SINDROM NEFROTIK
Disusun oleh :
Frisca Aprillia Halim
07120100055
Pembimbing :
dr. Widya Wirawan, Sp.PD
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.......................................................................................................... i
BAB I. PENDAHULUAN................................................................................... 1
BAB II. ANATOMI .............................................................................................. 3
2.1 Anatomi ginjal ................................................................................... 3
2.2 Vaskularisasi ginjal ............................................................................ 12
2.3 Persarafan ginjal ................................................................................ 13
2.4 Fungsi ginjal ......................................................................................13
BAB III. FISIOLOGI GINJAL ............................................................................ 15
3.1 Tahap-tahap pembentukan urin......................................................... 15
3.1.1 Filtrasi glomerulus ............................................................ 16
3.1.2 Reabsorpsi tubulus ............................................................ 19
3.1.3 Sekresi tubulus .................................................................. 25
3.2 Ekskresi urin .................................................................................... 27
BAB IV. SINDROM NEFROTIK ........................................................................30
4.1 Pengertian ....................................................................................... 30
4.2 Etiologi ............................................................................................ 30
4.3 Klinis dan patofisiologi ................................................................... 36
4.3.1 Proteinuria ....................................................................... 37
4.3.2 Hipoalbuminemia ............................................................ 38
4.3.3 Edema .............................................................................. 40
4.3.4 Hiperkolestrolemia ...........................................................41
4.3.5 Kelainan tubulus ginjal .....................................................42
4.3.6 Klinis lain pada sindrom nefrotik .....................................42
4.4 Diagnosis ....................................................................................... 42
4.5 Komplikasi .................................................................................... 47
4.5.1 Keseimbangan Nitrogen ......................................................... 47
4.5.2 Lipiduria ..................................................................................47
4.5.3 Hiperkoagulasi ........................................................................48
4.5.4 Metabolisme kalsium dan tulang ............................................48
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sindrom Nefrotik adalah kumpulan gejala yang disebabkan penyakit yang
merusak sistem filtrasi ginjal di glomerulus. Keadaan ini ditandai dengan
proteinuria berat (>3,5g/dl), hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema
anasarka. Sindrom nefrotik dibedakan menjadi dua berdasarkan penyebabnya
yaitu sindrom nefrotik primer dan sindrom nefrotik sekunder. Disebut sindrom
nefrotik primer karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan
pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Sindrom nefrotik primer
dapat
disebabkan
karena
Glomerulonefritis
lesi
minimal
(GNLM),
membranoproliferatif
(GNMP),
dan
Glomerulonefritis
proliferatif lain. Sedangkan sindrom nefrotik sekunder timbul sebagai akibat dari
suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti
misalnya infeksi, DM, trombosis vena renalis, SLE, keganasan, penyakit jaringan
penghubung, obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik. Glomerulonefritis
primer atau idiopatik merupakan penyebab sindrom nefrotik yang paling sering.1
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan Glomerulonefritis lesi
minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat
diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang
dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50
tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Dari 387 biopsi ginjal pasien
sindrom nefrotik dewasa yang dikumpulkan di jakarta dilaporkan, GNLM
didapatkan pada 44.7% GNMsP (GN mesangioproliferatif) pada 14.2%, GSFS
pada 11.6%, GNMP pada 8.0% dan GNMN pada 6.5%.1
Untuk menegakkan diagnosis sindrom nefrotik dapat melalui anamnesis
(kebiasaan mengkonsumsi obat tertentu), pemeriksaan fisik (edema) dan
pemeriksaan urin (proteinuria, kelainan sedimen, lipiduria, faal ginjal),
pemeriksaan
darah
(hiperlipoproteinemia,
perubahan
protien
serum,
4
BAB II
ANATOMI
2.1 ANATOMI GINJAL
mayor atau minor ini bersatu menjadi pelvis renalis dan di pelvis renalis inilah
keluar ureter. Korteks terdiri atas glomerulus dan tubuli, sedangkan pada medula
hanya terdapat tubuli. Glomeruli dari tubuli akan membentuk nefron, satu unit
nefron terdiri dari glomerulus, tubulus proksimal, loop of henle, tubulus distal.4,5
Tiap ginjal mempunyai kurang lebih 1.5 2 juta nefron, berarti kurang
lebih 1.5 2 juta glomeruli. Pembentukan urin dimulai dari glomerulus, dimana
pada glomerulus filtrasi dimulai. Filtrat adalah isotonik dengan plasma pada
konsentrasi 285 mosmol. Pada akhir tubulus proksimal 80% filtrat telah
diabsorbsi, meskipun konsentrasinya masih tetap sebesar 285 mosmol. Saat
infiltrat bergerak ke bawah melalui bagian desenden lengkung henle, konsentrasi
filtrat bergerak ke atas melalui bagian asenden, konsentrasi makin lama makin
encer sehingga akhirnya menjadi hipoosmotik pada ujung atas lengkung, saat
filtrat bergerak sepanjang tubulus distal, filtrat menjadi semakin pekat sehingga
akhirnya isoosmotik dengan plasma darah pada ujung duktus pengumpul. Ketika
filtrat bergerak turun melalui duktus pengumpul konsentrasi filtrat meningkat
pada akhir duktus pengumpul, sekitar 99% air sudah di reabsobsi dan hanya
sekitar 1% yang disekresi sebagai urin atau kemih.4,5
Tabel 1. Batas-batas ginjal
Ginjal kanan
Limpa
Vasa lienalis
Fleksura hepatica
Usus halus
Usus halus
Fleksura lienalis
posterior
Diafragma
M. psoas major
M. quadratus lumborum
M. tranversus abdominal (aponeurosis)
7
N. subcostalis
N. iliohypogastricus
A. subcostalis
aa. Lumbales 1-2, iga 12 (ginjal kanan) dan iga 11-12 (ginjal kiri).
menjulur di antara piramid. Dalam lapisan ini terdapat corpuscle ginjal dan
tubulus ginjal kecuali untuk bagian dari loop of henle yang turun ke dalam
medula. Korteks ginjal juga mengandung pembuluh darah dan kortikal pembuluh
penampung.4
c. Medula Ginjal (renal pyramids)
Medula berada dibawah korteks. Bagian ini merupakan area yang berisi 8
sampai 18 bagian berbentuk kerucut yaitu piramid, yang terbentuk dari ikatan
saluran berukuran mikroskopis. Ujung dari tiap piramid mengarah pada bagian
pusat ginjal. Saluran ini mengangkut urin dari kortikal atau bagian luar ginjal,
dimana urin dihasilkan ke kaliks. Kaliks merupakan suatu penampung berbentuk
cangkir tempat urin terkumpul sebelum mencapai kandung kemih melalui ureter.4
Ruang di antara piramid diisi oleh korteks dan membentuk struktur yang
disebut renal columns. Ujung dari tiap piramid yang disebut papilla, menuju pada
kaliks di pusat tengah ginjal. Permukaan papilla memiliki penampilan seperti
saringan karena banyaknya lubang-lubang kecil tempat dimana tetesan urin lewat.
Setiap lubang merupakan ujung dari sebuah saluran yang merupakan bagian dari
nefron, yang disebut saluran bellini, dimana semua saluran pengumpul di dalam
piramid mengarah. Serat otot mengarah dari kaliks menuju papilla. Saat serat otot
pada kaliks berkontraksi, urin mengalir melalui saluran bellini kedalam kaliks.
Urin kemudian mengalir ke kandung kemih melalui renal pelvis dan ureter.4,5
d. Pelvis Ginjal
Pelvis ginjal berada di tengah ginjal sebagai saluran urin mengalir dari
ginjal ke kandung kemih. Bentuk pelvis ginjal seperti corong yang melengkung di
satu sisinya. Pelvis ginjal hampir seluruhnya dibungkus oleh lekukan pada sisi
cekung ginjal yang disebut sinus. Ujung akhir dari pelvis memiliki bentuk seperti
cangkir yang disebut kaliks.4
Pelvis ginjal dilapisi oleh lapisan membran berselaput lendir yang lembab
dan tebalnya hanya beberapa sel. Membran ini terkait bungkus yang lebih tebal
dari serat otot yang halus, yang dibungkus lagi dengan lapisan jaringan yang
terhubung. Membran berselaput lendir pada pelvis ini agak berlipat sehingga
9
molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan
dibuang. Reabsopsi dan pembuangn dilakukan menggunakan mekanisme
pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir yang kemudian diekskresikan
disebut urin.4,5
Struktur nefron:
1. Glomerulus
Gambar 4. Glomerulus
11
Glomerulus adalah filter utama nefron dan terletak dalam kapsul bowman.
Glomerulus dan seluruh kapsul bowman membentuk renal corpuscle, unit
filtrasi dasar dari ginjal. Dari kapsul bowman, keluar pembuluh sempit,
disebut proximal convoluted tubule. Tubule ini berkelok-kelok sampai
berakhir pada saluran pengumpul yang menyalurkan urin ke pelvis ginjal.
Darah melewati glomerulus atau kapiler dan disaring sehingga terbentuk
filtrat atau urin yang masih encer yang berjumlah kira-kira 170 L/hari,
kemudian dialirkan melalui pipa atau saluran yang disebut tubulus. Urin
dialirkan keluar ke saluran ureter, kandung kencing, kemudian keluar
melalui uretra.5
Volume ultrafiltrat tiap menit per luas permukaan tubuh disebut laju filtrasi
glomerular (LFG). LFG normal dewasa : 120 cc/menit/1.73 m2. LFG
normal umur 2-12 tahun : 30-90 cc/menit/luas permukaan tubuh anak.4
Glomeruli mengandung kapiler-kapiler arteri yang tekanan hidrostatiknya
lebih tinggi daripada tekanan hidrostatik pada kapiler-kapiler lain.
Tekanannya sekitar 75 mmHg. 5
Ginjal mempertahankan keasaman plasma darah pada kisaran 7.4 melalui
pertukaran ion hidronium dan hidroksil. Akibatnya urin yang dihasilkan
dapat bersifat asam pada pH 5 atau alkalis pada pH 8. Kadar ion natrium
dikendalikan melalui proses homeostasis yang melibatkan aldosteron
untuk meningkatkan penyerapan ion natrium pada tubulus konvulasi.
Kenaikkan atau penurunan tekanan osmotik darah karena kelebihan atau
kekurangan air dideteksi oleh hipotalamus yang akan memberi sinyal pada
kelenjar pituitari dengan umpan balik negatif. Kelenjar pituitari
mensekresi hormon antidiuretik atau vasopresin untuk menekan sekresi air
sehingga terjadi perubahan tingkat absoprsi air pada tubulus ginjal.
Akibatnya konsentrasi cairan jaringan akan kembali menjadi 98%.4,5
Kedua ginjal menghasilkan sekitar 125 ml filtrat per menit. 125 ml
diabsorbsi dan 1 ml dikeluarkan kedalam kaliks sebagai urin. Setiap 24
jam dibentuk sekitar 1500 ml urin.5
12
2. Tubulus Proximal
13
Pars desendens
Pars asendens
yaitu
bagian
ini
mereabsorpsi Na. Ini adalah satu- tubulus tanpa diikuti secara osmotik
satunya segmen tubulus yang tidak oleh H2O.
melakukannya
4. Tubulus distalis
Mengatur keseimbangan asam basa dan keseimbangan elektrolit dengan
cara reabsorbsi Na dan H2O dan eksresi Na, K, Amonium dan ion
hidrogen.4,5
5. Tubulus Pengumpul
Setiap tubulus pengumpul memiliki panjang sekitar 20-22 mm dan
berdiameter 20-50 mikron. Dinding dari tubulus tersusun dari sel dengan
proyeksi seperti rambut, lentur seperti cambuk. Gerakan dari sel cambuk
membantu gerakan sekresi sepanjang pembuluh. Pada saat tubulus
pengumpul menjadi lebih lebar diameternya, tinggi sel ini meningkat
sehingga dinding menjadi lebih tebal. Fungsi utama dari tubulus adalah
melakukan reabsorbsi dan sekresi dari zat-zat yang ada dalam ultrafiltrat
yang terbentuk di glomerulus.4,5
Pada anak-anak jumlah urin dalam 24 jam lebih kurang dan sesuai dengan
umur :
a. 1-2 hari
: 30-60 mL
b. 3-10 hari
: 100 300 mL
c. 10 hari 2 bln
: 250 450 mL
14
d. 2 bln 1 thn
: 400 500 mL
e. 1 - 3 thn
: 500 600 mL
f. 3 5 thn
: 600 700 mL
g. 5 8 thn
: 650 800 mL
h. 8 -14 thn
: 800 1400 mL
membentuk
arteri
arkuata
kemudian
membentuk
arteriola
setiap 4 -5 menit, suatu volume yang sama dengan 20 25 % curah jantung (5000
mL/menit) lebih dari 90% darah yang masuk ke ginjal berada pada korteks
sedangkan sisanya dialirkan ke medula. Sifat khusus aliran darah ginjal adalah
otoregulasi aliran darah melalui ginjal arteriol aferen mempunyai kapasitas
interinsik yang dapat merubah resistensinya sebagai respon terhadap perubahan
tekanan darah arteri, dengan demikian mempertahankan aliran darah ginjal dan
filtrasi glomerulus tetap konstan.4,5
2.1.2 Persarafan Ginjal
c. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES, termasuk natrium,
klorida, kalium, kalsium, ion hidrogen, bikarbonat, fosfat, sulfat, dan magnesium.
Bahkan fluktuasi kecil konsentrasi sebagian elektrolit ini dalam CES dapat
berpengaruh besar. Sebagai contoh, perubahan konsentrasi K CES dapat
menyebabkan disfungsi jantung.
d. Mempertahankan volume plasma yang tepat yang penting dalam pengaturan
jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan melalui peran
regulatorik ginjal dalam keseimbangan garam (Na dan Cl) dan H2O.
e. Membantu mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh yang tepat dengan
menyesuaikan pengeluaran H dan HCO3 di urin
f. Mengekskresikan produk-produk akhir metabolisme tubuh, misalnya urea, asam
urat dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk maka bahan-bahan sisa menjadi
racun.
g. Mengeluarkan banyak senyawa asing, misalnya obat, aditif makannan,
pestisida, dan bahan eksogen non-nutritif lain yang masuk ke tubuh.
h. Menghasilkan eritropoietin, suatu hormon yang merangsang produksi sel darah
merah.
i. Menghasilkan renin, suatu hormon enzim yang memicu suatu reaksi berantai
yang penting dalam penghematan garam oleh ginjal.
j. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya
17
BAB III
FISIOLOGI
3.1 TAHAP PEMBENTUKAN URIN
18
glomerulus dan LFG berbanding lurus. Tekanan darah glomerulus konstan dan
LFG stabil meskipun terjadi perubahan tekanan darah arteri. Peningkatan LFG
dapat dikompensasi dengan kontriksi arteriol aferen yang menurunkan aliran
darah ke dalam glomerulus sehingga menurunkan tekanan darah glomerulus dan
LFG normal. Mekanisme ini disebut dengan mekanisme otoregulasi dimana
perubahan spontan tak sengaja LFG dicegah oleh mekanisme regulasi intrinsik
yang dilakukan oleh ginjal sendiri.5
Tekanan arteri rata-rata normal adalah 93 mmHg, sehingga kisaran ini
mencakup perubahan transien tekanan darah yang menyertai aktivitas sehari-hari
yang tidak berkaitan dengan kebutuhan untuk ginjal mengatur ekskresi H2O dan
garam, misalnya peningkatan normal tekanan darah saat olahraga. Otoregulasi
penting karena pergeseran LFG yang tidak diinginkan dapat menyebabkan ketidak
seimbangan cairan, elektrolit dan zat sisa. 5
3.1.2 REABSOPSI TUBULUS5
Semua konstituen plasma kecuali protein difiltrasi bersama melalui kapiler
glomerulus. Selain zat sisa dan kelebihan bahan yang harus dikeluarkan oleh
tubuh, cairan filtrasi juga mengandung nutrien, elektrolit dan bahan lain yang
dibutuhkan oleh tubuh. Melalui filtrasi glomerulus yang terus menerus, jumlah
dari bahan-bahan yang terfiltrasi per hari lebih besar daripada yang ada di tubuh.
Bahan-bahan esensial yang terfiltrasi dikembalikan ke tubuh melalui reabsopsi
tubulus, transfer diskret bahan-bahan dari lumen tubulus ke dalam kapiler
peritubulus. Hanya sedikit konstituen plasma yang terfiltrasi dan bermanfaat bagi
tubuh terdapat di urin karena sebagian besar telah direabsopsi dan dikembalikan
ke darah. Dari 125 ml/mnt cairan yang terfiltrasi, biasanya 124 ml/mnt
direabsopsi.5 Reabsopsi tubulus melibatkan transpor transepitel, tahap-tahap
transpor transepitel yaitu5 :
Tahap 1 bahan harus meninggalkan cairan tubulus dengan melewati
membran luminal sel tubulus
Tahap 2 bahan harus melewati sitosol dari satu sisi sel tubulus ke sisi
lainnya
22
Terdapat dua jenis reabsopsi tubulus yaitu reabsopsi pasif dan reabsorpsi
aktif tergantung pada pengeluaran energi lokal untuk reabsorpsi bahan tertentu.
Pada reabsorpsi pasif semua tahap dalam transpor transepitel suatu bahan dari
lumen tubulus ke plasma bersifat pasif yaitu tidak ada pengeluaran energi pada
perpindahan netto bahan yang terjadi mengikuti penurunan gradien elektrokimia
atau osmotik. Sebaliknya reabsorpsi aktif berlangsung jika salah satu dari tahaptahap dalam transpor transepitel suatu bahan memerlukan energi, bahkan jika
keempat tahap lainnya bersifat pasif. Pada reabsorpsi aktif, perpindahan netto
bahan dari lumen tubulus ke plasma terjadi melawan gradien elektrokimia. Bahan
yang secara aktif direabsorpsi bersifat penting bagi tubuh, misalnya glukosa, asam
amino, dan nutrien organik lainnya serta Na dan elektrolit lain seperti PO43-.5
Reabsorpsi natrium memiliki peran penting berbeda-beda di masingmasing segemen5 :
Reabsorpsi natrium di tubulus proksimal berperan penting dalam
reabsorpsi glukosa, asam amino, H2O, Cl, dan urea.
23
pada
kebutuhan
tubuh
untuk
menghemat
atau
mengeluarkan H2O.
Reabsorpsi natrium di tubulus distal dan koligentes bervariasi dan
berada dibawah kontrol hormon. Reabsorpsi ini berperan dalam
mengatur volume CES yang penting dalam kontrol jangka panjang
tekanan darah arteri, dan juga sebagian berkaitan dengan sekresi K+
dan sekresi H+.
Air direabsorpsi secara pasif diseluruh panjang tubulus karena H2O secara
osmosis mengikuti Na yang direabsorpsi secara aktif. Dari H2O yang difiltrasi
65% atau 117 liter sehari direabsorpsi secara pasif pada akhir tubulus proksimal.
Sebanyak 15% dari H2O yang difiltrasi direabsorpsi di ansa henle. Total 80%
H2O yang difiltrasi direabsorpsi tubulus proksimal dan ansa henle berapapun
jumlah H2O di tubuh dan tidak berada di bawah kontrol. Sisa 20% nya
direabsorpsi dalam jumlah bervariasi di tubulus distal. Jumlah yang direabsorpsi
di tubulus distal dan koligentes berada di bawah kontrol langsung hormon,
bergantung pada status hidrasi tubuh. Tidak ada bagian tubulus yang secara
langsung memerlukan energi untuk reabsorpsi H2O dalam jumlah besar. Selama
reabsorpsi, H2O melewati akuaporin atau saluran air yang terbentuk oleh proteinprotein membran plasma spesifik di sel tubulus. Di berbagai bagian nefron
terdapat beragam jenis saluran air. Saluran air di tubulus proksimal selalu terbuka
sehingga bagian ini sangat permeabel terhadap H2O. Sebaliknya, saluran di
bagian distal nefron diatur oleh hormon vasopresin sehingga reabsorpsi H2O di
bagian ini berubah-ubah.5
Reabsorpsi pasif urea, selain Cl dan H2O juga secara tidak langsung
berkaitan dengan reabsorpsi aktif Na. Urea adalah produk sisa dari pemecahan
protein. Reabsorpsi H2O yang berlangsung secara osmotis di tubulus proksimal
sekunder terhadap reabsorpsi aktif Na menghasilkan gradien konsentrasi untuk
urea yang mendorong reabsorpsi pasif bahan sisa. Reabsorpsi H2O di tubulus
proksimal secara bertahap mengurangi filtrat semula 125 ml/mnt menjadi hanya
44 ml/mnt cairan yang tertinggal di lumen di akhir tubulus proksimal. Bahan yang
telah terfiltrasi tetapi belum direabsorpsi menjadi semakin pekat didalam cairan
tubulus karena H2O direabsorpsi sementara bahan lain tertinggal. Konsentrasi
urea saat difiltrasi di glomerulus identik dengan konsentrasinya di plasma yang
masuk ke kapiler peritubulus. Namun, jumlah urea yang ada dalam 125 ml cairan
yang difiltrasi di awal tubulus proksimal terkonsentrasi hingga tiga kali lipat
dalam 44 ml cairan yang tersisa diakhir tubulus proksimal. Akibatnya konsentrasi
urea di dalam cairan tubulus menjadi jauh lebih besar daripada konsentrasi urea di
kapiler sekitar. Karena itu, terbentuk gradien konsentrasi urea yang secara pasif
26
Produk-produk sisa lain yang difiltrasi misalnya fenol dan kreatinin juga
terkonsentrasi dalam cairan tubulus sewaktu H2O meninggalkan filtrat untuk
masuk ke plasma tetapi kedua bahan ini tidak direabsorpsi seperti urea. Molekul
urea karena merupakan bahan sisa yang terkecil merupakan satu-satunya zat sisa
yang secara pasif di reabsorpsi melalui efek pemekatan. Meskipun terkonsentrasi
di cairan tubulus, bahan sisa lain tidak dapat keluar dari lumen menuruni gradien
konsentrasinya untuk direabsorpsi secara pasif karena bahan-bahan tersebut tidak
dapat menembus dinding tubulus. Oleh karena itu, produk-produk sisa yang tidak
direabsorpsi tetap berada di tubulus dan dieksreksikan di urin dalam konsentrasi
tinggi. Eksresi zat sisa metabolik tidak berada di bawah kontrol fisiologik.4,5
27
banyak
senyawa
asing
tubuh.
Sistem
ini
dapat
dapat
mempercepat
proses
sekresi
ketika
menghadapi
30
Appearance
Odor
Specific gravity
Osmolarity
pH
Chemical
composition
Normal
Abnormal
32
BAB IV
SINDROM NEFROTIK
4.1 PENGERTIAN
Sindrom Nefrotik adalah kumpulan gejala yang disebabkan penyakit yang
merusak sistem filtrasi ginjal di glomerulus. Keadaan ini ditandai dengan
proteinuria berat (>3,5g/dl), hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema
anasarka. Proteinuria masif merupakan tanda khas sindrom nefrotik, tetapi pada
sindrom nefrotik berat yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein
dalam urin juga berkurang. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria,
gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme
kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering ditemukan pada sindrom nefrotik.
Umumnya pada sindrom nefrotik fungsi ginjal normal kecuali bila berkembang
menjadi penyakit ginjal tahap akhir. Pada beberapa episode sindrom nefrotik dapat
sembuh sendiri dan menunjukkan respon yang baik terhadap terapi steroid, tetapi
sebagian lain dapat berkembang menjadi kronik.1
4.2 ETIOLOGI
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan
sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung, obat atau
toksin, dan akibat penyakit sistemik.
Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab sindrom
nefrotik yang paling sering. Dalam kelompok glomerulonefritis primer,
glomerulonefritis lesi minimal (GNLM), glomerulosklerosis fokal segmental
(GSFS),
glomerulonefritis
membranosa
(GNMN),
dan
glomerulonefritis
33
Selain itu, sindrom nefrotik primer juga dapat disebabkan oleh kelainan
kongenital yang merupakan salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan
sejak anak lahir atau usia dibawah 1 tahun. Diturunkan sebagai resesif autosomal
atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus.
Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua pengobatan. Salah satu cara
yang bisa dilakukan adalah pencangkokkan ginjal pada masa neonatus namun
tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya meninggal dalam bulan pertama
kehidupan.1,3
Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya pada GN
pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat misalnya obat
antiinflamasi non-steroid atau preparat emas organik dan akibat penyakit sistemik
misalnya pada lupus eritematosus sistemik dan diabetes melitus.1,2
34
35
membranopoliferatif
biasanya
disebabkan
oleh
penyakit autoimun. Keadaan klinis yang dapat ditemukan adalah hematuria, urin
berbusa yang menunjukkan proteinuria, urin berwarna gelap, volume urine yang
diproduksi berkurang, edema, perubahan kondisi mental dimana penderita
mengalami penurunan kewaspadaan atau penurunan konsentrasi. Biopsi ginjal
dapat mengkonfirmasi diagnosa glomerulonephritis membranopoliferatif. Tujuan
utama tatalaksana yang dilakukan adalah untuk mengurangi gejala klinis yang
ada, mencegah komplikasi, dan memperlambat perkembangan gangguan.
Perubahan pola makan seperti membatasi garam, cairan dan protein perlu
dilakukan untuk mengontrol tekanan darah, pembengkakan (edema), dan
penumpukan waste product dalam darah. Obat anti hipertensi, obat imunosupresif
atau steroid juga dapat digunakan. Pengobatan lebih efektif pada anak-anak
dibandingkan pada orang dewasa. Dialisis atau transplantasi ginjal mungkin
akhirnya akan dibutuhkan untuk menangani gagal ginjal.
Penyebab sindrom nefrotik sekunder, yaitu :
Diabetes melitus
Kira-kira 30% pasien diabetes dapat terjadi proteinuria tetapi hanya
sebagian kecil terjadi proteinuria masif dengan gejala-gejala sindrom
nefrotik (glomerulosklerosis diabetik).3
36
Amiloidosis (paraproteinemi)
Kappa dan lambda light chain dengan berat molekul 22.000 dapat melalui
filtrasi glomerulus, direabsorbsi dan mengalami katabolisme pada sel-sel
tubulus sehingga terjadi pengendapan dari protein dan menyebabkan
kerusakan sel-sel tubulus.3
Lambda light chain mempunyai sifat amiloidigenic, biasanya terdapat
pada amilodosis primer. Kedua tipe paraprotein ini kappa maupun lambda
light chain dapat menyebabkan kebocoran protein melalui glomerulus dan
akhirnya terjadi sindom nefrotik. Kappa light chain lebih sering
menyebabkan sklerosis mesangial. Diagnosis tergantung dari ditemukan
monoclonal light chain.3
Pengobatan adekuat dapat menyebabkan remisi terutama bila etiologinya
kappa light chain. Insiden kelainan ginjal kira-kira 10% pada amiloidosis
primer. Sebaliknya insiden kelainan ginjal pada amiloidosis sekunder lebih
tinggi, kira-kira 50%.3
Amiloidosis sekunder biasanya terdapat pada penyakit kronis seperti TB,
osteomielitis kronis, abses paru, aktinomikosis, reumatoid artritis, kolitis
ulseratif, dan penyakit keganasan.3
Trombosis vena renalis
Kenaikan
tekanan
menyebabkan peningkatan
yang
dapat
menyebabkan
sindrom
nefrotik
adalah
trimetadion, penisilinamin, fenindion, tolbutamid, dan probenesid. Obatobat tersebut hanya menyebabkan kelainan ginjal ringan dan cepat
mengalami remisi bila obat-obat tersebut dihentikan. Obat-obat yang
menyebabkan kelainan-kelainan ginjal berat teruma toksik pada tubulus
ginjal adalah preparat-preparat yang mengandung emas, diuretik
organomerkuri, dan bismut.1,2,3
4.3 KLINIS dan PATOFISIOLOGI
Manifestasi utama sindrom nefrotik yang biasanya menjadi keluahan
penderita adalah edema. Edema biasanya lunak dan pitting, dan umumnya
ditemukan disekitar mata (preorbital), pada area ekstremitas (sakrum, tumit, dan
tangan), dan pada abdomen (asites). Gejala lain seperti malaise, sakit kepala,
iritabilitas dan keletihan umumnya terjadi. Selain edema, gejala lain yang dapat
terjadi pada SN adalah :
39
4.3.1 Proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein
akibat kerusakan glomerulus disertai peningkatan filtrasi protein plasma dan
akhirnya terjadi proteinuria atau albuminuria. Beberapa faktor yang menentukan
derajat proteinuria : konsentrasi plasma protein, berat molekul protein, integritas
barier membran basalis, electrical charge pada filtrasi barrier, electrical charge
protein, reabsobsi sekresi dan katabolisme sel tubulus, dan degradasi intratubular
dari urin. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai
mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size of barrier) dan yang kedua
berdasarkan muatan (charge barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang
tersebut terganggu. Selain itu, konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos
tidaknya protein melalui MBG.1,7
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non selektif berdasarkan
ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif bila protein
yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan non selektif
bila protein yang keluar molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas
proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG.1,3
Pada sindrom nefrotik yang disebabkan oleh GNLM ditemukan proteinuria
selektif. Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan fusi foot processus sel
epitel viseral glomerulus dan terlepasnya sel dari struktur MBG. Perubahanperubahan dari foot process ini bukan sebagai penyebab proteinuria tetapi akibat
proteinuria masif. Berkurangnya kandungan heparan sulfat proteoglikan pada
GNLM menyebabkan muatan negatif MBG menurun dan albumin dapat lolos ke
dalam urin. Pada GSFS, peningkatan permeabilitas MBG disebabkan oleh suatu
faktor yang ikut dalam sirkulasi. Faktor tersebut menyebabkan sel epitel viseral
glomerulus terlepas dari MBG sehingga permeablitasnya meningkat. Pada GNMN
kerusakan struktur MBG terjadi akibat endapan komplek imun di sub epitel.
Komplek C5b-9 yang terbentuk pada GNMN meningkatkan permeabilitas
MBG.1,3,8
40
4.3.2 Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis
albumin hati dan kehilangan protein melalui urin. Plasma mengandung macammacam protein, sebagian besar menempati ruangan ekstra vaskuler. Plasma
protein terutama terdiri dari albumin. Hati memegang peranan penting untuk
sintesis protein bila tubuh kehilangan sejumlah protein, baik renal maupun non
renal. Pada SN hipoalbumin disebabkan oleh proteinuria masif akibat penurunan
tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma, hati
berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak
berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Mekanisme kompensasi dari
hati untuk meningkatkan sintesis albumin, terutama untuk mempertahankan
komposisi protein dalam ruangan ekstra vaskuler dan intra vaskuler.1,3,8
NORMAL
Sintesis albumin dalam hepar normal
IV
EV
SINDROM NEFROTIK
sintesis albumin meningkat
IV
EV
Degradasi albumin
ekskresi albumin
melalui ginjal
Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat
mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Walaupun sintesis
albumin meningkat dalam hati tetapi selalu terdapat hipoalbuminemia pada
sindrom nefrotik. Keadaan hipoalbuminemia disebabkan oleh :
a) Kehilangan sejumlah protein dari tubuh melalui urin dan usus
b) Katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena nafsu makan
menurun dan mual-mual.
c) Utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal.
Hipoalbuminemia dapat terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme
albumin oleh tubulus proksimal.1,3
41
42
pemeriksaan
fisik
dan
pemeriksaan
urin,
termasuk
45
berkemih,
jumlah
urin
yang
dikeluarkan,
berbusa,
Proteinuria
Pada sindrom nefrotik proteinuria lebih dari 3.5 g/dl. Bila
dilakukan dengan pemeriksaan dipstik proteinuria berkisar
3+ atau 4+. Proteinuria selalu fluktuasi dari hari ke hari
tergantung
dari
mobilisasi.
Pemeriksaan
selektivitas
kelainan-kelainan
histopatologi
ginjal.
Pada
46
III
memperlihatkan
red
droplet.
Hematuria
Faal ginjal
Pada stadium permulaan faal ginjal masih normal, ginjal
masih sanggup mengekskresikan urea, kreatinin dan hasilhasil metabolisme protein lainnya. Bila sindrom nefrotik
berjalan lama dan menetap, maka terdapat gangguan faal
ginjal,
biasanya
terdapat
kerusakan
progresif
dari
Metabolisme kalsium
Penurunan kalsium serum atau hipokalsemi disertai
penurunan kalsium total serum. Pada sindrom nefrotik
47
Aminoasiduria
Aminoasiduria dan renal tubular asidosis dapat terjadi
pada
sindrom
nefrotik
walaupun
sangat
jarang.
Glikosuria
Glikosuria tanpa hiperglikemi akibat kelainan faal
tubulus ginjal3
40-50%
dan
penurunan
kecepatan
konsentrasi
kolesterol
total
serum.
Kenaikan
pada
ginjal
penderta
SN,
terdapat
tanda-tanda
glomerulonefritis kronik.
Biopsi ginjal diperlukan pengambilan sampel jaringan ginjal
untuk mengetahui adanya kelainan histologi.
49
4.5 KOMPLIKASI
4.5.1 Keseimbangan Nitrogen
Proteinuria masif pada SN menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi
negatif. Penurunan massa otot sering ditemukan tetapi gejala ini tertutup oleh
gejala edema anasarka dan baru tampak setelah edema menghilang. Kehilangan
massa otot sebesar 10-20% dari massa tubuh tidak jarang dijumpai pada SN.1
4.5.2 Lipiduria
Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Kadar
kolestrol umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari normal sampai
sedikit meninggi. Peningkatan kadar kolestrol disebabkan meningkatnya LDL,
liporpotein utama pengangkut kolestrol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan
dengan peningkatan VLDL. Selain itu ditemukan pula peningkatan IDL dan
lipoprotein a, sedangkan HDL cenderung normal atau rendah. Mekanisme
hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan
lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Semula diduga hiperlipidemia
merupakan hasil stimulasi non spesifik terdapat sintesis protein oleh hati. Karena
sintesis protein tidak berkorelasi dengan hiperlipidemia disimpulkan bahwa
hiperlipidemua tidak langsung diakibatkan oleh hipoalbuminemia. Hiperlipidemia
dapat ditemukan pada SN dengan kadar albumin mendekati normal dan
sebaliknya pada pasien dengan hipoalbuminemia kadar kolestrol dapat normal.1,2,3
Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa
gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL
dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya
aktivitas enzim LPL merupakan penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada
SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma
atau viskositas yang menurun. Penurunan kadar HDL pada SN diduga akibat
berkurangnya aktivitas enzim LCAT (lecithin cholestrol acyltransferase) yang
berfungsi katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut
kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas enzim
tersebut karena hipoalbuminemia yang terjadi pada SN. Lipiduria sering
50
ditemukan pada SN dan ditandai dengan akumulasi lipid pada debris sel dan cast
seperti badan lemak berbentuk oval dan fatty cast. Lipiduria lebih dikaitkan
dengan proteinuria daripada dengan hiperlipidemia.1,2,3
Hiperlipidemia yang berlangsung lama dan tidak terkontrol dapat
mempercepat proses aterosklerosis pembuluh darah koroner, aorta dan arteria
renalis. Aterosklerosis ini dapat mengenai pembuluh darah koroner dan
menyebabkan penyakit jantung iskemi. 1
Mekanisme terjadinya peningkatan kolestrol dan trigliserida akibat 2
faktor. Pertama, hipoproteinemia menstimulasi sintesis protein di hati termasuk
lipoproten. Kedua, katabolisme lemak terganggu sebagai akibat penurunan kadar
lipoprotein lipase plasma yang merupakan enzim utama yang memecah lemak di
plasma darah. 3
4.5.3 Hiperkoagulasi
Sindrom nefrotik mempunyai sifat hiperkoagulasi dan dapat menyebabkan
fenomena tromboemboli pada pembuluh darah arteri maupun vena misalnya
trombosis vena renalis. Perubahan tingkatan dan aktivitas berbagai faktor
koagulasi intrinsik dan ekstrinsik merupakan penyebab terjadinya tromboemboli
tersebut. Mekanisme hiperkoagulasi pada SN cukup komplek meliputi
peningkatan faktor V dan VII, fibrinogen, hiperagragasi trombosit dan penurunan
fibrinolisis. Gangguan koagulasi yang terjadi disebabkan peningkatan sintesis
protein oleh hati dan kehilangan protein melalui urin.1
4.5.4 Metabolisme Kalsium dan Tulang
Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolisme kalsium dan
tulang. Vitamin D yang terikat protein diekskresikan melalui urin sehingga
menyebabkan penurunan kadar plasma. Namun, kadar vitamin D bebas tidak
mengalami gangguan. Karena fungsi ginjal pada SN umumnya normal maka
osteomalasi atau hiperparatiroidisme yang tak terkontrol jarang dijumpai.1
51
4.5.5 Infeksi
Sebelum adanya antibiotika infeksi sering merupakan penyebab kematian
pada SN terutama oleh organisme berkapsul. Sindrom nefrotik sangat peka
terhadap infeksi renal, saluran kemih (pielonefritis), dan infeksi ekstrarenal
terutama saluran nafas (pneumonia lobaris). Infeksi pada SN terjadi akibat defek
imunitas humoral, selular, dan gangguan sistem komplemen. Penurunan IgG, IgA,
dan gamma globulin sering ditemukan pada SN karena sintesis yang menurun atau
katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui
urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang yang menggambarkan gangguan
imunitas selular. Hal ini dikaitkan dengan keluarnya transferin dan zinc yang
dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi dengan normal.1
4.5.6 Gangguan fungsi ginjal
Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui
berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma atau sepsis sering menyebabkan
timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang dapat menyebabkan gagal
ginjal akut adalah terjadinya edema intrarenal yang menyebabkan kompresi pada
tubulus ginjal. Sindrom Nefrotik dapat berkembang menjadi PGTA.1
Proteinuria
merupakan
faktor
resiko
penentu
progresivitas
SN.
4.6 PENGOBATAN
Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap
penyakit dasar dan pengobatan non spesifik untuk mengurangi proteinuria,
mengontrol edema, dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam
dan tirah baring dapat membantu mengontrol edema. Furosemid oral dapat
diberikan dan bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid, matalazon, dan atau
asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan
mengurangi risiko komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0.81.0 g/kg berat badan/hari dapat mengurangi proteinuria. Obat penghambat enzim
konversi angiotensin dan antagonis reseptor angiotensin II dapat menurunkan
tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam menurunkan
proteinuria. Risiko tromboemboli pada SN meningkat dan perlu mendapat
penanganan. Pemberian antikoagulan jangka panjang dapat memberikan
keuntungan. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin,
dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliserid, dan meningkatkan
kolesterol HDL.1
Pengobatan kerusakan glomerulus
4.6.1 imunosupresif
Kortikosteroid1,3,9
Kortikosteroid untuk pengobatan sindrom nefrotik terbatas hanya
untuk glomerulopati lesi minimal, nefropati lupus, dan poliarteritis
nodosa.
Efek
farmakologis
kortikosteroid
sebagai
diuretik,
1mg/kgBB/hari
selama
minggu,
kemudian
53
54
Prednison9
Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya
14 hari setelah diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk
memastikan apakah penderita mengalami remisi spontan atau tidak.
Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison tidak
perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi
pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu
waktu 14 hari
Mekanisme kerja
Menurunkan konsentrasi limfosit, monosit, eosinofil, basofil
serta meningkatkan konsentrasi neutrofil dalam sirkulasi.
Menurunkan sintesis protaglandin, leukotrien, dan platelet
activating factor, yang dihasilkan dari aktifasi fosfolipase
A2.
Mengurangi biosintesis prostaglandin melalui penurunan
eksrekresi enzim sikolooksigenase (COX1 dan COX2)
sehingga proses inflamasi dapat di hambat.
Menurunkan permeabilitas kapiler dengan menurunkan
jumlah histamin yang dirilis oleh basofil dan sel mast
Menyebabkan
vasokontriksi
dengan
cara
menekan
karboksilat
ke
tubuli
ginjal
sehingga
terjadi
rifampisin,
vitamin
A,
tetrasiklin,
tiazid.
Sitostatika1,9
Pemberian obat-obat imunosupresif lain seperti sitostatika telah digunakan
untuk
sindrom
nefrotik.
Sitostatika
potensial
sangat
berbahaya,
perlu
glomerulopati
lesi
minimal
yang
non responder
terhadap
fenindion.
Pemberian
antikoagulan
dapat
dikombinasikan
dengan
sitostatika.2,3
57
58
b. Diuretika
Umumnya diuretik furosemid dapat mengontrol edema, kecuali bila telah
terjadi hipoalbuminemia berat dengan albumin serum kurang dari 1.5 gr/dl. Dosis
furosemid dimulai 40-80 mg/hari dinaikkan setiap 2 hari. Diuretik spironolakton
dapat juga diberikan bila telah terdapat tanda-tanda hipoaldosteronisme sekunder.
Semua golongan diuretika dapat diberikan, misalnya kombinasi furosemid dan
spironolakton untuk mengontrol edema.3,7
Furosemid9:
Farmakodinamik : loop diuretik yang membantu ekskresi natrium,
klorida, dan kalium dengan menghambat sistem transport gabungan
Na/K/Cl pada ascending loop of henle.
Farmakokinetik :
absorbsi : Kadar puncak plasma jika diberikan peroral kurang
lebih 0.5 1 jam dan bertahan 4-6 jam, intravena dalam
beberapa menit dan lamanya 2.5 jam. Absorpsinya diusus
hanya lebih kurang 50%.
distribusi : volume distribusi 0.1 kg, ikatan protein 98%
metabolisme : di hepar 10%
Ekskresi : waktu paruh dalam plasma 30-60 menit. Ekskresi
melalui urin secara utuh, pada dosis tinggi juga melalui
empedu.
Indikasi : hipertensi, edema jantung, paru, ginjal, dan hepar
Kontraindikasi : hamil, laktasi, DM, gout, gangguan keseimbangnan
elektrolit dan cairan tubuh, gangguan berkemih, gangguan fungsi hati,
SLE, BPH, pre koma pada sirosis hati, gangguan ginjal.
Efek samping : hiponatremi, hipovolemi, hipotensi, resiko tinggi
terjadi
trombosis,
hipomagnesemi,
hipokalsemi,
hipokalemi,
59
tinggi
pada
insufisiensi
ginjal.
Jarang:
trombositopeni,
gangguan
meningkatkan
elektrolit,
resiko
antibiotik
kerusakan
ginjal
aminoglikosida
dan
telinga,
dapat
dan
Patofisiologi
Terapi
Kerusakan
glomerulus
Kehilangan
protein Diet
(> 10 g/L)
Penurunan
kaya
protein
(2-3g/kgBB/hari),
kolesterol
<
200mg/hari
tekanan Infus salt poor human albumin pada SN
onkotik
dan resisten
hipoalbuminemia
diuretik
(500mg
furosemid
dan
200mg
spironolakton)
albumin yang diperlukan = (kons albumin yang
diinginkan kons albumin) x perkiraan volume plasma x
2
Edema
Tindakan lain
4.7 PROGNOSIS
Prognosis sindrom nefrotik tergantung dari beberapa faktor : umur, jenis
kelamin, penyulit, pengobatan, dan macam kelainan histopatologis ginjal.
Prognosis sindrom nefrotik pada umur muda atau anak-anak dan wanita lebih baik
dari pada umur tua atau dewasa dan laki-laki. Makin awal terdapat penyulit gagal
ginjal dan hipertensi, prognosisnya makin buruk. Pengobatan yang terlambat,
diberikan setelah 6 bulan dari timbul gambaran klinis mempunyai prognosis
buruk. 3
61
62
BAB V
KESIMPULAN
Sindrom Nefrotik adalah kumpulan gejala yang disebabkan penyakit yang
merusak sistem filtrasi ginjal di glomerulus. Keadaan ini ditandai dengan
proteinuria berat (>3,5g/dl), hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema
anasarka. Sindrom nefrotik dibedakan menjadi dua berdasarkan penyebabnya
yaitu sindrom nefrotik primer yang terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu
sendiri tanpa ada penyebab lain dan sindrom nefrotik sekunder yang timbul
sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab
yang nyata. Sindrom nefrotik primer dapat disebabkan karena Glomerulonefritis
lesi minimal (GNLM), Glomerulosklerosis fokal (GSF), Glomerulonefritis
membranosa (GNMN), Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP), dan
Glomerulonefritis proliferatif lain. Sedangkan sindrom nefrotik sekunder dapat
disebabkan oleh infeksi, DM, trombosis vena renalis, SLE, keganasan, penyakit
jaringan penghubung, obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik.
Untuk menegakkan diagnosis sindrom nefrotik dapat melalui anamnesis
(kebiasaan mengkonsumsi obat tertentu), pemeriksaan fisik (edema) dan
pemeriksaan urin (proteinuria, kelainan sedimen, lipiduria, faal ginjal),
pemeriksaan
darah
(hiperlipoproteinemia,
perubahan
protien
serum,
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo Aru W., Setyohadi Bambang, Alwi Idrus et al. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 5. Jakarta : Internal Publishing; 2009. hlm 9991003.
2. Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Bag / SMF Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 3. Surabaya : Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga; 2008. 237-50.
3. Sukandar, Enday. Nefrologi Klinik edisi II. ITB Bandung. 164-98.
4. Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta :
EGC.
5. Sherwood, L. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta :
Penerbit buku kedokteran EGC. 2012. 553-601.
6. Purnomo, B. Dasar-dasar Urologi. Edisi 3. Malang : Sagung Seto. 2011. 6-18
7. Sukmarini, L. Sindrom Nefrotik. FIK-UI. [Online] 2009. [Cited: Agustus 3,
2014.].http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/3be14bb14445635211418a
7a75d0a7da6c06b7 de.pdf.
8. Corwin, Elizabeth J. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3.Jakarta: EGC. 2009.
9. Katzung, BG. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi V. Jakarta : EGC.
64