Definisi Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit autoimun, bersifat kronik dan residif, ditandai dengan adanya bercakbercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan. Lesi
psoriasis terdistribusi secara simetris dengan predileksi utama di daerah ekstensor ekstremitas
terutama siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong dan genitalia (Meffert, J, et al, 2013).
Epidemiologi Psoriasis
Beberapa studi epidemiologi memperkirakan prevalensi psoriasis di dunia ber kisar antara 0,6
sampai 4,8%. Prevalensi psoriasis di setiap populasi bervariasi, dari 0,1% sampai 11,8%. Di
wilayah Eropa, yaitu Denmark, prevalensinya 2,9% dan di pulau Faeroe 2,8% dengan rata 2 rata
di Eropa sekitar 2%. Sedangka di US, prevalensinya antara 2,2-2,6% dan sekitar 150.000
didagnosis setiap tahun. Prevalensi yang lebih tinggi terjadi di Afrika Timur, lain halnya dengan
Afrika Barat yang prevalensinya lebih rendah (1,3% dengan 2,5%). Hal ini membuktikan bahwa
psoriasis banyak terjadi pada kulit putih dibanding dengan kulit hitam. Di Asia, Insidensi
psoriasis rendah, yaitu 0,4%. Insiden pada pria lebih banyak daripada wanita, psoriasis terdapat
pada semua usia, tetapi umumnya pada orang dewasa (Wolff et al, 2012).
Etiologi Psoriasis
Etiopatogenesis psoriasis bersifat kompleks dan belum dimengerti sepenuhnya. Penyakit
ini dikaitkan dengan faktor genetik, defek sistem imun , dan faktor lingkungan (Meffert, 2013).
A. Faktor Genetik
Bila orang tuanya tidak menderita psoriasis, resiko mendapat psoriasis 12%, sedangkan jika
salah seorang orangtuanya menderita psoriasis resikonya mencapai 34-39%. Berdasarkan awitan
penyakit dikenal dua tipe : psoriasis tipe I dengan awitan dini bersifat familial, psoriasis tipe II
dengan awitan lambat bersifat nonfamilial. Hal lain yang menyokong adanya factor genetic ialah
bahwa psoriasis berkaitan dengan human leukocyte antigen (HLA), khususnya human leukocyte
antigen Cw6 (HLA-Cw6). Pada beberapa keluarga, psoriasis merupakan autosomal dominan.
Suatu metaanalisis menegaskan bahwa delesi pada 2 gen terakhir LCE, LCE3C dan LCE3B,
adalah faktor genetik umum untuk kerentanan terhadap psoriasis pada populasi yang berbeda
(Meffert, 2013).
B. Faktor imunologi
Psoriasis berhubungan dengan aktivitas sel T berlebih. Model eksperimental dapat
diinduksi oleh stimulasi dengan streptokokus superantigen yang berekasi silang dengan kolagen
kulit. Peptida ini telah terbukti menyebabkan peningkatan aktivitas antara sel-sel T pada pasien
dengan psoriasis tetapi tidak dalam kelompok kontrol. Beberapa obat-obat baru yang digunakan
untuk mengobati psoriasis berat langsung mengubah fungsi limfosit (Meffert, 2013).
Lesi pada umumnya penuh dengan sebukan limfosit T pada dermis yang terutama terdiri
atas limfosit T CD4 dengan sedikit sebukan limfositik pada epidermis. Sedangkan pada lesi baru
umumnya lebih banyak didominasi oleh limfost T CD8. Pada lesi psoriasis terdapat sekita 17
sitokin yang produksinya bertambah. Sel langerhans juga berperan pada imunopatogenesis
psoriasis. Terjadinya proliferasi epidermis diawali dengan adanya pergerakan antigen, baik
eksogen maupun endogen oleh sel langerhans. Pada psoriasis pembentukan epidermis (turn over
time) lebih cepat, hanya 3-4 hari, sedangkan pada kulit normal lamanya 27 hari (Meffert, 2013).
C. Faktor lingkungan
Banyak faktor selain stres juga telah diamati untuk memicu eksaserbasi, termasuk dingin,
trauma, infeksi (misalnya, streptokokus, stafilokokus, human immunodeficiency virus), alkohol,
dan obat-obatan (misalnya, iodida, penarikan steroid, aspirin, lithium, beta-blocker, botulinum A,
antimalaria). Satu studi menunjukkan peningkatan insiden psoriasis pada pasien dengan
gingivitis kronis. Pengobatan yang memuaskan dari gingivitis menyebabkan meningkatkan
kontrol psoriasis tetapi tidak mempengaruhi kejadian jangka panjang, menyoroti multifaktorial
dan genetik pengaruh penyakit ini (Meffert, 2013).
Patogenesis Psoriasis
Psoriasis pada individu yang rentan secara genetik diyakini dipicu oleh rangsangan yang
spesifik, seperti trauma atau infeksi bakteri, yang nantinya menginduksi sel dendritik (DC),
makrofag, dan sel T untuk menghasilkan sitokin yang memulai kaskade kejadian yang mengarah
pada psoriasis: aktivasi sel kekebalan, disregulasi acanthosis epidermal, dan angiogenesis. IL-12
yang diproduksi oleh DC dan makrofag menginduksi respon imun Th1, yang ditandai dengan
produksi IFN, sedangkan IL-23 dari DC dan makrofag menginduksi respon imun Th17, yang
ditandai dengan produksi IL-17 dan IL-22. Sitokin ini, pada gilirannya akan membuaat
perubahan karakteristik keratinosit epidermis psoriatik, termasuk peningkatan regulasi NF-kB,
induksi nuklir pStat3, dan induksi psoriasin. Makrofag diaktifkan oleh TNF- menghasilkan
sitokin tambahan yang menginduksi perubahan psoriasis epidermal, serta VEGF, yang
merangsang angiogenesis. Makrofag yang telah aktif dan psoriatik keratinosit juga memproduksi
kemokin yang menarik leukosit dari pembuluh darah untuk menginfiltrasi plak psoriasis
(Danilenko, 2008).
Gambar 1: Patogenesis psoriasis.
Keterangan: DC= sel dendritik, IFN= interferon gamma, IL= interleukin, NF-kB = faktor nuklir
kappa-B, pStat3 = transduser phospho-sinyal dan aktivator transkripsi 3, Th= sel T helper, TNF=tumor necrosis factor-, VEGF = vascular endothelial growth factor.
b. Psoriasis Gutata
Adanya papula dengan diameter biasanya 1-10 mm. paling sering pada bagian aksial tubuh.
Timbulnya mendadak dan diseminata, umumya setelah infeksi Streptococcus di saluran napas
bagian atas. Selain itu juga dapat timbul setelah infeksi yang lain baik bakterial maupun viral
(Wolff, et al, 2012).
Gambar 4. Psoriasis Gutata
c. Psoriasis Inverse
Psoriasis inverse ditemukan pada ketiak, pangkal paha, dibawah payudara, dan dilipatan-lipatan
kulit di sekitar kemaluan dan panggul. Lesi kulit yang timbul tanpa adanya skuama akibat tempat
lokasi lesi yang lembab (Wolff, et al, 2012).
Gambar 5. Psoriasis inverse
d. Psoriasis Pustulosa
Terdapat 2 bentuk psoriasis pustulosa, yaitu:
Psoriasis pustulosa palmoplantar bersifat kronik dan residif, mengenai telapak tangan atau
telapak kaki atau keduanya. Kelainan kulit berupa kelompok-kelompok pustule kecil steril dan
dalam, di atas kulit yang eritematosa, disertai rasa gatal (Wolff, et al, 2012).
Gambar 6. Psoriasis pustulosa
Gejala awalnya ialah kulit nyeri, hiperalgesia disertia gejala umum berupa demam, malaise,
nausea, anoreksia. Plak psoriasis yang telah ada makin eritematosa. Setelah beberapa jam timbul
banyak plak edematosa dan eritematosa pada kulit yang normal. Dalam beberapa jam timbul
banyak pustul miliar pada plak-plak tersebut. Dalam sehari pustul-pustul berkonfluensi
membentuk lake of pus berukuran beberapa sentimeter (Wolff, et al, 2012).
Gambar 7. Psoriasis Pustulosa Generalisata Akut (Von Zumbusch)
e. Psoriasis Eritroderma
Psoriasis eritroderma dapat disebabkan oleh pengobatan topikal yang terlalu kuat atau karena
penyakitnya sendiri yang meluas. Biasanya lesi yang khas untuk psoriasis tidak tampak lagi
karena terdapat eritema dan skuama tebal universal. Adakalanya lesi psoriasis masih tampak
samar-samar yakni lebih eritematosa dan kulitnya lebih meninggi (Wolff, et al, 2012).
Gambar 8. Psoriasis eritroderma
proliferasi pembuluh darah subepidermal, tidak adanya pematangan sel normal, dan keratinisasi.
Jumlah sel T aktif pada epidermis meningkat. Radiografi sendi yang terkena dapat membantu
dalam menegakan diagnosis psoriasis arthritis (Meffert, J, et al, 2013).
Terapi Psoriasis
1. Pengobatan pada perawatan primer
Terapi topikal
Terapi topikal tetap menjadi pilihan pengobatan utama untuk psoriasis ringan, sedangkan
pada psoriasis berat terapi topikal hanya digunakan pada bagian tubuh tertentu saja. Terapi
topikal yang biasa di berikan adalah emolien, coal tar, vitamin D, kortikosteroid topikal,
dithranol, tazarotene (retinoid topikal) (Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 2010).
Penggunaan jangka pendek secara intermiten kortikorteroid kuat atau kortikosteroid kuat
yang dikombinasikan dengan calcipotriol dianjurkan untuk mendapatkan perbaikan yang cepat
pada plak psoriasis. Penggunaan kortikosteroid topikal kuat tidak di rekomendasikan untuk
penggunaan rutin jangka panjang karena dapat menimbulkan berbagai macam efek samping
yang tidak diinginkan. Untuk pengobatan topikal jangka panjang analaog vitamin D
direkomendasikan sebagai terapi, namun apabila analog vitamin D tidak efektif atau tidak
ditolerenasi maka dipertimbangkan penggunaan dithranol, coal tar, tezarotene (Scottish
Intercollegiate Guidelines Network, 2010).
Terapi psoriasis pada kulit kepala
Untuk pasien dengan keterlibatakan kulit kepala yang luas maka dianjurkan pengobatan awal
dengan asam salisilat, tar, preparat minya (minyak zaitun, minyak kelapa) dianjurkan atau
penggunaan kortikosteroid kuat jangka pendek dan intermiten atau kombinasi kortikosteroid kuat
dengan analog vitamin D dianjurkan. Kortikosteroid sangat ampuh direkomendasikan pada
kasus-kasus refrakter (Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 2010).
Terapi psoriasis pada kuku
Psoriasis pada kuku umumnya refrakter terhadap pengobatan lokal, namun dapat
dipertimbangkan pemberian kortikosteroid topikal, asam salisilat, kalsipotriol, atau tezarotene
dapat dipertimbangkan (Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 2010).
Terapi psoriasis pada wajah dan flexures
Penggunaan kortikosteroid topikal kuat dapat mengkibatkan atrofi kulit didaerah tersebut, lebih
dianjurkan penggunaan kortikosteroid sedang di daerah tersebut, penggunaan analog vitamin D
dilakukan jika kortikosteroid sedang tidak mempan.
Pada flexures dianjurkan penggunaan coal tar, sedangkan pengobatan dengan dithranol,
tezarotene pada umumnya tidak digunakan (Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 2010).
Tabel 1. Perbandingan beberapa jenis terapi topikal pada psoriasis
Perujukan
Psoriasis merupakan penyakit dermatologi yang dalam penegakan diagnosis maupun
tatalaksananya tidaklah sulit, namun ada beberapa kondisi yang mengharuskan dilakukanya
perujukan ke spesialis kulit, adapun keadaan yang mengharuskan dialakukannya perujukan
adalah sebagai berikut (Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 2010):
sinar A yang dikenal dengan UVA. Sinar tersebut dapat digunakan secara tersendiri atau
berkombinasi dengan psoralen (8-metoksipsoralen, metoksalen) dan disebut PUVA, dapat juga
digunakan UVB untuk pengobatan psoriasis tipe plak, gutata, pustular, dan eritroderma. Dari
berbagai penelitian menyatakan UVB lebih efektif daripada UVA (Scottish Intercollegiate
Guidelines Network, 2010).
Farmakologi
Terapi farmakologi yang dapat diberikan antara lain siklosporin, etretinate, acitretin,
methotrexate, ester asam fumarat, dan hydroxycarbamide. Siklosporin diberikan dengan dosis
2,5 mg- 5 mg/kgbb menunjukan hasil yang cukup memuaskan. Umumnya siklosporin diberikan
secara intermiten untuk menghindari efek samping dari obat ini. Acitretin dan etretinate kurang
efektif jika dibandingkan dengan siklosporin. Methotrexate direkomendasikan untuk pengobatan
jangka panjang terutama pada psoriasis arthritis. Siklosporin direkomendasikan untuk
pengobatan jangka pendek, acitretin digunakan sebagai alternatif tapi harus dihindari
penggunaannya pada wanita usia subur, ester asam fumarat dan hydroxycarbamide digunakan
sebagai terpai pemeliharaan bagi pasien yang tidak cocok terhadap terapi sitemik lain (Scottish
Intercollegiate Guidelines Network, 2010).
Tabel 2. Perbandingan antara fototerapi dengan sistemik monoterapi
Komplikasi Psoriasis
Komplikasi psoriasis kebanyakan terjadi karena efek samping dari terapi farmakologinya.
Psoriasis memiliki manifestasi sistemik yang berhubungan dengan penyakit inflamasi kronis
lainnya, seperti crohn disease dan diabetes mellitus, termasuk juga sindrom metabolik, depresi
dan kanker. Jadi psoriasis dapat timbul juga karena adanya penyakit tersebut, baik berhubungan
dengan penyakitnya, maupun terapinya (Nestle, et al, 2008).
Arthropati, psoriatic arthritis juga sering ditemukan pada pasien dengan psoriasis.
Psoriasis juga ditemukan terdapat hubungan dengan resiko adanya penyakit kardiovaskular,
diantaranya kalsifikasi arterikoroner, yang akhirnya dapat menyebabkan infark miokard, dan
prevalensi kematian meningkat karena adanya penyakit kardiovaskular tersebut (Nestle, et al,
2008).
Prognosis Psoriasis
Meskipun psoriasis tidak menyebabkan kematian, tetapi psoriasis bersifat kronis dan
residif. Pasien dengan psoriasis biasanya malu dengan keadaan kulitnya. Sehingga, pasien
dengan psoriasis produktifitasnya menurun, sehingga kualitas hidupnya menurun juga (Nestle, et
al, 2008).
Penyakit ini bersifat stabil, dan dapat remisi setelah beberapa bulan atau tahun, dan dapat
saja rekurens sewaktu-waktu seumur hidup. Pada psoriasis tipe pustular, dapat bertahan beberapa
tahun dan ditandai dengan remisi dan eksaserbasi yang tidak dapat dijelaskan. Pasien dengan
psoriasis pustulosa generalisata sering dibawa kedalam ruang gawat darurat dan harus dianggap
sebagai bakteremia sebelum terbukti kultur darah menunjukkan negatif. Relaps dan remisi dapat
terjadi dalam periode bertahun-tahun. Selama ini penelitian untuk terapi dan pencegahan
psoriasis masih tetap dilakukan untuk meningkatkan outcome dari pasien (Nestle, et al, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
Danilenko, D.M., (2008), Review Paper: Preclinical Model of Psoriasis, SAGE Journal, Vol. 45
No.4,
pp.
563-575.
Available
from:
from:
http://www.ijplsjournal.com/issues%20PDF%20files/june
J,
et
al,
(2013),
Psoriasis,
Medscape
Reference,
Available
from:
http://emedicine.medscape.com/article/1943419-overview#aw2aab6b2b4aa. (Accessed:
2013, June 27).
Nestle, F.O., Kaplan, D.H., & Barker, J, (2009), Psoriasis, The New England Journal Of
medicine
(NEJM),
Vol.
361
No.5,
pp.
496-509.
Available
from:
arthritis
in
adults,
SIGN,
no.
121,
pp.
14-61.
Available
from: