Anda di halaman 1dari 12

Dermatitis atopik adalah suatu dermatitis yang bersifat kronik residif yang dapat terjadi pada

bayi, anak dan dewasa dengan riwayat atopi pada penderita atau keluarganya (Dharmadji,
2006).
Etiologi dan Patogenesis Dermatitis Atopik
Faktor endogen yang berperan, meliputi faktor genetik, hipersensitivitas akibat peningkatan
kadar immunoglobulin (Ig)E total dan spesifik, kondisi kulit yang relatif kering (disfungsi
sawar kulit), dan gangguan psikis. Faktor eksogen pada DA, antara lain adalah trauma fisikkimia-panas, bahan iritan, allergen debu, tungau debu rumah, makanan (susu sapi, telur),
infeksi mikroba, perubahan iklim (peningkatan suhu dan kelembaban), serta hygiene
lingkungan. Faktor endogen lebih berperan sebagai faktor predisposisi sedangkan faktor
eksogen cenderung menjadi faktor pencetus (Boediardja, 2006).
Faktor Endogen
a. Sawar kulit
Penderita DA pada umumnya memiliki kulit yang relatif kering baik di daerah lesi maupun
non lesi, dengan mekanisme yang kompleks dan terkait erat dengan kerusakan sawar kulit.
Hilangnya ceramide di kulit, yang berfungsi sebagai molekul utama pengikat air di ruang
ekstraselular stratum korneum, dianggap sebagai penyebab kelainan fungsi sawar kulit.
Variasi pH kulit dapat menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi
sawar kulit mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss (TEWL) 2-5 kali normal,
kulit akan makin kering dan merupakan port dentry untuk terjadinya penetrasi allergen,
iritasi, bakteri dan virus. Bakteri pada pasien dermatitis atopik mensekresi ceramidase yang
menyebabkan metabolisme ceramide menjadi sphingosine dan asam lemak, selanjutnya
semakin mengurangi ceramide di stratum korneum, sehingga menyebabkan kulit makin
kering (Soebaryo, 2009). Selain itu, faktor luar (eksogen) yang dapat memperberat keringnya
kulit adalah suhu panas, kelembaban yang tinggi, serta keringat berlebih. Demikian pula
penggunaan sabun yang bersifat lebih alkalis dapat mengakibatkan gangguan sawar kulit.
Gangguan sawar kulit tersebut meningkatkan rasa gatal, terjadilah garukan berulang (siklus
gatal-garuk-gatal) yang menyebabkan kerusakan sawar kulit. Dengan demikian penetrasi
alergen, iritasi, dan infeksi menjadi lebih mudah (Boediardja, 2006).

b. Genetik
Pendapat tentang faktor genetik diperkuat dengan bukti, yaitu terdapat DA dalam keluarga.
Jumlah penderita DA di keluarga meningkat 50% apabila salah satu orangtuanya DA, 75%
bila kedua orangtuanya menderita DA. Risiko terjadi DA pada kembar monozigot sebesar
77% sedangkan kembar dizigot sebesar 25%. Dari berbagai penelitian terungkap tentang
polimorfisme gen dihubungkan dengan DA. Selain itu pada penderita DA atau keluarga
sering terdapat riwayat rinitis alergik dan alergi pada saluran napas. Mekanisme imunologik
berkaitan erat dengan ekspresi gen penyandi, diantaranya (Boediardja, 2006):
1. Ekspresi human leucocyte antigen (HLA)-DR pada sel Langerhans meningkat berkaitan
dengan gen penyandi pada kromosom 6p21.3.
2. Aktivasi sel T oleh sel penyaji antigen atau antigen presenting cells (APC) atau sel
Langerhans dengan ekspresi kuat reseptor IgE (FcRI). Selain itu ditemukan peningkatan
jumlah IgE (100-1000 kali lipat) pada sel Langerhans di epidermis lesi DA yang sangat
efisien untuk mempresentasikan alergen tungau debu rumah ke sel T.
3. Secara konsisten terdapat peningkatan sintesis IgE spesifik terhadap banyak alergen. Hal
tersebut berkaitan dengan kromosom 5q gen penyandi IgE terangkai dengan penyandi
interleukin (IL)-4
4. Peningkatan activated cutaneous lymphocyte antigen (CLA) dan sel T, serta jumlah IL-4
dan IL-13 produksi sel Th2, yang secara genetik menunjukkan adanya polimorfisme.
Terdapat asosiasi genotip antara gen pengkode sel T dengan gen pengkode IL-4 pada DA.
Peningkatan kadar IL-4 dan IL-13 berperan penting pada induksi produksi IgE.
5. Peningkatan sekresi IL-4 dan IL-13 produksi sel Th2 sesuai penemuan para peneliti
imunogenetik, yaitu adanya polimorfisme :

- Gen pada 5q3.33 merupakan gen penyandi IL-5, IL-9, IL-10, IL-13.
- Gen pada 5q31-33 merupakan gen penyandi IL-4, IL-5, IL-13 dan granulocyte macrophage
colony stimulating factor (GM-CSF) produksi sel Th2.
- Ditemukan peningkatan IL-6 (dihasilkan sel keratinosit), selain sitokin lain yang sudah
ditemukan sebelumnya, yaitu IL-4, IL-8, IL-10, IL-12, GM-CSF dan regulated on activation
normal T-cell expressed and secreted (RANTES).

6. Terdapat penurunan kadar interferon (IFN) produksi sel Th1 pada DA :


- IFN- memediasi reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan menghambat produksi IgE.
- Pada DA kronik didominasi peningkatan IFN- bersama-sama dengan peningkatan IL-12.
7. Eosinofil pada lesi DA fase akut :
- Terdapat peningkatan kadar sitokin yang dihasilkan sel T helper (ThCD4+), yaitu : IL-4, IL5, dan IL-13. Sitokin tersebut yang sangat berperan penting sebagai induksi molekul adhesi
(E selectin) sel endotel pada inflamasi dan reaksi alergik, sehingga mampu menarik eosinofil
dan sel inflamasi lainnya.
- IL-5 berfungsi memacu perkembangan, aktivitasi, kemotaksis dan kelangsungan hidup sel
eosinofil dalam menghasilkan granul protein sitotoksik, major basic protein (MBP) pada lesi
DA.
8. Ditemukan gen yang berkaitan dengan reseptor, yaitu gen 14q12 penyandi reseptor sel T
(TCR) dan gen 11q13 penyandi reseptor subunit reseptor subunit IgE (FcRI).
9. Bukti polimorfisme lainnya, antara lain adalah polimorfisme keterikatan DA dan asma
pada gen reseptor di 11q12-13. Pada DA terdapat keterikatan gen di kromosom 3q21
(penyandi CD80 dan CD86). Keterikatan antara kromosom 1q21 dan 17q21, kedua lokus
tersebut berdekatan dengan lokus gen penyandi psoriasis (1q21 dan 17q25).

c. Hipersensitivitas
Berbagai hasil penelitian terdahulu membuktikan adanya peningkatan kadar IgE
dalam serum dan IgE di permukaan sel Langerhans epidermis. Data statistik
menunjukkan peningkatan IgE pada 85% pasien DA dan proliferasi sel mast. Pada
fase akut terjadi peningkatan IL-4, IL-5, IL-13 yang diproduksi sel Th2, baik di
kulit maupun dalam sirkulasi, penurunan IFN-, dan peningkatan IL-4. Produksi
IFN- juga dihambat oleh prostaglandin (PG) E2 mengaktivasi Th1, sehingga
terjadi peningkatan produksi IFN-, sedangkan IL-5 dan IL-13 tetap tinggi. Pasien
DA bereaksi positif terhadap berbagai alergen, misalnya terhadap alergen makanan
40-96% DA bereaksi positif (pada food challenge test) (Boediardja, 2006).

d. Faktor psikis
Berdasarkan laporan orangtua, antara 22-80% penderita DA menyatakan lesi DA
bertambah buruk akibat stress emosi (Boediardja, 2006).
Faktor eksogen
a. Iritan

Kulit penderita DA ternyata lebih rentan terhadap bahan iritan, antara lain sabun
alkalis, bahan kimia yang terkandung pada berbagai obat gosok untuk bayi dan anak, sinar
matahari, dan pakaian wol (Boediardja, 2006).
b. Alergen

Penderita DA mudah mengalami alergi terutama terhadap beberapa alergen, antara


lain:
1. Alergen hirup, yaitu debu rumah dan tungau debu rumah. Hal tersebut dibuktikan
dengan peningkatan kadar IgE RAST (IgE spesifik) (Boediardja, 2006).
2. Alergen makanan, khususnya pada bayi dan anak usia kurang dari 1 tahun
(mungkin karena sawar usus belum bekerja sempurna). Konfirmasi alergi dibuktikan
dengan uji kulit soft allergen fast test (SAFT) atau double blind placebo food challenge
test (DBPFCT) (Boediardja, 2006).
3. Infeksi: Infeksi Staphylococcus aureus ditemukan pada > 90% lesi DA dan hanya pada
5% populasi normal. Hal tersebut mempengaruhi derajat keparahan dermatitis atopik,
pada kulit yang mengalami inflamasi ditemukan 107 unit koloni setiap sentimeter
persegi. Salah satu cara S.aureus menyebabkan eksaserbasi atau mempertahankan
inflamasi ialah dengan mensekresi sejumlah toksin (Staphylococcal enterotoin A,B,C,D SEA-SEB-SEC-SED) yang berperan sebagai superantigen, menyebabkan rangsangan
pada sel T dan makrofag. Superantigen S.aureus yang disekresi permukaan kulit dapat
berpenetrasi di daerah inflamasi Langerhans untuk memproduksi IL-1, TNF dan IL-12.
Semua mekanisme tersebut meningkatkan inflamasi pada DA dengan kemungkinan
peningkatan kolonisasi S.aureus. Demikian pula jenis toksin atau protein S.aureus yang
lain dapat mengindusi inflamasi kulit melalui sekresi TNF- oleh keratinosit atau efek
sitotoksik langsung pada keratinosit (Soebaryo, 2009).

c. Lingkungan
Faktor lingkungan yang kurang bersih berpengaruh pada kekambuhan DA, misalnya
asap rokok, polusi udara (nitrogen dioksida, sufur dioksida), walaupun secara pasti
belum terbukti. Suhu yang panas, kelembaban, dan keringat yang banyak akan memicu
rasa gatal dan kekambuhan DA. Di negara 4 musim, musim dingin memperberat lesi DA,
mungkin karena penggunaan heater (pemanas ruangan). Pada beberapa kasus DA terjadi
eksaserbasi akibat reaksi fotosensitivitas terhadap sinar UVA dan UVB (Boediardja,
2006).
Imunopatogenesis Dermatitis Atopik
a. Imunitas bawaan (innate)
Sistem imunitas innate (bawaan) dapat segera bereaksi terhadap berbagai macam
kolonisasi mikroba atau alergen atau iritan, serta berperan terhadap awitan mekanisme
imunitas adaptive (didapat). Sel epitel kulit yang merupakan sel yang membatasi tubuh
dengan lingkungan merupakan mekanisme pertahanan pertama pada sistem imunitas
innate. Sel tersebut dilengkapi dengan sarana untuk pengenalan, disebut sebagai
reseptor pattern recognition (PRR), misalnya reseptor toll-like (TLR). Dikenal lebih dari
10 macam pada manusia, dapat berikatan secara spesifik dengan dinding sel bakteri,
jamur atau DNA-RNA virus. TLR dapat berikatan dengan berbagai struktur mikroba
karena adanya molekul permukaan pathogen-associated molecular pattern (PAMP).
Terikatnya produk mikroba pada permukaan sel epitel akan menyebabkan aktivitas
selular dengan mengeluarkan molekul dengan aktivitas antimikroba, disebut sebagai
anti-microbial peptide/protein (AMP). Pada DA, AMP jumlahnya kurang sehingga
menyebabkan pasien dermatitis atopik mudah terinfeksi herpes (Soebaryo, 2009).
b. Imunitas didapat (acquired)

Peran sel T dan konsep Th1/Th2 merupakan hal penting pada dermatitis atopik.
Ketidakseimbangan Th2 sistemik disertai eosinofilia diterima sebagai patogenesis atopik.
Sitokin yang diproduksi sel Th2, misalnya IL-4, IL-5 dan IL-13 dapat dideteksi pada fase
akut penyakit, baik pada lesi kulit maupun non lesi. IL-4 dan IL-13 terkait dengan awitan
jaringan inflamasi dan memicu ekspresi molekul adhesi di sel endotel. IL-5 terkait dengan
keberadaan eosinofil . Eosinofilia sistemik dan peningkatan eosinophilic cationic protein

(ECP) terjadi sesuai dengan aktivitas penyakit dermatitis atopik. Pada dermatitis atopik
fase kronik terjadi peningkatan kadar IFN-, IL-12, IL-5 dan GMCSF yang merupakan
karakteristik dominasi sel Th1/Th0. Kronisitas dermatitis atopik terkait dengan produksi
sitokin oleh sel Th1, yaitu IL-12 dan IL-18, juga IL-11 dan transforming growth factor
(TGF)-1. Dermatitis atopik merupakan penyakit inflamasi bifasik, dimulai dengan fase
akut terkait dengan sel Th2, dilanjutkan dengan fase kronik terkait dengan sel Th1
(Soebaryo, 2009).
c. Sel dendritik

Sel dendritik merupakan sel penyaji antigen yang professional dan selanjutnya
menyajikannya kepada sel T pada respons imun primer dan sekunder. Ada 2 tipe sel dendritik
dermatitis atopik yaitu myeloid dendritik (mDC) dan sel plasmasitoid dendritik (pDC). Pada
lesi dermatitis atopik keduanya ditemukan, tetapi pDC lebih sedikit dibandingkan mDC. Pada
kulit yang mengalami inflamasi terdapat sel inflamasi dendritik epidermal (inflammatory
dendritic epidermal cell IDEC). Sel Langerhans dan IDEC termasuk mDC dan
mengekspresikan reseptor IgE berafinitas tinggi (FcRI) pada lesi dermatitis atopik . Sel
Langerhans dan IDEC berperan sentral pada penyajian antigen ke sel Th1/Th2. FcRI pada
Sel Langerhans ditemukan pada kulit normal pada saat eksaserbasi penyakit atopik lain,
misalnya asma atau rinitis, sedangkan FcRI IDEC ditemukan pada kulit berlesi. Sel
Langerhans berperan aktif pada perkembangan sel T menjadi sel Th2, sedangkan rangsangan
FcRI pada IDEC akan memicu ke arah respons sel Th1 alergik (Bieber, 2008; Akdis, 2003
dalam Soebaryo 2009; Oppel, et al., 2000 dalam Soebaryo 2009). pDC mengekspresikan
FcRI secara alami dan mengalami peningkatan pada dermatitis atopik, penting untuk
penanggulangan infeksi virus dengan cara mengeluarkan interferon (Soebaryo, 2009).
d. Faktor yang berpengaruh pada diferensiasi sel T helper

Sel Th0 dapat berkembang menjadi sel Th1 atau sel Th2 dan rangkaian reaksi
selanjutnya bergantung pada berbagai faktor, termasuk lingkungan sitokin setempat, latar
belakang genetik pejamu, faktor farmakologik, dan penanda tambahan terkait dengan aktivasi
sel T (Soebaryo, 2009).
Pada saat pajanan alergen, lingkungan sitokin berperan penting pada perubahan sel T
helper menjadi sel Th1 atau Th2. Sel Th1 dipicu oleh IL-12 yang diproduksi makrofag dan

sel dendritik. IL-4 menghambat nonlensi dan lesi akut sel T mengekspresikan peningkatan
jumlah IL-4, IL-5 dan IL-13, namun sedikit IFN-. Lingkungan sitokin tersebut cenderung
memicu perkembangan ke arah sel Th2 dan mengurangi produksi sel Th1. Faktor genetik
juga berpengaruh pada diferensiasi sel T helper. Perbedaan genetik pada aktivitas transkripsi
gen IL-4 mempengaruhi predisposisi terjadinya dermatitis atopik (Soebaryo, 2009).
Faktor farmakologis juga berpengaruh terhadap diferensiasi sel T helper. Leukosit pasien
dermatitis atopik mempunyai peningkatan aktivitas enzim cyclic adenosine monophosphate
(cAMP)-phosphodiesterase (PDE). Hal tersebut mempengaruhi peningkatan sintesis IgE oleh
sel B dan produksi IL-4 oleh sel T pada dermatitis atopik (Soebaryo, 2009).
e. Ekspresi sitokin dengan pola bifasik pada lesi Dermatitis Atopik
Pola ekspresi lokal sitokin berperan penting pada terjadinya inflamasi di jaringan
setempat. Pada dermatitis atopik pola tersebut bergantung pada umur lesi kulit. Pada
inflamasi akut terutama terlihat ekspresi sitokin IL-4 dan IL-13, sedangkan pada lesi kronik
terutama terlihat ekspresi IL-5 dan IFN-. IL-12 berperan pada perkembangan sel Th1 dan
pada lesi kronik ekspresinya pada eosinofil dan makrofag memicu diferensiasi sel T CD4+ ke
arah lesi akut dan GM-CSF meningkatkan ketahanan hidup sel eosinofil dan makrofag pada
lesi kronik (Soebaryo, 2009).
Peningkatan ekspresi IL-4 dapat diamati 24 jam setelah terpajan alergen, setelah itu akan
terjadi penurunan ekspresi tersebut. Sedangkan ekspresi IFN- tidak ditemukan dalam 24 jam
setelah terpajan alergen, namun terlihat ekspresi berlebihan 48-72 jam setelah terpajan
alergen. Hasil tersebut sesuai dengan temuan sel Th2 spesifik pada masa awal reaksi uji
tempel, sedangkan pola utama sitokin sel atopi didahului ekspresi puncak IL-12,
membuktikan peran IL-12 pada perkembangan respons Th1. Peningkatan ekspresi IL-12
bersamaan dengan infiltrasi makrofag dan eosinofil, sel yang mengekspresikan IL-12. Hal
tersebut diatas menggambarkan bahwa fase awal dermatitis atopik dipicu oleh alergen yang
mengaktifkan sel Th2, sedangkan pada respons inflamasi kronik didominasi oleh respons sel
Th1 yang dipicu pula oleh keberadaan makrofag dan eosinofil yang mengekspresikan IL-12
(Leung dan Soter, 2001 dalam Soebaryo, 2009).
f. Respons sel Th2 terhadap kulit pada Dermatitis Atopik
Rinitis alergik dan asma terjadi pada 80% anak dengan dermatitis atopik dan pada banyak
pasien DA terjadi perburukan bila mengalami alergi saluran nafas. Hal tersebut sesuai konsep

bahwa ekspresi klinis penyakit alergi ditentukan sebagian oleh sensitisasi alergen di jaringan
lokal dan respons imun di kulit dibandingkan dengan mukosa saluran napas. Karena penyakit
alergi terkait respons inflamasi yang spesifik pada organ, maka sel T akan bermigrasi ke
berbagai jaringan. Sel T yang bermigrasi tersebut, disebut sebagai sel T-homing, terutama
diatur oleh interaksi antara reseptor sel T-homing dengan antigen permukaan sel endotel
vaskular yang pada manusia disebut cutaneous lymphocyte-associated antigen (CLA) dan
pasangan reseptornya yaitu E-selectin (Soebaryo, 2009).
Ekspresi sel T yang dipicu oleh CLA diatur oleh berbagai sitokin. Transforming growth
factor (TGF), IL-12 dan IL-6 meningkatkan ekspresi CLA, tetapi tidak IL-1, IL-2, IL-3, IL4, IL-5, IL-7 dan IFN- (Soebaryo, 2009).
g. Peran multifungsi IgE pada inflamasi kulit atopik
IgE berperan pada infiltrat sel inflamasi dermatitis atopik melalui berbagai mekanisme
termasuk reaksi bifasik, presentasi alergen oleh sel Langerhans penyandang IgE, aktivasi
makrofag penyandang IgE yang dipicu alergen, dan autoreaktivitas IgE terhadap protein
manusia (Soebaryo, 2009).
Kelainan klinis reaksi yang dipicu oleh alergen terkait dengan respons bifasik dan
bergantung pada IgE. Sel mast penyandang IgE mediator ke jaringan setempat dalam waktu
15-60 menit pasca pajanan. Hal tersebut tergambar setelah pruritus dan eritema akut. Tiga
sampai 4 jam kemudian, setelah reaksi akut menghilang akan terjadi reaksi lambat (late
phase reaction-LPR). Reaksi ditandai dengan ekspresi molekul adhesi pada endotel kapiler,
diikuti infiltrasi eosinofil, neutrofil dan infiltrat mononuklear sekitar 24-48 jam setelah awitan
LPR. Infiltrat tersebut menunjukkan peningkatan ekspresi mRNA untuk IL-3, IL-4, IL-5 dan
GM-CSF, sehingga timbul dugaan bahwa infiltrat terdiri atas sel Th2 (Soebaryo, 2009).
Permukaan sel Langerhans dan makrofag yang menginfiltrasi lesi DA menyandang IgE.
Terdapat 2 macam reseptor IgE, yaitu reseptor berafinitas tinggi dan yang berafinitas rendah.
Reseptor IgE pada sel Langerhans berafinitas tinggi, sedangkan reseptor IgE pada makrofag
berafinitas rendah. Sebagian besar pasien DA mempunyai antibodi IgE yang bersirkulasi
terhadap protein manusia. Respons imun IgE diawali oleh alergen lingkungan dan inflamasi
dipertahankan oleh alergen endogen manusia tersebut (Soebaryo, 2009).
Pruritus akut pada dermatitis atopik dipicu oleh pelepasan berbagai macam mediator ke
kulit setelah terpajan alergen, meski perkembangan lesi eksematosa bergantung pada trauma
kulit akibat garukan (Leung dan Soter, 2001 dalam Soebaryo 2009). Akan terjadi proses
inflamasi sebagai akibat keratinosit mengeluarkan berbagai sitokin proinflamasi sebagai

akibat keratinosit mengeluarkan berbagai sitokin proinflamasi, antara lain IL-1, TNF- , IL-4
dan CC kemokin yang mampu mengarahkan limfosit, eosinofil dan makrofag ke tempat
terjadinya inflamasi. Pada tahap ini sel residen dan sel yang menginfiltrasi akan
mengeluarkan sitokin dan mediator yang akan mempertahan inflamasi. Dermatitis atopik
merupakan hasil kombinasi antara berbagai mekanisme selular spesifik maupun nonspesifik
yang bertugas memicu dan mempertahankan inflamasi (Soebaryo, 2009).
Gejala Klinis
Gejala dermatitis atopik dapat bervariasi pada setiap orang. Gejala yang paling umum
adalah kulit tampak kering dan gatal. Gatal merupakan gejala yang paling penting pada
dermatitis atopik. Garukan atau gosokan sebagai reaksi terhadap rasa gatal menyebabkan
iritasi pada kulit, menambah peradangan, dan juga akan meningkatkan rasa gatal. Gatal
merupakan masalah utama selama tidur, pada waktu kontrol kesadaran terhadap garukan
menjadi hilang. Gambaran kulit atopik bergantung pada parahnya garukan yang dialami dan
adanya infeksi sekunder pada kulit. Kulit dapat menjadi merah, bersisik, tebal dan kasar,
beruntusan atau terdapat cairan yang keluar dan menjadi keropeng (krusta) dan terinfeksi
(Dewi, 2004). Kulit yang merah dan basah (eksim) disebabkan peningkatan peredaran darah
di kulit akibat rangsangan alergen, stress, atau bahan pencetus lain. Peningkatan aliran darah
diikuti dengan perembesan cairan ke kulit melalui dinding pembuluh darah. Kulit kering dan
bersisik membuat kulit lebih sensitif sehingga lebih mudah terangsang. Bila sangat kering
kulit akan pecah sehingga menimbulkan rasa nyeri. Penebalan kulit (likenifikasi) terutama di
daerah yang sering mengalami garukan, disertai dengan perubahan warna menjadi lebih gelap
akibat peningkatan jumlah pigmen kulit. Daerah yang lebih sering mengalami likenifikasi
ialah leher bagian belakang, lengan bawah, daerah pusar, di atas tulang kering, dan daerah
genital. Dermatitis atopik dapat juga mengenai kulit sekitar mata, kelopak mata dan alis mata.
Garukan dan gosokan sekitar mata menyebabkan mata menjadi merah dan bengkak.
(Soebaryo,2002 ).
Gejala dermatitis atopik dibedakan menjadi 3 kelompok usia yaitu dermatitis atopik pada
masa bayi (0-2 tahun), masa anak (2-12 tahun), dan saat dewasa (>12 tahun). Dermatitis
atopik yang terjadi pada masa bayi dan anak mempunyai gejala yang berbeda-beda, baik
dalam usia saat mulai timbul gejala maupun derajat beratnya penyakit. Pada masa bayi,
umumnya gejala mulai terlihat sekitar usia 6-12 minggu. Pertama kali timbul di pipi dan dagu
sebagai bercak-bercak kemerahan, bersisik dan basah. Kulit pun kemudian mudah terinfeksi.
Kelainan kulit pada bayi umumnya di kedua pipi sehingga oleh masyarakat sering dianggap

akibat terkena air susu ibu ketika disusui ibunya, sehingga dikenal istilah eksim susu.
Sebenarnya, pendapat tersebut tidak benar, pipi bayi yang mengalami gangguan bukan akibat
terkena air susu ibu. Bahkan bayi yang pada beberapa bulan pertama diberi air susu ibu (ASI)
secara ekslusif (hanya ASI saja) akan lebih jarang terkena penyakit ini dibandingkan bayi
yang mendapat susu formula (Dewi, 2004). Selain itu, sisik tebal bewarna kuning kerak
juga sering ditemui pada bayi di kepala (cradle cap), yang dapat meluas ke daerah muka
(Soebaryo, 2002).
Bersamaan dengan proses tumbuh kembang bayi, saat bayi lebih banyak bergerak dan mulai
merangkak, maka daerah yang terkena dapat meluas ke lengan dan tungkai. Lesi kulit muncul
sebagai bintil-bintil merah kecil yang terasa gatal yang dapat bergabung membentuk bercak
yang berukuran besar. Pada umumnya lesinya polimorfik cenderung eksudatif, kadangkadang disertai dengan infeksi sekunder atau pioderma. Bayi dengan dermatitis atopik sering
tampak gelisah dan rewel karena rasa gatal dan rasa tak nyaman oleh penyakitnya. Ketika
mencapai usia sekitar 18 bulan kulit bayi mulai meperlihatkan tanda-tanda perbaikan.
Walaupun demikian bayi tersebut mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk mempunyai kulit
yang kering dan dermatitis atopik di kemudian hari (Dewi, 2004; Zulkarnain, 2009).
Pada masa anak, pola distribusi lesi kulit mengalami perubahan. Awitan lesi muncul
sebelum umur 5 tahun. Sebagian besar merupakan kelanjutan fase bayi. Tempat predileksi
cenderung di daerah lipat lutut, lipat siku dan sangat jarang di daerah wajah, selain itu juga
dapat mengenai sisi leher (bagian anterior dan lateral), sekitar mulut, pergelangan tangan,
pergelangan kaki, dan kedua tangan (Dharmadji, 2006; Dewi, 2004). Distribusi lesi biasanya
simetris. Manifestasi dermatitis sub akut dan cenderung kronis. Pada kondisi kronis tampak
lesi hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan likenifikasi. Biasanya kelainan kulit dimulai dengan
beruntusan yang menjadi keras dan bersisik bila digaruk. Kulit di sekitar bibir dapat juga
terkena dan upaya menjilat terus-menerus di daerah tersebut dapat menyebabkan kulit sekitar
mulut pecah-pecah dan terasa nyeri, demikian pula bagian sudut lobus telinga sering
mengalami fisura. Lesi dermatitis atopik pada anak juga dapat ditemukan di paha dan
bokong. Pada sebagian anak penyakit akan menyembuh untuk jangka waktu yang lama. Pada
anak usia sekolah sering terjadi ruam kulit di kedua paha atas bagian belakang menyerupai
lingkaran tempat duduk (toilet seat eczema). Terdapat bentuk lain yang mengenai kaki,
disebut sebagai eksim kaos kaki (sweaty sock dermatitis), menyerupai infeksi jamur tetapi
sela jari kaki terbebas dari ruam (Zulkarnain, 2009; Wisesa, 2009; Dewi, 2004). Pada awal

masa pubertas oleh karena pengaruh hormon, stress, dan penggunaan produk atau kosmetik
perawatan kulit yang bersifat iritasi penyakit dapat timbul kembali (Dewi, 2004).
Sebagian orang yang mengalami dermatitis atopik pada masa anak juga mengalami
gejala pada masa dewasanya, namun penyakit ini dapat juga pertama kali timbul pada saat
telah dewasa. Gambaran penyakit saat dewasa serupa dengan yang terlihat pada fase akhir
anak. Pada umumnya ditemukan adanya penebalan kulit di daerah belakang lutut dan
fleksural siku serta tengkuk leher. Akibat adanya garukan secara berulang dan perjalanan
penyakit yang kronis, lesi ditandai dengan adanya hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan
likenifikasi. Distribusi lesi biasanya simetris. Lokasi lesi menjadi lebih luas, selain fosa kubiti
dan poplitea, juga dapat ditemukan bagian lateral leher, tengkuk, badan bagian atas dan
dorsum pedis. Namun, dapat pula terbatas hanya pada beberapa bagian tubuh, misalnya
hanya tangan atau kaki. Pada fase remaja, area di sekitar puting susu juga dapat terkena
(Zulkarnain, 2009).
Diagnosis
Sampai saat ini belum ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat digunakan untuk
memastikan penyakit dermatitis atopik. Pada umumnya diagnosis dibuat dari riwayat adanya
penyakit alergi, misalnya eksim, asma dan rinitis alergik, pada keluarga, khususnya kedua
orang tuanya. Kemudian dari gejala yang dialami pasien, kadang perlu melihat beberapa kali
untuk dapat memastikan dermatitis atopik dan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain
serta mempelajari keadaan yang menyebabkan iritasi/alergi kulit. Para ahli penyakit kulit
telah membuat beberapa kriteria diagnosis dan saat ini banyak digunakan adalah kriteria yang
dikemukakan oleh sarjana Hanifin dan Rajka, yang meliputi kriteria mayor dan kriteria minor
(Zulkarnain, 2009; Dewi, 2004).
Kriteria mayor :
- Rasa gatal
- Gambaran dan penyebaran kelainan kulit yang khas (bayi dan anak di muka dan lengan)
- Eksim yang menahun dan kambuhan
- Riwayat penyakit alergi pada keluarga (stigmata atopik)

Kriteria minor :
- Kulit kering
- Luka memanjang sekitar telinga (fisura periaurikular)
- Garis telapak tangan lebih jelas (hiperlinearitas Palmaris)
- Bintil keras di siku, lutut (keratosis pilaris)
- White dermographisme : bila kulit digores tumpul, timbul bengkak bewarna

keputihan di tempat goresan


- Garis Dennie Morgan : garis lipatan di bawah mata
- Kemerahan atau kepucatan di wajah
- Kulit pecah/luka di sudut bibir (keilitis)
- Pitiriasis alba : bercak-bercak putih bersisik
- Perjalanan penyakit dipengaruhi emosi dan lingkungan
- Uji kulit positif
- Peningkatan kadar Immunoglobulin E dalam darah
Seseorang dianggap menderita dermatitis atopik bila ditemukan minimal 3 gejala
mayor dan 3 gejala minor.

Anda mungkin juga menyukai