Anda di halaman 1dari 20

PEDOMAN PENATALAKSANAAN INFARK MIOKARD DENGAN ST-ELEVASI

TAHUN 2013
(Yayasan Perguruan Tinggi Jantung Amerika / Asosiasi Jantung Amerika)

1. Pendahuluan
1.1. Ulasan Metodologi dan Bukti
Rekomendasi yang tertera di dokumen ini, jika memungkinkan, berbasis bukti.
Dokumen ini berisi revisi lengkap dan termasuk didalamnya terdapat ulasan bukti
yang luas, yang mana dilakukan selama bulan November 2010, dengan referensi
pilihan tambahan yang ditambahkan selama bulan Agustus 2012. Pencarian dibatasi
dari penelitian yang dilakukan pada subyek manusia dan ulasan dan bukti lain yang
berkaitan dengan subjek manusia; semua terpublikasi dalam Bahasa Inggris. Kata
kunci pencarian diantaranya: sindrom koroner akut, intervensi koroner perkutan,
cangkok bypass arteri koronaria, infark miokardial, infark miokard dengan ST-
Elevasi, stent koroner, revaskularisasi, terapi antikoagulan, terapi antiplatelet, terapi
antitrombotik, terapi inhibitor glikoprotein IIb/IIIa, farmakoterapi, inhibitor pompa-
proton, terapi implan defibrilator-cardioverter, syok kardiogenik, terapi fibrinolitik,
terapi thrombolitik, nitrat, komplikasi mekanik, aritmia, angina, angina-stabil kronik,
diabetes, penyakit ginjal kronis, mortalitas, morbiditas, usia lanjut, etik, dan nefropati
kontras. Pencarian tambahan mengenai topik tersebut dan subtopiknya diantaranya:
intervensi koroner perkutan, cangkok bypass arteri koronaria, rehabilitasi jantung,
dan pencegahan sekunder. Sebagai tambahan, komite mengulas dokumen yang
berhubungan dengan subyek yang sebelumnya dipublikasikan ACCF dan AHA.
Referensi yang dipilih dan dipublikasikan di dokumen ini merupakan representatif
dan tidak semua inklusif.
Untuk menyediakan dokter pambaca dengan data yang komperhensif,
kapanpun dianggap layak atau saat dipublikasikan, perbedaan risiko absolut dan
jumlah yang perlu diterapi atau bahaya tersedia di dalam pedoman, bersamaan
dengan interval kepercayaan dan data yang berhubungan dengan efek terapi relatif
seperti rasio odds, risiko relatif, rasio hazard, atau rasio angka insiden.
Fokus dari pedoman ini adalah manajemen pasien dengan infark miokard
dengan ST-Elevasi (STEMI). Pembaruan pedoman STEMI tahun 2004
dipublikasikan pada tahun 2007 dan 2009. Penitik beratan terutama ditempatkan pada
kemajuan pada terapi reperfusi, organisasi sistem perawatan regional, algoritma
transfer, antitrombotik berbasis bukti dan terapi medis, strategi pencegahan sekunder
untuk mengoptimalkan perawatan yang berpusat pada pasien. Berdasarkan desain,
dokumen ini lebih sempit ruang lingkupnya dibanding dengan Pedoman STEMI
tahun 2004, dalam usaha untuk menyediakan sarana yang lebih fokus untuk para
dokter. Referensi yang berhubungan dengan pedoman manajemen disediakan
kapanpun dianggap sesuai, termasuk yang berkaitan dengan intervensi koroner
perkutan (PCI), cangkok bypass arteri koronaria (CABG), gagal jantung (HF), dan
pencegahan sekunder.
1.2. Organisasi Komite Penulis
Komite penulis terdiri dari para ahli yang merepresentasikan ilmu
kardiovaskuler, kardiologi intervensional, elektrofisiologi, HF, bedah jantung,
kedokteran kegawatdaruratan, penyakit dalam, rehabilitasi jantung, keperawatan, dan
farmasi. Persatuan Dokter Amerika, Persatuan Dokter Gawat Darurat Amerika,
Persatuan Angiografi dan Intervensi Jantung tergabung dalam tim representatif.
1.3. Ulasan Berkas dan Persetujuan
Dokumen ini sudah diulas oleh 2 peninjau yang masing-masing dinominasikan
oleh ACCF dan AHA, dan juga 2 peninjau dari Persatuan Dokter Gawat Darurat
Amerika, Persatuan Angiografi dan Intervensi Jantung dan 22 individu peninjau
konten (termasuk anggota dari ACCF Konsil Ilmiah Internasional dan ACCF Konsil
Ilmiah Bedah). Semua informasi peninjau didistribusikan kepada komite penulis dan
dipublikasikan di dokumen ini.
Dokumen ini telah disetujui untuk dupublikasikan oleh ACCF dan AHA dan
didukung oleh Persatuan Dokter Gawat Darurat Amerika, Persatuan Angiografi dan
Intervensi Jantung.
2. Latar Belakang
2.1. Definisi dan Diagnosis
STEMI merupakan sindrom klinis yang didefiniskan sebagai tanda
karakteristik iskemik miokard yang berhubungan dengan persisten ST-Elevasi pada
elektrokardiografi (EKG) dan kemudian terjadi pelepasan biomarker dari nekrosis
miokardial. Diagnosis ST-Elevasi tanpa adanya hipertrofi ventrikel kiri atau blok
cabang-berkas kiri (LBBB) merupakan definisi dari Persatuan Dokter Jantung
Eropa / ACCF / AHA / Persatuan Dokter Jantung Dunia untuk definisi universal dari
infark miokard terbaru dengan ST-Elevasi pada titik J setidaknya 2 lead yang
berdampingan dari 2 mm (0,2 mV) pada pria atau 1,5 mm (0,15 mV) pada wanita
pada lead V2-V3 dan/atau dari 1 mm (0,1 mV) pada lead yang berdampingan pada
dada atau lead pada anggota tubuh. Kebanyakan pasien akan berkembang bukti
EKG-nya dengan adanya infark gelombang Q. Munculnya LBBB yang baru,
dianggap setara dengan STEMI. Kebanyakan kasus LBBB pada saat kemunculannya,
bagaimanapun juga, merupakan kasus yang tidak diketahui sudah berapa lama
karena EKG sebelumnya tidak bisa untuk perbandingan. Munculnya LBBB yang
baru jarang terjadi, mungkin menganggu analisis ST-Elevasi, dan tidak seharusnya
dianggap sebagai diagnosis dari infark miokar akut. Kriteria diagnosis EKG dari
STEMI akut pada keadaan LBBB sudah diusulkan. Dasar abnormalitas EKG selain
LBBB (contohnya: ritme cepat, hipertrofi ventrikel kiri, sindrom Brugada) mungkin
mengaburkan interpretasi. Sebagai tambahan, ST-Depresi di 2 lead prekordial (V1-
V4) mungkin mengindikasikan adanya cedera transmural posterior; ST-Depresi di
beberapa lead bersama dengan ST-Elevasi pada lead aVR sudah tergambar pada
pasien dengan oklusi arteri kiri atau arteri proksimal anterior kiri. Jarang sekali,
perubahan hiperakut gelombang T tampak pada fase awal dari STEMI, sebelum
perkembangan ST-Elevasi. Ekokardiografi transthoraks mungkin menyediakan bujti
dari abnormalitas pergerakan dinding focal dan memfasilitasi triase pada pasien
dengan temuan EKG yang sulit untuk diinterpretasikan. Jika keraguan menetap,
perujukan segera untuk angiografi invasif mungkin diperlukan untuk memandu terapi
pada konteks klinis yang sesuai. Cardiac Troponin merupakan biomarker yang
muncul untuk diagnosis infark miokard.
2.2. Epidimiologi
Pada tahun 2009 kurang lebih 683.000 pasien pulang dari Rumah Sakit dengan
diagnosis sindrom koronaria akut (ACS). Angka insidensi komunitas untuk STEMI
menurun beberapa dekade terakhir, sedangkan untuk ACS tanpa ST-Elevasi
meningkat. Sekarang STEMI terdiri dari 25%-40% Infark Miokard. Di RS (5-6%)
dan angka mortalitas 1 tahun (7-18%) dari STEMI menurun signifikan yang
berhubungan dengan peningkatan substansial pada frekuensi perawatan yang
termasuk GDMT dan intervensi. Di amerka, perbedaan regional yang penting
menetap pada 30 hari infark miokard akut pada mortalitas di RS dan angka mondok
kembali pada umur 65 tahun. Pemahaman dari alasan perbedaan tsb memberikan
kesempata untuk perbaikan performa.
Kurang lebih 30% pasien dengan STEMI adalah wanita. Wanita merupakan
perdiktor terikat kuat dari kegagalan untuk menerima terapi reperfusi diantara pasien
tanpa kontraindikasi pada CRUSADE (dapatkan stratifikasi risiko cepat dari pasien
dengan angina unstable menekan hasil lain dengan implementasi awal dari pedoman
ACC/AHA). Dibandingkan dengan pria, wanita termasuk ke dalam NCDR ACTION
registrasi GWTG dengan onset gejala yang muncul lambat, memiliki jangka lama
pemakaian fibrinolisis, waktu D2B, dan jarang menerima aspirin atau penghambat
beta selama 24 jam gejala. Lebih jauh lagi, wanita memiliki risiko lebih tinggi terjadi
perdarahan dengan terapi antitrombotik, yang mana tetap menetap setelah
pertimbangan umur, berat badan, tekanan darah, fungsi ginjal, hematokrit, dan
perancu potensial yang lainnya.
Ras bukan kulit putih merupakan 13,3% pasien dengan STEMI di RS pada
perempatan 1 dan 2 tahun 2009. Lebih pentingnya lagi, kesenjangan terapi
berdasarkan minoritas ras dan etnik muncul meningkat berdasarkan waktu. Penilaian
efek program terapi untuk STEMI, institusi untuk menjangkau triase dan manajemen
berhubungan dengan peningkatan signifikan pada waktu terapi yang mirip untuk ras
kulit putih dan ras kulit hitam dan pada pria atau wanita. Komite penulis mendukung
pengumpulan data yang akurat pada ras pasien dan etnik untuk mendeteksi
kesenajngan, inisiasi panduan peningkatan kualitas, dan penguatan komunitas.
Kurang lebih 23% pasien dengan STEMi di amerika memiliki DM, dan
tigaperempat kematian diantara pasien dengan DM berhubungan dengan penyakit
arteri koronaria. DM berhubungan dengan peningkatan mortalitas jangka panjang
dan jangka pendek setelah STEMI, dan pada pasien dengan DM, baik hiperglikemia
dan hipoglikemia berhubungan dengan hasil yang lebih buruk. Hiperglikemia pada
pasien yang tidak memiliki riwayat DM berhubungan dengan hasil yang lebih buruk.
Perfusi jaringan miokard setelah restorasi koronaria epikardial lebih terganggu pada
pasien dengan DM. Manajemen pasien dengan DM dan STEMI harus sama dengan
pasien tanpa DM, dengan perhatian kontrol glikemik.
Usia lanjut terdiri dari segmen yang berkembang dari populasi dan tantangan
khusus untuk diagnosis dan manajemen yang mungkin menuju kesenjangan
perawatan dan keterlambatan terapi. Isu lain yang perlu dipertimbangkan termasuk
risiko antitrombotik dan trapi intervensi dan batas kesesuaian perawatan dalam
konteks komorbiditas individu, kelemahan, dan tujuan percepatan perawatan.
Percobaan klinis biasanya membatasi populasi usia lanjut. Terapi yang efektif pada
populasi yang lebih muda biasanya berindikasi untuk usia lanjut, dengan keberatan
bahwa usia lanjut lebih sering memiliki kontraindikasi absolut ataupun relatif pada
penggunaannya. Fungsi ginjal yang terganggu berhubungan dengan penuaan yang
membutuhkan perhatian khusus pada dosis obat.
Pada analisis 8.578 pasien dengan STEMI dari 226 RS, 7% pasien tidak
mendapatkan terapi reperfusi. Faktor yang paling berpengaruh dengan peniadaan
terapi reperfusi pada pasien adalah peningkatan umur. Bukti menunjukan bahwa
meskipun usia lanjut memiliki hasil post infark miokard yang baik setelah diterapi
secara agresif dengan terapi reperfusi, meskipun keadaan tiap individu berbeda.
Beberapa penelitian menyorot fakta bahwa pasien dengan penyakit ginjal
kronis semua tahap jarang menerima panduan rekomendasi intervensi daripada
pasien dengan fungsi ginjal normal, meski bukti keuntungan dari terapi yang paling
akut. Pasien yang menjalani dialisis mengalami keterlambatan MRS, jarang dikenali
memiliki infark miokard akut, dan jarang memiliki ST-Elevasi atau LBBB pada EKG
awal daripada pasien yang tidak menjalani dialisis. Hanya 45% pasien dialisis
menerima terapi reperfusi, dan hanya 70% menerima aspirin saat MRS. Angka
mortalitas 21,3% pada pasien dialisis, dibandingkan 11,3% pasien dengan gagal
ginjal stage akhir yang tidak menjalani dialaisis. Saat pemulangan, hanya 67% pasien
dialisis diresepkan aspirin, dan hanya 57% diresepkan beta blockers. Angka
mortalitas 30% diantara pasien dengan STEMI atau LBBB Infark Miokard pada
stage 4 atau 5 penyakit ginjal kronis. Bak fibrinolisis dan PCI awal berhubungan
dengan angka perdarahan yang tinggi dengan penurunan fungsi ginjal yang parah.
Disfungsi renal yang progresif merupakan perdiktor kuat terjadinya perdarahan
dengan terapi antitrombotik, risiko yang merefleksikan disfungsi renal intrinsik atau
kegagalan untuk mengatur atau mencegah medikasi amtitrombotik yang bergantung
pada eliminasi renal.
2.3. Penilaian Risiko Awal
Penilaian risiko global memberikan kesempatan untuk menintegrasikan
karakter pasien yang beragam kedalam skor semikuantitatif yang dapat membawa
estimasi keseluruhan dari prognosis pasien; dapat mendikte ketajaman, intensitas,
dan lokasi perawatan; dan dapat memberikan pasien dan keluarganya informasi yang
lebih mengenai potensi hasil. Skor risiko yang lebih tinggi umumnya berarti bahwa
terapi intensitas yang lebih tinggi mungkin sesuai dengan konteks dari status
kesehatan pasien.
Beberapa prediktor yang tidak terikat dari kematian awal karena STEMI
diantaranya umur, kelas Killip, waktu reperfusi, gagal jantung, takikardiam hipotensi,
lokasi infark di anterior, infark sebelumnya, DM, merokok, fungsi ginjal, dan temuan
biomarker. Sedangkan skor risiko trombolisis pada infark miokard (TIMI)
berkembang terutama pada pasien dengan STEMI, model GRACE memprediksi
pasien MRS dan angka mortalitas setelah 6 bulan dari berbagai spektrum pasien
dengan ACS, termasuk mereka yang dengan ST-Elevasi atau ST-Depresi. Manajemen
risiko merupakan suatu proses berkelanjutan yang harus diulang selama perawatan di
rumah sakit dan saat pulang dari rumah sakit.
3. Onset Infark Miokard
3.1. Keterlambatan Pasien dan Terapi Awal
Pasien dengan STEMI tidak mencari perawatan medis selama kurang lebih
1,5-2 jam setelah muncul gejala. Keterlambatan pasien biasanya lebih lama pada
wanita, ras kulit hitam, usia lanjut. Pasien menunda mencari pertolongan medis
karena gejala mereka berbeda dari gejala mereka terdahulu yang berprasangka bahwa
serangan jantung harus muncul secara dramatik dengan nyeri dada yang parah.
Sepertiga pasien dengan STEMI mengalami gejala selain nyeri dada. Alasan lain
menunda mencari pertolongan diantaranya: 1) penalaran yang tidak tepat bahwa
gejala akan sembuh sendiri atau tidak serius; 2) atribusi dari gejala kepada konsisi
sebelumnya; 3) takut kalau gejalanya merupakan alarm yang salah; 4) enggan untuk
merepoti orang lain kalau tidak merasa sangat sakit; 5) prasangka yang menduga
siapa yang berisiko serangan jantung, biasanya sifat diantara wanita; 6) kurangnya
pengetahuan mengenai pentingnya aksi cepat, keuntungan menghubungi EMS atau
911 dan ketersediaan terapi reperfusi; dan 7) berusaha mengobati diri sendiri dengan
obat beresep ataupun tanpa resep. Untuk menghindari penundaan, tenaga kesehatan
harus mendampingi pasien saat memungkinkan saat membuat rencana antisipasi
untuk waktu yang dikenali dan respon terhadap kejadian akut. Anggota keluarga,
teman dekat, atau kenalan juga harus diikutkan dalam bantuan untuk aksi cepat saat
pasien mengalami gejala memungkinkan STEMI. Diskusi harus diikutkan saat ulasan
instruksi penggunaan aspirin dan nitrogliserin saat respon nyeri dada. Petugas gawat
darurat sudah dilatih untuk menginstruksikan ke pasien dengan gejala STEMI untuk
mengunyah aspirin (162-325 mg), kecuali dikontraindikasikan, saat petugas lain
menjemput. Jika nitrogliserin diresepkan, pasien dianjurkan untuk mengonsumsi 1
dosis nitrogliserin pada waktunya. Jika gejala memburuk setelah 5 menit setelah
dosis pertama, pasien diinstruksikan untuk menghubungi 911 secepatnya.
3.2. Cara Transportasi menuju Rumah Sakit
Pasien dengan kemungkinan gejala iskemik harus diantar ke RS dengan
ambulan daripada diantar keluarga atau teman dikarenakan: 1) 1 tiap 300 pasien
dengan nyeri dada yang diantar ke RS dengan mobil pribadi menderita gagal jantung
saat perjalanan; dan 2) terdapat hubungan signifikan diantara kedatangan saat di RS
dengan ambulans dan pengantaran awal terapi reperfusi. Sebagai tambahan, performa
EKG oleh petugas sebelum MRS berhubungan dengan pemendekan reperfusi dan
rendahnya angka mortalitas STEMI. Penggunaan EKG sebelum MRS, berdampak
percepatan reperfusi dan hasil yang memuaskan.
3.3. Edukasi Pasien
AHA dan NIH mengkampanyekan Bertindak cepat untuk gejala serangan
jantung sehingga pasien dapat meningkatkan kesempatan hidup dari STEMI dengan
belajar gejala bahaya, mengisi rencana bertahan hidup, dan mendiskusikan
penurunan risiko dengan dokter mereka. Tenaga kesehatan harus mengarahkan
intervensi edukasi ke pasien saat peningkatan risiko sindrom koroner akut.
3.4. Persiapan Komunitas dan Tujuan Sistem Terapi Reperfusi
3.4.1. Rekomendasi Sistem Regional Perawatan STEMI, Terapi Reperfusi,
dan Tujuan Kapan Waktu Terapi\
Kelas I
1. Seluruh komunitas harus membuat dan menjaga sistem regional perawatan
STEMIyang menyangkut penilaian dan peningkatan kualitas berkelanjutan
dari EMS dan aktivitas berbasis RS. Kegiatan dapat dilakukan dengan
mengikuti program seperti misi: lifeline dak aliansi D2B. (LOE B)
2. Tindakan EKG 12 Lead oleh personel pada tempat kontak medis pertama kali
(FMC) dianjurkan pada pasien dengan gejala konsisten STEMI. (LOE B)
3. Terapi reperfusi diberikan pada semua pasien STEMI yang memenuhi syarat
dalam 12 jam awal munculnya gejala. (LOE A)
4. PCI primer merupakan metode yang dianjurkan untuk reperfusi saat dapat
dilakukan oleh operator yang berpengalaman. (LOE A)
5. Transportasi EMS langsung ke RS dengan PCI untuk mendapatkan PCI primer
merupakan strategi triase yang dianjurkan untuk pasien STEMI, dengan waktu
yang dibutuhkan dari FMC ke alat kurang dari sama dengan 90 menit. (LOE
B)
6. Transfer segara ke RS dengan ketersediaan PCI untuk pemberian PCI
merupakan strategi triase yang dianjurkan untuk pasien dengan STEMI yaqng
awalnya sampai atau dalam perjalanan ke RS tanpa PCI, dengan waktu
tempuh dari FMC ke alat yang harus dicapai kurang dari sama dengan 120
menit. (LOE B)
7. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus diberikan ke pasien
STEMI pada RS tanpa PCI jika waktu tempuh dari FMC ke alat melebihi 120
menit dikarenakan keterlambatan yang tak terhindarkan. (LOE B)
8. Saat terapi fibrinolitik terindikasi dan dipilih sebagai strategi reperfusi primer,
terapi garus diberikan dalam 30 menit saat kedatangan di RS. (LOE B)
Kelas IIa
1. Terapi reperfusi layak diberikan kepada pasien STEMI dan pasien dengan
munculnya gejala dalam 12-24 jam pertama yang mana terdapat gejala klinis
iskemia dan/atau bukti EKG iskemia. PCI primer merupakan strateg yang
dianjurkan pada populasi tsb. (LOE B)
3.4.1.1. Sistem Regional Perawatan STEMI dan Tujuan Terapi Reperfusi
Tiap sistem regional medis harus mencari pengenalan cepat dan reperfusi tepat
pada pasien STEMI. Keterlambatan sistem untuk reperfusi berhubungan dengan
tingginya angka mortalitas dan morbiditas. Meskipun perhatian pada kegiatan
pengukuran, seperti D2B, door-to-needle, dan waktu door-in-door-out, sudah
mengkatalisasi upaya perbaikan kualitas institusional, inisiasi lebih luas pada level
sistem dibutuhkan untuk menurunkan waktu total iskemik, hasil penentu utama.
Pertanyaan sudah dikemukakan mengenai ketergantungan PCI primer untuk reperfusi,
khususnya di Amerika, dan konsekuensi yang tidak diharapkan yang berubah menjadi
kebiasaan dengan fibrinolitik sudah menyusut. Komite penulis mengulang prinsit
yang disorort pada pedoman tahun 2004, yang bernama penggunaan yang tepat dan
sesuai dari beberapa bentuk terapi reperfusi adalah hal yang lebih penting daripada
pilihan terapi. Penitik beratan terbesar ditekankan pada pengiriman terapi reperfusi
ke tiap pasien secepat-cepatnya.
Hanya sebagian kecil RS di Amerika yang mampu menjalankan PCI primer,
dan tiap penundaan untuk reperfusi (D2B) setelah kedatangan di RS berhubungan
dengan peningkatan risiko mortalitas setelah MRS. Tujuan waktu yang tepat untuk
reperfusi mungkin tidak selalu relevan atau memungkinkan untuk pasien yang
memiliki alasan yang layak untuk menunda, termasuk ketidakpastian diagnosis awal,
kebutuhan evaluasi dan terapi kondisi mengancam nyawa yang lain (seperti gagal
nafas akut, gagal jantung), penundaan karena informed consent, dan lamamnya
transportasi dikarenakan jarak geografis atau keadaan cuaca. Untuk mnurunkan
penundaan terapi di RS, ACC menginisiasi aliansi D2B pada tahun 2006 untuk
meningkatkan waktu pintu-ke-alat pada pasien STEMI. Tujuan aliansi D2B untuk ikut
serta agar RS dengan PCI mencapai waktu D2B 90 menit atau setidaknya 75%
pasien STEMI yang tidak sempat ditransfer. Aliansi ini mencapai sasaran tahun 2008.
Penelitian longitudinal mendapatkan hasil bahwa pasien yang dirawat di RS yang
mengikuti aliansi D2B lebih dari 3 bulan memiliki waktu D2B kurang dari 90 menit
daripada pasien yang dirawat di RS tanpa aliansi D2B.
Pada hal yang sama, AHA meluncurkan misi: Lifeline pada thaun 2007
untuk meningkatkan kesiapan sistem kesehatan dan respon untuk STEMI, dengan
fokus ke perawatan berkelanjutan dari aktivasi EMS ke PCI primer. Pasien bisa
langsung menuju ke RS dengan PCI secara pribadi, pada kasus dimana semua
perawatan medis terdapat di satu pusat yang bertanggung jawab untuk
mengoptimalkan waktu pintu-ke-pintu. Untuk pasien yang menghubungi 911,
perawatan langsung dimulai dengan FMC, yang merupakan waktu saat penyedia EMS
sampai di sisi pasien. Personel EMS harus mampu menangani EKG sebelum MRS,
membuat diagnosis, aktivasi sistem, dan menentukan apakah akan membawa pasien
ke RS dengan PCI atau RS tanpa PCI. Pertimbangan harus diberikan untuk kemajuan
protokol lokal yang menizinkan ppreregistrasi dan transportasi langsung ke
laboratorium kateterisasi di RS dengan PCI (tanpa lewat UGD) untuk pasien yang
tidak membutuhkan stabilisasi kegawatdaruratan saat kedatangan. Meskipun positif
palsu merupakan suatu perhatian saat personel EMS dan/atau dokter UGD diizinkan
untuk mengaktivasi laboratorium kateterisasi jantung, angka aktivasi palsu sangat
rendah (15%) dan lebih dari seimbang dengan eatu terapi lebih awal untuk mayoritas
pasien yang notifikasinya sesuai. Konsep dari apa yang merupakan aktivasi palsu
mulai berkembang. Untuk pasien yang sampai atau dalam perjalanan menggunakan
EMS ke RS tanpa PCI, keputusan apakah akan transfer segera ke RS dengan PCI atau
diberikan terapi fibrinolitik harus diputuskan. Tiap skenario tsb melibatkan koordinasi
dari elemen yang berbeda dari sistem. Misi: Lifeline menganjurkan pendekatan luas
komunitas yang melibatkan edukasi pasien, peningkatan EMS dan UGD, pendirian
jaringan rujukan STEMI (RS non PCI) dan RS dengan PCI, dan upaya advokasi
terkoordinasi untuk bekerja dengan pembuat kebijakan untuk mengimplementasikan
desain sistem kesehatan.
Beberapa faktor harus dipertimbangkan dalam memilih terapi reperfusi. Untuk
pasien STEMI di RS PCI, PCI primer harus diselesaikan dalam 90 menit. Untuk
pasien di RS non PCI, penilaian cepat dari: 1) waktu munculnya gejala; 2) risiko
komplikasi terkait STEMI; 3) risiko perdrahan dengan fibrinolisis; 4) munculnya
shock atau gagal jantung; dan 5) waktu yang dibutuhkan untuk transfer ke RS PCI
harus diputuskan dan keputusan mengenai pemberian terapi fibrinolitik harus dicapai.
Meskipun waktu transfer antar RS cepat, mungkin ada keuntungan untuk memberikan
terapi fibrinolitik dibandingkan dengan penundaan PCI untuk pasien yang memenuhi
syarat yang ditemukan gejala pada awal 1-2 jam.
Beberapa penelitian menyarankan keuntungan mengirim pasien STEMI dari
RS non PCI ke RS PCI untuk mendapatkan PCI primer, tapi pada beberapa
kesempatan, waktu pengiriman diperlama dan penundaan tidak terhindarkan. Strategi
reperfusi yang melibatkan pengiriman pasien STEMI dari RS non PCI ke RS PCO
untuk mendapatkan PCI primer lebih baik daripada penggunaan fibrinolitik di RS
rujukan, didorong oleh penurunan angka re-infrak pada kelompok perawatan PCI.
Penundaan yang cepat berhubungan dengan penurunan mangka mortalitas baik pada
pasien fibrinolisis maupun PCI. Saat penundaan berhubungan dengan pengiriman
melebihi 120 menit dari FMC, keuntungan kelangsungan hidup pemeberian PCI
setelah pemberian fibrinolitik tidak ditemukan. Oleh karena itu, pengiriman antar RS
ke RS PCI merupakan strategi triase anjuran jika PCI dapat dilakukan dalam 120
menit dari FMC. Terapi fibrinolitik, jika tidak ada kontraindikasi penggunaan, harus
diberikan dalam 30 menit dari kedatangan saat capaian 120 menit tidak dapat
terlaksana. Penundaan pengiriman dapat terjadi karena berbagai penyebab. Upaya
diperlukan untuk menurunkan waktu penundaan diantara kedatangan dan pengiriman
dari RS non PCI.
Terminologi PCI yang terfasilitasi digunakan sebelumnya untuk
mendeskripsikan strategi dengan dosis penuh atau sebagian dari fibrinolisis, dengan
atau tanpa pemberian glikoprotein (GP) antagonis reseptor IIb/IIIa, dengan
pengiriman segera untuk direncanakan PCI dalam 90-120 menit. Terminologi
penyelamatan PCI merujuk pada pengiriman untuk PCI pada pasien yang ditemukan
gagal reperfusi dengan fibrinolisis. Terminologi strategi farmakoinvasif merujuk
kepada pemberian terapi fibrinolitik baik pada sebelum MRS atau pada RS non PCI,
yang diikuti dengan pengiriman segera ke RS PCI untuk angiografi koroner dan PCI
sesegera mungkin. Pasien STEMI yang cocok untuk pengiriman antar RS untuk PCI
primer tanpa fibrinolisis adala pasien dengan syok atau risiko tinggi lain, pasien risiko
perdarahan hebat dengan terapi fibrinolitik, dan pasien dengan gejala muncul lebih
dari 3-4 jam dan yang memiliki waktu tempuh pengiriman cepat. Pasien yang cocok
untuk terapi fibrinolitik adalah pasien dengan risiko perdarahan rendah yang muncul
gejala masih awal (kurang dari 2-3 jam) ke RS non PCI dan yang memiliki penundaan
lebih lama untuk PCI.
Karena pasien STEMI mungkin mengalami gagal jantung pada awalnya,
sistem regional juga harus menekankan akses awal ke perawatan (pengenalan masalah
dan peninjauan aktivasi EMS), pengiriman cepat, peninjauan CPR, indikasi
defibrilasi, ACLS, dan pendekatan menyeuruh ke perawatan postresusitasi. Sebagai
tambahan, anggota keluarga pasien yang menderita STEMI atau manifestasi lain CAD
harus dirujuk ke program pelatihan CPR yang memiliiki komponen pendukug sosial
dan dapat mengenalkan mereka dengan penggunaan AED.
3.4.1.2. Strategi untuk Menyingkat Waktu Pintu-Ke-Alat
Ceklist. Peningkatan Waktu Pintu-Ke-Alat
1. EKS sebelum MRS untuk mendiagnosis STEMI digunakan untuk mengaktivasi tim PCI
selama pasien dalam perjalanan ke RS.
2. Dokter UGD mengaktivasi tim PCI.
3. Panggilan tunggal ke operator utama mengaktifkan tim PCI.
4. Tujuan yang akan dicapai adalah tim PCI sampai ke laboratorium kateterisasi dalam 20
menit setelah dihubungi.
5. Masukan data waktu dan analisis disediakan untuk anggota tim perawatan STEMI

Waktu interval D2B meliputi 3 komponen kunci: waktu pintu-ke-EKG, waktu


EKG-ke-laboratorium, dan waktu sampai di laboatorium-ke-alat. Semua 3 interval
waktu bergantung pada faktor sistem yang berbda tiap institusi.
Laporan publik dan inisiasi nasional berfokus pada perhatian waktu D2B dan
banyak alasan untuk penundaan sistem. Berfokus pada proses perawatan pada institusi
top, penelitian mengungkap karakter institusi yang berhubungan dengan performa
yang baik. RS yang baik memiliki atribut kebudayaan spesifik yang meliputi: 1)
komitmen ke tujuan eksplisit untuk meningkatkan waktu D2B yang termotivasi oleh
tekanan luar dan dalam; 2) protokol yang inovatif; 3) fleksibilitas dalam pembaruan
protokol terstandarisasi; 4) individu pemimpin klinis yang keras kepala; 5) tim yang
kolaboratif; 6) data mpan balik ke progres monitor, mengidentifikasi masalah, dan
kesuksesan; 7) kultur organisasi yang memelihara kefleksibilitasan untuk menghadapi
tantangan untuk memperbaiki upaya. Sebagai tambahan, beberapa proses kunci
berhubungan dengan terapi yang tepat waktu (nerdasarkan ceklist). Penelitian lain
mengindikasikan RS PCI yang menerima pasien kiriman dapat menurunkan waktu
D2B dengan cara berkoordinasi dengan RS rujukan dan mengaktifkan sistemnya
sementara pasien dalam perjalanan.
3.5. Terapi Fibrinolitik Sebelum Masuk Rumah Sakit
Waktu penundaan dari munculnya gejala ke perawatan dapat disingkat dengen
pemberian terapi fibrinolitik sebelum MRS oleh unit EMS terlatih baik seorang
dokter di perjalanan ataupun dokter RS dalam kontak langsung, terutama di daerah
pinggiran.
Sekarang, bagaimanapun juga, terapi fibrinolitik sebelum MRS tidak
digunakan lagi di Amerika. EMS di daerah terpencil, dimana fibrinolisis sebelum
MRS mungkin berpotensi menguntungkan, sering tidak memiliki sumberdaya untuk
melatih paramedik dan juga tidak memiliki perlengkapan yang diperlukan. Komite
penulis mendukung keperluan penelitian lebih lanjut untuk mengimplementasikan
strategi terapi sebelum MRS untuk mengurangi waktu total iskemik.
3.6. Hubungan antara Kematian Mendadak akibat Penyakit Jantung dan Infak
Miokard dengan ST Elevasi
3.6.1. Rekomendasi Evaluasi dan Manajemen Pasien STEMI dan Gagal Jantung
Diluar RS
Kelas I
1. Hipotermia terapetik harus dimulai sesegera mungkin pada pasien STEMI dengan
koma dan gagal jantung diluar RS karena VF atau pulseless VT, termasuk pasien
yang sedang menjalani PCI primer. (LOE B)
2. Angiografi segera dan PCI daat diindikasikan harus dilakukan dalam resusitasi
pada pasien gagal jantung diluar RS jika EKG menunjukkan STEMI. (LOE B)

Hampir 70% CHD terjadi diluar RS, biasanya tampak sebagai kematian
mendadak dikarenakan gagal jantung. Resusitasi yang dilakukan oleh personel EMS
60% pada kasus ini. Meskipun hanya 23% kasus yang memiliki ritme shockble (awalnya
VF).
Kelangsungan hidup pada kasus ini bisa optimal sat CPR dan defibrilasi
terinisiasi awal. Kelangsungan hidup dari VF secara spesifik berbanding terbalik dengan
interval waktu antara onset dan terminasi. Presentase pasien yang ditemukan VF dan
kelangsungan hidup tinggi jika pasien disaksikan roboh, jika CPR dilakukan, dan jika
defibriltor dipasang cepat.
Strategi komunitas untuk memperbaiki pengiriman defibrilator awal pada korban
kasus ini meliputi elatihan dan penambahan alat responden terdepan (polisi dan
pemadam kebakaran), personel EMS, dan paramedis untuk melakukan defibrilasi, juga
penempatan AED lokasi populasi tinggi seperti airport, kasino.
Kebanyakan pasien kasus ini yang tidak bisa diresusitasi memiliki aterosklerosis
koroner. Aterosklerosis koroner juga tampak pada kebanyakan korban gagal jantung
yang bertahan hidup dan menjalani angiografi koroner. Dikarenakan tingginya prevalensi
oklusi arteri koroner akut pada pasien kasus ini, terutama pasien dengan ritme VF pada
awalnya dan menjadi STEMI, pedoman AHA 2010 untuk resusuitasi jantung paru dan
perawatan gawat darurat jantung merekomendasikan angiografi koroner kedaruratan
dengan pembukaan cepat dari arteri infark.
AHA menerbitkan pernyataan kebijakan memnggil semua komunitas untuk
menetapkan perawatan sistem regional untuk kasus ini. Pernyataan menjelaskan 2
perbedaan dai pusat resusitasi jantung dan daftar elemen penting dari sistem. RS PCI
menjadi kandidat ideal untuk menyediakan pusat resusitasi jantung tingkat 1 yang
menawarkan pelayanan luas, termasuk PCI jika diindikasikan, perawatan berbasis tujuan,
hipotermia terapetik, monitor elektroensefalografik berkelanjutan, pendekatan tim
multidisipliner, dan evaluasi neuropsikiatrik untuk korban. Semua RS lain yang ikut
berpartisipasi harus dilatih dan dilengkapi dengan pusat resusitasi jantung tingkat 2, yang
mana mampu untuk menginisiai hipotermia terapetik dan mengirim pasien perawatan
post resusitasi. Idelnya, hasil dari kasus ini dapt diukur dan dibandingkan dalam regiter.
Akhirnya, hal inipenting untuk organisasi yang mengumpulkan dan melaporkan STEMU
dan PCI untuk mempertimbangkan resusitasi pasien kasus ini secara terpisah dengan RS
dan kualitas operator individu karena pasien, meski perawatan optimal, memiliki angka
mortalitas lebih tinggi daripada pasien STEMI tanpa gagal jantung.

4. Reperfusi di Rumah Sakit PCI


4.1. PCI Primer
4.1.1. Rekomendasi PCI Primer pada STEMI

COR LOE
Gejala Iskemik <12 jam I A
Gejala Iskemik <12 jam dan kontraindikasi terapifibrinolitik terlepas dari I B
penundaan waktu FMC
Syok kardiogenik atau gagal jantung akut parah terlepas dari penundaan I B
waktu onset infark miokard
Bukti iskemik yang berlangsung 12-24 jam setelah munculnya gejala IIa B
PCI dari arteri non-infark pada waktu PCI primer pada pasien tanpa III: B
gangguan hemodinamik Harm

Kelas I
1. PCI primer harus dilakukan pada pasien dengan STEMI dan gejala iskemik
kurang dari durasi 12 jam. (LOE A)
2. PCI primer harus dilakukan pada pasien STEMI dan gejala iskemik kurang dari
12 jam durasi yang memiliki kontraindikasi terapi fibrinolitik, terlepas dari
penundaan waktu dari FMC. (LOE B)
3. PCI primer harus dilakukan pada pasien dengan STEMI dan syok kardiogenik
atau gagal jantung akut parah, terlepas dari penundaan waktu onset infark
miokard. (LOE B)

Kelas IIa
1. PCI primer layak pada pasien dengan STEMI jika ada bukti klinia dan/atau EKG
dari iskemia selama 12-24jam setelah onset gejala. (LOE B)

Kelas III: Berbahaya


1. PCI tidak boleh dilakukan pada ateri non-infark pada waktu PCI primer pada
pasien STEMI yang secara hemodinamik stabil. (LOE B)

PCI primer pada arteri infark dipilih untuk terapi fibrinolitik saat waktu untuk
merawat tertunda dan pasien tampak volume tinggi, pusat perlengkapan baik dengan
kardiolog berpengalaman dan staf yang mampu. Dibandingkan dengan terapi fibrinolitik,
PCI primer menghasilkan angka yang tinggi dalam patensi arteri infark, aliran TIMI 3,
dan perdarahan tempat akses dan rnedahnya iskemia berulang, re-infarksi, prosedur
revaskularisasi ulangan darurat, perdarahan intracranial (ICH), dan kematian. Dulunya,
PCI yang sukses juga menurunkan komplikasi STEMI yang berdampak dari lebih
lamanya iskemik atau terapi fibrinolitik yang gagal, sehingga diizinkannya pemulangan
lebih cepat dan pelanjutan aktivitas harian. PCI primer memiliki keuntungan yang baik
tentang kelangsungan hidup pada pasien risiko tinggi. Hasil PCI menunjukan perburukan
dengan penundaan terapi dan kurangnya operator di RS. Pengukuran kualitas untuk
laboratorium dan performa operator dan pertimbangan ke PCI primer pada RS tanpa
pembedahan jantung menjadi ulasan di pedoman ACCF/AHA/SCAI 2011 tentang
intervensi percutan koroner.
Komplikasi yang berpotensi dari PCI primer meliputi masalah dengan tempat
akses arteri; reaksi samping pada loading volume, medium kontras, dan medikasi
antitrombotik; kmplikasi teknik; dan kejadian reperfusi. Fenomena tidak ada aliran balik
merujuk pada perfusi myocard yang tidak optimal meski restorasi aliran epikardial pada
arteri infark sudah dikaitkan ke efek kombinasi dari inflamasi, cedera endotel, edema,
ateroembolisasi, vasospasme, dan cedera reperfusi miosit. Tidak adanya aliran balik
berhubungan dengan penurunan angka kelangsungan hidup. Terapi dan strategi
pencegahan meliputi penggunaan GP IIb/IIIa antagonis abciximab, vasodilator
(nitroprusside, verapamil, adenosine), dan inhibitor dari beragam jalur metabolik
(nicorandil, pexelizumab), sekalipun tanpa efek konsisten. Aspirasi trombus manual pada
PCI primer berdampak pada perbaikan perfusi jaringan fan resolusi lebih lengkap ST,
meski tidak semua penelitian menunjukan hasil yang positif.
PCI dari arteri noninfark dengan aliran TIMI 3pada PCI primer pada pasien yang
secara hemodinamik stabil berhubungan dengan perburukan hasil klinis pada beberapa
penelitian, meski ada beberapa yang menganjurkan bahwa hal tsb mungkin aman
dilakukan. PCI arteri noninfark tidak direkomendasikan pada konteks ini kecuali jika lesi
multiple kompleks ditemukan pada angiografi dn lokalisasi EKG dari infark
membingungkan. Kestabilan klinis mungkin didefinisikan sebagai ketiadaan uotput
rendah, hipotensi, takikardi persisten, syok, VT/SVT, dan iskemik berulang spontan.
Pada pasien dengan syok kardiogenik karena gagal pompa, PCI dri stenosis parah di
aretri noninfark mungkin memperbaiki kestabilan hemodinamik dan harus
dipertimbangkan selama prosedur. Kebanyakan pasien, penundaan PCI dapar dilakukan
pada arteri noninfark pada waktu selanjutnya jika diindikasikan oleh kejadian klinis atau
hasil uji noninvasif.

4.2. Rekomendasi Aspirasi Thrombektomi

Kelas IIa
1. Aspirasi manual trombektomi layak untuk pasien yang menjalani PCI primer.
(LOE B)

Penggunaan aspirasi manual trombektomi selama PCI primer dapat meningkatkan


reperfusi microvaskuler dan mnurunkan kematian dan efek samping jantung.
Bagaimanapun ukuran infark tidak menurun melalui cara ini.

4.3. Rekomendasi Penggunaan Stent pada PCI Primer

Kelas I
1. Penempatan stent (bare-metal stent [BMS] atau drug-eluting stent [DES])
berguna pada PCI primer untuk pasien STEMI. (LOE A)
2. BMS harus digunakan pada pasien dengan risiko perdarahan tinggi, ketidakbisaan
untuk memenuh terapi 1 tahun dual antiplatelet (DAPT), atau prosedur bedah atau
invasif setahun kedepan. (LOE C)
Kelas III: Harm
1. DES tidak boleh digunakan pada PCI primer untuk pasien STEMI yang tidak
dapat menoleransi atau memenuhi pemberian jangka lama DAPT karena
peningkatan risiko stent trombosis dengan ketidakberlanjutan prematur dari satu
atau kedua agen. (LOE B)

Stent koroner digunakan secara rutin pada PCI primer. Dibandingkan dengan
balon angioplasty, pemasangan BMS selama PCI primer menurunkan risiko lesi target
selajutnya dan revaskularisasi target pembuluh darah dan risiko ang mungkin terjadi dari
reinfarksi, tetapi hal tsb tidak berhubungan dengan penurunan angka mortalitas.
Dibandingkan dengan BMS, pemasangan DES menurunkan angka restenosis dan
keperluan intervensi kembali tetapi tidak menurunkan angkan kematian atau reinfarksi.
Utamanya, DES pada kasus ini tidak meningkatkan risiko trombosis stent. Kontroversi
menetap dimana risiko trombosis stent lambat lebih tinggi dengan DES generasi pertama
dibandingkan dengan BMS. Angka terendah trombosis stent dilaporkan menggunakan
kobalt-kromium stent. Tantangan terbesar dalam manentukan pendekatan pada PCI
primer, bagaimanapunjuga, menentukan apakah pasien merupakan kandidat untuk
kegiatan jangka panjang DAPT. DES harus dihindari pada kemunculan halangan
finansial atau sosial yang membatasi gangguan pasien, risiko perdarahan meningkatm
kebutuhan prosedur bedah dan invasif untuk setahun kedepan, atau indikasi bebas untuk
terapi antikoagulan jangka panjang.

4.4. Terapi Antitrombotik Tambahan pada PCI Primer


4.4.1. Rekomendasi Terapi Antiplatelet untuk Mendukung PCI Primer
Kelas I
1. Aspirin 162-325 mg harus diberikan sebelum PCI primer. (LOE B)
2. Setelah PCI, aspirin harus dilanjutkan tanpa batas. (LOE A)
3. Loading dose inhibitor reseptor P2Y12 harus diberikan sedini mungkin atau saat
PCI primer pasien STEMI. Pilihan meliputi:
a. Clopidogrel 600 mg (LOE B)
b. Prasugrel 60 mg (LOE B)
c. Ticagrelor 180 mg (LOE B)
4. Terapi inhibitor P2Y12 harus diberikan selama satu tahun pada pasien STEMI
yang menerima stent (BMS atau DES) selama PCI primer menggunakan dosis
maintenans:
a. Clopidogrel 75 mg sehari (LOE B)
b. Prasugrel 10 mg sehari (LOE B)
c. Ticagrelor 90 mg sehari dua kali (LOE B)

Kelas IIa
1. Layak untuk menggunakan 81 mg aspirin pada pilihan untuk dosis pemeliharaan
lebih tinggi setelah PCI primer. (LOE B)
2. Layak untuk memulai terapi dengan antagonis GP IIb/IIIa intravena seperti
abciximab (LOE A),tirofiban bolus dosis tinggi (LOE B), eptifibatide bolus
double, pada saat PCI primer (dengan atau tanpa stent atau preterapi clopidogrel)
pada pasien tertentu dengan STEI yang menerima heparin infraksi (UFH).

Kelas IIb
1. Mungkin layak untuk memberikan antagonis reseptor GP IIb/IIIa intravena pada
waktu laboratorium prekatetrisasi (ambulan, UGD) kepada pasien STEMI yang
akan dilakukan PCI primer. (LOE B)
2. Mungkin layak untuk memberikan abciximab intrakoroner ke pasien STEMI
yang sedang menjalani PCI primer. (LOE B)
3. Pelanjutan inhibitor P2Y12 lebih dari 1 tahun mungkin dapat dipertimbangkan
pada pasien yang menjalani pemasangan DES. (LOE C)
Kelas III: Bahaya
1. Prasugrel jangan diberikan ke pasien dengan riwayat stroke sebelumnya atau
TIA. (LOE B)
Meskipun dosis efektif minimum aspirin pada keadaan PCI untuk STEMI belum
mapan secara prospektif, komite penulis merekomendasikan dosis empiris 325 mg
diberikan sedini mungkin sebelum PCI dan dosis pemeliharaan dilanjutkan tanpa batas
setelahnya. Komite penulis memberikan konsensus dengan 81 mg dosis pemeliharaan
dipilih bahkan diantara pasien yang menerima stent selama PCI primer. Rekomendasi ini
berdasarkan bukti peningkatan risiko perdarahan.
Dosis loading inhibitor P2Y12 disediakan sebelum PCI primer. Agen ini
diberikan selanjutnya sebagai dosis pemeliharaan selama satu tahun setelah PCI dengan
stent (BMS atau DES) pada ketiadan perdarahan. Loading dose clopidogrel 600 mg lebih
dipilih dari pada 300 mg, dengan pertimbangan inhibisi luas dan cepat trombosit dicapai
dengan dosis lebih tinggi.
Respon antiplatelet terhadap clopidgrel mungkin berbeda dengan fungsi fenotip
pasien (obesitas, DM). Penelitian lebih lanut diperlukan untuk mengkalrifikasi risiko
yang berhubungan dengan poliformisus genetik dan mengembangkan strategi terapetik
efektif untuk karier beragam alel yang bertanggung jawab pada sistem enzim. PPI,
terlebih omeprazole, dapat mengganggu metabolisme clopidogrel dan berdampak pada
pengurangan efek antipletelet in vitro, tetapi tampaknya tidak uncul efek farmakokinetik
pada hasil klinis yang lebih buruk.

5. Reperfusi di Rumah Sakit


5.1. Rekomendasi Terapi Fibrinolitik saat terjadi keterlambatan yang diperkirakan
untuk melaksanakan primer dalam 120 menit
5.2. Penilaian dari Reperfusi setelah Fibrinolisis
5.3. Memindahkan ke Rumah Sakit setelah Terapi Fibrinolitik
6. Penatalaksanaan Invasif
6.1. Rekomendasi Angiografi Koroner pada Pasien yang awalnya ditatalaksana
menggunakan Terapi Fibrinolitik atau yang tidak menerima Reperfusi
6.2.
6.3.
6.4.
7. Operasi Bypass Graft Arteri Koroner
7.1. Rekomendasi
7.2.
8. Terapi Medis Rutin
8.1. Rekomendasi Beta Blockers
8.2. Rekomendasi Inhibitor Sitem Renin-Angiotensi-Aldosteron
8.3. Rekomendasi Manajemen Lipid
8.4. Nitrat
8.5. Kalsium Channel Blockers
8.6. Oksigen
8.7. Analgesik: Morfin, Obat Anti Inflamasi Non-Steroid, Inhibitor Cyclooxygenase
II
9. Komplikasi setelah Infark Miokard dengan ST Elevasi
9.1. Syok Kardiogenik
9.2. HF Parah
9.3. Infark Ventrikel Kanan
9.4. Komplikasi Mekanis
9.5. Komplikasi Elektrik saat Fase Rumah Sakit
9.6. Pericarditis
9.7. Komplikasi Tromboembolik dan Perdarahan
9.8. Cedera Ginjal Akut
9.9. Hiperglikemia
10. Penilaian Risiko setelah Infark Miokard dengan ST Elevasi
10.1. Rekomendasi Penggunaan Test Noninvasif untuk Iskemia Sebelum
Dipulangkan
10.2. Rekomendasi Penilaian Fungsi LV
10.3. Rekomendadi Penilaian Risiko SCD
11. Rencana Perwatan Setelah Keluar dari Rumah Sakit
11.1. Rekomendasi Rencana Perwatan Setelah Keluar dari Rumah Sakit
12. Isu yang belum terpecahkan dan Arah Penelitian Selanjutnya
Komite penulis sudah mengidentifikasi beberapa area yang berkaitan dengan manajemen
pasien dengan STEMI yang pantas menerima penelitian leih lanjut. Meskipun observasi
menunjukkan hubungan antara peningkatan terapi berbasis bukti dan penurunan angka
mortalitas STEMI, upaya tambahan untuk memperbaiki hasil pasien tetap dibutuhkan.
Terdapat pengakuan luas bahwa kemajuan pengetahuan dan performa membutuhkan
kontribusi dari investigator, klinisi, RS, EMS, dan pemerintah.
12.1. Kesadaran Pasien
Keterlambatan waktu dari munculnya gejala ke pengaktifan perawatan STEMI
masih terlalu lama. Upaya multikultural untuk edukasi, meyakinkan, dan memotivasi
pasien dan keluarga yang berisiko sangat dibutuhkan. Upaya perbandingan untuk
meningkatkan ketaatan dan perhatian kepada perilaku gaya hidup sehat sebagai
sudut pandang pencegahan sekunder dibutuhkan saat pemulangan dari RS dan
sebagai sifat integral dari program rehabilitasi jantung.
12.2. Sistem Perawatan Regional
Adopsi sistem perawatan regional untuk pasien STEMI lintas perbedaan area
geografi terbukti penuh tantangan, dan keterlambatan yg tidak sesuai dengan inisiasi
terapi reperfusi umum terjadi. Seperti sebelumnya sudah ditekankan, perhatian
seharusnya terfokus pada penurunan waktu total iskemik, dari munculnya gejala ke
reperfusi yang sukses. Beberapa faktor tambahan ke aktivasi pasien EMS
berkontribusi ke keterlambatan, tidak semuanya dapat terselesaikan. Area untuk
penelitian selanjutnya eliputi protokol EMS sebelum MRS, pendekatan gagal
jantung, algoritme triase dan transfer, ketersediaan cepat PCI, dan perbaikan lanjutan
faktor klinis dan waktu yang seharusnya pemberian terapi segera penggunaan
fibrinolitik dan transfer segera PCI. Kurangnya korelasi diantara pendeknya D2B
dan penurunan mortalitas seharusnya membawa upaya lebih jauh untuk
meningkatkan perawatan semua aspek STEMI. Sistem regional seharusnya malacak,
menganalisis, dan melaporkan semua kejadian STEMI dan gagal jantung sebagai
suatu proses program peningkatan.
12.3. Transfer dan Manajemen dari Pasien Bukan Risiko Tinggi setelah
Pemberian Terapi Fibrinolitik
Indikasi waktu transfer untuk angiografi dengan arah revaskularisasi untuk pasien
bukan risiko tinggi setelah berhasil fibrinolisis masih diperdebatkan. Meskipun
terdapat peningkatan aktifasi jalur ini, bukti dasar untuk justifikasi masih terbatas.
12.4. Terapi Antitrombotik
Pilihan optimal inhibitor eseptor P2Y dan agen antikoagulan untuk pasien dengan
STEMI merupakan suatu tantangan. Variabilitas gentis individu pada penyerapan
obat, metabolisme, dan keefektifan sudah disorot menurut pengalaman dengan
clopidogrel pada pasien dengan ACS. Risiko perdarahan juga berbeda lintas ras dan
etnik. Peran tes fungsi trombosit dan skrining genetik untuk metabolisme
clopidogrel pada perawatan fase akut STEMI masih belum jelas, terutama dengan
ketersediaan alternatif inhibitor reseptor P2Y. Informasi lebih spesifik untuk pasien
dengan STEMI diperlukan dengan anggapan untuk penggunaan prasugrel, ticagrelor,
faktor novel Xa dan antagonis IIa, dam antagonis 1 reseptor aktifasi proteasi
trombosit. Kemanjuran dan keamanan kombinasi terapi antirombotik harus
ditujukan secara berkelanjutan, sementara pendekatan tes yang lebih tidak berbahaya
dilakukan. Angka perdarahan pada akses arteri radial versus femoral untuk PCI
dijamin perlu penelitian lebih lanjut.
12.5. Cedera Reperfusi
12.6. Pendekatan terhadap Penyakit Arteri Noninfark
12.7. Pencegahan Kematian Mendadak akibat Penyakit Jantung
12.8. Pencegahan Gagal Jantung

Anda mungkin juga menyukai