Anda di halaman 1dari 21

ANALISA JURNAL

“PENTINGNYA TANDA PENINGKATAN JVP DAN BJ S-3


PADA KLIEN DENGAN GAGAL JANTUNG”

Dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Tugas Praktik Profesi Keperawatan


Stase Keperawatan Gawat Darurat di IGD RS Dr. Sardjito Yogyakarta
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Disusun oleh :
Mekar Dwi Anggraini
Ayu Khuzaimah Kurniawati
Erwi Rochma Pangestuti

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA
Y O G Y A K A R T A
2 0 0 4
PENTINGNYA TANDA PENINGKATAN JVP DAN BJ S-3
PADA PASIEN DENGAN GAGAL JANTUNG

ABSTRAK
Latar Belakang
Nilai uji prognostik independen dari peningkatan JVP dan S-3 pada pasien
gagal jantung belum baik.

Metode
Menggunakan analisa retrospektif pada percobaan pengobatan pada pasien
dengan dysfungsi ventrikel kiri. Jumlah responden yang terlibat dalam penelitian
ini berjumlah 2569 pasien dengan tanda – tanda gagal jantung atau yang memiliki
riwayat sakit gagal jantung yang mendapatkan pengobatan enalapril atau plecebo.
Nilai mean (SD) follow-up adalah 32±15 bulan. Munculnya peningkatan JVP dan
S-3 dipastikan melalui latihan fisik yang dilakukan dalam percobaan.

Hasil
Analisa multivariat yang sudah dicocokan untuk pemakai yang lain.
Peningkatan JVP dihubungkan dengan peningkatan resiko hospitalisasi pada
penderita gagal jantung (RR;132, CI; 95%,1,08 sampai 1,62; P<0,001), kematian
atau hospitalisasi pada gagal jantung (RR;1,30, CI; 95%, 1,11 sampai 1,53;
P<0,005). Dan kematian akibat kegagalan pompa (RR;1,37, CI; 95%, 1,07 sampai
1, 75, P<0,05)

Kesimpulan
Pada pasien dengan gagal jantung, peningkatan JVP dan S-3 masing –
masing secara bebasdihubungkan dengan hasil yang berlawanan atau berbeda,
meliputi progesivitas gagal jantung, Pengkajian terhdap temuan memiliki arti
untuk klinik.
METODE
Jumlah total responden pada penelitian ini adalah sebanyak 2569
responden yang memiliki gejala gagal jantung kongestif, atau memiliki riwayat
gagal jantung kongestif, dan pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 0,35 atau
kurang yang secara acak dipilih untuk menerima obat enelapril atau placebo.
Pasien didata sejak juni 1986 sampai dengan Maret 1989. Pre-randomisasi
dimulai dari fase single blind active drug (2-7 hari) diikuti dengan fase placebo
(14-17 hari). Pasien yang keadaan gagal jantungnya menjadi lebih buruk selama
fase ini dikeluarkan dari percobaan. Pengobatan dimulai terutama pada outpatient
setting (99%) kasus. Peserta yang diikutkan rata – rata (± SD) 32±15 bulan.
Protokol yang digunakan disetujui menggunakan wawancara dan
menandatangani informed consent oleh pasien yang telah terdaftar.

Pengumpulan Data
Data dasar demografi meliputi kelas fungsional NYHA dan informasi dari
rekam medis dan semua pasien pada saat pengumpulan data menggunakan obat
yang didapat dari semua pasien pada saat namanya didaftar. Data latar belakang
ras dan etnis diperoleh dari formulir SOVLD adapun kategori etnis dan ras adalah
indian amerika, asia, kulit hitam, kulit putih, hispanik dan yang lainnya. Pada saat
melakukan pendaftaran nama, peneliti melakukan pemeriksaan untuk
mengevaluasi atau menilai para pasien terhadap munculnya JVP dan S-3. Peserta
juga menggunakan formulir SOLVD, formulir data dasar yang komplit,
adanya/munculnya peningkatan JVP atau S-3 diindikasikan dengan format ya atau
tidak.

Definisi End Points


Point End Primary pada SOLVD adalah kematian yang disebabkan oleh
berbagai sebab. Penyebab kematian juga diklasifikasikan dalam format standar
setelah wawancara oleh peneliti utama dimasing – masing pusat disekitar tempat
kematian. Penyebab kematian akibat penyakit jantung diklasifikasikan menjadi
gagal pompa jantung, aritmia dengan beberapa kondisi buruk yang mendahului
atau aritmia tanpa kondisi buruk yang mendahului. Sebelumnya digambarkan
dalam penelitian ini mengklasifikasikan semua sifat kematian menjadi gagal
pompa dan aritmia tanpa kondisi buruk yang mendahului pada gagal jantung dan
gagal pompa. Kematian yang disebabkan oleh aritmia tanpa ada keadaan buruk
yang mendahului diklasifikasikan sebagai kematian akibat aritmia..

Analisa Stastitik
Klien dengan data yang kurang lengkap merupakan kriteria eksklusi
penelitian, terhitung sebanyak 2.479 responden. Variabel yang diukur dan diamati
secara terus-menerus adalah : usia, fraksi ejeksi ventrikel kiri, Tekanan Darah
(TD) sistolik, Heart Rate (HR), tingkat creatinin serum, dan sodium serum.
Variabel pembedanya adalah peningkatan Jugular Venous Pressure (JVP) (ya atau
tidak) atau terdengarnya Bunyi Jantung (BJ) S-3 (ya atau tidak); ras kulit hitam
(ya atau tidak); penyebab disfungsi sistolik ventrikel kiri (iskema atau non
iskemia); kelas fungsional NYHA (I atau II vs III atau IV); gambaran
Elektrocardiography (EKG) atrial fibrilasi di line dasar (ya atau tidak); riwayat
kondisi medis (ya atau tidak untuk masing-masing) yang meliputi riwayat
Diabetes Militus, hipertensi, Miocardiac Infarc, dan stroke; dasar pengobatan pada
waktu tertentu (ya atau tidak untuk masing-masing) yang meliputi diuretik, beta-
bloker, digoksin, dan agen antiaritmia; dan penggunaan enalapril atau golongan
placebo. Peneliti menggunakan T-Tes untuk membandingkan data kontinyu,
asumsi tepat dimana variansi tidak sama, dan Chi-Square untuk membandingkan
data biner. Peneliti menggunakan proporsi Cox-model Hazard untuk mengakses
data secara univariat dan multivariat terhadap variabel independen dengan tujuan
penelitian. Resiko tujuan dihubungkan dengan temuan tanda fisik pada saat
pemeriksaan fisik yang dikaji melalui 3 metode, yaitu : 1) peningkatan JVP, 2) BJ
S-3, dan 3) peningkatan JVP, BJ S-3, atau kombinasi keduanya. Peneliti membuat
2 cara dari Kaplan-Meier untuk menyusun end point of death atau hospitalisasi
klien gagal jantung, satu berdasarkan ada tidaknya peningkatan JVP, dan satu
berdasarkan ada tidaknya BJ S-3. Peneliti menggunakan Log-Rank Test untuk
menentukan kejadian menurut ada tidaknya temuan-temuan tersebut. Nilai P yang
kurang dari 0,05 dipertimbangkan sebagai indikasi analisis statistik yang
signifikan. Data dasar SOLVD yang berasal dari National Heart, Lung, and Blood
Institute, diperlukan dalam studi investigasi dan analisis independen di Pusat
Penelitian Klinik Kardiovaskular Donald W. Reynolds di Dallas.

HASIL
Karakteristik Dasar Klien
Karakteristik dasar klien dengan peningkatan JVP atau adanya BJ S-3,
atau dengan keduanya ditunjukkan dalam tabel 1. Klien dengan peningkatan JVP
dan juga terdapat BJ S-3 mempunyai penyakit gagal jantung lebih berat daripada
klien yang tidak ditemukan tanda-tanda fisik tersebut yang dikaji melalui
pemeriksaan dasar keparahan gagal jantung, yang meliputi kelas fungsional
NYHA, fraksi ejeksi ventrikel kiri, dan HR. Klien dengan peningkatan JVP dan
adanya BJ S-3 lebih sering terjadi pada wanita dan dengan penyebab noniskemia
disfungsi ventrikel kiri. Klien dengan peningkatan JVP lebih sering mempunyai
riwayat Atrial Fibrilation (AF), DM dan riwayat pengobatan diuretik (daripada
klien tanpa peningkatan JVP). Klien dengan BJ-3 biasanya tanpa riwayat MI dan
pengobatan beta-bloker. Klien dengan peningkatan JVP atau dengan BJ-3 tanpa
temuan fisik tersebut mungkin sama-sama mempunyai kesempatan utuk mendapat
pengobatan enapril.

Angka insidence (kejadian) dari End Point


Insiden kematian akibat berbagai sebab, akibat hospitalisasi (rawat inap)
bagi pasien gagal jantung, atau gabungan antara end point of death atau
hospitalisasi bagi pasien gagal jantung ditunjukkan berdasarkan ada atau tidaknya
peningkatan JVP dan BJ S-3. Pada kedua kasus, pasien dengan temuan – temuan
fisik ini mempunyai peningkatan yang secara signifikan terhadap rata – rata
kematian, hospitalisasi pada pasien gagal jantung, gabungan antara end point of
death atau hospitalisasi pada pasien gagal jantung, dan kematian akibat kegagalan
pompa, tetapi bukan kematian akibat arrhytmia. Kurva kejadian bebas penderitaan
ditunjukkan berdasrkan ada atau tidaknya peningkatan JVP dan BJ S-3. End point
adalah gabungan antara kematian atau hospitalisasi pada pasien dengan gagal
jantung. Pada panel A, 280 pasien dengan peningkatan JVP kemungkinan akan
lebih sering mengalami gabungan end point daripada 2199 pasien tanpa
peningkatan JVP (P<0,001 dengan log rank test). Pada panel B, 597 pasien
dengan BJ S-3 kemungkinan akan lebih sering mengalami gabungan end point
daripada 1882 pasien tanpa BJ S-3 (P<0,001 dengan log rank test).

Analisa Univariate
Analisa univariate menunjukkan bahwa pasien dengan peningkatan JVP
secara signifikan lebih berisiko tinggi mengalami kematian karena berbagai sebab
daripada pasien yang tanpa peningkatan JVP (Relative Risk/RR, 1,52; interval
kepercayaan 95%, 1,27-1,82; P<0,001), hospitalisasi pada pasien gagal jantung
(RR, 1,78; interval kepercayaan 95%, 1,47-2,17; P<0,001), gabungan end point of
death atau hospitalisasi pada pasien gagal jantung (RR, 1,69; interval
kepercayaan 95%, 1,45-1,97; P<0,001), dan kematian akibat kegagalan pompa
(RR, 1,99; interval kepercayaan 95%, 1,57-2,52; P<0,001), tetapi bukan kematian
akibat aritmia (RR, 1,10; interval kepercayaan 95%, 0,72-1,68; P<0,66).
Temuan – temuan pada pasien dengan BJ S-3 mirip dengan temuan – temuan pada
pasien dengan peningkatan JVP. Pada anlisa univariat, pasien dengan BJ S-3
secara signifikan lebih berisiko tinggi terjadi kematian akibat berbagai sebab
daripada pada pasien yang tidak terdengar BJ S-3 (RR, 1,35; interval kepercayaan
95%, 1,17-1,55; P<0,001), hospitalisasi pada pasien gagal jantung (RR, 1,70;
interval kepercayaan 95%, 1,46-1,97; P<0,001), gabungan end point of death atau
hospitalisasi pada pasien gagal jantung (RR, 1,42; interval keprcayaan 95%, 1,26-
1,60; P<0,001), dan kematian akibat kegagalan pompa (RR, 1,77; interval
kepercayaan 95%, 1,46-2,15; P<0,001), tetapi bukan kematian akibat aritmia (RR,
1,22; interval kepercayaan 95%, 0,90-1,65; P=0,20).

Analisa Multivariat
Analisa multivariat menunjukkan bahwa pasien - pasien dengan
peningkatan JVP dan mereka dengan BJ S-3 secara signifikan terjadi peningkatan
bagi terjadinya hospitalisasi pada pasien gagal jantung, gabungan antara end point
atau hospitalisasi pada apsien gagal jantung, kematiab akibat kegagalan pompa,
tapi bukan kematian akibat aritmia.
Dari 2479 pasien, sejumlah 706 pasien dengan peningkatan JVP, 1 orang pasien
dengan BJ S-3, atau keduanya: 109 pasien dengan peningkatan JVP muncul BJ S-
3, 426 pasien dengan BJ S-3 muncul peningkatan JVP, dan 171 dengan
peningkatan JVP dan BJ S-3. Analisa multivariat dengan menggunakan beberapa
covariat yang digambarkan diatas menunjukkan bahwa, memperbandingkan 1773
pasien tanpa temuan keduanya(peningkatan JVP dan BJ S-3), pasien dengan
peningkatan JVP, dengan BJ S-3, atau keduanya yang secara signifikan
meningkatkan risiko kematian akibat berbagai sebab, hospitalisasi pada pasien
gagal jantung, gabungan end point of death atau hospitalisasi pada pasien gagal
jantung, dan kematian akibat kegagalan pompa jantung, tetapi bukan kematian
akibat aritmia. Sebagai tambahan, analisa multivariat pada 171 pasien dengan
peningkatan JVP dan BJ S-3 dibandingkan dengan 535 pasien yang hanya
mempunyai salah satu temuan tersebut menunjukkan bahwa risiko seluruh hasil
akhir, termasuk hospitalisasi pada pasien dengan gagal jantung (RR, 1,13; interval
kepercayaan 95%, 0,86-1,48; P=0,38) dan gabungan end point of death atau
hospitalisai pada gagal jantung (RR, 1,05; interval kepercayaan 95%, 0,84-1,30;
P=0,69) adalah hampir sama/serupa.

Tingkatan Analisa Multivariat menurut NYHA Functional Class dan


Pemberian Pengobatan
Perbedaan mendasar yang jelas pada kelas fungsional NYHA antara pasien
dengan dan mereka (pasien) yang tanpa temuan fisik, kami melakukan analisa
multivariat bahwa tingkatan menurut kelas NYHA (1671 pasien berada pada kelas
NYHA I atau II dan 808 pasien berada pada kelas NYHA III atau IV). Dengan
pengecualian pada kelas fungsional NYHA, covariate - covariate yang sama yang
termasuk dalam analisa primer dimasukkan dalam model – model ini. Seperti
yang terlihat pada tabel 4, hasil analisa sementara ini dikonsistenkan dengan
covariate (hasil) dari analisa primer. Pada kedua strata kelas NYHA munculnya
peningkatan JVP sendirian, BJ S-3 sendirian; atau keduanya dihubungkan dengan
risiko relatif lebih dari 100 kasus hospitalisasi pada gagal jantung, gabungan end
point of death atau hospitalisasi pada gagal jantung, dan kematian akibat
kegagalan pompa, walaupun tidak seluruh nilai yang dicapai signifikan.
Untuk menentukan apakah pengobatan dengan penghambat enzym
converting angiotensin mengurangi prognostic value pada temuan yang diperoleh
dari pemeriksan fisik, kami juga melakukan analisa multivariat yang
dikelompokkan menurut pengobatan yang diberikan. Dengan kekecualian pada
pemberian pengobatan, covariate – covariate yang sama termasuk dalam analisa
primer dimasukkan dalam model – model tersebut, seperti yang ditunjukkan pada
tabel 4, munculnya peningkatan JVP sendirian, BJ S-3 sendirian; atau keduanya
secara bersamaan dihubungkan dengan risiko yang serupa pada kebanyakan hasil
pengobatan pada 2 kelompok. Sebagai tambahan, tidak ada bukti yang signifikan
secara sastitik mengenai interaksi antara pemberian pengobatan dan peningkatan
JVP atau antara pemberian pengobatan dan BJ S-3 dengan perhatian utama pada
risiko kematian, hospitalisasi pada gagal jantung, gabungan keduanya, dan
kematian akibat kegagalan pompa jantung ketika waktu ini berinteraksi termasuk
dalam model – model multivariat )P>0,1 untuk seluruh perbandingan).

DISKUSI
Data yang diperoleh dari pemeriksaan fisik tentang adanya peningkatan
JVP dan adanya bunyi jantung S-3 dapat digunakan sebagai tanda penting pada
klien gagal jantung. Munculnya tanda-tanda tersebut dapat digunakan pula
sebagai indikasi mondok/hospitalisasi bagi klien gagal jantung yang mengalami
peningkatan resikogagal jantung progresif. Dari data kajian diperoleh bahwa
angka kematian penderita gagal jantung diakibatkan oleh adanya kegagalan
pompa dan gabungan antara “end point of death” atau karena faktor hospitalisasi.
Sebagian klien gagal jantung dengan peningkatan JVP, atau adanya bunyi jantung
S-3, atau adanya kedua tanda tersebut juga dapat meningkatkan resiko kematian,
yang dikarenakan berbagai sebab (termasuk end point of death). Hubungan ini
tetap berlaku meskipun telah ada tanda-tanda keparahan gagal jantung yang lain,
seperti fraksi ejeksi ventrikel kiri, kelas fungsional NYHA, dan tingkat sodium
serum.
Pada pemeriksaan fisik klien dengan gagal jantung, data mengenai tingkat
prognostik dalam mendeteksi peningkatan JVP sangat terbatas. Adanya
peningkatan tekanan atrial kanan diasumsikan sebagai prognosis yang buruk.
Beberapa data mungkin tidak dapat digunakan untuk memperkirakan JVP yang
diperoleh melalui pemeriksaan fisik. Beberapa data mungkin tidak dapat
digunakan untuk memperkirakan tekanan vena jugular yang dilakukan melalui
pemeriksaan fisik, jika tekanan atrial kanan hasil pengukuran secara invasif sangat
buruk. Saran yang diberikan adalah dengan meningkatkan keakurasian dalam
pengakjian klinik terhadap tekanan vena. Temuan baru ini menyatakan adanya
hubungan antara peningkatan JVP dengan peningkatan tekanan pengisian sisi kiri
jantung pada kateterisasi jantung kanan. Belakangan ini, studi-studi tentang klien
dengan riwayat kelas IV NYHA, menunjukkan tanda-tanda kongestif yang
rendah. Pengkajian ini meliputi 5 hal, dan salah satu diantaranya adalah adanya
peningkatan JVP yang dikaitkan sebagai manifestasi klinis positif/favorable.
Akan tetapi temuan tentang bunyi jantung S-3 ini dilaporkan sebagai
manifestasi klinis unfavorable pada penderita gagal jantung, karena hubungan ini
didasarkan pada studi observasional yang relatif kecil. Sebagai tambahan,
sebagian besar studi ini tidak memperhatikan tanda-tanda keparahan lain pada
klien gagal jantung, seperti fraksi ejeksi ventrikel kiri. Penelitian yang dilakukan
pada 50 klien dengan gagal jantung yang progresif, diperoleh hampir seluruh klien
(96%) ditemukan bunyi jantung S-3. maka dari itu dapat diasumsikan bahwa
adanya bunyi jantung S-3 ini dapat digunakan sebagai batasan manifestasi klinis
gagal jantung. Beberapa studi penelitian menunjukkan bahwa kesepakatan
mengenai adanya bunyi jantung S-3 pada penderita gagal jantung ini masih
rendah atau dengan kata lain belum ada kesepakatan yang bulat. Bahkan diantara
dokter-dokter berpengalaman memunculkan pertanyaan serius tentang
penggunaan tanda ini (adanya bunyi jantung S-3) pada klien gagal jantung.
Beberapa temuan yang telah dilakukan mungkin kurang representatif, karena
kurangnya kemampuan para lulusan sekolah kedokteran akhir-akhir ini tentang
skill dalam pemeriksaan fisik, terutama auskultasi suara jantung. Meskipun
demikian kenyataannya, peneliti tetap menyarankan untuk melakukan deteksi
adanya bunyi jantung S-3 pada pemeriksaan fisik klien dengan gagal jantung. Hal
ini penting dilakukan untuk menilai prognosis unfavorable pada klien dengan
gagal jantung.
Mengapa peningkatan JVP atau adanya bunyi jantung S-3 dapat
dihubungkan dengan peningkatan resiko gagal jantung. Hal ini dapat dijelaskan
sebgai berikut : peningkatan JVP merupakan reflek dari peningkatan tekanan
atrium kanan yang diakibatkan oleh peningkatan tekanan pengisian sisi kiri
jantung pada klien gagal jantung kronik. Peningkatan tekanan pengisian sisi kiri
jantung ini merupakan prognosis yang buruk pada klien gagal jantung. Hal ini
mungkin sebagai manifestasi dari apoptosis yang disebabkan karena regangan
miokard/otot jantung atau bertambahnya aktivasi sistem saraf simpatis. Klien
dengan gagal jantung mungkin ditemukan bunyi jantung S-3 sebagai manifestasi
dari rendahnya aktivitas ventrikel, peningkatan tekanan balik, atau peningkatan
dini rata-rata pengisian diastolik. Keadaan yang mirip pada patofisiologi diastolik
ini juga terjadi pada klien disfungsi sistolik ventrikel kiri yang dilakukan
echocardiography (ECG) yang merupakan prognosis unfavorable.
Analisis retrospektif yang telah dilakukan oleh peneliti menghasilkan
beberapa batasan penting. Kemungkinan ada beberapa variabel pengganggu yang
terukur dan yang tidak terukur, meskipun peneliti sudah berupaya mencari faktor
resiko penyakit gagal jantung melalui analisis multivariat. Pemeriksaan fisik yang
dilakukan untuk mendeteksi peningkatan JVP dan adanya bunyi jantung S-3
belum distandarisasikan dalam Percobaan Study Of Left Ventricular Disfungtion
(SOLVD Trials), meskipun pendekatan yang dilakukan mungkin sudah mewakili
praktik klinik. Pemeriksaan fisik dapat membantu keakuratan data, sehingga tidak
perlu melakukan konfirmasi ulang (misalnya dengan phonocardiography untuk
memastikan adanya bunyi jantung S-3), meskipun kadang-kadang terjadi
kesalahan pengelompokan yang disebabkan oleh kesalahan pemeriksa sehingga
menimbulkan bias pada hasil yang mengarah pada hipotesis nol. Taksiran
pemeriksa mengenai keparahan kondisi klien dapat mempengaruhi hasil
pengkajiannya mengenai adanya peningkatan JVP atau bunyi jantung S-3.
Keputusan untuk mondok/hospitalisasi klien dengan gagal jantung mungkin
disebabkan oleh adanya peningkatan JVP dan adanya bunyi jantung S-3. Bias ini
tidak mungkin menjelaskan hasil penelitian, selama temuan pemeriksaan fisik
tersebut dicatat pada saat pendaftaran dan setelah klien mondok selama beberapa
bulan kemudian; selama adanya bunyi jantung S-3 sebagai indikasi
mondok/hospitalisasi; selama adanya kurang lebih satu gejala fisik yang
berhubungan dengan peningkatan resiko kematian dari semua penyebab ditambah
end point untuk hospitalisasi. Klasifikasi penyebab kematian karena kegagalan
pemompaan mungkin juga dipengaruhi oleh peningkatan JVP atau bunyi jantung
S-3 beberapa saat menjelang kematian, meskipun tanda fisik ini sering ditemukan
setelah pemeriksaan fisik.
Karena seringnya penggunaan beta-bloker pada Percobaan SOLVD,
peneliti tidak dapat menentukan apakah beta-bloker mempengaruhi prognostik
dari tanda fisik peningkatan JVP atau bunyi jantung S-3. Namun demikian,
dengan model multivariat dapat diketahui kegunaan beta-bloker. Peneliti juga
belum mengetahui kegunaan tanda fisik peningkatan JVP atau terdengarnya bunyi
jantung S-3 sebagai indikator disfungsi sistolik ventrikel kiri, selama kriteria
masukan pada percobaan penanganan SOLVD termasuk EF (ejection fraction)
0,35 atau kurang.
Kesimpulannya adalah, bahwa deteksi terhadap peningkatan JVP atau
terdengarnya bunyi jantung S-3 pada klien gagal jantung berhubungan dengan
hasil akhir yang buruk (kurang baik), termasuk perkembangan gagal jantung yang
progresif, bahkan ditetapkan sebagai tanda lain dari keparahan penyakit. Temuan
– temuan ini dapat meningkatkan keyakinan bahwa pengkajian yang difokuskan
disamping tempat tidur klien secara klinik sangat berarti, dan mungkin dapat
mendorong para pemeriksa untuk memperbaiki kemampuannya dalam melakukan
pemeriksaan fisik.
TINJAUAN TEORI

BUNYI JANTUNG
Dengan stetoskop kita dapat mendengar bunyi jantung normal,
yang biasanya didiskripsikan sebagai “lub, dub, lub, dub, …”. Bunyi “lub”
dikaitkan dengan penutupan katup atrioventrikular (A-V) pada permulaan
sistol, dan bunyi “dub” dikaitkan dengan penutupan katup semilunaris
(aorta dan pulmonaris) pada akhir sistol. Bunyi “lub” disebut bunyi
jantung yang pertama, dan “dub” sebagai bunyi jantung yang kedua,
karena siklus normal jantung dianggap dimulai pada permulaan sistol
ketika katup A-V menutup.

Penyebab Bunyi Jantung Pertama dan Kedua


Penyebab bunyi jantung adalah getaran pada katup yang tegang
segera setelah penutupan bersama dengan getaran darah yang berdekatan,
dinding jantung, dan pembuluh-pembuluh utama sekitar jantung. Jadi,
dalam mencetuskan BJ-1, kontraksi ventrikel menyebabkan aliran balik
darah secara tiba-tiba yang mengenai katup A-V (katup mitral dan
trikuspidal), sehingga katup ini mencembung ke arah atrium sampai korda
tendinea secara tiba-tiba menghentikan pencembungan ini. Elastisitas dari
katup yang tegang kemudian akan mendorong darah kembali ke ventrikel-
ventrikel yang bersangkutan. Peristiwa ini menyebabkan darah dan
dinding ventrikel serta katup yang tegang bergetar dan menyebabkan
turbulensi getaran dalam darah. Getaran kemudian melambat melalui
jaringan di dekatnya ke dinding dada, sehingga dapat terdengar sebagai
bunyi melalui stetoskop.
Bunyi jantung kedua ditimbulkan oleh penutupan katup
semilunaris yang berlangsung tiba-tiba. Ketika katup semilunaris menutup,
katup ini menonjol ke arah ventrikel dan regang katup elastis akan
melentingkan darah kembali ke arteri, yang menyebabkan pantulan yang
membolak-balikkan darah antara dinding arteri dan katup semilunaris dan
juga antara katup dan dinding ventrikel. Getaran yang terjadi di dinding
arteri kemudian dihantarkan di sepanjang arteri. Bila getaran dari
pembuluh atau ventrikel mengenai “dinding suara”, misalnya dinding
dada, getaran ini akan menimbulkan suara yang dapat didengar.

Tinggi Nada dan Lama BJ-1 dan BJ-2


Lama dari setiap bunyi jantung sedikit lebih dari 0,10 detik, BJ-1
kira-kira 0,14 detik dan BJ-2 kira-kira 0,11 detik. Penyebab dari lebih
singkatnya BJ-2 adalah karena katup semilunaris lebih tegang daripada
katup A-V, sehingga katup-katup ini bergetar selama masa waktu yang
lebih pendek daripada katup A-V.
Kisaran frekuansi yang dapat didengar (tinggi nada) pada BJ-1 dan
BJ-2, dimulai dari frekuensi yang paling rendah yang dapat dideteksi oleh
telinga dan terus meningkat sampai sekitar 500 siklus/detik. Bila
digunakan alat elektronik secara khusus untuk merekam suara, sejauh
bagian terbesar dari suara yang dapat terekam adalah pada frekuensi
dibawah kisaran suara yang dapat didengar, terus turun sampai 3-4
siklus/detik dan memuncak pada sekitar 20 siklus/detik. Untuk alasan ini
BJ dapat direkam secara elektronik bila tidak dapat didengar dengan
stetoskop.
BJ-2 secara normal memiliki frekuensi lebih tinggi daripada BJ-1
karena dua alasan sebagai berikut : 1) ketegangan katup semilunaris jauh
lebih besar dibandingkan dengan katup A-V, 2) koefisien elastisitas arteri
lebih besar sehingga menyebabkan ruang-ruang utama jantung bergetar
selama bunyi kedua, bandingkan dengan ruang ventrikular yang jauh lebih
longgar yang menimbulkan sistem getaran pada BJ-1.

Bunyi Jantung Ketiga


Kadang-kadang terdengar BJ-3 yang lemah dan bergemuruh pada
awal sepertiga bagian tengah diastol. Suatu keterangan yang logis namun
belum terbukti mengenai bunyi ini ialah bolak-baliknya darah antara
dinding-dinding ventrikel yang dicetuskan oleh masuknya darah dari
atrium. Keadaan ini analog dengan air kran yang mengalir masuk ke dalam
sebuah kantong. Aliran air itu akan bergetar bolak-balik antara dinding-
dinding kantong sehingga dinding kantong juga ikut bergetar alasan
mengapa BJ-3 baru terdengar pada sepertiga bagian tengah diastol ialah
mungkin karena pada permulaan diastol, jantung belum cukup terisi,
sehingga belum terdapat tegangan elastik yang cukup dalam ventrikel
untuk menimbulkan lentingan. Frekuensi BJ-3 ini biasanya rendah
sehingga telinga kita sangat sulit mendengarnya.

Bunyi Atrium (BJ-4)


Pada beberapa orang, bunyi atrium (BJ-4) dapat terekam pada
fonokardiogram, tetapi dengan stetoskop hampir tidak dapat terdengar
karena frekuensinya yang sangat rendah, biasanya 20 siklus/detik atau
kurang. Bunyi ini timbul pada waktu atrium berkontraksi dan mungkin
disebabkan oleh munculnya darah ke dalam ventrikel, sehingga
menimbulkan getaran seperti yang terjadi pada BJ-3

TEKANAN VENA
Untuk memahami berbagai fungsi vena, perlu diketahui tekanan
dalam vena dan bagaimana pengaturannya. Darah dari semua vena
sistemik mengalir ke dalam atrium kanan, karena itu tekanan di atrium
kanan disebut tekanan vena sentral. Apapun yang mempengaruhi tekanan
vena sentral biasanya mempengaruhi tekanan vena dimanapun dalam
tubuh. Tekanan atrium kanan dikendalikan oleh suatu keseimbangan antara
kemampuan jantung memompa darah keluar dari atrium kanan dan
kecenderungan darah untuk mengalir dari pembuluh darah perifer kembali
keatrium kanan.
Bila jantung memompa dengan kuat, tekanan pada atrium kanan
menurun. Sebaliknya kelemahan jantung akan meningkatkan tekanan
atrium kanan. Begitu pula, setiap pengaruh yang menyebabkan darah dapat
masuk secara cepat dari vena kedalam atrium kanan akan meningkatkan
tekanan atrium kanan. Beberapa faktor yang meningkatkan aliran balik
vena ini (dan meningkatkan tekanan atrium kanan) adalah 1) Peningkatan
volume darah, 2) Peningkatan tonus pembuluh darah besar diseluruh tubuh
dengan akibat kenaikan tekanan vena perifer, 3) dilatasi arteriol, yang
menurunkan tekanan perifer dan memungkinkan darah mengalir dengan
cepat dari arteri ke vena.

APLIKASI BAGI KEPERAWATAN


Pada saat melakukan pemeriksaan fisik untuk pengkajian, jika
perawat menemui adanya peningkatan JVP atau adanya BJ-3 pada pasien,
maka perawat hendaknya meningkatkan kewaspadaan terhadap resiko
pasien mengalami gagal jantung, yang secara signifikan terjadi 1)
peningkatan hospitalisasi pada pasien gagal jantung, 2) gabungan antara
end point atau hospitalisasi pada pasien gagal jantung, 3) kematian akibat
kegagalan pompa, tapi bukan kematian akibat aritmia. Perawat juga
melakukan pengkajian lebih lanjut untuk memastikan diagnosa gagal
jantung serta dapat melakukan kolaborasi dengan dokter untuk dilakukan
pemeriksaan penunjang (EKG, ECG, Rontgent). Perawat juga dapat
memberikan pendidikan kesehatan kepada klien dan keluarga tentang hal –
hal yang sebaiknya dilakukan agar tidak memperparah penyakitnya, hal –
hal yang sebaiknya dilakukan untuk mencegah komplikasi akibat gagal
jantung, serta sumber informasi yang dapat digunakan klien untuk
meningkatkan wawasan tentang gagal jantung.
PENTINGNYA TANDA PENINGKATAN JVP DAN BJ S-3
PADA PASIEN DENGAN GAGAL JANTUNG

ABSTRAK
Latar Belakang
Nilai uji prognostik independen dari peningkatan JVP dan S-3 pada pasien
gagal jantung belum baik.

Metode
Menggunakan analisa retrospektif pada percobaan pengobatan pada pasien
dengan dysfungsi ventrikel kiri. Jumlah responden yang terlibat dalam penelitian
ini berjumlah 2569 pasien dengan tanda – tanda gagal jantung atau yang memiliki
riwayat sakit gagal jantung yang mendapatkan pengobatan enalapril atau plecebo.
Nilai mean (SD) follow-up adalah 32±15 bulan. Munculnya peningkatan JVP dan
S-3 dipastikan melalui latihan fisik yang dilakukan dalam percobaan.

Hasil
Analisa multivariat yang sudah dicocokan untuk pemakai yang lain.
Peningkatan JVP dihubungkan dengan peningkatan resiko hospitalisasi pada
penderita gagal jantung (RR;132, CI; 95%,1,08 sampai 1,62; P<0,001), kematian
atau hospitalisasi pada gagal jantung (RR;1,30, CI; 95%, 1,11 sampai 1,53;
P<0,005). Dan kematian akibat kegagalan pompa (RR;1,37, CI; 95%, 1,07 sampai
1, 75, P<0,05)

Kesimpulan
Pada pasien dengan gagal jantung, peningkatan JVP dan S-3 masing –
masing secara bebasdihubungkan dengan hasil yang berlawanan atau berbeda,
meliputi progesivitas gagal jantung, Pengkajian terhdap temuan memiliki arti
untuk klinik.
HASIL
Karakteristik Dasar Klien
Karakteristik dasar klien dengan peningkatan JVP atau adanya BJ S-3,
atau dengan keduanya ditunjukkan dalam tabel 1. Klien dengan peningkatan JVP
dan juga terdapat BJ S-3 mempunyai penyakit gagal jantung lebih berat daripada
klien yang tidak ditemukan tanda-tanda fisik tersebut yang dikaji melalui
pemeriksaan dasar keparahan gagal jantung, yang meliputi kelas fungsional
NYHA, fraksi ejeksi ventrikel kiri, dan HR. Klien dengan peningkatan JVP dan
adanya BJ S-3 lebih sering terjadi pada wanita dan dengan penyebab noniskemia
disfungsi ventrikel kiri. Klien dengan peningkatan JVP lebih sering mempunyai
riwayat Atrial Fibrilation (AF), DM dan riwayat pengobatan diuretik (daripada
klien tanpa peningkatan JVP). Klien dengan BJ-3 biasanya tanpa riwayat MI dan
pengobatan beta-bloker. Klien dengan peningkatan JVP atau dengan BJ-3 tanpa
temuan fisik tersebut mungkin sama-sama mempunyai kesempatan utuk mendapat
pengobatan enapril.

Angka insidence (kejadian) dari End Point


Insiden kematian akibat berbagai sebab, akibat hospitalisasi (rawat inap)
bagi pasien gagal jantung, atau gabungan antara end point of death atau
hospitalisasi bagi pasien gagal jantung ditunjukkan berdasarkan ada atau tidaknya
peningkatan JVP dan BJ S-3. Pada kedua kasus, pasien dengan temuan – temuan
fisik ini mempunyai peningkatan yang secara signifikan terhadap rata – rata
kematian, hospitalisasi pada pasien gagal jantung, gabungan antara end point of
death atau hospitalisasi pada pasien gagal jantung, dan kematian akibat kegagalan
pompa, tetapi bukan kematian akibat arrhytmia. Kurva kejadian bebas penderitaan
ditunjukkan berdasrkan ada atau tidaknya peningkatan JVP dan BJ S-3. End point
adalah gabungan antara kematian atau hospitalisasi pada pasien dengan gagal
jantung. Pada panel A, 280 pasien dengan peningkatan JVP kemungkinan akan
lebih sering mengalami gabungan end point daripada 2199 pasien tanpa
peningkatan JVP (P<0,001 dengan log rank test). Pada panel B, 597 pasien
dengan BJ S-3 kemungkinan akan lebih sering mengalami gabungan end point
daripada 1882 pasien tanpa BJ S-3 (P<0,001 dengan log rank test).
DISKUSI
Data yang diperoleh dari pemeriksaan fisik tentang adanya peningkatan
JVP dan adanya bunyi jantung S-3 dapat digunakan sebagai tanda penting pada
klien gagal jantung. Munculnya tanda-tanda tersebut dapat digunakan pula
sebagai indikasi mondok/hospitalisasi bagi klien gagal jantung yang mengalami
peningkatan resikogagal jantung progresif. Dari data kajian diperoleh bahwa
angka kematian penderita gagal jantung diakibatkan oleh adanya kegagalan
pompa dan gabungan antara “end point of death” atau karena faktor hospitalisasi.
Sebagian klien gagal jantung dengan peningkatan JVP, atau adanya bunyi jantung
S-3, atau adanya kedua tanda tersebut juga dapat meningkatkan resiko kematian,
yang dikarenakan berbagai sebab (termasuk end point of death). Hubungan ini
tetap berlaku meskipun telah ada tanda-tanda keparahan gagal jantung yang lain,
seperti fraksi ejeksi ventrikel kiri, kelas fungsional NYHA, dan tingkat sodium
serum.
Pada pemeriksaan fisik klien dengan gagal jantung, data mengenai tingkat
prognostik dalam mendeteksi peningkatan JVP sangat terbatas. Adanya
peningkatan tekanan atrial kanan diasumsikan sebagai prognosis yang buruk.
Beberapa data mungkin tidak dapat digunakan untuk memperkirakan JVP yang
diperoleh melalui pemeriksaan fisik. Beberapa data mungkin tidak dapat
digunakan untuk memperkirakan tekanan vena jugular yang dilakukan melalui
pemeriksaan fisik, jika tekanan atrial kanan hasil pengukuran secara invasif sangat
buruk. Saran yang diberikan adalah dengan meningkatkan keakurasian dalam
pengakjian klinik terhadap tekanan vena. Temuan baru ini menyatakan adanya
hubungan antara peningkatan JVP dengan peningkatan tekanan pengisian sisi kiri
jantung pada kateterisasi jantung kanan. Belakangan ini, studi-studi tentang klien
dengan riwayat kelas IV NYHA, menunjukkan tanda-tanda kongestif yang
rendah. Pengkajian ini meliputi 5 hal, dan salah satu diantaranya adalah adanya
peningkatan JVP yang dikaitkan sebagai manifestasi klinis positif/favorable.
Akan tetapi temuan tentang bunyi jantung S-3 ini dilaporkan sebagai
manifestasi klinis unfavorable pada penderita gagal jantung, karena hubungan ini
didasarkan pada studi observasional yang relatif kecil. Sebagai tambahan,
sebagian besar studi ini tidak memperhatikan tanda-tanda keparahan lain pada
klien gagal jantung, seperti fraksi ejeksi ventrikel kiri. Penelitian yang dilakukan
pada 50 klien dengan gagal jantung yang progresif, diperoleh hampir seluruh klien
(96%) ditemukan bunyi jantung S-3. maka dari itu dapat diasumsikan bahwa
adanya bunyi jantung S-3 ini dapat digunakan sebagai batasan manifestasi klinis
gagal jantung. Beberapa studi penelitian menunjukkan bahwa kesepakatan
mengenai adanya bunyi jantung S-3 pada penderita gagal jantung ini masih
rendah atau dengan kata lain belum ada kesepakatan yang bulat. Bahkan diantara
dokter-dokter berpengalaman memunculkan pertanyaan serius tentang
penggunaan tanda ini (adanya bunyi jantung S-3) pada klien gagal jantung.
Beberapa temuan yang telah dilakukan mungkin kurang representatif, karena
kurangnya kemampuan para lulusan sekolah kedokteran akhir-akhir ini tentang
skill dalam pemeriksaan fisik, terutama auskultasi suara jantung. Meskipun
demikian kenyataannya, peneliti tetap menyarankan untuk melakukan deteksi
adanya bunyi jantung S-3 pada pemeriksaan fisik klien dengan gagal jantung. Hal
ini penting dilakukan untuk menilai prognosis unfavorable pada klien dengan
gagal jantung.
Mengapa peningkatan JVP atau adanya bunyi jantung S-3 dapat
dihubungkan dengan peningkatan resiko gagal jantung. Hal ini dapat dijelaskan
sebgai berikut : peningkatan JVP merupakan reflek dari peningkatan tekanan
atrium kanan yang diakibatkan oleh peningkatan tekanan pengisian sisi kiri
jantung pada klien gagal jantung kronik. Peningkatan tekanan pengisian sisi kiri
jantung ini merupakan prognosis yang buruk pada klien gagal jantung. Hal ini
mungkin sebagai manifestasi dari apoptosis yang disebabkan karena regangan
miokard/otot jantung atau bertambahnya aktivasi sistem saraf simpatis. Klien
dengan gagal jantung mungkin ditemukan bunyi jantung S-3 sebagai manifestasi
dari rendahnya aktivitas ventrikel, peningkatan tekanan balik, atau peningkatan
dini rata-rata pengisian diastolik. Keadaan yang mirip pada patofisiologi diastolik
ini juga terjadi pada klien disfungsi sistolik ventrikel kiri yang dilakukan
echocardiography (ECG) yang merupakan prognosis unfavorable.
Analisis retrospektif yang telah dilakukan oleh peneliti menghasilkan
beberapa batasan penting. Kemungkinan ada beberapa variabel pengganggu yang
terukur dan yang tidak terukur, meskipun peneliti sudah berupaya mencari faktor
resiko penyakit gagal jantung melalui analisis multivariat. Pemeriksaan fisik yang
dilakukan untuk mendeteksi peningkatan JVP dan adanya bunyi jantung S-3
belum distandarisasikan dalam Percobaan Study Of Left Ventricular Disfungtion
(SOLVD Trials), meskipun pendekatan yang dilakukan mungkin sudah mewakili
praktik klinik. Pemeriksaan fisik dapat membantu keakuratan data, sehingga tidak
perlu melakukan konfirmasi ulang (misalnya dengan phonocardiography untuk
memastikan adanya bunyi jantung S-3), meskipun kadang-kadang terjadi
kesalahan pengelompokan yang disebabkan oleh kesalahan pemeriksa sehingga
menimbulkan bias pada hasil yang mengarah pada hipotesis nol. Taksiran
pemeriksa mengenai keparahan kondisi klien dapat mempengaruhi hasil
pengkajiannya mengenai adanya peningkatan JVP atau bunyi jantung S-3.
Keputusan untuk mondok/hospitalisasi klien dengan gagal jantung mungkin
disebabkan oleh adanya peningkatan JVP dan adanya bunyi jantung S-3. Bias ini
tidak mungkin menjelaskan hasil penelitian, selama temuan pemeriksaan fisik
tersebut dicatat pada saat pendaftaran dan setelah klien mondok selama beberapa
bulan kemudian; selama adanya bunyi jantung S-3 sebagai indikasi
mondok/hospitalisasi; selama adanya kurang lebih satu gejala fisik yang
berhubungan dengan peningkatan resiko kematian dari semua penyebab ditambah
end point untuk hospitalisasi. Klasifikasi penyebab kematian karena kegagalan
pemompaan mungkin juga dipengaruhi oleh peningkatan JVP atau bunyi jantung
S-3 beberapa saat menjelang kematian, meskipun tanda fisik ini sering ditemukan
setelah pemeriksaan fisik.
Karena seringnya penggunaan beta-bloker pada Percobaan SOLVD,
peneliti tidak dapat menentukan apakah beta-bloker mempengaruhi prognostik
dari tanda fisik peningkatan JVP atau bunyi jantung S-3. Namun demikian,
dengan model multivariat dapat diketahui kegunaan beta-bloker. Peneliti juga
belum mengetahui kegunaan tanda fisik peningkatan JVP atau terdengarnya bunyi
jantung S-3 sebagai indikator disfungsi sistolik ventrikel kiri, selama kriteria
masukan pada percobaan penanganan SOLVD termasuk EF (ejection fraction)
0,35 atau kurang.
Kesimpulannya adalah, bahwa deteksi terhadap peningkatan JVP atau
terdengarnya bunyi jantung S-3 pada klien gagal jantung berhubungan dengan
hasil akhir yang buruk (kurang baik), termasuk perkembangan gagal jantung yang
progresif, bahkan ditetapkan sebagai tanda lain dari keparahan penyakit. Temuan
– temuan ini dapat meningkatkan keyakinan bahwa pengkajian yang difokuskan
disamping tempat tidur klien secara klinik sangat berarti, dan mungkin dapat
mendorong para pemeriksa untuk memperbaiki kemampuannya dalam melakukan
pemeriksaan fisik.

Anda mungkin juga menyukai