Anda di halaman 1dari 56

arti bermain bagi anak

Arti bermain bagi anak


Bermain adalah kegiatan yang sangat dekat dengan dunia anak. Kegiatan ini dapat
dilakukan secara perorangan,maupun berkelompok. Jenis permainan, jumlah peserta
serta lamanya waktu yang dialokasikan untuk bermain,tergantung pada keingingan serta
kesepakatan yangdibuat oleh para peserta. Begitu akrabnya kegiatan bermain ini dengan
kesehariankita, sehingga kita kerap menganggapnya sebagai kegiatan biasa saja. Tidak
ada yang istimewa. Namun, benarkah demikian?
Bermain vs Bekerja
Bermain adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata untuk menimbulkan kesenangan.
Hal ini senada dengan pendapat Piaget yang menjelaskan bahwa bermain terdiri
atas tanggapan yang diulang semata untuk kesenangan fungsional. Pengertian ini
membedakan antara bermain dengan bekerja, yang memiliki tujuan tertentu dan
tidak harus menimbulkan kesenangan. Saat ini, sekolah telah mengakui nilai dan manfaat
bermain yang bersifat edukatif bagi perkembangan para peserta didik. Hal ini terlihat
dengan pencakupan kegiatan permainan, olahraga, drama, seni dan sebagainya dalam
kurikulum pendidikan formal.
Manfaat bermain bagi perkembangan anak
Sesungguhnya bermain memberi manfaat yang besar bagi perkembangan anak. Elizabeth
B. Hurlock, salah seorang pakar perkembangan anak, menuliskan dalam buku child
development, setidaknya ada 11 manfaat yang dapat diraih dari kegiatan bermain bagi
anak. Namun saya hanya akan menguraikan 9 diantaranya, yaitu:
1.
Perkembangan fisik
Ketika seorang anak bermain, misalnya bermain permainan tradisional gobak sodor,
maka akan terjadi koordinasi gerakan otot, terutama otot-otot tungkai dan otot-otot
gerakan bola mata. Sehingga otot-otot ini terlatih dan berkembang dengan baik. Selain
itu, bermain juga berfungsi untuk menyalurkan energi yang berlebihan pada anak, yang
bila terus terpendam akan membuat anak tegang, gelisah dan mudah tersinggung.
2.
Penyaluran bagi energi emosional yang terpendam
Seringkali, seorang anak berhadapan dengan kenyataan-kenyataan yang tidak
menyenangkan, termasuk pembatasan lingkungan atas perilaku mereka, yang secara tidak
sadar menimbulkan ketegangan dalam dirinya. Ketegangan ini berkurang ketika anak
bermain. Aturan-aturan ketat yang mesti ditaati di rumah, misalnya jadwal belajar anak,
seringkali membuat anak merasa terkekang. Jika tidak ada komunikasi yang baik antara
anak dan orangtua, maka kondisi ini akan terus membebani sang anak. Para orangtua
dapat memperbaiki kondisi ini dengan terus membangun komunikasi yang terbuka
dengan anak-anaknya, mendengarkan keluhan-keluhan mereka, bukan menceramahi.
Selain itu, anak pun perlu diberikan kesempatan yang cukup untuk beristirahat (baca:
bermain pen) pada waktu yang telah disepakati bersama. Sebab kita sama-sama
mengetahui bahwa terlalu mengekang seorang anak, sama buruknya dengan memberikan
kebebasan yang tanpa batas.

3.
Dorongan berkomunikasi
Seorang anak memiliki kesempatan berlatih komunikasi melalui sebuah permainan.
Mereka belajar mengungkapkan ide-ide serta memberikan pemahaman pada teman-teman
sepermainannya tentang aturan dan teknis permainan yang akan dilakukan, sehingga
permainan dapat berlangsung berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh
para peserta, melalui penyampaian pesan yang efektif dan dimengerti antar peserta
permainan.
4.
Penyaluran bagi kebutuhan dan keinginan
Ada begitu banyak keingingan dan kebutuhan anak yang tidak dapat dipenuhi dengan
cara lain, seringkali bisa diwujudkan melalui kegiatan bermain. Seorang anak,
bisa menjadi siapapun yag ia inginkan ketika bermain. Ia mampu mewujudkan
keinginannya menjadi seorang dokter, tentara maupun seorang pemimpin pasukan
perang-perangan, yang mustahil mereka wujudkan dalam kehidupan nyata.
5. Sumber belajar
Melalui bermain, seorang anak dapat mempelajari banyak hal, yang tidak selalu mereka
peroleh di institusi pendidikan formal. Mereka belajar tentang arti bekerjasama,
sportifitas, menyenangkannya sebuah kemenangan maupun kesedihan ketika mengalami
kekalahan. Semakin beragam media permainan serta banyaknya variasi kegiatan, maka
akan semakin bertambah pengetahuan dan pengalaman baru yang mereka terima. Hal ini
dapat difasilitasi oleh para orang tua dengan cara memasukkan unsur pengetahuan
populer dalam permaianan anak. Bermain sambil belajar akan memberikan dua manfaat
sekaligus pada anak; yaitu kesenangan, serta kecintaan terhadap ilmu pengetahuan sejak
dini.
5.
Rangsangan bagi kreatifitas
Ketika anak-anak bermain, mereka kerap merasakan adanya kejenuhan ataupun rasa
bosan. Pada saat seperti inilah mereka biasanya mencoba melakukan sebuah variasi
permainan. Disini mereka belajar untuk mengembangkan daya kreatifitas dan
imajinasinya. Ide-ide spontan yang dikemukakan oleh seorang anak, dan jika kemudian
diterima oleh teman sepermainannya, akan menimbulkan adanya rasa penghargaan dari
lingkungan serta menjadi motivasi munculnya ide-ide kreatif yang lain. Permainan pun
akan kembali terasa menyenagkan.
6.
Perkembangan wawasan diri
Melalui bermain, seorang anak dapat mengetahui kemampuan teman-teman
sepermainannya, kemudian membandingkannya dengan kemampuan yang ia miliki. Hal
ini memungkinkan terbangunnya konsep diri yang lebih jelas dan pasti. Ia akan berusaha
meningkatkan kemampuannya, jika ternyata ia jauh tertinggal dibandingkan teman-teman
sepermainannya. Hal ini menjadi faktor pendorong yang sehat dalam pengembangan diri
seorang anak.
7.
Belajar bermasyarakat
Bersosialisasi dengan teman-teman sebaya merupakan hal penting yang perlu dilakukan
oleh anak. Kegiatan bermain menjadikan proses bersosialisai tersebut terbangun dengan
cara yang wajar dan menyenangkan. Tidak jarang timbul beberapa masalah ketika anakanak bermain. Mereka belajar untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang
timbul dalam sebuah permainan secara bersama-sama. Disini hubungan sosial diantara
mereka terbangun.

8.
Standar moral
Meskipun dalam lingkungan keluarga maupun sekolah, anak telah diajarkan tentang halhal yang dianggap baik dan buruk dalam hidup bermasyarakat, namun tiada standar
moral yang lebih teguh selain dalam kelompok bermain. Kecurangan dan sikap tidak
sportif yang ditunjukkan oleh seorang anak dalam sebuah permainan, tidak jarang
menyebabkan lahirnya sanksi sosial yang membuatnya jera. Disini, ia belajar untuk selalu
mematuhi standar moral yang telah disepakati oleh kelompok bermainnya

BERMAIN = BELAJAR
Informasi buku:
Einstein Never Used Flash Cards : How Our Children Really Learn And Why They
Need to Play More and Memorize Less
by Roberta Michnick Golinkoff (Author), Kathy Hirsh-Pasek (Author), Diane Eyer
(Author)
Hardcover: 272 pages ; Dimensions (in inches): 1.15 x 9.39 x 6.38
Publisher: Rodale Press; (October 3, 2003)
ISBN: 1579546951
Itu pesan yang disampaikan dalam buku ini yang ditulis oleh tiga peneliti di
bidang psikologi perkembangan. Pesan tersebut didukung oleh berbagai penelitian dalam
bidang psikologi perkembangan anak selama 40 tahun belakangan. Tetapi meskipun
bukti-bukti penelitian menyatakan demikian, pesan tersebut tampaknya tidak sampai
kepada kita, orang tua dan pengasuh anak. Buku ini mengingatkan kita bahwa kita
terjebak dalam asumsi yang salah sehingga kita membuat anak-anak kita belajar (dalam
konteks akademis) lebih awal dan mengurangi waktu bermain mereka, sementara dalam
bermainlah anak-anak belajar banyak.
Sebagai orang tua, kita tentu selalu mengkhawatirkan kesejahteraan anak-anak
kita. Salah satu yang kita khawatirkan adalah apakah anak kita akan memiliki keunggulan
untuk bersaing di dunia yang semakin kompetitif. Akibatnya kita sangat mengedepankan
perkembangan otak anak: susu formula yang kita pilih adalah susu yang mengandung
semua zat yang membantu pertumbuhan otak bayi; kita membelikan mainan yang
merangsang intelejensia anak; musik Mozart dan Bach menjadi menu bagi telinga
mereka. Begitu anak-anak kita mulai bicara, sebagian dari kita berlomba-lomba
memasukkan anak-anak kita ke kelompok bermain dan taman kanak-kanak yang
menawarkan pelajaran musik, program dwi-bahasa, mental aritmatika dan berbagai
aktivitas lain. Kita merasa bahwa belajar secara mandiri sebagaimana yang telah
dilakukan selama ribuan tahun tidak lagi cukup. Kekhawatiran kita menyebabkan anakanak kita menjadi anak-anak yang dibuat tergesa-gesa, dan mereka pun kehilangan
masa kecil.
Telah banyak pakar yang membicarakan masalah di atas, dan para penulis dalam
buku ini memberikan penawarnya. Dalam buku ini kita bisa menemukan berbagai bukti
ilmiah mengenai perkembangan intelektual dan sosial anak tanpa bumbu-bumbu apa pun
dari media massa maupun dari pemasaran industri pendidikan anak sehingga kita bisa
lebih mengerti perkembangan anak kita dan mengapa bermain adalah belajar. Dengan
berbekal pengetahuan tersebut, kita sebagai orang tua diharapkan dapat lebih percaya diri
dalam mendidik generasi mendatang.
Buku ini dibagi dalam sepuluh bab. Setiap bab berisikan bukti-bukti penelitian
dan tips-tips bagaimana secara praktis menerapkan berbagai hasil penelitian tersebut
dalam keseharian. Penulis membuka dengan mengungkapkan situasi orang tua modern di
mana mereka menghadapi situasi yang kompetitif dan mereka berupaya agar anak-anak
mereka bisa unggul dengan persiapan sejak dini. Di bab dua, buku ini membahas otak
dan perkembangannya, dan membantah mitos-mitos yang berkembang seputar

perkembangan otak dan intelejensia anak. Bab-bab selanjutnya menjelaskan


perkembangan anak dalam hal kemampuan mengenal kuantitas, bahasa, membaca,
intelejensia, dan keterampilan sosial. Dalam dua bab terakhir, penulis menjelaskan
mengenai bermain dan pentingnya bermain sebagai sarana belajar, serta rumus-rumus
baru bagi kita sebagai orang tua dalam mengasuh anak.
Salah satu kesimpulan penelitan yang disampaikan di bab pertama adalah bahwa
hubungan yang responsif dan bersifat mengasuh yang diterima anak dari orang tua dan
para pengasuh merupakan hal kunci dalam memperkirakan perkembangan intelektual dan
emosional anak. Selain itu sebuah kajian oleh salah seorang penulis terhadap anak-anak
yang dimasukkan ke taman kanak-kanak akademis dengan yang dimasukkan ke TK
biasa yang mengutamakan bermain menemukan bahwa mereka yang masuk ke TK
akademis tidak memiliki keunggulan akademis jangka pendek, apalagi jangka panjang,
dibandingkan dengan yang masuk ke TK biasa. Perbedaan kemampuan akademis antara
kedua kelompok bahkan tak terlihat di kelas satu SD. Tetapi terdapat satu perbedaan
antara kedua kelompok. Kelompok pertama terlihat lebih gelisah dan kurang kreatif
dibandingkan kelompok kedua. Jadi, anak-anak menjadi korban jika belajar secara
akademik dipaksakan sebelum mereka siap.
Bab dua dimulai dengan menjelaskan otak dan sel-sel syaraf sehingga kita
mengerti bagaimana mereka bekerja. Menurut penelitian, otak terus berkembang dan
berubah selama selama hidup manusia dengan menciptakan sinapsis-sinapsis baru,
memperkuat yang perlu, dan sebaliknya menghapus yang tidak perlu. Penghapusan
sinapsis (hubungan antara sel-sel syaraf) adalah sesuatu yang penting bagi otak agar bisa
membuat keputusan dengan cepat dan tepat. Bahkan sebuah kelainan genetik yang
mengakibatkan cacat mental terkait dengan tidak adanya penghapusan sinapsis. Dengan
demikian anggapan umum bahwa kita harus melakukan berbagai upaya agar jangan
sampai bayi kehilangan banyak sinapsis adalah salah.
Seperti anggapan di atas, mitos mengenai lingkungan yang diperkaya juga tidak
memiliki landasan ilmiah. Mitos mengenai lingkungan yang diperkaya akan merangsang
pertumbuhan otak bayi adalah interpretasi yang salah atas penelitian yang
membandingkan besar otak tikus yang dibesarkan sendiri di kandang sempit dengan yang
dibesarkan bersama beberapa tikus lain di kandang besar yang berisi mainan, loronglorong, dan perosotan (lingkungan yang diperkaya). Hasil penelitian yang sama juga
menunjukkan bahwa tikus yang memiliki otak paling besar adalah tikus yang dibesarkan
di lingkungan alami. Sayangnya hasil yang terakhir ini kurang mendapatkan publikasi
yang luas. Seorang peneliti mengungkapkan kekhawatiran bahwa memperkenalkan
lingkungan yang diperkaya dan program pelatihan yang ambisius lebih awal kepada anak
berpotensi mengurangi kreativitas si anak. Jadi, terlalu banyak belajar lebih awal justru
menjadi penghambat dan bukan pendorong bagi perkembangan intelejensia anak.
Kita juga sering mendengar bahwa tiga tahun pertama anak adalah masa kritis
pertumbuhan otak yang akan menentukan apakah si anak akan menjadi seorang jenius di
masa datang, dan selepas tiga tahun kesempatan itu tidak ada lagi. Tetapi anggapan ini
juga tidak benar. Sebagai contoh, penelitian mengenai kemampuan berbahasa Inggris
terhadap imigran dari Cina atau Spanyol di Amerika menemukan bahwa imigran yang
datang waktu Ia lebih muda memiliki kemampuan yang lebih baik, tetapi tidak ada masa
kritis di mana bahasa asing tidak lagi bisa dipelajari. Terlebih lagi, tidak ada bukti yang
menunjukkan pengalaman belajar di masa kecil membantu pertumbuhan otak. Selama

anak tumbuh di lingkungan yang normal, dan dikelilingi orang-orang yang menyayangi
mereka, otak mereka akan tumbuh sendiri.
Setelah mematahkan anggapan umum mengenai perkembangan otak, buku ini
kemudian menjelaskan bagaimana anak-anak mempelajari kuantitas. Bayi diperkirakan
telah mengetahui konsep lebih dan kurang. Saat mereka tumbuh, kemampuan mereka
berkembang menjadi mengetahui jumlah, dan para usia sekitar lima tahun mereka telah
bisa menghitung dan membandingkan jumlah. Dalam hal bahasa, bayi telah mengetahui
bahasa ibunya saat mereka masih berusia dua hari, dan saat mereka berusia lima bulan
mereka tahu bahwa bahasa terdiri atas kalimat-kalimat. Ketika mereka berusia sekitar 18
bulan dan telah menguasai 50 kata, yang merupakan massa kritis di mana mereka mulai
bisa membentuk kalimat dari dua kata. Saat itulah mereka mulai sering bertanya, apa
ini?, apa itu?, dan bayi 18-20 bulan mampu belajar hingga sembilan kata per-hari.
Kemampuan berbahasa anak terus berkembang dengan cara menemukan pola-pola di
dalam bahasa dan kemudian belajar menggunakannya sendiri.
Kemampuan berbahasa adalah dasar bagi kemampuan membaca anak. Sebelum
anak dapat membaca, mereka harus mengembangkan empat kemampuan dasar: kosa
kata, bercerita, mengenal fonem, dan mengetahui kode tertulis. Kemampuan mengenal
fonem berarti mampu memisahkan bunyi dalam kata, seperti t di topi dan k di
makan. Berdasarkan penelitian, 17 persen murid taman kanak-kanak dan 70 persen
murid kelas satu sekolah dasar mampu memisahkan bunyi dalam kata. Anak harus
mampu mengenal kode tertulis sebelum bisa membaca, yakni memisahkan huruf-huruf
dari kata, mengetahui bunyi yang dihasilkan huruf-huruf, dan menggabungkan bunyi
masing-masing huruf sehingga membentuk kata. Kemampuan membaca lalu diikuti oleh
kemampuan menulis yang biasa dimulai pada usia taman kanak-kanak. Saat anak mulai
menuliskan kata-kata yang mereka dengar tetapi mereka salah menuliskan ejaan, mereka
telah mencapai kemajuan besar yaitu mengerti bagaimana cara kerja kata dalam bahasa.
Anak-anak belajar dari kegiatan mereka sehari-hari. Mereka selalu belajar dengan
aktif, dan berusaha mengerti lingkungan mereka. Sesuatu berulang-ulang yang dilakukan
anak-anak, yang kadang membuat kita kesal, sering merupakan cara mereka untuk
mengerti sesuatu. Kalau kita memperlihatkan kartu-kartu yang bergambar (flash card)
dan mengucapkan apa yang tergambar di kartu tersebut, mereka akan membeo. Tetapi
kalau kita membiarkan mereka bermain dengan permen mereka akan tertarik dengan
kuantitas. Kunci dalam proses belajar mereka adalah belajar dalam konteks.
Buku ini juga menjelaskan perkembangan anak dalam hal mengenal identitas diri,
yaitu mengenal tubuh dan mengenal emosi serta bagaimana mengendalikan emosi
sendiri. Anak pun mulai bisa mengevaluasi diri sendiri, tetapi kemampuan ini
membutuhkan waktu yang lama. Menurut hasil penelitian, hanya 59 persen anak berusia
30 40 bulan memberikan respon secara emosional saat mereka berlaku buruk.
Dalam perkembangan sosialnya, dijelaskan bahwa anak pertama-tama mulai bisa
membedakan antara orang dan barang, kemudian mereka bisa mengetahui emosi orang
lain, dan pada tahap akhir mereka bisa menghargai bahwa orang lain berbeda pandangan
daripada mereka. Dalam perkembangan tahap kedua, para peneliti melihat bahwa bayi
membentuk keterikatan dengan sekelompok orang, dan sifat keterikatan di masa awal
kehidupan mereka penting dan dapat memberikan dampak yang besar dalam
penyesuaian-penyesuaian emosi dan akademik anak nantinya. Walaupun begitu,

hubungan antara keterikatan dan penyesuaian di masa datang hanya terlihat jika si anak
terus berada dalam lingkungan yang menyayangi dan mendukungnya.
Sebagai orang tua, yang perlu kita lakukan adalah memberikan dukungan bagi
anak-anak untuk berkembang secara sehat. Salah satu dukungan tersebut mungkin telah
kita lakukan selama ini, yaitu apa yang disebut sebagai scaffolding di mana kala kita
melihat anak kesulitan melakukan sesuatu kita lalu memberikan sedikit bantuan yang
membuat mereka dapat melakukan hal tersebut. Misalnya saat anak menyusun puzzle dan
ia kesulitan, kita membantu dengan memasangkan satu potong puzzle sehingga ia bisa
menyelesaikan puzzle tersebut. Hal lain yang dapat kita lakukan adalah dengan berbicara
dengan anak dan membaca buku bagi mereka. Kegiatan ini dapat menambah kosakata
(penguasaan kosakata dapat meningkatkan IQ sebesar 15-20 poin), penguasaan bahasa,
dan minat baca. Selain itu, jika kita berbicara dengan mereka tentang emosi orang lain,
hal ini dapat meningkatkan intelejensia sosial mereka. Misalnya, kita dapat menjelaskan
kepada mereka, Si polan sedih karena mainannya hilang, atau Si polan menangis
karena tangannya sakit.
Karena si anak adalah mesin bagi perkembangan mereka sendiri, maka yang
sebaiknya dilakukan orang tua adalah menjadi mitra bagi mereka. Kita berpartisipasi
dalam aktivitas-aktivitas anak kita, tetapi mereka lah yang memimpin dalam aktivitasaktivitas tersebut. Kita mengulurkan sedikit bantuan kepada mereka (scaffolding) dan
mengarahkan mereka mengenai hal-hal yang menyangkut moral. Di samping itu tentu
saja kita harus memberikan pujian kepada mereka.
Pujian adalah senjata yang kuat sekaligus berbahaya. Ada anggapan umum yang
salah bahwa memuji intelejensia anak dapat meningkatkan rasa percaya diri mereka
dalam bidang akademik. Anak-anak perlu dipuji atas usaha mereka karena belajar harus
dilihat sebagai proses, bukan sebagai pembuktian atas kemampuan mereka. Dengan
memuji usaha anak, kita mengajari mereka untuk menilai diri sendiri atas upaya yang
mereka kerahkan untuk mencapai sesuatu sehingga mereka tumbuh menjadi manusia
yang tidak mudah menyerah.
Setelah kita tahu bagaimana perkembangan anak di berbagai sisi, lantas
bagaimana dengan bermain? Bab 9 menjelaskan pentingnya bermain bagi anak. Buktibukti penelitian menunjukkan dengan jelas, bermain mendorong perkembangan di
berbagai sisi. Para peneliti telah menemukan bahwa bermain terkait dengan kreativitas
dan imajinasi yang lebih baik, dan bahkan dengan kemampuan membaca dan skor IQ
yang lebih tinggi. Jadi, jelas bahwa BERMAIN = BELAJAR. Terlebih lagi, jika orang
dewasa ikut (bukan mengontrol) bermain dengan anak, tingkat permainan mereka
meningkat.
Bagaimana mendefinisikan bermain? Menurut para peneliti, bermain memiliki
lima unsur. Pertama, bermain harus bisa dinikmati dan menyenangkan. Kedua, bermain
tidak boleh memiliki tujuan yang ditentukan. Ketiga, bermain harus spontan dan sukarela,
bebas sesuai pilihan yang bermain. Keempat, para pemain harus terlibat aktif. Dan
terakhir, bermain mengandung unsur berpura-pura.
Dari kelima unsur tersebut, yang paling sering kita hilangkan adalah unsur kedua.
Kita membelikan anak-anak kita mainan yang mengandung unsur pendidikan. Hal ini
tidak berarti semua mainan tersebut tidak bagus bagi anak. Yang perlu kita ingat adalah
mainan tersebut, bukan si anak, menentukan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Hal
serupa terjadi dalam aktivitas-aktivitas yang terorganisir: orang dewasa mengarahkan apa

yang harus dilakukan anak. Anak-anak perlu mengarahkan sendiri kegiatan bermain
mereka. Dengan begitu, mereka merasa memiliki kekuasaan atas permainan mereka. Ini
adalah salah satu fungsi utama bermain.
Menjauhkan anak dari bermain dapat mengarah kepada depresi dan kekerasan.
Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa tanpa bermain, binatang mengalami
penundaan dalam kematangan otak. Penelitian juga membuktikan bahwa memberikan
istirahat bermain kepada anak si sekolah memaksimalkan perhatian mereka kepada tugastugas sekolah yang melibatkan berpikir.
Semua peneliti sepakat bahwa bermain memberikan dasar yang kuat bagi
pertumbuhan intelejensia, kreativitas, dan kemampuan menyelesaikan masalah. Bermain
juga merupakan alat untuk perkembangan emosi serta pengembangan keterampilanketerampilan sosial dasar anak. Kita, orang tua, juga mungkin telah mengerti hal ini,
tetapi mungkin kita kurang memfasilitasi anak untuk bermain karena kita khawatir bahwa
mereka menjadi tidak belajar.
Buku ini memberikan banyak penjelasan tentang bermain dan manfaatnya. Saat
anak bermain dengan benda-benda fisik, mereka belajar tentang hubungan antara satu
benda dengan benda yang lain. Pengalaman mereka dari memainkan benda-benda
tersebut tidak bisa diganti dengan kartu-kartu bergambar, atau bahkan dengan permainan
komputer. Kreatifitas mereka diasah dengan bermain bebas dan tak terstruktur.
Kemampuan berbahasa mereka berkembang dengan bermain pura-pura. Ketika mereka
bermain masak-masakan dengan teman-teman, mereka mengembangkan kemampuan
sosial mereka. Anak-anak yang berlari ke sana ke mari melatih kemampuan motorik
mereka.
Albert Einstein memiliki kepandaian yang luar biasa, bukan karena Ia mengetahui
banyak hal, tetapi Ia pemikir yang hebat. Tidak sedikit dari kita yang mengharapkan
anak-anak kita memiliki kepandaian seperti Einstein. Waktu ia berusia 6 tahun, ia
diikutkan dalam pelajaran musik, tetapi ia tidak pandai-pandai. Tiba-tiba pada umur 13
tahun ia sangat menyenangi Mozart dan pandai bermain biola. Komentar Einstein tentang
kemampuan musiknya adalah Love is a better teacher than a sense of duty.
Yang dapat kita pelajari dari masa kecil Einstein adalah Ia mengambil jalannya
sendiri, dan sebagian besar proses belajarnya terjadi saat Ia bermain. Jadi, kalau ibu
Einstein tidak mengajarinya dengan kartu-kartu bergambar, mengapa kita harus melatih
(drill) anak-anak kita, mengajarkan mereka membaca sebelum masuk taman kanakkanak, bahkan mengajari mereka aritmatika sebelum umur tiga tahun? Kita tentu
melakukan hal-hal tersebut dengan niat baik, tetapi mungkin kita melakukannya hanya
karena kita tidak menerima informasi yang benar.
Buku ini menyebutkan empat mitos yang tak sehat yang menjadi petunjuk bagi
kita dalam membesarkan anak:
1. Lebih cepat lebih baik
Kita ingin mempercepat perkembangan kognitif dan sosial anak.
2. Jadikan setiap saat berarti
Jangan sampai ada waktu anak yang terbuang percuma.
3. Orang tua adalah serba bisa
Kita menganggap bahwa hanya kita yang bertanggung jawab atas perkembangan
anak.

4. Anak adalah gelas kosong


Anak-anak hanya menunggu untuk diisi.
Kita perlu melepaskan diri dari asumsi-asumsi tersebut, lalu mendidik anak-anak
kita menggunakan empat prinsip berikut:
1.
Belajar yang paling baik adalah belajar yang berada dalam jangkauan
anak
Anak perlu keluarga, teman, dan guru mereka untuk melampaui kemampuan
alami mereka.
2.
Menekankan proses di atas hasil menciptakan kecintaan terhadap
belajar
Kita perlu memperhatikan bagaimana mereka belajar selain apa yang mereka
pelajari.
3.
EQ, bukan hanya IQ
Anak yang lebih banyak bermain cenderung lebih bahagia, dan mereka
cenderung memiliki hubungan lebih baik dengan teman-teman mereka, dan
kemudian lebih aktif di sekolah. EQ dan IQ berkembang melalui bermain.
4.
Belajar dalam konteks adalah belajar yang sebenarnya dan bermain
adalah guru terbaik.
5.
Dengan segala pengetahuan yang kita peroleh dari penelitian-penellitian tentang
perkembangan anak, yang paling penting bagi kita orang tua adalah menciptakan
keseimbangan. Keseimbangan antara bermain bebas dan aktivitas yang diorganisasikan
orang dewasa. Dengan kesadaran seperti ini, kita orang tua dapat memberikan yang
terbaik bagi anak-anak kita.
Sebagai penutup, buku ini memberikan tiga kunci, yaitu 3 R, untuk mencapai
keseimbangan tersebut:
1. Reflect
Tanyakan diri kita saat kita mendaftarkan anak kita ke suatu aktivitas yang
terstruktur, apakah kita melakukannya karena keempat mitos salah yang
disinggung di atas.
2. Resist
Tolak dorongan yang mengatakan bahwa lebih cepat adalah lebih baik.
3. Re-center
Fokus kembali kepada empat prinsip di atas yang memiliki landasan ilmiah.
Bukti-bukti ilmiah yang ada di dalam buku ini membuat kita orang tua bisa
merasa lebih tenang dalam membesarkan putra-putri kita karena kita mengetahui bahwa
bermain memberi manfaat yang banyak bagi perkembangan anak. Buku ini berisi banyak
sekali tips-tips praktis untuk membantu anak kita mengembangkan diri mereka secara
sehat. Sayang sekali untuk melewatkan buku ini. Selamat membaca!

Tergila-gila ''Playstation''
SAYA memiliki 2 orang anak laki-laki dan perempuan yang berusia 10 dan 5
tahun. Yang bermasalah yang sulung laki-laki ini Bu. Kegemarannya main playstation
sangat menakutkan saya. Dulu dengan pertimbangan agar tidak mengganggu pelajaran
sekolahnya maka kami tidak membelikannya. Tetapi dia sering main di tetangga tiap
Sabtu dan Minggu.
Masalahnya, sekarang makin banyaknya bermunculan tempat penyewaan
playstation, bahkan ada 3 tempat di lingkungan tempat tinggal kami membuatnya seperti
tergila-gila pada playstation. Uang sakunya bahkan tidak pernah digunakan untuk
membeli makanan. Dia yang biasanya paling tidak tahan lapar, akhir-akhir ini saya lihat
dia lebih baik memilih kelaparan, asalkan bisa menyewa playstation.
Kami berdua bekerja sampai jam 5 sore. Dia dengan adik dan neneknya di rumah.
Neneknya tidak bisa berbuat apa dan tidak didengar kalau memberi nasihat agar pulang.
Kadang-kadang memaksa pada neneknya untuk meminta uang tambahan kalau uang
sakunya habis. Tetapi seringkali hanya melihat temannya bermain kalau dia tidak punya
uang. Jadi sepulang sekolah pkl. 13.00 Wita, waktunya dihabiskan sampai sore di tempat
penyewaan playstation. Saya benar-benar kebingungan melihatnya. Kenapa dia bisa
tergila-gila sampai sedemikian rupa dengan playstation. Pelajarannya mulai menurun
karena sampai di rumah malam harinya mengeluh capek dan akhirnya malas belajar.
M. Busri, Panjer
Mari kita lihat dan bahas satu demi satu. Seiring dengan perkembangan zaman
dan kemajuan teknologi, permainan anak pun berkembang dan berubah cepat. Kalau dulu
anak bermain dengan alat permainan sederhana seperti kulit semangka jadi mobilmobilan, kuda-kudaan dari pelepah daun pisang dan bermain layang-layang dari koran di
lapangan, sawah, halaman atau kebun yang luas, sambil mencari jangkrik, ulat dan
menangkap kupu-kupu. Kini dengan makin sempitnya lahan tempat bermain, industri
elektronika menawarkan aneka mainan jadi untuk mengisi waktu anak-anak di rumah,
karena kebun dan sawah tidak dapat mereka jumpai lagi.
Dimulai dari televisi. Saat itu begitu banyaknya anak-anak yang keranjingan
menonton televisi sekaligus meniru terutama adegan-adegan kekerasan yang mereka
lihat. Para ahli pun meneliti dan menemukan banyaknya dampak buruk televisi bagi
perkembangan anak, mereka mengritik habis-habisan stasiun televisi yang menayangkan
adegan kekerasan pada acara jam tayang anak. Tetapi tidak sedikit pula yang
mengacungkan jempol pada stasiun televisi yang mampu menghadirkan beberapa acara
anak-anak yang dirasakan bermanfaat bagi perkembangan anak. Jadi di samping dampak
buruknya, televisi juga memiliki pengaruh positif bagi penambahan wawasan dan
pengetahuan anak.
Seperti halnya televisi, playstation-pun memiliki sisi negatif dan sisi positif.
Pengaruhnya sangat tergantung pada upaya lingkungan untuk mengkomunikasikannya
pada anak.
Dampak Negatif
Duduk berjam-jam keasyikan memainkan playstation membuat anak kurang
bergerak, kurang bermain dan bersosialisasi dengan teman sebayanya. Bahkan pada
beberapa anak yang cara duduknya kurang benar akan berakibat fatal pada pertumbuhan

tulang belakangnya. Kondisi ini juga dapat membuat anak memiliki persepsi lebih enak
bermain sendiri dan menghambat dorongan berinterasi sosialnya karena merasa tanpa
melibatkan serta berkomunikasi dengan orang lain dia bisa 'enjoy'. Ini jelas menghambat
perkembangan fisik, motorik serta sosialnya.
Keasyikannya bermain playstation akan mengganggu kegiatan lain seperti belajar,
makan ataupun tidur. Anak yang sudah keasyikan memainkan playstation akan merasa
terus tertantang untuk menemukan cara-cara bermain yang baru. Kondisi ini akan
berdampak pada kelelahan mata, kelelahan fisik dan emosi serta dampak-dampak lainnya
yang sudah menunggu. Seperti putranya yang sampai di rumah mengeluh capek dan
mengantuk lalu menolak untuk belajar sehingga prestasinya mulai menurun.
Sementara itu yang dipacu pada alat permainan elektronik ini adalah kemampuan
anak untuk bereaksi cepat melalui latihan yang terus menerus (drilling). Pada permainan
ini umumnya anak tidak belajar dari kesalahan, tidak belajar memecahkan masalah
karena kepraktisannya memencet tombol, ia dihadapkan pada jawaban salah dan benar.
Dalam permainan ini pada umumnya juga tidak disajikan bagaimana cara untuk sampai
pada jawaban yang benar. Jelas ini bukan gambaran dari kondisi yang sebenarnya dalam
kehidupan sehari-hari yang mengajarkan pada anak bahwa untuk mencapai keberhasilan
ia perlu menyelesaikan masalah yang dihadapi. Karena itu banyak ahli berpendapat video
games dan playstation tidaklah merangsang kreativitas anak, justru menghambat
sosialisasinya.
Bagaimana Sebaiknya
Perjanjian bersama. Bicarakan dengan anak dan bikin komitmen bersama atau
perjanjian tertulis kalau perlu terutama untuk anak usia 6 tahun ke atas, porsi jam dan
waktu anak bermain playstation. Misalnya, sepulang sekolah makan dulu, mengerjakan
PR 1 jam, lalu bermain playstation 2 jam, lantas sebelum orangtua pulang kantor anak
sudah harus di rumah, mandi dan siap belajar. Main playstation dalam seminggu cukup 3
kali saja sehingga hari lain bisa diisi dengan aktivitas lainnya yang positif.
Posisi bermain. Anak harus memahami hal-hal buruk playstation sehingga harus
mengikuti aturan tiap 1 jam anak bermain harus mengistirahatkan matanya dari layar
paling tidak 5 menit dan bangkit sementara dari tempat duduknya. Ajarkan pula
bagaimana duduk yang baik dengan punggung tegak agar tidak mengganggu
pertumbuhan tulang belakangnya.
Aktivitas Positif yang Lain
Dorong anak untuk tetap mengembangkan kemampuan sosialnya dengan
berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sebaya, juga mendorong untuk
menemukan dunia bermain yang juga cukup asyik dan menantang di luar rumah bersama
teman-temannya. Misalnya, dorong mereka bikin klub sepak bola, bola basket, sepeda
gayung atau kelompok belajar bersama, kursus menari atau melukis di banjar.
Jadwal Kegiatan
Buatlah jadwal dengan anak untuk diingat, untuk disiplin terhadap waktu makan,
dan beristirahat, serta bersosialisasi dengan anggota keluarga lain. Mempersyaratkan
bahwa acara main playstation bukan kegiatan utama liburan melainkan hanya kegiatan
tambahan atau alternatif kegiatan serta tidak boleh sampai mengabaikan hal-hal lain. Ini

untuk menunjukkan bahwa ada dunia lain di luar playstation yang juga menyenangkan
untuk dijelajahi dan dikembangkan. Misalnya, Sabtu sore bersama keluarga ke pantai,
Minggu pagi jalan santai dan berolah raga bersama keluarga, Rabu sore mengunjungi
keluarga, Jumat sore ke toko buku dsb.
Selektif terhadap Materi Tontonan
Ajarkan keterampilan memilah-milah mana yang baik dan buruk, mana yang
boleh dan tidak boleh, kenapa baik dan boleh dilakukan dan apa alasannya kenapa tidak
boleh dilakukan dan dampak buruknya. Contohnya dalam pemilihan kaset, doronglah
anak untuk memilih kaset-kaset yang mampu merangsang daya imajinasi dan aspek
kognitif (berpikirnya) bukan yang cenderung mengarah pada kekejaman atau agresivitas.
Para pelaku bisnis penyewaan kaset kan juga para tetangga ya Pak? Bicaralah pada
mereka untuk menyewakan kaset yang sesuai dengan perkembangan anak-anak. Karena
dampak playstation bagi perkembangan anak adalah tanggung jawab bersama.
Reward dan Punishment
Karena sudah menjadi komitmen bersama dengan anak, maka bicarakan juga
hadiah kalau anak melakukan komitmen dengan baik, misalnya bintang yang bisa
dikumpulkannya tiap hari dan ditukar dengan sesuatu yang diinginkannya seperti sepatu
roda, mobil remote, berlibur ke luar kota dsb. Demikian juga hukuman kalau anak
melanggar aturan yang telah diputuskan bersama seperti memotong uang saku, hilangnya
jadwal main playstation, membersihkan kamar mandi, mencuci mobil ayah dsb.
Memang seperti halnya televisi, playstation juga menyimpan banyak sisi positif.
Beberapa permainannya banyak merangsang kemampuan kognitif anak seperti permainan
yang ditujukan untuk memperkenalkan anak pada aneka huruf, angka, warna, binatang,
bahasa dsb. Demikian pula keterampilan koordinasi tangan dan mata bisa terlatih lewat
media ini. Beberapa ahli bahkan percaya, alat permainan ini dapat digunakan untuk
melatih dan meningkatkan rentang perhatian dan konsentrasi anak karena berisi sesuatu
yang kemungkinan besar akan menarik minat anak-anak. Di samping itu juga dapat
berfungsi sebagai ajang kompetisi anak dengan dirinya sendiri.
Nah, sekarang tinggal bagaimana peranan orangtua dalam mengkomunikasikan
dengan anak untuk meminimalkan dampak negatif permainan elektronik ini dan
mengoptimalkan dampak positifnya bagi perkembangan anak. Dan hal yang perlu
diingat, tren bermain selalu berganti-ganti, namun komunikasi adalah kunci semuanya

Mainan Yang Mencerdaskan


Ini artikel hasil wawancara Koran Tempo dengan Taufan Surana. ''Memilih mainan anak gampang-gampang susah. Salah
pilih, akibatnya bisa runyam. Bila permainan terlalu rumit anak bisa stres. Ini lambat laun akan berdampak buruk bagi
perkembangan emosinya. Sebaliknya...''

Memilih mainan anak gampang-gampang susah. Salah pilih, akibatnya bisa runyam. Bila
permainan terlalu rumit anak bisa stres. Ini lambat laun akan berdampak buruk bagi
perkembangan emosinya. Sebaliknya, permainan yang terlalu mudah pun tak membawa
manfaat bagi mereka. Karena interestnya berkurang dan tak merasa tertantang.
Menurut Taufan Surana, pengelola dan pemilik situs BalitaCerdas.com, yang paling
penting dalam memilih mainan untuk anak adalah yang dapat merangsang semua panca
inderanya. Semakin banyak panca indera digunakan, sel-sel otak anak akan lebih banyak
berkembang dari segi kualitas dan jumlahnya.
Jangan remehkan sepeda roda tiga. Kata Taufan, dari penelitian yang dia himpun,
sepeda roda tiga mampu merangsang seluruh panca indera. Komposisi gerak dan
visualnya akan semakin terasah. ''Anak berlatih mengkoordinasikan gerakan, pandangan
dan situasi sekitarnya'', jelas Taufan.
Permainan lain yang bisa dijadikan alternatif adalah Flash Card. Permainan kartu
bergambar ini terdiri dari 150 kartu dengan bermacam-macam gambar seperti gambar
buah, binatang, kendaraan, warna ataupun angka, dll. Cara memainkannya, cukup dengan
menunjukkan
gambar
secara
cepat (satu gambar per detik) di hadapan anak. Meski mungkin belum lancar, biasanya
anak usia sampai dengan tiga tahun sudah bisa mengenali gambar berikut namanya.
''Permainan ini bisa dimainkan sejak anak berusia empat bulan'', ujar Taufan yang juga
memproduksi
Flash
Card.
(catatan: Flash Card BalitaCerdas.com bisa diperoleh di
www.balitacerdas.com/fc)
Permainan Flash Card ini menurut Taufan bisa membantu memaksimalkan kemampuan
photographic memory, serta membangkitkan respon otak kanan pada anak balita. Yaitu
dengan cara mengendalikan pikiran bawah sadar, emosi, kreatif dan intuitif pada balita
sejak
dini.
Berikut

adalah

beberapa

tips

dalam

memilih

mainan

untuk

anak:

1. Orangtua perlu tahu tahap-tahap perkembangan anak, baik usia, emosi dan fisiknya.
2. Peduli terhadap mainan yang digunakan. Jangan asal beli yang mahal, sesuaikan
dengan kemampuan anak. 3. Keamanan alat bermain perlu diperhatikan, baik dari bahan
(materil dan catnya) dan kinerja alat tersebut (yang menghindari cedera ketika
digunakan).
4. Pilih mainan yang berwarna kontras dan cerah, untuk merangsang indera penglihatan
anak.

5. Pastikan semua mainan dalam jangkauan anak, agar terhindar dari cedera ketika anak
berusaha mencapainya.
6. Anak di usia enam bulan keatas suka mainan yang mengeluarkan bunyi dan benda
berwarna seperti genta, bel, lonceng mini, gambar penuh warna maupun benda
berteksturlembut.
7. Beri mainan seperti lego dan sejenisnya yang mempunyai variasi bentuk pada anak
usia 9 bulan keatas, atau mainan serupa yang dapat dimainkan sewaktu mandi.
8. Tak perlu mainan mahal untuk anak Anda. Si kecil butuh stimulus untuk merangsang
kreatifitasnya, dan ini bisa anda lakukan dengan membuatnya sendiri. Tentu, kreatifitas
Anda yang diperlukan

Dunia Sekolah, bukan Sekolah Dunia


Dida, keponakan saya, meski bahasa Inggrisnya belum lancar, senang tinggal di Ostrali.
"Pelajaran matematikanya nggak sesulit SD di Indonesia," katanya, yang diteruskan
bapaknya via e-mail barusan.
Saya bukan ahli pendidikan. Saya nggak paham isi benak para penyusun kurikulum. Yang
saya tangkap, anak-anak SD sekarang, termasuk kedua putri saya, makin berat saja
pelajarannya, begitu pula ranselnya. Itu pun masih harus ditambah les dan kursus ini-itu.
Bahkan lembaga bimbingan tes masuk universitas pun melakukan deversifikasi, bikin
bimbingan belajar untuk anak SD. Apa yang dijejalkan oleh sekolah ternyata belum
memadai.
Anak-anak kita semakin kekurangan waktu untuk bermain, padahal dunia anak-anak
yang bermain itu mestinya tak boleh terampas. Mereka pun berhak atas waktu pribadi
sekadar untuk melamun, berkhayal tanpa batas.
Si gadis kecil mestinya ada waktu itu untuk mencobai sepatu ibunya, juga kalungnya,
kemudian berdiri di depan cermin -- seperti bungsu saya :). Gadis kecil lainnya juga
berhak atas waktu pribadi untuk merakit robot, menata mobil die cast mungil, bermain
balapan truk [atau sedan rongsok di junkyard] di komputer -- seperti sulung saya [yes,
asli, emang gitu kok]. Dari balik jendela bertirai, pada suatu libur, dengan riang saya
mengawasi mereka ketika bermain di sebuah halaman rumah kosong tak bergerbang
pagar, dan langsung berembuk ketika memulung sebuah barang rombeng. Mereka berhak
atas itu semua. Termasuk kenakalan kecil masuk ke pelataran orang. :)
Sebagian anak kota besar, terutama Jakarta, sudah ketularan orangtuanya. Merasa bahagia
saat akhir pekan tiba, dan berharap hari Senin akan tertunda dan tertunda. Hari-hari biasa
ibarat siksa karena jadwal pejal yang nyaris tak berongga.
Para senior, mungkin termasuk orangtua Anda, semasa SD dulu ikut ujian negara
[nasional?] yang isinya cuma tiga pelajaran. Nyatanya mereka pintar. Saat kurikulum
belum berat itulah Malaysia mengirimkan mahasiswanya ke Jakarta, Bandung dan
Yogyakarta. Dosen-dosen kita dipinjam, jadi penzarah di universiti negeri jiran.
Sekarang, kalau ada duit, kita yang bersekolah ke Malaysia. Banyak tawaran tersedia,
seperti makanan ringan [enak] yang kita impor dari sana. Paling sial, untuk beroleh
nafkah pun kita harus jadi tenaga kerja ilegal di sana, dan diperlakukan bak penjenayah
haram jadah

Bisakah Selera Anak Dibentuk?]


Anak terbiasa mengekor selera orang lain maka dia akan sulit mengekspresikan diri dan
sulit menentukan minatnya.
Hani (30 tahun) sungguh merasa tidak berkenan melihat penampilan teman-teman Lody
(10 tahun) yang bertandang ke rumah. Penampilan dan sikap teman-teman Lody dinilai
Hani berantakan,dan berlaku tidak sopan. Sepulang teman-temannya, Hani tak sabar
untuk segera menegur Lody. "Kamu jangan meniru teman-temanmu itu ya. Mereka
sungguh tidak sopan. Kok kamu mau berteman dengan mereka? kata Hani. Sedangkan,
Lody merasa kebingungan dengan situasi yang ada.
Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani, Sani B Hermawan Psi, mengatakan, umumnya
selera pada anak masih bersifat umum dan sederhana. "Artinya minat dan kegemarannya
akan suatu hal masih situasional, misalnya anak menyukai es krim rasa cokelat
dibandingkan strawberry atau anak lebih menyukai bermain playstation dibanding
permainan lego atau seperti kasus diatas," katanya. Biasanya anak hanya bisa merasakan,
namun belum dapat mengemukakan alasannya secara konkret dan jelas seleranya pada
sesuatu. "Tapi, orangtua bisa mengarahkan selera anak," ujarnya.
Sejak lahir, Sani memaparkan, anak memang memiliki kecenderungan yang diturunkan
kedua orangtuanya, yaitu karakter dan temperamen. "Keduanya memiliki potensi yang
berbedabeda pada tiap anak tergantung dari hasil perkawinan karakter yang berpotensi
membentuk selera alami anak," katanya. Misalnya, anak yang bersifat tertutup (introvert)
cenderung menyukai benda-benda berwarna cerah.
Namun, pembentukan selera tergantung dari faktor lingkungan terdekatnya yaitu tingkah
laku orangtua, motivasi lingkungan, penguatan (reinforcement), dan sebagainya.
Misalnya, anak cenderung menyukai warna gelap, namun jika di lingkungannya lebih
banyak warna cerah, maka anak tersebut juga menyukainya. "Makin lama tingkah laku
yang dikuatkan makin terbentuk, sedangkan yang diabaikan akan hilang," ujar Sani.
Senada dengan Sani, Psikolog Klinik Anak RS Pondok Indah, Dra Endang Retno
Wardani Psi berpendapat, pada anak-anak selera lebih kepada peminatan akan sesuatu.
Misalnya, lingkungan yang memiliki kebiasaan membaca akan membuat anak punya
minat lebih pada bidang ini, sekalipun seiring pertambahan umur dan pengalaman anak
akan terbentuk peminatan lain. Misalnya masuk ke dalam lingkungan sekolah anak
memilih ekskul di luar kebiasaannya di rumah.
Endang menambahkan, jika dilihat dalam kehidupan sehari-hari, pembentukan selera tak
lepas dari keputusan orangtua. Misalnya, orangtua membiasakan mengklasifikasikan
jenis pakaian, yaitu pakaian untuk berpergian, di rumah, dan tidur, maka lambat laun
anak bisa menempatkan dirinya dalam berpenampilan. Selain itu, pembentukan selera
sudah bisa diterapkan pada anak sedini mungkin melalui pembiasaan-pembiasaan, seperti
jika ingin pergi anak diminta menggunakan baju rapi, mencuci tangan sebelum makan,
atau memberikan permainan edukatif. Seiring pertambahan usia, aturan akan lebih
kompleks dan pemahaman anak sejalan dengan perkembangan kognitifnya.

Sani menganjurkan agar orangtua banyak melakukan observasi melalui komunikasi


dengan anak untuk mengetahui minat dan selera anak. Apabila anak belum dapat
berkomunikasi, coba baca bahasa tubuhnya, misalnya ketika anak disodorkan sesuatu
anak menggeleng dan membuang badan atau tersenyum. Namun, jika anak sudah bisa
berkomunikasi, maka akan tampak mana yang disukai anak dan mana yang tidak.
Bersikaplah jeli ketika anak sudah mampu mengutarakan seleranya baik secara abstrak
maupun konkret. Misalnya, anak yang belum bisa bicara akan lebih memilih dibacakan
buku dibanding menonton tv, anak akan menangis saat ibunya menutup buku. Atau ketika
anak berkata 'ingin menjadi dokter' orangtua sebaiknya memberikan respon positif serta
berikan stimulasi dan fasilitas yang menunjang. Anak yang bisa mengutarakan apa yang
ia sukai bisa mengindikasikan keyakinan pada dirinya. Apalagi kemudian anak bisa
mengembangkan ide sederhana menjadi ide yang kreatif, hal ini bisa merangsang
perkembangan fungsi inteligensinya,jelasnya.
Membentuk tingkat selera
Endang menjelaskan, tinggi rendahnya selera dibentuk berdasarkan tatanan norma yang
diajarkan, sehingga jika anak menghadapi suatu kondisi berbeda anak sudah mampu
menilai. Penilaian berdasarkan tingkah laku orangtua yang ditirunya (imitating behavior).
Misalnya, mungkin anak sudah bisa tidak satu selera dengan teman yang bertamu
memakai sandal jepit karena hal itu bertentangan dengan norma yang diajarkan.
Tingkat selera tidak bergantung pada aspek financial semata, meski dari segi ekonomi
sebuah keluarga tergolong sederhana bukan berarti keluarga tersebut memiliki tatanan
pembentukan selera yang buruk. Penempatan tinggi-rendahnya selera tergantung
kepercayaan (belief) seseorang dipengaruhi oleh dianggap penting atau tidaknya suatu
aturan dalam lingkungan keluarga, ujar pengelola klinik Child Growth Development
Centre, Jakarta Selatan, ini.
Perkembangan kognitif juga akan mempengaruhi seberapa besar anak mampu menyerap
aturan-aturan yang abstrak dari lingkungannya yang ditandai dengan munculnya sikap
kritis pada anak. Endang menjelaskan, pemahaman anak akan sesuatu bisa
mempengaruhi pembentukan seleranya kelak, apakah anak sepaham atau tidak dengan
alasan yang diberikan orangtua. Misalnya anak dianjurkan bermain dengan teman di
lingkungan rumahnya saja, awalnya mungkin anak akan mengikuti. Ketika usianya
bertambah, anak mulai menanyakan alasannya, jika hal ini tidak sejalan dengan
pemikirannya maka anak bisa beralih dari aturan tersebut, katanya.
Selain itu, tambah Sani, anak yang memiliki kecenderungan mengeksplorasi lingkungan
berpotensi memiliki selera yang berbeda dengan orangtuanya. Hal ini disebabkan
keinginan bereksperimen yang besar membuat anak mencampur pemahamannya dengan
pengalamannya. Sebaiknya orangtua memberikan stimulasi yang bervariasi, contohnya
pemberian mainan yang tidak melulu mobil-mobilan atau boneka, tapi bisa juga catur,
drum mainan, dan sebagainya.

Kendati demikian, Sani mengatakan, selera anak sangat bisa dibentuk dengan penguatan
melalui pemberian pujian (reward). Jika anak memiliki pilihan selera yang positif,
orangtua bisa memberikan penghargaan dan pujian. Sebaliknya jika mengarah ke hal
yang negatif, seperti anak lebih menyukai bermain yang mengandung unsur kekerasan,
orangtua bisa membatasi dan mengalihkannya. Tujuannya agar anak mengerti sedini
mungkin mana selera yang dapat dikembangkan dan yang tidak,ujar psikolog dari
Children and Family Clinic ini.
Endang menambahkan, dengan pembentukan selera sedini mungkin kelak anak akan
lebih termotivasi dan fokus pada suatu bidang yang diminatinya. Sebaliknya, jika anak
terbiasa mengekor selera orang lain maka dia akan sulit mengekspresikan diri dan sulit
menentukan minatnya. Dengan rasa percaya diri tinggi dan kemampuan untuk berpikir
kreatif akan mendukung anak memiliki rencanarencana di masa mendatang, seperti
menentukan tingkat pendidikan, pekerjaan, pasangan hidup serta kualitas kehidupannya.
Jika lingkungan memahami kecenderungan selera anak dan mengakomodasinya, maka
anak akan lebih mantap tampil di lingkungan, ujar psikolog Sani B Hermawan. Dia
memberikan tips bagaimana orangtua membentuk selera anak,
1. Memahami konsep dasar dari selera anak. Pahami kecenderungan anak
berdasarkan perkembangan usianya, misalnya saat usia dua tahun anak gemar
menyanyi, kenali sejauh mana kemampuannya menyanyi. Dengan begitu orangtua
bisa menyusun strategi yang tepat.
2. Tidak memberi label negatif pada selera anak. Jangan langsung berkata 'ya
ampun' atau 'mama gak suka' ketika anak memilih padu padan pakaian yang tidak
cocok. Anak akan menjadi takut dan kurang percaya diri dalam menyampaikan
seleranya kelak.
3. Mengenalkan anak pada selera lain yang ada pada lingkungan. Namun,
lingkunan perlu juga merangsang halhal lain agar anak memiliki pengalaman
baru dan menambah pengayaan pengetahuan.
4. Tidak memaksakan kehendak. Selama anak tidak berkeberatan dengan apa
yang Anda tawarkan bisa dikatakan itu hal positif. Jika tidak, jangan terburu-buru
memaksakan kehendak Anda mungkin anak memiliki alasan yang logis.
5. Memberi reinforcement berupa pujian pada halhal yang ingin dibentuk.

Di Mana Anak-anak Kita Bermain?


Jess...jess...jess....pom pom!
Empat bocah lelaki itu tak terpengaruh akan suara kereta api yang akan singgah di
Stasiun Cikudapateuh Bandung, tepat di seberang lokasi mereka bermain. Belasan
kelereng dikumpulkan. Lalu, mereka bersiap melemparkan kojo.
Ber! maneheun ayeuna! sergah seorang bocah
Ah, maneh mah licik. Pan urang enggeus tadi, jawab temannya.
Tempat bocah-bocah itu bermain hanyalah jalan setapak berukuran tak lebih
dari 1,5 meter yang berada beberapa centimeter saja dari bantalan rel kereta api. Setiap
siang, sepulang sekolah, bocah-bocah itu bermain di sana. Kalau tak bermain kelereng,
mereka bermain pedang-pedangan
Apa yang berlangsung di sana, di seberang Stasiun Cikudapateuh itu hanyalah
sebuah contoh. Betapa Bandung, sebagaimana kota besar lainnya di Indonesia, sudah tak
sedemikian ramah terhadap anak. Soal ini, sebenarnya, sudah diprediksi oleh badan
PBB yang khusus mengurus anak, yakni UNICEF. Bahwa lebih dari separuh anak di kota
kehilangan tempat bermain. Anak-anak itu bermain di lahan-lahan tak resmi, seperti
jalan, bantaran kali, dan itu tadi...bantalan rel kereta api.
Pakar planologi Merina Burhan mencatat semakin hilangnya lahan bermain anak
sebagai salah satu sebab dari economic booming. Arus urbanisasi meningkat pesat. Ia
mencatat, penduduk urban sudah mencapai angka 34,4% dari seluruh penduduk
Indonesia, dengan tingkat pertumbuhan 4,7% per tahun. Bandingkan dengan angka
pertumbuhan penduduk Indonesia yang rata-rata 1,5% per tahun.
Berdasarkan penelitiannya, rata-rata, anak Indonesia bermain selama 2 jam setiap
hari--sama dengan kebanyakan anak di negara-negara Asia lainnya--. Satu jam lebih
singkat dari kebanyakan anak di Amerika dan Eropa Barat.
Soal bermain ini, anak Indonesia (bersekolah SD- red.) dapat dibagi menjadi dua
kelompok. Pertama, anak dari kalangan menengah-atas dan bersekolah bonafide. Kedua,
anak dari kelas menengah-bawah, kebanyakan bersekolah negeri. Kelompok pertama
cenderung bermain di dalam rumah (sendirian), sementara kelompok kedua cenderung
bermain di luar rumah (bersama teman).
Anak pada kelompok pertama cenderung bermain dengan teman seusia dalam
kelompok kecil (biasanya teman di sekolah). Sementara, anak kelompok kedua
cenderung bermain dengan teman berbeda usia dalam kelompok yang lebih besar,
kebanyakan tetangga.
Anak-anak pada kelompok pertama cenderung memilih permainan
video/computer game di dalam rumah. Sementara, anak-anak dari kelompok kedua
cenderung memilih permainan bersifat physically active, seperti sepak bola, selain juga
karena fasilitas permainan elektronik yang tidak terjangkau.
Di sinilah masalahnya. Berdasarkan catatan, lebih dari 60% anak Indonesia justru
tergolong ke dalam kelompok kedua. Memang, kebanyakan anak, berada di pinggiran
kota dan pedesaan. Di situ, masih tersedia cukup lahan bermain buat mereka. Pada akhir
dekade 1990-an, berdasarkan catatan, anak-anak di perkotaan masih memiliki lahan
untuk bermain seluas 2.000 meter persegi per anak. Kondisi tersebut sebenarnya masih
sangat jauh jika dibandingkan dengan anak-anak di Barat dengan 10.000 meter persegi
per anak. Saat ini, entah berapa luas lahan yang masih tersisa buat anak bermain?

Tak terwujudnya sebuah taman bermain di setiap wilayah atau sebatas RT tak
lepas dari ketidakpedulian terhadap hak-hak anak. Padahal, seyogianya anak memiliki
suara pada setiap keputusan yang dilakukan para pengambil kebijakan. Dari jumlah
keseluruhan penduduk Kota Bandung yang mencapai 2 juta orang, jumlah anak mencapai
sepertiganya. Klasifikasi anak berdasarkan badan PBB, UNICEF merupakan penduduk
yang berusia 0-18 tahun, termasuk janin di dalam kandungan.
Jumlah sepertiga tak dapat dipandang sebelah mata. Jika saja mereka dapat
menduduki posisi dewan yang mewakili rakyat, sepertiga kursi DPRD di Kota Bandung
seharusnya diisi anak-anak.
Keadaan tersebut sangat kontras dengan berbagai kebijakan yang dibuat oleh para
pengambil kebijakan selama ini. Hak-hak anakyang dilindungi undang-undang
seakan terpinggirkan. Berbagai produk hukum di Kota Bandung seakan tak pernah
berpihak kepada anak. Sebagai contoh, revisi perda RTRW yang baru saja disahkan sama
sekali tak berpihak kepada anak-anak, protes Eko Kriswanto, aktivis anak dari Yayasan
Bahtera.
Sebuah rencana aksi kota yang jelas dan berpihak untuk anak, menurut Eko,
seharusnya menjadi pertimbangan utama. Apa salahnya dalam setiap perencanaan kota
dirumuskan dibangunnya lahan bermain baru untuk anak. Jangan hanya berpatokan pada
sisi ekonomi maupun bisnis, ucapnya lagi.
Pendapat Eko mungkin saja benar. Saat ini, akan sangat sulit menemukan tempat
bermain di Kota Bandung. Data Kementerian Lingkungan Hidup RI pada 2003 lalu
mencatat bahwa luas taman kota di Kota Bandung mencapai 114 hektare saja atau sekira
0,68% dari luas wilayah Kota Bandung yang mencapai 16.729 hektare.
Halaman sekolah juga seharusnya dapat digunakan anak-anak untuk bermain.
Namun, tak sedikit sekolah di kota ini yang tak memiliki lahan bermain. Anak-anak pun
kemudian bermain pada tempat di mana keselamatan dan keamanan terabaikan.
Sempitnya lahan bermain anak juga diduga memicu kenaikan anak jalanan. Data
Dinas Sosial Prov. Jabar 2003 menyebutkan, anak jalanan di Kota Bandung mencapai
4.626 orang, sementara di Jawa Barat 20.665 orang. Berdasarkan penelitian, sekira 80%
darianak jalanan di Kota Bandung merupakan anak rumahan. Dalam artian, mereka
memiliki rumah dan orang tua, dan menjadikan jalanan sebagai tempat bermain, tutur
Eko Kriswanto dari Yayasan Bahtera.
Ironisnya, fenomena sempitnya lahan bermain di Kota Bandung menjadi lahan
bisnis. Ada uang, ada lahan bermain. Kenyataan ini dapat dilihat dengan maraknya jenis
permainan yang ditawarkan mal, misalnya.
Selain soal lahan, Merina Burhan menduga bahwa sistem pendidikan di sekolah
dasar dan tingkat persaingan mengakibatkan waktu bermain semakin berkurang. Anak
usia sekolah dasar (bahkan sejak di TK) telah dibebani berbagai pelajaran tambahan dan
kursus-kursus privat lainnya. Alhasil, waktu anak untuk bermain hanya terbatas dengan
teman sekolah dan pada jam istirahat. Kenyataan di atas mengakibatkan anak Indonesia
tak saja kehilangan tempat, tetapi juga kehilangan waktu bermain mereka.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jabar, Ny. S. Roediono, S.H.
dan praktisi perlindungan anak, Prof. H. Sambas Wiradisuria, dr., menegaskan, aktivitas
bermain dapat sekaligus berfungsi untuk belajar.Faktor kreativitas dan kecerdasan anak
akan terangsang dengan aktivitas bermain.

Hilangnya kesempatan bermain telah mengucilkan anak dari interaksi sosial


dalam masyarakat. Jika anak-anak menjadi lebih egois dan individualis, itu bisa
menunjukkan rendahnya kualitas dan kuantitas lingkungan bermain anak.
Kapan ya Bandung menjadi kota yang ramah anak? (Hazmirullah/Deni
Yudiawan/PR)

Belajar Lebih Penting Daripada Bermain?


Sepenggal pembicaraan diatas menunjukkan betapa anak-anak sangat senang
bermain dengan mainannya. Mereka sangat menikmati waktu bermain sehingga tidak
jarang mereka lupa makan, lupa belajar bahkan tidak mau melakukan aktivitas lainnya
jika sedang bermain. Orangtua pun harus tarik urat dahulu jika menyuruh anaknya
berhenti bermain dan mau mengerjakan pekerjaan rumah (pr) atau belajar. Hal ini
seringkali menyebabkan orangtua menganggap bahwa anaknya malas belajar dan maunya
cuma bermain saja.
Benarkah anak-anak kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain
daripada belajar? Jika mau melihat secara lebih cermat dan memperbandingkannya
dengan anak-anak pada masa sebelumnya (era 1970 - 1980an), sebenarnya justru terlihat
kalau anak-anak masa sekarang lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar daripada
bermain jika dibandingkan dengan anak-anak pada masa sebelumnya. Beberapa kritikan
dari para ahli pendidikan tentang kurangnya waktu bagi anak untuk bersosialisasi dan
mengembangkan hobby atau bakatnya (termasuk bermain) karena sebagian besar waktu
terpakai untuk kegiatan-kegiatan belajar demi mengejar prestasi akademik di sekolah
sudah sangat sering kita dengar. Sekolah-sekolah untuk anak-anak bahkan ada yang
sudah dimulai dari anak umur 1,5 tahun (walaupun sekolah usia ini tentunya belum mulai
belajar). Banyak TK yang menekankan kurikulumnya untuk mengajar anak membaca,
menulis dan berhitung, bukan lagi sekedar bermain-main. Anak-anak SD bersekolah
dengan waktu sekolah yang lebih panjang. Pulang sekolah anak masih harus mengikuti
bermacam-macam les, misalnya kumon, sempoa, menggambar, balet, piano, komputer,
dll. Selain untuk sekolah dan les, anak-anak juga masih perlu waktu untuk mengerjakan
pr, mandi, makan dan istirahat (tidur). Jika melihat kenyataan ini, jadi kapan dong waktu
anak-anak untuk bermain? Lalu sebenarnya, apakah anak-anak memang malas belajar
atau mereka memang tidak cukup waktu untuk bermain
Orangtua sekarang ini seringkali sangat ambisius terhadap anak-anaknya, mereka
ingin anaknya sepintar mungkin, dan diwujudkan dengan mengikutkan anak pada
berbagai macam les untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan yang telah diperoleh
anak di sekolahnya. Hal tersebut memang tidak salah, namun kebutuhan anak untuk
bermain hendaknya jangan diabaikan karena bermain adalah hal yang penting bagi
perkembangan fisik dan mental anak
Bermain
Papalia (1995), seorang ahli perkembangan manusia dalam bukunya Human
Development, mengatakan bahwa anak berkembang dengan cara bermain. Dunia anakanak adalah dunia bermain. Dengan bermain anak-anak menggunakan otot tubuhnya,
menstimulasi indra-indra tubuhnya, mengeksplorasi dunia sekitarnya, menemukan seperti
apa lingkungan yang ia tinggali dan menemukan seperti apa diri mereka sendiri. Dengan
bermain, anak-anak menemukan dan mempelajari hal-hal atau keahlian baru dan belajar
(learn) kapan harus menggunakan keahlian tersebut, serta memuaskan apa yang menjadi
kebutuhannya (need). Lewat bermain, fisik anak akan terlatih, kemampuan kognitif dan
kemampuan berinteraksi dengan orang lain akan berkembang.
Bermain tentunya merupakan hal yang berbeda dengan belajar dan bekerja.
Menurut Hughes (1999), seorang ahli perkembangan anak dalam bukunya Children,

Play, and Development, mengatakan harus ada 5 (lima) unsur dalam suatu kegiatan yang
disebut bermain. Kelima unsur tersebut adalah :
Tujuan bermain adalah permainan itu sendiri dan si pelaku mendapat kepuasan
karena melakukannya (tanpa target), bukan untuk misalnya mendapatkan uang.
Dipilih secara bebas. Permainan dipilih sendiri, dilakukan atas kehendak sendiri
dan tidak ada yang menyuruh ataupun memaksa.
Menyenangkan dan dinikmati.
Ada unsur kayalan dalam kegiatannya.
Dilakukan secara aktif dan sa
Di luar pendapat Hughes, ada ahli-ahli yang mendefinisikan bermain sebagai
apapun kegiatan anak yang dirasakan olehnya menyenangkan dan dinikmati (pleasurable
and enjoyable). Bermain dapat menggunakan alat (mainan) ataupun tidak. Hanya sekedar
berlari-lari keliling di dalam ruangan, kalau kegiatan tersebut dirasakan menyenagkan
oleh anak, maka kegiatan itupun sudah dapat disebut bermain.

Anakku Malas Belajar


Pada artikel sebelum ini telah dibahas mengenai kebutuhan anak untuk bermain. Pada
artikel ini akan dibahas mengenai anak belajar. Anak usia sekolah tentunya perlu untuk
belajar, entah mengulang kembali pelajaran yang sudah diberikan di sekolah, mengerjakan
pekerjaan rumah (pr) ataupun mempelajari hal-hal lain di luar pelajaran sekolah.
Pentingnya belajar tanpa harus dibicarakan panjang lebar pasti sudah disadari oleh seluruh
orangtua.
Keluhan yang datang dari orangtua pada umunya lebih banyak menyangkut anaknya terlalu
banyak bermain daripada orangtua yang anaknya terlalu banyak belajar. Bahkan kalau anak
sangat rajin belajar, pastilah orangtua memamerkannya ke orang-orang dengan nada
bangga, "Iya loh Pak Dani, anak saya itu belajarnya rajin sekali. Pulang sekolah belajar,
bangun tidur siang belajar, terus malam kalau bapaknya sudah pulang ya belajar lagi.
Makanya anak saya itu pintar sekali, apa-apa tahu. Kadang-kadang malah saya yang nggak
tahu".
Lain lagi kalimatnya jika anak terlalu banyak bermain, "Aduuuuuuh Pak Dani, anak saya ini
kerjanya main melulu.... Siang main, sore main, malam juga main. Saya dan bapaknya kalau
mau menyuruh dia belajar, harus teriak-teriak dulu, mengancam dulu, baru dia mau belajar.
Pusing saya jadinya. Sudah begitu perkalian saja tidak hafal".

Penyebab
Kalau anak enggan belajar, tentunya perlu dicari tahu sebab-musababnya, baru kemudian
diambil suatu tindakan. Beberapa sebab mengapa anak enggan belajar, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Kurangnya waktu yang tersedia untuk bermain (sudah dibahas pada artikel yang lalu).
2. Sedang punya masalah di rumah (misalnya suasana di rumah sedang "kacau" karena ada
adik baru).
3.

Bermasalah di sekolah (tidak suka/phobia sekolah, sehingga apapun yang berhubungan


dengan sekolah jadi enggan untuk dikerjakan).

4. Sedang sakit.
5. Sedang sedih (bertengkar dengan teman baik, kehilangan anjing kesayangan)
6.

Tidak ada masalah atau sakit apapun, juga tidak kurang waktu bermain (malahan
kebanyakan), hanya memang MALAS.

Malas
Dalam Kamus Bahasa Indonesia oleh Muhammad Ali, malas dijabarkan sebagai tidak mau
berbuat sesuatu, segan, tak suka, tak bernafsu. Malas belajar berarti tidak mau, enggan,
tak suka, tak bernafsu untuk belajar.
Kalau anak-anak tidak suka belajar dan lebih suka bermain, itu berarti belajar dianggap
sebagai kegiatan yang tidak menarik buat mereka, dan mungkin tanpa mereka sadari juga
dianggap sebagai kegiatan yang tidak ada gunanya/untungnya karena bagi ana-anak tidak
secara langsung dapat menikmati hasil belajar. Berbeda dengan kegiatan bermain, jelasjelas kegiatan bermain menarik buat anak-anak, dan keuntungannya dapat mereka rasakan
secara langsung (perasaan senang yang dialami ketika bermain adalah suatu keuntungan).

Motivasi

Dalam dunia psikologi, dorongan yang dirasakan seseorang untuk melakukan sesuatu disebut
sebagai motivasi. Motivasi tersebut dapat berasal dari dalam maupun dari luar diri
seseorang.
Morgan (1986) dalam bukunya Introduction To Psychology, menjelaskan beberapa teori
motivasi:
1. Teori insentif
Dalam teori insentif, seseorang berperilaku tertentu untuk mendapatkan sesuatu.
Sesuatu ini disebut sebagai insentif dan adanya di luar diri orang tersebut. Contoh
insentif yang paling umum dan paling dikenal oleh anak-anak misalnya jika anak naik
kelas akan dibelikan sepeda baru oleh orangtua, maka anak belajar dengan tekun untuk
mendapatkan sepeda baru. Insentif biasanya hal-hal yang menarik dan menyenangkan,
sehingga anak tertarik mendapatkannya. Insentif, bisa juga sesuatu yang tidak
menyenangkan, maka orang berperilaku tertentu untuk menghindar mendapatkan
insentif yang tidak menyenangkan ini. Dapat juga terjadi sekaligus, orang berperilaku
tertentu untuk mendapatkan insentif menyenangkan, dan menghindar dari insentif tidak
menyenangkan.
2. Pandangan hedonistik
Dalam pandangan hedonistik, seseorang didorong untuk berperilaku tertentu yang akan
memberinya perasaan senang dan menghindari perasaan tidak menyenangkan.
Contohnya: anak mau belajar karena ia tidak ingin ditinggal ibunya ke
pasar/supermarket.
Dari uraian di atas, dapat diasumsikan anak yang malas tidak merasa adanya insentif yang
menarik bagi dirinya dan ia pun tidak merasakan perasaan menyenangkan dari belajar.

Memberikan Dorongan Agar Anak Mau Belajar


Sehubungan dengan teori motivasi di atas tentunya bisa dikatakan dengan mudah, ayo kita
berikan dorongan agar anak mau belajar. Tapi dorongan seperti apa yang dapat diberikan
kepada anak?
Berikut ini adalah beberapa buah saran:
1. Berikan insentif jika anak belajar. Insentif yang dapat diberikan ke anak tidak selalu
harus berupa materi, tapi bisa juga berupa penghargaan dan perhatian. Pujilah anak
saat ia mau belajar tanpa mesti disuruh (peristiwa ini mungkin jarang terjadi, tapi jika
saat terjadi orangtua memperhatikan dan menunjukkannya, hal tersebut bisa menjadi
insentif yang berharga buat anak). Pujian selain merupakan insentif langsung, juga
menunjukkan penghargaan dan perhatian dari orangtua terhadap anak. Anak seringkali
haus perhatian dan senang dipuji. Jadi daripada memberikan perhatian ketika anak
tidak mau belajar dengan cara marah-marah, dan ketika belajar tanpa disuruh orangtua
tidak memberikan komentar apapun, atau hanya komentar singkat tanpa kehangatan,
akan lebih efektif perhatian orangtua diarahkan pada perilaku-perilaku yang baik.
2.

Terangkan dengan bahasa yang dimengerti anak, bahwa belajar itu berguna buat
anak. Bukan sekedar supaya raport tidak merah, tapi misalnya dengan mengatakan
"Kalau Ade rajin belajar dan jadi pintar, nanti kalau ikut kuis di tv bisa menang loh,
dapat banyak hadiah. Kan kalau anak pintar, bisa menjawab pertanyaanpertanyaannya".

3.

Sering mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang diajarkan di sekolah pada


anak (bukan dalam keadaan mengetes anak, tapi misalnya sembari mengisi tts atau ikut
menjawab kuis di tv). Jika anak bisa menjawab, puji dia dengan menyebut
kepintarannya sebagai hasil belajar. Kalau anak tidak bisa, tunjukkan rasa kecewa dan
mengatakan "Yah Ade nggak bisa jawab, nggak bisa bantu Mama deh. Ade, di buku

pelajarannya ada nggak sih jawabannya? Kita lihat yuk sama-sama". Dengan cara ini,
anak sekaligus akan merasa dipercaya dan dihargai oleh orangtua, karena orangtua mau
meminta bantuannya.
4. Banyak lembaga pra-sekolah yang mengajarkan kepada anak pelajaran-pelajaran dengan
metode active learning atau learning by doing, atau learning through playing, salah
satu tujuannya adalah agar anak mengasosiasikan belajar sebagai kegiatan yang
menyenangkan. Tapi seringkali untuk anak-anak SD, hal ini agak sulit dipraktekkan,
karena mulai banyak pelajaran yang harus dipelajari dengan menghafal. Untuk keadaan
ini, hal minimal yang dapat dilakukan adalah mensetting suasana belajar. Jika setiap
kali pembicaraan mengenai belajar berakhir dengan omelan-omelan, ia akan
mengasosiasikan suasana belajar sebagai hal yang tidak memberi perasaan
menyenangkan, dengan demikian akan dihindari.

Membuat Suasana Belajar Lebih Menyenangkan


Selain tidak sering-sering memarahi anak ketika belajar, ada beberapa hal lain yang perlu
diperhatikan agar suasana belajar lebih menyenangkan dan anak mau belajar. Hal-hal
tersebut adalah:
1. Anak cenderung meniru perilaku orangtua, karena itu jadilah contoh buat anak. Ketika
menyuruh dan mengawasi anak belajar, orangtua juga perlu untuk terlihat belajar
(misalnya membaca buku-buku). Sesekali ayah-ibu perlu berdiskusi satu sama lain,
mengenai topik-topik serius (suasana seperti anak sedang kerja kelompok dan diskusi
dengan teman-teman, jadi anak melihat kalau orangtuanya juga belajar). Dengan
demikian, anak melihat bahwa orangtuanya sampai tua pun tetap belajar.
2. Pilih waktu belajar terbaik untuk anak, ketika anak merasa segar. Mungkin sehabis
mandi sore. Anak juga bisa diajak bersama-sama menentukan kapan waktu belajarnya.
3. Anak butuh suatu kepastian, hal-hal yang dapat diprediksi. Jadi jadikan belajar sebagai
rutinitas yang pasti. Misalnya ketika sudah ditentukan, waktu belajar adalah 2 jam
setiap hari, pukul 17.00-19.00, maka pada jam tersebut harus digunakan secara
konsisten sebagai waktu belajar. Kecuali disebabkan hal-hal yang mendesak, misalnya
anak baru sampai rumah pukul 16.30, tentunya tidak bijaksana memaksa anak harus
belajar pukul 17.00, karena masih lelah.
4. Anak punya daya konsentrasi dan rentang perhatian yang berbeda-beda. Misalnya ada
anak yang bisa belajar terus-menerus selama 1 jam, ada yang hanya bisa selama
setengah jam. Kenali pola ini dan susunlah suatu jadwal belajar yang sesuai. Bagi
anak yang hanya mampu berkonsentrasi selama 30 menit, maka berikan waktu istirahat
5-10 menit setelah ia belajar selama 30 menit. Demikian untuk anak yang mampu
belajar lebih lama.
5. Dalam artikel di Tabloid Nova edisi Maret 2002, disarankan agar orangtua menemani
anak ketika belajar. Dalam hal ini orangtua tidak perlu harus terus-menerus berada di
samping anak karena mungkin Anda sebagai orangtua memiliki pekerjaan. Namun paling
tidak ketika anak mengalami kesulitan, Anda ada di dekatnya untuk membantu.
Demikian hal-hal yang dapat disarankan untuk membantu orangtua memberikan motivasi
anak agar mau belajar. Semoga berguna dan dapat berhasil diterapkan. Orangtua senang,
tidak lelah berteriak-teriak dan marah-marah, anak pun senang tidak dimarahi dan merasa
menyukai kegiatan belajar

Televisi, teman atau musuh


Anak-anak suka sekali menonton teve. Memang, teve bermanfaat buat anak. Tapi jika tidak
dibatasi dan diawasi, justru berbahaya. "Ayo, makan dulu! Dari tadi, kok, di depan teve terus."
Kalimat seperti ini, pasti pernah terlontar dari orangtua kepada anaknya. Terutama anak usia
prasekolah, yang menurut penelitian memang menunjukkan minat lebih besar pada teve
ketimbang anak usia sekolah. Sebabnya? Antara lain, anak balita cenderung terbatas teman
bermainnya, masih lebih banyak tinggal di rumah, dan belum mampu bersikap kritis mengenai
segala sesuatu yang dilihatnya di layar kaca. Tapi kebiasaan juga pegang peranan dalam hal ini.
Banyak anak sudah dibiasakan nonton TV sejak masih bayi.
Ada orangtua menjadikan TV sebagai babysitter karena tak mau repot. Biar anaknya anteng, si
kecil didudukkan di depan teve. "Bahkan ada yang untuk makan, harus sambil nonton TV. Kalau
tidak, anaknya tak mau makan," kata psikolog Hera L. Mikarsa. Jelas, si kecil tak begitu saja
tertarik pada TV jika Anda tak pernah memperkenalkan ia pada TV. Dan ia tak akan pernah
kecanduan nonton TV jika Anda tak membiarkan ia nonton kapan saja sesuka hatinya tanpa ada
batas. Bukan berarti si kecil dilarang sama sekali nongkrong di muka layar kaca.

TV, sarana belajar perilaku sosial


Bagaimanapun, TV merupakan salah satu media belajar bagi anak dan bisa memberi pengaruh
positif terhadap tumbuh kembangnya. Yang penting, mencegahnya agar tak sampai kecanduan
nonton TV. Ingatlah, anak usia ini sedang dalam tahap mengembangkan perilaku sosial. Ia harus
mendapat banyak kesempatan bermain dengan teman-temannya. Karena itu, tegas Hera,
jangan jadikan TV sebagai pengganti bentuk bermain. "Nonton TV itu, kan, cenderung pasif. Tak
ada interaksi dua arah. Beda jika ia main dengan teman-temannya. Ia akan aktif, entah
fisiknya, komunikasi, atau sosial. Jadi, ada timbal-balik, belajar saling memberi," jelas Ketua
Program Profesi pada Fakultas Psikologi UI ini.
Selain itu, anak usia ini sedang kuat-kuatnya meniru, entah perilaku atau omongan. Apa yang ia
dengar dan lihat, ia ucapkan dan lakukan tanpa ia mengerti. Sering, kan, kita melihat serta
mendengar, betapa fasihnya (meski masih cadel) si kecil menirukan iklan atau nyanyian yang
dilihatnya di teve? CUKUP 40-45 MENIT Untuk mengurangi dampak negatif teve, Hera
menganjurkan, batasi waktu nonton TV, sekitar 40-45 menit bagi anak usia ini. Hera juga
menyarankan, sebagaimana dianjurkan banyak pakar, dampingi anak saat nonton TV dan
pilihkan program-program yang layak untuk ia tonton. "Anda tak bisa menjadikan TV sebagai
baby-sitter jika Anda mau mendidik anak menjadi pemirsa yang kritis," tukas Hera. Apa juga,
TV hanyalah sebuah benda mati.

Perlu Pendampingan dan Pengawasan


Anda tak dapat menyalahkan TV jika anak lebih suka duduk berjam-jam di depan TV ketimbang
melakukan aktivitas bermain lainnya atau ia jadi suka berkelahi gara-gara sering menyaksikan
adegan kekerasan di TV. Seberapa besar pengaruh TV dan apakah pengaruhnya baik atau buruk
terhadap anak Anda, menurut Elizabeth B. Hurlock, pakar psikologi perkembangan, ditentukan
oleh jumlah bimbingan dan pengawasan terhadap anak yang menonton TV. Jika Anda
menyediakan waktu untuk menafsirkan apa yang dilihat anak di layar TV, ia akan mengerti dan
menafsirkan apa yang dilihatnya dengan benar. Selanjutnya, dengan bimbingan dan pengawasan
atas program yang akan ditontonnya, ia dapat mempelajari pola perilaku dan nilai yang sehat
yang akan membimbing ke arah sosialisasi yang baik dan tidak ke nilai serta pola perilaku yang
tak sehat.
Kenapa ia harus didampingi? Kemampuan berpikir anak masih terbatas. Ia akan mengalami
kesulitan mengikuti alur cerita karena keterbatasannya membedakan isi yang penting dan

pokok dengan isi insidental yang bersinggungan dengan pokok utama. Sebuah isi insidental
(Aldo yang gemuk jatuh tertelungkup) bisa tampak sama pentingnya dengan tema utama (Aldo
dan kelompoknya hendak membantu seorang anak perempuan yang sedih karena orangtuanya
bertengkar).
Ia pun mengalami kesulitan untuk memadukan unsur-unsur cerita yang berbeda yang terjadi
pada waktu berlainan. Ia mungkin tak mampu menghubungkan satu adegan yang
menggambarkan seorang pria bertopeng yang tengah merampok bank dengan adegan
berikutnya setengah jam kemudian yang menggambarkan seorang pria ditangkap dan
dipenjarakan.
Akhirnya, kesimpulan seorang ahli berikut ini patut Anda simak. "Jika Anda menggunakan TV
sebagai penjaga anak sehingga mengabaikan hubungannya dengan orang lain, jelas Anda lalai.
Jika Anda tak memperkenalkan buku kepada anak-anak hanya karena adanya TV, maka Anda
bertindak ceroboh. Jika Anda tak membantu anak untuk membangun hubungan yang baik
dengan teman sebayanya hanya karena TV 'menjaga mereka di rumah', maka Anda benar-benar
bersalah terhadap mereka."

Apa Yang Anak Serap Dari TV? Jawabannya, banyak sekali. Semua program TV dan siaran
iklan yang menyertainya, menyampaikan pesan yang berbeda-beda dan mengajarkan hal yang
lain pula. Satu hal yang dicemaskan banyak orangtua ialah anak belajar kekerasan dari TV. Ini
bisa dipahami. Sebab, tak sedikit adegan kekerasan muncul di layar TV, mulai dari
pertengkaran mulut sampai perkelahian dan pembunuhan. Bukan cuma dalam program-program
tayangan dewasa, tapi juga anak-anak. Anda tak dapat menghindari ini, tapi bisa mencegah
pengaruh buruknya. Jelaskan padanya, orang-orang yang ia lihat di TV adalah aktor dan mereka
melakukan itu tidak dengan sungguh-sungguh.
Atau, hapuskan semua program yang lebih banyak mengeksploitir adegan kekerasan dari daftar
program TV yang sudah Anda pilih untuk anak. Jangan pula izinkan si kecil menonton program
untuk dewasa. Pelajaran lain dari TV yang perlu diwaspadai ialah stereotipe sosial tentang
wanita, pria, minoritas, orang lanjut usia, dan banyak kelompok lain, termasuk anak-anak.
Stereotipe ini kadang dilebih-lebihkan. Misalnya, pria selalu digambarkan jadi pemimpin dalam
mengatasi keadaan sementara yang wanita tetap pasif atau tak berdaya. Anak-anak belajar dari
penggambaran ini terutama bila mereka hanya mempunyai sedikit kontak dengan kelompok
yang digambarkan. Sebagaimana adegan kekerasan, Anda pun tak dapat menghindari adeganadegan yang menggambarkan stereotipe sosial ini. Nah, berilah gambaran yang tepat pada anak
tentang hal yang sebenarnya berlaku di masyarakat. Bukan cuma lewat kata-kata tapi juga
harus diperkuat oleh perilaku Anda sehari-hari.
Bagaimana Anda sehari-hari bersikap terhadap anak Anda, misalnya, merupakan contoh
bagaimana seharusnya orang dewasa memperlakukan seorang anak. Atau, bagaimana ayah
memperlakukan ibu dan bagaimana ibu memperlakukan ayah, akan memberikan gambaran
pada anak tentang bagaimana seharusnya seorang pria memperlakukan wanita dan sebaliknya.
Ingatlah, TV akan memberikan pengaruh yang nyata pada anak, antara lain tergantung dari
seberapa banyak anak dapat mengingat hal-hal yang ia tonton dan seberapa baik
pemahamannya terhadap apa yang ia tonton. Jika ia menafsirkan kekerasan atau stereotipe
sosial di TV sebagai pola perilaku yang direstui masyarakat dan model yang benar untuk ditiru,
maka pengaruhnya akan sangat berbeda ketimbang bila ia menafsirkannya sebagai pola
perilaku yang tak direstui dalam masyarakat

Memacu IQ Selagi Ada Waktu


Anak cerdas tentu dambaan setiap orang, sebab kecerdasan merupakan modal tak ternilai bagi si anak untuk
mengarungi kehidupan di hadapannya. Beruntung kecerdasan yang baik ternyata bukan harga
mati, melainkan dapat diupayakan.
Dr. Bernard Devlin dari Fakultas Kedokteran Universitas Pittsburg, AS, memperkirakan faktor genetik Cuma
memiliki peranan sebesar 48% dalam membentuk IQ anak. Sisanya adalah faktor lingkungan, termasuk
ketika si anak masih dalam kandungan.
Untuk menjelaskan peran genetika dalam pembentukan IQ anak, seorang pakar lain di bidang genetika dan
psikologi dari Universitas Minnesota, juga di AS, bernama Matt McGue, mencontohkan, pada keluarga kerajaan
yang memiliki gen elit, keturunannya belum tentu akan memiliki gen elit.
"Keluarga bangsawan yang memiliki IQ tinggi umumnya hanya sampai generasi kedua atau ketiga. Generasi
berikutnya belum diketahui secara pasti, karena mungkin saja hilang, meski dapat muncul kembali pada generasi
kedelapan atau berikutnya," ungkap McGue. "Orang tua yang memiliki IQ tinggi pun bukan jaminan dapat
menghasilkan anak ber-IQ tinggi pula." Ini menunjukkan genetika bukan satu-satunya faktor penentu tingkat
kecerdasan anak.
Faktor lingkungan, dalam banyak hal, justru memberi andil besar dalam kecerdasan seorang anak. Yang imaksud
tak lain adalah upaya memberi "iklim" tumbuh kembang sebaik mungkin sejak si anak masih dalam kandungan gar
kecerdasannya dapat berkembang optimal. Dengan gizi dan perawatan yang baik misalnya, si Polan bisa cerdas.
tau dengan menjaga kesehatan secara baik dan menghindari racun tubuh selagi ibunya mengandung dia, si Putri
dapat memiliki intelegensia baik. Begitu pula dengan memberikan kondisi psikologis yang mendukung, angka IQ si
Tole lebih tinggi dari teman sebayanya. Gizi, perawatan, dan lingkungan psikologis itulah faktor lingkungan
penentu kecerdasan anak. Kisah Helen dan Gladys, sepasang bayi kembar, bisa menjadi salah satu buktinya. ada
usia 18 bulan mereka dirawat secara terpisah. Helen hidup dan dibesarkan dalam satu keluarga bahagia dengan
lingkungan yang hidup dan dinamis. Sedangkan Gladys dibesarkan di daerah gersang dalam lingkungan "miskin"
rangsangan intelektual. Ternyata saat dilakukan pengukuran, Helen memiliki angka IQ 116 dan berhasil meraih
gelar sarjana dalam bidang Bahasa Inggris. Sebaliknya Gladys terpaksa putus sekolah lantaran sakit-sakitan dan
IQ-nya 7 angka di bawah saudara kembarnya.
Gizi dan perilaku ibu

Dr. Devlin menemukan bukti bahwa keadaan dalam kandungan juga sangat berpengaruh pada
pembentukan kecerdasan. "Ada otak substansial yang tumbuh dalam kandungan," jelasnya. "IQ sangat
tergantung pada bobot ahir bayi. Anak kembar, rata-rata memiliki IQ 4 7 angka di bawah anak lahir
tunggal karena umumnya bayi kembar memiliki bobot badan lebih kecil," tambahnya. Lebih dari 20 tahun
terakhir berbagai penelitian juga mengungkapkan korelasi positif antara gizi, terutama pada masa
pertumbuhan pesat, dengan perkembangan fungsi otak. Ini berlaku sejak anak masih berbentuk janin dalam
rahim ibu. Pada janin terjadi pertumbuhan otak secara proliferatif (jumlah sel bertambah), artinya terjadi
pembelahan sel yang sangat pesat. Kalau pada masa itu asupan gizi pada ibunya kurang, asupan gizi pada
janin juga kurang. Akibatnya jumlah sel otak menurun, terutama cerebrum dan cerebellum, diikuti dengan
penurunan jumlah protein, glikosida, lipid, dan enzim. Fungsi neurotransmiternya pun menjadi tidak
normal.
Dengan bertambahnya usia janin atau bayi, bertambah pula bobot otak. Ukuran lingkar kepala
juga bertambah. Karena itu, untuk mengetahui perkembangan otak janin dan bayi berusia kurang dari
setahun dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan mengukur lingkar kepala janin. Begitu lahir
pun, faktor gizi masih tetap berpengaruh terhadap otak bayi. Jika kekurangan gizi terjadi sebelum usia 8
bulan, tidak cuma jumlah sel yang berkurang, ukuran sel juga mengecil. Saat itu sebenarnya terjadi
pertumbuhan hipertropik, yakni pertambahan besar ukuran sel. Penelitian menunjukkan, bayi yang
menderita kekurangan kalori protein (KKP) berat memiliki bobot otak 15 20% lebih ringan dibandingkan
dengan
bayi
normal.
Defisitnya
bahkan
bisa
mencapai
40%
bila KKP berlangsung sejak berwujud janin. Karena itu, anak-anak penderita KKP umumnya memiliki nilai
IQ rendah. Kemampuan abstraktif, verbal, dan mengingat mereka lebih rendah daripada anak yang
mendapatkan gizi baik.

Asupan zat besi (Fe) juga diduga erat kaitannya dengan kemampuan intelektual. Untuk
membuktikannya, Politt melakukan penelitian terhadap 46 anak berusia 3 5 tahun. Hasilnya
menunjukkan, anak dengan defisiensi zat besi ternyata memiliki kemampuan mengingat dan memusatkan
perhatian lebih rendah. Penelitian Sulzer dkk. juga menunjukkan anak menderita anemia (kurang darah
akibat defisiensi zat besi) mempunyai nilai lebih rendah dalam uji IQ dan kemampuan belajar.
Maka atas dasar hasil penelitian tadi, kita bisa mengatur makanan anak sejak janin. Ketika anak
masih dalam kandungan, si ibu mesti makan untuk kebutuhan berdua dengan gizi yang baik. Perilakunya
juga mesti dijaga agar tidak memberi pengaruh buruk terhadap janin. Pasalnya, perilaku "buruk" ibu hamil,
merokok misalnya, ternyata juga menjadikan IQ anak rendah. Penelitian David L. Olds et. al. (1994) dari
Departement of Pediatrics, University of Colorado di Denver, AS, menunjukkan bayi- bayi yang lahir dari
ibu perokok memiliki faktor potensial ber-IQ rendah, seperti bobot lahir rendah, lingkar kepala lebih kecil,
lahir prematur, dan perawatan saat di ICU lebih lama dibandingkan dengan bayi dari ibu tidak merokok
selama hamil. Anak dari ibu perokok selama hamil pada usia 12 24 bulan memiliki nilai IQ 2,59 angka
lebih rendah, pada 36 48 bulan memiliki nilai IQ 4,35 angka lebih rendah ketimbang IQ anak dari ibu
tidak merokok saat hamil. Menurut David, asap rokok diduga akan mengurangi pasokan oksigen yang
sangat diperlukan dalam proses pertumbuhan sistem syaraf janin. Nikotin rokok akan membuat saluran
utero-plasental menyempit. Akibatnya, sel-sel otak bayi akan menderita hypoxia atau kekurangan oksigen.
Asap rokok juga akan memicu terjadinya proses carboxy hemoglobin, yaitu sel-sel darah yang semestinya
mengikat oksigen malah mengikat CO dari asap rokok. Selain itu, asap rokok juga mengandung sekitar
2.000 4.000 senyawa kimia beracun yang secara langsung mengganggu dan merusak berbagai proses
tumbuh kembang sel- sel dan sistem syaraf. Merokok selama hamil juga berpengaruh pada kekurangan zat
gizi yang diperlukan dalam proses tumbuh kembang sel otak. Misalnya, kebutuhan zat besi akan meningkat
karena harus memenuhi keperluan pembentukan sel-sel darah yang banyak mengalami kerusakan. Hal ini
akan mengurangi kemampuan dan persediaan zat gizi lainnya, seperti vit. B- 12 dan C, asam folat, seng
(Zn), dan asam amino. Zat-zat gizi tsb. dilaporkan sangat diperlukan dalam proses tumbuh kembang sel-sel
otak janin. Jika terjadi kekurangan zat-zat gizi esensial, proses tumbuh kembang otak tidak optimal,
sehingga nilai IQ pun menjadi lebih rendah. Setelah lahir, asupan gizi bagi bayi juga harus dijaga tetap
baik. Idealnya, anak mendapatkan ASI secara eksklusif sampai usia 4 6 bulan. Jenis makanan, selain ASI,
untuk bayi dan anak balita sebaiknya dibuat dari bahan makanan pokok (nasi, roti, kentang, dll.), lauk pauk,
bebuahan, air minum, dan susu sebagai sumber protein dan energi. Jangan lupa, bahan makanan harus
diolah sesuaitahap perkembangan dari lumat, lembek, selanjutnya padat. Secara keseluruhan asupan
makanan sehari harus mengandung 10 15% kalori dari protein, 20 35 % dari lemak, dan 40 60% dari
karbohidrat. Menu seimbang diberikan sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan. Sejak awal balita, jika
memungkinkan, anak diberi susu sebanyak 500 ml. Namun, jika ASI cukup, susu pengganti tidak perlu
diberikan hingga usia dua tahun. Perhatian juga mesti diberikan terhadap jadwal pemberian makanan.
Makan besar tiga kali (sarapan, makan siang, dan malam), makan selingan (makan kecil) dua kali yang
diberikan di antara dua waktu makan besar, air minum diberikan setelah makan dan ketika anak merasa
haus, serta susu diberikan dua kali, yakni pagi dan menjelang tidur malam. Untuk mengetahui kecukupan
gizi pada anak ada dua cara yang bisa digunakan. Pertama cara subjektif, yakni mengamati respon anak
terhadap pemberian makanan. Makanan dinilai cukup jika anak tampak puas, tidur nyenyak, aktifitas baik,
lincah, dan gembira. Anak cukup gizi biasanya tidak pucat, tidak lembek, dan tidak ada tanda-tanda
gangguan kesehatan. Cara kedua adalah dengan pemantauan pertumbuhan secara berkala. Cara ini
dilakukan dengan mengukur bobot dan tinggi anak, dilengkapi dengan mengukur lingkar kepala pada anak
sampai usia 3 tahun. Hasil pengukuran dibandingkan dengan data baku untuk anak sebaya. Jika ditemukan
tanda-tanda kurang sehat, seperti pucat atau rambut tipis dan kemerahan, anak perlu diperiksa secara medis.
Ada baiknya juga dilakukan pemeriksaan psikologis, terutama bila ada kemunduran prestasi belajar.
Tempat tinggal dan cerita
Selain faktor gizi dan perawatan, apa yang dilihat, didengar, dan dipelajari anak, sejak dalam kandungan
sampai usia lima tahun, sangat menentukan intelegensia dasar untuk masa dewasanya kelak. Setelah
usianya melewati lima tahun, secara potensial IQ-nya telah tetap. Dengan begitu, masa itulah merupakan
"kesempatan emas" bagi
kita untuk memacu tingkat kecerdasan anak. Menurut Jean Piaget, psikolog dari Swis, semakin banyak hal
baru
yang dilihat dan didengar, si anak akan semakin ingin melihat dan mendengar segala sesuatu yang ada dan
terjadi di lingkungannya. Karenanya disarankan agar orang tua memperkaya lingkungan tempat tinggal

(kamar tidur atau kamar bermain) bayi dengan warna dan bunyi- bunyian yang merangsang. Umpamanya,
gambar-gambar binatang atau bunga, musik, kicauan burung, dsb. Semuanya mesti tidak menimbulkan
ketakutan dan kegaduhan pada anak.
Para pakar juga yakin lingkungan verbal bagi anak juga tak kalah pentingnya. Bahasa yang didengarkan
anak bisa meningkatkan atau menghambat kemampuan dasar berpikirnya. Penelitian hal ini dilakukan
psikolog Rusia. Ia membayar para ibu keluarga miskin untuk membacakan cerita dengan suara keras untuk
bayi mereka masing-masing selama 15 20 menit setiap hari. Menjelang berusia 1,5 tahun, bayi menjalani
pengukuran. Hasilnya, bayi-bayi itu memiliki kemampuan berbahasa yang lebih baik ketimbang bayi-bayi
seusianya di daerah yang sama.
Penelitian lain dilakukan di sebuah sekolah perawat di New York, AS, terhadap dua kelompok anak usia
tiga tahun. Masing-masing anak diperlakukan secara berbeda. Kelompok pertama diberi pelajaran
berbahasa selama 15 menit setiap hari. Kelompok kedua diberi perhatian khusus juga selama 15 menit
tanpa pelajaran bahasa.
Setelah 4 bulan ternyata kelompok pertama mendapatkan kenaikan intelegensia rata-rata sebesar 14 angka.
Sedangkan kelompok kedua kenaikan rata-ratanya cuma 2 angka. Nah, untuk mendapatkan anak cerdas
ternyata gampang. Cuma dengan memberi makanan sehat, perawatan baik, dan lingkungan psikologis yang
mendukung sejak dalam kandung hingga usia lima tahun, besar kemungkinan harapan kita akan tercapai.
(dr. Audrey Luize)

9 RASA TAKUT DAN CARA MENGATASINYA


Wajar jika batita memiliki rasa takut. Bentuknya juga macam-macam. Yang jelas,
bila ia tak dibantu mengatasi ketakutannya, bisa mengalami fobia.
Ketakutan, kata dr. Ika Widyawati, SpKJ dari Bagian Psikiatri FKUI- RSUPN
Cipto Mangunkusumo, Jakarta, merupakan suatu keadaan alamiah yang membantu
individu melindungi dirinya dari suatu bahaya sekaligus memberi pengalaman baru. Pada
sejumlah batita, rasa takutnya masih sebatas pada hal-hal spesifik seperti takut pada
anjing, gelap, atau bertemu orang asing.
Yang kerap terjadi, jelas psikiater ini, ketakutan anak justru muncul karena
"ditularkan" orang tuanya. Karena takut pada sesuatu atau kondisi tertentu, "Tanpa sadar
orang tua akan melarang anak dengan cara menakut-nakutinya." Misanya, "Awas ada
kucing, nanti kamu dicakar!" Akibatnya, anak merasa terancam alias tidak aman setiap
kali melihat kucing. Padahal, umumnya kucing hanya akan marah dan mencakar jika
diganggu.
Bentuk ekspresi ketakutan itu sendiri bisa macam-macam. Biasanya lewat
tangisan, jeritan, bersembunyi atau tak mau lepas dari orang tuanya. Untungnya, seperti
dijelaskan Ika, rasa takut ini akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya
waktu. "Saat anak merasa aman dengan dirinya sendiri maupun lingkungannya, hilanglah
rasa takut tadi. Tentu saja perlu dukungan orang tua."
Yang jadi masalah adalah bila rasa takut mengendap dan tak teratasi sehingga
berpengaruh pada aktivitas sehari-hari anak. "Bahkan bisa mengarah jadi ketakutan yang
bersifat patologis. Malah bisa fobia alias ketakutan berlebih karena pernah mengalami
kejadian tertentu." Misalnya, gara-gara takut tikus, tiap kali melihat hewan itu, ia akan
menjerit ketakutan. "Tapi umumnya jarang muncul pada anak batita, kok," jelas Ika.
Berikut 9 jenis rasa takut yang kerap dialami batita dan tips mengatasi yang
diberikan Ika.
1.
TAKUT BERPISAH (SEPARATION ANXIETY)
Anak cemas harus berpisah dengan orang terdekatnya. Terutama ibunya, yang selama
3 tahun pertama menjadi figur paling dekat. Figur ibu, tak selalu harus berarti ibu
kandung, melainkan pengasuh, kakek-nenek, ayah, atau siapa saja yang memang
dekat dengan anak.
Kelekatan anak dengan sosok ibu yang semula terasa amat kental, biasanya akan
berkurang di tahun-tahun berikutnya. Bahkan di usia 2 tahunan, kala sudah
bereksplorasi, anak akan melepaskan diri dari keterikatan dengan ibunya. Justru akan
jadi masalah bila si ibu kelewat melindungi/overprotektif atau hobi mengatur segala
hal, hingga tak bisa mempercayakan anaknya pada orang lain.
Perlakuan semacam itu justru akan membuat kelekatan ibu-anak terus bertahan dan
akhirnya menimbulkan kelekatan patologis sampai si anak besar. Akibatnya, anak tak
mau sekolah, gampang nangis, dan sulit dibujuk saat ditinggal ibunya.Bahkan si ibu
beranjak ke dapur atau ke kamar mandi pun, diikuti si anak terus. Repot, kan? Belum
lagi ia jadi susah makan dan sulit tidur jika bukan dengan ibunya.
Cara Mengatasi:
Jelaskan pada si kecil, mengapa ibu harus pergi/bekerja. Begitu juga penjelasan
tentang waktu meski anak usia ini belum sepenuhnya mengerti alias belum tahu persis
kapan pagi, siang, sore, dan malam serta pengertian mengenai berapa lama masing-

masing tenggang waktu tersebut. Akan sangat memudahkan bila orang tua
menggunakan bahasa yang mudah dimengerti. Semisal, "Nanti, waktu kamu makan
sore, Ibu sudah pulang." Jika tak bisa pulang sesuai waktu yang dijanjikan, beri tahu
anak lewat telepon. Sebab, anak akan terus menunggu dan ini justru bisa menambah
rasa takut anak. Ia akan terus cemas bertanya-tanya, kenapa sang ibu belum datang
2.
TAKUT MASUK "SEKOLAH"
Bukan soal mudah melepas anak usia batita masuk playgroup. Sebab, ia harus
beradaptasi dengan lingkungan barunya. Padahal, tak semua anak bisa gampang
beradaptasi. Dari pihak orang tua, tidak sedikit pula yang justru tak rela melepas
anaknya "sekolah" karena khawatir anaknya terjatuh kala bermain atau didorong
temannya.
Cara Mengatasi:
Orang tua tetap perlu mengantar anak ke "sekolah" karena ini menyangkut soal
pembiasaan. Kalaupun di hari-hari berikutnya ada sekolah-sekolah yang bersikap
tegas hanya membolehkan orang tua menunggu di luar, sampaikan informasi ini pada
anak. Guru pun harus bisa menarik perhatian anak agar tidak terfokus pada ketiadaan
pendampingan orang tuanya dengan bermain. Di saat asyik bermain dengan temantemannya niscaya ia akan lupa.
3.
TAKUT PADA ORANG ASING
Di usia-usia awal, anak memang mau digendong/dekat dengan siapa saja. Namun di
usia 8-9 bulan biasanya mulai muncul ketakutan atau sikap menjaga jarak pada orang
yang belum begitu dikenalnya. Ini normal karena anak sudah mengerti/mengenali
orang. Ia mulai sadar, mana orang tuanya dan mana orang lain yang jarang dilihatnya.
Cara Mengatasi
Di usia batita seharusnya rasa takut pada orang asing sudah mulai berangsur hilang
karena, toh, ia sudah bereksplorasi. Semestinya anak sudah memperoleh cukup
pengetahuan untuk menyadari bahwa tak semua orang asing/yang belum begitu
dikenalnya merupakan ancaman baginya.
Biasanya, justru karena orang tua kerap menakut-nakuti, sehingga anak bersikap
seperti itu. "Awas, jangan deket-deket sama orang yang belum kamu kenal. Nanti
diculik, lo!" Memang boleh-boleh saja orang tua menasehati anak untuk berhatihati/bersikap waspada pada orang asing, tapi sewajarnya saja dan bukan dengan cara
menakut-nakutinya.
4.
TAKUT PADA DOKTER
Mungkin pernah mengalami hal tak mengenakkan seperti disuntik, anak jadi takut
pada sosok tertentu. Belum lagi kalau orang tua rajin "mengancam" setiap kali anak
dianggap nakal. "Nanti disuntik Bu Dokter, lo, kalau makannya enggak habis!" atau
"Nanti Mama bilangin Pak Satpam, ya!
Cara Mengatasi:
Izinkan anak membawa benda atau mainan kesayangannya saat datang ke dokter
sehingga ia merasa aman dan nyaman. Di rumah, orang tua bisa membantunya
dengan menyediakan mainan berupa perangkat dokter-dokteran. Biarkan anak
menjalani peran dokter dengan boneka sebagai pasiennya. Secara berkala ajak anak
ke dokter gigi untuk menjaga kesehatan giginya. Tak ada salahnya juga mengajak dia
saat orang tua atau kakak/adiknya berobat gigi. Dengan begitu anak memperoleh

5.

6.

7.

8.

infomasi bagaimana dan ke mana ia harus pergi untuk menjaga kesehatan giginya.
Lambat laun ketakutannya pada sosok dokter justru berganti menjadi kekaguman.
TAKUT HANTU
"Hi, di situ ada hantunya. Ayo, jangan main di situ!" Gara-gara sering diancam dan
ditakuti seperti itu, batita yang sebetulnya belum mengerti sama sekali tentang hantu,
jadi tahu dan takut. Bisa juga karena ia menonton film horor di televisi.
Cara Mengatasi:
Jauhkan anak dari tontonan tentang hantu. Orang tua pun seyogyanya jangan pernah
menakut-nakuti anak hanya demi kepentingannya. Bisa pula dengan membelikan
buku-buku cerita atau tontonan anak mengenai karakter hantu atau penyihir yang baik
hati.
TAKUT GELAP
Biasanya juga gara-gara orang tua. "Mama takut, ah. Lihat, deh, gelap, kan?" Takut
pada gelap bisa juga karena anak pernah dihukum dengan dikurung di ruang gelap.
Bila pengalaman pahit itu begitu membekas, bukan tidak mungkin rasa takutnya akan
menetap sampai usia dewasa. Semisal keluar keringat dingin atau malah jadi sesak
napas setiap kali berada di ruang gelap atau menjerit-jerit kala listrik mendadak
padam.
Cara Mengatasi:
Saat tidur malam, jangan biarkan kamarnya dalam keadaan gelap gulita. Paling tidak,
biarkan lampu tidur yang redup tetap menyala. Cara lain, biarkan boneka atau benda
kesayangannya tetap menemaninya, seolah bertindak sebagai penjaganya hingga anak
tak perlu takut.
TAKUT BERENANG
Sangat jarang anak usia batita takut air. Kecuali kalau dia pernah mengalami hal tak
mengenakkan semisal tersedak atau malah nyaris tenggelam saat berenang hingga
hidungnya banyak kemasukan air.
Cara Mengatasi:
Lakukan pembiasaan secara bertahap. Semisal, awalnya biarkan anak sekadar
merendam kakinya atau menciprat-cipratkan air di kolam mainan sambil tetap
mengenakan pakaian renang. Bisa juga dengan memasukkan anak ke klub renang
yang ditangani ahlinya. Atau dengan sering mengajaknya berenang bersama dengan
saudara/teman-teman seusianya. Tentu saja sambil terus didampingi dan dibangun
keyakinan dirinya bahwa berenang sungguh menyenangkan, hingga tak perlu takut.
Kalaupun anak tetap takut, jangan pernah memaksa apalagi memarahi atau
melecehkan rasa takutnya. Semisal, "Payah, ah! Berenang, kok, takut!"
TAKUT SERANGGA
Tak sedikit anak yang takut pada jangkrik, kecoa atau serangga terbang lainnya.
Sebetulnya ini wajar, hingga orang tua jangan tambah menakut-nakutinya, "Awas,
nanti ada kecoa, lo." Hendaknya justru bisa memahami karena anak usia ini mungkin
saja menemukan banyak hal yang dapat membuatnya takut.
Cara Mengatasi:
Boleh saja orang tua memberi pengenalan tentang alam binatang pada anak. Tak perlu
kelewat detail seperti halnya profesor memberi kuliah. Tugas orang tua sebatas
memahami ketakutan anak sekaligus membantunya merasa aman. Boleh saja katakan,
"Ayah tahu kamu takut jangkrik." Cukup segitu dan jangan paksa anak berada terus-

menerus dalam pembicaraan mengenai rasa takutnya. Jangan pula memaksa anak
bersikap sok berani menghadapi ketakutannya. "Belum saatnya mencobakan anak
melihat atau malah menyentuhkan serangga yang ditakutinya. Ini hanya akan
membuat anak semakin takut." Bila dipaksakan terus, anak malah bisa fobia pada
serangga. Biarkan anak tertarik dengan sendirinya dan biasanya ini terjadi setelah
anak berusia 2 tahunan. Jika anak memang takut kala ada serangga yang terbang di
dekatnya, bantulah untuk mengusirnya bersama
9.
TAKUT ANJING
Wajar anak batita takut anjing mengingat penampilan binatang ini memang terkesan
galak dengan gonggongan dan tampang yang garang. Belum lagi kebiasaannya suka
melompat, menjilat atau malah mengejar. Tugas orang tualah untuk memahami
sekaligus membantu anak mengatasi ketakutannya.
Cara Mengatasi:
Tak harus memaksa anak memelihara anjing atau mendorong anak menghadapi rasa
takutnya dengan terus-menerus memberi 'ceramah', semisal "Ngapain, sih, takut sama
anjing. Anjingnya, kan, baik." Menihilkan ketakutan anak justru akan membuat anak
semakin takut dan bukan tidak mungkin akhirnya malah berkembang jadi fobia yang
sulit diatasi.
Bila anak memang takut dan ketika berjalan bertemu anjing, pegangi tangannya untuk
meyakinkannya ia bisa aman melewati binatang yang ditakutinya bersama orang
tuanya. Jangan lupa untuk tetap menjaga jarak aman dari temperamen binatang yang
relatif sulit diduga. Bisa juga dengan menunjukkan keakraban antara anjing sebagai
hewan peliharaan dengan majikannya lewat cerita/dongeng. Atau kenalkan pada
anjing tetangga dan tak ada salahnya meminta si pemilik memperlihatkan bagaimana
menjalin keakraban dengan anjingnya tanpa harus merasa takut.
Dedeh Kurniasih.Foto: Iman Dharma (nakita)

Hak-hak Pendidikan Anak Indonesia


Suparlan (Kepala Bidang di PPPG Matematika Yogyakarta)
Bukan salah bunda mengandung. Begitulah kira-kira ungkapan pilu yang harus
mereka katakan. Salahkan pemerintah, kata para pendukung HAM. Mereka
terpaksa pasrah dengan kenyataan ini.
Pendidikan merupakan salah satu hak azasi manusia yang amat fundamental. Melalui
pendidikan anak dibentuk menjadi manusia seutuhnya. Hak pendidikan adalah harapan
bagi anak-anak, masa depan bangsa, dan bahkan hak universal seluruh umat manusia.
Anak-anak dilahirkan dengan hak hidup dan seiring itu memiliki pula hak untuk
memperoleh pendidikan serta hak lainnya melekat pada diri anak.
Kenyataan menunjukkan bahwa hak pendidikan anak-anak Indonesia ternyata masih
jauh panggang dari api. Cobalah kita bayangkan. Ada lima sampai sepuluh anak-anak
usia sekolah dasar yang selalu mangkal di perempatan jalan Pasar Minggu dengan jalan
outer ringroad Fatmawati ke arah Depok. Mereka berlari-lari dengan kaki telanjang,
berbadan kurus, berbaju lusuh, berusaha mengejar mobil yang akan berhenti di daerah
lampu merah. Saat lampu berubah merah, banyak mobil berhenti. Pada saat itulah
mereka mendatangi mobil-mobil itu sambil memukul-mukulkan krempyengan di
tangannya yang kecil, sambil bernyanyi seadanya. Wajah masih amat polos, mereka
mencoba menatap mata para pengendara mobil, dan berusaha meminta belas kasihan,
untuk sekedar seratus dua ratus perak saja.
Kadangkala mereka masih dapat tertawa-tawa dan bersenda- gurau diantara sesama
kawannya. Kesannya kelihatan tidak peduli dengan kenyataan pahit yang sebenarnya
mereka alami. Bahkan juga tidak peduli terhadap masa depannya sendiri. Ketika ditanya
apa kerja bapaknya, dengan enteng mereka menjawab, tukang angkut sampah. Sambil
berlari kecil mendekat kawannya.
Bukan salah bunda mengandung. Begitulah kira-kira ungkapan pilu yang harus mereka
katakanan. Salahkan pemerintah, kata para pendukung HAM. Mereka terpaksa pasrah
dengan kenyataan ini, Mereka sama sekali tidak memperoleh perlindungan dan hakhaknya untuk memperoleh layanan pendidikan secara layak, apalagi yang berkualitas,
seperti yang diminta oleh Deklarasi Education For All (EFA), yang negara kita ikut
menandatanganinya.
Jika anak-anak kita banyak yang tidak memperoleh hak-haknya, khususnya dalam
bidang pendidikan dengan sebaik-baiknya, bagaimana nasib bangsa di masa depan?
Tulisan ini akan mencoba memberikan ulasan terhadap kenyataan dan harapan tentang
hak-hak anak Indonesia dalam bidang pendidikan.
Hak-hak Anak
Diskusi tentang ha-hak anak telah lama dimulai. Hak-hak anak telah diterima Liga
Bangsa-bangsa pada tahun 1924, dan kemudian pada tahun 1959 diterima pula di PBB.
Hak-hak anak mulai dibicarakan untuk menjadi konvensi sejak peringatan Hari Anak
Internasional tahun 1979 berdasarkan usulan Pemerintah Polandia. Akhirnya Sidang
Umum PBB mengeluarkan resolusi Nomor 44/25 tanggal 20 November 1989 tentang
Konvensi Tentang Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child).
Kaitan Dengan Pendidikan

Pertama, hak memperoleh pendidikan dasar secara compulsory and free. Tekanan
pada pengertian compulsory and free ini dinyatakan dalam deklarasi Education For
All (EFA). Compulsory artinya kewajiban pemerintah untuk menyediakan dan
memberikan layanan pendidikan. Pemerintah memiliki kewajiban untuk memastikan agar
anak-anak usia pendidikan dasar dapat memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas.
Untuk ini, penyediaan gedung sekolah, sarana dan prasarana pendidikan, guru, dan
kurikulum merupakan tanggung pemerintah. Sementara orang tua dan masyarakat juga
memiliki kewajiban untuk memasukkan anak-anaknya ke lembaga pendidikan yang
sesuai dengan bakat dan minatnya. Jika pemerintah tidak dapat sepenuhnya menuaikan
kewajibannya, keluarga dan masyarakat terbuka untuk ikut berperan serta dalam
penyediaan layanan pendidikan. Kerjasama antara pemerintah, keluarga dan masyarakat
akan menjadi kunci keberhasilan pendidikan. Free artinya anak-anak bebas dari pungutan
uang sekolah, minimal untuk anak usia pendidikan dasar. Bahkan kalau memungkinkan
bebas dari pungutan terhadap biaya pendidikan lainnya.
Kedua, anak-anak cacat memiliki hak untuk memperoleh bantuan dan perawatan khusus.
Anak-anak cacat pada mulanya sering disebut sebagai disable artinya tidak
berkemampuan. Pada kenyataan, mereka sebenarnya bukan tidak memiliki kemampuan,
melainkan mempunyai kemampuan dalam bidang tertentu yang berbeda dengan
kemampuan anak cacat lainnya. Misalnya anak yang buta, ternyata memiliki
kemampuan yang luar biasa dalam seni musik. Demikian juga dengan kecacatan
lainnya. Oleh karena itu, mereka lebih tepat jika disebut sebagai difable (different
ability) atau memiliki kemampuan yang berbeda, bukan disable
Ketiga, hak untuk memperoleh pengembangan kepribadian dan bakat. Secara khusus
pengembangan kepribadian terkait dengan pendidikan agama, pendidikan moral, atau
pendidikan kewarganegaraan. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
pendekatan pembelajaran di sekolah masih memiliki kelemahan yang amat mendasar.
Anak-anak lebih banyak memperoleh pembelajaran dalam ranah kognitif tentang agama,
moral, dan kewarganegaraan dengan cara menghafalkan, ketimbang dengan
memperoleh pengalaman afektif tentang nilai-nilai yang membentuk kepribadian anak.
Keempat, hak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan pemakaian obatobatan terlarang. Penggunaan narkoba di kalangan remaja menunjukkan gejala yang
semakin meningkat. Bahkan ditengarai penyebaran narkoba ini juga telah menyentuh
kalangan anak-anak sekolah dasar melalui gula-gula, alat-alat tulis, dsb. Untuk ini, maka
langkah pertama yang harus segera dilakukan adalah melindungi sekolah dari bahaya
narkoba. Sekolah harus menjadi kawasan bebas rokok, bebas narkoba, dan bebas minumminuman keras. Sekolah harus dapat diciptakan menjadi satu kawasan yang
menyenangkan bagi siswa, sehingga anak-anak merasa betah di sekolah, bukan lari dari
kegiatan di sekolah. Sekolah, orang tua dan masyarakat harus dapat mengembangkan satu
bentuk kerjasama yang harmonis untuk bersama-sama menjadikan sekolah sebagai pusat
kegiadan belajar, pusat kebudayaan, dan pusat kegiatan ekstrakurikuler yang menarik.
Untuk ini, siswa di sekolah harus diberikan kesempatan untuk dapat mengekspresikan
diri, dalam bentuk-bentuk kegiatan yang menyenangkan dan memiliki nilai edukatif yang
diharapkan oleh masyarakat sebagai pengguna pendidikan. Agar anak-anak secara dini
dapat memperoleh informasi tentang bahaya yang ditimbulkan oleh penggunaan narkoba,
sekolah dapat saja menyusun program polisi dan dokter masuk sekolah. Kepolisian dan

dokter dapat diajak kerjasama untuk memberikan pelatihan bagi siswa dan pengurus
Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Sekolah dan Komite Sekolah (yang dahulu
disebut BP3) juga dapat membentuk Tim Pencegahan dan Penanggulangan Narkoba,
yang bertugas untuk mengadakan langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan agar
anak-anak tidak terjerat dalam perangkap penggunaan narkoba.
Kelima, hak untuk memperoleh perlindungan dan perawatan dari dampak konflik
bersenjata dan konflik antaretnis. Kerusuhan yang terjadi di beberapa tempat seperti
Aceh, Kalbar, Kalteng, Sulteng, Maluku, dan Papua, telah menimbulkan korban jiwa dan
harta benda, serta banyaknya anak-anak yang menderita secara fisikal maupun mental
akibat dari konflik tersebut. Konflik di Sampit, Kalimantan Tengah, misalnya telah
menyebabkan sekitar lima ribu anak-anak usia sekolah yang terpaksa menjadi pengungsi.
Sekolahnya menjadi terganggu. Untuk menangani masalah ini, Pemerintah bersama
Lembaga Swadaya Masyarakat telah mengadakan program pendidikan alternatif.
Demikian pula nasib anak-anak di Ambon, anak-anak di Kalbar, dan anak-anak di tempat
lain yang sedang dilanda kerusuhan.
Keenam, hak anak untuk dapat bermain dan bersantai, serta berperanserta dalam
kegiatan budaya dan seni. Pakar psikilogi menyatakan bahwa sebagian terbesar dari
kehidupan anak adalah bermain. Itulah sebabnya Taman Kanak-kanak dirancang untuk
memberikan sebanyak mungkin kegiatan belajar sambil bermain (learning by playing).
Bahkan kesempatan untuk bermain bagi anak-anak diberikan dalam kelompok bermain
(play group). Semakin dewasa, semakin banyak kegiatan belajar yang diberikan dalam
proses sambil bekerja (learning by doing).
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak anak-anak Indonesia yang tidak
dapat menikmati kesempatan untuk bermain dan bersantai. Banyak anak yang terpaksa
menjadi anak jalanan, membantu orang tua untuk mencari nafkah, bahkan mungkin juga
disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara waktu untuk belajar dengan waktu
untuk bermain atau bersantai, atau mengekspresikan diri dalam kegiatan budaya dan
seni. Bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang terkait dengan hak untuk bermain,
bersantai, dan berperanserta dalam kegiatan budaya dan seni antara lain adalah
pelacuran anak-anak, tenaga kerja anak-anak, atau memberikan hukuman yang tidak
setimpal kepada anak-anak.
Langkah kreatif
Untuk mengatasi masalah pelanggaran hak-hak anak tersebut, ada langkah-langkah
kreatif yang dalam dilaksanakan, baik oleh pemerintah maupun masyarkat.
Memperluas kesempatan belajar bagi anak usia prasekolah dan pendidikan dasar. Untuk
inti perlu dibangun TK, SD dan SLTP sampai di pelosok desa, Juga perlu ditumbuhkan
kelompok bermain di berbagai kawasan pemukiman, terutama di daerah perumahan di
kawasan industri
Menyediakan taman bacaan sampai di desa-desa. Fasilitas ini amat penting untuk
memberikan kesempatan anak-anak memperoleh bahan bacaan yang sesuai. Taman
bacaan juga dapat diadakan di pusat-pusat pertokoan sesuai dengan konsep belanja
sambil bermain dan belajar.
Menyediakan fasilitas umum tempat bermain bagi anak-anak yang tinggal di kompleks
perumahan. Fasilitas umum ini perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah
dan para pengembang perumahan.

Menyediakan acara anak-anak di media radio atau televisi, seperti yang dilakukan oleh
Kak Seto, dan acara-acara lainnya.
Menyediakan taman-taman hiburan untuk anak-anak, termasuk museum, kebun
binatang, dsb. Alangkah baiknya jika untuk masuk museum, kebun binatang, anak-anak
tidak dipungut biaya .
Menyediakan acara pertandingan atau perlombaan bagi anak-anak dengan tujuan untuk
lebih meningkatkan apresiasi seni dan olah raga.
Demikianlah beberapa hak-hak pendidikan untuk anak Indonesia yang dapat diulas .
Anak-anak masa kini adalah asset masa depan umat manusia. Untuk membentuk masa
depan yang lebih berkualitas, hak-hak anak, khususnya dalam bidang pendidikan, mesti
harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Insyaallah

Prestasi Anak, untuk Anak atau Orangtua?


DIMAS (10) pulang sekolah dengan wajah cemberut. Dia langsung masuk ke
kamarnya dan tidak keluar sampai sore hari. Dimas sudah membayangkan, ayahnya akan
marah besar karena Dimas mendapat nilai empat untuk ulangan Matematikanya kemarin.
Dulu ketika ulangan IPS-nya mendapat nilai empat juga, ayah marah dan
menghukum Dimas tidak boleh main ke luar hingga satu minggu. Dimas juga tidak
mendapatkan uang saku selama dua hari.
Dimas sangat takut. Guru di sekolah minta supaya ulangan tersebut
ditandatangani orangtua. Mau tidak mau ayah akan mengetahui dia mendapat nilai empat
lagi dan Dimas pasti terkena omel ayah. Tetapi, bila tidak minta tanda tangan, pasti ibu
guru di sekolah marah. Perasaan takut dan cemas menggelayuti perasaan Dimas.
Bingung apa yang harus dilakukannya, Dimas memberanikan diri memalsu tanda
tangan orangtuanya. Usaha itu ternyata berhasil. Orangtuanya tidak tahu dirinya
mendapat nilai jelek, sementara guru juga tidak marah karena sudah ada tanda tangan
orangtua di kertas ulangan itu.
Keberhasilan memalsu tanda tangan yang melepaskan Dimas dari omelan ayah
dan gurunya, diulang terus oleh Dimas setiap kali Dimas mendapat nilai jelek. Orangtua
hanya tahu Dimas selalu mendapat nilai bagus. Sementara, guru merasa orangtua Dimas
sudah mengetahui kualitas Dimas di sekolah seperti apa. Ketika hari pembagian rapor
tiba dan prestasi Dimas ternyata biasa-biasa saja bahkan ada dua nilai lima di rapornya,
baru seluruh dunia ribut. Orangtua tidak menerima Dimas tidak naik kelas karena
selama ini nilainya bagus. Sementara guru juga tidak bisa menerima protes karena merasa
orangtua telah mengetahui semua nilai ulangan Dimas.
TIDAK hanya orangtua Dimas yang kecewa jika anaknya gagal atau mendapat
nilai jelek di sekolah. Mereka ingin anaknya mencetak prestasi lebih tinggi dari temantemannya. Untuk mewujudkan keinginannya tersebut, orangtua tidak segan-segan
memarahi anaknya dan menghukumnya dengan hukuman cukup berat jika anaknya
mendapat nilai jelek.
Sebenarnya apa itu prestasi? Menurut Elly Risman, psikolog dari Club Buah Hati,
prestasi adalah perwujudan dari bakat dan kemampuan. Bakat merupakan kemampuan
bawaan yang berupa potensi. Namun, walau potensi ini sudah ada di dalam diri, tetap
butuh latihan dan pengembangan terus menerus. Jika bakat tidak dilatih dan
dikembangkan, maka tidak mendatangkan manfaat apa pun pada orang yang
memilikinya.
Kemampuan merupakan daya atau kesanggupan melakukan suatu tindakan.
Kemampuan ini didapat dari hasil pembawaan dan latihan. Kenyataannya, walau seorang
anak memiliki bakat dan kemampuan, tidak mudah membuat seorang anak berprestasi.
Banyak kenyataan di luar diri anak yang membuat kedua hal itu tidak muncul.
Kenyataan paling jelas adalah kenyataan di keluarga, kenyataan di media, dan kenyataan
di sekolah, kata Elly di tengah seminar Club Buah Hati bertajuk Menghantar Anak
Berprestasi dengan Cara Menyenangkan, di Multi Function Room Graha Niaga, Sabtu
(27/7).
Kenyataan-kenyataan itu harus dilihat secara keseluruhan. Misalnya di rumah,
bila setiap hari sang anak mendapatkan gizi yang baik dan rangsangan yang tinggi dari
keluarganya, anak bisa berkembang dengan cepat dan cerdas. Namun, di sisi lain ada

orangtua yang menuntut segala sesuatu dengan standar tinggi yang begitu tingginya
sampai tidak satu pun anak bisa menjangkaunya. Anak tidak diberi kesempatan untuk
sekali-kali merasakan hal-hal di bawah standar yang ditetapkan. Jika prestasi anak di
bawah standar, maka hanya omelan dan hukuman yang didapat anak.
Hal lain yang membuat anak tidak berprestasi, yaitu sikap orangtua yang
membiarkan anak mengonsumsi seluruh sajian yang ditayangkan di media. Sajian seperti
di televisi atau komik memang sangat menarik bagi anak, namun tidak semua informasi
merupakan informasi sehat dan dibutuhkan anak. Akibatnya, anak mengetahui banyak hal
yang belum pantas. Orangtua lupa dia tidak punya kemampuan mengontrol seluruh
materi yang ditampilkan di media.
Di sekolah, anak juga mendapatkan kenyataan yang membuatnya sulit berprestasi.
Misalnya, materi pembelajaran dan cara penyampaian tidak menarik. Hal ini terjadi
karena guru tidak paham tentang perkembangan anak. Gaya komunikasi guru tidak sesuai
dengan anak-anak. Selain itu, buku dan alat peraga yang digunakan tidak bisa memenuhi
rasa ingin tahu dan kemampuan anak.
***
LALU bagaimana menyelenggarakan pendidikan yang menyenangkan bagi anak
sehingga anak bisa berprestasi? Ada tiga C yang harus diperhatikan, yakni children
(anak), content (materi) dan context (situasi), kata Elly.
Menurut Elly, orangtua dan guru harus menyadari setiap anak merupakan pribadi
yang unik dan berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan ini terjadi karena setiap anak
mempunyai bakat, kemampuan dan kebutuhan yang berbeda.
Setiap anak pastilah mempunyai salah satu dari sembilan kecerdasan yang
diberikan Tuhan. Bahkan, ada juga anak yang memiliki lebih dari satu kecerdasan.
Kecerdasan itu adalah kecerdasan linguistik, matematika-logika, ruang-visual, musik,
naturalis, interpersonal, intrapersonal, kemampuan olah tubuh, dan spiritual.
Selain itu, ada beberapa potensi yang bisa dikembangkan anak, seperti fisik,
iman, akhlak, ibadah, emosi, sosial, mental, dan keterampilan. Biarkan anak
mengembangkannya seperti keinginannya, jangan kembangkan seperti keinginan
orangtua. Orangtua hanya mengarahkan saja, kata Elly.
Begitu juga dengan materi yang akan disampaikan pada anak. Materi harus yang
dibutuhkan anak, bukan yang diinginkan orangtua. Namun demikian, materi itu juga
harus disesuaikan dengan perkembangan anak, kemampuan dan bakat anak.
Perlakuan yang tepat dan materi yang sesuai tidak akan mempunyai efek yang
positif jika tidak disampaikan pada situasi yang tepat. Ada tiga cara penyampaian yang
efektif, yakni dengan bermain, bernyanyi, dan bercerita. Tidak ada salahnya sesekali kita
meninggalkan status kita sebagai orangtua. Kita bisa juga sekali-sekali berubah menjadi
badut, tukang sulap, ilmuwan, atau sahabat bagi anak kita, ujar Elly.
Satu yang harus dipahami orangtua, prestasi anak bukanlah prestasi untuk
orangtuanya. Prestasi itu untuk diri anak itu sendiri. Orangtua cukup mengarahkan
dengan benar dan membantu anak dengan cara-cara yang disukai anak, bukan dengan
hukuman atau omelan yang bisa merusak hubungan harmonis anak dengan orangtua.
Dan, keberhasilan anak tidak saja dari usaha yang dilakukan anak, tetapi juga tergantung
pada orangtua dan lingkungan di sekitarnya. (ARN

Mainan pendidikan sebagai media ekspresi kemampuan kreatif anak


Hasil suatu survei nasional pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa sistim
pendidikan formal di Indonesia pada umumnya masih kurang memberi peluang bagi
pengembangan kreativitas. Di sekolah yang terutama dilatih adalah ranah kognitif yang
meliputi pengetahuan, ingatan dan kemampuan berpikir logis atau penalaran. Sementara
perkembangan ranah afektif (sikap dan perasaan) dan ranah psikomotorik (ketrampilan)
serta ranah lainnya kurang diperhatikan dan dikembangkan. Hasil suatu penelitian
seorang psikolog Amerika, E.P Torrance (1974) menyimpulkan bahwa ada indikasi
penurunan kemampuan berpikir kreatif pada anak usia 6 tahun, yaitu saat anak masuk
kelas satu sekolah dasar. Dalam rangka mengoptimalkan berbagai potensi yang dimiliki
anak pada masa pertumbuhannya, khususnya pada masa kanak-kanak hingga usia sekolah
maka perlu diperhatikan bagaimana cara anak memanfaatkan mainannya dan bagaimana
mainan mempengaruhi dirinya. Hal ini dipandang relevan mengingat naluri anak dalam
meningkatkan kemampuannya selalu berdasarkan unsur bermain. Di samping itu banyak
studi membuktikan bahwa mainan dapat dimanfaatkan sebagai media pendidikan,
termasuk pula didalamnya meningkatkan kemampuan kreatif anak. Melihat kenyataan
tersebut, para guru sebagai tokoh yang paling berpengaruh pada anak didiknya khususnya
di tingkat pendidikan dasar, hendaknya merasa lebih tertantang untuk membimbing anak
didiknya
mencapai
kemampuan
yang
optimal.
Pokok permasalahan penelitian ini adalah: apakah ada hubungan antara kemampuan
kreatif bermain balok konstruksi dengan kemampuan berpikir kreatif pada anak usia
sekolah. Maka penelitian ini mengkaji hubungan di antara beberapa variabel, yakni:
kreativitas bermain balok konstruksi, kognitif (berpikir kreatif), afektif kreatif (perilaku
kreatif). Penelitian ini adalah suatu penelitian kasus. Ruang lingkup penelitian hanya
meliputi daerah dan subyek yang relatif sempit atau kecil jumlahnya. Subyek penelitian
kasus ini sebanyak 29 orang siswa. Mereka adalah anak-anak usia sekolah yang berada
pada periode operasional konkrit berusia 8 tahun hingga 10 tahun dengan taraf
kecerdasan rata-rata (IQ 90-109) hingga taraf superior (IQ 120-139).
Hasil penelitian ini tidak berlaku general melainkan hanya mewakili kelompok anak yang
termasuk dalam periode operasional konkret, khususnya anak-anak usia 8 tahun hingga
10 tahun. Penelitian dilaksanakan di SD Tarakanita I-Jakarta Selatan. Data-data diperoleh
dari dokumen, kuesioner, catatan lapangan, hasil pengamatan dan hasil tes yang
dilaksanakan oleh peneliti. Instrumen penelitian berupa kuesione bobot variabel
kreativitas bermain balok konstruksi, tes kreativitas yang dibuat oleh tim pakar psikologi
dan rancangan tes kreativitas bermain balok konstruksi (perlakuan I dan II) yang dibuat
oleh peneliti. Sebelum dipakai instrumen tersebut diuji-cobakan dahulu pada studi
perlakuan pendahuluan (pra-peneliti).Hipotesis penelitian yang diajukan 3 buah. Untuk
menguji hipotesis, data yang terkumpul. Dianalisis dengan menggunakan analisis statistik
korelasi product moment (Pearson) dengan taraf signifikansi 5%.. Dengan taraf
signifikansi 5% penelitian ini menyimpulkan bahwa: dari 3 buah hipotesis alternatif yang
diajukan 2 hipotesis diterima, sementara 1 hipotesis ditolak. Kedua hipotesis yang
diterima adalah:
- Hipotesis alternatif: Pada taraf signifikasi 5%: Korelasi positif antara kemampuan
kreatif bermain balok konstruksi pada anak usia sekolah diperlakuan I dan II ada
hubungan/dipengaruhi oleh kemampuan berpikir kreatif anak tersebut, sekalipun korelasi
positif itu tarafnya cukup saja.

- Hasil analisis statistik: rxy atau ro (Tabel 8.a)=0,400,r1 pada t.s. 5% = 0,367
- Hipotesis alternatif III: Pada taraf signifikansi 5%: Korelasi positif antara kemampuan
kreatif bermain balok konstruksi pada anak usia sekolah diperlakuan II ada
hubungan/dipengaruhi oleh kemampuan berpikir kreatif anak tersebut, sekalipun korelasi
positif itu tarafnya cukup saja. Hasil analisis statistik: rxy atau ro (Tabel 8.a) = 0,389, r1
pada t.s. 5% = 0,367.
Dengan terbuktinya dua hipotesa alternatif yang diajukan dalam penelitian ini, maka
dapat disimpulkan bahwa: alat permainan balok konstruksi dapat disetarakan fungsinya
dengan media ekspresi lainnya seperti: gambar, lukisan dan patung sebagai media
ekspresi dari kemampuan kreatif anak. Disarankan perlu diupayakan suatu penelitian
lanjut atau penelitian lain yang mengkaji masalah kreativitas seni baik melalui media dwi
matra maupun tri matra. Hal ini dipandang sangat penting mengingat sampai saat ini
belum ada alat tes kreativitas di bidang seni yang terstandar (baku) bagi anak-anak
maupun orang dewasa

KARAKTERISTIK RUANG BERMAIN SEBAGAI TANGGAPAN ANAK


TERHADAP LINGKUNGANKasus Studi: Anak Kelas V Sekolah
Dasar pada Lingkungan Permukiman Terencana dan Lingkungan
Permukiman Tidak Terencana
Telaah ini ditujukan untuk merumuskan karakteristik ruang bermain anak dalam konteks
perencanaan lingkungan permukiman, yang diharapkan dapat memberikan sumbangan
kepada proses penyusunan karakteristik serupa di Indonesia di kemudian hari, sebagai
wujud kepedulian terhadap arsitektur yang tanggap terhadap kebutuhan anak sesuai
dengan klasifikasi perkembangannya.
Dari proses perumusan hasil penelitian teridentifikasi bahwa dalam lingkungan yang
terencanapun, lingkungan bermain tidak benar-benar dipertimbangkan sebagai bagian
dari ruang lingkungan yang dianggap penting. Ruang yang ada yaitu berupa fasilitas olah
raga, hanya diminati oleh sebagian anak laki-laki, sementara anak perempuan
termarjinalkan dan tersisih dengan mencari ruang bermain di luar lingkungan
permukiman. Sebaliknya dalam lingkungan yang tidak terencana, faktor kepadatan ruang
dan faktor ekonomi memaksa anak untuk mencari lingkungan bermain di luar lingkungan
permukiman.
Penelitian menunjukkan bahwa anak bermain dalam tiga ruang bermain utama:
lingkungan sekolah, lingkungan ruang selama perjalanan pulang sekolah, serta
lingkungan di sekitar huniannya. Dalam ketiga lingkungan tersebut, ternyata terdapat
ruang-ruang bermain yang tidak terduga bahkan tersembunyi. Hanya kelompok anak
tertentu yang mengetahuinya. Jalan ternyata merupakan ruang yang paling disukai anakanak, baik itu ketika berada di sekolah, dalam perjalanan, bahkan sampai pada
lingkungan huniannya.
Dalam bermain dan menentukan pola ruangnya, faktor sosial ekonomi, pendidikan dan
pekerjaan orang orang tua, sistem dan aturan sekolah, serta kegiatan ekstra-kurikuler
ternyata memiliki pengaruh yang tidak sedikit. Suatu kelompok anak yang terdiri dari
tiga sampai lima anak akan lebih kreatif dalam bermain dibandingkan dengan anak yang
senang menyendiri.
Rumusan karakteristik ini merupakan ruang yang dibutuhkan oleh kelompok anak dalam
usia 10 tahun (kelas 5 SD), yang dianggap sudah memiliki jiwa petualangan, mandiri, dan
dapat bekerjasama. Dengan berpijak pada teori-teori perkembangan psikologi, teori
pengamatan perilaku, serta turunan teori-teori serupa maka didapatkan sejumlah hasil
perilaku anak-anak dalam lingkungan permukiman terencana (Antapani dan kampung
Wates, dengan melibatkan siswa kelas 5 SDN Griya Bumi Antapani, sektor 7), dan dalam
lingkungan permukiman tidak terencana (daerah Linggawastu, yang melibatkan murid
kelas 5 SD Linggawastu). Sedangkan kriteria rumusan diturunkan dari pendapat Snyder
yang membagi karakteristik ruang dalam: elemen pembentuk ruang, elemen penentu
kualitas ruang, elemen penentu order ruang, elemen estetis serta elemen alami.

Kecenderungan pola-pola perilaku dan pola ruang dalam lingkungan permukiman yang
terencana dan tidak terencana serta rumusan kriteria karakteristik ruang bermain untuk
anak usia 10 tahun, pada akhirnya membawa suatu pengajuan usulan Model Area
Sekolah Dasar yang merupakan hasil yang diperoleh selama proses penelitian dan
penelaahan.

Karakteristik Anak Pra Sekolah


Karakteristik Anak Pra Sekolah
Oleh Rina M.Taufik
Anak yang terkategori para sekolah adalah anak dengan usia 3-5 tahun, seorang ahli psikologi
Elizabeth B. Hurlock mengatakan bahwa kurun usia pra sekolah disebut sebagai masa
keemasan (the golden age).
Di usia ini anak mengal;ami banyak perubahan baik fisik dan mental, dengan karakteristik
sebagai berikut :
1. Berkembangnya konsep diri
,2. Munculnya egosentris,
3. Rasa ingin tahu yg tinggi
4. Imanjinasi yang tinggi
5. Belajar menimbang rasa
6. munculnya control internal
7. Belajar dari lingkungannya
8. berkembangnya cara berpikir
9. berkembangnya kemampuan berbahasa
10. munculnya perilaku buruk
a. berbohong
b. mencuri
c. bermain curang
d. gagap
e. mogok sekolah
f. takut monster/hantu
g. yeman imajiner
h. lamban
i. tempertantrum
Baiklah kita bahas satu persatu sesuai waktu yg tersedia, jika tdk cukup waktu kita sambung
pada pertemuan selanjutnya :
1. Berkembangnya konsep diri,secara perlahan pemahamannya tentang kehidupan
berkembang . Anak mulai menyadari bahwa dirinya, identitasnya karena kesadarannya itu
menunjukkan akunya (eksistensi diri) segalanya ingin ia coba, ia merasa dirinya bisa,
namun di sisi lain ia memiliki kebutuhan yang besar utk tetap disayang dan didukung oleh
orang tuanya.
2. Munculnya egosentris,Di usia ini anak berpikir bahwa segalan yg ada dan tersedia adalah
untuk dirinya, semuanya ada untuk memenuhi kebutuhannya. Kuatnya egosentris ini
mempengaruhi perilaku anak dalam bermain, saat bermain anak enggan utk meminjamkan
mainanannya pd anak lain jg menolak mengembalikan mainan pinjamannya. Wajarlah jika
saat seperti ini terjadi onflik dg temannya. Pada saat mengalami konflik ini anak belum bisa
menyelesaikannya secara efektif, ia cenderung menghindar dan menyalahkan orang lain.
3. Rasa ingin tahu yg tingiRasa ingin tahunya meliputi berbagai hal termasuk seksual sehingga
ia selalu bereksplorasi dalam apapun dan dimanapun.
4. Imanjinasi yang tinggiImajinasi di usia ini sangat mendominasi setiap perilakunya, sehingga
anak sulirt membedakan mana khayalan dan mana kenyataan . ia kadang2 suka melebihlebihkan cerita. Daya imaninasi ini beasanya melahirkan teman imajiner (teman yang tidak
pernah ada), teman khayalnya ini mampu mencurahkan segala pengalaman dan perasaannya.
5. Belajar menimbang rasaDi usia 4 tahun minat terhadap teman2nya mulai berkembang,
anak mulai bisa terlibat dalam permainan kelompok bersama teman2nya walaupun kerap
terjadi pertengkaran. Hal ini karena ia masih memikirkan dirinya sendiri. Empati anak mulai
berkembang, ia mulai merasakan apa yg sedang org lain rasakan. Jika melihat ibunya
bersedih ia akan mendekati, memeluk dan membawa sesuatu yg dapat menghibur. Pada masa
ini anak mulai belajar konsep mbenar salah.
6. Munculnya control internalKontrol internai muncul di akhir masa usia prasekolah, perasaan
malu mulai muncul ia akan merasa malu dan bersalah jika ia melakukan perbuatan yg salah.
Dengan demikian tepatnya di usia 5 tahun ia sudah siap terjun ke lingk. Di luar rumah dan
sudah sanggup menyesuaikan diri dg standar perilaku yg diharapkan.
7. Belajar dari lingkungannyaAnak mulai meniru apa yg sering dilihatnya ia belajar
mengidentifikasi dirinya dengan model yg dilihatnya misalnya ia akan berperilaku sama persis

seperti apa yg dilihatnya di TV dan ia pun akan bercita-cita sama seperti profesi orang tuanya.
Jadi di usia ini lingkunganlah yg sangat berperan dalam membentuk perilakunya.
8. berkembangnya cara berpikirAnak mulai mengembangkan pehamannya ttg hubungan
benda antara bagian dan keseluruhan. Pemahaman konsep waktu belum berkembang
sempurna anak belum bisa membedakan antara tadi pagi dan kemarin sore.
9. berkembangnya kemampuan berbahasaDibanding masa sebelumnya anak lebih bisa diajak
berkomunikasi, ia mulai bisa mengungkapkan keinginannya dengan bahasa verbal, namun
kadang2 ia ingin bereksperimen dengan mengatakan kata2 yg kotor atau yang mengejutykan
orang tuannya.
10. munculnya perilaku burua. berbohongBagi anak prasekolah bohong adalah normal,
sebab di usia ini anak belum bisa membedakan antara realitas dan dunia fantasinya. Pada
dasarnya alas an bohong pada anak bermacam2 ada anak yg berbohong untuk menghindari
hukuman, mengelakkan tanggung jawab, melindungi teman, agar dipuji atau untuk melindngi
hal2 yg pribadi. Semakin besar anak alas an berbohong berubah mendekati alas an orang
dewasa. Konsep benar salah yang baru muncul, nurani yg baru tumbuh dan imajinasi yang
tinggi akan membuat bohong mereka tidak masuk akal.
b. MencuriMengambil barang yg bukan miliknya sama dg bohong, ini normal bagi anak usia
prasekolah. Ia belum mengetahui konsep moral yg ada. Katamencuri lebih tepat untuk
orang dewasa dan terlalu keras bagi anak. Ada dua alas an mengapa anak mencuri
pertama anak memiliki asumsi bahwa semua benda itu adalah miliknya sampai ada yg
memberitahu kalau itu bukan miliknya.Kedua kebutuhan mengidentifikasi dirinya dengan
orang lain sangat besar. Kebutuhan tsb mendorong ia utk mengambil barang orang lain, dalam
pikirannya mengambil barang milik orang lain sama artinya dg menjadi orang tsb.
c. bermain curangAnak2 prasekolah sering bermain curang. Hal ini mereka lakukan karena
mereka tdk tahu aturan main yg benar. Pada usia ini tepatnya 4 th tumbuhkan sikap
menghormati perasaan orang lain.
d. GagapSetiap anak di usia 1-6 th sedang mengembangkan keterampilan bahasanya. Di usia
ini anak2 selalu mencari kata2 yg tepat dan mengalami kesulitan menemukannya. Biasanya
bicara gagap ini pada saat2 tertentu misalnya ketika ia sedang gembira, marah dan
bersemangat.
e. mogok sekolahDi usia 3 tahun anak2 mulai merasakan takut berpisah dengan orang tuanya.
Hal yg normal jika anak usia 4-5 th sesekali anak tidk mau pergi ke sekolah. Sebenarnya ia
bukan tdk mau pergi sekolah tapi ia ingin bersama ibu.
f. takut monster/hantuKesadaran diri yg mulai berkembang dan daya khayal yg mulai
berkembang pesat, membuka dunia fantasi dg ketakutan2 dan fantasi sendiri. Mulai usia 3
tahun anak mulai mampu menciptakan gambaran2 yg menakutkan. Seekor cecak akan
tergambar seperti buaya dalam pikiran mereka begirupun dg kucing akan terdengar seperti
harimau.
g. Teman imajinerTeman imajiner adalah hal yg wajar dg adanya teman imajiner anak akan
belajar mengekspresikan segala apa yg dirasakannya, anak akan belajar mengembangkan
keterampilan bahasanya juga ia alan berlatih memainkan perannya sebagai seorang teman
dalam pergaulan yg sesungguhnya, namun jangan biarkanb ia menjadikan teman imajinernya
sebagai kambing hitan atas segala kesalahan yg diperbuatnya.
h. lamban Anak usia prasekolah seringkali sukar untuk bertindak cepat, tanpa merasa
bersalah ia tak acuh dengan kekesalan orang tuanya yg terburu2. Hal ini adalah perilaku yg
wajar, anak bukanlah sesuatu yg obyektif. Ia menganggap waktu dapat disesuaikan dg
perassannya. Seperti halnya orang dewasa ketika sedang antri akan terasa waktu lama sekali
tetapi ketika sedang asyik waktu akan terasa begitu cepat padahal durasinya 2 jam.
i. TempertantrumTempertantrum adalah mengamuk tanpa alasan yg jelas kadang2
dikeramaian. Hal ini disebabkan anak usia 2-3 tahun memiliki rasa ingin tahu yg tinggi dan
segala ingin melakukan pekerjaan sendiri, namun saying kadang2 keinginan itu lebih besar
dari kemampuannya akibatnya anak putus asa dan mengamuk, ia frustasi dengan
kenyataan bahwa ia masih kecil. Ia belum bisa mengekspresikan rasa marahnya melalui
kata2. Untuk menghadapi anak yg sedang mengamuk beri ia penguatan pada perilaku yg
benar dan beri hukuman atau jangan diacuhkan pada perilaku yg tdk benar.

KEMAMPUAN MOTORIK MURID SEKOLAH DASAR KELAS 2


DI DKI JAKARTA
Oleh: Drs. Purnomo Ananto, MM, dkk.
(Disampaikan pada Seminar Ilmiah PON XV/2000 Tanggal 16-18 Juni 2000,
Malang - Jawa Timur)
Latar Belakang
Murid Sekolah Dasar kelas 2 yang umurnya berusia antara 7-8 tahun pada dasamya sudah
dapat dilihat seberapa jauh motorik mereka, mengingat sebagian besar dan mereka sudah
mulai belajar gerak (sambil bermain) pada saat: di Taman Kanak-kanak ditambah 1 (satu)
tahun belajar pendidikan jasmani di kelas 1 (satu) SD serta beberapa bulan di kelas 2.
Dengan asuransi tersebut diharapkan murid SD kelas 2 sudah merniliki motorik minimal
yang sangat berguna bagi penyesuaian diri kehidupan mereka terutama yang menyangkut
gerakan-gerakan dasar yang berguna dalarn kehidupan mereka sehari-hari.
Anak-anak pada masa usia sekolah dasar sesuai dengan tujuan kurikulurn pendidikan
jasmani yang berlaku, diharapkan mernperoleh pengetahuan dan pernaharnan motorik
yang dianggap penting untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa. Pada
umumnya permainan yang dilakukan oleh murid sekolah dasar merupakan
pengernbangan dari motorik yang diajarkan oleh guru pendidikan jasmani.
Motorik merupakan suatu kebutuhan yang harus dipelajari pada usia sekolah dasar,
mengingat hal tersebut akan sangat dibutuhkan untuk menunjang perkembangan postur
tubuh di masa remaja dan dewasa. Berdasarkan pernikiran tersebut, Bidang Laboratorium
Gerak Keja Jasmani melakukan survey motorik yang meliputi lari cepat 30 meter, lompat
jauh tanpa awalan, tes balok keseimbangan, melempar sasaran, lari zigzag. Gerakangerakan tersebut merupakan gerakan yang sering dilakukan oleh murid sekolah dasar.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui tingkat kemampuan motorik murid sekolah dasar kelas 2.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif (penjajakan) yang dilakukan secara
survey mengenai komponen-komponen motorik sekolah dasar kelas 2 sebanyak 500
orang yang diambil secara random di lima wilayah DKI Jakarta.
Kemampuan Motorik yang di Tes
motorik yang dites dalam survey tersebut meliputi: lari cepat 30 meter (detik), lompat
jauh tanpa awalan (cm), tes balok keseimbangan (detik), melempar sasaran (nilai), lari
zig-zag (detik).
Tinjauan Pustaka Perkembangan Motorik
Perkembangan gerak dasar dan penyempumaannya merupakan hal yang penting selama
masa kanak-kanak. Semua anak-anak, kecuali yang mengalami keterbelakangan dalam
pertumbuhan dan perkembangannya, mampu mengembangkan dan mempelajari berbagai
macarn gerak dan yang lebih rumit. Gerakan-gerakan demikian merupakan pengulangan
terus menerus dari kebiasaan dan menjadikannya dasar dari pengalaman lingkungan
mereka.
Pengembangan gerak dasar adalah proses dimana anak memperoleh gerak dasar dan yang
senantiasa berkembang berdasarkan interaksi:
Proses pengembangan syaraf dan otot yang juga dipengaruhi oleh keturunan.
Akibat dari pengalaman gerak sebelumnya

Pengalaman gerak saat ini


Gerak digambarkan dalarn kaitannya dengan pola gerak tertentu dan.
Pola gerak dasar adalah bentuk gerakangerakan sederhana yang bisa dibagi ke dalam tiga
bentuk geraks sebagai berikut.
Bentuk yang lokomotor (berpindah tempat) dimana bagian tubuh tertentu saja yang
digerakkan; misalnya: jalan, lari, loncat.
Bentuk yang non-lokomotor (tidak berpindah tempat) dimana bagian tubuh tertentu saja
yang digerakkan; misalnya: mendorong, menarik, menekuk, mernutar.
Manipulatif, dimana ada sesuatu yang digerakkan, misalnya: melempar, menangkap,
menyepak, memukul dan gerakan lain yang berkaitan dengan lemparan dan tangkapan
sesuatu.
Gerakan lokornotor, non-okomotor dan manipulatif bisa tampak dengan berbagai
kombinasi, misalnya: lari sambil melernpar dan menangkap bola. Dengan demikian, pola
gerik adalah gerak dasar yang berhubungan dengan pelaksanaan suatu tugas tertentu,
karenanya banyak anak yang bisa melaksanakan pola gerak dasar, tapi dengan kecakapan
yang bermacam-macam.
Motorik dapat diuraikan dengan kata seperti otomatis, cepat dan akurat atau dengan kata
lain titik beratnya adalah pada ketelitian dan ketepatan. Berdasarkan pengerfian tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa pola gerak merupakan pengertian umum dan motorik
merupakan gerak yang lebih khusus.
Sering kali gerak dibedakan antara yang halus dan yang kasar. Gerak halus adalah gerak
yang memerlukan ketelitian, dan kecerdikan; sedangkan gerak kasar adaiah gerakan
seluruh tubuh dan bagian-bagian tubuh yang besar seperti dalam kegiatan yang berpindah
tempat
Banyak gerakan mengandung baik gerakan halus maupun kasar, misainya untuk
melempar bola diperlukan ketepatan sasaran dan kecepatan yang mencukupi. Ketepatan
memerlukan ketelitian dan penguasaan jari dan tangan (gerakan halus), sedangkan
kecepatan lebih memerlukan gerakan tangan dan tubuh yang kasar supaya pelemparannya
cukup kuat.
Selama 4-5 pertarna kehidupan, anak dapat mengendalikan gerakan yang kasar. Gerakan
tersebut melibatkan bagian badan yang luas yang digunakan dalam berjalan, berlari dan
melompat
Setelah berumur 5 tahun teladi perkernbangan yang besar dalarn pengendalian koordinasi
yang lebih baik yang melibatkan kelompok otot yang lebih kecil yang digunakan untuk
menggenggam, melempar, menangkap bola, menulis dan menggunakan alat.
Seandainya tidak ada gangguan lingkungan gangguan fisik atau harnbatan mental yang
mengganggu perkembangan motorik secara normal, anak yang berumur 6 tahun akan siap
menyesuaikan diri dengan tuntutan sekolah dan berperan serta dalam kegiatan bermain
dengan teman sebaya. Masyarakat mengharapkan keadaan yang seperti itu dari anak.
Beberapa hal penting dalam mempelajari motorik yang perlu diperhatikan adalah sebagai
berikut.
1. Kesiapan belajar
Apabila pembelajaran itu dikaitkan dengan kesiapan belajar, maka yang di pelajari
dengan waktu dan usaha yang sama oleh orang yang sudah siap akan lebih unggul
ketimbang oleh orang yang belum siap untuk belajar.
2. Kesempatan belajar

Banyak anak yang tidak berkesempatan untuk mempelajari motorik karena hidup dalam
lingkungan yang tidak menyediakan kesempatan belajar atau karena orang tua takut hal
yang dernikian akan melukai anaknya.
3. Kesempatan berpraktek/latihan
Anak harus diberi waktu untuk berpraktek/latihan sebanyak yang diperlukan untuk
menguasai . Meskipun demikian, kualitas praktek/latihan jauh lebih penting ketimbang
kuantitasnya. Jika anak berpraktek/berlatih dengan model sekali pukul hilang, maka akan
berkembang kebiasaan kegiatan yang jelek dan gerakan yang tidak efisien.
4. Model yang baik
Dalam mempelajari motorik, meniru suatu model memainkan peran yang penting, maka
untuk mempelajari suatu dengan baik, anak harus dapat mencontoh yang baik.
5. Bimbingan
Untuk dapat meniru suatu model dengan betul, anak membutuhkan bimbingan.
Bimbingan juga membantu anak membetulkan sesuatu kesalahan sebelum kesalahan
tersebut terlanjur dipelajari dengan baik sehingga sulit dibetulkan kembali.
6. Motivasi
Motivasi belajar penting untuk mempertahankan minat dari ketertinggalan. Untuk
mempelajari , sumber motivasi adalah kepuasan pribadi yang diperoleh anak dari
kegiatan tersebut, kemandirian dan gengsi yang diperoleh dari kelompok sebayanya gerta
kompensasi terhadap perasaan kurang mampu dalam bidang lain khususnya dalarn tugas
sekolah.
Analisa Hasil Penelitian
Sebenarnya cukup banyak variabel dari penelitian ini yang dapat diolah dan dianalisa
seperti sarana prasarana, guru pendidikan jasmani dan sebagainya. Namun mengingat
keterbatasan waktu, pada kesempatan ini karni hanya mengolah dan menganalisa data
hasil penelitian secara global saja yang meliputi tes lompat jauh, tes keseimbangan, tes
lempar sasaran, tes lari zig-zag dan tes lari 30 meter baik putra maupun putri dengan
mengabaikan faktor sarana prasarana dan guru pendidikan jasmani.
Adapun hasil dimaksud adalah sebagai berikut
1. Tes Lompat Jauh
Gerakan lompat jauh didasari oleh daya ledak otot tungkai. Pada hasil penelitian ini
sebagian besar siswa putra (54,32%) dan putri (80,32%) mempunyai kemampuan motorik
lompat jauh yang kurang. Hal ini mungkin disebabkan karena gerakan-gerakan motorik
yang mengandung unsur daya ledak otot kurang terlatih.
2. Tes Keseimbangan
Keseimbangan tubuh siswa putra sebagian besar adalah baik (64,06%) dan siswa putri
adalah sebagian besar sedang (56,8%). Hal ini disebabkan karena secara fisiologis
keseimbangan tubuh anak-anak ditentukan oleh fungsi neurologis sistem otak dan sistem
vestibular (alat keseimbangan), yang mana pada kelompok siswa ini kedua fungsi
tersebut berkembang normal. Disamping itu, anak-anak telah melakukan permainanpermainan yang memerlukan keseimbangan tubuh sejak masa taman kanak-kanakMisalnya meniti balok, naik sepeda dan lain-lain.
3. Tes Lempar Sasaran
Tes lempar sasaran membutuhkan kekuatan otot tubuh bagian atas, ketepatan dan
koordinasi. Kemampuan melempar mengenai sasaran pada siswa putra sebagian besar

adalah sedang (43,98%), sedangkan pada siswa putri yang baik sebanyak 38,04% dan
yang kurang sebanyak 34,9%.
Pada pengamatan saat penelitian, lemparan siswa putra dan putri disamping tidak tepat
mengenai sasaran, banyak juga yang tidak sampai ke dinding sasaran. Hal ini mungkin
disebabkan karena. kekuatan otot tubuh bagian atas pada anak-anak tersebut belum
berkembang, sedangkan untuk ketepatan melempar sasaran selain dibutuhkan kekuatan
otot juga ketepatan dan koordinasi, yang memerlukan latihan tertentu.
4. Tes Lari Zig-zag
Lari zig-zag siswa putra (56,15%) dan siswa putri (62,8%) adalah kurang. Hal ini
disebabkan karena unsur agilitas (kelincahan) yang diperlukan pada lari zig~zag kurang
tedatih.
5. Lari 30 Meter
Kemampuan lari siswa putra sebagian besar kurang (53,95%) dan kemampuan lari siswa
putri sebagian besar adalah sedang (49%) dan kurang (45,02%). Ha ini mungkin
disebabkan oleh pola hidup mereka yang kurang aktivitas fisik dalam kehidupan seharihari seperti terlalu banyak nonton televisi, bermain TV Games, dsb. Disamping itu juga
disebabkan faktor keterbatasan arena bermain untuk anak.
Kesimpulan
Secara umum kemampuan motorik siswa kelas 2 sekolah dasar di DKI Jakarta, dapat
digambarkan sebagai berikut.
Untuk lompat jauh, led 30 meter dan lari zigzag pada siswa putra dan putri tergolong
kurang.
Kemampuan motorik lempar sasarab baik pada siswa putra maupun putri tersebar relatif
merata pada ketiga kategori.
Pada siswa putra kemampuan motorik keseimbangan tubuh sebagian besar adalah baik,
sedangkan untuk putri sebagian besar berada pada kategori sedang.
Saran
Untuk dapat mengembangkan kemampuan motorik anak sekolah dasar secara optimal
mutlak diperlukan sarana prasarana pendidikanjasmani yang memadai, disamping
dibutuhkan guru pendidikan jasmani atau guru kelas yang memahami masalah
pendidikan jasmani.
Diperlukan penelitian lanjutan agar dapat menjawab seluruh permasalahan mengapa
motorik murid sekolah dasar masih kurang memadai.

Ayo Main, Ayo Gerak!


Anak-anak di Indonesia paling kurang bermain fisik ketimbang Jepang dan Thailand.
Seorang ibu mengaku sedih. Setelah Indonesia terpuruk di berbagai macam hal,
''Sekarang anak-anak Indonesia memiliki Physical and Play Quotient (PQ) paling rendah
pula,'' katanya dalam seminar tentang Holistic and Integrated Educationdi Al Jannah
Islamic Fullday Shool, Cibubur, pekan lalu.
Ia mengacu pada pemaparan hasil penelitian di Universitas Chulalongkorn, Thailand pada
anak-anak di Indonesia, Thailand, Vietnam, dan Jepang pada 2005. Dari empat tes PQ
yang berbeda, anak-anak Jepang mendapat nilai tertinggi mewakili kemampuan bermain
olah raga. `'Mereka mendapat skor tertinggi pada tes yang berhubungan dengan olahraga
favorit mereka, sepak bola dan bola basket,'' kata psikolog Dra Mayke S Tedjasaputra
MSi. Sementara anak Thailand mendapat skor tertinggi pada tes yang menunjukkan
keterampilan dan gerak sehari-hari. Anak-anak Indonesia mendapat nilai terendah
dibandingkan tiga negara lain.
Selanjutnya, memahami kehidupan sehari-harinya, anak-anak Thailand dan Jepang
menghabiskan waktu seimbang antara belajar, berolahraga, dan santai pada hari kerja dan
akhir pekan. Bagaimana dengan anak Indonesia? Anak Indonesia, tutur Mayke,
menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk belajar dan kegiatan seperti nonton
TV dan bermain game komputer ketimbang bermain olahraga.
Menyadarkan orang tua
Mengapa anak Thailand dan Jepang mendapat skor PQ lebih tinggi ketimbang anak
Indonesia dan Vietnam? Menurut penelitian, itu konsekuensi dari kegiatan harian mereka
seperti bermain di luar (outdoor) dan olahraga, atau bahkan keterlibatan dalam
melakukan tugas di rumah. Orang tua mereka lebih mengizinkan kegiatan tersebut
dibanding orang tua Indonesia.
''Ini juga menunjukkan bahwa orang tua memainkan peran penting dalam
mengembangkan PQ anak,'' kata Mayke. Dari penelitian itu, Indonesia satu-satunya
bangsa yang mempunyai persentase tertinggi pada larangan anak kelur dan bermain, dan
bermain sampai baju mereka kotor. ''Tampak juga, orang tua anak Indonesia tak hanya
melarang anak mereka bermain di luar tapi juga tak membatasi anak mereka bermain
computer game, tak seperti orang tua tiga negara lainnya,'' kata ibu tiga anak ini.
Namun, di sisi lain Mayke mengingatkan agar tidak memukulratakan hasil penelitian ini
untuk seluruh Indonesia. Sebab, penelitian di Indonesia dilakukan di Jakarta dan
Surabaya, subjeknya kelas menengah atas pula. `'Mungkin kalau di daerah, misalnya,
Kalimantan PQ-nya bisa tinggi,'' katanya.
Harus menyenangkan
Bermain dalam konteks PQ adalah bermain fisik. Karena itu, kata Mayke, bermain
haruslah merupakan kegiatan yang melibatkan unsur fisik dan keseluruhan indra. Yang
tak boleh dilupakan, bermain haruslah menyenangkan. Bermain dibutuhkan anak-anak
sampai kakek nenek. Namun, saking pentingnya bermain, bukan berarti pula
memaksakannya pada anak. Pada anak yang tak suka sepak bola sebaiknya tidak dipaksa
melakukannya. ''Kalau dipaksa main bola, tidak fun. Itu namanya bekerja,'' kata ahli
terapi bermain itu.

Karena bermain merupakan bagian dari ranah perkembangan anak, Mayke berpendapat,
orang tua maupun guru penting untuk memahaminya. ''Tidak benar bila ada sekolah yang
melarang anak berlari-larian pada waktu istirahat karena nanti berkeringat, saat masuk
kelas menebarkan aroma keringat,'' kata kepala bagian Psikologi Perkembangan Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia itu.
Kendati ada beberapa yang bisa dilakukan di dalam rumah, bermain fisik cenderung
merupakan kegiatan outdoor. Mayke menyayangkan permainan fisik mulai sulit
dilakukan di kota-kota besar. Ia menunjuk permainan engklek, gasing dan lain-lain yang
mulai hilang karena menyempitnya lahan tempat bermain. ''Atau, kalau mau main
layangan di mana?'' katanya.
Banyak yang dipelajari
Bermain fisik mempunyai karakteristik khas. Yakni, bergerak, kelompok, ada aturan
main. Dari karakteristiknya itu, anak bisa banyak belajar. Anak, kata Mayke, biasanya
tidak mau kalah. ''Dengan berkelompok, anak belajar bahwa jika ia tidak bisa, nanti
teman-teman akan memusuhinya,'' katanya. Apa manfaat bermain fisik? Yang jeals, anak
jadi sehat fisik dan terampil motoriknya. ''Anak tidak loyo, lesu darah,'' katanya. Secara
sosial anak pun banyak mendapat keuntungan dari bermain. ''Mudah bergaul karena pede
bergaul.''
Namun, banyak keuntungan lain yang tak disadari. Bermain fisik bisa mengasah
kemampuan perseptual anak. Dengan bermain fisik, anak belajar ketajaman melakukan
pengamatan visual. Anak bisa mengetahui kedalaman, jarak, koordinasi visualmotoriknya. Misalnya, ia bisa membedakan huruf besar dan kecil, bisa memperkirakan
jarak jatuhnya bola sehingga ia bisa menangkapnya.
Dari kemampuan itu, selanjutnya anak bisa menjadi lebih peka dan tanggap. Dari
kedalaman yang diamatinya itu, anak mengaitkannya dengan matematika. Misalnya,
berapa dalamnya lubang itu? ''Itu, artinya kemampuan mengintegrasikan berbagai saraf
otak,'' jelas Mayke. Kekhawatiran orang tua bahwa bermain fisik mengganggu proses
belajar, Mayke tak sepenuhnya sependapat. ''Malah proses belajar jadi lebih baik,''
katanya.
Bermain fisik mengajarkan anak menyelesaikan masalah. Karena bermain fisik umumnya
merupakan aktivitas outdoor, anak akan menemukan hal-hal baru (variatif) yang berbeda
dengan games elektronik. Meski banyak orang berpendapat permainan komputer kreatif,
Mayke tak sependapat. ''Kreativitas sudah di-set itu saja. Sementara persoalan hidup
selalu berubah,'' katanya. Bermain fisik, jelas Mayke, mengasah kepekaan terhadap
lingkungan. Anak akan mengamati dan mengenal lingkungan sekitarnya, lingkungan
alam.
Membedakan waktu
Bila orang tua ingin mengajak anak yang tak suka bermain fisik di luar, Mayke
menyarankan agar melakukannya secara bertahap. Pertama, orang tua bisa mencarikan
kegiatan dengan bahaya fisik yang tidak besar. Misalnya, membawa bola dan
memainkannya di Taman di saat cuaca tidak hujan. Bila anak sudah merasa nyaman,
barulah ditingkatkan kegiatannya.
Bermain, jelas Mayke, harus ada porsinya. Terutama bila anak masuk SD, ia harus tahu
kapan belajar dan bermain. Sesungguhnya pembedaan waktu ini sudah harus

diperkenalkan sejak TK. Saat itu, anak diperkenalkan kapan mewarnai, duduk
mendengarkan cerita, dan bermain fisik. `'Pembiasaan penting, tidak berarti TK harus
belajar terus,'' tutur Mayke, `'TK perlu bermain, tapi terarah.''
Saat anak sudah bertambah besar, kegiatan bermain bisa disebut mengganggu bila anak
menghindari belajar. Nilai di sekolah turun. `'Lakukan penjadwalan,'' saran Mayke,
`'Boleh bermain sesudah belajar, belajar sesuai tipe anak

Sekolah Dasar Dyatmika


Kurikulum Sekolah Dasar Dyatmika
Dyatmika mengacu kepada Kurikulum Nasional Indonesia tahun 2004, yang sangat mirip
dengan sekolah-sekolah dasar di kebanyakan negara Barat karena berorientasi kepada
hasil, siswa dan berbagai kegiatan. Lebih lanjut, sementara kurikulum yang dipergunakan
berbahasa Indonesia , strategi-strategi pengajaran kami sangat banyak dipengaruhi oleh
metode-metode pengajaran gaya Barat.
Mata Pelajaran di SD
Baik Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris diajarkan sebagai bahasa ibu di SD
Dyatmika. Bantuan ekstra ESL (English as a Second Language) dan ISL (Indonesian as a
Second Language) juga diberikan bagi para siswa yang memerlukan bantuan dalam
menguasai salah satu bahasa tersebut. Matematika, IPA dan IPS diajarkan dalam
dwibahasa dan tugas-tugasnya juga harus dikerjakan di dalam dwibahasa. Pelajaran
Olahraga, Kesehatan, Kesenian dan Musik diajarkan kepada semua siswa di SD. Banyak
bidang studi yang diintegrasikan ke dalam topik-topik pelajaran karena hal ini membantu
siswa memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam daripada mengajarkan
masing-masing bidang studi secara terpisah kepada mereka. Apresiasi terhadap
kebudayaan Bali juga diajarkan kepada semua tingkat kelas dan para siswa diperkenalkan
kepada bahasa dan aksara Bali .
Dwibahasa
Anak-anak SD Dyatmika benar-benar memiliki kemampuan dwibahasa. Setiap kelas
memiliki seorang guru nasional penuh waktu dan seorang guru penutur asli bahasa
Inggris paruh waktu. Kira-kira setengah dari semua pelajaran diajarkan di dalam Bahasa
Indonesia dan setengahnya lagi di dalam Bahasa Inggris. Kedua guru tersebut mengajar
bersama dan mempergunakan kedua bahasa tersebut di dalam sebagian besar waktu
mengajar mereka. Pada saat bermain, para siswa menggunakan kedua bahasa tersebut
dengan bebas dan penuh percaya diri.
Fasiltas Sekolah Dyatmika
Dyatmika memiliki sebuah perpustakaan yang luas, yang penuh dengan buku-buku fiksi,
non-fiksi dan referensi baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Tersedia 2
ruang komputer bagi siswa dan semua siswa boleh menggunakan Internet untuk mencari
data. Ketrampilan komputer diajarkan di semua tingkat, mulai dari tingkat pra-sekolah.
Fasilitas luar sekolah meliputi lapangan olahraga, area tertutup untuk olahraga, dan taman
bermain SD yang terpisah.
Kesadaran Lingkungan
Kesadaran terhadap isu-isu lingkungan sangat penting bagi etos Sekolah Dyatmika.
Masing-masing kelas di SD mempelajari lingkungan sebagai bagian dari kurikulum;
sekolah mendaur ulang dan mempergunakan ulang sebagian besar sampah yang ada dan
setiap tahun kami mengadakan 'Hari Lingkungan' dan berpartisipasi di dalam proyek
'Membersihkan Bali'.
Aktivitas Ekstra-kurikuler
Pada setiap term ditawarkan aktivitas seusai jam sekolah/ekstra kurikuler yang luas.
Aktivitas-aktivitas ini beragam, mulai dari kesenian dan kerajinan tangan sampai kepada
kegiatan olahraga yang beragam dan permainan yang berorientasi pada pelajaran. Pada

setiap term, macam-macam kegiatan tersebut ditawarkan kepada masing-masing


kelompok umur.
Saling Peduli dan Berbagi
Sementara Dyatmika telah bertumbuh dari sekolah skala kecil menjadi skala menengah,
Dyatmika tetap mempertahankan suasana sekolah yang penuh penerimaan dan
kepedulian, yang berarti siswa mengembangkan kepercayaan diri dan perasaan saling
memiliki diantara mereka. Banyak aktivitas yang dikelola untuk keluarga, dan orangtua
terlibat di dalam berbagai aspek sekolah. Aktivitas-aktivitas seluruh sekolah, dengan
siswa dari tingkat pra-sekolah sampai kelas 12 di dalam kelompok-kelompok 'house'
dengan aneka usia, terbukti sangat menyenangkan dan membangun suasana kepedulian di
seantero sekolah.

Anda mungkin juga menyukai