Anda di halaman 1dari 10

Perbandingan Strategi Invasif Dini dengan Strategi Invasif

Selektif Pada Kasus Sindrom Koroner Akut Non-STE


Percobaan ICTUS

Abstrak
Latar belakang : ICTUS (Invasive versus Conservative Treatment in Unstable
Coronary Syndrome) melakukan percobaan lain yakni membandingkan strategi invasif
dini dengan strategi invasif selektif pada pasien sindrom koroner akut (SKA) non-STE.
Tidak ditemukan adanya keuntungan jangka panjang dari strategi invasif dini dalam 1
dan 5 tahun berikutnya.
Tujuan : menentukan hasil/luaran klinik (clinical outcome) dalam 10 tahun pada pasien
SKA non-STE yang menjalani terapi invasif dini atau terapi invasif selektif.
Metode: desain yang digunakan yakni acak terkontrol dan multisenter. Jumlah pasien
yang memenuhi syarat yakni 1200 pasien SKA non-STE yang diambil pada bulan Juli
2001 hingga Agustus 2003. Kemudian pasien dibagi menjadi 2 grup: yg mendapat
terapi invasif dini dan mendapat terapi invasif selektif. Pasien di follow up selama 10
tahun dan parameter yang dievaluasi yakni kematian, terjadinya infark miokard,
revaskularisasi. Pasien-pasien tersebut difollow up baik melalui data rumah sakit,
melalui telepon, maupun melalui data dokter praktek. Hasil/luaran utama yang dinilai
yakni gabungan jumlah kematian ditambah terjadinya infark miokard secara spontan.
Luaran tambahannya yakni gabungan jumlah kematian ditambah infark miokard
(spontan maupun yang dilakukan prosedur seperti PCI atau CABG), jumlah kematian
secara keseluruhan, jumlah kasus infark miokard keseluruhan (spontan maupun yang
dilakukan prosedur), dan jumlah revaskularisasi.
Hasil: Dari kedua grup, tidak menunjukkan adanya perbedaan statistik yang
bermakna/signifikan berdasarkan jumlah kematian ditambah kasus infark miokard
spontan (grup invasif dini vs grup invasif selektif, 33,8% vs 29,0%, nilai P=0,11).
Tingkat revaskularisasi pada grup invasif dini 82,6% dan pada grup invasif selektif
60,5%. Nilai yang menunjukkan perbedaan statistik yang signifikan yakni pada jumlah
kematian ditambah jumlah kasus infark miokard keseluruhan, antara lain 37,6% vs

1
30,5% pada grup invasif dini vs grup invasif selektif, dengan nilai P=0,009. Selain itu,
berdasarkan jumlah kasus infark miokard yang dilakukan prosedur yakni 6,5% vs 2,4%
(grup invasif dini vs grup invasif selektif, nilai P=0,001.
Kesimpulan: tindakan invasif dini pada pasien SKA non-STE tidak memiliki
keuntungan yang lebih dibandingkan tindakan invasif selektif. Terapi invasif dini
dikatakan tidak mengurangi tingkat kematian dan kejadian infark miokard selama 10
tahun.

Latar belakang
Pada kasus-kasus SKA non-STE, terdapat beberapa strategi tindakan yang dapat
dilakukan yakni tindakan invasif dini ataupun tindakan invasif selektif. Suatu riset
kardiovaskular yang bernama ICTUS yang dikenal dengan penelitiannya yang
membahas tentang perbandingan terapi konservatif vs terapi invasif pada sindrom
koroner tak stabil (Unstable Coronary Syndrome), melakukan penelitian lain yakni studi
perbandingan strategi tindakan invasif dini (biasa dikenal dengan strategi invasif rutin)
dengan tindakan invasif selektif pada pasien-pasien dengan kasus SKA non-STE. Yang
dimaksud dengan tindakan invasif dini yakni dilakukan stabilisasi dengan pemberian
obat anti-angina dan anti-trombotik dan dilanjutkan dengan tindakan angiografi koroner
untuk menuntun tindakan selanjutnya apakah dilakukan revaskularisasi atau hanya
melanjutkan terapi farmakologi. Tindakan tersebut harus sudah ditentukan dalam waktu
24-72 jam. Berbeda dengan strategi invasif selektif, yakni dilakukan stabilisasi dengan
farmakologi seperti pada invasif dini, dan dilanjutkan dengan angiografi koroner namun
hanya pada kasus tertentu seperti angina refraktori atau iskemia yang diinduksi oleh
pre-discharge noninvasive stress testing.
Alasan penggunaan 2 strategi tersebut yakni disesuaikan dengan guideline yang
digunakan di Amerika dan Eropa. Rekomendasi guideline tersebut digunakan pada
beberapa studi riset meta-analisis. Studi riset FIR (FRISC II, ICTUS, RITA-3)
menunjukkan adanya penurunan jangka panjang tingkat mortalitas dan infark miokard
pada 5 tahun, pada pasien yang menjalani tindakan invasif dini.
RITA-3 (Randomised Intervention Treatment of Angina 3-rd) menunjukkan
studi yang dilakukannya tidak menemukan adanya perbedaan yang berarti antara
strategi invasif dini dan strategi non-invasif setelah difollow up 10 tahun. Namun hasil

2
yang berbeda terlihat pada 5 tahun follow up, yakni adanya keuntungan dari segi
mortalitas pada strategi invasif dini. Selanjutnya, studi FRISC-II (Fragmin and Fast
Revascularisation during Instability in Coronary Artery Disease) selama 15 tahun
follow up menunjukkan adanya nilai yang signifikan pada tingkat kematian dan
rehospitalisasi. Sehingga, studi yang dilakukan sekarang ini oleh ICTUS,
membandingkan strategi invasif rutin dengan strategi invasif selektif selama 10 tahun
follow up.

Metode
Desain studi. Studi ini merupakan studi multisenter dari 42 rumah sakit di Belanda,
dengan desain penelitian percobaan acak terkontrol dari 1200 pasien SKA non-STE.
Pendataan dilakukan pada Juli 2001 hingga Agustus 2003. Dalam 24 jam post onset
gejala, pasien dipilih secara acak dan dimasukkan dalam grup invasif dini atau invasif
selektif.
Pasien. Pasien berusia 18-80 tahun yang memenuhi kriteria: nyeri dada >20 menit,
adanya peningkatan biomarka jantung (troponin T >= 0,03 g/l), perubahan EKG (ST
depresi atau transien ST elevasi >0,05 mV, atau adanya inversi gelombang T >=0,2 mV
pada 2 lead berurutan), adanya riwayat penyakit jantung koroner (PJK) baik
berdasarkan riwayat klinik infark miokard, atau adanya riwayat PCI atau CABG.
Kriteria eksklusinya: pasien dengan STEMI <48 jam sebelum pendataan acak, pasien
adanya indikasi terapi reperfusi, instabilitas hemodinamik atau adanya gagal jantung
kongestif, dan adanya risiko perdarahan.
Strategi terapi. Pasien dipilih secara acak untuk mendapat strategi tindakan invasif dini
atau invasif selektif. Bila pasien terpilih dalam strategi invasif dini, pasien diberi
stabilisasi secara farmakoterapi dan pasien harus menjalani angiografi koroner dalam
waktu 24-48 jam setelah dipilih. Tindakan selanjutnya dibuat berdasarkan temuan dari
angiografi, apakah pasien dilakukan revaskularisasi (PCI atau CABG) atau tidak. Untuk
pasien yang terpilih dalam strategi invasif selektif, pasien dilakukan stabilisasi dengan
farmakoterapi, kemudian pasien menjalani angiografi koroner bila didapatkan kondisi
angina refraktori atau tanda adanya iskemia yang diinduksi oleh pre-discharge ischemia
detection test.

3
Terapi medis optimal. Semua pasien mendapatkan terapi medis optimal seperti aspirin,
clopidogrel, enoxaparin, nitrat intravena, Beta bloker, dan terapi intensif penurun lipid.
Bila hendak dilakukan PCI, diberikan abciximab IV 0,25 mg/kg bolus, diikuti oleh
pemberian infus 0,125 ug/kg/menit selama 12 jam, dan dimulai sebelum 10-60 inflasi
balon pertama.
Follow-up. Status vital pasien dikumpulkan dari catatan registri populasi nasional
sekurangnya selama 10 tahun. Selain itu, pasien yang diketahui masih hidup dihubungi
melalui telepon, dikumpulkan informasi mengenai kondisinya. Informasi mengenai
pasien juga diambil pada rumah sakit maupun praktek dokter. Pasien yang meninggal,
diambil catatan medisnya pada rumah sakit atau klinik terkait.
Luaran. Luaran/hasil utama pada studi ini yakni jumlah kematian oleh karena semua
sebab, ditambah dengan jumlah kasus yang mengalami infark miokard spontan. Luaran
tambahannya antara lain jumlah kematian keseluruhan ditambah keseluruhan kasus
infark miokard, jumlah kematian keseluruhan akibat semua sebab, kematian akibat
penyakit kardiovaskular, kematian akibat penyakit non kardiovaskular, jumlah
keseluruhan infark miokard, jumlah infark miokard spontan, jumlah infark miokard
yang menjalani prosedur (PCI atau CABG), dan tingkat revaskularisasi baik oleh PCI
atau CABG.

Hasil
Pasien. Dari 1.200 pasien SKA non-STE, dibagi menjadi 2 grup. Grup invasif dini
terdiri dari 604 pasien dan grup invasif selektif 596 pasien (figur 1). Kedua grup
memiliki karakteristik yang mirip (tabel 1).
Usia rata-rata pasien 62 tahun, dengan perkiraan 75% pasien laki-laki, 14% pasien
diabetes, 50% pasien terdapat perubahan EKG. Semua pasien mengalami peningkatan
troponin T level, dengan nilai median 0,29 ug/l. Kateterisasi jantung pada pasien dengan
perawatan pertama rumah sakit (initial hospitalization) sebesar 98% pada grup invasif
dini, dan 53% pada grup invasif selektif. Tingkat revaskularisasi dalam 1 tahun yakni
79% pada grup invasif dini dan 54% pada grup invasif selektif. Namun, dalam 10 tahun
tingkat revaskularisasi berubah menjadi 83% pada grup invasif dini dan 61% pada grup
invasif selektif (figur 2A). Tidak ada perbedaan statistik yang signifikan dalam tingkat
revaskularisasi dari tahun pertama hingga tahun ke-10 (nilai P= 0,61).

4
Luaran. Status vital pada 10 tahun diketahui dari 1152 pasien (96%) dan jumlahnya
terbagi merata pada kedua grup. Status luaran klinis (infark miokard dan
revaskularisasi) pada 10 tahun diketahui dari 1171 pasien (97,6%), yang terbagi 594
pasien (98,3%) pada grup invasif dini, dan 577 pasien (96,8%) pada grup invasif
selektif. Tabel 2 menunjukkan data kumulatif tingkat kejadian kasus pada masing-
masing grup. Jumlah kematian ditambah dengan jumlah kasus infark miokard spontan
pada 10 tahun yakni 33,8% pada grup invasif dini dan 29% pada grup invasif selektif
(lihat ilustrasi sentral). Selain itu, jumlah kematian ditambah dengan jumlah kasus
infark miokard secara keseluruhan selama 10 tahun yakni 37,6% dan 30,4% pada grup
invasif dini dan selektif. Untuk luaran tambahan, lihat tabel 2, figur 3 A-D. Nilai
statistik yang terlihat signifikan yakni pada jumlah kematian ditambah dengan jumlah
kasus infark miokard (death and MI) dengan nilai p=0,009. Selain itu, signifikansi
berada pada jumlah kasus infark miokard yang dilakukan prosedur (procedure-related
MI), dengan nilai p=0,001.
Stratifikasi risiko. Pada figur 4 terlihat grafik jumlah kematian dan tingkat infark
miokard spontan (Death or spontaneous MI) yang dibandingkan dengan nilai FIR. Nilai
FIR didapat dari jumlah nilai yang dihitung dari skoring: Usia, bila <60 tahun skor 0,
60-64 tahun skor 1, 65-69 tahun skor 2, 70-74 tahun skor 3, ≥ 75 tahun skor 4; Diabetes
mellitus, bila ada berarti skor 4; Adanya riwayat infark miokard, bila ada skor 3; ST
depresi, skor 2; Hipertensi skor 2; dan IMT, bila <25% skor 1, bila 25-35% skor 0, dan
≥ 35% skor 2 (lihat paragraf Statistical Analysis). Nilai FIR mengklasifikasikan bila
jumlah skor 0-4 berarti pasien risiko rendah, skor 5-8 risiko menengah, dan ≥ 9 berarti
risiko tinggi.
Model multivariasi. Pada tabel 3 ditunjukkan adanya karakteristik mendasar yang
berhubungan dengan tingkat kematian dan infark miokard spontan selama 10 tahun.
Didapatkan beberapa karakteristik menunjukkan nilai statistik yang signifikan antara
lain usia, diabetes, hiperkolesterolemia, riwayat infark miokard, peningkatan CRP,
penurunan kreatinin klirens (CCT). Namun, bila dilihat dari kedua grup, tidak
didapatkan adanya perbedaan yang signifikan, nilai P=0,096.

5
Diskusi
Dalam penelitian ini, kami melaporkan hasil klinis dari penelitian ICTUS selama 10
tahun. Hasil menunjukkan bahwa, pada pasien dengan NSTE-ACS dengan peningkatan
kadar troponin T yang tinggi, tidak ada manfaat yang terkait dengan strategi invasif dini
dalam mengurangi kematian atau MI setelah follow up selama 10 tahun. Selain itu,
kami tidak melihat perbedaan tingkat kematian atau MI setelah stratifikasi risiko dengan
skor FIR. Tidak ada efek keterlambatan yang diamati, dengan peningkatan yang serupa
untuk kematian atau MI (infark miokard) pada kedua kelompok perlakuan hingga
follow up 10 tahun. Meskipun MI yang berhubungan dengan prosedur lebih banyak
terjadi pada kelompok invasif awal, tidak ada perbedaan mortalitas yang signifikan pada
10 tahun. Hasil saat ini mengkonfirmasikan dan memperluas hasil penelitian
sebelumnya, dengan sepertiga pasien mengalami kematian atau MI spontan dalam
waktu 10 tahun meskipun diobati. Temuan ini berbeda dengan hasil jangka panjang
studi FRISC-II dan RITA-3, di mana manfaat dari strategi invasif awal ditunjukkan.

Hasil saat ini mengenai konteks dan interpretasi


Mungkin ada banyak alasan untuk perbedaan yang diamati dalam uji coba ICTUS bila
dibandingkan dengan penelitian FRISC-II dan RITA-3. Percobaan mendaftarkan pasien
pada periode waktu yang berbeda, dan ada perbedaan dalam praktik klinis.
Dibandingkan dengan percobaan RITA-3 dan FRISC-II, uji coba ICTUS adalah yang
paling kontemporer dan mencakup penggunaan penghambat stent, glikoprotein IIb / IIIa
selama PCI, agen antiplatelet jangka panjang (dual), dan pengobatan statin dosis tinggi.
Mungkin perbedaan yang paling penting di antara 3 percobaan adalah waktu dan
intensitas revaskularisasi yang dillihat pada figur 5. Dalam uji coba ICTUS, strategi
invasif awal sesuai protokol, 97% pasien menjalani angiografi koroner dalam 48 jam
dan 98% selama rawat inap. Angiografi koroner selama rawat inap, 96% pada kelompok
invasif awal RITA-3 dan FRISC-II. Lebih penting lagi, angiografi koroner saat dirawat
di rumah sakit pada kelompok FRISC-II dan RITA-3 yang non-invasif hanya 7% dan
16%, dibandingkan dengan 53% pasien dalam kelompok invasif selektif dalam ICTUS,
yang lebih mencerminkan praktik kontemporer. Semua pasien di ICTUS hasil troponin-
T meningkat, sehingga terjadinya SKA lebih mungkin terjadi. Selanjutnya, setelah
angiografi koroner diagnostik, revaskularisasi selanjutnya lebih sering terjadi pada

6
percobaan ICTUS. Revaskularisasi selama rawat inap adalah 76% pada kelompok
invasif awal dan 40% pada kelompok invasif selektif dibandingkan dengan 76% pada
kelompok invasif awal dibandingkan 14% pada kelompok non-invasif FRISC-II dan
44% berbanding 10% pada RITA-3.
Meta-analisis telah menunjukkan manfaat strategi invasif awal selama 2 tahun saat
menggabungkan data uji coba secara acak. Dalam ICTUS, 22% perbedaan absolut
revaskularisasi antara kelompok invasif awal dan kelompok invasif selektif
dipertahankan sampai 10 tahun, dengan angka kematian tidak menunjukkan perbedaan
pada follow up selama 1-, 5-, dan 10 tahun. Pada FRISC-II, perbedaan yang signifikan
dalam mortalitas diamati pada 2 tahun, yang hilang pada follow-up 5 tahun dan 15
tahun. Pada penelitian RITA-3, tidak ada perbedaan angka kematian pada follow up 2
tahun. Perbedaan yang signifikan dalam mortalitas diamati selama 5 tahun, yang tidak
lagi ada pada follow-up 10 tahun. Kami tidak menyadari mekanisme patofisiologis yang
masuk akal atau perubahan dalam praktik klinis dari waktu ke waktu yang dapat
menjelaskan pengamatan ini. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan pengamatan
jangka panjang dari semua 3 percobaan strategi, seseorang dapat berasumsi bahwa
setiap perbedaan mortalitas yang diamati adalah hasil yang kebetulan. Singkatnya,
meskipun 3 percobaan individual mungkin tidak didukung secara statistik untuk
mendeteksi perbedaan angka kematian, hasil jangka panjang (lebih dari atau sama
dengan 10 tahun) yang ditemukan dalam 3 penelitian menunjukkan bahwa,
dibandingkan dengan strategi invasif selektif, strategi invasif awal tidak terkait dengan
manfaat kematian jangka panjang, bahkan pada pasien NSTE-ACS dengan peningkatan
troponin jantung.
Mengenai kejadian MI, hasil jangka panjang bervariasi di antara 3 percobaan strategi.
Hasil kami saat ini menunjukkan bahwa tidak ada manfaat yang terkait dengan strategi
invasif awal dalam mengurangi kematian atau MI pada usia 10 tahun, dan hasil kami
sesuai dengan hasil awal dari studi ICTUS. Pada 1 dan 5 tahun, strategi invasif awal
tidak terkait dengan pengurangan komposit kematian atau MI. Juga tidak ada perbedaan
dalam 2 titik akhir individu. Berbeda dengan hasil kami, komposit kematian 5 tahun
atau MI di RITA-3 lebih tinggi pada kelompok non-invasif (20,0%) dibandingkan
dengan kelompok invasif awal (16,6%; p = 0,044). Namun, MI sebagai titik akhir
individu tidak berbeda antara 2 kelompok pada 5 tahun (invasif awal: 6,8% vs 8,3%; p =

7
0,22). Pada FRISC-II, kematian atau MI pada 5 tahun secara signifikan lebih tinggi
pada kelompok noninvasif (24,5% vs 19,9%; p = 0,009) dan terutama didorong oleh
jumlah MI yang lebih tinggi pada kelompok non invasive (17,7%) dibandingkan dengan
kelompok invasif awal (12,9%; p = 0,002). Melihat semua kejadian, bukan hanya saat
pertama, hasil ini bertahan selama 15 tahun follow up pada FRISC-II. Dalam penelitian
ini, strategi invasif awal dikaitkan dengan penundaan kematian atau MI baru pada usia
18 bulan dan kematian atau penerimaan kembali berikutnya untuk penyakit jantung
iskemik umur 37 bulan. Hal ini terutama didorong oleh tingkat MI yang lebih tinggi
atau penerimaan kembali pada kelompok non invasif selama 3 sampai 4 tahun pertama
penelitian, dengan kurva yang ada berjalan paralel setelahnya. Sekali lagi, perbedaan
pada awal revaskularisasi antara pengobatan invasif dan noninvasive awal di FRISC-II
sangat dalam, dengan revaskularisasi yang tidak direncanakan terjadi 30% lebih sering
pada kelompok noninvasive selama 3 sampai 4 tahun pertama. Dengan demikian,
spontan MI yang lebih sering terjadi pada kelompok non invasif dalam 3 tahun pertama
pada FRISC-II dari waktu ke waktu, sejajar dengan persentase awal revaskularisasi awal
diikuti oleh revaskularisasi yang tidak direncanakan yang lebih sering di lain waktu bila
dibandingkan dengan kelompok invasif awal. Pedoman NSTE-ACS Eropa dan Amerika
saat ini merekomendasikan strategi invasif awal untuk pasien positif troponin, dengan
angiografi koroner dilakukan lebih baik dalam waktu 24 jam. Namun, dalam hasil
jangka panjang FIR, tidak ada manfaat kematian terkait dengan strategi invasif awal.
Selain itu, kami tidak dapat menunjukkan pengurangan MI pada masa tindak lanjut
selama 10 tahun, asalkan ada tingkat revaskularisasi 61% pada kelompok invasif
selektif dalam 10 tahun (dengan perbedaan absolut dalam revaskularisasi 22%). Secara
bersamaan, ketika menyeimbangkan risiko dan manfaat angiografi dan revaskularisasi,
kami menyimpulkan bahwa selektif strategi invasif mungkin merupakan pilihan yang
tepat bagi pasien yang dipilih.

Perspektif masa depan


Kami mengakui beberapa perkembangan penting dalam armamentarium (alat yang.
digunakan dalam bidang kedokteran dan berfungsi dalam penegakkan diagnosis)
diagnostik dan terapeutik untuk pasien NSTE-ACS selama beberapa tahun terakhir.
Pertama, uji troponin sensitivitas tinggi (hs-cTn) sekarang banyak tersedia. Pengenalan

8
hs-cTn telah memperbaiki proses pengesahan pada pasien NSTE-ACS dengan hs-cTn
normal. Sejak pengenalannya, hs-cTn juga telah mengubah secara tajam populasi
NSTE-ACS troponin; sebuah penelitian baru-baru ini menunjukkan peningkatan kadar
NSTE-ACS troponin positif (atau MI elevasi segmen non-ST) dan menurun pada
Unstable Angina. Selanjutnya, kenaikan atau penurunan troponin jantung telah
ditunjukkan sebagai salah satu yang berisiko tinggi, yang mewajibkan strategi invasif
dengan pedoman pengobatan terbaru. Oleh karena itu, lebih banyak pasien yang
sebelumnya didiagnosis dengan unstable angina sekarang memiliki indikasi untuk
angiografi koroner lebih awal. Pasien dengan peningkatan kecil diukur dengan hs-cTn,
yang berada di ujung spektrum, belum disertakan dalam uji coba strategi apa pun.
Kedua, pilihan pengobatan farmakologis dan invasif, yang digunakan pada saat
pendaftaran penelitian, telah dikembangkan lebih lanjut. Sebagai contoh, beberapa
percobaan dengan penghambat P2Y12 baru telah menunjukkan manfaat lebih dari
clopidogrel dalam mengurangi kematian, MI, dan stroke, termasuk pasien dengan
manajemen noninvasif yang diinginkan. Penggunaan pendekatan lebih umum dan telah
terbukti mengurangi perdarahan mayor pada pasien NSTE-ACS, dan teknologi stent
telah meningkat seiring dengan diperkenalkannya stent obat generasi eluting terbaru.
Akhirnya, kami menekankan pentingnya pencegahan sekunder dengan perawatan medis
yang optimal, perubahan gaya hidup, dan penghentian merokok, seperti yang
direkomendasikan oleh pedoman internasional. Karena semua perkembangan baru ini
mempengaruhi pendekatan invasif awal dan pendekatan invasif yang lebih selektif,
penelitian masa depan diperlukan.

Batasan studi
Pertama, kami mengumpulkan informasi tindak lanjut kami melalui telepon ke pasien
secara langsung, dokter umum, catatan dari rumah sakit, dan registri populasi nasional.
Penerimaan rumah sakit yang tidak dilaporkan atau pasien yang lost to follow-up dapat
menyebabkan perkiraan tingkat kejadian yang tidak tepat. Kedua, pengukuran serial
rutin biomarker jantung setelah PCI tidak ditangani secara analitik selama jangka
panjang dan beberapa prosedur terkait MI tanpa gejala klinis dihilangkan dari studi.
Ketiga, hasil dari studi ini mencerminkan praktik klinik dalam sistem kesehatan di
Belanda. Negara ini merupakan negara kecil, dengan tingkat kepadatan populasi dan

9
pusat kesehatan kardio yang banyak, dengan kapasitas kateterisasi yang adekuat, dan
organisasi perawatan yang terpadu. Keempat, usia rata-rata pasien di studi ini yakni 62
tahun, dengan sedikitnya berusia lebih dari 80 tahun, yang membuat sukar dibandingkan
dengan studi-studi lain dengan rata-rata usia 40 tahunan keatas.

Kesimpulan
Hasil studi ini ditunjukkan bahwa pada pasien dengan kasus SKA non-STE yang
menjalani terapi invasif dini tidak memberikan keuntungan yang berarti dalam
menurunkan tingkat mortalitas dan infark miokard spontan pada 10 tahun follow up.
Ketika dibandingkan antara risiko dan keuntungan yang didapat dari tindakan angiografi
dan revaskularisasi, peneliti yakin strategi invasif selektif dapat menjadi pilihan terapi
viabel (kelangsungan hidup) pada kasus-kasus tertentu. Dibutuhkan studi lanjut untuk
menentukan dasar optimal terapi baik invasif dini atau invasif selektif pada pasien SKA
non-STE di era hs-cTn, inhibitor p2y12, akses arteri radialis.

10

Anda mungkin juga menyukai