PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sinusitis mengenai sekitar 16% populasi dewasa di Amerika Serikat, yang
menyebabkan biaya kesehatan sejumlah 5,8 milyar dollar Amerika pada tahun
1996. Mayoritas pasien datang ke unit pelayanan kesehatan primer yaitu sebanyak
18 juta kunjungan per tahun. Derajat gangguan aktivitas yang ditimbulkan sangat
mendasar dan sebanding dengan penyakit kronik lainnya seperti penyakit paru
obstruktif kronis, angina dan nyeri punggung.1
Komplikasi akibat sinus paranasal sangat bervariasi, baik lokal, intra
orbital maupun intrakranial. Sinusitis dengan komplikasi intra orbita adalah
penyakit yang berpotensi fatal yang telah dikenal sejak zaman Hippocrates.
Diperkirakan bahwa 1 dari 5 pasien mengalami komplikasi sinusitis sebelum era
antibiotik.2,3 Pada era antibiotik saat ini 17% dari penderita dengan selulitis orbita
meninggal karena meningitis dan 20% mengalami kebutaaan.4 Komplikasi
intrakranial sinusitis jarang terjadi pada era antibiotik dimana angka kejadiannya
sekitar 4% pada pasien yang dirawat dengan sinusitis akut atau kronik. Meskipun
jarang, komplikasi ini dapat mengancam jiwa akibat komplikasi dari meningitis,
epidural empiema serta abses, trombosis sinus kavernosus, dan abses serebri.5
1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas mengenai sinusitis dengan komplikasinya meliputi
anatomi dan fisiologi sinus paranasal, definisi, etiologi, klasifikasi, patogenesis,
diagnosis, pentalaksanaan dan komplikasi sinusitis.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah unutk memahami mengenai anatomi
dan fisiologi sinus paranasal, definisi, etiologi, klasifikasi, patogenesis, diagnosis,
pentalaksanaan dan komplikasi sinusitis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.6,7
Rhinitis dan sinusitis biasanya terjadi bersamaan dan saling terkait pada
kebanyakan individu, sehingga terminologi yang digunakan saat ini adalah
rinosinusitis. Rinosinusitis (termasuk polip nasi) didefinisikan sebagai inflamasi
hidung dan sinus paranasal yang ditandai adanya dua atau lebih gejala, salah
satunya harus termasuk sumbatan hidung/ obstruksi nasi/ kongesti atau pilek
(sekret hidung anterior/ posterior)
nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
penurunan/ hilangnya penghidu
dan salah satu dari
Temuan nasoendoskopi:
o
dan atau
sekitar usia 8 hingga 10 tahun dan terus berkembang hingga akhir usia belasan
atau dua puluhan.6 Dinding lateral nasal mulai sebagai struktur rata yang belum
berdiferensiasi. Pertumbuhan pertama yaitu pembentukan maxilloturbinal yang
kemudian akan menjadi kokha inferior. Selanjutnya, pembentukan ethmoturbinal,
yang akan menjadi konka media, superior dan supreme dengan cara terbagi
menjadi ethmoturbinal pertama dan kedua. Pertumbuhan ini diikuti pertumbuhan
sel-sel ager nasi, prosesus uncinatus, dan infundibulum etmoid. Sinus-sinus
kemudian mulai berkembang. Rangkaian rongga, depresi, ostium dan prosesus
yang dihasilkan merupakan struktur yang kompleks yang perlu dipahami secara
detail dalam penanganan sinusitis, terutama sebelum tindakan bedah.9 Tulangtulang pembentuk dinding lateral hidung dijelaskan dalam gambar 1.10
10
10 cm
didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi
mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk
tumbuhnya bakteri patogen.7
10
Halitosis
Kelelahan
Sakit gigi
Batuk
Nyeri, rasa tertekan atau rasa penuh pada telinga
Diagnosis ditegakkan dengan dua gejala mayor atau satu gejala minor ditambah
dengan dua gejala minor.3
Pada rinoskopi anterior tampak pus keluar dari meatus superior atau nanah
di meatus medius pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis etmoid
anterior, sedangkan pada sinusitis etmoid posterior dan sinusitis sfenoid tampak
pus di meatus superior. Pada rinoskopi posterior tampak pus di nasofaring (post
nasal drip). Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi
suram atau gelap.7
Pemeriksaan radiologik yang dibuat adalah posisi waters, PA dan lateral.
Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air
fluid level) pada sinus yang sakit.7
mikrobiologik
dan
tes
resistensi
dilakukan
dengan
mengambil sekret dari meatus medius atau meatus superior. Lebih baik lagi bila
diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila. Dalam interpretasi biakan
hidung, harus hati-hati, karena mungkin saja biakan dari sinus maksilaris dapat
dianggap benar, namun pus tersebut berlokasi dalam suatu rongga tulang.
Sebaiknya biakan dari hidung depan, akan mengungkapkan organisme dalam
vestibulum nasi termasuk flora normal seperti Staphilococcus dan beberapa kokus
11
gram positif yang tidak ada kaitannya dengan bakteri yang dapat menimbulkan
sinusitis. Oleh karena itu, biakan bakteri yang diambil dari hidung bagian depan
hanya sedikit bernilai dalam interpretasi bakteri dalam sinus maksilaris, bahkan
mungkin memberi informasi yang salah. Suatu biakan dari bagian posterior
hidung atau nasofaring akan jauh lebih akurat, namun secara teknis sangat sulit
diambil. Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus
maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus
maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. 6,7
1. Sinusitis Maksilaris
Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila. Gejala sinusitis maksilaris akut
berupa demam, malaise dan nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda
dengan pemberian analgetik biasa seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh,
dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau
turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta
nyeri pada palpasi dan perkusi. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan
terkadang berbau busuk.7
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya pus dalam hidung, biasanya dari
meatus media, atau pus atau sekret mukopurulen dalam nasofaring. Sinus
maksilaris terasa nyeri pada palpasi dan perkusi. Transluminasi berkurang bila
sinus penuh cairan. Pada pemeriksaan radiologik foto polos posisi waters dan PA,
gambaran sinusitis maksilaris akut mula-mula berupa penebalan mukosa,
selanjutnya diikuti opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa yang membengkak
hebat, atau akibat akumulasi cairan yang memenuhi sinus. Akhirnya terbentuk
gambaran air-fluid level yang khas akibat akumulasi pus.6
2. Sinusitis Etmoidalis
Sinusitis etmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali
bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Dari anamnesis didapatkan nyeri yang
dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang nyeri di bola
mata atau di belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis,
post nasal drip dan sumbatan hidung. Pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan
pada pangkal hidung.6,7
12
3. Sinusitis Frontalis
Nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk
menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang
malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan
mungkin terdapat pembengkakan supra orbita. Pemeriksaan fisik, nyeri yang
hebat pada palpasi atau perkusi di atas daerah sinus yang terinfeksi merupakan
tanda patognomonik pada sinusitis frontalis.7
4. Sinusitis Sfenoidalis
Sinusitis sfenoidalis dicirikan oleh nyeri kepala yang mengarah ke verteks
kranium. Penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis dan oleh
karena itu gejalanya menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya. 6
13
2.7 Penatalaksanaan
Tujuan dari terapi adalah membebaskan obstruksi, mengurangi viskositas sekret,
dan mengeradikasi kuman.
14
Pilihan pengobatan
Berdasarkan algoritma penatalaksanaan sinusitis akut, pemberian antibiotik
dimulai dari lini pertama, namun pilihan antibiotik yang dilakukan secara empiris
dapat berubah sesuai pola resistensi kuman. Sebagian besar kuman penyebab
sinusitis (Streptococcus pneumoniae) memproduksi enzim -laktamase. Mikroba
golongan -laktam hampir semua resisten terhadap penisilin,amoksisilin ataupun
kotrimoksazol. sehingga perlu dipertimbangkan untuk langsung menatalaksana
sinusitis dengan menggunakan antibiotik lini ke II, pilihan yang dianjurkan untuk
antibiotik lini II adalah Amoksisilin klavulanat, yaitu kombinasi asam klavulanat
(penghambat -laktamase) dan amoksisilin. Pemberian Amoksisilin klavulanat ini
juga penting pada keadaan sinusitis akut yang berulang. 16
Farmakodinamik
Amoksisilin klavulanat, atau yang suka disingkat dengan Amoxiclav
merupakan anti bakteri kombinasi oral yang terdiri dari antibiotik semi sintetik
amoksisilin dan penghambat beta-laktamase, asam klavulanat. Amoksisilin adalah
golongan antibiotik spektrum luas (yaitu antibiotik yang dapat menghambat
kuman gram positif maupun gram negatif ) dan memiliki efek bakterisida, yaitu
Membunuh kuman dengan cara merusak dinding sel. Asam klavulanat adalah
suatu beta laktam yang struktur kimianya mirip golongan penicilin, mempunyai
kemampuan menghambat aktivitas berbagai enzim beta-laktamase yang sering
ditemukan pada berbagai organisme yang resisten terhadap penicilin. 16
Farmakokinetik
Kedua komponen obat ini mirip namun tidak saling menghambat.
Absorpsi klavulanat tidak dipengaruhi oleh makanan, susu, atau antasid. Obat ini
tahan terhadap suasana asam. Pada pemberian per oral kadar tertinggi rata-rata
dalam darah mencapai 3,5-3,9 ug/ml dalam 1-2 jam setelah pemberian. Sekitar
30% terikat pada protein plasma, sisanya didistribusi terutama ke dalam cairan
ekstrasel. Kadar yang cukup terdapat pada empedu, cairan pleura, cairan
peritoneal, dan cairan telingatengah. Kadar dalam cairan otak rendah, bila tidak
ada peradangan mening. Pada dosis tinggi, kadar dalam sputum cukup tinggi.
Kadar dalam cairan amnion dan tali pusat mencapai sekitar 50% dari kadar dalam
15
darah ibu. Ekskresi terutama melalui ginjal. Setelah 6 jam pemberian, sekitar 25%
sampai 40%obat ini terdapat didalam urine dalam bentuk asal. Waktu paruh
eliminasinya sekitar 1 jam. Waktu paruh ini memanjang bila ada gangguan fungsi
ginjal. (pada penderita gangguan ginjal, dosis dan waktu pemakaian harus
disesuaikan) 16
Mekanisme Kerja
Formulasi
amoksisilin
dan
asam
klavulanat dalam
co-amoxiclav
resisten
terhadap
amoksisilin
dan
berbagai
16
resisten
terhadap
isoksasolil
penisilin,
atau
sefalosporin
Kontra Indikasi
Alergi terhadap penisilin. Diberikan dengan hati-hati kepada bayi yang lahir dari
ibu yang mengalami hipersensitifitas terhadap penisilin. Riwayat ikterus
kolestatik (ganguan fungsi hati). Tidak boleh diberikan bersama disulfiram. 16
Efek Samping
Efek samping yang paling sering timbul adalah diare dan gangguan pencernaan.
Efek samping lain : ruam kulit dan urtikaria, muntah, abdominal discomfort, sakit
kepala,vaginitis, kandidiasis, Dilaporkan juga dapat mengganggu fungsi hati yaitu
berupa peningkatan serum transaminase (sehingga pada pasien dengan gangguan
fungsi hati berat sebaiknya jangan diberikan).16
Terapi Tambahan
Selain antibiotik untuk membunuh kuman penyebab, dibutuhkan juga terapi
tambahan lain untuk menghilangkan faktor penyebab lain, seperti mengurangi
oedema karna penyumbatan, dan lain sebagainya. Pilihan terapi tambahan lain
diantaranya.16
Dekongestan
a) Dekongestan Oral (Lebih aman untuk penggunaan jangka panjang)
Phenylproponolamine dan pseudoephedrine, yang merupakan agonis alfa
adrenergik
Obat ini bekerja pada osteomeatal komplek
b) Dekongestan topikal
Phenylephrine Hcl 0 , 5 % d a n oxymetazoline Hcl 0,5 % bersifat vasokonstriktor lokal.
Obat ini bekerja melegakan pernapasan dengan mengurangi oedema mukosa.
AntiHistamin dan Kortikosteroid
17
Gejala
atau
menetap
atau
setelah 5 hari
klindamisin.memburuk
Klindamisin
dapat
menembus
cairan
Steroid topikal
Antibiotik
topikal
Tidak
ada
dalam 48 jam
steroid
perbaikan
18
Rujuk ke dokter spesialis
19
Tersedia Endoskopi
Reevaluasi setelah 4
minggu
Sedang atau berat VAS
>3-10
Gambar
Ringan
VAS 0-39.
Steroid topikal
Intranasal cuci hidung
Gejala unilateral
Pertimbangkan diagnosis lain :
Perdarahan
Gejala unilateral
Krusta
Pemeriksaan Rinoskopi Anterior
Perdarahan
Kakosmia
Foto Polos SPN/ Tomografi
Krusta
Komputer
Gejala
Orbita tidak direkomendasikan
Kakosmia
Edema
Periorbita
Gejala Orbita
Penglihatan
ganda
Edema Periorbita
Oftalmoplegi
Penglihatan
ganda frontal yang berat
Nyeri
kepala bagian
Oftalmoplegi
Edem Steroid
frontaltopikal
NyeriCuci
kepala
yang neurologis
berat
hidungbagian
Tanda
meningitis
ataufrontal
tanda fokal
Edem
frontal
Antihistamin
jika alergi
fokal
Tanda meningitis atau tanda fokal neurologis
fokal
Skema penatalaksanaan
rinosinusitis
kronik tanpa polip
Sedang VAS 3-7 berbasis bukti
Berat
VAS > 10
Perbaikan
Tidak ada perbaikan
hidung pada dewasa untuk dokter spesialis THT berdasarkan
Steroid topikal and Nasal Polyps
Perluinvestigasi
investigasi
dan
setelah 3Paper
bulan on Rhinosinusitis
Perlu
EuropeanGagal
Position
20078 dan
Cuci hidung
Kultur
& resistensi
Kuman
Steroid
oral jangka
Makrolid
pendek jangka panjang
Lanjutkan
Steroid
topikal terapi
intervensicepat
cepat
intervensi
Perbaikan
Dievaluasi setelah 3
bulan
Tindak lanjut Jangka
Panjang + cuci hidung
Steroid topikalPerbaikan
Makrolide jangka panjang
Evaluasi setelah 1
bulan
Tidak membaik
Perbaikan
Tidak membaik
Tomografi Komputer
Lanjutkan Steroid
Topikal
Tomografi Komputer
Operasi
Tindak lanjut
Cuci hidung
Steroid topikal + oral
Antibiotika jangka
panjang
Operasi
20
2.8
Komplikasi Sinusitis
Sinusitis merupakan suatu penyakit yang tatalaksananya berupa rawat jalan.
Pengobatan rawat inap di rumah sakit merupakan hal yang jarang kecuali jika ada
komplikasi dari sinusitis itu sendiri. Walaupun tidak diketahui secara pasti, insiden
dari komplikasi sinusitis diperkirakan sangat rendah. Salah satu studi menemukan
bahwa insiden komplikasi yang ditemukan adalah 3%. Sebagai tambahan, studi
lain menemukan bahwa hanya beberapa pasien yang mengalami komplikasi dari
sinusitis setiap tahunnya. Komplikasi dari sinusitis ini disebabkan oleh
penyebaran bakteri yang berasal dari sinus ke struktur di sekitarnya. Penyebaraan
yang tersering adalah penyebaran secara langsung terhadap area yang mengalami
kontaminasi.17
Komplikasi dari sinusitis tersebut antara lain :17
1.
2.
Komplikasi lokal
a)
Mukokel
b)
Komplikasi orbital
a)
Inflamatori edema
b)
Abses orbital
c)
Abses subperiosteal
d)
21
3.
Komplikasi intrakranial
a)
Meningitis
b)
Abses Subperiosteal
Etiologi
Osteomielitis yang disebabkan karena komplikasi dari sinusitis memiliki
organisme yang sama dengan penyebab sinusitis itu sendiri. Organisme tersering
adalah Staphylococcus, Streptococcus dan bakteri anaerob.17
22
b)
Gejala klinis
Gejala klinis antara lain nyeri dan nyeri tekan dahi setempat sangat berat,
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan gambaran radiografi dimana tidak hanya
dalam
sinus
yang
keruh.
Pada
stadium
lanjut,
radiogram
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari osteomielitis adalah pemberian antibiotik intravena
selama 6-8 minggu. Antibiotik yang dipilih adalah antibiotik yang bisa
mengeradikasi kuman aerob dan anaerob. Terapi empirik yang biasa digunakan
23
Mukokel
Mukokel adalah penyakit kronis berupa lesi kistik yang mengandung
mukus pada sinus paranasal. Mukokel tumbuh secara perlahan memakan waktu
tahunan untuk menimbulkan keluhan. Dan keluhan berhubungan dengan
bertambah besarnya mukokel. Sesuai dengan pertambahan besarnya, mukokel
dapat menekan dinding sinus sehingga mengawali erosi tulang. Setelah terjadi
erosi pada dinding sinus, mukokel dapat mengenai seluruh struktur. Mukokel
kebanyakan terjadi pada sinus frontalis, diikuti dengan sinus etmoid dan maksila.
Gejala dari sinus frontal atau etmoid dapat menyebabkan sakit kepala, diplopia
dan proptosis. Bola mata yang proptosis secara khas berpindah ke arah bawah dan
luar. Mukokel sinus maksilaris biasanya ditemukan secara tidak sengaja pada foto
rongent sinus. Mukokel pada lokasi ini jarang menyebabkan gejala karena sinus
maksilaris luas dan mukokel jarang menjadi cukup besar untuk menyebabkan
kelainan pada tulang. Mukokel sinus maksilaris dapat menimbulkan gejala, jika
menghambat ostium sinus maksilaris. Mukokel dapat bergejala pada setiap sinus
ketika mukokel terinfeksi membentuk mukopyocele. Gejalanya hampir sama
dengan mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat. Diagnosis ditegakkan oleh
CT scan sinus. Mukokel yang mempunyai gejala ditata laksana dengan tindakan
bedah mengangkat mukokel dan membersihkan sinus. Eksplorasi sinus secara
bedah untuk mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan berpenyakit serta
memastikan suatu drainase yang baik, atau obliterasi sinus merupakan prinsipprinsip terapi.6, 17
24
Infeksi orbita
Infeksi orbita disebabkan oleh penetrasi ruang orbita saat operasi atau
trauma, kebanyakan disebabkan oleh bakteri yang menyebar dari sinus yang
terinfeksi. Oleh karena ruang orbita dibatasi oleh beberapa sinus, seperti sinus
frontalis, etmoid, dan maksilari, infeksi dari sinus tersebut berpotensial menyebar
hingga ruang orbita. Sinus etmoid sangat mempengaruhi penyebaran infeksi ke
ruang orbita. Hal ini dipengaruhi karena sangat eratnya hubungan antara dinding
sinus dengan orbita. Dinding yang tipis menyebabkan infeksi lebih mudah
menyebar. Sinus etmoid mempunyai dinding yang paling tipis, disebut lamina
papyracea yang batas lateral dan medialnya adalah orbita. Sehingga infeksi pada
orbita biasanya dimulai dari bagian medial. Walaupun jarang terjadi dinding sinus
yang lebih tebal dapat juga menyebabkan infeksi orbita. Sekali infeksi menyebar
melalui dinding sinus, batas periosteal dinding sinus berperan sebagai barrier
tambahan untuk memproteksi orbita dari penyebaran infeksi. Jika terbentuk abses
di antara dinding dengan periosteum, disebut abses subperiosteal. Jika periosteum
rusak maka akan terbentuk abses orbita.17
a) Etiologi
Banyak organisme yang dapat diisolasi dari penderita infeksi orbita. Dapat
berupa organisme tunggal maupun organisme campuran, anaerob maupun aerob,
25
atau gabungan keduanya. Biasanya, hasil isolasi sama dengan yang ditemukan
pada sinus terinfeksi.17
b) Diagnosis
Pada sebuah artikel Chandler menyampaikan sebuah sistem klasifikasi dari
infeksi orbita yang masih dapat digunakan hingga kini. Infeksi orbita dibagi
menjadi lima grup berdasarkan progresifitasnya menjadi infeksi serius, yaitu :6, 17
1.
Selulitis orbita, terlihat sebagai edema difus dari garis batas orbita dan bakteri
telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk. Selulitis
ini menyebabkan kelopak mata bengkak dan nyeri ketika otot ekstra okular
3.
bergerak.6, 17
Abses subperiosteal, ditandai oleh edema dari garis batas orbita dengan
pengumpulan pus diantara periorbita dan dinding tulang orbita. Secara klinis
26
pasien dengan kondisi ini mirip dengan grup dua, tetapi terdapat proptosis
4.
5.
27
28
Gambaran CT scan pasien dengan klasifikasi chandler grup dua (selulitis orbital)
sering menunjukkan gambaran opaq pada sinus etmoid dengan massa tidak jelas
di sisi orbital dari lamina papyracea. Selain itu, mungkin juga terdapat
peradangan pada otot rektus. Ini adalah jenis yang paling ringan dan paling umum
dari infeksi orbital.17
Grup tiga (abses subperiosteal) menunjukkan inflamasi dengan elevasi
periosteum, perpindahan otot rektus, dan jika cukup besar, beberapa derajat
proptosis mata. Temuan untuk grup empat (abses orbital) menunjukkan material
inflamasi dalam ruang orbital dengan proptosis. MRI mungkin jenis yang lebih
baik dari studi pencitraan, tetapi dapat menjadi masalah karena infeksi orbital
sebagian besar pada anak-anak muda yang akan membutuhkan penenang untuk
prosedur ini. MRI adalah pilihan terbaik untuk komplikasi infeksi intrakranial,
seperti trombosis sinus kavernosus (grup lima) atau abses epidural. Tidak ada nilai
foto polos sinus untuk mendiagnosis infeksi orbital.17
d) Penatalaksanaan
Sampai beberapa tahun yang lalu, banyak pertentangan dalam bagaimana
penatalaksanaan infeksi orbital. Sampai baru-baru ini, drainase bedah dilakukan
pada kebanyakan pasien. Pengobatan komplikasi orbita sinusitis berupa
pemberian antibiotik intravena dosis tinggi dan pendekatan bedah khusus untuk
membebaskan pus dari rongga abses. Manfaat terapi anti koagulan pada trombosis
sinus kavernosus masih belum jelas. Pada kasus tromboflebitis septik, masuk
logika bila dikatakan terapi antikoagulan hanya akan menyebarkan (diseminata)
trombus yang terinfeksi. Perlu diingat bahwa angka kematian setelah trombosis
sinus kavernosus dapat setinggi 80 %. Pada penderita yang berhasil sembuh,
angka morbiditas biasanya berkisar antara 60-80 %, dimana gejala sisa trombosis
sinus kavernosus seringkali berupa atrofi optik.6
2.8.3
Komplikasi Intrakranial
Komplikasi intrakranial sangat jarang, terjadi hanya satu hingga 3 kali
29
>
komplikasi intracranial
Banyak studi yang telah memperlihatkan bahwa sejumlah besar
komplikasi ini lebih sering terjadi pada pria (lebih dari 3 : 1 pria/wanita).
Penyebab hal ini tidak diketahui secara pasti , tapi berlaku bahwa pada setiap
golongan umur dan mungkin terkait dengan jenis kelamin, memiliki perbedaan
anatomi dan drainase vena sinus.17
30
a) Patogenesis
Patogenesis dari komplikasi intrakranial ini mirip dengan terjadinya
komplikasi pada infeksi infraorbital. Infeksi intrakranial bisa berkembang dari
penyebaran luas melalui invasi dinding sinus menuju tulang yang terkontaminasi,
dan kemudian ke struktur intrakranial melalui osteitis atau cacat congenital atau
defek traumatik. Berbeda dengan infeksi orbital, metode tersering dari komplikasi
intrakranial ini adalah melalui penyebaran emboli septik via vena diploik kalvaria
dan tidak adanya katup pada sistem vena juga bertanggung jawab terhadap
drainase dari wajah bagian tengah dan sinus paranasal.17
Walaupun banyak komplikasi ini muncul bersamaan dengan pansinusitis,
beberapa infeksi intrakranial muncul dari peradangan sinus yang spesifik.
Meningitis sering muncul dari sinusitis etmoid atau sfenoid. Trombosis sinus
cavernous juga berhubungan dengan sinusitis etmoidalis atau sfenoidalis. Sinusitis
frontalis paling sering berhubungan dengan perkembangan abses ekstra aksial dan
intraserebral.17
b) Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis komplikasi intrakranial sangat sulit untuk ditentukan,
karena biasanya penderita memiliki lebih dari satu komplikasi. Disamping itu,
tanda dan gejala rinosinusitis juga saling tumpang tindih dengan gejala infeksi
intrakranial. Sakit kepala di daerah frontal atau retro-orbital gejala yang paling
sering muncul, terjadi kira-kira 70 % pada penderita dengan komplikasi
intrakranial yang muncul akibat sinusitis. Kebanyakan dari pasien mengalami
demam (>38,50C). Pasien juga memilki gejala peningkatan tekanan intrakranial,
antara lain perubahan fungsi mental, muntah, dan fotofobia. Iritasi araknoid
mungkin akan memperlihatkan adanya kekakuan nuchal. Gejala neurologik yang
selanjutnya muncul akibat komplikasi ini adalah kejang, paresis fokal, dan palsi
nervus kranial. Berikut ini beberapa gejala/tanda yang muncul dari infeksi
intrakranial sebagai akibat dari komplikasi sinusitis.17
Tabel 3. Manifestasi Klinik Komplikasi Intra Kranial17
Sakit kepala (%)
69
Demam (%)
60
Perubahan status mental (mulai dari kebingangan hingga 41
31
obtundasi) (%)
Mual/muntah (%)
Palsi nervus kranial (%)
Kejang (%)
Tanda neurologik fokal lainnya (hemiparesis/hemiplegia,
30
18
17
17
10
c) Diagnosis
Sebelum menggunakan teknik neuroimaging dengan CT scan atau MRI,
diagnosis lesi desak ruang dari infeksi intrakranial pertama kali ditegakkan dari
evaluasi gejala kilinik. CT scan dan MRI merupakan teknik pelengkap, dimana
masing-masingnya membantu memberikan informasi diagnostik dan juga
manajemen utama dari komplikasi intrakranial. CT scan bisa mendemonstrasikan
kebanyakan kasus supuratif intrakranial dan merupakan suatu teknik pilihan untuk
mengevaluasi keterlibatan tulang. CT scan merupakan modalitas imaging pertama
untuk mengevaluasi dari komplikasi intrakranial yang berasal dari sinusitis. Dan
untuk perencanaan dalam bedah sinus, karena CT scan memiliki kemampaun yang
lebih untuk menggambarkan air-bone, dan airsoft tissues. Disisi lain, MRI
memiliki resolusi yang lebih baik untuk patologi intrakranial dan memiliki akurasi
diagnostik yang lebih tinggi dalam mendiagnostik infeksi intrakranial. Dalam
salah satu studi yang membandingkan CT scan dan MRI dalam mendiagnostik
komplikasi intrakranial dari sinusitis, CT scan mendiagnostik 36 dari 39 kasus
(92%), sedangkan MRI 100 %. MRI juga mampu mendeteksi meningitis pada 17
kasus sedangkan CT scan hanya 3 kasus. 17
Penggunaan kontras pada CT scan merupakan kontraindikasi pada pasien
dengan insufisiensi ginjal atau pada penderita yang alergi. Oleh karena itu MRI
merupakan metode pertama yang digunakan sebagai alat diagnostik pada
penderita insufisiensi ginjal atau penderita yang alergi terhadap kontras. Jika pada
pasien tersebut MRI merupakan kontraindikasi, seperti adanya implantasi alat-alat
yang bersifat magnetik atau kontraindikasi lainnya, pasien insufisiensi ginjal bisa
diberikan terlebih dahulu renal protective sebelum penggunaan kontras. 17
1. Meningitis
32
a) Gejala Klinis
Meningitis sering muncul dengan gejala sakit kepala. Kebanyakan dari
pasien juga mengalami demam dan lebih dari setengahnya disertai dengan kaku
kuduk. Gejala lain termasuk muntah, perubahan mental status, dan kejang. Pada
beberapa kasus pasien muncul, dengan gejala palsi nervus karanialis.17
b) Bakteriologi
S. pneumonia adalah organisme tersering penyebab meningitis. Penyebab
lainnya adalah S. aureus (terkhususnya pada sinusitis sfenoid). Jarang H.
influenza, Neisseria meningitides dan batang aerob gram negatif sebagai penyebab
meningitis akibat komplikasi dari sinusitis ini. Patogen utama pada pasien AIDS
adalah Cryptococcus neoformans.17
c) Diagnosis
Walaupun meningitis sering didiagnosis dengan pemeriksaan punksi
lumbal dan analisa dari cairan serebrospinal (CSS) pemeriksaan punksi lumbal
pada meningitis yang disertai dengan lesi desak ruang sangat beresiko untuk
terjadinya herniasi uncus trans tentorial, terkhususnya ketika massa berada pada
fosa tempral. CT scan dapat digunakan sebagai alat diagnostik untuk menentukan
apakah ada lesi desak ruang atau tidak sebelum melakukan punksi lumbal pada
meningitis.17
d) Tatalaksana
Meningitis tanpa lesi desak ruang (konfirmasi dengan CT scan atau MRI)
diobati dengan menggunakan antibiotik. Ketika meningitis berkembang dengan
cepat, terkhususnya pada pneumokokus sebagai patogen utama, terapi antibiotik
dapat dimulai segera setelah diagnosis suspek atau didahului dengan neuroimaging atau punksi lumbal ditegakkan. Pemberian deksametason sebelum atau
bersamaan dengan pemberian pertama dosis antibiotik dapat menurunkan angka
kematian. Deksametason juga dapat diberikan pada edema serebri akibat sekunder
dari infeksi intrakranial. Antibiotik pilihan pertama adalah generasi ketiga dari
cefalosporin (cefotaxime atau ceftriaxone) intra vena dikombinasi dengan
33
34
35
Bakteri dari abses subdural dan epidural sama dengan bakteri yang
menyebabkan abses intraserebral.17
c) Diagnosis
MRI dipertimbangkan sebagai modalitas pertama untuk mendiagnosis
abses epidural dan subdural. Bila MRI tidak ada atau pasien memilki
kontraindikasi, CT scan dengan kontras dapat digunakan sebagai pengganti
MRI.17
36
37
BAB III
KESIMPULAN
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Rinitis
dan sinusitis biasanya terjadi bersamaan dan saling terkait pada kebanyakan
individu, sehingga terminologi yang digunakan saat ini adalah rinosinusitis.
Komplikasi akibat sinus paranasal sangat bervariasi, baik lokal, intra orbital
maupun intra kranial. Sinusitis dengan komplikasi intra orbita adalah penyakit
yang berpotensi fatal yang telah dikenal sejak zaman Hippocrates. Kesehatan
sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran klirens dari
mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Komplikasi dari sinusitis
tersebut antara lain komplikasi lokal, orbital dan intrakranial. Komplikasi lokal
antara lain mukokel dan osteomielitis (Potts puffy tumor). Komplikasi orbital
adalah inflamatori edema, abses orbital dan trombosis sinus cavernosus.
Komplikasi intrakranial antara lain meningitis dan abses subperiosteal
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Leung, Katial. The Diagnosis and Management of Acute and Chronic
Sinusitis. 2008
2. Soh, dr. Kevin. Orbital Complication of Sinogenic Origin : A case study of 20
patients. Worlds Article in Ear,Nose and Throat. USA. 2010
3. Mekhitarian Neto, et al. Acute Sinusitis in Children- a Retrospective Study of
Orbital Complication. Article of Otorhinolaryngology. Vol.73. No.1. Sao
Paulo.2007
4. Rianil A. Selulitis Orbita Sebagai Komplikasi Sinusitis. Jakarta : Bagian THT
FKUI/ RSUPNCM. 1998.
5. Brook I. Microbiology and Antimicrobial Treatment of Orbital and
Intracranial Complication of Sinusitis in Children and Their Management.
USA : IJPO 73. 2009; page 1183-6
6. Hilgher PA. Penyakit Sinus Paranasalis. Dalam: Adams, Boies, Higler. Buku
Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997. hal 240-53
7. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007; hal
170-3
8. Fokkens W, Lund V, Mullol J. European Position Paper on Nasal Polyps. 2007
9. Quinn FB. Paranasal Sinus Anatomy and Function. 09 Januari 2009.Diunduh
dari http://www.utmb.edu/otoref/Grnds/Paranasal-Sinus-2002-01/Paranasalsinus-2002-01.htm.
10. Norman W. Nasal Cavity, Paranasal Sinuses, Maxillary Division of Trigeminal
Nerve. 2009. Diunduh dari http://home.comcast.net/~wnor/lesson9.htm.
39
40
23. Hanus R. Infections of the Nervous System I. 20 April 2004. Diunduh dari
www.inf3.if1.cuni.cz
24. Lenaard N. Brain Abscess Imaging. 30 November 2009. Diunduh dari
www.emedicine.com
41
42
43