TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sirosis Hati
Sirosis hati merupakan perjalanan patologi terakhir dari kerusakan hati
kronik akibat berbagai macam penyakit hati. Ada banyak keadaan yang akan
menyebabkan SH yang dapat kita lihat pada Tabel 2.1 (Choudhury, 2006).
SH sering tanpa gejala dengan prevalensi 4-10% dari pemeriksaan autopsi.
Jumlah pasien yang menderita SH di German diperkirakan sekitar 600.000
700.000 dengan kematian 25.000 pertahun (peringkat ke-9 penyebab kematian
dan ke-5 untuk kelompok usia 45-65 tahun) (Kuntz, 2008). Pada masyarakat
di Amerika Utara prevalensinya sekitar 3.6 per 1.000 (Choudhury, 2006),
Prevalensi SH di Indonesia dari beberapa laporan rumah sakit umum hanya
berdasarkan diagnosis klinis didapatkan prevalensi SH sekitar 3.5% (4.044
pasien) dari seluruh pasien yang dirawat di bangsal penyakit dalam (115.783
pasien) (Kusumobroto, 2007). Progesivitas kerusakan hati ini dapat
berlangsung dalam beberapa minggu sampai beberapa tahun (Kuntz, 2008).
Kelainan Laboratorium
Spider angioma
Hiperbilirubin
Palmar eritema
Peningkatan aminotransferase
Kontraktur Dupuytren
Hipoalbumin
Ginekomasti
Trombositopenia
Atrofi testikular
Peningkatan A-glutamil
Asites
Hepatomegali
Hiperglobinemia
Splenomegali
Hiponatremia
Kaput medusa
Fetor hepaticus
Asterexis
Cruveilhier Baumgarten
transpeptidase
2.2.
penyakit, dan harapan hidup dan hal ini dipakai untuk membuat keputusan
mengenai terapi spesifik. Sejumlah besar penyakit-penyakit kronis, termasuk SH,
membutuhkan suatu alat untuk memprediksi hasil akhir. SH termasuk kelompok
dengan kondisi berat yang mana pada prinsipnya harapan hidup merupakan hasil
akhir. Pasien SH kompensata mempunyai harapan hidup lebih lama bila tidak
berkembang menjadi dekompesata. Pasien SH kompensata memiliki harapan
hidup 10 tahun sekitar 45 sampai 50%. Kompensasi jangka panjang bisa
dipertahankan sekitar 40-45% dari kasus. Pada pasien terkompensasi akan terjadi
komplikasi berat sekitar 55-60% dan dekompensasi terjadi 45-50% dari kasus.
Angka harapan hidup rerata SH kompensata 8.9 tahun sementara itu SH
dekompensata hanya 1.6 tahun. Prognosis pasien SH tergantung pada 2 hal yaitu:
tingkat keparahan dari gagal hati dan adanya komplikasi dari SH. Skor prognosis
pada SH bukan hanya untuk memperkirakan kemungkinan kematian pada jangka
waktu yang ditentukan akan tetapi juga menggambarkan perkiraan kuantitatif dari
sisa fungsi hati dan kemampuan untuk bertahan dengan pembedahan atau terapi
intervensi agresif lainnya. (Durand dkk, 2005), (Huo dkk, 2008), (Dancygier,
2010).
< 2.0
2.0-3.0
>3.0
>3.5
3.0-3.5
<3.0
Asites
Mudah dikontrol
Sulit dikontrol
Gangguan neurologi
Minimal
Berat, koma
Sangat baik
Baik
Buruk
Nutrisi
Nilai
Nilai
Nilai
Asites
(-)
Ringan
Sedang
Bilirubin, mg/dL
<2
2-3
>3
Albumin, gr/dL
>3.5
2.8-3.5
<2.8
- Memanjang (detik)
1-3
4-6
>6
- INR
<1.7
1.8-2.3
>2.3
(-)
Derajat I-II
Derajat III-IV
Protrombin time
Ensefalopati
Nilai prognosis dari Skor Child Pugh telah ditunjukkan pada banyak
kondisi yang melibatkan SH lebih dari 30 tahun. Analisis multivariat yang
mengunakan skor Child Pugh telah menunjukkan bahwa skor Child Pugh
memiliki nilai prognosis independen pada keadaan asites, ruptur varises esofagus,
ensefalopati subklinis, karsinoma hepatoseluler, pembedahan hati, SH alkoholik,
SH dekompensata yang berhubungan dengan virus Hepatitis C, kolangitis
sklerosis primer dan sindrom Budd-Chiari.
Aplikasi
Penggunaan skor Child Pugh terutama untuk mengklassifikasikan atau
memilih pasien untuk analisa prognosis, untuk penilaian retrospektif dari
pemberian terapi atau untuk randomized control trial (RCT). Skor Child Pugh
secara klinis digunakan secara luas sebagai deskripsi sederhana atau indikator
prognosis dan sering berhubungan dengan indikator lain.
Keterbatasan
Keterbatasan pertama dari Child Pugh berhubungan dengan fakta bahwa 5
komponen dasar dari Skor Child Pugh telah dipilih secara empirik. Variabelvariabelnya tidak semua memiliki pengaruh independen, seperti albumin dan
faktor koagulasi keduanya disintesis di hati dan keduanya sangat kuat saling
berhubungan. Keterbatasan kedua mengenai nilai ambang batas dari variabel
kuantitas yang belum ada bukti batasan tersebut berhubungan dengan mortalitas.
Keterbatasan ketiga bahwa kekuatan yang sama dari tiap variabel yang bisa
menjadikan penilaian yang berlebihan atau sebaliknya terabaikan dampak
sebenarnya variabel tersebut. Keterbatasan keempat adalah karena pada
kenyataannya faktor prognosis yang penting tidak diperhitungkan seperti adanya
keterlibatan fungsi ginjal dan hipertensi portal. Terakhir Child Pugh tidak
memperhitungkan penyebab SH, kemungkinan koeksistensi beberapa faktor dan
proses kerusakan yang menetap seperti penyalahgunaan alkohol, replikasi virus
Hepatitis B atau Hepatitis C yang sedang berlangsung atau aktivitas peradangan
dari hepatitis autoimun (Durand dkk, 2005), (Huo dkk, 2008).
Keterbatasan
Skor MELD dan Child Pugh memiliki beberapa keterbatasan yang sama.
Keterbatasan pertama walaupun sudah menggunakan analisa multivariat namun
data dasarnya tetap secara empiris sehingga variabel yang penting belum
diperhitungkan dalam analisanya. Hal kedua adalah mengenai variabel pada
MELD, variabelnya bersifat objektif berlawanan dengan ensefalopati yang
dipengaruhi secara subjektif. Variabel nilai kreatinin dan bilirubin bisa berubah
dengan intervensi terapi (terutama diuretik), sepsis dan hemolisis. Pemilihan
variabel INR dibandingkan petanda koagulasi lain yang menjadi bahan
kontroversial karena beberapa pusat pelayanan tidak memakai INR pada pasien
SH. Keterbatasan lain skor MELD telah ditetapkan dari populasi yang menjadi
kandidat TIPS jadi walaupun MELD sudah terbukti sebagai skor prognosis yang
efisien dan kuat pada kandidat transplantasi namun mungkin skor ini secara
spesifik disesuaikan pada transplantasi hati belum lebih efektif pada kondisi lain.
Evaluasi prospektif dari skor MELD pada situasi yang berbeda atau perbedaan
intervensi terapeutik bisa menimbulkan nilai ambang batas yang berbeda,
membuat proses pengambilan keputusan yang lebih rumit jika dibandingkan
pemakaian secara universal kelompok-kelompok Child Pugh. Keterbatasan yang
prinsip dari skor MELD adalah membutuhkan komputerisasi dan memiliki
keterbatasan dalam praktek sehari-hari. (Durand dkk, 2005), (Huo dkk, 2008).
Tabel 2.5 Skor MELD (Kusumobroto, 2007)
Skor MELD : 3.8*log [bilirubin] + 11.2*log [INR] + 9.6* [kreatinin] + 6.4
Interval skor MELD = 6-40
Untuk menilai kandidat penerima donor transplantasi hati
Child Pugh
MELD
Jumlah variabel
Kuantitas variabel
3/5
3/3
Pemilihan variabel
Empirik
Statistik
Tidak
Ya
Ada
Tidak
Transformasi logaritma
Tidak
Ya
Perlu komputerisasi
Tidak
Ya
Ya
Tidak
Tipe skor
diskret
Kontinu
pengaruhnya
Thn
Populasi penelitian
Pasien
Hasil
Akhir
Statistic i
Child
MELD
Mortal.
Kamath PS et al.
2001
TIPS
282
3 bulan
0.84
0.87
Angermayr B et al.
2002
TIPS
475
1 bulan
0.78
0.73
3 bulan
0.7
0.72
1 tahun
0.66
0.66
1 bulan
0.71
0.72
3 bulan
0.67
0.73
1 tahun
0.74
0.73
Schepke M et al.
2003
TIPS
162
Botta F et al.
2003
SH
129
1 tahun
0.69
0.67
Wiesner RH et al.
2003
3437
3 bulan
0.76
0.83
Degre D et al.
2004
137
3 bulan
0.72
0.70
Said A et al.
2004
1611
3 tahun
0.83
0.79
2.3
Malnutrisi
Malnutrisi didefinisikan sebagai ketidakadekuatan nutrisi bisa berarti
KKP primer dan sekunder. KKP primer disebabkan oleh tidak adekuatnya asupan
protein dan/atau kalori atau kadang-kadang karena rendahnya kualitas asupan
protein. KKP sekunder disebabkan oleh penyakit atau cedera. Penting mengetahui
komposisi tubuh dan jenis jaringan yang hilang atau berkurang dari penurunan
berat badan karena malnutrisi dalam menentukan pembagian patologis. Lean body
mass (LBM) tempat menghasilkan energi lebih dari 95% yang merupakan tempat
metabolisme terbesar yang mempertahankan hemostatis dan kompartemen inilah
yang paling penting dipertahankan. LBM bisa dibagi menjadi kompartemen
protein somatik dan viseral, sel darah dan tulang, dan lean mass ekstraseluler,
seperti plasma dan matriks tulang (Gambar 2.2). Penyakit atau cedera akan
meningkatkan kebutuhan kalori dan protein dan akhirnya berakibat pada
katabolisme protein yang tidak sebanding dengan sintesisnya. Hal ini akan
menyebabkan mobilisasi asam amino dari otot skelet akan digunakan sebagai
sumber kalori melalui glukoneogenesis dan asam amino ini juga diambil oleh hati
dan organ viseral lainnya. Keadaan ini menyebabkan pergeseran asam amino dari
kompartemen somatik ke viseral dan pada kondisi semistarvation atau total maka
jaringan adiposa menjadi sumber energi yang dominan. Oleh karena itu perubahan
metabolisme akibat cedera atau penyakit menimbulkan hilangnya proporsi massa
otot yang sebanding atau melebihi hilangnya fat mass (FM). Hilangnya LBM
awalnya terutama dari kompartemen protein somatik namun dengan menetapnya
stress maka akan melibatkan kompartemen protein visceral (Mason, 2010).
Malnutrisi kronik ditandai dengan penurunan progresif dari lean body mass = free
fat mass (FFM) atau sarkopenia dan FM. Penurunan berat badan dan BMI tidak
sensitif untuk mendeteksi hilangnya FFM sehingga penilaian komposisi tubuh
merupakan teknik yang bermanfaat dalam mengetahui status nutrisi. (Thibault dan
Pirchard, 2012).
Gambar 2.2 Analisa komposisi tubuh pasien dewasa sehat (Mason, 2010)
Penilaian gizi adalah suatu proses yang digunakan untuk mengevaluasi
status nutrisi, mengidentifikasi malnutrisi dan menentukan individu mana yang
sangat membutuhkan bantuan gizi. Penilaian status gizi terdiri dari 4 komponen :
riwayat
nutrisi,
penilaian
fisik,
pengukuran
antropometri
dan
analisis
Lingkar
otot
lengan
(arm
muscle
circumference/AMC)
menggambarkan massa otot . Hal ini ditentukan dengan mengukur lingkar lengan
(AC= arm circumference) dan TSF pada lengan atas. Untuk pemeriksaan
laboratorium bisa dengan kadar protein serum yaitu albumin (penurunan kadar
albumin serum sering pada penyakit hati dan nefrosis), transferin, prealbumin dan
retinol-binding protein (RBP), jumlah limfosit total, creatinin hight index (CHI)
dan keseimbangan nitrogen negatif, (Moore, 1997) (Mason, 2010).
Status Nutrisi
<16.0
Malnutrisi berat
16.0 16.9
Malnutrisi sedang
17.0 18.4
Malnutrisi ringan
18.5 24.9
Normal
25.0 29.9
Overweight
30.0 34.9
Obesitas kelas I
35.0 39.9
Obesitas kelas II
40
2.4
Malnutrisi pada SH
Hati berperan penting dalam mempengaruhi status nutrisi terutama melalui
kaheksia telah dilaporkan pada pasien SH. (Dasarathy dkk, 2011) (Norman dan
Pirlich, 2010).
Malnutrisi dipertimbangkan sebagai salah satu faktor prognosis yang
penting pada SH dan mengingatkan klinisi untuk tanggap sama seperti terhadap
komplikasi SH seperti ensefalopati hepatik dan asites. Kepentingan klinis dari
malnutrisi ini dikarenakan pasien yang malnutrisi memiliki prevalensi morbiditas
dan mortalitas yang lebih tinggi dan intervensi dini dalam mengatasi kekurangan
nutrisi bisa memperpanjang angka harapan hidup, memperbaiki kualitas hidup,
mengurangi komplikasi dan persiapan lebih baik untuk transplantasi hati.
(Tsiaousi dkk, 2008), (McCullough, 2006).
Gambar 2.3 Malnutrisi sebagai prediktif dari harapan hidup pasien SH.
Angka harapan hidup dengan MMC dibawah persentil ke 5 (kelompok 1), ke 10
(kelompok 2), dan ke 75 (kelompok 3) dan di atas persentil ke-75 (kelompok 4).
P>.001 pada 6, 12 dan 24 bulan antara pasien dengan malnutrisi berat dan sedang
(kelompok 1 dan 2) dan mereka yang normal dan nutrisi berlebih (kelompok 3
dan 4). (OBrien dan Williams, 2008)
2.4.1
Awalnya penelitian malnutrisi pada penyakit hati kronik lebih difokuskan pada
pasien SH alkoholik namun ternyata prevalensi KKP meningkat semua bentuk SH
(Gambar 2.4). Pada penyakit hati alkoholik, prevalensi KKP bisa sampai 80%
tergantung dari tingkat keparahan penyakit namun insidensi dan tingkatan KKP
ternyata sangat sama pada pasien penyakit hati kronik dengan alkoholik maupun
bukan alkoholik. Prevalensi malnutrisi pada pasien yang menunggu transplantasi
hati hampir 100%, pada pasien SH sekitar 80% dan bahkan pada beberapa uji
klinis pada pasien dengan kategori Child Pugh A didapatkan prevalensi malnutrisi
mencapai 25%. KKP jarang dijumpai pada pasien stadium sebelum SH dari
penyakit hati kecuali pada keadaan obstruksi biliar ektrahepatik. Pada satu
penelitian dilaporkan adanya malnutrisi pada pasien SH kompensata Child Pugh
A sekitar 20% dan 50-60% pada pasien dekompensata Child Pugh C. Perbedaan
laporan prevalensi dipengaruhi oleh bagaimana dilakukannya pemeriksaan status
nutrisi (Matos dkk, 2002) (Tsiaousi dkk, 2008), (McCullough, 2006).
tahap lanjut, namun yang paling penting adalah asupan diet yang kurang (Matos
dkk, 2002).
Faktor-faktor yang menyebabkan malnutrisi pada penyakit hati :
a. Gangguan pencernaan: Asupan nutrisi kurang adekuat sering terjadi akibat
gangguan pencernaan itu sendiri atau adanya pembatasan asupan makanan
selama dirawat di rumah sakit. Gejala gangguan pencernaan pada pasien SH
antara lain anoreksia, mual, muntah dan rasa cepat kenyang (perut penuh).
Perubahan metabolisme
protein dan kalori
Pasien rawat
inap
Keadaan puasa
Dampak
2.4.4
viseral (kadar albumin serum rendah) sejalan dengan defisiensi protein somatik
yang bermanifestasi sebagai contoh penurunan massa otot dan sel tubuh dan akan
disertai dengan kelemahan otot dan penurunan kualitas hidup. Delapan penelitian
telah melaporkan perubahan komposisi tubuh setelah dilakukan TIPS terhadap
152 pasien yang dipantau 3-12 bulan didapatkan perbaikan dari FFM (Dasarathy
dkk, 2011).
Protein
(g/kg/
hari)
1.0-1.5
Kalori
(kcal/k
g/hari)
30-40
%KH
%Lemak
67-80
20-33
1.0-1.2
30-40
67-80
20-33
3. SH ( dengan
komplikasi)
a. Malnutrisi
1.2-1.8
40-50
72
28
b. Kolestatis
1.0-1.5
30-40
73-80
20-27
c. Encefalopati
Grade 1 atau 2
Grade 3 atau 4
0.5-1.2
0.5
25-40
25-40
75
75
25
25
1.2-1.8
30-50
70-80
20-30
1.0
30-35
>70
30
1. Hepatitis
(akut atau
kronik)
2. SH ( tanpa
komplikasi)
4.Transplantasi
hati
a. Sebelum
transplantasi
b. Sesudah
transplantasi
2.5
Target Nutrisi
Pencegahan
malnutrisi
Meningkatkan
regenerasi
Pencegahan
malnutrisi
Meningkatkan
regenerasi
Mengembalikan ke
status nutrisi normal.
Pencegahan
malnutrisi
Penanganan
malabsorpsi lemak
Mempertahankan
kebutuhan nutrisi
tanpa mencetuskan
ensefalopati
Mengembalikan ke
status nutrisi normal.
Mencapai dan
mempertahankan
berat badan ideal
hampir tidak kelihatan namun sebagian besar kasus terdeteksi ketika penilaian gizi
yang sistematis dilakukan. Contoh malnutrisi kalori yang hampir tidak terlihat tapi
secara klinis signifikan ditemukan pada SH alkoholik Child Pugh A yang
biasanya muncul dengan gizi baik. Salah satu kriteria untuk menentukan status
kelas Child Pugh A adalah kadar albumin serum normal namun dengan wholebody nitrogen telah menunjukkan bahwa lebih dari setengah dari kelas A tersebut
individu memiliki kurang dari 80% protein tubuh total yang merupakan ambang
batas yang jika dibawahnya meningkatkan morbiditas terkait malnutrisi. Penilaian
status nutrisi dengan kadar albumin memiliki keterbatasan karena biasanya
memang menurun pada penyakit hati lanjut dan berfluktuasi selama terjadi
peradangan (Mason, 2010 ) (Balbino dan Silva, 2012).
Pada stadium awal penyakit hati parameter-parameter pengukuran nutrisi
objektif yang biasa dapat digunakan untuk mengetahui status nutrisi. Namun jika
dijumpai tanda dari penyakit hati stadium akhir maka parameter objektif tidak
selalu sahih. Pada satu penelitian yang mencari hubungan antara pengukuran
antropometri, kadar prealbumin dan transferin serum dalam mengevaluasi status
nutrisi pada 30 pasien SH didapatkan adanya hubungan prealbumin dan transferin
dengan Child Pugh. Namun tidak dijumpai antara hubungan antara Child Pugh
dengan pengukuran antropometrik sehingga tidak dianjurkan untuk dipakai dalam
menilai status nutrisi. Beberapa pemeriksaan yang lebih spesifik bisa dilakukan
dengan menilai komposisi tubuh adalah dual energy X-ray absorptiometry
(DEXA), Deuterium Oxide dilution in vivo neutron activation analysis (IVNAA)
dan bioelectrical impedance analysis. BIA dibandingkan DEXA dan IVNAA
lebih sederhana, tidak invasif, tidak mahal dan metode yang cepat menilai body
cell mass (BCM). BIA telah menunjukkan sebagai alat yang sahih dalam menilai
KKP dengan mendeteksi penurunan BCM pada pasien SH terutama yang tanpa
asites dijumpai hubungan yang sangat baik dan sangat signifikan antara BCM
yang diukur dengan BIA dengan BCM yang diukur dengan kadar total kalium
(Pirlich dkk, 2000), (Yovita dkk, 2004) (Campillo, 2010).
2.6
status gizi. Pertama penilaian ini bisa mengevaluasi status nutrisi melalui
pengukuran FFM dan kedua melalui pengukuran FFM dan phase angle dengan
BIA dapat menilai prognosa dan hasil akhir. Pengukuran parameter komposisi
tubuh seperti fat tissue mass, lean body mass (LBM), body cell mass (BCM), total
body water (TBW) dan extracellular water (ECW) dapat dengan DEXA yang
memberikan gambaran detil dan distribusi fat tissue mass, free fat mass (FFM)
dan bone mineral content namun DEXA biayanya mahal dan tidak bisa sering
diulangi karena radiasi. Oleh karena itu BIA yang relatif murah dan non invasif
telah dipakai dalam pengukuran TBW, ECW, FFM (Thibault dan Pichard, 2011),
(Jaffrin, 2009), (Lee dan Gallagher, 2000), (Kotler dkk, 1996).
Prinsip BIA
Metode ini berdasarkan kemampuan tubuh dari tubuh menghantarkan
listrik dan dengan BIA akan mengukur perubahan arus listrik jaringan tubuh yang
didasarkan pada asumsi bahwa jaringan tubuh adalah merupakan konduktor
silinder ionik dimana lemak bebas ekstrasellular dan intrasellular berfungsi
sebagai resistor dan kapasitor. Arus listrik dalam tubuh adalah jenis ionik dan
berhubungan dengan jumlah ion bebas dari garam, basa dan asam, juga
berhubungan dengan konsentrasi, mobilitas, dan temperatur medium. Jaringan
terdiri dari sebagian besar air dan elektrolit yang merupakan penghantar listrik
yang baik, sementara lemak dan tulang merupakan penghantar listrik yang buruk.
Resistance (R) dari materi konduksi yang homogen dari daerah penampangnya
adalah sebanding dengan panjangnya (L) dan berbanding terbalik dengan luas
penampangnya (A), (Gambar 3) (Balbino & Silva, 2012) (Kyle dkk, 2004).
Gambar 2.5
Prinsip BIA dari karakteristik fisik komposisi tubuh (Kyle dkk, 2004)
Tubuh memang bukan suatu silinder yang seragam dan konduktivitasnya
tidak seragam tetapi secara empiris hubungan ini dapat ditetapkan dengan hasil
bagi (Lenght2/R) dan volume air yang terdiri dari elektrolit sebagai penghantar
listrik dalam tubuh. Masalah yang lain tubuh memiliki dua tipe R yaitu
Capasitative R (reactance) dan Resistive R (biasa disebut Resistance). Resistance
merupakan tahanan frekuensi arus listrik yang dihasilkan oleh cairan intrasel dan
ekstrasel sedangkan capacitance merupakan tahanan frekuensi arus listrik yang
dihasilkan oleh jaringan dan membran sel. Impedance adalah istilah dari
kombinasi Capasitanse dan Resistive (Gambar 4) (Kyle dkk, 2004), (Goswami
dkk, 2007).
Gambar 2.6 Pemasangan standar dari elektroda BIA di tangan dan kaki.
(Kyle dkk, 2004), (Goswami dkk, 2007)
2.6.1 Parameter BIA dalam penentuan komposisi tubuh
Body Cell Mass (BCM)
BCM didefinisikan sebagai massa intraselular dalam tubuh, yang terutama
berisi kalium tubuh (98-99%). BCM pada hakekatnya merupakan massa dari
seluruh elemen sel di dalam tubuh, oleh karena itu merupakan komponen aktif
dari metabolism tubuh. Pada individu normal, pada jaringan otot terdiri dari
sekitar 60% BCM, jaringan organ sekitar 20% BCM, dan sisanya 20% terdapat
pada sel darah merah dan jaringan seperti adiposit, tendon, tulang dan tulang
rawan. BCM merupakan kompartemen kaya protein yang dipengaruhi keadaan
katabolik dan kehilangan BCM berhubungan dengan prognosis yang buruk.
Free Fat mass (FFM)
FFM adalah semua yang bukan lemak tubuh yang merupakan kombinasi
dari Body Cell Mass (BCM) dan Extracellular Mass (ECM).
Fat Mass (FM)
Lemak adalah tempat penyimpanan energi di dalam tubuh. Fat Mass (FM)
sama dengan berat badan aktual dikurangi dengan Fat free Mass (FFM). Nilai
normalnya pengaruhi oleh umur dan jenis kelamin.
(Lukaski,1985),
Gambar 2.7
Skema diagram dari FFM, TBW, ICW, ECW dan BCM (Kyle dkk, 2004)
Tabel 2. 12
Nilai rerata kompartemen komposisi tubuh (Thibault dan Pichard, 2012)
Kompartemen
seluruh tubuh
Kompartemen
spesifik
Tingkat
kompertemen
Persentase
dari TBW
Nilai
absolute
pada 70 kg
Protein Tubuh
Molecular
13
9
FFM
ICW
Selular
36
25
(termasuk
ECW
Selular
24
17
TBW)
Jaringan Tulang
Jaringan
7
5
ACM
Selular
49
34
TBW
Molecular
60
42
Total FFM
Seluruh tubuh
80
56
20
14
FM
ACM= active cell mass, ECW= extracellular water, ICW= intracellular water,
TBW= total body water.
Phase angle
Dari keseluruhan dampak yang diperlihatkan tubuh terhadap perubahan
arus ada dua yaitu Resistance dan Reactance (Xc). FFM di tubuh manusia
merupakan
metode pengukuran secara linier hubungan antara resistance dan reactance pada
rangkaian seri atau parallel. Phase angle = sudut (reactance/resistance). Nilai
phase angle dari 0-90, 0 jika sirkuit hanya resistive (sistem tanpa membrane sel)
dan 90 jika sirkuit hanya capacitive (semua membrane tanpa cairan). Phase angle
45 menggambarkan jumlah reactance dan resistance sama, nilai yang lebih
rendah menandakan reactance yang rendah dan kematian sel atau kerusakan
permebilitas membrane sel. Nilai phase angle yang normal pada pasien yang sehat
berbeda berdasarkan jenis kelamin dan ras (Tabel 2.13) (Kyle dkk, 2004).
Tabel 2.13 Data BIA pada 419 orang sehat di Malaysia (Wong, 2004)
2. 7
hemodialisis, sepsis dan kanker paru (Gupta dkk, 2004) (Balbino dan Silva,
2012). Phase angle merupakan indikator prognosis pada pasien dengan kanker
stadium lanjut seperti kolorekti lanjut. Pada pasien kanker paru non small sel
stage IIIB dan IV didapati phase angle BIA merupakan indikator prognosis
independen dan intervensi nutrisi memperbaiki phase angle bisa potensial
membawa perbaikan harapan hidup pasien (Silvana dkk, 2009),(Gupta dkk,
2009), (Gupta dkk, 2004). BIA phase angle juga merupakan indikator potensial
pada kanker kolorekti tahap lanjut dan bahkan pada pada kanker pankreas tahap
lanjut phase angle merupakan indikator prognosis yang kuat (Gupta,Lis, dkk,
2004), (Gupta dkk, 2008). Saat ini parameter-parameter BIA juga telah dipakai
pada pasien PPOK dan juga parameter phase angle distandarisasi sebagai faktor
prognosis harapan hidup pada pasien kanker. (Paiva dkk, 2011), (Walter-Kroker
dkk, 2011). Pada pasien SH satu penelitian yang melibatkan pasien sehat, pasien
yang dirawat di rumah sakit dan pasien dengan SH ditemukan pada pasien SH
dijumpai peranan prognosis dari phase angle jika phase angle <5.4 memiliki
harapan hidup secara keseluruhan lebih rendah dibandingkan pasien lain, Gambar
2.8 (Selberg, 2002), (Schloerb, 1996).
Tabel 2.14
Statistik dari Dampak Prognosis Phase angle (disadur Norman dkk, 2012)
Populasi
n
Nilai
Dampak klinis pada pasien dengan nilai
Penelitian
ambang dibawah ambang batas
batas
75
Penurunan harapan hidup: perkiraan parameter
HIV
5.6
dengan test LR: -0.799, p<0.0001
469
Penurunan harapan hidup: 463 hari vs 670 hari,
HIV
5.3
p<0.0001
63
Penurunan harapan hidup: OR=1.25, p=0.04
Kanker
4.5
Stadium IIIB 3.7 vs 12.1 bulan, Stadium IV: 1.4 vs
Paru
5.0 bulan
52
Penurunan harapan hidup: 8.6 vs 40.4 bulan,
Kanker
5.57
p=0.0001,
peningkatan
mortalitas
Kolorekti
RR:10.7(p=0.007)
58
Penurunan harapan hidup: 6.3 vs 10.2 bulan,
Kanker
5.08
p=0.02
Pankreas
Reduksi dari RR 0.75 tiap 1
259
Penurunan harapan hidup: 23.1 vs 49.9 bulan,
Kanker
5.6
p=0.031, Reduksi dari RR 0.82 tiap 1
Payudara
131
HD*
L: 4.5 Penurunan 2 tahun harapan hidup, 59.3% vs 91.3%
P: 4.2 p<0.0, peningkatan mortalitas: RR:2.6, p<0.0001
3009
Peningkatan mortalitas: RR:2.2, p<0.05
HD*
3.0
3.0-4.0 Peningkatan mortalitas: RR:1.3, p<0.05
Penurunan harapan hidup 5 tahun (p=0.004);
Peritoneal 53
6.0
RR=0.536, p=0.01
Dialisis
305
Penurunan harapan hidup 4.5 tahun, p<0.01
SH
5.4
1071
Peningkatan 4x mortalitas di RS dari 20%
Geriatri
3.5
HD = Hemodialisis