Anda di halaman 1dari 2

ICW: "Fee" Untuk Kepala Daerah

Rp360,31 Miliar
Rabu, 17 Pebruari 2010 20:58 WIB

Jakarta (ANTARA News) - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S


Langkun mengatakan, honorarium dan "fee" (bayaran) yang diterima kepala
daerah beserta pejabat daerah dari enam Bank Pembangunan Daerah (BPD)
mencapai Rp360,31 miliar.

"Enam BPD tersebut, yaitu Bank Sumatra Utara, Bank Jabar Banten, Bank DKI,
dan Bank Jawa Tengah, Bank Jawa Timur, dan Bank Kalimantan Timur," jelas
Tama dalam diskusi "Kontroversi Honorarium dan `Fee` bagi Kepala Daerah dan
Reformasi Sistem Penggajian" di Jakarta, Rabu.

Tama mengatakan, penerimaan honorarium dan "fee" dari BPD tersebut secara
jelas melanggar dan menyalahgunakan aturan yang berlaku.

Salah satu aturan yang dilanggar yaitu, Pasal 5 PP Nomor 109 Tahun 2000
tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

"Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah tidak dibenarkan menerima penghasilan dan atau fasilitas rangkap dari
Negara," ujar Tama.

Selain itu, Tama mengatakan, penerimaan yang diterima oleh Pejabat Negara
tersebut juga melanggar ketentuan aliran dana pendapatan daerah.

Dalam Permendagri No.3 tahun 1998 dijelaskan bahwa keuntungan yang


diperoleh BPD sebagai bagian dari BUMN seharusnya masuk ke kas daerah dan
kalau pun terdapat bunga dari APBD yang disimpan dalam BUMN (BPD),
penerimaan tersebut harus masuk ke kas daerah.

"Tapi yang terjadi selama ini kan honorarium dari BPD itu masuk ke rekening
pribadi Kepala Daerah, bukan ke kas daerah," kata Tama.

Lebih lanjut, Tama menjelaskan dana yang ditanggung APBD bukanlah


honorarium seperti yang diterima langsung dari BPD, melainkan biaya
penyelenggaraan administratif.

"Jadi selama berpuluh-puluh tahun ini pejabat salah mengartikan aturan yang
ada," katanya.

Menurut dia, pemberian honorarium dan fee dari BPD ini secaya nyata telah
menimbulkan konflik kepentingan.
Senda dengan Tama, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Moch
Jasin mengatakan, beberapa sumber utama konflik kepentingan, yaitu
kepemilikan aset, gratifikasi dan rangkap jabatan.

"Untuk mengatasi konflik kepentingan harus diberlakukan sistem kompensasi


yang berbasis kinerja," kata Jasin dalam diskusi tersebut.

Menurut dia, kompensasi dan reformasi penggajian harus dilakukan salah


satunya ialah dengan memberlakukan single salary (gaji tunggal).

"Gaji pokok Kepala Daerah itu memang tidak mencapai 10 juta, tapi penerimaan
dari sumber lain bisa beratus-ratus juta. Nah ini yang harus dipikirkan ulang oleh
pemerintah. Untuk itulah diberlakukan `single salary` yang mencukupi tanpa
harus menerima dari sumber lain yang tak sesuai aturan," jelas Jasin.

Jasin menegaskan, untuk mencegah konflik kepentingan yang disebabkan oleh


penerimaan yang tidak sesuai dengan aturan harus dilakukan pemberlakuan
kebijakan yang tegas terkait kompensasi yang diterima serta regulasi yang
jelas.

Sedangkan peneliti hukum dan politik The Indonesian Budget Center (IBC) Roy
Salam mengatakan, menteri dalam negeri harus segera membuat regulasi untuk
membatasi fee dan honorarium Kepala Daerah dan para Pejabat Daerah.

"Aturan harus benar-benar dibuat agar honor-honor dan fee yang tidak jelas dan
nilainya sangat besar tersebut bisa digunakan untuk mendorong pelayanan
kesejahteraan rakyat," kata Roy.
(L.M-RFG/R009)

http://www.antara.co.id/berita/1266415090/icw-fee-untuk-kepala-daerah-rp360-
31-miliar

http://www.warsidi.com

Anda mungkin juga menyukai