Arti Bermain Bagi Anak
Arti Bermain Bagi Anak
3.
Dorongan berkomunikasi
Seorang anak memiliki kesempatan berlatih komunikasi melalui sebuah permainan.
Mereka belajar mengungkapkan ide-ide serta memberikan pemahaman pada teman-teman
sepermainannya tentang aturan dan teknis permainan yang akan dilakukan, sehingga
permainan dapat berlangsung berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh
para peserta, melalui penyampaian pesan yang efektif dan dimengerti antar peserta
permainan.
4.
Penyaluran bagi kebutuhan dan keinginan
Ada begitu banyak keingingan dan kebutuhan anak yang tidak dapat dipenuhi dengan
cara lain, seringkali bisa diwujudkan melalui kegiatan bermain. Seorang anak,
bisa menjadi siapapun yag ia inginkan ketika bermain. Ia mampu mewujudkan
keinginannya menjadi seorang dokter, tentara maupun seorang pemimpin pasukan
perang-perangan, yang mustahil mereka wujudkan dalam kehidupan nyata.
5. Sumber belajar
Melalui bermain, seorang anak dapat mempelajari banyak hal, yang tidak selalu mereka
peroleh di institusi pendidikan formal. Mereka belajar tentang arti bekerjasama,
sportifitas, menyenangkannya sebuah kemenangan maupun kesedihan ketika mengalami
kekalahan. Semakin beragam media permainan serta banyaknya variasi kegiatan, maka
akan semakin bertambah pengetahuan dan pengalaman baru yang mereka terima. Hal ini
dapat difasilitasi oleh para orang tua dengan cara memasukkan unsur pengetahuan
populer dalam permaianan anak. Bermain sambil belajar akan memberikan dua manfaat
sekaligus pada anak; yaitu kesenangan, serta kecintaan terhadap ilmu pengetahuan sejak
dini.
5.
Rangsangan bagi kreatifitas
Ketika anak-anak bermain, mereka kerap merasakan adanya kejenuhan ataupun rasa
bosan. Pada saat seperti inilah mereka biasanya mencoba melakukan sebuah variasi
permainan. Disini mereka belajar untuk mengembangkan daya kreatifitas dan
imajinasinya. Ide-ide spontan yang dikemukakan oleh seorang anak, dan jika kemudian
diterima oleh teman sepermainannya, akan menimbulkan adanya rasa penghargaan dari
lingkungan serta menjadi motivasi munculnya ide-ide kreatif yang lain. Permainan pun
akan kembali terasa menyenagkan.
6.
Perkembangan wawasan diri
Melalui bermain, seorang anak dapat mengetahui kemampuan teman-teman
sepermainannya, kemudian membandingkannya dengan kemampuan yang ia miliki. Hal
ini memungkinkan terbangunnya konsep diri yang lebih jelas dan pasti. Ia akan berusaha
meningkatkan kemampuannya, jika ternyata ia jauh tertinggal dibandingkan teman-teman
sepermainannya. Hal ini menjadi faktor pendorong yang sehat dalam pengembangan diri
seorang anak.
7.
Belajar bermasyarakat
Bersosialisasi dengan teman-teman sebaya merupakan hal penting yang perlu dilakukan
oleh anak. Kegiatan bermain menjadikan proses bersosialisai tersebut terbangun dengan
cara yang wajar dan menyenangkan. Tidak jarang timbul beberapa masalah ketika anakanak bermain. Mereka belajar untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang
timbul dalam sebuah permainan secara bersama-sama. Disini hubungan sosial diantara
mereka terbangun.
8.
Standar moral
Meskipun dalam lingkungan keluarga maupun sekolah, anak telah diajarkan tentang halhal yang dianggap baik dan buruk dalam hidup bermasyarakat, namun tiada standar
moral yang lebih teguh selain dalam kelompok bermain. Kecurangan dan sikap tidak
sportif yang ditunjukkan oleh seorang anak dalam sebuah permainan, tidak jarang
menyebabkan lahirnya sanksi sosial yang membuatnya jera. Disini, ia belajar untuk selalu
mematuhi standar moral yang telah disepakati oleh kelompok bermainnya
BERMAIN = BELAJAR
Informasi buku:
Einstein Never Used Flash Cards : How Our Children Really Learn And Why They
Need to Play More and Memorize Less
by Roberta Michnick Golinkoff (Author), Kathy Hirsh-Pasek (Author), Diane Eyer
(Author)
Hardcover: 272 pages ; Dimensions (in inches): 1.15 x 9.39 x 6.38
Publisher: Rodale Press; (October 3, 2003)
ISBN: 1579546951
Itu pesan yang disampaikan dalam buku ini yang ditulis oleh tiga peneliti di
bidang psikologi perkembangan. Pesan tersebut didukung oleh berbagai penelitian dalam
bidang psikologi perkembangan anak selama 40 tahun belakangan. Tetapi meskipun
bukti-bukti penelitian menyatakan demikian, pesan tersebut tampaknya tidak sampai
kepada kita, orang tua dan pengasuh anak. Buku ini mengingatkan kita bahwa kita
terjebak dalam asumsi yang salah sehingga kita membuat anak-anak kita belajar (dalam
konteks akademis) lebih awal dan mengurangi waktu bermain mereka, sementara dalam
bermainlah anak-anak belajar banyak.
Sebagai orang tua, kita tentu selalu mengkhawatirkan kesejahteraan anak-anak
kita. Salah satu yang kita khawatirkan adalah apakah anak kita akan memiliki keunggulan
untuk bersaing di dunia yang semakin kompetitif. Akibatnya kita sangat mengedepankan
perkembangan otak anak: susu formula yang kita pilih adalah susu yang mengandung
semua zat yang membantu pertumbuhan otak bayi; kita membelikan mainan yang
merangsang intelejensia anak; musik Mozart dan Bach menjadi menu bagi telinga
mereka. Begitu anak-anak kita mulai bicara, sebagian dari kita berlomba-lomba
memasukkan anak-anak kita ke kelompok bermain dan taman kanak-kanak yang
menawarkan pelajaran musik, program dwi-bahasa, mental aritmatika dan berbagai
aktivitas lain. Kita merasa bahwa belajar secara mandiri sebagaimana yang telah
dilakukan selama ribuan tahun tidak lagi cukup. Kekhawatiran kita menyebabkan anakanak kita menjadi anak-anak yang dibuat tergesa-gesa, dan mereka pun kehilangan
masa kecil.
Telah banyak pakar yang membicarakan masalah di atas, dan para penulis dalam
buku ini memberikan penawarnya. Dalam buku ini kita bisa menemukan berbagai bukti
ilmiah mengenai perkembangan intelektual dan sosial anak tanpa bumbu-bumbu apa pun
dari media massa maupun dari pemasaran industri pendidikan anak sehingga kita bisa
lebih mengerti perkembangan anak kita dan mengapa bermain adalah belajar. Dengan
berbekal pengetahuan tersebut, kita sebagai orang tua diharapkan dapat lebih percaya diri
dalam mendidik generasi mendatang.
Buku ini dibagi dalam sepuluh bab. Setiap bab berisikan bukti-bukti penelitian
dan tips-tips bagaimana secara praktis menerapkan berbagai hasil penelitian tersebut
dalam keseharian. Penulis membuka dengan mengungkapkan situasi orang tua modern di
mana mereka menghadapi situasi yang kompetitif dan mereka berupaya agar anak-anak
mereka bisa unggul dengan persiapan sejak dini. Di bab dua, buku ini membahas otak
dan perkembangannya, dan membantah mitos-mitos yang berkembang seputar
anak tumbuh di lingkungan yang normal, dan dikelilingi orang-orang yang menyayangi
mereka, otak mereka akan tumbuh sendiri.
Setelah mematahkan anggapan umum mengenai perkembangan otak, buku ini
kemudian menjelaskan bagaimana anak-anak mempelajari kuantitas. Bayi diperkirakan
telah mengetahui konsep lebih dan kurang. Saat mereka tumbuh, kemampuan mereka
berkembang menjadi mengetahui jumlah, dan para usia sekitar lima tahun mereka telah
bisa menghitung dan membandingkan jumlah. Dalam hal bahasa, bayi telah mengetahui
bahasa ibunya saat mereka masih berusia dua hari, dan saat mereka berusia lima bulan
mereka tahu bahwa bahasa terdiri atas kalimat-kalimat. Ketika mereka berusia sekitar 18
bulan dan telah menguasai 50 kata, yang merupakan massa kritis di mana mereka mulai
bisa membentuk kalimat dari dua kata. Saat itulah mereka mulai sering bertanya, apa
ini?, apa itu?, dan bayi 18-20 bulan mampu belajar hingga sembilan kata per-hari.
Kemampuan berbahasa anak terus berkembang dengan cara menemukan pola-pola di
dalam bahasa dan kemudian belajar menggunakannya sendiri.
Kemampuan berbahasa adalah dasar bagi kemampuan membaca anak. Sebelum
anak dapat membaca, mereka harus mengembangkan empat kemampuan dasar: kosa
kata, bercerita, mengenal fonem, dan mengetahui kode tertulis. Kemampuan mengenal
fonem berarti mampu memisahkan bunyi dalam kata, seperti t di topi dan k di
makan. Berdasarkan penelitian, 17 persen murid taman kanak-kanak dan 70 persen
murid kelas satu sekolah dasar mampu memisahkan bunyi dalam kata. Anak harus
mampu mengenal kode tertulis sebelum bisa membaca, yakni memisahkan huruf-huruf
dari kata, mengetahui bunyi yang dihasilkan huruf-huruf, dan menggabungkan bunyi
masing-masing huruf sehingga membentuk kata. Kemampuan membaca lalu diikuti oleh
kemampuan menulis yang biasa dimulai pada usia taman kanak-kanak. Saat anak mulai
menuliskan kata-kata yang mereka dengar tetapi mereka salah menuliskan ejaan, mereka
telah mencapai kemajuan besar yaitu mengerti bagaimana cara kerja kata dalam bahasa.
Anak-anak belajar dari kegiatan mereka sehari-hari. Mereka selalu belajar dengan
aktif, dan berusaha mengerti lingkungan mereka. Sesuatu berulang-ulang yang dilakukan
anak-anak, yang kadang membuat kita kesal, sering merupakan cara mereka untuk
mengerti sesuatu. Kalau kita memperlihatkan kartu-kartu yang bergambar (flash card)
dan mengucapkan apa yang tergambar di kartu tersebut, mereka akan membeo. Tetapi
kalau kita membiarkan mereka bermain dengan permen mereka akan tertarik dengan
kuantitas. Kunci dalam proses belajar mereka adalah belajar dalam konteks.
Buku ini juga menjelaskan perkembangan anak dalam hal mengenal identitas diri,
yaitu mengenal tubuh dan mengenal emosi serta bagaimana mengendalikan emosi
sendiri. Anak pun mulai bisa mengevaluasi diri sendiri, tetapi kemampuan ini
membutuhkan waktu yang lama. Menurut hasil penelitian, hanya 59 persen anak berusia
30 40 bulan memberikan respon secara emosional saat mereka berlaku buruk.
Dalam perkembangan sosialnya, dijelaskan bahwa anak pertama-tama mulai bisa
membedakan antara orang dan barang, kemudian mereka bisa mengetahui emosi orang
lain, dan pada tahap akhir mereka bisa menghargai bahwa orang lain berbeda pandangan
daripada mereka. Dalam perkembangan tahap kedua, para peneliti melihat bahwa bayi
membentuk keterikatan dengan sekelompok orang, dan sifat keterikatan di masa awal
kehidupan mereka penting dan dapat memberikan dampak yang besar dalam
penyesuaian-penyesuaian emosi dan akademik anak nantinya. Walaupun begitu,
hubungan antara keterikatan dan penyesuaian di masa datang hanya terlihat jika si anak
terus berada dalam lingkungan yang menyayangi dan mendukungnya.
Sebagai orang tua, yang perlu kita lakukan adalah memberikan dukungan bagi
anak-anak untuk berkembang secara sehat. Salah satu dukungan tersebut mungkin telah
kita lakukan selama ini, yaitu apa yang disebut sebagai scaffolding di mana kala kita
melihat anak kesulitan melakukan sesuatu kita lalu memberikan sedikit bantuan yang
membuat mereka dapat melakukan hal tersebut. Misalnya saat anak menyusun puzzle dan
ia kesulitan, kita membantu dengan memasangkan satu potong puzzle sehingga ia bisa
menyelesaikan puzzle tersebut. Hal lain yang dapat kita lakukan adalah dengan berbicara
dengan anak dan membaca buku bagi mereka. Kegiatan ini dapat menambah kosakata
(penguasaan kosakata dapat meningkatkan IQ sebesar 15-20 poin), penguasaan bahasa,
dan minat baca. Selain itu, jika kita berbicara dengan mereka tentang emosi orang lain,
hal ini dapat meningkatkan intelejensia sosial mereka. Misalnya, kita dapat menjelaskan
kepada mereka, Si polan sedih karena mainannya hilang, atau Si polan menangis
karena tangannya sakit.
Karena si anak adalah mesin bagi perkembangan mereka sendiri, maka yang
sebaiknya dilakukan orang tua adalah menjadi mitra bagi mereka. Kita berpartisipasi
dalam aktivitas-aktivitas anak kita, tetapi mereka lah yang memimpin dalam aktivitasaktivitas tersebut. Kita mengulurkan sedikit bantuan kepada mereka (scaffolding) dan
mengarahkan mereka mengenai hal-hal yang menyangkut moral. Di samping itu tentu
saja kita harus memberikan pujian kepada mereka.
Pujian adalah senjata yang kuat sekaligus berbahaya. Ada anggapan umum yang
salah bahwa memuji intelejensia anak dapat meningkatkan rasa percaya diri mereka
dalam bidang akademik. Anak-anak perlu dipuji atas usaha mereka karena belajar harus
dilihat sebagai proses, bukan sebagai pembuktian atas kemampuan mereka. Dengan
memuji usaha anak, kita mengajari mereka untuk menilai diri sendiri atas upaya yang
mereka kerahkan untuk mencapai sesuatu sehingga mereka tumbuh menjadi manusia
yang tidak mudah menyerah.
Setelah kita tahu bagaimana perkembangan anak di berbagai sisi, lantas
bagaimana dengan bermain? Bab 9 menjelaskan pentingnya bermain bagi anak. Buktibukti penelitian menunjukkan dengan jelas, bermain mendorong perkembangan di
berbagai sisi. Para peneliti telah menemukan bahwa bermain terkait dengan kreativitas
dan imajinasi yang lebih baik, dan bahkan dengan kemampuan membaca dan skor IQ
yang lebih tinggi. Jadi, jelas bahwa BERMAIN = BELAJAR. Terlebih lagi, jika orang
dewasa ikut (bukan mengontrol) bermain dengan anak, tingkat permainan mereka
meningkat.
Bagaimana mendefinisikan bermain? Menurut para peneliti, bermain memiliki
lima unsur. Pertama, bermain harus bisa dinikmati dan menyenangkan. Kedua, bermain
tidak boleh memiliki tujuan yang ditentukan. Ketiga, bermain harus spontan dan sukarela,
bebas sesuai pilihan yang bermain. Keempat, para pemain harus terlibat aktif. Dan
terakhir, bermain mengandung unsur berpura-pura.
Dari kelima unsur tersebut, yang paling sering kita hilangkan adalah unsur kedua.
Kita membelikan anak-anak kita mainan yang mengandung unsur pendidikan. Hal ini
tidak berarti semua mainan tersebut tidak bagus bagi anak. Yang perlu kita ingat adalah
mainan tersebut, bukan si anak, menentukan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Hal
serupa terjadi dalam aktivitas-aktivitas yang terorganisir: orang dewasa mengarahkan apa
yang harus dilakukan anak. Anak-anak perlu mengarahkan sendiri kegiatan bermain
mereka. Dengan begitu, mereka merasa memiliki kekuasaan atas permainan mereka. Ini
adalah salah satu fungsi utama bermain.
Menjauhkan anak dari bermain dapat mengarah kepada depresi dan kekerasan.
Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa tanpa bermain, binatang mengalami
penundaan dalam kematangan otak. Penelitian juga membuktikan bahwa memberikan
istirahat bermain kepada anak si sekolah memaksimalkan perhatian mereka kepada tugastugas sekolah yang melibatkan berpikir.
Semua peneliti sepakat bahwa bermain memberikan dasar yang kuat bagi
pertumbuhan intelejensia, kreativitas, dan kemampuan menyelesaikan masalah. Bermain
juga merupakan alat untuk perkembangan emosi serta pengembangan keterampilanketerampilan sosial dasar anak. Kita, orang tua, juga mungkin telah mengerti hal ini,
tetapi mungkin kita kurang memfasilitasi anak untuk bermain karena kita khawatir bahwa
mereka menjadi tidak belajar.
Buku ini memberikan banyak penjelasan tentang bermain dan manfaatnya. Saat
anak bermain dengan benda-benda fisik, mereka belajar tentang hubungan antara satu
benda dengan benda yang lain. Pengalaman mereka dari memainkan benda-benda
tersebut tidak bisa diganti dengan kartu-kartu bergambar, atau bahkan dengan permainan
komputer. Kreatifitas mereka diasah dengan bermain bebas dan tak terstruktur.
Kemampuan berbahasa mereka berkembang dengan bermain pura-pura. Ketika mereka
bermain masak-masakan dengan teman-teman, mereka mengembangkan kemampuan
sosial mereka. Anak-anak yang berlari ke sana ke mari melatih kemampuan motorik
mereka.
Albert Einstein memiliki kepandaian yang luar biasa, bukan karena Ia mengetahui
banyak hal, tetapi Ia pemikir yang hebat. Tidak sedikit dari kita yang mengharapkan
anak-anak kita memiliki kepandaian seperti Einstein. Waktu ia berusia 6 tahun, ia
diikutkan dalam pelajaran musik, tetapi ia tidak pandai-pandai. Tiba-tiba pada umur 13
tahun ia sangat menyenangi Mozart dan pandai bermain biola. Komentar Einstein tentang
kemampuan musiknya adalah Love is a better teacher than a sense of duty.
Yang dapat kita pelajari dari masa kecil Einstein adalah Ia mengambil jalannya
sendiri, dan sebagian besar proses belajarnya terjadi saat Ia bermain. Jadi, kalau ibu
Einstein tidak mengajarinya dengan kartu-kartu bergambar, mengapa kita harus melatih
(drill) anak-anak kita, mengajarkan mereka membaca sebelum masuk taman kanakkanak, bahkan mengajari mereka aritmatika sebelum umur tiga tahun? Kita tentu
melakukan hal-hal tersebut dengan niat baik, tetapi mungkin kita melakukannya hanya
karena kita tidak menerima informasi yang benar.
Buku ini menyebutkan empat mitos yang tak sehat yang menjadi petunjuk bagi
kita dalam membesarkan anak:
1. Lebih cepat lebih baik
Kita ingin mempercepat perkembangan kognitif dan sosial anak.
2. Jadikan setiap saat berarti
Jangan sampai ada waktu anak yang terbuang percuma.
3. Orang tua adalah serba bisa
Kita menganggap bahwa hanya kita yang bertanggung jawab atas perkembangan
anak.
Tergila-gila ''Playstation''
SAYA memiliki 2 orang anak laki-laki dan perempuan yang berusia 10 dan 5
tahun. Yang bermasalah yang sulung laki-laki ini Bu. Kegemarannya main playstation
sangat menakutkan saya. Dulu dengan pertimbangan agar tidak mengganggu pelajaran
sekolahnya maka kami tidak membelikannya. Tetapi dia sering main di tetangga tiap
Sabtu dan Minggu.
Masalahnya, sekarang makin banyaknya bermunculan tempat penyewaan
playstation, bahkan ada 3 tempat di lingkungan tempat tinggal kami membuatnya seperti
tergila-gila pada playstation. Uang sakunya bahkan tidak pernah digunakan untuk
membeli makanan. Dia yang biasanya paling tidak tahan lapar, akhir-akhir ini saya lihat
dia lebih baik memilih kelaparan, asalkan bisa menyewa playstation.
Kami berdua bekerja sampai jam 5 sore. Dia dengan adik dan neneknya di rumah.
Neneknya tidak bisa berbuat apa dan tidak didengar kalau memberi nasihat agar pulang.
Kadang-kadang memaksa pada neneknya untuk meminta uang tambahan kalau uang
sakunya habis. Tetapi seringkali hanya melihat temannya bermain kalau dia tidak punya
uang. Jadi sepulang sekolah pkl. 13.00 Wita, waktunya dihabiskan sampai sore di tempat
penyewaan playstation. Saya benar-benar kebingungan melihatnya. Kenapa dia bisa
tergila-gila sampai sedemikian rupa dengan playstation. Pelajarannya mulai menurun
karena sampai di rumah malam harinya mengeluh capek dan akhirnya malas belajar.
M. Busri, Panjer
Mari kita lihat dan bahas satu demi satu. Seiring dengan perkembangan zaman
dan kemajuan teknologi, permainan anak pun berkembang dan berubah cepat. Kalau dulu
anak bermain dengan alat permainan sederhana seperti kulit semangka jadi mobilmobilan, kuda-kudaan dari pelepah daun pisang dan bermain layang-layang dari koran di
lapangan, sawah, halaman atau kebun yang luas, sambil mencari jangkrik, ulat dan
menangkap kupu-kupu. Kini dengan makin sempitnya lahan tempat bermain, industri
elektronika menawarkan aneka mainan jadi untuk mengisi waktu anak-anak di rumah,
karena kebun dan sawah tidak dapat mereka jumpai lagi.
Dimulai dari televisi. Saat itu begitu banyaknya anak-anak yang keranjingan
menonton televisi sekaligus meniru terutama adegan-adegan kekerasan yang mereka
lihat. Para ahli pun meneliti dan menemukan banyaknya dampak buruk televisi bagi
perkembangan anak, mereka mengritik habis-habisan stasiun televisi yang menayangkan
adegan kekerasan pada acara jam tayang anak. Tetapi tidak sedikit pula yang
mengacungkan jempol pada stasiun televisi yang mampu menghadirkan beberapa acara
anak-anak yang dirasakan bermanfaat bagi perkembangan anak. Jadi di samping dampak
buruknya, televisi juga memiliki pengaruh positif bagi penambahan wawasan dan
pengetahuan anak.
Seperti halnya televisi, playstation-pun memiliki sisi negatif dan sisi positif.
Pengaruhnya sangat tergantung pada upaya lingkungan untuk mengkomunikasikannya
pada anak.
Dampak Negatif
Duduk berjam-jam keasyikan memainkan playstation membuat anak kurang
bergerak, kurang bermain dan bersosialisasi dengan teman sebayanya. Bahkan pada
beberapa anak yang cara duduknya kurang benar akan berakibat fatal pada pertumbuhan
tulang belakangnya. Kondisi ini juga dapat membuat anak memiliki persepsi lebih enak
bermain sendiri dan menghambat dorongan berinterasi sosialnya karena merasa tanpa
melibatkan serta berkomunikasi dengan orang lain dia bisa 'enjoy'. Ini jelas menghambat
perkembangan fisik, motorik serta sosialnya.
Keasyikannya bermain playstation akan mengganggu kegiatan lain seperti belajar,
makan ataupun tidur. Anak yang sudah keasyikan memainkan playstation akan merasa
terus tertantang untuk menemukan cara-cara bermain yang baru. Kondisi ini akan
berdampak pada kelelahan mata, kelelahan fisik dan emosi serta dampak-dampak lainnya
yang sudah menunggu. Seperti putranya yang sampai di rumah mengeluh capek dan
mengantuk lalu menolak untuk belajar sehingga prestasinya mulai menurun.
Sementara itu yang dipacu pada alat permainan elektronik ini adalah kemampuan
anak untuk bereaksi cepat melalui latihan yang terus menerus (drilling). Pada permainan
ini umumnya anak tidak belajar dari kesalahan, tidak belajar memecahkan masalah
karena kepraktisannya memencet tombol, ia dihadapkan pada jawaban salah dan benar.
Dalam permainan ini pada umumnya juga tidak disajikan bagaimana cara untuk sampai
pada jawaban yang benar. Jelas ini bukan gambaran dari kondisi yang sebenarnya dalam
kehidupan sehari-hari yang mengajarkan pada anak bahwa untuk mencapai keberhasilan
ia perlu menyelesaikan masalah yang dihadapi. Karena itu banyak ahli berpendapat video
games dan playstation tidaklah merangsang kreativitas anak, justru menghambat
sosialisasinya.
Bagaimana Sebaiknya
Perjanjian bersama. Bicarakan dengan anak dan bikin komitmen bersama atau
perjanjian tertulis kalau perlu terutama untuk anak usia 6 tahun ke atas, porsi jam dan
waktu anak bermain playstation. Misalnya, sepulang sekolah makan dulu, mengerjakan
PR 1 jam, lalu bermain playstation 2 jam, lantas sebelum orangtua pulang kantor anak
sudah harus di rumah, mandi dan siap belajar. Main playstation dalam seminggu cukup 3
kali saja sehingga hari lain bisa diisi dengan aktivitas lainnya yang positif.
Posisi bermain. Anak harus memahami hal-hal buruk playstation sehingga harus
mengikuti aturan tiap 1 jam anak bermain harus mengistirahatkan matanya dari layar
paling tidak 5 menit dan bangkit sementara dari tempat duduknya. Ajarkan pula
bagaimana duduk yang baik dengan punggung tegak agar tidak mengganggu
pertumbuhan tulang belakangnya.
Aktivitas Positif yang Lain
Dorong anak untuk tetap mengembangkan kemampuan sosialnya dengan
berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sebaya, juga mendorong untuk
menemukan dunia bermain yang juga cukup asyik dan menantang di luar rumah bersama
teman-temannya. Misalnya, dorong mereka bikin klub sepak bola, bola basket, sepeda
gayung atau kelompok belajar bersama, kursus menari atau melukis di banjar.
Jadwal Kegiatan
Buatlah jadwal dengan anak untuk diingat, untuk disiplin terhadap waktu makan,
dan beristirahat, serta bersosialisasi dengan anggota keluarga lain. Mempersyaratkan
bahwa acara main playstation bukan kegiatan utama liburan melainkan hanya kegiatan
tambahan atau alternatif kegiatan serta tidak boleh sampai mengabaikan hal-hal lain. Ini
untuk menunjukkan bahwa ada dunia lain di luar playstation yang juga menyenangkan
untuk dijelajahi dan dikembangkan. Misalnya, Sabtu sore bersama keluarga ke pantai,
Minggu pagi jalan santai dan berolah raga bersama keluarga, Rabu sore mengunjungi
keluarga, Jumat sore ke toko buku dsb.
Selektif terhadap Materi Tontonan
Ajarkan keterampilan memilah-milah mana yang baik dan buruk, mana yang
boleh dan tidak boleh, kenapa baik dan boleh dilakukan dan apa alasannya kenapa tidak
boleh dilakukan dan dampak buruknya. Contohnya dalam pemilihan kaset, doronglah
anak untuk memilih kaset-kaset yang mampu merangsang daya imajinasi dan aspek
kognitif (berpikirnya) bukan yang cenderung mengarah pada kekejaman atau agresivitas.
Para pelaku bisnis penyewaan kaset kan juga para tetangga ya Pak? Bicaralah pada
mereka untuk menyewakan kaset yang sesuai dengan perkembangan anak-anak. Karena
dampak playstation bagi perkembangan anak adalah tanggung jawab bersama.
Reward dan Punishment
Karena sudah menjadi komitmen bersama dengan anak, maka bicarakan juga
hadiah kalau anak melakukan komitmen dengan baik, misalnya bintang yang bisa
dikumpulkannya tiap hari dan ditukar dengan sesuatu yang diinginkannya seperti sepatu
roda, mobil remote, berlibur ke luar kota dsb. Demikian juga hukuman kalau anak
melanggar aturan yang telah diputuskan bersama seperti memotong uang saku, hilangnya
jadwal main playstation, membersihkan kamar mandi, mencuci mobil ayah dsb.
Memang seperti halnya televisi, playstation juga menyimpan banyak sisi positif.
Beberapa permainannya banyak merangsang kemampuan kognitif anak seperti permainan
yang ditujukan untuk memperkenalkan anak pada aneka huruf, angka, warna, binatang,
bahasa dsb. Demikian pula keterampilan koordinasi tangan dan mata bisa terlatih lewat
media ini. Beberapa ahli bahkan percaya, alat permainan ini dapat digunakan untuk
melatih dan meningkatkan rentang perhatian dan konsentrasi anak karena berisi sesuatu
yang kemungkinan besar akan menarik minat anak-anak. Di samping itu juga dapat
berfungsi sebagai ajang kompetisi anak dengan dirinya sendiri.
Nah, sekarang tinggal bagaimana peranan orangtua dalam mengkomunikasikan
dengan anak untuk meminimalkan dampak negatif permainan elektronik ini dan
mengoptimalkan dampak positifnya bagi perkembangan anak. Dan hal yang perlu
diingat, tren bermain selalu berganti-ganti, namun komunikasi adalah kunci semuanya
Memilih mainan anak gampang-gampang susah. Salah pilih, akibatnya bisa runyam. Bila
permainan terlalu rumit anak bisa stres. Ini lambat laun akan berdampak buruk bagi
perkembangan emosinya. Sebaliknya, permainan yang terlalu mudah pun tak membawa
manfaat bagi mereka. Karena interestnya berkurang dan tak merasa tertantang.
Menurut Taufan Surana, pengelola dan pemilik situs BalitaCerdas.com, yang paling
penting dalam memilih mainan untuk anak adalah yang dapat merangsang semua panca
inderanya. Semakin banyak panca indera digunakan, sel-sel otak anak akan lebih banyak
berkembang dari segi kualitas dan jumlahnya.
Jangan remehkan sepeda roda tiga. Kata Taufan, dari penelitian yang dia himpun,
sepeda roda tiga mampu merangsang seluruh panca indera. Komposisi gerak dan
visualnya akan semakin terasah. ''Anak berlatih mengkoordinasikan gerakan, pandangan
dan situasi sekitarnya'', jelas Taufan.
Permainan lain yang bisa dijadikan alternatif adalah Flash Card. Permainan kartu
bergambar ini terdiri dari 150 kartu dengan bermacam-macam gambar seperti gambar
buah, binatang, kendaraan, warna ataupun angka, dll. Cara memainkannya, cukup dengan
menunjukkan
gambar
secara
cepat (satu gambar per detik) di hadapan anak. Meski mungkin belum lancar, biasanya
anak usia sampai dengan tiga tahun sudah bisa mengenali gambar berikut namanya.
''Permainan ini bisa dimainkan sejak anak berusia empat bulan'', ujar Taufan yang juga
memproduksi
Flash
Card.
(catatan: Flash Card BalitaCerdas.com bisa diperoleh di
www.balitacerdas.com/fc)
Permainan Flash Card ini menurut Taufan bisa membantu memaksimalkan kemampuan
photographic memory, serta membangkitkan respon otak kanan pada anak balita. Yaitu
dengan cara mengendalikan pikiran bawah sadar, emosi, kreatif dan intuitif pada balita
sejak
dini.
Berikut
adalah
beberapa
tips
dalam
memilih
mainan
untuk
anak:
1. Orangtua perlu tahu tahap-tahap perkembangan anak, baik usia, emosi dan fisiknya.
2. Peduli terhadap mainan yang digunakan. Jangan asal beli yang mahal, sesuaikan
dengan kemampuan anak. 3. Keamanan alat bermain perlu diperhatikan, baik dari bahan
(materil dan catnya) dan kinerja alat tersebut (yang menghindari cedera ketika
digunakan).
4. Pilih mainan yang berwarna kontras dan cerah, untuk merangsang indera penglihatan
anak.
5. Pastikan semua mainan dalam jangkauan anak, agar terhindar dari cedera ketika anak
berusaha mencapainya.
6. Anak di usia enam bulan keatas suka mainan yang mengeluarkan bunyi dan benda
berwarna seperti genta, bel, lonceng mini, gambar penuh warna maupun benda
berteksturlembut.
7. Beri mainan seperti lego dan sejenisnya yang mempunyai variasi bentuk pada anak
usia 9 bulan keatas, atau mainan serupa yang dapat dimainkan sewaktu mandi.
8. Tak perlu mainan mahal untuk anak Anda. Si kecil butuh stimulus untuk merangsang
kreatifitasnya, dan ini bisa anda lakukan dengan membuatnya sendiri. Tentu, kreatifitas
Anda yang diperlukan
Kendati demikian, Sani mengatakan, selera anak sangat bisa dibentuk dengan penguatan
melalui pemberian pujian (reward). Jika anak memiliki pilihan selera yang positif,
orangtua bisa memberikan penghargaan dan pujian. Sebaliknya jika mengarah ke hal
yang negatif, seperti anak lebih menyukai bermain yang mengandung unsur kekerasan,
orangtua bisa membatasi dan mengalihkannya. Tujuannya agar anak mengerti sedini
mungkin mana selera yang dapat dikembangkan dan yang tidak,ujar psikolog dari
Children and Family Clinic ini.
Endang menambahkan, dengan pembentukan selera sedini mungkin kelak anak akan
lebih termotivasi dan fokus pada suatu bidang yang diminatinya. Sebaliknya, jika anak
terbiasa mengekor selera orang lain maka dia akan sulit mengekspresikan diri dan sulit
menentukan minatnya. Dengan rasa percaya diri tinggi dan kemampuan untuk berpikir
kreatif akan mendukung anak memiliki rencanarencana di masa mendatang, seperti
menentukan tingkat pendidikan, pekerjaan, pasangan hidup serta kualitas kehidupannya.
Jika lingkungan memahami kecenderungan selera anak dan mengakomodasinya, maka
anak akan lebih mantap tampil di lingkungan, ujar psikolog Sani B Hermawan. Dia
memberikan tips bagaimana orangtua membentuk selera anak,
1. Memahami konsep dasar dari selera anak. Pahami kecenderungan anak
berdasarkan perkembangan usianya, misalnya saat usia dua tahun anak gemar
menyanyi, kenali sejauh mana kemampuannya menyanyi. Dengan begitu orangtua
bisa menyusun strategi yang tepat.
2. Tidak memberi label negatif pada selera anak. Jangan langsung berkata 'ya
ampun' atau 'mama gak suka' ketika anak memilih padu padan pakaian yang tidak
cocok. Anak akan menjadi takut dan kurang percaya diri dalam menyampaikan
seleranya kelak.
3. Mengenalkan anak pada selera lain yang ada pada lingkungan. Namun,
lingkunan perlu juga merangsang halhal lain agar anak memiliki pengalaman
baru dan menambah pengayaan pengetahuan.
4. Tidak memaksakan kehendak. Selama anak tidak berkeberatan dengan apa
yang Anda tawarkan bisa dikatakan itu hal positif. Jika tidak, jangan terburu-buru
memaksakan kehendak Anda mungkin anak memiliki alasan yang logis.
5. Memberi reinforcement berupa pujian pada halhal yang ingin dibentuk.
Tak terwujudnya sebuah taman bermain di setiap wilayah atau sebatas RT tak
lepas dari ketidakpedulian terhadap hak-hak anak. Padahal, seyogianya anak memiliki
suara pada setiap keputusan yang dilakukan para pengambil kebijakan. Dari jumlah
keseluruhan penduduk Kota Bandung yang mencapai 2 juta orang, jumlah anak mencapai
sepertiganya. Klasifikasi anak berdasarkan badan PBB, UNICEF merupakan penduduk
yang berusia 0-18 tahun, termasuk janin di dalam kandungan.
Jumlah sepertiga tak dapat dipandang sebelah mata. Jika saja mereka dapat
menduduki posisi dewan yang mewakili rakyat, sepertiga kursi DPRD di Kota Bandung
seharusnya diisi anak-anak.
Keadaan tersebut sangat kontras dengan berbagai kebijakan yang dibuat oleh para
pengambil kebijakan selama ini. Hak-hak anakyang dilindungi undang-undang
seakan terpinggirkan. Berbagai produk hukum di Kota Bandung seakan tak pernah
berpihak kepada anak. Sebagai contoh, revisi perda RTRW yang baru saja disahkan sama
sekali tak berpihak kepada anak-anak, protes Eko Kriswanto, aktivis anak dari Yayasan
Bahtera.
Sebuah rencana aksi kota yang jelas dan berpihak untuk anak, menurut Eko,
seharusnya menjadi pertimbangan utama. Apa salahnya dalam setiap perencanaan kota
dirumuskan dibangunnya lahan bermain baru untuk anak. Jangan hanya berpatokan pada
sisi ekonomi maupun bisnis, ucapnya lagi.
Pendapat Eko mungkin saja benar. Saat ini, akan sangat sulit menemukan tempat
bermain di Kota Bandung. Data Kementerian Lingkungan Hidup RI pada 2003 lalu
mencatat bahwa luas taman kota di Kota Bandung mencapai 114 hektare saja atau sekira
0,68% dari luas wilayah Kota Bandung yang mencapai 16.729 hektare.
Halaman sekolah juga seharusnya dapat digunakan anak-anak untuk bermain.
Namun, tak sedikit sekolah di kota ini yang tak memiliki lahan bermain. Anak-anak pun
kemudian bermain pada tempat di mana keselamatan dan keamanan terabaikan.
Sempitnya lahan bermain anak juga diduga memicu kenaikan anak jalanan. Data
Dinas Sosial Prov. Jabar 2003 menyebutkan, anak jalanan di Kota Bandung mencapai
4.626 orang, sementara di Jawa Barat 20.665 orang. Berdasarkan penelitian, sekira 80%
darianak jalanan di Kota Bandung merupakan anak rumahan. Dalam artian, mereka
memiliki rumah dan orang tua, dan menjadikan jalanan sebagai tempat bermain, tutur
Eko Kriswanto dari Yayasan Bahtera.
Ironisnya, fenomena sempitnya lahan bermain di Kota Bandung menjadi lahan
bisnis. Ada uang, ada lahan bermain. Kenyataan ini dapat dilihat dengan maraknya jenis
permainan yang ditawarkan mal, misalnya.
Selain soal lahan, Merina Burhan menduga bahwa sistem pendidikan di sekolah
dasar dan tingkat persaingan mengakibatkan waktu bermain semakin berkurang. Anak
usia sekolah dasar (bahkan sejak di TK) telah dibebani berbagai pelajaran tambahan dan
kursus-kursus privat lainnya. Alhasil, waktu anak untuk bermain hanya terbatas dengan
teman sekolah dan pada jam istirahat. Kenyataan di atas mengakibatkan anak Indonesia
tak saja kehilangan tempat, tetapi juga kehilangan waktu bermain mereka.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jabar, Ny. S. Roediono, S.H.
dan praktisi perlindungan anak, Prof. H. Sambas Wiradisuria, dr., menegaskan, aktivitas
bermain dapat sekaligus berfungsi untuk belajar.Faktor kreativitas dan kecerdasan anak
akan terangsang dengan aktivitas bermain.
Play, and Development, mengatakan harus ada 5 (lima) unsur dalam suatu kegiatan yang
disebut bermain. Kelima unsur tersebut adalah :
Tujuan bermain adalah permainan itu sendiri dan si pelaku mendapat kepuasan
karena melakukannya (tanpa target), bukan untuk misalnya mendapatkan uang.
Dipilih secara bebas. Permainan dipilih sendiri, dilakukan atas kehendak sendiri
dan tidak ada yang menyuruh ataupun memaksa.
Menyenangkan dan dinikmati.
Ada unsur kayalan dalam kegiatannya.
Dilakukan secara aktif dan sa
Di luar pendapat Hughes, ada ahli-ahli yang mendefinisikan bermain sebagai
apapun kegiatan anak yang dirasakan olehnya menyenangkan dan dinikmati (pleasurable
and enjoyable). Bermain dapat menggunakan alat (mainan) ataupun tidak. Hanya sekedar
berlari-lari keliling di dalam ruangan, kalau kegiatan tersebut dirasakan menyenagkan
oleh anak, maka kegiatan itupun sudah dapat disebut bermain.
Penyebab
Kalau anak enggan belajar, tentunya perlu dicari tahu sebab-musababnya, baru kemudian
diambil suatu tindakan. Beberapa sebab mengapa anak enggan belajar, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Kurangnya waktu yang tersedia untuk bermain (sudah dibahas pada artikel yang lalu).
2. Sedang punya masalah di rumah (misalnya suasana di rumah sedang "kacau" karena ada
adik baru).
3.
4. Sedang sakit.
5. Sedang sedih (bertengkar dengan teman baik, kehilangan anjing kesayangan)
6.
Tidak ada masalah atau sakit apapun, juga tidak kurang waktu bermain (malahan
kebanyakan), hanya memang MALAS.
Malas
Dalam Kamus Bahasa Indonesia oleh Muhammad Ali, malas dijabarkan sebagai tidak mau
berbuat sesuatu, segan, tak suka, tak bernafsu. Malas belajar berarti tidak mau, enggan,
tak suka, tak bernafsu untuk belajar.
Kalau anak-anak tidak suka belajar dan lebih suka bermain, itu berarti belajar dianggap
sebagai kegiatan yang tidak menarik buat mereka, dan mungkin tanpa mereka sadari juga
dianggap sebagai kegiatan yang tidak ada gunanya/untungnya karena bagi ana-anak tidak
secara langsung dapat menikmati hasil belajar. Berbeda dengan kegiatan bermain, jelasjelas kegiatan bermain menarik buat anak-anak, dan keuntungannya dapat mereka rasakan
secara langsung (perasaan senang yang dialami ketika bermain adalah suatu keuntungan).
Motivasi
Dalam dunia psikologi, dorongan yang dirasakan seseorang untuk melakukan sesuatu disebut
sebagai motivasi. Motivasi tersebut dapat berasal dari dalam maupun dari luar diri
seseorang.
Morgan (1986) dalam bukunya Introduction To Psychology, menjelaskan beberapa teori
motivasi:
1. Teori insentif
Dalam teori insentif, seseorang berperilaku tertentu untuk mendapatkan sesuatu.
Sesuatu ini disebut sebagai insentif dan adanya di luar diri orang tersebut. Contoh
insentif yang paling umum dan paling dikenal oleh anak-anak misalnya jika anak naik
kelas akan dibelikan sepeda baru oleh orangtua, maka anak belajar dengan tekun untuk
mendapatkan sepeda baru. Insentif biasanya hal-hal yang menarik dan menyenangkan,
sehingga anak tertarik mendapatkannya. Insentif, bisa juga sesuatu yang tidak
menyenangkan, maka orang berperilaku tertentu untuk menghindar mendapatkan
insentif yang tidak menyenangkan ini. Dapat juga terjadi sekaligus, orang berperilaku
tertentu untuk mendapatkan insentif menyenangkan, dan menghindar dari insentif tidak
menyenangkan.
2. Pandangan hedonistik
Dalam pandangan hedonistik, seseorang didorong untuk berperilaku tertentu yang akan
memberinya perasaan senang dan menghindari perasaan tidak menyenangkan.
Contohnya: anak mau belajar karena ia tidak ingin ditinggal ibunya ke
pasar/supermarket.
Dari uraian di atas, dapat diasumsikan anak yang malas tidak merasa adanya insentif yang
menarik bagi dirinya dan ia pun tidak merasakan perasaan menyenangkan dari belajar.
Terangkan dengan bahasa yang dimengerti anak, bahwa belajar itu berguna buat
anak. Bukan sekedar supaya raport tidak merah, tapi misalnya dengan mengatakan
"Kalau Ade rajin belajar dan jadi pintar, nanti kalau ikut kuis di tv bisa menang loh,
dapat banyak hadiah. Kan kalau anak pintar, bisa menjawab pertanyaanpertanyaannya".
3.
pelajarannya ada nggak sih jawabannya? Kita lihat yuk sama-sama". Dengan cara ini,
anak sekaligus akan merasa dipercaya dan dihargai oleh orangtua, karena orangtua mau
meminta bantuannya.
4. Banyak lembaga pra-sekolah yang mengajarkan kepada anak pelajaran-pelajaran dengan
metode active learning atau learning by doing, atau learning through playing, salah
satu tujuannya adalah agar anak mengasosiasikan belajar sebagai kegiatan yang
menyenangkan. Tapi seringkali untuk anak-anak SD, hal ini agak sulit dipraktekkan,
karena mulai banyak pelajaran yang harus dipelajari dengan menghafal. Untuk keadaan
ini, hal minimal yang dapat dilakukan adalah mensetting suasana belajar. Jika setiap
kali pembicaraan mengenai belajar berakhir dengan omelan-omelan, ia akan
mengasosiasikan suasana belajar sebagai hal yang tidak memberi perasaan
menyenangkan, dengan demikian akan dihindari.
pokok dengan isi insidental yang bersinggungan dengan pokok utama. Sebuah isi insidental
(Aldo yang gemuk jatuh tertelungkup) bisa tampak sama pentingnya dengan tema utama (Aldo
dan kelompoknya hendak membantu seorang anak perempuan yang sedih karena orangtuanya
bertengkar).
Ia pun mengalami kesulitan untuk memadukan unsur-unsur cerita yang berbeda yang terjadi
pada waktu berlainan. Ia mungkin tak mampu menghubungkan satu adegan yang
menggambarkan seorang pria bertopeng yang tengah merampok bank dengan adegan
berikutnya setengah jam kemudian yang menggambarkan seorang pria ditangkap dan
dipenjarakan.
Akhirnya, kesimpulan seorang ahli berikut ini patut Anda simak. "Jika Anda menggunakan TV
sebagai penjaga anak sehingga mengabaikan hubungannya dengan orang lain, jelas Anda lalai.
Jika Anda tak memperkenalkan buku kepada anak-anak hanya karena adanya TV, maka Anda
bertindak ceroboh. Jika Anda tak membantu anak untuk membangun hubungan yang baik
dengan teman sebayanya hanya karena TV 'menjaga mereka di rumah', maka Anda benar-benar
bersalah terhadap mereka."
Apa Yang Anak Serap Dari TV? Jawabannya, banyak sekali. Semua program TV dan siaran
iklan yang menyertainya, menyampaikan pesan yang berbeda-beda dan mengajarkan hal yang
lain pula. Satu hal yang dicemaskan banyak orangtua ialah anak belajar kekerasan dari TV. Ini
bisa dipahami. Sebab, tak sedikit adegan kekerasan muncul di layar TV, mulai dari
pertengkaran mulut sampai perkelahian dan pembunuhan. Bukan cuma dalam program-program
tayangan dewasa, tapi juga anak-anak. Anda tak dapat menghindari ini, tapi bisa mencegah
pengaruh buruknya. Jelaskan padanya, orang-orang yang ia lihat di TV adalah aktor dan mereka
melakukan itu tidak dengan sungguh-sungguh.
Atau, hapuskan semua program yang lebih banyak mengeksploitir adegan kekerasan dari daftar
program TV yang sudah Anda pilih untuk anak. Jangan pula izinkan si kecil menonton program
untuk dewasa. Pelajaran lain dari TV yang perlu diwaspadai ialah stereotipe sosial tentang
wanita, pria, minoritas, orang lanjut usia, dan banyak kelompok lain, termasuk anak-anak.
Stereotipe ini kadang dilebih-lebihkan. Misalnya, pria selalu digambarkan jadi pemimpin dalam
mengatasi keadaan sementara yang wanita tetap pasif atau tak berdaya. Anak-anak belajar dari
penggambaran ini terutama bila mereka hanya mempunyai sedikit kontak dengan kelompok
yang digambarkan. Sebagaimana adegan kekerasan, Anda pun tak dapat menghindari adeganadegan yang menggambarkan stereotipe sosial ini. Nah, berilah gambaran yang tepat pada anak
tentang hal yang sebenarnya berlaku di masyarakat. Bukan cuma lewat kata-kata tapi juga
harus diperkuat oleh perilaku Anda sehari-hari.
Bagaimana Anda sehari-hari bersikap terhadap anak Anda, misalnya, merupakan contoh
bagaimana seharusnya orang dewasa memperlakukan seorang anak. Atau, bagaimana ayah
memperlakukan ibu dan bagaimana ibu memperlakukan ayah, akan memberikan gambaran
pada anak tentang bagaimana seharusnya seorang pria memperlakukan wanita dan sebaliknya.
Ingatlah, TV akan memberikan pengaruh yang nyata pada anak, antara lain tergantung dari
seberapa banyak anak dapat mengingat hal-hal yang ia tonton dan seberapa baik
pemahamannya terhadap apa yang ia tonton. Jika ia menafsirkan kekerasan atau stereotipe
sosial di TV sebagai pola perilaku yang direstui masyarakat dan model yang benar untuk ditiru,
maka pengaruhnya akan sangat berbeda ketimbang bila ia menafsirkannya sebagai pola
perilaku yang tak direstui dalam masyarakat
Dr. Devlin menemukan bukti bahwa keadaan dalam kandungan juga sangat berpengaruh pada
pembentukan kecerdasan. "Ada otak substansial yang tumbuh dalam kandungan," jelasnya. "IQ sangat
tergantung pada bobot ahir bayi. Anak kembar, rata-rata memiliki IQ 4 7 angka di bawah anak lahir
tunggal karena umumnya bayi kembar memiliki bobot badan lebih kecil," tambahnya. Lebih dari 20 tahun
terakhir berbagai penelitian juga mengungkapkan korelasi positif antara gizi, terutama pada masa
pertumbuhan pesat, dengan perkembangan fungsi otak. Ini berlaku sejak anak masih berbentuk janin dalam
rahim ibu. Pada janin terjadi pertumbuhan otak secara proliferatif (jumlah sel bertambah), artinya terjadi
pembelahan sel yang sangat pesat. Kalau pada masa itu asupan gizi pada ibunya kurang, asupan gizi pada
janin juga kurang. Akibatnya jumlah sel otak menurun, terutama cerebrum dan cerebellum, diikuti dengan
penurunan jumlah protein, glikosida, lipid, dan enzim. Fungsi neurotransmiternya pun menjadi tidak
normal.
Dengan bertambahnya usia janin atau bayi, bertambah pula bobot otak. Ukuran lingkar kepala
juga bertambah. Karena itu, untuk mengetahui perkembangan otak janin dan bayi berusia kurang dari
setahun dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan mengukur lingkar kepala janin. Begitu lahir
pun, faktor gizi masih tetap berpengaruh terhadap otak bayi. Jika kekurangan gizi terjadi sebelum usia 8
bulan, tidak cuma jumlah sel yang berkurang, ukuran sel juga mengecil. Saat itu sebenarnya terjadi
pertumbuhan hipertropik, yakni pertambahan besar ukuran sel. Penelitian menunjukkan, bayi yang
menderita kekurangan kalori protein (KKP) berat memiliki bobot otak 15 20% lebih ringan dibandingkan
dengan
bayi
normal.
Defisitnya
bahkan
bisa
mencapai
40%
bila KKP berlangsung sejak berwujud janin. Karena itu, anak-anak penderita KKP umumnya memiliki nilai
IQ rendah. Kemampuan abstraktif, verbal, dan mengingat mereka lebih rendah daripada anak yang
mendapatkan gizi baik.
Asupan zat besi (Fe) juga diduga erat kaitannya dengan kemampuan intelektual. Untuk
membuktikannya, Politt melakukan penelitian terhadap 46 anak berusia 3 5 tahun. Hasilnya
menunjukkan, anak dengan defisiensi zat besi ternyata memiliki kemampuan mengingat dan memusatkan
perhatian lebih rendah. Penelitian Sulzer dkk. juga menunjukkan anak menderita anemia (kurang darah
akibat defisiensi zat besi) mempunyai nilai lebih rendah dalam uji IQ dan kemampuan belajar.
Maka atas dasar hasil penelitian tadi, kita bisa mengatur makanan anak sejak janin. Ketika anak
masih dalam kandungan, si ibu mesti makan untuk kebutuhan berdua dengan gizi yang baik. Perilakunya
juga mesti dijaga agar tidak memberi pengaruh buruk terhadap janin. Pasalnya, perilaku "buruk" ibu hamil,
merokok misalnya, ternyata juga menjadikan IQ anak rendah. Penelitian David L. Olds et. al. (1994) dari
Departement of Pediatrics, University of Colorado di Denver, AS, menunjukkan bayi- bayi yang lahir dari
ibu perokok memiliki faktor potensial ber-IQ rendah, seperti bobot lahir rendah, lingkar kepala lebih kecil,
lahir prematur, dan perawatan saat di ICU lebih lama dibandingkan dengan bayi dari ibu tidak merokok
selama hamil. Anak dari ibu perokok selama hamil pada usia 12 24 bulan memiliki nilai IQ 2,59 angka
lebih rendah, pada 36 48 bulan memiliki nilai IQ 4,35 angka lebih rendah ketimbang IQ anak dari ibu
tidak merokok saat hamil. Menurut David, asap rokok diduga akan mengurangi pasokan oksigen yang
sangat diperlukan dalam proses pertumbuhan sistem syaraf janin. Nikotin rokok akan membuat saluran
utero-plasental menyempit. Akibatnya, sel-sel otak bayi akan menderita hypoxia atau kekurangan oksigen.
Asap rokok juga akan memicu terjadinya proses carboxy hemoglobin, yaitu sel-sel darah yang semestinya
mengikat oksigen malah mengikat CO dari asap rokok. Selain itu, asap rokok juga mengandung sekitar
2.000 4.000 senyawa kimia beracun yang secara langsung mengganggu dan merusak berbagai proses
tumbuh kembang sel- sel dan sistem syaraf. Merokok selama hamil juga berpengaruh pada kekurangan zat
gizi yang diperlukan dalam proses tumbuh kembang sel otak. Misalnya, kebutuhan zat besi akan meningkat
karena harus memenuhi keperluan pembentukan sel-sel darah yang banyak mengalami kerusakan. Hal ini
akan mengurangi kemampuan dan persediaan zat gizi lainnya, seperti vit. B- 12 dan C, asam folat, seng
(Zn), dan asam amino. Zat-zat gizi tsb. dilaporkan sangat diperlukan dalam proses tumbuh kembang sel-sel
otak janin. Jika terjadi kekurangan zat-zat gizi esensial, proses tumbuh kembang otak tidak optimal,
sehingga nilai IQ pun menjadi lebih rendah. Setelah lahir, asupan gizi bagi bayi juga harus dijaga tetap
baik. Idealnya, anak mendapatkan ASI secara eksklusif sampai usia 4 6 bulan. Jenis makanan, selain ASI,
untuk bayi dan anak balita sebaiknya dibuat dari bahan makanan pokok (nasi, roti, kentang, dll.), lauk pauk,
bebuahan, air minum, dan susu sebagai sumber protein dan energi. Jangan lupa, bahan makanan harus
diolah sesuaitahap perkembangan dari lumat, lembek, selanjutnya padat. Secara keseluruhan asupan
makanan sehari harus mengandung 10 15% kalori dari protein, 20 35 % dari lemak, dan 40 60% dari
karbohidrat. Menu seimbang diberikan sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan. Sejak awal balita, jika
memungkinkan, anak diberi susu sebanyak 500 ml. Namun, jika ASI cukup, susu pengganti tidak perlu
diberikan hingga usia dua tahun. Perhatian juga mesti diberikan terhadap jadwal pemberian makanan.
Makan besar tiga kali (sarapan, makan siang, dan malam), makan selingan (makan kecil) dua kali yang
diberikan di antara dua waktu makan besar, air minum diberikan setelah makan dan ketika anak merasa
haus, serta susu diberikan dua kali, yakni pagi dan menjelang tidur malam. Untuk mengetahui kecukupan
gizi pada anak ada dua cara yang bisa digunakan. Pertama cara subjektif, yakni mengamati respon anak
terhadap pemberian makanan. Makanan dinilai cukup jika anak tampak puas, tidur nyenyak, aktifitas baik,
lincah, dan gembira. Anak cukup gizi biasanya tidak pucat, tidak lembek, dan tidak ada tanda-tanda
gangguan kesehatan. Cara kedua adalah dengan pemantauan pertumbuhan secara berkala. Cara ini
dilakukan dengan mengukur bobot dan tinggi anak, dilengkapi dengan mengukur lingkar kepala pada anak
sampai usia 3 tahun. Hasil pengukuran dibandingkan dengan data baku untuk anak sebaya. Jika ditemukan
tanda-tanda kurang sehat, seperti pucat atau rambut tipis dan kemerahan, anak perlu diperiksa secara medis.
Ada baiknya juga dilakukan pemeriksaan psikologis, terutama bila ada kemunduran prestasi belajar.
Tempat tinggal dan cerita
Selain faktor gizi dan perawatan, apa yang dilihat, didengar, dan dipelajari anak, sejak dalam kandungan
sampai usia lima tahun, sangat menentukan intelegensia dasar untuk masa dewasanya kelak. Setelah
usianya melewati lima tahun, secara potensial IQ-nya telah tetap. Dengan begitu, masa itulah merupakan
"kesempatan emas" bagi
kita untuk memacu tingkat kecerdasan anak. Menurut Jean Piaget, psikolog dari Swis, semakin banyak hal
baru
yang dilihat dan didengar, si anak akan semakin ingin melihat dan mendengar segala sesuatu yang ada dan
terjadi di lingkungannya. Karenanya disarankan agar orang tua memperkaya lingkungan tempat tinggal
(kamar tidur atau kamar bermain) bayi dengan warna dan bunyi- bunyian yang merangsang. Umpamanya,
gambar-gambar binatang atau bunga, musik, kicauan burung, dsb. Semuanya mesti tidak menimbulkan
ketakutan dan kegaduhan pada anak.
Para pakar juga yakin lingkungan verbal bagi anak juga tak kalah pentingnya. Bahasa yang didengarkan
anak bisa meningkatkan atau menghambat kemampuan dasar berpikirnya. Penelitian hal ini dilakukan
psikolog Rusia. Ia membayar para ibu keluarga miskin untuk membacakan cerita dengan suara keras untuk
bayi mereka masing-masing selama 15 20 menit setiap hari. Menjelang berusia 1,5 tahun, bayi menjalani
pengukuran. Hasilnya, bayi-bayi itu memiliki kemampuan berbahasa yang lebih baik ketimbang bayi-bayi
seusianya di daerah yang sama.
Penelitian lain dilakukan di sebuah sekolah perawat di New York, AS, terhadap dua kelompok anak usia
tiga tahun. Masing-masing anak diperlakukan secara berbeda. Kelompok pertama diberi pelajaran
berbahasa selama 15 menit setiap hari. Kelompok kedua diberi perhatian khusus juga selama 15 menit
tanpa pelajaran bahasa.
Setelah 4 bulan ternyata kelompok pertama mendapatkan kenaikan intelegensia rata-rata sebesar 14 angka.
Sedangkan kelompok kedua kenaikan rata-ratanya cuma 2 angka. Nah, untuk mendapatkan anak cerdas
ternyata gampang. Cuma dengan memberi makanan sehat, perawatan baik, dan lingkungan psikologis yang
mendukung sejak dalam kandung hingga usia lima tahun, besar kemungkinan harapan kita akan tercapai.
(dr. Audrey Luize)
masing tenggang waktu tersebut. Akan sangat memudahkan bila orang tua
menggunakan bahasa yang mudah dimengerti. Semisal, "Nanti, waktu kamu makan
sore, Ibu sudah pulang." Jika tak bisa pulang sesuai waktu yang dijanjikan, beri tahu
anak lewat telepon. Sebab, anak akan terus menunggu dan ini justru bisa menambah
rasa takut anak. Ia akan terus cemas bertanya-tanya, kenapa sang ibu belum datang
2.
TAKUT MASUK "SEKOLAH"
Bukan soal mudah melepas anak usia batita masuk playgroup. Sebab, ia harus
beradaptasi dengan lingkungan barunya. Padahal, tak semua anak bisa gampang
beradaptasi. Dari pihak orang tua, tidak sedikit pula yang justru tak rela melepas
anaknya "sekolah" karena khawatir anaknya terjatuh kala bermain atau didorong
temannya.
Cara Mengatasi:
Orang tua tetap perlu mengantar anak ke "sekolah" karena ini menyangkut soal
pembiasaan. Kalaupun di hari-hari berikutnya ada sekolah-sekolah yang bersikap
tegas hanya membolehkan orang tua menunggu di luar, sampaikan informasi ini pada
anak. Guru pun harus bisa menarik perhatian anak agar tidak terfokus pada ketiadaan
pendampingan orang tuanya dengan bermain. Di saat asyik bermain dengan temantemannya niscaya ia akan lupa.
3.
TAKUT PADA ORANG ASING
Di usia-usia awal, anak memang mau digendong/dekat dengan siapa saja. Namun di
usia 8-9 bulan biasanya mulai muncul ketakutan atau sikap menjaga jarak pada orang
yang belum begitu dikenalnya. Ini normal karena anak sudah mengerti/mengenali
orang. Ia mulai sadar, mana orang tuanya dan mana orang lain yang jarang dilihatnya.
Cara Mengatasi
Di usia batita seharusnya rasa takut pada orang asing sudah mulai berangsur hilang
karena, toh, ia sudah bereksplorasi. Semestinya anak sudah memperoleh cukup
pengetahuan untuk menyadari bahwa tak semua orang asing/yang belum begitu
dikenalnya merupakan ancaman baginya.
Biasanya, justru karena orang tua kerap menakut-nakuti, sehingga anak bersikap
seperti itu. "Awas, jangan deket-deket sama orang yang belum kamu kenal. Nanti
diculik, lo!" Memang boleh-boleh saja orang tua menasehati anak untuk berhatihati/bersikap waspada pada orang asing, tapi sewajarnya saja dan bukan dengan cara
menakut-nakutinya.
4.
TAKUT PADA DOKTER
Mungkin pernah mengalami hal tak mengenakkan seperti disuntik, anak jadi takut
pada sosok tertentu. Belum lagi kalau orang tua rajin "mengancam" setiap kali anak
dianggap nakal. "Nanti disuntik Bu Dokter, lo, kalau makannya enggak habis!" atau
"Nanti Mama bilangin Pak Satpam, ya!
Cara Mengatasi:
Izinkan anak membawa benda atau mainan kesayangannya saat datang ke dokter
sehingga ia merasa aman dan nyaman. Di rumah, orang tua bisa membantunya
dengan menyediakan mainan berupa perangkat dokter-dokteran. Biarkan anak
menjalani peran dokter dengan boneka sebagai pasiennya. Secara berkala ajak anak
ke dokter gigi untuk menjaga kesehatan giginya. Tak ada salahnya juga mengajak dia
saat orang tua atau kakak/adiknya berobat gigi. Dengan begitu anak memperoleh
5.
6.
7.
8.
infomasi bagaimana dan ke mana ia harus pergi untuk menjaga kesehatan giginya.
Lambat laun ketakutannya pada sosok dokter justru berganti menjadi kekaguman.
TAKUT HANTU
"Hi, di situ ada hantunya. Ayo, jangan main di situ!" Gara-gara sering diancam dan
ditakuti seperti itu, batita yang sebetulnya belum mengerti sama sekali tentang hantu,
jadi tahu dan takut. Bisa juga karena ia menonton film horor di televisi.
Cara Mengatasi:
Jauhkan anak dari tontonan tentang hantu. Orang tua pun seyogyanya jangan pernah
menakut-nakuti anak hanya demi kepentingannya. Bisa pula dengan membelikan
buku-buku cerita atau tontonan anak mengenai karakter hantu atau penyihir yang baik
hati.
TAKUT GELAP
Biasanya juga gara-gara orang tua. "Mama takut, ah. Lihat, deh, gelap, kan?" Takut
pada gelap bisa juga karena anak pernah dihukum dengan dikurung di ruang gelap.
Bila pengalaman pahit itu begitu membekas, bukan tidak mungkin rasa takutnya akan
menetap sampai usia dewasa. Semisal keluar keringat dingin atau malah jadi sesak
napas setiap kali berada di ruang gelap atau menjerit-jerit kala listrik mendadak
padam.
Cara Mengatasi:
Saat tidur malam, jangan biarkan kamarnya dalam keadaan gelap gulita. Paling tidak,
biarkan lampu tidur yang redup tetap menyala. Cara lain, biarkan boneka atau benda
kesayangannya tetap menemaninya, seolah bertindak sebagai penjaganya hingga anak
tak perlu takut.
TAKUT BERENANG
Sangat jarang anak usia batita takut air. Kecuali kalau dia pernah mengalami hal tak
mengenakkan semisal tersedak atau malah nyaris tenggelam saat berenang hingga
hidungnya banyak kemasukan air.
Cara Mengatasi:
Lakukan pembiasaan secara bertahap. Semisal, awalnya biarkan anak sekadar
merendam kakinya atau menciprat-cipratkan air di kolam mainan sambil tetap
mengenakan pakaian renang. Bisa juga dengan memasukkan anak ke klub renang
yang ditangani ahlinya. Atau dengan sering mengajaknya berenang bersama dengan
saudara/teman-teman seusianya. Tentu saja sambil terus didampingi dan dibangun
keyakinan dirinya bahwa berenang sungguh menyenangkan, hingga tak perlu takut.
Kalaupun anak tetap takut, jangan pernah memaksa apalagi memarahi atau
melecehkan rasa takutnya. Semisal, "Payah, ah! Berenang, kok, takut!"
TAKUT SERANGGA
Tak sedikit anak yang takut pada jangkrik, kecoa atau serangga terbang lainnya.
Sebetulnya ini wajar, hingga orang tua jangan tambah menakut-nakutinya, "Awas,
nanti ada kecoa, lo." Hendaknya justru bisa memahami karena anak usia ini mungkin
saja menemukan banyak hal yang dapat membuatnya takut.
Cara Mengatasi:
Boleh saja orang tua memberi pengenalan tentang alam binatang pada anak. Tak perlu
kelewat detail seperti halnya profesor memberi kuliah. Tugas orang tua sebatas
memahami ketakutan anak sekaligus membantunya merasa aman. Boleh saja katakan,
"Ayah tahu kamu takut jangkrik." Cukup segitu dan jangan paksa anak berada terus-
menerus dalam pembicaraan mengenai rasa takutnya. Jangan pula memaksa anak
bersikap sok berani menghadapi ketakutannya. "Belum saatnya mencobakan anak
melihat atau malah menyentuhkan serangga yang ditakutinya. Ini hanya akan
membuat anak semakin takut." Bila dipaksakan terus, anak malah bisa fobia pada
serangga. Biarkan anak tertarik dengan sendirinya dan biasanya ini terjadi setelah
anak berusia 2 tahunan. Jika anak memang takut kala ada serangga yang terbang di
dekatnya, bantulah untuk mengusirnya bersama
9.
TAKUT ANJING
Wajar anak batita takut anjing mengingat penampilan binatang ini memang terkesan
galak dengan gonggongan dan tampang yang garang. Belum lagi kebiasaannya suka
melompat, menjilat atau malah mengejar. Tugas orang tualah untuk memahami
sekaligus membantu anak mengatasi ketakutannya.
Cara Mengatasi:
Tak harus memaksa anak memelihara anjing atau mendorong anak menghadapi rasa
takutnya dengan terus-menerus memberi 'ceramah', semisal "Ngapain, sih, takut sama
anjing. Anjingnya, kan, baik." Menihilkan ketakutan anak justru akan membuat anak
semakin takut dan bukan tidak mungkin akhirnya malah berkembang jadi fobia yang
sulit diatasi.
Bila anak memang takut dan ketika berjalan bertemu anjing, pegangi tangannya untuk
meyakinkannya ia bisa aman melewati binatang yang ditakutinya bersama orang
tuanya. Jangan lupa untuk tetap menjaga jarak aman dari temperamen binatang yang
relatif sulit diduga. Bisa juga dengan menunjukkan keakraban antara anjing sebagai
hewan peliharaan dengan majikannya lewat cerita/dongeng. Atau kenalkan pada
anjing tetangga dan tak ada salahnya meminta si pemilik memperlihatkan bagaimana
menjalin keakraban dengan anjingnya tanpa harus merasa takut.
Dedeh Kurniasih.Foto: Iman Dharma (nakita)
Pertama, hak memperoleh pendidikan dasar secara compulsory and free. Tekanan
pada pengertian compulsory and free ini dinyatakan dalam deklarasi Education For
All (EFA). Compulsory artinya kewajiban pemerintah untuk menyediakan dan
memberikan layanan pendidikan. Pemerintah memiliki kewajiban untuk memastikan agar
anak-anak usia pendidikan dasar dapat memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas.
Untuk ini, penyediaan gedung sekolah, sarana dan prasarana pendidikan, guru, dan
kurikulum merupakan tanggung pemerintah. Sementara orang tua dan masyarakat juga
memiliki kewajiban untuk memasukkan anak-anaknya ke lembaga pendidikan yang
sesuai dengan bakat dan minatnya. Jika pemerintah tidak dapat sepenuhnya menuaikan
kewajibannya, keluarga dan masyarakat terbuka untuk ikut berperan serta dalam
penyediaan layanan pendidikan. Kerjasama antara pemerintah, keluarga dan masyarakat
akan menjadi kunci keberhasilan pendidikan. Free artinya anak-anak bebas dari pungutan
uang sekolah, minimal untuk anak usia pendidikan dasar. Bahkan kalau memungkinkan
bebas dari pungutan terhadap biaya pendidikan lainnya.
Kedua, anak-anak cacat memiliki hak untuk memperoleh bantuan dan perawatan khusus.
Anak-anak cacat pada mulanya sering disebut sebagai disable artinya tidak
berkemampuan. Pada kenyataan, mereka sebenarnya bukan tidak memiliki kemampuan,
melainkan mempunyai kemampuan dalam bidang tertentu yang berbeda dengan
kemampuan anak cacat lainnya. Misalnya anak yang buta, ternyata memiliki
kemampuan yang luar biasa dalam seni musik. Demikian juga dengan kecacatan
lainnya. Oleh karena itu, mereka lebih tepat jika disebut sebagai difable (different
ability) atau memiliki kemampuan yang berbeda, bukan disable
Ketiga, hak untuk memperoleh pengembangan kepribadian dan bakat. Secara khusus
pengembangan kepribadian terkait dengan pendidikan agama, pendidikan moral, atau
pendidikan kewarganegaraan. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
pendekatan pembelajaran di sekolah masih memiliki kelemahan yang amat mendasar.
Anak-anak lebih banyak memperoleh pembelajaran dalam ranah kognitif tentang agama,
moral, dan kewarganegaraan dengan cara menghafalkan, ketimbang dengan
memperoleh pengalaman afektif tentang nilai-nilai yang membentuk kepribadian anak.
Keempat, hak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan pemakaian obatobatan terlarang. Penggunaan narkoba di kalangan remaja menunjukkan gejala yang
semakin meningkat. Bahkan ditengarai penyebaran narkoba ini juga telah menyentuh
kalangan anak-anak sekolah dasar melalui gula-gula, alat-alat tulis, dsb. Untuk ini, maka
langkah pertama yang harus segera dilakukan adalah melindungi sekolah dari bahaya
narkoba. Sekolah harus menjadi kawasan bebas rokok, bebas narkoba, dan bebas minumminuman keras. Sekolah harus dapat diciptakan menjadi satu kawasan yang
menyenangkan bagi siswa, sehingga anak-anak merasa betah di sekolah, bukan lari dari
kegiatan di sekolah. Sekolah, orang tua dan masyarakat harus dapat mengembangkan satu
bentuk kerjasama yang harmonis untuk bersama-sama menjadikan sekolah sebagai pusat
kegiadan belajar, pusat kebudayaan, dan pusat kegiatan ekstrakurikuler yang menarik.
Untuk ini, siswa di sekolah harus diberikan kesempatan untuk dapat mengekspresikan
diri, dalam bentuk-bentuk kegiatan yang menyenangkan dan memiliki nilai edukatif yang
diharapkan oleh masyarakat sebagai pengguna pendidikan. Agar anak-anak secara dini
dapat memperoleh informasi tentang bahaya yang ditimbulkan oleh penggunaan narkoba,
sekolah dapat saja menyusun program polisi dan dokter masuk sekolah. Kepolisian dan
dokter dapat diajak kerjasama untuk memberikan pelatihan bagi siswa dan pengurus
Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Sekolah dan Komite Sekolah (yang dahulu
disebut BP3) juga dapat membentuk Tim Pencegahan dan Penanggulangan Narkoba,
yang bertugas untuk mengadakan langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan agar
anak-anak tidak terjerat dalam perangkap penggunaan narkoba.
Kelima, hak untuk memperoleh perlindungan dan perawatan dari dampak konflik
bersenjata dan konflik antaretnis. Kerusuhan yang terjadi di beberapa tempat seperti
Aceh, Kalbar, Kalteng, Sulteng, Maluku, dan Papua, telah menimbulkan korban jiwa dan
harta benda, serta banyaknya anak-anak yang menderita secara fisikal maupun mental
akibat dari konflik tersebut. Konflik di Sampit, Kalimantan Tengah, misalnya telah
menyebabkan sekitar lima ribu anak-anak usia sekolah yang terpaksa menjadi pengungsi.
Sekolahnya menjadi terganggu. Untuk menangani masalah ini, Pemerintah bersama
Lembaga Swadaya Masyarakat telah mengadakan program pendidikan alternatif.
Demikian pula nasib anak-anak di Ambon, anak-anak di Kalbar, dan anak-anak di tempat
lain yang sedang dilanda kerusuhan.
Keenam, hak anak untuk dapat bermain dan bersantai, serta berperanserta dalam
kegiatan budaya dan seni. Pakar psikilogi menyatakan bahwa sebagian terbesar dari
kehidupan anak adalah bermain. Itulah sebabnya Taman Kanak-kanak dirancang untuk
memberikan sebanyak mungkin kegiatan belajar sambil bermain (learning by playing).
Bahkan kesempatan untuk bermain bagi anak-anak diberikan dalam kelompok bermain
(play group). Semakin dewasa, semakin banyak kegiatan belajar yang diberikan dalam
proses sambil bekerja (learning by doing).
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak anak-anak Indonesia yang tidak
dapat menikmati kesempatan untuk bermain dan bersantai. Banyak anak yang terpaksa
menjadi anak jalanan, membantu orang tua untuk mencari nafkah, bahkan mungkin juga
disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara waktu untuk belajar dengan waktu
untuk bermain atau bersantai, atau mengekspresikan diri dalam kegiatan budaya dan
seni. Bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang terkait dengan hak untuk bermain,
bersantai, dan berperanserta dalam kegiatan budaya dan seni antara lain adalah
pelacuran anak-anak, tenaga kerja anak-anak, atau memberikan hukuman yang tidak
setimpal kepada anak-anak.
Langkah kreatif
Untuk mengatasi masalah pelanggaran hak-hak anak tersebut, ada langkah-langkah
kreatif yang dalam dilaksanakan, baik oleh pemerintah maupun masyarkat.
Memperluas kesempatan belajar bagi anak usia prasekolah dan pendidikan dasar. Untuk
inti perlu dibangun TK, SD dan SLTP sampai di pelosok desa, Juga perlu ditumbuhkan
kelompok bermain di berbagai kawasan pemukiman, terutama di daerah perumahan di
kawasan industri
Menyediakan taman bacaan sampai di desa-desa. Fasilitas ini amat penting untuk
memberikan kesempatan anak-anak memperoleh bahan bacaan yang sesuai. Taman
bacaan juga dapat diadakan di pusat-pusat pertokoan sesuai dengan konsep belanja
sambil bermain dan belajar.
Menyediakan fasilitas umum tempat bermain bagi anak-anak yang tinggal di kompleks
perumahan. Fasilitas umum ini perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah
dan para pengembang perumahan.
Menyediakan acara anak-anak di media radio atau televisi, seperti yang dilakukan oleh
Kak Seto, dan acara-acara lainnya.
Menyediakan taman-taman hiburan untuk anak-anak, termasuk museum, kebun
binatang, dsb. Alangkah baiknya jika untuk masuk museum, kebun binatang, anak-anak
tidak dipungut biaya .
Menyediakan acara pertandingan atau perlombaan bagi anak-anak dengan tujuan untuk
lebih meningkatkan apresiasi seni dan olah raga.
Demikianlah beberapa hak-hak pendidikan untuk anak Indonesia yang dapat diulas .
Anak-anak masa kini adalah asset masa depan umat manusia. Untuk membentuk masa
depan yang lebih berkualitas, hak-hak anak, khususnya dalam bidang pendidikan, mesti
harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Insyaallah
orangtua yang menuntut segala sesuatu dengan standar tinggi yang begitu tingginya
sampai tidak satu pun anak bisa menjangkaunya. Anak tidak diberi kesempatan untuk
sekali-kali merasakan hal-hal di bawah standar yang ditetapkan. Jika prestasi anak di
bawah standar, maka hanya omelan dan hukuman yang didapat anak.
Hal lain yang membuat anak tidak berprestasi, yaitu sikap orangtua yang
membiarkan anak mengonsumsi seluruh sajian yang ditayangkan di media. Sajian seperti
di televisi atau komik memang sangat menarik bagi anak, namun tidak semua informasi
merupakan informasi sehat dan dibutuhkan anak. Akibatnya, anak mengetahui banyak hal
yang belum pantas. Orangtua lupa dia tidak punya kemampuan mengontrol seluruh
materi yang ditampilkan di media.
Di sekolah, anak juga mendapatkan kenyataan yang membuatnya sulit berprestasi.
Misalnya, materi pembelajaran dan cara penyampaian tidak menarik. Hal ini terjadi
karena guru tidak paham tentang perkembangan anak. Gaya komunikasi guru tidak sesuai
dengan anak-anak. Selain itu, buku dan alat peraga yang digunakan tidak bisa memenuhi
rasa ingin tahu dan kemampuan anak.
***
LALU bagaimana menyelenggarakan pendidikan yang menyenangkan bagi anak
sehingga anak bisa berprestasi? Ada tiga C yang harus diperhatikan, yakni children
(anak), content (materi) dan context (situasi), kata Elly.
Menurut Elly, orangtua dan guru harus menyadari setiap anak merupakan pribadi
yang unik dan berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan ini terjadi karena setiap anak
mempunyai bakat, kemampuan dan kebutuhan yang berbeda.
Setiap anak pastilah mempunyai salah satu dari sembilan kecerdasan yang
diberikan Tuhan. Bahkan, ada juga anak yang memiliki lebih dari satu kecerdasan.
Kecerdasan itu adalah kecerdasan linguistik, matematika-logika, ruang-visual, musik,
naturalis, interpersonal, intrapersonal, kemampuan olah tubuh, dan spiritual.
Selain itu, ada beberapa potensi yang bisa dikembangkan anak, seperti fisik,
iman, akhlak, ibadah, emosi, sosial, mental, dan keterampilan. Biarkan anak
mengembangkannya seperti keinginannya, jangan kembangkan seperti keinginan
orangtua. Orangtua hanya mengarahkan saja, kata Elly.
Begitu juga dengan materi yang akan disampaikan pada anak. Materi harus yang
dibutuhkan anak, bukan yang diinginkan orangtua. Namun demikian, materi itu juga
harus disesuaikan dengan perkembangan anak, kemampuan dan bakat anak.
Perlakuan yang tepat dan materi yang sesuai tidak akan mempunyai efek yang
positif jika tidak disampaikan pada situasi yang tepat. Ada tiga cara penyampaian yang
efektif, yakni dengan bermain, bernyanyi, dan bercerita. Tidak ada salahnya sesekali kita
meninggalkan status kita sebagai orangtua. Kita bisa juga sekali-sekali berubah menjadi
badut, tukang sulap, ilmuwan, atau sahabat bagi anak kita, ujar Elly.
Satu yang harus dipahami orangtua, prestasi anak bukanlah prestasi untuk
orangtuanya. Prestasi itu untuk diri anak itu sendiri. Orangtua cukup mengarahkan
dengan benar dan membantu anak dengan cara-cara yang disukai anak, bukan dengan
hukuman atau omelan yang bisa merusak hubungan harmonis anak dengan orangtua.
Dan, keberhasilan anak tidak saja dari usaha yang dilakukan anak, tetapi juga tergantung
pada orangtua dan lingkungan di sekitarnya. (ARN
- Hasil analisis statistik: rxy atau ro (Tabel 8.a)=0,400,r1 pada t.s. 5% = 0,367
- Hipotesis alternatif III: Pada taraf signifikansi 5%: Korelasi positif antara kemampuan
kreatif bermain balok konstruksi pada anak usia sekolah diperlakuan II ada
hubungan/dipengaruhi oleh kemampuan berpikir kreatif anak tersebut, sekalipun korelasi
positif itu tarafnya cukup saja. Hasil analisis statistik: rxy atau ro (Tabel 8.a) = 0,389, r1
pada t.s. 5% = 0,367.
Dengan terbuktinya dua hipotesa alternatif yang diajukan dalam penelitian ini, maka
dapat disimpulkan bahwa: alat permainan balok konstruksi dapat disetarakan fungsinya
dengan media ekspresi lainnya seperti: gambar, lukisan dan patung sebagai media
ekspresi dari kemampuan kreatif anak. Disarankan perlu diupayakan suatu penelitian
lanjut atau penelitian lain yang mengkaji masalah kreativitas seni baik melalui media dwi
matra maupun tri matra. Hal ini dipandang sangat penting mengingat sampai saat ini
belum ada alat tes kreativitas di bidang seni yang terstandar (baku) bagi anak-anak
maupun orang dewasa
Kecenderungan pola-pola perilaku dan pola ruang dalam lingkungan permukiman yang
terencana dan tidak terencana serta rumusan kriteria karakteristik ruang bermain untuk
anak usia 10 tahun, pada akhirnya membawa suatu pengajuan usulan Model Area
Sekolah Dasar yang merupakan hasil yang diperoleh selama proses penelitian dan
penelaahan.
seperti apa yg dilihatnya di TV dan ia pun akan bercita-cita sama seperti profesi orang tuanya.
Jadi di usia ini lingkunganlah yg sangat berperan dalam membentuk perilakunya.
8. berkembangnya cara berpikirAnak mulai mengembangkan pehamannya ttg hubungan
benda antara bagian dan keseluruhan. Pemahaman konsep waktu belum berkembang
sempurna anak belum bisa membedakan antara tadi pagi dan kemarin sore.
9. berkembangnya kemampuan berbahasaDibanding masa sebelumnya anak lebih bisa diajak
berkomunikasi, ia mulai bisa mengungkapkan keinginannya dengan bahasa verbal, namun
kadang2 ia ingin bereksperimen dengan mengatakan kata2 yg kotor atau yang mengejutykan
orang tuannya.
10. munculnya perilaku burua. berbohongBagi anak prasekolah bohong adalah normal,
sebab di usia ini anak belum bisa membedakan antara realitas dan dunia fantasinya. Pada
dasarnya alas an bohong pada anak bermacam2 ada anak yg berbohong untuk menghindari
hukuman, mengelakkan tanggung jawab, melindungi teman, agar dipuji atau untuk melindngi
hal2 yg pribadi. Semakin besar anak alas an berbohong berubah mendekati alas an orang
dewasa. Konsep benar salah yang baru muncul, nurani yg baru tumbuh dan imajinasi yang
tinggi akan membuat bohong mereka tidak masuk akal.
b. MencuriMengambil barang yg bukan miliknya sama dg bohong, ini normal bagi anak usia
prasekolah. Ia belum mengetahui konsep moral yg ada. Katamencuri lebih tepat untuk
orang dewasa dan terlalu keras bagi anak. Ada dua alas an mengapa anak mencuri
pertama anak memiliki asumsi bahwa semua benda itu adalah miliknya sampai ada yg
memberitahu kalau itu bukan miliknya.Kedua kebutuhan mengidentifikasi dirinya dengan
orang lain sangat besar. Kebutuhan tsb mendorong ia utk mengambil barang orang lain, dalam
pikirannya mengambil barang milik orang lain sama artinya dg menjadi orang tsb.
c. bermain curangAnak2 prasekolah sering bermain curang. Hal ini mereka lakukan karena
mereka tdk tahu aturan main yg benar. Pada usia ini tepatnya 4 th tumbuhkan sikap
menghormati perasaan orang lain.
d. GagapSetiap anak di usia 1-6 th sedang mengembangkan keterampilan bahasanya. Di usia
ini anak2 selalu mencari kata2 yg tepat dan mengalami kesulitan menemukannya. Biasanya
bicara gagap ini pada saat2 tertentu misalnya ketika ia sedang gembira, marah dan
bersemangat.
e. mogok sekolahDi usia 3 tahun anak2 mulai merasakan takut berpisah dengan orang tuanya.
Hal yg normal jika anak usia 4-5 th sesekali anak tidk mau pergi ke sekolah. Sebenarnya ia
bukan tdk mau pergi sekolah tapi ia ingin bersama ibu.
f. takut monster/hantuKesadaran diri yg mulai berkembang dan daya khayal yg mulai
berkembang pesat, membuka dunia fantasi dg ketakutan2 dan fantasi sendiri. Mulai usia 3
tahun anak mulai mampu menciptakan gambaran2 yg menakutkan. Seekor cecak akan
tergambar seperti buaya dalam pikiran mereka begirupun dg kucing akan terdengar seperti
harimau.
g. Teman imajinerTeman imajiner adalah hal yg wajar dg adanya teman imajiner anak akan
belajar mengekspresikan segala apa yg dirasakannya, anak akan belajar mengembangkan
keterampilan bahasanya juga ia alan berlatih memainkan perannya sebagai seorang teman
dalam pergaulan yg sesungguhnya, namun jangan biarkanb ia menjadikan teman imajinernya
sebagai kambing hitan atas segala kesalahan yg diperbuatnya.
h. lamban Anak usia prasekolah seringkali sukar untuk bertindak cepat, tanpa merasa
bersalah ia tak acuh dengan kekesalan orang tuanya yg terburu2. Hal ini adalah perilaku yg
wajar, anak bukanlah sesuatu yg obyektif. Ia menganggap waktu dapat disesuaikan dg
perassannya. Seperti halnya orang dewasa ketika sedang antri akan terasa waktu lama sekali
tetapi ketika sedang asyik waktu akan terasa begitu cepat padahal durasinya 2 jam.
i. TempertantrumTempertantrum adalah mengamuk tanpa alasan yg jelas kadang2
dikeramaian. Hal ini disebabkan anak usia 2-3 tahun memiliki rasa ingin tahu yg tinggi dan
segala ingin melakukan pekerjaan sendiri, namun saying kadang2 keinginan itu lebih besar
dari kemampuannya akibatnya anak putus asa dan mengamuk, ia frustasi dengan
kenyataan bahwa ia masih kecil. Ia belum bisa mengekspresikan rasa marahnya melalui
kata2. Untuk menghadapi anak yg sedang mengamuk beri ia penguatan pada perilaku yg
benar dan beri hukuman atau jangan diacuhkan pada perilaku yg tdk benar.
Banyak anak yang tidak berkesempatan untuk mempelajari motorik karena hidup dalam
lingkungan yang tidak menyediakan kesempatan belajar atau karena orang tua takut hal
yang dernikian akan melukai anaknya.
3. Kesempatan berpraktek/latihan
Anak harus diberi waktu untuk berpraktek/latihan sebanyak yang diperlukan untuk
menguasai . Meskipun demikian, kualitas praktek/latihan jauh lebih penting ketimbang
kuantitasnya. Jika anak berpraktek/berlatih dengan model sekali pukul hilang, maka akan
berkembang kebiasaan kegiatan yang jelek dan gerakan yang tidak efisien.
4. Model yang baik
Dalam mempelajari motorik, meniru suatu model memainkan peran yang penting, maka
untuk mempelajari suatu dengan baik, anak harus dapat mencontoh yang baik.
5. Bimbingan
Untuk dapat meniru suatu model dengan betul, anak membutuhkan bimbingan.
Bimbingan juga membantu anak membetulkan sesuatu kesalahan sebelum kesalahan
tersebut terlanjur dipelajari dengan baik sehingga sulit dibetulkan kembali.
6. Motivasi
Motivasi belajar penting untuk mempertahankan minat dari ketertinggalan. Untuk
mempelajari , sumber motivasi adalah kepuasan pribadi yang diperoleh anak dari
kegiatan tersebut, kemandirian dan gengsi yang diperoleh dari kelompok sebayanya gerta
kompensasi terhadap perasaan kurang mampu dalam bidang lain khususnya dalarn tugas
sekolah.
Analisa Hasil Penelitian
Sebenarnya cukup banyak variabel dari penelitian ini yang dapat diolah dan dianalisa
seperti sarana prasarana, guru pendidikan jasmani dan sebagainya. Namun mengingat
keterbatasan waktu, pada kesempatan ini karni hanya mengolah dan menganalisa data
hasil penelitian secara global saja yang meliputi tes lompat jauh, tes keseimbangan, tes
lempar sasaran, tes lari zig-zag dan tes lari 30 meter baik putra maupun putri dengan
mengabaikan faktor sarana prasarana dan guru pendidikan jasmani.
Adapun hasil dimaksud adalah sebagai berikut
1. Tes Lompat Jauh
Gerakan lompat jauh didasari oleh daya ledak otot tungkai. Pada hasil penelitian ini
sebagian besar siswa putra (54,32%) dan putri (80,32%) mempunyai kemampuan motorik
lompat jauh yang kurang. Hal ini mungkin disebabkan karena gerakan-gerakan motorik
yang mengandung unsur daya ledak otot kurang terlatih.
2. Tes Keseimbangan
Keseimbangan tubuh siswa putra sebagian besar adalah baik (64,06%) dan siswa putri
adalah sebagian besar sedang (56,8%). Hal ini disebabkan karena secara fisiologis
keseimbangan tubuh anak-anak ditentukan oleh fungsi neurologis sistem otak dan sistem
vestibular (alat keseimbangan), yang mana pada kelompok siswa ini kedua fungsi
tersebut berkembang normal. Disamping itu, anak-anak telah melakukan permainanpermainan yang memerlukan keseimbangan tubuh sejak masa taman kanak-kanakMisalnya meniti balok, naik sepeda dan lain-lain.
3. Tes Lempar Sasaran
Tes lempar sasaran membutuhkan kekuatan otot tubuh bagian atas, ketepatan dan
koordinasi. Kemampuan melempar mengenai sasaran pada siswa putra sebagian besar
adalah sedang (43,98%), sedangkan pada siswa putri yang baik sebanyak 38,04% dan
yang kurang sebanyak 34,9%.
Pada pengamatan saat penelitian, lemparan siswa putra dan putri disamping tidak tepat
mengenai sasaran, banyak juga yang tidak sampai ke dinding sasaran. Hal ini mungkin
disebabkan karena. kekuatan otot tubuh bagian atas pada anak-anak tersebut belum
berkembang, sedangkan untuk ketepatan melempar sasaran selain dibutuhkan kekuatan
otot juga ketepatan dan koordinasi, yang memerlukan latihan tertentu.
4. Tes Lari Zig-zag
Lari zig-zag siswa putra (56,15%) dan siswa putri (62,8%) adalah kurang. Hal ini
disebabkan karena unsur agilitas (kelincahan) yang diperlukan pada lari zig~zag kurang
tedatih.
5. Lari 30 Meter
Kemampuan lari siswa putra sebagian besar kurang (53,95%) dan kemampuan lari siswa
putri sebagian besar adalah sedang (49%) dan kurang (45,02%). Ha ini mungkin
disebabkan oleh pola hidup mereka yang kurang aktivitas fisik dalam kehidupan seharihari seperti terlalu banyak nonton televisi, bermain TV Games, dsb. Disamping itu juga
disebabkan faktor keterbatasan arena bermain untuk anak.
Kesimpulan
Secara umum kemampuan motorik siswa kelas 2 sekolah dasar di DKI Jakarta, dapat
digambarkan sebagai berikut.
Untuk lompat jauh, led 30 meter dan lari zigzag pada siswa putra dan putri tergolong
kurang.
Kemampuan motorik lempar sasarab baik pada siswa putra maupun putri tersebar relatif
merata pada ketiga kategori.
Pada siswa putra kemampuan motorik keseimbangan tubuh sebagian besar adalah baik,
sedangkan untuk putri sebagian besar berada pada kategori sedang.
Saran
Untuk dapat mengembangkan kemampuan motorik anak sekolah dasar secara optimal
mutlak diperlukan sarana prasarana pendidikanjasmani yang memadai, disamping
dibutuhkan guru pendidikan jasmani atau guru kelas yang memahami masalah
pendidikan jasmani.
Diperlukan penelitian lanjutan agar dapat menjawab seluruh permasalahan mengapa
motorik murid sekolah dasar masih kurang memadai.
Karena bermain merupakan bagian dari ranah perkembangan anak, Mayke berpendapat,
orang tua maupun guru penting untuk memahaminya. ''Tidak benar bila ada sekolah yang
melarang anak berlari-larian pada waktu istirahat karena nanti berkeringat, saat masuk
kelas menebarkan aroma keringat,'' kata kepala bagian Psikologi Perkembangan Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia itu.
Kendati ada beberapa yang bisa dilakukan di dalam rumah, bermain fisik cenderung
merupakan kegiatan outdoor. Mayke menyayangkan permainan fisik mulai sulit
dilakukan di kota-kota besar. Ia menunjuk permainan engklek, gasing dan lain-lain yang
mulai hilang karena menyempitnya lahan tempat bermain. ''Atau, kalau mau main
layangan di mana?'' katanya.
Banyak yang dipelajari
Bermain fisik mempunyai karakteristik khas. Yakni, bergerak, kelompok, ada aturan
main. Dari karakteristiknya itu, anak bisa banyak belajar. Anak, kata Mayke, biasanya
tidak mau kalah. ''Dengan berkelompok, anak belajar bahwa jika ia tidak bisa, nanti
teman-teman akan memusuhinya,'' katanya. Apa manfaat bermain fisik? Yang jeals, anak
jadi sehat fisik dan terampil motoriknya. ''Anak tidak loyo, lesu darah,'' katanya. Secara
sosial anak pun banyak mendapat keuntungan dari bermain. ''Mudah bergaul karena pede
bergaul.''
Namun, banyak keuntungan lain yang tak disadari. Bermain fisik bisa mengasah
kemampuan perseptual anak. Dengan bermain fisik, anak belajar ketajaman melakukan
pengamatan visual. Anak bisa mengetahui kedalaman, jarak, koordinasi visualmotoriknya. Misalnya, ia bisa membedakan huruf besar dan kecil, bisa memperkirakan
jarak jatuhnya bola sehingga ia bisa menangkapnya.
Dari kemampuan itu, selanjutnya anak bisa menjadi lebih peka dan tanggap. Dari
kedalaman yang diamatinya itu, anak mengaitkannya dengan matematika. Misalnya,
berapa dalamnya lubang itu? ''Itu, artinya kemampuan mengintegrasikan berbagai saraf
otak,'' jelas Mayke. Kekhawatiran orang tua bahwa bermain fisik mengganggu proses
belajar, Mayke tak sepenuhnya sependapat. ''Malah proses belajar jadi lebih baik,''
katanya.
Bermain fisik mengajarkan anak menyelesaikan masalah. Karena bermain fisik umumnya
merupakan aktivitas outdoor, anak akan menemukan hal-hal baru (variatif) yang berbeda
dengan games elektronik. Meski banyak orang berpendapat permainan komputer kreatif,
Mayke tak sependapat. ''Kreativitas sudah di-set itu saja. Sementara persoalan hidup
selalu berubah,'' katanya. Bermain fisik, jelas Mayke, mengasah kepekaan terhadap
lingkungan. Anak akan mengamati dan mengenal lingkungan sekitarnya, lingkungan
alam.
Membedakan waktu
Bila orang tua ingin mengajak anak yang tak suka bermain fisik di luar, Mayke
menyarankan agar melakukannya secara bertahap. Pertama, orang tua bisa mencarikan
kegiatan dengan bahaya fisik yang tidak besar. Misalnya, membawa bola dan
memainkannya di Taman di saat cuaca tidak hujan. Bila anak sudah merasa nyaman,
barulah ditingkatkan kegiatannya.
Bermain, jelas Mayke, harus ada porsinya. Terutama bila anak masuk SD, ia harus tahu
kapan belajar dan bermain. Sesungguhnya pembedaan waktu ini sudah harus
diperkenalkan sejak TK. Saat itu, anak diperkenalkan kapan mewarnai, duduk
mendengarkan cerita, dan bermain fisik. `'Pembiasaan penting, tidak berarti TK harus
belajar terus,'' tutur Mayke, `'TK perlu bermain, tapi terarah.''
Saat anak sudah bertambah besar, kegiatan bermain bisa disebut mengganggu bila anak
menghindari belajar. Nilai di sekolah turun. `'Lakukan penjadwalan,'' saran Mayke,
`'Boleh bermain sesudah belajar, belajar sesuai tipe anak