Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Tuberkulosis (TB) telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang besar
selama berabad-abad. Pelaksanaan intervensi kesehatan masyarakat yang efektif untuk
pencegahan dan pengendalian TB secara bermakna telah banyak menurunkan beban penyakit
secara global. Tetapi, munculnya epidemi HIV merupakan tantangan besar dalam upaya
pengendalian TB secara global.1Peningkatan prevalensi HIV di Regional Asia Tenggara
yang 40 persen dari populasinya telah terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis (MTB),
jika tidak segera ditanggulangi dapat mengancam upaya pengendalian TB. HIV
meningkatkan epidemi TB dengan beberapa cara.. Telah diketahui bahwa HIV merupakan
faktor risiko yang paling potensial untuk terjadinya TB aktif baik pada orang yang baru
terinfeksi maupun mereka dengan infeksi TB laten. Risiko terjadinya TB pada orang dengan
ko-infeksi HIV/TB berkisar antara 5 – 10% per tahun.HIV meningkatkan angka kekambuhan
TB, baik disebabkan oleh reaktifasi endogen atau re-infeksi eksogen. Peningkatan kasus TB
pada ODHA akan meningkatkan risiko penularan TB pada masyarakat umum dengan atau
tanpa terinfeksi HIV. Pencegahan HIV terkait TB melebihi pelaksanaan sepenuhnya dari
DOTS, karena juga mencakup pencegahan infeksi HIV sejak awal, pencegahan
berkembangnya infeksi TB laten menjadi penyakit aktif serta ketentuan dan penyediaan
pengobatan dan perawatan HIV/AIDS.
TB dapat terjadi pada tahap awal infeksi HIV ketika jumlah CD4 masih di atas 200
sel/µL. Kebanyakan kasus HIV dengan TB memperlihatkan gambaran klinis TB paru yang
tidak khas, dengan meningkatnya supresi imun terkait HIV maka gambaran klinis TB
berubah dan lebih sulit untuk didiagnosis. Selanjutnya kemungkinan besar akan terjadi
peningkatan kasus TB paru dengan Basil Tahan Asam (BTA) negatif dan ekstra-paru.
Indonesia menempati ranking ketiga dalam prevalensi TB di dunia.Namun berbeda dengan
negara-negara lain dengan angka prevalensi TB yang tinggi, Indonesia belum menghadapi
epidemi HIV/AIDS, yang merupakan salah satu faktor resiko utama penyebaran TB.
Angka prevalensi HIV orang dewasa tahun 2005 adalah 0.1%, dan pada tahun 2004
terdapat 275 kasus baru TB per 100.000. Sejak tahun 1999, surveilans sentinel di antara

1
kelompok berisiko tinggi di beberapa daerah menunjukkan peningkatan jumlah infeksi HIV.
Pada akhir tahun 2005 kematian akibat AIDS mencapai 5500 jiwa.6 Melihat kecederungan
epidemiologi TB dan HIV/AIDS di Indonesia sebagaimana diuraiakan di atas, muncul
kekhawatiran akan ancaman epidemi ganda (dual epidemics) yang telah melanda beberapa
negara berkembang terutama di benua Afrika. Epidemi HIV akan memperparah epidemi TB
karena HIV akan meningkatkan risiko terjadinya reaktivasi TB laten dan lebih rentan akan
infeksi baru TB karena imunitas yang rendah. Infeksi HIV merupakan faktor risiko
terpenting berkembangnya infeksi Mycobacterium tuberculosis menjadi penyakit TB.Risiko
untukterkena penyakit TB pada penderita HIV positif meningkat 50% dibanding mereka
yang tidak terinfeksi HIV.Sampai saat ini sepertiga dari kasus HIV positif di dunia
mempunyai koinfeksi dengan TB.

2
HIV AIDS

1.1 Definisi dan Sejarah HIV/AIDS


HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari
sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit
yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel
limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya
sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang
masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar
antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal
pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun bahkan pada
beberapa kasus bisa sampai nol.7
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti
kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi
virus HIV. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya
berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain.
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media
hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa
pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat
virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi
oportunistik
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul
akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang didapat, disebabkan oleh infeksi human
immunodeficiency virus (HIV). AIDS ini bukan merupakan suatu penyakit saja, tetapi
merupakan gejala-gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi berbagai jenis mikroorganisme
seperti, infeksi bakteri, virus, jamur, bahkan timbulnya keganasan akibat menurunnya daya
tahan tubuh penderita. Pada 5 Juni 1981, kasus pertama AIDS dilaporkan di Los Angeles pada
lima orang laki-laki homoseksual yang menderita Pneumonia Pneumocystis carinii (PPC) dan
infeksi opotunistik lainnya Pada tahun 1983, ilmuwan Prancis, Luc Montagnier (Institut

3
Pasteur, Paris) mengisolasi virus dari pasien dengan gejala limfadenopati dan menemukan
virus HIV dan virus ini dinamakan lymphadenopathy assosiated virus (LAV). Pada tahun
1984, Gallo (National Institute of Health, USA) menemukan virus human T lymphotropic
virus (HTLV-III) yang juga menyebabkan AIDS. LAV dan HTLV-III adalah virus penyebab
HIV yang sama dan dikenal sebagai HIV-1.

3.3 Etiologi HIV/AIDS


AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang
termasuk retrovirus dari famili Lentivirus.Retrovirus berdiameter 70-130 nm. Masa inkubasi
virus ini selama sekitar 10 tahun . Virion HIV matang memiliki bentuk hampir bulat. Selubung
luarnya, atau kapsul viral, terdiri dari lemak lapis ganda yang banyak mengandung tonjolan
protein. Duri-duri ini terdiri dari dua glikoprotein yaitu gp120 dan gp41. Terdapat suatu
protein matriks yang disebut gp17 yang mengelilingi segmen bagian dalam membran virus.
Sedangkan inti dikelilingi oleh suatu protein kapsid yang disebut p24. Di dalam kapsid
terdapat dua untai RNA identik dan molekul preformed reverse transcriptase, integrase dan
protease yang sudah terbentuk. Reverse transcriptase adalah enzim yang mentranskripsikan
RNA virus menjadi DNA setelah virus masuk ke sel sasaranStrukturnya tersusun atas
beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat
pada glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4
pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian
dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat
dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme).
Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai
lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi.
Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di
seluruh dunia adalah grup HIV-1.
Adapun struktur HIV yaitu bagian luar HIV dilipuit oleh selubung yang disebut ‘envelope’
dan di bagian dalam terdapat sebuah inti (CORE), sebagai berikut:

4
1. Envelope.HIV bergaris tengah 1/10.000 mm
dan mempunyai bentuk bulat seperti bola.
Lapisan paling luar disebut ENVELOPE,
terdiri dari dua lapisan molekul lemak yang
disebut lipids. Lapisan ini diambil dari sel
manusia ketika partikel virus yang baru
terbentuk dengan membentuk tonjolan dan
lepas dari sel tersebut.Selubung virus terisi Gambar struktur virus HIV-
WHO. TB/ HIV: A
oleh protein yang berasal dari sel induk, ClinicalManual; 2004. Diakses dari:
termasuk 72 turunan (rata-rata) protein HIV whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546344.
pdf. Accessed on: 25 October 2013.
komplek yang menonjol dari permukaan
selubung. Protein ini disebut env, terdiri atas sebuah tutup (cap)terbuat dari 3-4 molekul
GLYCOPROTEIN (gp) 120 dan sebuah batang yang terdiri atas 3-4 molekul gp 41
sebagai rangka struktur dalam envelope virus.7
2. Inti atau CORE. Dalam envelope partikel HIV yang sudah matang terdapat inti yang
berbentuk peluruyang disebut CAPSID, terbentuk dari 2000 turunan protein virus lainnya,
P 24. Capsid mengelilingi 2 helaian tunggal RNA HIV, yang masing-masing memiliki 9
gen dari virus. Tiga diantaranya gag, pol dan env, mengandung informasi yang diperlukan
untuk membuat protein terstruktur untuk partikel virus baru. Gen env, misalnya mengkode
protein gp 160 yang dipecah oleh enzim virus untuk membentuk gp 120 dan gp 41, yang
merupakan komponen env. Tiga buah gen pengatur, tat, rev dan nef dan 3 gen tambahan,
vif, vpr, dan vpu mengandung informasi yang diperlukan untuk memproduksi protein
yang mengatur kemampuan HIV menginfeksi suatu sel, membuat turunan virus baru atau
menimbulkan penyakit. Protein yang dikode oleh nef misalnya menyebabkan virus dapat
melakukan replikasi secara efisien sacara efisien dan protein yang dikode oleh vpu
berpengaruh terhadap pelepasan partikel virus baru dari sel yang diinfeksi. Inti HIV juga
mencakup sebuah protein yang disebut P7, yaitu protein nucleocapsid HIV, dan 3 buah
enzim yang berperan dalam langkah berikutnya dalam siklus hidup virus, yaitu:
REVERSE, TRANSCRIPTASE, INTEGRASE dan PROTASE. Protein HIV lainnya
adalah P17 atau matriks HIV, terletak antara inti dan envelope.

5
3.4 Cara Penularan
3.4.1 Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik homoseksual maupun heteroseksual
merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi (penularan seksual merupakan
cara infeksi yang paling utama diseluruh dunia, yang berperan lebih dari 75% dari semua
kasus penularan HIV). Risiko seorang wanita terinfeksi dari laki-laki yang seropositif lebih
besar jika dibandingkan seorang laki-laki yang terinfeksi dari wanita yang seropositif.
Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat
ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV
tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks.
Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok
manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.8

3.4.2 Transmisi Non Seksual


1. Transmisi Parenteral
1.1 Transmisi ini sebagai akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya
(alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalahgunaan narkoba
suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama.
Disamping dapat juga terjadi melalui jarum suntik yang dipakai oleh petugas
kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental
ini kurang dari 1%. Hal ini terkait penyalah guna obat-obat intravena. Penggunaan
jarum suntik secara bersama-sama dan bergantian semakin meningkatkan
prevalensi HIV/AIDS pada pengguna narkotika. Di negara maju, wanita pengguna
narkotika jarum suntik menjadi penularan utama pada populasi umum melalui
pelacuran dan transmisi vertikal kepada anak mereka.
1.2 Darah atau Produk Darah.Transfusi darah dan produk darah. HIV dapat
ditularkan melalui pemberian whole blood, komponen sel darah, plasma dan faktor-
faktor pembekuan darah. Kejadian ini semakin berkurang karena sekarang sudah
dilakukan tes antibodi-HIV pada seorang donor. Apabila tes antibodi dilakukan
pada masa sebelum serokonversi maka antibodi-HIV tersebut tidak dapat

6
terdeteksi. Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara
barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara
barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan.
Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.8
2. Transmisi Transplasental
Maternofetal. Sebelum ditemukan HIV, banyak anak yang terinfeksi dari darah
ataupun produk darah atau dengan penggunan jarum suntik secara berulang. Sekarang
ini, hampir semua anak yang menderita HIV/AIDS terinfeksi melalui transmisi vertikal
dari ibu ke anak. Diperkirakan hampir satu pertiga (20-50%) anak yang lahir dari
seorang ibu penderita HIV akan terinfeksi HIV. Peningkatan penularan berhubungan
dengan rendahnya jumlah CD4 ibu. Infeksi juga dapat secara transplasental, tetapi 95%
melalui transmisi perinatal. Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak
mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan
dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan
resiko rendah.
3. Pemberian ASI. Peningkatan penularan melalui pemberian ASI pada bayi adalah
14%. Di negara maju, ibu yang terinfeksi HIV tidak diperbolehkan memberikan ASI
kepada bayinya.

Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia dikaitkan dengan faktor resiko dilapor sampai
dengan Desember 2010

Faktor Resiko AIDS

Heteroseksual/HeterosexuaL 12717

Homo-Biseksual/Homo-Bisexual 724

Transfusi Darah/Blood Transfusion 48

Transmisi Perinatal/Perinatal Trans. 628

Tak Diketahui/Unknown 772

7
4. Petugas kesehatan sangat berisiko terpapar bahan infeksius termasuk HIV.
Berdasarkan data yang didapat dari 25 penelitian retrospektif terhadap petugas
kesehatan, didapatkan rata-rata risiko transmisi setelah tusukan jarum ataupun paparan
perkutan lainnya sebesar 0,32% atau terjadi 21 penularan HIV setelah 6.498 paparan,
dan setelah paparan melalui mukosa sebesar 0,09%.
Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi baik melalui
ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada pekerja kesehatan. Selain itu air
liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV.8 Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara
dimana HIV tidak dapat ditularkan antara lain:
1. Kontak fisik.
Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas dengan udara
yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan pasien tidak akan tertular.
Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi, tangan dan kening penderita HIV/AIDS
tidak akan menyebabkan seseorang tertular.
2. Memakai milik penderita
Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun peralatan kerja
penderita HIV/AIDS tidak akan menular.
3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.
4. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.

3.5. Patogenesis dan Patofisiologi HIV/AIDS


HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalu berbagai cara yaitu secara vertical,
horizontal dan transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan
diperantarai benda tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau secara tidak
langsung melalui kulit dan mukosa yang intak seperti yang terjadi pada kontak seksual. Begitu
mencapai atau berada dalam sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak paparan pertama, HIV dapat
dideteksi di dalam darah. Selama dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai
gejala dan tanda infeksi virus akut seperti panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi,
nyeri otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk-batuk, dan lain-lain. Keadaan ini disebut sindrom
retroviral akut. Pada vase ini terjadi penurunan CD4 dan peningkatan HIV-RNA Viral load.

8
Viral load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi, kemudian turun sampai pada suatu
titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan cenderung terus
meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti penurunan hitung CD 4 secara perlahan dalam
waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD 4 yang lebih cepat pada kurun waktu 1,5-2,5
tahun sebelum akhirnya jatuh ke stadium AIDS.
Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang menjadi
target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Untuk bisa masuk ke sel
target, gp 120 HIV perlu berikatan dengan reseptor CD4. Reseptor CD4 ini terdapat pada
permukaan limfosit T, monosit, makrofag, Langerhan’s, sel dendrit, astrosit, microglia. Selain
itu, untuk masuk ke sel HIV memerlukan chemokine reseptor yaitu CXCR4 dan ccr5,
beberapa reseptor lain yang memiliki peran adalah CCR2b dan CCR3. Selanjutnya akan
diikuti fase fusi membran HIV dengan membran sel target atas peran gp41 HIV. Dengan
terjadinya fusi kedua membran, seluruh isi sitoplasma HIV termasuk enzim reverse
transkriptase dan inti masuk ke dalam sitoplasma sel target. Setelah masuk dalam sel target,
HIV melepaskan single strand RNS (ssRNA). Enzim reverse transcriptase akan menggunakan
RNA sebagai template untuk mensisntesis DNA. Kemudian RNA dipindahkan oleh
ribonuklease dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi menjadi double
stran DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke dalam inti sel, menyatu dengan
kromosom host dengan perantara enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus
menjadi tidak aktif untuk melakukan transkripsi dan translasi. Kondisi provirus yang tidak
aktif ini disebut sebagai keadaan laten. Untuk mengaktifkan provirus ini memrlukan aktivasi
dari sel host. Bila sel host teraktivasi oleh inductor seperti antigen, sitokin atau factor lain
maka sel akan memicu nuclear factor sehingga menjadi aktif dan berikatan dengan 5 LTR
(Long terminal repeats) yang mengapit gen-gen tersebut. LTR berisi berbagai elemen pengatur
yang terlibat pada ekspresi gen, NF menginduksi replikasi DNA. Induktor NF cepat memicu
replikasi HIV dengan cara intervensi dari mikroorganisme lain., misalnya bakteri, jamur,
protozoa, ataupun virus. Dari keempat golongan tersebut, yang paling cepat menginduksi
replikasi HIV adalah virus non HIV, terutama virus DNA.
Enzim polymerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara stuktur
berfungsi sebagai RNA genomic dan mRNA. RNA keluar dari nucleus, mRNA mengalami

9
translasi menghasilkan polipeptida. Polipeptida akan bergabung dengan RNA menjadi inti
virus baru. Inti beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan
sel host, kemudian polipeptida dipecah oleh enzim protease menjadi protein dan enzim
fungsioal. Inti virus baru dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host,
sehingga terbentuk virus baru yang lengkap dan matang. Virus ini akan keluar dari sel, dan
akan menginfeksi sel target berikutnya. Dalam satu hari HIV mampu melakukan replikasi
hingga mencapai 109-1011 virus baru.
Secara perlahan tapi pasti,, limfosit T penderita akan tertekan dan semakin menurun
dari waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah Limfosit T-
CD4 melalui beberapa mekanisme:
1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat
adanya penonjolan dan perobekan oleh virion. Akumulasi DNA virus yang tidak
terintegritasi dengan nucleus akan menggangu sintesis makromolekul.
2. Syncytia formation, yaitu terjadiya fusi antarmembran sel yang terinfeksi HIV dengan
limfosit T-CD4 yang tidak terinfeksi.
3. Respon imun humoral dan seluler yang ikut berperan, tapi respon ini dapat menyebabkan
disfungsi imun akibat eliminasi sel yang terinfeksi dan sel normal sekitarnya.
4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibody yang berperan untuk
mengeliminasi sel yang terinfeksi.
5. Kematian sel yang terprogram (apoptosis). Pengikatan antara gp120 dengan reseptor
CD4 Limfosit T merupakan sinyal pertama untuk menyampaikan pesan kematian sel
melalui apoptosis.
Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah limfosit T-CD4
secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm3 menjadi 200/mm3 atau lebih rendah
lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan system imun, sehingga pertahanan
individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan resiko terjadinya
infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium AIDS. Masuknya infeksi sekunder menyebabkan
munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai jenis infeksi sekundernya.

10
Gambar Patogenesis Infeksi HIV
Sumber Gambar: HIV/ AIDS. Available at:
whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546344.pdf.Accessed on: 22 Ocotober 2013.

Respon Imun Terhadap Infeksi HIV


Segera setelah terpajan HIV, individu akan melakukan perlawanan imun yang intensif.
Sel-sel B menghasilkan antibodi-antibodi spesifik terhadap berbagai protein virus. Ditemukan
antibodi netralisasi terhadap regio-regio di gp120 selubung virus dan bagian eksternal gp41.
Deteksi anti bodi adalah dasar bagi berbagai uji HIV (misalnya, enzime-linked immunosorbent
assay [ELISA]). Di dalam darah dijumpai kelas antibodi imunoglobulin G (IgG) maupun
imunoglobulin M (IgM), tetapi seiring dengan menurunnya titer IgM, titer IgG (pada sebagian
besar kasus) tetap tinggi sepanjang infeksi. Antibodi IgG adalah antibodi utama yang
digunakan dalam uji HIV. Antibodi terhadap HIV dapat muncul dalam 1 bulan setelah infeksi
awal dan pada sebagian besar orang yang terinfeksi HIV dalam 6 bulan setelah pajanan.
Namun, antibodi HIV tidak menetralisasikan HIV atau menimbulkan perlindungan terhadap
infeksi lebih lanjut.
Produksi imunoglobulin diatur oleh limfosit T CD4+, limposit T CD+ diaktifkan oleh sel
penyaji antigen (APC) untuk menghasilkan berbagai sitokin seperti interleukin-2 (IL-2), yang
membantu merangsang sel B untuk membelah dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Sel-sel
plasma ini kemudian menghasilkan imunoglobuin yang spesifik untuk antigen yang

11
merangsangnya. Sitokin IL-2 hanyalah salah satu dari banyak sitokin yang memengaruhi
respons imun baik humoral maupun selular. Walaupun tingkat kontrol, ekspresi, dan potensi
fungsi sitokin dalam infeksi HIV masih terus diteliti, namun sitokin jelas penting dalam
aktivitas intrasel. Sebagai contoh, penambahan sitokin IL-12 (faktor stimulasi sel NK)
tampaknya melawan penurunan aktivitas dan fungsi sel NK seperti yang terjadi pada infeksi
HIV. Sel-sel NK adalah sel yang penting karena dalam keadaan normal sel-sel inilah yang
mengenali dan menghancurkan sel yang terinfeksi oleh virus dengan mengeluarkan perforin
yang serupa dengan yang dihasilkan oleh sel CD8.8
Peran sitotoksik sel CD8 adalah mengikat sel yang terinfeksi oleh virus dan
mengeluarkan perforin, yang menyebabkan kematian sel. Aktivitas sitotosik sel CD8 sangat
hebat pada awal infeksi HIV. Sel CD8 juga dapat menekan replikasi HIV di dalam limfosit
CD4+. Penekanan ini terbukti bervariasi tidak saja di antara orang yang berbeda tetapi juga
pada orang yang sama seiring dengan perkembangan penyakit. Aktivitas antivirus sel CD8
menurun seiring dengan perkembangannya penyakit. Dengan semakin beratnya penyakit,
jumlah limfosit CD4+ juga berkurang. Berbagai hipotesis tentang penyebab penurunan
bertahap tersebut akan dibahas berikut ini.
Fungsi regulator esensial limfosit CD4+ dalam imunitas selular tidak terbantahkan.
Limfosit CD4+ mengeluarkan berbagai sitokin yang memperlancar proses-proses misalnya
produksi imunoglobulin dan pengaktivan sel T tambahan dan makrofag. Dua sitokin spesifik
yang dihasilkan oleh limfosit CD4+-IL-2 dan interferon gama berperan penting dalam
imunitas selular. Pada kondisi normal, limfosit CD4+ mengeluarkan interferon gama yang
menarik makrofag dan mengintensifkan reaksi imun terhadap antigen. Namun, apabila limfosit
CD4+ tidak berfungsi dengan benar maka produksi interferon gama akan menurun. IL-2
penting untuk memfasilitasi tidak saja produksi sel plasma tetapi juga pertumbuhan dan
aktivitas antivirus sel CD8 dan replikasi-diri populasi limfosit CD4+.8
Walaupun mekanisme pasti sitopatogenisitas limfosit CD4+ belum diketahui, namun
dapat diajukan argumen-argumen untuk berbagai hipotesis seperti apoptosis, anergi,
pembentukan sinsitium, dan lisis sel. Antibodi-dependent, complement-mediated cytotoxicity
(ADCC, sitotoksisitas yang dependen antibodi dan diperantarai oleh komplemen) mungkin
salah satu efek imun humoral yang membantu menyingkirkan limfosit CD4+ yang terinfeksi

12
oleh HIV. Antibodi terhadap dua glikoprotein, gp120 dan gp41, menginduksi ADCC. Sel-sel
seperti sel NK kemudian bertindak untuk mematikan sel yang terinfeksi.

Perkembangan klinis
AIDS adalah stadium akhir dalam suatu kelainan imunologik dan klinis kontinum yang
dikenal sebagai “spektrum infeksi HIV”. Perjalanan penyakit dimulai saat terjadi penularan
dan pasien terinfeksi. Tidak semua orang yang terpajan akan terinfeksi (misalnya, homozigot
dengan gen CCR5 mutan). Mungkin terdapat kofaktor lain dalam akuisisi yang perlu
diidentifikasi lebih lanjut. Setelah infeksi awal oleh HUV, pasien mungkin tetap seronegatif
selama beberapa bulan. Namun, pasien ini bersifat menular selama periode ini dan dapat
memindahkan virus ke orang lain. Fase ini disebut “window period” (“masa jendela”).
Manifestasi klinis pada orang yang terinfeksi dapat timbul sedini 1 sampai 4 minggu setelah
pajanan.9
Infeksi akut tejadi pada tahap serokonversi dari status antibodi negatif menjadi positif.
Sebagian orang mengalami sakit mirip penyakit virus atau mirip mononukleosis infeksiosa
yang berlangsung beberapa hari. Gejala mungkin berupa malaise, demam, diare,
limfadenopati, dan ruam makulopapular. Beberapa orang mengalami gejala yang lebih akut,
seperti meningitis dan pneumonitis. Selama periode ini, dapat terdeteksi HIV dengan kadar
tinggi di darah perifer. Kadar limfosit CD4+ turun dan kemudian kembali ke kadar sedikit di
bawah kadar semula untuk pasien yang bersangkutan.
Dalam beberapa minggu setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke fase asimtomatik.
Pada awal fase ini, kadar limfosit CD4+ umumnya sudah kembali mendekati normal. Namun,
kadar limfosit CD4+ menurun secar bertahap seiring dengan waktu. Selama fase infeksi ini,
baik virus maupun antibodi virus ditemukan di dalam darah. Seperti dibahas sebelumnya,
replikasi virus berlangsung di jaringan limfoid. Virus itu sendiri tidak pernah masuk ke dalam
periode laten walaupun fase infeksi klinisnya mungkin laten.9
Pada fase simtomatik dari perjalanan penyakit, hitung sel CD4+ pasien biasanya telah
turun di bawah 300 sel /µ. Dijumpai gejala-gejala yang menunjukkan imunosupresi dan gejala
ini berlanjut sampai pasien memperlihatkan penyakit-penyakit terkait AIDS . CDC telah
mendefinisikan penyakit-penyakit simtoatik untuk kategori klinis ini

13
Bagan Perjalanan Penyakit HIV/ AIDS

3.6 Manifestasi Klinis

Ada tiga tahapan yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi antara HIV dan sistem
imun:

1. Fase akut.Fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik yaitu nyeri tenggorok, mialgia,
demam, ruam dan kadang-kadang meningitis aseptik. Pada fase ini terdapat produksi virus
dalam jumlah yang besar, viremia dan persemaian yang luas pada jaringan limfoid perifer,
yang secara khas disertai dengan berkurangnya sel T CD4+. Segera setelah hal itu terjadi,
muncul respon imun yang spesifik terhadap virus, yang dibuktikan melalui serokonversi
(biasanya dalam rentang waktu 3 hingga 17 minggu setelah pajanan) dan melalui
munculnya sel T sitotoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia mereda,
sel T CD4+ kembali mendekati jumlah normal.9 Namun, berkurangnya jumlah virus
dalam plasma bukan merupakan penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan terus
berlanjut di dalam makrofag dan sel T CD4+ jaringan.

14
2. Fase kronis.Fase kronis menunjukan tahap penahanan relatif virus. Pada fase ini,
sebagian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut hingga beberapa
tahun. Para pasien tidak menunjukkan gejala ataupun menderita limfadenopati persisten
dan banyak penderita yang mengalami infeksi opotunistik ringan, seperti sariawan
(Candida) atau herpes zoster. Replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut.
Pergantian virus yang meluas akan disertai dengan kehilangan CD4+ yang berlanjut.
Namun, karena kemampuan regenerasi sistem imun yang besar, sel CD4+ akan
tergantikan dalam jumlah yang besar. Setelah melewati periode yang panjang dan
beragam, pertahanan pejamu mulai menurun dan jumlah CD4+ mulai menurun, dan
jumlah CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV semakin meningkat
3. Fase kritis. Tahap terakhir ini ditandai dengan kehancuran pertahanan pejamu yang
sangat merugikan, peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis. Para pasien
khasnya akan mengalami demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan berat badan,
dan diare; jumlah sel CD4+ menurun di bawah 500 sel/µL. Setelah adanya interval yang
berubah-ubah, para pasien mengalami infeksi oportunistik yang serius, neoplasma
sekunder dan atau manifestasi neurologis (disebut dengan kondisi yang menentukan
AIDS). Jika kondisi lazim yang menentukan AIDS tidak muncul, pedoman CDC yang
digunakan saat ini menentukan bahwa seseorang yang terinfeksi HIV dengan jumlah sel
CD4+ kurang atau sama dengan 200 sel/µL sebagai pengidap AIDS. Hampir semua orang
yang terinfeksi HIV, jika tidak diterapi, akan berkembang menimbulkan gejala-gejala
yang berkaitan dengan HIV atau AIDS.

Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara lain tumor dan
infeksi oportunistik :
1. Manifestadi tumor diantaranya
a) Sarkoma kaposi,kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi
kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual, dan jarang
terjadi pada heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian primer.
b) Limfoma ganas,terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan
bertahan kurang lebih 1 tahun.

15
2. Manifestasi Infeksi Oportunistik diantaranya
2.1. Manifestasi pada Paru-paru
2.1.1. Pneumonia Pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru-
paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan
demam.
2.1.2. Cytomegalo Virus (CMV)
Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru tetapi
dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab kematian pada
30% penderita AIDS.
2.1.3. Mycobacterium Avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit
disembuhkan.
2.1.4. Mycobacterium Tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar
ke organ lain diluar paru.
2.2. Manifestasi pada Gastroitestinal
Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan turun lebih 10% per bulan.
4 Manifestasi Neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis, yang biasanya timbul
pada fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis,
demensia, mielopati dan neuropari perifer.
Selain pengelompokan manifestasi klinis diatas, pengelompokan gejala juga dapat dibagi
sebagai berikut.
1. Gejala Konstitusi
Kelompok ini sering disebut dengan AIDS related complex. Penderita mengalami paling
sedikit dua gejala klinis yang menetap selama 3 bulan atau lebih. Gejala tersebut berupa:
 Demam terus menerus lebih dari 37°C.
 Kehilangan berat badan 10% atau lebih.

16
 Radang kelenjar getah bening yang meliputi 2 atau lebih kelenjar getah bening di
luar daerah inguinal.
 Diare yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Berkeringat banyak pada malam hari yang terjadi secara terus menerus.
2. Gejala Neurologi
Stadium ini memberikan gejala neurologi yang beranekaragam seperti kelemahan otot,
kesulitan berbicara, gangguan keseimbangan, disorientasi, halusinasi, mudah lupa,
psikosis dan dapat sampai koma (gejala radang otak).
3. Gejala Infeksi
Infeksi oportunistik merupakan kondisi dimana daya tahan penderita sudah sangat
lemah sehingga tidak ada kemampuan melawan infeksi, misalnya:
a. Pneumocystic carinii pneumonia (PCP)
PCP merupakan infeksi oportunistik yang sering ditemukan pada penderita AIDS
(80%). Disebabkan parasit sejenis protozoa yang pada keadaan tanpa infeksi HIV
tidak menimbulkan sakit berat. Pada penderita AIDS, protozoa ini berkembang pesat
sampai menyerang paru-paru yang mengakibatkan pneumonia. Gejala yang
ditimbulkannya adalah batuk kering, demam dan sesak nafas. Pada pemeriksaan
ditemukan ronkhi kering. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya P.carinii pada
bronkoskopi yang disertai biopsi transbronkial dan lavase bronkoalveolar.
b. Tuberkulosis
Infeksi Mycobacterium tuberkulosis pada penderita AIDS sering mengalami
penyebaran luas sampai keluar dari paru-paru. Penyakit ini sangat resisten
terhadap obat anti tuberkulosis yang biasa. Gambaran klinis TBC pada
penderita AIDS tidak khas seperti pada penderita TBC pada umumnya. Hal
ini disebabkan karena tubuh sudah tidak mampu bereaksi terhadap kuman.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil kultur.
c. Toksoplasmosis
Penyebab ensefalitis lokal pada penderita AIDS adalah reaktivasi Toxoplasma
gondii, yang sebelumnya merupakan infeksi laten. Gejala dapat berupa sakit kepala
dan panas, sampai kejang dan koma. Jarang ditemukan toksoplasmosis di luar otak.

17
d. Infeksi Mukokutan. Herpeks simpleks, herpes zoster dan kandidiasis oris merupakan
penyakit paling sering ditemukan. Infeksi mukokutan yang timbul satu jenis atau
beberapa jenis secara bersama. Sifat kelainan mukokutan ini persisten dan respons
terhadap pengobatan lambat sehingga sering menimbulkan kesulitan dalam
penatalaksanaannya.
4. Gejala Tumor
Tumor yang paling sering menyertai penderita AIDS adalam Sarkoma Kaposi dan
limfoma maligna non-Hodgkin.

3.7 Diagnosis HIV/AIDS


3.7.1 Anamnesis
Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap ODHA saat kunjungan pertama kali
ke sarana kesehatan.Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis, diperolehnya data
dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium, memastikan pasien memahami tentang
infeksi HIV, dan untuk menentukan tata laksana selanjutnya. Dari Anamnesis, perlu digali
factor resiko HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan, daftar tilik riwayat penyakit pasien
dengan tersangaka ODHA.
Faktor risiko infeksi HIV
 Penjaja seks laki-laki atau perempuan
 Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)
 Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender
(waria)
 Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial
 Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
 Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah
 Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.

Seorang dewasa dianggap menderita AIDS bila menunjukkan tes HIV positif dengan strategi
pemeriksaan yang sesuai dan sekurang-kurangnya didapatkan dua gejala mayor yang berkaitan

18
dengan 1 gejala minor, dan gejala-gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan-keadaan lain yang
tidak berkaitan dengan infeksi HIV, atau ditemukan sarcoma Kaposi atau pneumonia yang
mengancam jiwa yang berulang.Karena banyak negara berkembang, yang belum memiliki
fasilitas pemeriksaan serologi maupun antigen HIV yang memadai, maka WHO menetapkan
kriteria diagnosis AIDS sebagai berikut:

Gejala Mayor :
1. Berat badan turun lebih dari 10 % dalam 1 bulan
2. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan
3. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bukan
4. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologi
5. Demensia atau ensefalopati HIV
Gejala Minor :
1. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
2. Dermatitis generalisata yang gatal
3. Herpes Zooster berulang
4. Kandidiasis Orofaring
5. Herpes Simpleks kronis progresif
6. Limfadenopati generalisata
7. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
3.7.2 Pemeriksaan fisik

19
3.7.3 Pemeriksaan Penunjang

Pada daerah di mana tersedia laboratorium pemeriksaan anti-HIV, penegakan diagnosis


dilakukan melalui pemeriksaan serum atau cairan tubuh lain (cerebrospinal fluid) penderita.
Pemeriksaan khusus untuk HIV :

1. Tes AntibodI HIV


Tes ini berfungsi untuk mendeteksi antibody terhadap HIV. Tes ini dapat dilakukan
dengan menggunakan tiga cara, yaitu ELISA (Enzyme Link Immunobinding Assay),
Aglutinasi, dan juga dot blot. Bahan yang digunakan adalah serum, cairan plasma, darah, dan
juga liur. Metode yang paling sering digunakan adalah ELISA. Tetapi ada beberapa hal yang
harus diperhatikan bila menggunakan tes Ab ini, karena pada infeksi HIV, terdapat masa
jendela atau window period. Masa jendela adalah keadaan dimana jumlah Ab yang terbentuk
belum cukup untuk dapat terdeteksi di dalam darah, padahal virus telah masuk di dalam tubuh,
oleh karena itu hasilnya akan menunjukkan negatif. Biasanya antibody dapat terdeteksi
kurang lebih 4-8 minggu setelah infeksi. Apabila tingkat kecuringaan terhadap pasien tinggi,
tes ini harus diulang 3 bulan lagi.9
1.1 ELISA (enzyme linked immunosorbent assay). ELISA digunakan untuk menemukan
antibodi. Kelebihan teknik ELISA yaitu sensitifitas yang tinggi yaitu 98,1 %-100%.
Biasanya memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi. Tes ELISA telah
menggunakan antigen recombinan, yang sangat spesifik terhadap envelope dan core.
1.2 Western Blot. Western blot biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari
suatu protein dalam suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul lain. Biasanya
protein HIV yang digunakan dalam campuran adalah jenis antigen yang mempunyai
makna klinik, seperti gp120 dan gp41. Western blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu
99,6% - 100%. Namun pemeriksaan cukup sulit, mahal membutuhkan waktu sekitar 24
jam.
1.3 PCR (Polymerase Chain Reaction). Kegunaan PCR yakni sebagai tes HIV pada bayi,
pada saat zat antibodi maternal masih ada pada bayi dan menghambat pemeriksaan
secara serologis maupun status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok risiko
tinggi dan sebagai tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab sensitivitas ELISA rendah untuk

20
HIV-2. Pemeriksaan CD4 dilakukan
dengan melakukan imunophenotyping
yaitu dengan flow cytometry dan cell
sorter. Prinsip flowcytometry dan cell
sorting(fluorescence activated cell sorter,
FAST) adalah menggabungkan
kemampuan alat untuk mengidentifasi
karakteristik permukaan setiap sel
dengan kemampuan memisahkan sel-sel
yang berada dalam suatu suspensi menurut karakteristik masing-masing secara otomatis
melalui suatu celah, yang ditembus oleh seberkas sinar laser. Setiap sel yang melewati
berkas sinar laser menimbulkan sinyal elektronik yang dicatat oleh instrumen sebagai
karakteristik sel bersangkutan. Setiap karakteristik molekul pada permukaan sel
manapun yang terdapat di dalam sel dapat diidentifikasi dengan menggunakan satu atau
lebih probe yang sesuai. Dengan demikian, alat itu dapat mengidentifikasi setiap jenis
dan aktivitas sel dan menghitung jumlah masing-masing dalam suatu populasi campuran.

2. Deteksi antigen, dapat berfungsi untuk :


 Deteksi dini pada neonatus ( 18 bulan )
 Untuk pasien dengan seronegatif tetapi dengan riwayat terpapar terhadap HIV
 Deteksi Antigen hanya dapat dilakukan dan terdeteksi saat pasien :
Jumlah Ag > Ab : pada stadium dini
: pada stadium lanjut dimana Ab tidak terbentuk lagi.

3.8 Stadium Klinis


Penilaian Klinis
Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan meliputi
penentuan stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan
HIV di masa lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang
membutuhkan pengobatan, mengidentifikasi kebutuhan terapi ARV dan infeksi oportunistik,

21
serta mengidentifikasi pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapat mempengaruhi
pemilihan terapi.
Stadium Klinis
WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I (asimtomatik),
stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV (sakit berat atau
AIDS).Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat
dijadikan sebagai panduan untuk memulai terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai
atau mengubah terapi ARV.

Penilaian Imunologi
Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai status
imunitas ODHAdan memudahkan kita untuk mengambil keputusan dalam memberikan
pengobatan ARV. Tes CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV.Namun
yang penting diingat bahwa meski tes CD4 dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak
boleh menjadi penghalang atau menunda pemberian terapi ARV.CD4 juga digunakan sebagai
pemantau respon terapi ARV.Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte Count –
TLC) dapat digunakan sebagai indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia namun
TLC tidak dianjurkan untuk menilai respon terapi ARV atau sebagai dasar menentukan
kegagalan terapi ARV.
Stadium klinis HIV menurut WHO
Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)

22
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku

Stadium 3 Sakit sedang


Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis
(<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas

3.9 Penatalaksanaan HIV/AIDS


HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.Namun data
selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pegobatan dengan
menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan morbiditas
dan mortalitas dini akibat infeksi HIV.
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

23
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi
HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi,
limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan
pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta juga
tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap
tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi
oportunistik amat berkurang.

Terapi Antiretroviral (ARV)


Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni:
 Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti: zidovudin,
zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir
 Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti evafirens dan
nevirapin
 Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir, amprenavir.

No Nama Golongan Fungsi

1 NRTI (nucleoside reverse- penghambat kuat enzim reversetranscriptase


transcriptase inhibitor ) dari RNA menjadi DNA yang terjadi sebelum
penggabungan DNA virus dengan kromosom sel
inang.

2 NNRTI (non-nucleoside menghambat aktivitas enzim reverse-


reverse-transcriptase transcriptase dengan mengikat secara langsung
inhibitor (NNRTI) tempat yang aktif pada enzim tanpa aktivasi
sebelumnya.

3 PI (Protease Inhibitor ) menghambat enzim protease HIV yang


dibutuhkan untuk memecah prekursor poliprotein
virus dan membangkitkan fungsi protein virus.

24
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat
antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV meliputi
penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang
tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada
dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting yang
tidak boleh dilupakan ketika membuat keputusan untuk memulai terapi ARV.
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium3 dan 4 harus memulai
terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan2 harus dipantau secara seksama, setidaknya
setiap 3 bulan sekaliuntuk pemeriksaan medis lengkap atau manakala timbul gejala atautanda
klinis yang baru.Adapun terapi HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel di
bawah ini.

Terapi pada ODHA dewasa


Stadium Jika tidak tersedia
Bila tersedia pemeriksaan CD4
Klinis pemeriksaan CD4
1 Terapi ARV tidak diberikan
Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 <200 Bila jumlah total limfosit
2
<1200
Jumlah CD4 200 – 350/mm3, pertimbangkan
terapi sebelum CD4 <200/mm3.
Pada kehamilan atau TB:
Terapi ARV dimulai tanpa
 Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil
3 memandang jumlah limfosit
dengan CD4 350
total
 Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan
CD4 <350 dengan TB paru atau infeksi
bakterial berat
Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah
4
CD4

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB


paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang

25
menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam
berkepanjangan).
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai belum
dapat ditentukan.
3.
Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4
tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II
atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak
ada pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada
saat ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.9
Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV
adalah sebelumpasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembanganpenyakit
akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 <200/mm3 dibandingkan bila terapi
dimulai pada CD4 di atas jumlahtersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV
sebaiknyadimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang palingoptimum untuk
memulai terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200-350/mm3 masih belum diketahui, dan
pasien dengan jumlah CD4tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis maupun
imunologis.Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau infeksibakterial berat
dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinismanapun dengan CD4 < 350 /
mm3.Keputusan untuk memulai terapi ARV pada ODHA dewasa danremaja didasarkan pada
pemeriksaan klinis dan imunologis. NamunPada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja
dapat memandukeputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah(viral load)
tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulaiterapi.
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik yang
aktif.Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.Namun pada kondisi-kondisi
dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka
pemberian ARV sebaiknya diberikan sesegera mungkin (AIII).Contohnya pada
kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi
M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB dianjurkan
untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga untuk mencegah atau
meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS.

26
Tabel Golongan Obat dan Dosis ARV
Golongan obat Dosis
Nukleosida TI (NsTI)
 Abakavir (ABC) 200mg 2x/hr atau 400mg 1x/hr
 Didanosin (ddI) 250 mg 1x/hr (BB<60kg)
 Lamivudin (3TC) 150mg 2x/hr atau 300mg 1x/hr

 Stavudin (d4T) 40mg 2x/hr (30mg 2x/hai bila BB<60kg)

 Zidovudin (ZDV,AZT) 300mg 2x/hr

Nukleotida RTI
 TDF 300mg 1x/hr
Non nukleosida (NNRTI)
 Efavienz (EFV) 600mg 1x/hr
 Nevirapine (NVP) 200mg 1x/hr untuk 14 hr kemudian
200mg 2x/hr
Protease Inhibitor
 Indinavir / ritonavir (IDV/r) 800mg/100mg 2x/hr
 Lopinavir/ ritonavir (LPV/r) 400mg / 100mg 2x/hr
 Nelvinafir (NFV) 1250mg 2x/hr

 Saquinavir / ritonavir (SQV/r) 1000mg/100mg 2x/hr atau


1600mg/200mg x/hr

 Ritonavir (RTV/) Kapsul 100mg larutan oral 400mg/5ml

Panduan Kombinasi Obat ARV


Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang
dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral Therapy atau
HAART.Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi HIV
menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun hanya memberikan
manfaat sementara yang akan segera diikuti oleh resistensi.
WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi 2 NRTI
dan 1 NNRTI.Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI adalah AZT,
lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T).Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah nevirapin
(NVP) dan efavirenz (EFZ).

27
Tabel Terapi ARV Kombinasi

Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT + 3TC +
NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat menimbulkan
anemia.Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan adalah d4T + 3TC +
NVP.Namun AZT lebih disukai daripada stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T
seperti lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati perifer.Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat
digunakan bila NVP tidak dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil
karena EFZ tidak boleh diberikan Pemilihan ARV golongan NRTI tentunya dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing-masing obat. Adapun kombinasi
terapi ARV yang tidak dianjurkan:

28
Tabel Keunggulan dan Kekurangan ARV

Sindrom Pemulihan Imunitas (ImmunReconstitution Syndrome = IRIS)


Kumpulan tanda dan gejala akibat dari pulihnya system kekebalantubuh selama terapi
ARV.Merupakan reaksi paradoksal dalam melawan antigen asing (hidupatau mati) dari pasien
yang baru memulai terapi ARV danmengalami pemulihan respon imun terhadap antigen
tersebut.M. tuberkulosi merupakan sepertiga dari seluruh kasusIRIS. Frekuensinya 10% dari
seluruh pasien yang mulai terapi ARV dan 25% dari pasien yang mulai terapi ARV dengan
CD4 <50 / mm3.Berikut table pedoman tatalaksana IRIS di Indonesia, seperti pada tabel 14.

29
Tabel Pedoman Tatalaksana IRIS

Tabel Definisi Kegagalan Terapi


secara klinis dan kriteria CD4
pada ODHA.

Obat ARV juga diberikan pada


beberapa kondisi khusus seperti
pengobatan profilaksis pada orang
yang terpapar dengan cairan tubuh
yang mengandung HIV (post
exposure prophylaxis.

30
3.10 Prognosis HIV/AIDS

Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal. Sekitar 75% pasien yang didiagnosis AIDS
meninggal tiga tahun kemudian. Penelitian melaporkan ada 5% kasus pasien terinfeksi HIV
yang tetap sehat secara klinis dan imunologis.

31
TUBERKULOSIS PARU PADA PENDERITA HIV/ AIDS

4.1 Definsi
Tuberkulosis ( TB ) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis (MTB). Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, merupakan
organisme patogen maupun saprofit. Jalan masuk untuk organisme MTB adalah saluran
pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Sebagian besar infeksi TB
menyebar lewat udara, melalui terhirupnya nukleus droplet yang berisikan organisme basil
tuberkel dari seseorang yang terinfeksi.2
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat menyebabkan AIDS
dengan cara menyerang T helper atau CD4, terutama limfosit T, yang dapat menyebabkan
penurunan imunitas seluler dan peningkatan terjadinya infeksi oportunistik. AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome) adalah tahap akhir dari infeksi HIV yang memiliki satu atau
lebih infeksi oportunistik dan keganasan dengan jumlah CD4 sel T kurang dari 200 sel per
mm3. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit
TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular
immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka
yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila
jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan
demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

4.2 Epidemiologi
Pada akhir tahun 2000 terdapat sekitar 11,5 juta penderita HIV yang terinfeksi M.
Tuberkulosis. 70% adalah penderita berada di sub-sahara Afrika, 20% berada di Asia
Tenggara, 4% di Amerika latin dan Carribian. Penderita TB-HIV usia 15-49 tahun pada akhir
tahun 2000. Pada Tahun 2010, dari 8,8 juta orang yang terinfeksi TB, 1,1 juta diantaranya
mengidap HIV. Data Kementrian Kesehatan per Juni 2011 menunjukkan jumlah pengidap
AIDS mencapai 26.400 orang dan lebih dari 66.600 orang telah terinfeksi HIV positif.10

32
Tabel Jumlah orang yang terkena TB – HIV
Bagan Faktor resiko TB dengan HIV
di dunia
(+)
4.3 Patogenesis Dampak Infeksi HIV terhadap Paru
Makrofag dan limfosit alveoler yang terdapat di permukaan epitel alveoli adalah sel
defender utama parenkim paru.2 Terinfeksinya makrofag dan limfosit alveoler oleh HIV
(paparan endogen) merupakan proses krusial pada patogenesis penyakit paru pada AIDS.
Molekul CD4 pada permukaan sel merupakan receptor untuk masuknya HIV dan untuk
masuknya virus ke dalam sel diperlukan kerjasama dengan ko-reseptor kemokin.CCR5 adalah
ko-reseptor yang digunakan untuk menginfeksi makrofag oleh strain monoscytetropic (M-
tropic), namun tidak untuk menginfeksi limfosit dan sebaliknya CXCR4 atau fusin untuk strain
lymphocyte-tropic (L-tropic) Makrofag alveoler merupakan reservoir HIV yang utama.Hal ini
dibuktikan dengan terdeteksinya HIV reverse transcriptase dari hasil Bronchoalveolar Lavage
(BAL).Pada paru, CD4 ini terdapat pada permukaan makrofag alveoler dan ko-reseptor yang
paling berperan adalah CCR5 walaupun terdapat pula ekspresi CXCR4.Infeksi oleh strain M-
tropic dapat diblokir oleh CC chemokines RANTES, macrophage inflammatory proteidanyang
berperan sebagai ligand CCR5. Seiring dengan perkembangan infeksi HIV, maka peran strain
M-tropic digantikan oleh T-tropic, disertai penurunan yang cepat status imunologik penderita.
Sebagai reaksi defensif lokal paru terhadap masuknya virus: dengan bantuan limfosit CD4 (T-
helper), maka limfosit CD8 yang merupakan efektor system imunitas seluler, membunuh sel

33
yang terinfeksi HIV melalui cytotoxic T-cell lymphocyte (CTL) CD8. Sel limfosit sitotoksik
CD8 ini akan aktif dan berproliferasi sebagai respon terhadap adanya epitope virus HIV,
sehingga menekan replikasi virus secara langsung Walaupun telah ada mekanisme penekanan
ini, namun replikasi virus tetap berlangsung (mekanismenya masih belum jelas) sehingga
terjadi destruksi dan penurunan jumlah dan kualitas CD4, selanjutnya menyebabkan respon
CTL CD8 menjadi suboptimal (secara in vitro, tidak dapat melakukan lisis sel target dengan
baik) CD4/CD8 pada paru lebih kecil dibandingkan darah perifer. Pada beberapa penderita
menunjukkan symptom pulmonologis sebagai akibat influks limfosit CD8 ke sel paru
(lymphoid interstitial pneumonitis), dimana hal ini berkorelasi dengan tingginya viral
load.Namun pada tahap lanjut jumlah limfosit CD8 ini juga mengalami penurunan.
Didapatkan bahwa abnormalitas sel B terjadi pada masa-masa awal infeksi sebelum
terpengaruhnya fungsi sel T) dengan gangguan pembentukan antibodi sebagai respon terhadap
mitogen dan gangguan inisiasi sistesis antibodi secara normal sebagai respon terhadap antigen.
Penurunan konsentrasi IgG pada paru kemungkinan akibat gangguan kemampuan makrofag
alveoler dalam merangsang sekresi IgG dari sel B.14 Mekanisme defensif lainnya adalah
surfaktan paru (disekresi oleh sel epitel alveolar tipe II) yang secara fisiologis berguna untuk
menurunkan tegangan permukaan sehingga memudahkan reinflasi pada setiap akhir ekspirasi.
Surfaktan tersusun atas kompleks fosfolipid dan protein spesifik, sel-sel bronkoalveoler juga
terdapat didalamnya.Surfaktan menekan proses oksidatif dan produksi beberapa jenis sitokin
seperti IL-1, IL-6 dan TNF alfa (sitokin-sitokin yang merangsang replikasi virus HIV),
menghambat aktivasi limfosit sehingga menghambat replikasi virus HIV. Paparan terhadap
infeksi mikroorganisme tertentu akan merangsang produksi TNF oleh makrofag alveoler,
berikutnya TNF akan mengaktifkan replikasi virus HIV sekaligus mengganggu sistesis protein
surfaktan, dan akhirnya terjadi deplesi natural antiviral factor pada paru

34
Bagan Perjalanan TB Primer

Bagan Perjalanan Tuberculosis Post-Primer

4.4. Diagnosis TB HIV


Gejala klinis pada pasien HIV/AIDS dengan TB
Riwayat Penyakit Dahulu dan Riwayat Kehidupan Pribadi:11
1. Riwayat seks dengan berganti-ganti pasangan
2. Riwayat infeksi menular seksual
3. Riwayat pemakaian narkotika secara suntikan
4. Herpes zoster yang meninggalkan scar
5. Riwayat pneumonia
6. Infeksi bakteri seperti sinusitis, bakteriemia, dan lain-lain
7. Riwayat TB

35
Gejala:
1. Penurunan berat badan (>10 kg atau >20% dari berat badan semula)
2. Diare (lebih dari 1 bulan)
3. Batuk berdahak (lebih dari 3 minggu)
4. Sesak nafas
5. Nyeri dada
6. Malaise, lemah
7. Penurunan nafsu makan
8. Keringat malam
9. Demam
Tanda (Pemeriksaan Fisik):
1. Herpes zoster scar
2. Sarcoma Kaposi
3. Pembesaran KGB
4. Oral candidiasis
5. Pada pemeriksaan fisik terdapat tanda-tanda konsolidasi: Perkusi redup, terdapat
ronkhi basah atau kering

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium:


Cara penegakan diagnosis TB pada ODHA tidak berbeda dengan yang bukan
ODHA.Namun, sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada ODHA sekitar 50% dan tes
tuberkulin hanya positif pada 30-50% odha.Pada foto toraks, gambaran TB paru pada ODHA
dengan CD4>200 sel/µL tidak berbeda dengan non – HIV. Berikut beberapa pemeriksaan
penunjang yang dapat ditemuakan pada penderita TB pada ODHA:12
1. Pemeriksaan sputum yaitu apabila BTA positif (sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen
sputum)
2. Pemeriksaan darah dengan hasil HIV reaktif dan pemeriksaan CD4 yang nilainya
kurang dari normal

36
Infeksi dini (CD4 Infeksi lanjut
Jenis Pemeriksaan
>200/mm3 (CD4<200/mm3)

Sputum mikroskopis Sering positif Sering negatif

TB ekstra pulmonal Jarang Umum atau banyak

Mikobakteriemia Tdak ada Ada

Tubekulin Positif Negatif

aktivasi TB, kaviti di Tipikal pimer TB milier


Foto thoraks
puncak atau intestisial

Adenopati hilus atau


Tidak ada Ada
mediastinum

Efusi pleura Tidak ada Ada

Pemeriksaan Penunjang Radiologi:


Gambaran radiologi pada penderita TB HIV dapat menentukan derajat
immunocompromise. Pada immunocompromise sedang, akan terlihat gambaran radiologi TB
paru pada umumnya, sedangkan pada immunocompromise berat maka akan terlihat gambaran
yang atipikal.

Jadi, TB paru merupakan jenis infeksi yang paling sering dijumpai dan muncul pada infeksi
HIV awal dengan jumlah median CD4 > 300 sel/mikroL, sedangkan TB ekstraparu atau

37
diseminata dijumpai pada ODHA dengan jumlah CD4 yang lebih rendah. Gejala TB paru yang
paling sering adalah batuk kronik lebih dari 3 minggu, demam, penurunan berat badan,
penurunan nafsu makan, rasa letih, berkeringat pada waktu malam, nyeri dada, dan batuk
darah. Sedangkan pada TB ekstra paru yang tersering adalah limfadenopati asimetris,
perikarditis, efusi pleura dan osteomielitis.Sayangnya, gambaran klinis TB pada ODHA
seringkali tidak khas dan sangat bervariasi sehingga menegakkan diagnosis menjadi lebih
sulit.Diagnosis definitif TB pada ODHA adalah dengan ditemukannya M.tuberculosis pada
kultur jaringan atau specimen sedangkan diagnosis presumtifnya berdasarkan ditemukannya
BTA pada specimen dengan gejala sesuai TB atau perbaikan gejala setelah terapi kombinasi
OAT.

4.5 Penatalaksanaan TB dengan HIV


Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti
pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang
tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan
pengobatan TB. Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV
sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsip-
prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan Keamanan Universal). Pasien TB yang berisiko
tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and
Testing = Konsul sukarela dengan test HIV).12
PasienHIV-AIDS dengan TB ekstrapulmo, maka harus perhatikan dahulu, apakah pasien
sudah diberikan terapi ARV (Antiretroviral Virus) atau belum, dan apakah pasien sudah
mengkonsumsi OAT (Obat Anti TB) atau belum. Masalah koinfeksi Tuberkulosis dengan HIV
merupakan masalah yang sering dihadapi di Indonesia. Pada prinsipnya, pemberian OAT pada
ODHA tidak berbeda dengan pasien HIV negatif. Interaksi antar OAT dan ARV terutama
dengan hepatotoksiknya. Pada ODHA yang belum mendapat terapi ARV, waktu pemberian
OAT harus disesuaikan dengan kondisinya.

38
Tabel Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV
CD4 Paduan yang dianjurkan Keterangan
CD4 <200/ Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV Saat mulai ART pada 2 – 8
mm3 segera setelah terapi TB dapat minggu setelah OAT
ditoleransi (antara 2 minggu hingga 2
bulan)
Paduan yang mengandung EFV (AZT
atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau
800 mg/hari).
Setelah OAT selesai maka bila perlu
EFV dapat diganti dengan NVP.
Bila NVP terpaksa harus digunakan
disamping OAT, maka dapat
dilakukan dengan melakukan
pemantauan fungsi hati
(SGOT/SGPT) secara ketat
CD4 200-350/ Setelah 8 minggu terapi
Mulai terapi TB
mm3 TB
Tunda terapi ARV , evaluai
CD4 >350/ kembali pada saat minggu
Mulai terapi TB
mm3 ke 8 terapi TB dan setelah
terapi TB lengkap
CD4 tidak Pertimbangkan terapi ARV
mungkin Mulai terapi TB mulai 2 – 8 minggu setelah
diperiksa terapi TB dimulai

Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS.


Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah yang
cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat. Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS
sangat berbahaya karena akan menyebabkan efek toksik berat pada kulit. Injeksi streptomisin
hanya boleh diberikan jika tesedia alat suntik sekali pakai yang steril. Desentisasi obat (INH,
rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati. Pada

39
pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan, selain
dipikiran terdapatnya resistensi terhadap obat juga harus dipikirkan terdapatnya malabsorpsi
obat. Pada pasien HIV/AIDS tedapat korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat
penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang diterima suboptimal sehingga konsentrasi obat
rendah dalam serum. Saat pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan
jumlah limfosit CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada. Setiap pasienn TB-HIV harus
diberikan profilaksis Cotrimoksazol dengan dosis 960 mg/hari (dosis tunggal) selama
pemberian OAT.13

4.5.1 Indikasi Pemberian ARV pada pasien dengan Tuberculosis Paru yang telah
mendapatkan OAT:
1. Kadar CD4
2. Keberhasilan pengobatan dan paduan OAT yang sedang dilakukan
3. Kepatuhan pengobatan dan efek samping
4. Jika belum diobati dengan ARV pada saat didiagnosis TB, maka keputusan
penggunaan ARV didasarkan atas faktor-faktor berikut ini:
Tabel Pemberian OAT dan ARV Menurut kadar CD4
Waktu Pemberian Regimen OAT dan ARV
Kondisi Rekomendasi

TB paru, CD4 < 50 sel/mm3, atau TB Mulai terapi OAT. Segera mulai terapi ARV
ekstrapulmonal jika toleransi terhadap OAT telah tercapai.

TB paru, CD4 50-200 sel/mm3 atau hitung Mulai terapi OAT. Terapi ARV dimulai
limfosit total < 1200 sel/mm3 setelah 2 bulan

Mulai terapi TB. Jika memungkinkan monitor


TB paru, CD4 > 200 sel/mm3 atau hitung
hitung CD4. Mulai ARV sesuai indikasi
limfosit total > 1200 sel/mm3
setelah terapi TB selesai

40
Tabel Pemberian OAT dan ARV Menurut gambaran klinis

Gambaran klinis ARV

Adanya TB paru dan tanda HIV Mulai ARV begitu pengobatan TB tidak
advanced, atau tidak ada perbaikan disertai efek samping (2-8 minggu
secara klinis; adanya TB ekstra paru OAT)

TB paru BTA negative, berat badan


Mulai ARV setelah OAT fase intensif
bertambah dengan pengobatan, tanpa
selesai
tanda atau gejala HIV advanced

TB paru BTA positif, berat badan


Tunda ARV sampai pengobatan TB
bertambah dengan pengobatan, tanpa
selesai
tanda atau gejala HIV advanced

Tabel Efek Samping OAT dan ARV


Kemungkinan Penyebab
Efek samping
OAT ARV

Pirazinamide, Rifampisin, Nevirapine, Delavirdine,


Skin rash
Rifabutin, INH Efavirenz, Abacavir

Pirazinamide, Rifampisin, Zidovudine, Ritonavir,


Mual, muntah
Rifabutin, INH Amprenavir, Indinavir

Nevirapine, PI, perbaikan


Pirazinamide, Rifampisin, respon setelah pemberian
Hepatitis
Rifabutin, INH ARV pada penderita dengan
hepatitis virus kronik

Leukopenia, anemia Rifabutin, Rifampin Zidovudine

41
Interaksi obat TB dengan ARV (antiretovirus):
Interaksi antara OAT dan ARV, terutama efek hepatotoksisitasnya, harus sangat
diperhatikan. Pemakaian obat HIV/ AIDS misalanya zidovudin akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya efek toksik OAT. Tidak ada interaksi bemakna antara OAT dengan
AV golongan nukleosida, kecuali didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1jam dengan
OAT karena bersifat sebagai buffer antasida. Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan
AT golongan non-nukleosida dan inhbitor protease. Rifampisin jangan diberikan bersamaan
dengan nelfinavir karena rifampisin dapat menurunkan kadar nevirapin 82%. Rifampisin dapat
menurunkan kadar nevirapin ampai 37% tetapi sampai saat ini belum ada peningkatan dosis
nevirapin yang direkomendasikan.14

4.5.2 Interaksi antara obat golongan Rifampisin dengan Obat ARV


Saat ini regimen ARV biasanya terdiri dari 3 atau lebih obat dengan tiga kelas yang
berbeda yaitu, nucleoside analogue non nucleoside transcriptase inhibitors (NNRTI), dan
protease inhibitor (PIs). Interaksi antara obat ARV dan Rifampisin terjadi melalui sistem
sitokrom P-450 – 3A yang terdapat pada dinding usus dan hati. Rifampisin merupakan inducer
CYP3A, sehingga dapat menurunkan kadar obat-obatan yang dimetabolisme oleh sistem
enzim tersebut. Kekuatan induksi CYP3A obat-obatan Rifampisin itu berbeda-beda.
Rifampisin merupakan inducer paling kuat, kemudian ada Rifampetine dengan kekuatan
menengah serta Rifabutin yang paling lemah. Protease Inhibitor dan NNRTI dimetabolisme
oleh CYP3A sehingga kadar kedua golongan obat tersebut dalam darah akan dipengaruhi oleh
Rifampisin. Delavirdine dan PI merupakan inhibitor CYP3A sehingga dapat meningkatkan
kadar obat-obat yang dimetabolisme oleh sistem enzim ini. Rifabutine merupakan substrat dari
CYP3A sehingga hambatan pada CYP3A akan meningkatkan kadar Rifabutin hingga
mencapai kadar yang toksik. Sedangkan untuk Rifampin dan Rifapentin walaupun keduanya
adalah inducer CYP3A, tetapi bukan merupakan substrat enzim tersebut, sehingga hambatan
pada CYP3A tidak akan mempengaruhi kadar kedua obat tersebut.

42
4.5.3 Dampak klinis interaksi antara Rifampycin dengan obat antiretrovirus
Beberapa interaksi obat dari kedua golongan obat tersebut dapat menimbulkan efek
yang dramatis sehingga tidak boleh digunakan secara bersama-sama. Rifampin dapat
menyebabkan penurunan kadar obat PIs (kecuali Ritoravir) hingga 75-95%, sehingga
menyebabkan penurunan aktifitas antivirus yang nyata dan akibatnya dapat mempercepat
timbulnya resistensi terhadap PIs tersebut. Selain itu kadar Delavirdine akan menurun hingga
> 90% bila diberikan bersama-sama Rifampin atau Rifabutin sehingga obat antiretrovirus
tersebut tidak boleh digunakan bersama-sama dengan semua golongan Rifamycin. Sebaliknya
Rifabutin bila diberikan dengan dosis standard (300 mg/hari) bersama-sama dengan PIs dapat
menyebabkan peningkatan kadarnya hingga 2-4 kali lipat sehingga menyebabkan efek
samping. Untuk menghindari hal tersebut maka diperlukan modifikasi dosis Rifabutin.

4.5.4 Tatalaksana penanganan interaksi antara obat golongan Rifampycin dan obat
antiretrovirus
Jika penderita HIV/AIDS dengan infeksi TB memerlukan obat antiretrovirus maka
untuk pengobatan tuberkulosisnya sebaiknya digunakan Rifabutin. Rifabutin dapat diberikan
bersama dengan obat golongan NNRTIs (kecuali Delavirdine). Rifabutin mempunyai
efektifitas yang sama dengan Rifampin untuk pengobatan tuberkulosis dengan atau tanpa HIV.
Untuk menghindari toksisitas maka dosis harian Rifabutin harus dikurangi menjadi 150
mg/hari bila diberikan bersamaan dengan PI (kecualiSaquinavir).
Pengobatan dengan cara DOTS sangat dianjurkan dengan pemberian Rifabutin secara
intermiten. Pada pemberian Rifabutin secara intermiten yang perlu diperhatikan adalah harus
dihindarkan pemberian dosis yang tidak adekuat. Karena itu pedoman terapi yang saat ini
dianjurkan adalah Rifabutin 450 – 600 mg bila diberikan bersama Efavirenz, dan bila
diberikan 2 – 3 kali seminggu bersama dengan PI (kecuali Ritonavir) digunakan dosis 300
mg/hari. Bila diberikan bersama dengan Ritonavir maka dosisnya dikurangi menjadi 150 mg 2
kali seminggu (tanpa Ritonavir dosis ini sebanding dengan Rifabutin 300 mg perhari).
Bila Rifabutin digunakan bersama dengan 2 obat dari golongan PI atau diberikan
bersama dengan PI dan NNRTI akan terjadi interaksi obat yang lebih kompleks sehingga

43
menimbulkan dampak yang masih harus diteliti lebih lanjut. Untuk sementara ini dosis
Rifabutin yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel.
4.5.6 Kebijakan Nasional Kolaborasi TB-HIV
Peningkatan jumlah penderita HIV di indonesi membuat pemerintah membuat
“Kebijakan Nasional Kolaborai TB HIV”. Program ini memiliki tujuan umum yaitu
memberikan arah dalam pelaksanaan kolaborasi TB-HIV untuk mengurangi beban TB dan
HIV pada masyarakat akibat kedua penyakit ini.14Tujuan khusus dari pelaksanaan kolaborasi
TB-HIV:
a) Membentuk mekanisme kolaborasi antara program TB dan HIV/AIDS
b) Menurunkan beban TB pada ODHA
c) Menurunkan beban HIV pada pasien TB
Pelaksanaan dari program ini terbagi menjadi 3 bagian besar yaitu, membentuk mekanisme
kolaborasi, menurunkan beban TB pada ODHA, dan menurunkan beban HIV pada pasien TB.
A. Membentuk mekanisme kolaborasi
1. Membentuk kelompok kerja (POKJA) TB HIV di semua lini.Kelompok kerja TB-
HIVdibentuk pada tingkat nasional dan pada tingkat provinsi. Di daerah prioritas,
kelompok kerja dibentuk di tingkat kabupaten/kota dan tingkat UPK (rumah sakit,
puskesmas dan klinik dalam bentuk tim TB-HIV). Koordinator kolaborasi TB-
HIVditunjuk pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota, yang bertugas purna
waktu, harus berasal dari program TB atau program AIDS.
2. Pelaksanaan survailans untuk mengetahui prevalensi HIV diantara pasien TB.
Penetapan UPK DOTS sebagai tempat pelaksanaan surveilans sentinel harus sesuai
pedoman yang berlaku (yaitu pada tempat dan dengan metode yang sama). Semua
surveilans dilaksanakan dengan informed consent dari pasien, tes HIV dengan metode
unlinked anonymous dan tetap menghormati prinsip-prinsip etika.
3. Melaksanakan perencanaan bersama TB HIV.Program TB dan HIV/AIDS
memerlukan perencanaan strategis secara bersama untuk melakukan kerjasama secara
sistematis dan berhasil. Mereka harus melengkapi dengan rencana TB-HIV bersama,
atau memperkenalkan komponen TB-HIV pada rencana pengendalian nasional TB dan
rencana pengendalian nasional HIV/AIDS. Peran dan tanggung jawab masing-masing

44
program dalam pelaksanaan kegiatan TB-HIV yang spesifik pada tingkat pusat maupun
tingkat daerah harus dinyatakan dengan jelas. Perencanaan bersama TB HIV
dilaksanakan dalam bidang-bidang sebagi berikut :
a. Mobilisasi sumber daya untuk TB-HIV
b. Membangun kapasitas TB HIV termasuk pelatihan
c. Kombinasi TB HIV: advokasi, komunikasi program dan mobilisasi sosial
d. Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan kolaborasi TB HIV
e. Penelitian operasional untuk meningkatkan kegiatan kolaborasi TB HIV.
4. Monitoring dan evaluasi kegiatan kolaborasi TB HIV
B. Menurunkan beban TB pada ODHA
1. Mengintensifkan penemuan kasus TB
2. Menjamin pengendalian infeksi TB pada layanan kesehatan dan tempat orang
terkumpul (Rutan/Lapas, panti rehabilitasi NAPZA)
C. Menurunkan beban HIV pada pasien TB
1. Menyediakan pelayanan konseling dan tes HIV sukarela (KTS) untuk pasien TB
2. Pencegahan HIV dan infeksi menular seksual.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Global Tuberculosis control 2012: epidemiology, strat gy,
financing. WHO/HTM/TB/2012.6. Geneva, Switzerland: WHO; 2012.
2. Isbaniyah F. dkk. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta: PDPI; 2011. Available at: www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html. Accessed oh: 18
October 2013.
3. Amin Z. Bahar A. Tuberkulosis Paru. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK,

Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen

Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006.p. 2230-9


4. Djojodibroto D. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC; 2009.p. 25-9
5. Misnadiarly. Pemeriksaan Laboratorium Tuberkulosis dan Mikobakterium Atipik.
Jakarta: Dian Rakyat; 2006.p. 1-50
6. HasanH. Tuberkulosis Paru, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Airlangga University Press; 2010
7. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006.p. 2861-2870

8. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related disorders. In:
Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL, Jameson JL. editors. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill.p. 115-8
9. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z, editors. Infeksi
oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2005.p. 23-59
10. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 .Available at url:
http://www.aidsindonesia.or.id. Accessed on: 23 October 2013
11. KEMENTERIAN KESEHATAN RI (2011). Rencana Aksi Nasional TB-
HIV. Pengendalian Tuberkulosis 2011–2014. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2011.p. 1-45
12. Lan, V.M. Virus Imunodefisiensi Manusia (HIV) dan Sindrom Imunodefisiensi Didapat
(AIDS). Dalam: Hartanto,H. (eds). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Proses Penyakit.
Vol I. Ed.6. Jakarta:EGC; 2006. p. 224-245.
13. WHO. TB/ HIV: A Clinical Manual; 2004. Available at:
whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546344.pdf. Accessed on: 23 October 2013.

46
14. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006.p. 2861-2870

47

Anda mungkin juga menyukai