksigenasi baik dan hidrasi baik. Manfaat utama dari rawat inap bagi pasien dengan akut
bronkiolitis adalah :
-

Pengawasan yang hati-hati terhadap status klinis

Pemantauan saluran nafas (melalui penempatan posisi, pengisapan dan pembersihan cairan).

Pemantauan hidrasi cairan tubuh yang adekuat

Edukasi orang tua.(13)

Untuk mendukung pasien anak

Untuk mendeteksi dan mengobati komplikasi yang mungkin timbul

Untuk mencegah penyebaran infeksi terhadap pasien lain dan pegawai

Untuk pengobatan menggunakan antivirus yang spesifik jika terdapat indikasi.(8)


Indikasi-indikasi untuk perawatan di rumah sakit :

Tanda klinis gangguan pernafasan atau tanda kelelahan

Apnoe

Ketidakmampuan untuk makan

Keadaan sosial khusus

Hypoxemia

Pasien dengan kondisi dasar medis.(7)


Pengobatan Suportif

A. Pengawasan
Untuk pasien yang dirawat inap penting dilakukan pengawasan sistem jantung paru dan jika
ada indikasi dilakukan pemasanag pulse oxymetri.(7,13)
B. Oksigenasi
Oksigenasi sangat penting untuk menjaga jangan sampai terjadi hipoksia, sehingga
memperberat penyakitnya. Hipoksia terjadi akibat gangguan perfusi ventilasi paru-paru.
(2)

Pemberian oksigen tambahan direkomendasikan ketika saturasi oksigen menetap dibawah

91% dan dihentikan ketika saturasi oksigen menetap diatas 94%.(13) Oksigenasi dengan kadar
oksigen 30 40 % sering digunakan untuk mengoreksi hipoksia. (2,8) gunakan nasal kanul
(dengan kecepatan maksimun 2L/m); masker muka atau kotak kepala.

Sumber : http://breathebetter.blogspot.com

Jika mungkin gunakan oksigen yang dilembabkan. Jika hipoksemia menetap dengan atau tanpa
distress berat, meskipun sudah diberikan oksigen dengan kecepatan tinggi, maka segera
lakukan permintaan untuk penangan ICU anak dengan pemasangan ventilator.(5,8)

C. Pengaturan Cairan

Pemberian cairan sangat penting untuk mencegah dehidrasi akiba keluarnya cairan lewat
evaporasi, karena pernafasan yang cepat dan kesulitan minum. Jika tidak terjadi dehidrasi
diberikan cairan rumatan. Berikan tambahan cairan 20 % dari kebutuhan rumatan jika
didapatkan demam yang naik turun atau menetap (suhu > 38,5 0C). Cara pemberian cairan ini
bisa secara intravena atau pemasangan selang nasogastrik. Akan tetapi harus hati-hati
pemberian cairan lewat lambung karena dapat terjadi aspirasi dan menambah sesak nafas,
akibat lambung yang terisi cairan dan menekan diafragma ke paru-paru. Selain itu harus
dicegah terjadinya overload cairan.(2,5,7) Lakukan pemeriksaan serum elektrolit dan jika
mendapatkan nilai yang tidak normal lakukan penggantian dengan cairan elektrolit.(5)

Pengobatan Medikamentosa
A. Antivirus (Ribavirin)
Bronkiolitis paling banyak disebabkan oleh virus sehingga ada pendapat untuk mengurangi
beratnya penyakit dapat diberikan antivirus. Ribavirin adalah obat antivirus yang bersifat virus
statik.

Tetapi,

penggunaan

obat

ini

masih

kontroversial

mengenai

efektivitas

dan

keamanannya. The American of Pediatric merekomendasikan penggunaan ribavirin pada


keadaan diperkirakan penyakitnya menjadi lebih berat seperti pada penderita bronkiolitis
dengan kelainan jantung, fibrosis kistik, penyakit paru-paru kronik, immunodefisiensi, dan pada
bayi-bayi premature. Ada beberapa penelitian prospektif tentang penggunaan ribavirin pada
penderita bronkiolitis dengan penyakit jantung dapat menurunkan angka kesakitan dan
kematian jika diberikan pada saat awal. Penggunaan ribavirin biasanya dengan cara nebulizer
aerosol 12-18 jam per hari atau dosis kecil dengan 2 jam 3 x/hari.(2,4)
B. Bronkodilator
Peran bronkodilator sampai saat ini masih kontroversial.(2,4,8) Secara umum jangan gunakan
bronkodilator pada pasien anak dengan usia dibawah 6 bulan. (5) bronkodilator juga tidak
dianjurkan dan sebetulnya merupakan kontra indikasi karena dapat memperberat keadaan
anak. Penderita dapat menjadi lebih gelisah dan keperluan oksigen akan meningkat.(3)
Bronkodilator digunakan secara luas untuk bayi dengan bronkiolitis, yaitu sekitar 68-96% bayi
dipusat pelayanan pediatrik tersier di Kanada. Pada survey yang dilakukan pada 88 pusat
pelayanan pediatrik di Eropa, 54 pusat pelayanan melaporkan penggunaan bronkodilator pada
semua pasien dengan bronkiolitis, dan 15 pusat pelayanan melaporkan hanya menggunakan
bronkodilator pada pasien dengan resiko tinggi. Di Inggris dan Australia, penggunaan
bronkodilator lebih jarang.
Wohl dan Chernick menyatakan bahwa penyebab obstruksi saluran respiratory adalah inflamasi
dan penyempitan akibat edema mukosa dan sumbatan mukosa, serta kolapsnya saluran

respiratori kecil pada bayi dengan bronkiolitis, sehingga pendekatan logis terapi adalah
kombinasi -adrenergik dan agonis -adrenergik.
Kelebihan epinefrin dibandingkan dengan bronkodilator -adrenergik selektif adalah :
-

Kerja konstriktor -adrenergik yang merupakan dekongestan mukosa, membatasi absorbsinya


dan mengatur aliran darah pulmoner, dengan sedikit efek pada ventilation perfusing matching.

Relaksasi otot bronkus karena efek -adrenergik

Kerja -adrenergik menekan pelepasan mediator kimiawi

Efek fisiologik antihistamin yang melawan efek histamin seperti edema

Mengurangi sekresi kataral.


Beta agonis masih sering digunakan dengan alasan 15 25 % pasien bronkiolitis nantinya
akan menjadi asma. Inhalasi 2-agonis diberikan satu kali sebagai trial dose. Karena efek akan
tampak dalam 1 jam, maka dosis ulangan akan diberikan bila pasien menunjukkan perbaikan
klinis fungsi paru yang jelas dan menetap.(4)

C. Kortikosteroid
Tentang pemberian kortikosteroid masih belum ada keseragaman. (3) masing-masing negara
melakukan pemberian kortikosteroid disesuaikan dengan masing-masing Panduan Nasional
maupun konsensus yang berdasarkan bukti.(4) Untuk pasien rawat jalan dengan akut bronkiolitis
pemberian steroid sistemik mungkin dapat dipertimbangkan tetapi total pemberian tidak lebih
dari 5 hari. Untuk pasien rawat inap steroid sistemik tidak rutin diberikan tergantung dari studi
penelitian. Sedangkan untuk penanganan pasien padaintensive care unit dengan bronkiolitis
berat pemberian steroid sistemik dapat dipertimbangkan. Sedangkan pemberian steroid inhalasi
(budesonide & Fluticasone) sangat sedikit evidence based yang merekomendasikan.(7)

D. Antibiotik
Pemberian antibiotik biasanya tidak diperlukan pada penderita bronkiolitis, karena sebagian
besar disebabkan oleh virus, kecuali jika ada tanda-tanda infeksi sekunder dan diberikan
antibiotik spektrum luas.(2,3,6,12) Pemberian antibiotik justru akan meningkatkan infeksi sekunder
oleh kuman yang resisten terhadap antibiotik tersebut. (2) Antibiotik bila dicurigai adanya infeksi
bakteri dapat digunakan ampisilin 100-200 mg/kgBB/hr secara intravena dibagi 4 dosis. Bila ada
konjungtivitis dan bayi berusia 1 4 bulan kemungkinan sekunder oleh Chlamidia trachomatis.(1)

Pengobatan Intensive Care Unit

Dilakukan konsultasi untuk perawatan pada ICU anak jika :


-

Terjadi progresivitas untuk gangguan pernafasan berat terutama pada kelompok yang
beresiko.

Terdapat episode apnoe yang signifikan dengan gangguan saturasi atau adanya frekuensi
pernafasan pendek lebih dari 15 detik.

Saturasi oksigen rendah yang menetap

Ketika pemeriksaan analisa gas darah telah selesai dan menggambarkan gangguan
pernafasan dimana pada darah arteri didapatkan : pO2 < 80 mmHg; pCO2 > 50 mmHg; pH <
7,25.(5,12)

Tabel 2.
Penatalaksanaan Bronkiolitis Berdasarkan Berat Ringannya Gejala(12)
Bronkiolitis
Ringan

Sedang

Berat

Tidak
memerlukan
penilaian lebih lanjut
Perawatan
dirumah,
jika orang tua pasien
mampu dan sudah
dijelaskan
serta
mempunyai kendaraan.
Berobat
ulang
ke
dokter setelah 2 3
hari kemudian

Perawatan di rumah
sakit
Berikan
oksigen
sehingga
saturasi
oksigen > 93 %
Pertimbangkan
pemberian
cairan
intravena
Pengamatan seksama
terhadap perburukan
kondisi
Foto thorak
Aspirasi
nasopharyngeal untuk
virus
imunoflurorecency dan
kultur

Perawatan di rumah
sakit
Pemberian
oksigen
sampai saturasi oksigen
> 95 %
Pengamatan seksama
untuk
antisipasi
kemungkinan
memerlukan
intubasi
dan
pemakaian
ventilator
Berikan
cairan
intravena
Monitor
system
cardiorespiratori
Foto thorak
Aspirasi
nasopharyngeal untuk
virus imunoflurorecency
dan kultur
Pertimbangkan
pengawasan
gas
pembuluh darah arteri

Pertimbangkan untuk
konsultasi
perawatan
ICU anak.

Kriteria Pulang
Pasien direkomendasikan pulang dengan kriteria :
-

Status pernafasan

o Laju pernafasan kurang dari 70 kali dalam 1 menit dan tidak didapatkan tanda klinis usaha
pernafasan lebih
o Orang tua dapat membersihkan saluran pernafasan anak dengan menggunakan alat sedot
gelembung.
o Pasien dapat berada dalam ruang dengan udara bebas dengan oksigen terapi yang stabil.
o Saturasi oksigen harus lebih dari 90% tanpa pemberian oksigen tambahan kecuali anak dengan
penyakit paru kronis, penyakit jantung atau mempunyai faktor resiko lain harus dilakukan
diskusi terlebih dahulu dengan konsultan.(5)
-

Status nutrisi

o Pasien dapat makan melalui mulut pada tingkatan dapat mencegah dehidrasi
-

Sosial

o Peralatan dirumah mampu untuk digunakan dalam perawatan dirumah


o Orang tua atau penjaga anak mampu untuk melakukan perawatan dirumah
o Dilakukan edukasi keluarga yang lengkap
-

Peninjauan lebih lanjut

o Ketika ada indikasi, perawat rumah dan penyedia alat medis harus melukakan visit terakhir.
o Pemberi pertolongan utama harus memberikan persetujuan untuk pemulangan
o

Janji untuk peninjauan lebih lanjut harus dilakukan.(13)

Edukasi Keluarga
Dilakukan pada saat pasien akan dipulangkan. Yaitu dengan memberitahukan :
-

Informasi mengenai penyakit bronkiolitis

Bagaimana cara membersihkan jalan nafas dengan menggunakan penghisap gelembung.

Segera memanggil bantuan atau membawa pasien ke rumah sakit kembali jika didapatkan
gangguan pernafasan

Cara pencegahan penyakit dan penyebarannya dengan menghindari anak dari paparan asap
rokok ataupun zat yang mengiritasi lainnya, melakukan cuci tangan, dll.(9,13)

X.

KOMPLIKASI
Komplikasi dari bronkiolitis sangat minimal dan tergantung dari penatalaksanaan penyakit
sebelumnya. Pada beberapa kasus didapatkan adanya gangguan fungsi paru yang menetap,
dimana timbulnya whezing berulang dan hiperaktifitas bronkial. (1,8) Komplikasi seperti otitis
media akut, pneumonia bakterial dan gagal jantung jarang dijumpai. (3) Beberapa studi kohort
menghubungkan infeksi bronkiolitis akut berat pada bayi akan berkembang menjadi asma.
Suau studi kohort prospektif menemukan bahwa 23 % bayi dengan riwayat bronkhiolitis
berkembang menjadi asma pada usia 3 tahun, dibandingkan dengan 1 % pada kelompok
kontrol.(4)

XI.

PENCEGAHAN
Langkah preventif yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian imunisasi aktif dan pasif.
Imunisasi pasif dapat dilakukan dengan pemberian gammaglobulin yang mengandung titer
antibodi protektif tinggi, (respigrama). Dosis yang dianjurkan 750 mg/KgBB setiap bulan,
diberikan secara intravena pada anak dibawah umur 24 bulan. Indikasi lain adalah bayi yang
lahir dengan umur kehamilan < 35 minggu dan bayi dengan displasia bronchopulmonari.
Produk lain adalah antibodi kelas IgA monoklonal yang diberikan melalui tetes hidung setiap
hari dan antibodi kelas IgG monoklonal yang diberikan secara intramuscular setiap bulan.(6)
Pendekatan profilaksis pada populasi resiko tinggi adalah meningkatkan (augmentation)
antibodi yang menetralisasi protein F dan G dengan cara pemberian dari luar dan imunisasi dari
ibu. Pada manusia, efek imunoglobulin yang mengandung neutralizing antibody titer tinggi atau
monoklonal terhadap protein F akan mengurangi beratnya penyakit. Bila pada bayi premature
atau bayi dengan penyakit paru kronis diberikan RSV hyperimmune globulin atau antibodi
monoklonal terhadap protein F yang disebut dengan Palizumab setiap bulan, diberikan secara
intramuskular setiap hari, lama perawatan RSV akan berkurang secara bermakna. Akan tetapi
resiko efek samping kemungkinan meningkat pada bayi dengan penyakit jantung sianotik.(4)
Sesudah penelitian dengan vaksin inaktif, dikembangkan vaksin live attenuated. Vaksin RSV
pertama, yang terdiri dari cold passaged mutan, efektif untuk orang dewasa, tetapi pada anak
terlalu virulen dan tidak stabil karena dapat berubah menjadi virus biasa kembali. Kemudian dari
permukaan glikoprotein murni, dikembangkan DNA dan peptik sintetik. Vaksin live attenuated

mempunyai kelebihan, yaitu dapat diberikan intranasal dan menginduksi imunitas mukosa dan
sistemik.(4)
Selain itu dilakukan pencegahan penyebaran silang dari virus RSV. RSV menyebar melalui
hidung/muka ke tangan atau muka dari individu lain, sehingga perlu dilakukan prosedur cuci
tangan yang baik terhadap perawat, pegawai maupun orang tua pasien untuk meminimalisir
masalah tersebut. Dan hindari perawatan pasien anak dengan bronkiolitis (RSV positif atau
sedang menunggu hasil) dengan anak-anak yang mempunyai resiko tinggi tertular RSV.(5)

XII.

PROGNOSIS
Prognosis tergantung berat ringannya penyakit, cepatnya penanganan, dan penyakit latar
belakang (penyakit jantung, defisiensi imun, prematuritas).(1)
Anak biasanya dapat mengatasi serangan tersebut sesudah 48 72 jam. Mortalitas kurang dari
1 %. Anak biasanya meninggal karena jatuh ke dalam apneu yang lama, asidosis respiratorik
yang tidak terkoreksi atau karena dehidrasi yang disebabkan oleh takipneu dan kurang makanminum.(3)
Penelitian di Norwegia menunjukkan bahwa bayi yang dirawat dengan bronkhiolitis mempunyai
kecendrungan menderita asma dan penurunan fungsi paru pada usia 7 tahun dibandingkan
dengan kontrol. Hal ini menunjukkan adanya hipereaktifitas bronkhial yang menetap selama
beberapa tahun setelah menderita bronkiolitis pada bayi muda, baik para RSV positif, maupun
RSV negatif.
Tidak dapat dibuktikan secara jelas bahwa bronkiolitis terjadi pada anak dengan kecendrungan
asma, keberhasilan pengobatan dengan kortikosteroid mungkin dapat mengurangi prevalens
asma pada anak dari kelompok pengobatan.(4)

DAFTAR PUSTAKA
1.

Herry Garna, Prof, dr. Sp.A(K), Ph.D, Heda Melinda D. Nataprawira, dr. Sp.A(K), Bronkhiolitis
dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi, Ilmu Kesehatan Anak, Edisi Ke -3, Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Rs. Dr. Hasan Sadikin Bandung,
2005. Hal : 400-402

2.

Edi Hartoyo dan Roni Naning, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Gajah Mada/ Instalasi Kesehatan Anak RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Mengi Berulang Setelah
Bronkhiolitis Akut Akibat Infeksi Virus.

3.

Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Bronkiolitis Akut dalam Buku Kuliah 3 Ilmu
Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan FKUI, 1985, hal : 1233-1235

4.

Magdalena Sidharta Zain, Bronkhiolitis dalam Buku Ajar Respirology Anak, Edisi Pertama,
Ikatan Dokter Anak Indonesia, Badan Penerbit IDAI, 2008

5.

NSW HEALTH, Acut Management of Infant and Children with Acute Bronchiolitis. Revision
December 2006 www.health.nsw.gov.au

6.

Ikatan Dokter Anak Indonesia, Bronkiolitis dalam Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak,
Edisi I, Badan Penerbit IDAI, 2005. Hal : 348 - 350

7.

A Tam, SY Lam, et all. Clinical Guideline on The Management pf Acute Bronchiolitis, Hongkong
Journal Pediatric (New Series) 2006; 11; 235 241.

8.

Mary Ellen B, Wohl, MD. Bronchiolitis in Kendigs Disorder of The Respiratory Tract in Children.
Seventh Edition, Elsevier Inc, 2006 page : 423 431.

9.

Mark

Louden,

MD,

FACEP.

Pediatric

Bronchiolitis.

Update

November

2007

http://www.emedicine.com/emerg/topic365.htm
10. Administrator, Tata Laksana Bronkhiolitis, Desember 2007,
http://cpddokter.com/home/index.php?option=com_content&task=view&id=140&Itemid=38
11. Departemen

Kesehatan

RI,

Profil

Kesehatan

Provinsi

NAD

tahun

2005 .www.depkes.go.id/downloads/profil/NAD05/profil_dinkes05baru.pdf
12. Dominic A Fitzgerald and Henry A Kilham, Bronchiolitis : Assesment and Evidence - Based
Management.

MJA

volume

180,

19

April

2004,

Page

399

404.

13. Chris Bolling, MD, et all. Evidence Based Clinical Practice Guideline For Medical
Management of Bronchiolitis in Infants less than 1 years of age presenting with a first time
episode. Cincinati Childrens Hospital Medical Center. 2006.www.cincinatichildrens.org

Anda mungkin juga menyukai

  • Surat Izin Istri Ppds Oktober 2023
    Surat Izin Istri Ppds Oktober 2023
    Dokumen1 halaman
    Surat Izin Istri Ppds Oktober 2023
    Abdul Charis Konoras
    Belum ada peringkat
  • Bronchiolitis 1
    Bronchiolitis 1
    Dokumen3 halaman
    Bronchiolitis 1
    Abdul Charis Konoras
    Belum ada peringkat
  • Daftar Obat
    Daftar Obat
    Dokumen1 halaman
    Daftar Obat
    Abdul Charis Konoras
    Belum ada peringkat
  • Maping (SK-KAK-SOP - UKP-Per April 2023
    Maping (SK-KAK-SOP - UKP-Per April 2023
    Dokumen4 halaman
    Maping (SK-KAK-SOP - UKP-Per April 2023
    faizal prabowo Kaliman
    Belum ada peringkat
  • To Ukdi Jan 2013 Dlu
    To Ukdi Jan 2013 Dlu
    Dokumen28 halaman
    To Ukdi Jan 2013 Dlu
    Abdul Charis Konoras
    Belum ada peringkat
  • Pokja Ukp Bab 7.1 Anesthesi
    Pokja Ukp Bab 7.1 Anesthesi
    Dokumen4 halaman
    Pokja Ukp Bab 7.1 Anesthesi
    Abdul Charis Konoras
    Belum ada peringkat
  • Pokja Ukp Bab 7.1 Anesthesi
    Pokja Ukp Bab 7.1 Anesthesi
    Dokumen4 halaman
    Pokja Ukp Bab 7.1 Anesthesi
    Abdul Charis Konoras
    Belum ada peringkat
  • Abortus
    Abortus
    Dokumen3 halaman
    Abortus
    Abdul Charis Konoras
    Belum ada peringkat
  • Soap Goal Bedah
    Soap Goal Bedah
    Dokumen8 halaman
    Soap Goal Bedah
    NadiaAlaydrus
    Belum ada peringkat
  • SPM Syaraf
    SPM Syaraf
    Dokumen6 halaman
    SPM Syaraf
    Abdul Charis Konoras
    Belum ada peringkat
  • Standar Pelayanan Medik Stroke Dan Meningitis
    Standar Pelayanan Medik Stroke Dan Meningitis
    Dokumen9 halaman
    Standar Pelayanan Medik Stroke Dan Meningitis
    Abdul Charis Konoras
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Radiologi Metastasis
    Lapkas Radiologi Metastasis
    Dokumen3 halaman
    Lapkas Radiologi Metastasis
    Abdul Charis Konoras
    Belum ada peringkat
  • Saraf
    Saraf
    Dokumen19 halaman
    Saraf
    Abdul Charis Konoras
    Belum ada peringkat
  • Bedah Terpilih
    Bedah Terpilih
    Dokumen12 halaman
    Bedah Terpilih
    Fida Hafidah
    Belum ada peringkat
  • Gerakan Involunter
    Gerakan Involunter
    Dokumen3 halaman
    Gerakan Involunter
    Abdul Charis Konoras
    Belum ada peringkat
  • Diagnosis Epilepsi Lengkap
    Diagnosis Epilepsi Lengkap
    Dokumen12 halaman
    Diagnosis Epilepsi Lengkap
    Fihmi Amy
    Belum ada peringkat
  • RESUS Gerak Involunter
    RESUS Gerak Involunter
    Dokumen16 halaman
    RESUS Gerak Involunter
    Abdul Charis Konoras
    Belum ada peringkat
  • Saraf
    Saraf
    Dokumen19 halaman
    Saraf
    Abdul Charis Konoras
    Belum ada peringkat
  • Soal SARAF
    Soal SARAF
    Dokumen5 halaman
    Soal SARAF
    Abdul Charis Konoras
    Belum ada peringkat
  • Soal Ikm
    Soal Ikm
    Dokumen6 halaman
    Soal Ikm
    Abdul Charis Konoras
    Belum ada peringkat
  • Anatomi Mata
    Anatomi Mata
    Dokumen20 halaman
    Anatomi Mata
    Abdul Charis Konoras
    Belum ada peringkat
  • LBP
    LBP
    Dokumen11 halaman
    LBP
    Abdul Charis Konoras
    Belum ada peringkat
  • EPILEPSI
    EPILEPSI
    Dokumen15 halaman
    EPILEPSI
    Abdul Charis Konoras
    Belum ada peringkat
  • Resus Lab Forensik
    Resus Lab Forensik
    Dokumen1 halaman
    Resus Lab Forensik
    Abdul Charis Konoras
    Belum ada peringkat
  • Data Non DM
    Data Non DM
    Dokumen3 halaman
    Data Non DM
    Abdul Charis Konoras
    Belum ada peringkat
  • Data Non DM
    Data Non DM
    Dokumen3 halaman
    Data Non DM
    Abdul Charis Konoras
    Belum ada peringkat
  • Resus Iden Forensik
    Resus Iden Forensik
    Dokumen16 halaman
    Resus Iden Forensik
    Abdul Charis Konoras
    Belum ada peringkat
  • Ecase Dalam
    Ecase Dalam
    Dokumen10 halaman
    Ecase Dalam
    Abdul Charis Konoras
    Belum ada peringkat
  • Ecase Obgyn
    Ecase Obgyn
    Dokumen11 halaman
    Ecase Obgyn
    Abdul Charis Konoras
    Belum ada peringkat