CORONARY SYNDROME
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2008
1
RINGKASAN
1
2
I. PENDAHULUAN
Perjalanan alami dari Infark Miokard Akut (IMA) sukar
ditentukan dengan beberapa alasan : kejadian infark tanpa keluhan
yang umum terjadi, angka kematian karena penyakit koroner akut
diluar rumah sakit, dan bervariasinya metode yang digunakan dalam
mendiagnosis penyakit ini. Penelitian pada beberapa kelompok
masyarakat menunjukkan secara konsisten bahwa fatalitas dari
serangan jantung akut pada bulan pertama sebesar kira-kira 50% dan
setengah dari kematian yang ada terjadi kira-kira pada 2 jam pertama.
Mortalitas yang tinggi ini tampaknya sedikit berubah selama 30 tahun
terakhir. Kebalikan dengan angka mortalitas di masyarakat, terdapat
penurunan yang nyata pada angka kematian penderita yang dirawat di
rumah sakit. Seiring pengenalan adanya unit rawat jantung di tahun
1960, mortalitas di rumah sakit berkisar antara 25-30%. Penelitian
lanjutan tentang mortalitas pada era pre-trombolitik pertengahan tahun
1980 menunjukkan kematian rata-rata 18%. Angka mortalitas pada
bulan pertama telah dapat diturunkan, akan tetapi tetap tinggi
meskipun obat trombolitik dan aspirin digunakan secara luas. Maka,
pada penelitian MONICA ( monitoring trends and determinants in
cardiovascular disease ) akhir-akhir ini di 5 kota, kematian pada hari
ke-28 adalah 13-27%. Penelitian lain melaporkan angka kematian
dalam 1 bulan sebesar 10-20% (Monica, 1994).
Beberapa tahun sebelumnya ditemukan beberapa faktor yang
diperkirakan menyebabkan kematian pada pasien yang masuk rumah
sakit dengan infark miokard. Faktor utama tersebut adalah usia,
riwayat penyakit terdahulu (diabetes, infark sebelumnya) ukuran infark
yang luas, termasuk lokasi infark (anterior vs inferior), tekanan darah
yang rendah, adanya kongestif pulmonal dan perluasan iskemia
sebagaimana diekspresikan dengan elevasi dan atau depresi segmen ST
pada elektrokardiogram. Faktor-faktor tersebut masih tetap berperanan
sampai saat ini (Maynard, 1993).
2
3
II.1. Perawatan Pra-Rumah Sakit (Pre Hospital)
Keterlambatan pasien
Waktu yang paling kritis pada suatu serangan jantung akut adalah fase
awal, saat pasien berada dalam keadaan nyeri hebat dan dalam bahaya
henti jantung. Lebih jauh lagi, semakin awal beberapa penanganan,
terutama trobolisis, semakin besar efek yang menguntungkan. Tetapi,
seringkali terjadi satu jam atau lebih dari onset sebelum bantuan
diminta. Kadang-kadang terdapat bukti bahwa gejala-gejala tidak berat
atau tipikal, atau onset tiba-tiba, namun seringkali tindakan darurat
tidak dilakukan saat kejadian tersebut. Seharusnya menjadi pedoman
umum dari perawatan pasien dengan penyakit jantung iskemik untuk
memberitahu mereka dan keluarganya mengenai gejala dari serangan
jantung dan bagaimana merespons terhadap hal tersebut. Agak kurang
dipahami peran edukasi dari masyarakat umum. Tentunya, masyarakat
harus sadar tentang bagaimana cara memanggil layanan kedaruratan,
meskipun mereka telah mencapai beberapa kemajuan, masih
dipertanyakan apakah peran edukasi publik memiliki peran yang
bermakna (Maynard, 1993).
Pelayanan ambulans
Pelayanan ini memegang peran penting dalam penanganan IMA dan
henti jantung. Kualitas dari perawatan yang diberikan tergantung
kepada ketrampilan dari staf. Pada tahap awal, personel ambulans
harus dilatih untuk mengenali gejala infark miokard, memberikan
oksigen, obat penghilang nyeri dan melakukan basic life support .
Semua ambulans darurat harus diperlengkapi dengan defibrilator dan
minimum salah satu personelnya terlatih untuk melakukan advanced
life support. Dokter yang berada di ambulans, seperti terdapat di
beberapa negara, punya kemampuan diagnostik yang lebih maju dan
ketrampilan terapi yang memadai termasuk hak untuk memberikan
opioid dan obat trombolitik. Di beberapa negara, perawat yang dilatih
khusus dapat menggantikan posisi dokter ini. Sangat diharapkan dari
staf ambulans agar mencatat ECG untuk tujuan diagnostik dan
menginterpretasi atau mentransfernya sehingga dapat dibaca oleh staf
yang berpengalaman pada unit perawatan jantung ditempat lain.
Pencatatan ECG terutama untuk perawatan berperan besar dalam
penanganan di rumah sakit.
3
4
Dokter umum
Di beberapa negara, dokter umum memegang peranan penting dalam
perawatan awal dari infark miokard. Di negara-negara ini, mereka
adalah yang pertama dipanggil oleh pasien. Jika mereka bereaksi
dengan cepat dan terlatih dengan baik maka sangat efektif karena
mereka mengenali pasien secara individual, mencatat dan
menginterpretasikan ECG, dapat memberikan opioid dan obat
trombolitik, dan melakukan defibrilasi. Pada kebanyakan negara,
dokter umum tidak terlatih dengan baik. Pada keadaan ini walau
diharapkan mereka dapat menangani pasien tanpa tertunda mereka
sebaiknya cepat memanggil ambulans.
4
5
jantung yang menetap, syok atau aritmia yang serius pada fase akut
karena resiko aritmia sangat tinggi.
Monitoring invasif
Semua CCU harus mempunyai tenaga terlatih dan alat untuk
melakukan monitoring invasif dari tekanan arteri pulmonal.
Monitoring tekanan arteri harus dilakukan pada pasien dengan syok
kardiogenik. Kateter balon, seperti kateter Swan-Gaz, berguna untuk
pemeriksaan dan perawatan pasien dengan output jantung yang rendah.
Kateter ini diindikasikan pada keberadaan syok kardiogenik, gagal
jantung yang progresif, dan kecurigaan adanya defek septum
ventrikuler atau disfungsi otot papilaris.
Pertama, diagnosis kerja infark miokard harus ditegakkan.
Biasanya berdasarkan riwayat adanya nyeri dada yang parah yang
berlangsung selama 15 menit atau lebih, dan tidak berespon dengan
nitrogliserin. Tetapi nyeri mungkin tidak parah, khususnya pada orang
tua, gejala lain seperti dispnoe, pingsan atau sinkope umumnya terjadi.
Petunjuk penting adalah riwayat penyakit koroner terdahulu, dan
penjalaran nyeri ke leher, rahang bawah, atau tangan kiri. Tidak ada
keseragaman gejala individual dari infark miokard, tetapi kebanyakan
pasien mengalami aktivasi saraf otonom (pucat, berkeringat) serta
hipotensi atau tekanan nadi yang menurun. Gambarannya bisa
termasuk nadi yang irreguler, bradikardi atau takikardi, bunyi jantung
III dan ronchi pada basal. Elektrokardiogram harus dilaksanakan
secepat mungkin. Bahkan pada tahap awal, ECG sering normal. Akan
tetapi ECG sering bervariasi pada jam-jam awal dan bahkan pada
infark akut sering menunjukkan tidak adanya gambaran khas elevasi
ST dan gelombang Q baru. Ulangan ECG harus dilakukan dan jika
mungkin, ECG yang terakhir harus dibandingkan dengan ECG
sebelumnya. Monitoring ECG sebaiknya dilakukan secepat mungkin
pada pasien yang mempunyai aritmia yang membahayakan. Ketika
diagnosis masih meragukan, uji marker serum sangatlah berarti. Pada
kasus yang sulit, echokardiografi dan angiografi mungkin dapat
membantu. Pengobatan terhadap nyeri merupakan hal yang sangat
penting, tidak hanya oleh karena alasan kemanusiaan, tetapi karena
nyeri dapat dihubungkan dengan aktivasi simpatetik yang
menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan kerja jantung. Opioid
intravena (morfin) atau jika ada, diamorfin adalah analgesik yang
umumnya digunakan pada kasus ini, injeksi intramuskular harus
dihindari. Ulangan dosis mungkin diperlukan. Efek sampingnya
meliputi mual dan muntah, hipotensi dan bradikardi, dan depresi
napas. Obat antiemetik dapat digunakan secara bersamaan dengan
opioid. Hipotensi dan bradikardi yang terjadi biasanya bereaksi dengan
atropin dan depresi napas bereaksi dengan naloxon, yang sebaiknya
selalu tersedia. Jika opioid gagal untuk menghilangkan nyeri setelah
pemberian ulangan, - -blocker atau nitrat intravena sering efektif.
Tenaga medis mempunyai pilihan yang terbatas pada obat opioid yang
non adiktif dan disesuaikan dengan ketersediaan yang berbeda-beda
5
6
pada tiap senter. Oksigen sebaiknya diberikan pada pasien yang sesak
napas atau mempunyai gejala gagal jantung atau syok.
Kecemasan merupakan respon alami terhadap nyeri dan terhadap
serangan jantung. Keyakinan pasien dan keluarga yang terlibat
merupakan hal yang sangat penting. Jika pasien merasa sangat
terganggu, dapat diberikan obat penenang, tetapi opioid adalah obat
yang cukup memadai (E.R.C, 1992).
B. Perawatan awal
1. Pengobatan trombolitik
6
7
Jangka waktu pengobatan
Keuntungan terbanyak terlihat pada mereka yang mendapat pengobatan
segera setelah onset gejala muncul. Sebuah analisa penelitian dimana
pasien diacak untuk trombolisis pre dan dalam rumah sakit
menunjukkan bahwa menyelamatkan satu jam mengurangi kematian
secara signifikan, tetapi pada penelitian yang relatif kecil gagal
menunjukkan besarnya angka keuntungan yang pasti. Pada pengamatan
terhadap fibrinolitik didapat penurunan yang progresif sekitar 1-6
kematian tiap jam penundaan per 1000 pasien yang diobati.
Bahaya trombolisis
Terapi trombolitik dihubungkan dengan timbulnya efek samping cukup
signifikan, yaitu 3-9 ekstra stroke per 1000 pasien yang diobati, dan
semua bahaya tersebut timbul pada hari pertama setelah pengobatan.
Stroke awal dianggap berasal dari perdarahan serebral; stroke
selanjutnya lebih sering karena trombosis atau emboli. Resiko stroke
bervariasi tergantung pada umur. Terdapat peningkatan resiko untuk
orang dengan usia diatas 75 tahun dan juga bagi mereka yang
mempunyai hipertensi sistolik. Pemberian streptokinase dan
anistreplase mungkin dihubungkan dengan hipotensi, tetapi reaksi
alergi berat jarang terjadi. Pemberian hidrokortison secara rutin bukan
merupakan indikasi. Jika terjadi hipotensi, berilah infus, letakkan
pasien berbaring dengan posisi kaki lebih tinggi. Terkadang atropin
dan plasma ekspander juga dibutuhkan (T.T.T, 1994).
Implikasi klinis
Berdasarkan pada beberapa kejadian yang diamati, terdapat
keuntungan ganda dalam morbiditas dan mortalitas untuk terapi yang
tepat pada IMA dengan trombolisis dan aspirin, bahwa kedua obat
tersebut juga berefek aditif. Jika fasilitas yang memadai tersedia,
dengan tenaga medis dan paramedis yang terlatih, trombolisis pre-
rumah sakit mungkin dapat dilakukan jika penderita menunjukkan
gambaran klinis infark miokard dan ECG menunjukkan elevasi ST dan
bundle branch block.
Kecuali jika jelas ada kontra indikasi, pasien dengan infark,
yang didiagnosis dengan gejala klinis, elevasi segmen ST atau bundle
branch block, harus mendapat terapi aspirin dan obat trombolitik
dengan penundaan seminim mungkin. Jika EKG pertama tidak
menunjukkan perubahan diagnostik, rekaman EKG serial dan kontinyu
7
8
sebaiknya dilakukan. Analisa enzim yang cepat, ECG, dan kadang-
kadang angiografi dapat berguna. Tujuan yang realistik adalah untuk
pemberian trombolisis dalam waktu 90 menit pada pasien yang butuh
terapi segera. Pada pasien yang mengalami perubahan secara perlahan
atau yang infark miokardnya tidak jelas, EKG serial dan pemeriksaan
klinis sebaiknya dilakukan untuk mendeteksi infark yang bekembang
secara lambat (dengan analisa enzym yang cepat jika tersedia).
Terapi trombolitik tidak boleh diberikan pada keadaan:
Mereka dengan kemungkinan keberhasilan kecil, misal jika EKG tetap
normal, atau menunjukkan hanya ada perubahan gelombang T. Pada
percobaan klinis tidak menunjukkan adanya keuntungan pada pasien
dengan depresi ST, walau resiko pasien ini tinggi (ISIS-3, 1992).
8
9
atau intravena. Pemberian heparin yang diperpanjang tidak terlihat
dapat mencegah reoklusi setelah terbukti secara angiografi terjadi
trombolisis koroner, atau sebelum pemberian coumadin. Infus heparin
setelah terapi t-PA dapat dihentikan setelah 24-28 jam. Obsevasi ketat
dari terapi heparin adalah evaluasi PTT dihubungkan dengan resiko
terjadinya perdarahan serebral. Pada percobaan ISIS-2, pemberian
heparin subkutan (12.500U) tidak mempengaruhi mortalitas walau
dikombinasi dengan aspirin, streptokinase, alteplase, atau anistreplase
(Gissi, 1986).
Angioplasti primer
Digolongkan sebagai PTCA tanpa diikuti pengobatan trombolitik dan
merupakan terapi pilihan hanya bila akses cepat (<1 jam) ke
laboratorium kateterisasi yang memungkinkan. Hal ini membutuhkan
tim khusus, yang melibatkan tidak hanya ahli kardiologi, tetapi juga
staf yang terlatih dengan baik. Hal ini hanya di rumah sakit yang
mempunyai ahli kardiologi dan alat yang dapat melakukannya. Sedang
pasien yang dirawat di rumah sakit tanpa fasilitas ini, harus
mempertimbangkan keterlambatan terapi dan juga resiko transportasi
menuju laboratorium keteterisasi.
Angioplasti primer efektif dalam menjaga patensi arteri koroner
dan menghindari resiko terjadinya perdarahan otak karena obat
trombolitik. Bila dibandingkan dengan terapi trombolitik ada
keuntungan antara lain perbaikan patensi yang lebih baik, fungsi
ventrikel yang lebih baik, dan kecenderungan untuk hasil klinis yang
lebih baik pula. Pasien dengan kontraindikasi terhadap trombolitik
mempunyai morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi daripada yang
diterapi dengan ini. PTCA primer dapat dilakukan dengan sukses pada
9
10
sebagian besar pasien, tetapi pengalaman masih terbatas, disamping itu
keefektifan dan keselamatan diluar pusat pelayanan masih kurang baik
hasilnya.
Aspirin
Efektifitas aspirin ditunjukkan dari studi ISIS-2 yang menunjukkan
bahwa keuntungan aspirin dan streptokinase saling melengkapi. Pada
percobaan yang melibatkan lebih dari 17.000 pasien ini, 160 mg tablet
pertama dikunyah, selanjutnya 160 mg tablet ditelan setiap hari.
Mortalitas pada mereka yang mendapatkan aspirin pada studi ini
adalah 9,4% dibandingkan mereka yang menerima plasebo yaitu
11,8%. Hal ini efektif baik bagi mereka yang menerima trombolisis
atau yang tidak. Pada pengamatan secara keseluruhan dari studi aspirin
didapatkan 29% pengurangan angka kematian, dengan mortalitas
vaskuler 24 nyawa terselamatkan dari 1000 pasien. Bahkan didapatkan
angka yang lebih kecil untuk terjadinya stroke non fatal dan reinfark
miokard yang non fatal pada kelompok yang mendapat pengobatan.
10
11
spasme bronkus pada asma. Tidak seperti pada trombolisis, tidak ada
bukti yang jelas hubungan antara keefektifan dan waktu dari terjadinya
keluhan dan gejala. Aspirin sebaiknya diberikan sesegera mungkin
pada semua pasien dengan sindrom koroner akut setelah diagnosis
ditegakkan (ISIS-3, 1993).
Obat anti-aritmia
Walaupun lignocaine dapat menurunkan insiden fibrilasi ventrikular
pada fase akut miokard infark, obat ini dapat meningkatkan resiko
asistole. Analisa dari 14 studi menunjukkan mortalitas yang lebih
tinggi pada kelompok yang mendapat terapi lignocaine dibanding
kontrol. Penggunaan obat ini untuk profilaksis tidak dibenarkan.
Beta blocker
Banyak percobaan tentang pemberian beta blocker secara intravena
pada fase akut miokard infark karena kemampuannya untuk membatasi
infark dan mengurangi insiden aritmia yang fatal dan untuk
mengurangi nyeri. Penelitian pada 16.000 pasien mengungkapkan
pengurangan mortalitas selama 7 hari. Pada penelitian dibeberapa
negara, penggunaan beta blocker sangatlah jarang. Terdapat indikasi
penggunaan beta blocker ketika ada takikardi (bila tidak ada gagal
jantung), hipertensi relatif, atau nyeri yang tidak berespon terhadap
opioid. Sangat berguna untuk menguji respon pasien terhadap obat ini
dengan menggunakan preparat kerja cepat (BBPP, 1988).
Nitrat
Suatu analisa dari 10 studi yang menggunakan terapi nitrat intravena
secara dini pada 2.041 pasien, menunjukkan penurunan mortalitas
sampai sepertiga. Masing-masing studi itu dalam skala kecil, hanya
dengan 329 kematian secara keseluruhan. Percobaan GISSI-3 juga
menggunakan terapi nitrat intravena (yang diikuti dengan nitrat
transdermal) pada 19.394 pasien, tidak didapatkan penurunan
mortalitas yang bermakna. Berdasarkan beberapa analisa penelitian,
penggunaan nitrat secara rutin pada fase awal infark miokard tidak
menunjukkan kegunaan secara meyakinkan.
Antagonis kalsium
Suatu meta-analisa dari penggunaan antagonis kalsium pada fase awal
infark miokard akut menunjukkan hasil yang tidak bermakna. Tidak
ada indikasi penggunaan obat golongan ini sebagai profilaksis pada
fase akut infark miokard.
11
12
Magnesium
Analisa dengan terapi magnesium pada fase akut miokard infark
menunjukkan keuntungan yang signifikan, tetapi penelitian ISIS-4
dosis yang digunakan tidak mendukung hal ini. Walaupun ada
sanggahan bahwa pada penelitian ISIS-4 dosis yang digunakan tidak
optimal, tetapi belum ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan
penggunaan rutin obat ini (Woods, 1992).
Penatalaksanaan Umum
Kebanyakan pasien harus beristirahat di tempat tidur selama 12-24 jam
pertama, selama waktu tersebut akan tampak apakah infark tersebut
akan mengalami komplikasi. Pada kasus yang tidak mengalami
komplikasi, pasien dapat duduk di tempat tidur pada akhir hari
pertama, diizinkan menggunakan suatu meja kecil, merawat diri
sendiri dan makan sendiri. Mobilisasi dapat dimulai hari berikutnya
dan pasien tersebut dapat berjalan hingga 200 m pada permukaan yang
datar, dan naik tangga dalam beberapa hari. Mereka yang pernah
mengalami gagal jantung, syok, atau aritmia yang serius harus tetap
berada di tempat tidur lebih lama, dan aktivitas fisiknya meningkat
12
13
secara perlahan, tergantung pada gejala dan derajat kerusakan miokard
(I.S.G., 1990).
Perikarditis
Perikarditis akut dapat sebagai penyulit infark miokard, meningkatkan
nyeri dada yang dapat disalahartikan sebagai infark rekuren atau
angina. Nyeri tersebut, dibedakan menurut sifatnya yang tajam, dan
hubungannya dengan postur dan respirasi. Diagnosisnya dapat
ditegakkan dengan suatu pericardial rub. Bila nyeri mengganggu,
dapat ditangani dengan pemberian aspirin oral dosis tinggi atau
intravena, NSAID, atau steroid. Suatu efusi haemorhagik dengan
tamponade jarang terjadi, dan khususnya dihubungkan dengan
penanganan antikoagulan. Hal tersebut dapat diketahui melalui
ekhokardiografi. Penanganannya ialah dengan pericardiocentesis bila
gangguan hemodinamik terjadi.
Aritmia Ventrikel
Tarikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel terjadi pada hari pertama
menyebabkan hanya sedikit prognosis buruk, namun aritmia-aritmia
yang terjadi lebih lanjut, dalam perjalanannya aritmia-aritmia tersebut
cenderung berulang dan dihubungkan dengan resiko kematian yang
tinggi. Hal ini terjadi karena hubungan dengan kerusakan miokard
yang berat; penilaian terhadap anatomi koroner dan fungsi ventrikel
harus dilakukan. Apabila aritmia diinduksi oleh iskemia,
revaskularisasi dengan jalan angioplasti atau pembedahan harus
dipertimbangkan. Apabila ini tidak mungkin, beragam cara pendekatan
terapetik tersedia, namun sementara ini, belum diteliti secara adekuat.
Hal-hal tersebut meliputi penggunaan -blocker, amiodaron, dan terapi
anti-aritmia yang dipandu secara elektrofisiologik. Pada beberapa
kasus, penggunaan suatu conventer defibrilator diindikasikan.
13
14
Penilaian resiko
Penilaian resiko sebelum memulangkan penderita memiliki tujuan
memperkirakan prognosis, dengan cara pengamatan lebih lanjut apa
yang dibutuhkan, dan membantu dalam mengatur strategi terapetik
individu mana yang terbaik bagi pasien yang telah melampaui masa
akut tersebut. Penilaian ini tergantung pada data klinis, termasuk usia,
faktor resiko yang ada sebelumnya, infark sebelumnya, diabetes,
keadaan hemodinamik, aritmia selama fase akut, dan pengamatan dan
penginderaan status ( imaging) fungsional (Monica, 1994).
Penggolongan resiko klinis dapat digunakan untuk membagi
pasien ke dalam kategori resiko tinggi, sedang, dan rendah,
penggolongan resiko klinis ini penting.
Pasien-pasien beresiko tinggi adalah mereka dengan gagal
jantung persisten, fungsi ventrikel kiri yang rusak berat, atau
penampakan awal dari angina saat istirahat atau aritmia rekuren, dan
mereka yang tidak mampu melakukan uji exercise sebelum keluar RS.
Pasien-pasien semacam itu cenderung berusia lebih tua, memiliki
faktor resiko banyak, dan telah mengalami infark sebelumnya. Fungsi
ventrikel kiri harus dievaluasi dengan echokardiografi dan/atau
scintigrafi. Angiografi koroner memberikan informasi prognostik yang
14
15
independen dan bermakna sebagai petunjuk untuk penanganan lebih
lanjut seperti halnya revaskularisasi.
Pasien yang secara klinis berisiko sedang mungkin berusia lebih
dari 55 tahun, pernah mengalami gagal jantung sementara, pernah
mengalami infark sebelumnya atau memiliki faktor resiko seperti
halnya hipertensi atau diabetes. Pasien-pasien ini harus dinilai
disfungsi ventrikel kiri dan iskemia residualnya. Iskemia residual
dapat dinilai dengan ECG exercise, scanning perfursi miokard atau
stress echokardiografi, tergantung pada ketersediaan peralatan. Pasien
dengan fungsi ventrikel kiri yang rusak dan/atau iskemia yang dapat
diinduksi harus dipertimbangkan untuk angiografi. Pendekatan untuk
penggolongan ini ditunjukkan sebagai diagram alur pada Bagan 1.
IMA
15
16
Pasien resiko rendah berusia lebih muda (kurang dari 55 tahun),
tidak memiliki infark sebelumnya dan memiliki perjalanan klinis yang
bebas keluhan. ECG exercise merupakan pemeriksaan pertama yang
paling berguna pada kelompok ini. Ini dapat berupa tes submaksimal
sebelum pemulangan atau tes yang dibatasi gejala pada treadmill atau
cycle ergometer pada 3-8 minggu pascainfark atau keduanya.
Keragaman yang mencerminkan iskemia miokard residual yang
diinduksi olahraga tampaknya tidak berhubungan erat dengan
kematian.
Pasien yang gagal mencapai beban kerja pada pengujian
olahraga, atau mengalami angina atau menunjukkan tanda iskemik
pada EKG, atau mengalami sesak nafas berat harus dipertimbangkan
untuk pemeriksaan lebih lanjut. Secara jelas, keakuratan prediktif
negatif bagi pasien yang dapat menyelesaikan tahap III dari protokol
standar Bruce atau ekuivalennya tanpa nyeri dada atau perubahan
iskemia pada ECG adalah tinggi. Sebagai tambahan, efek dari
semangat pasien adalah positif, dan informasi tersebut membantu
dalam merencanakan rehabilitasi. Tidak terdapat keharusan untuk
menghentikan pengobatan sebelum pengujian olahraga.
Penilaian Iskemia
Pasien-pasien yang gagal mencapai beban kerja yang diharapkan pada
pengujian olahraga, atau mengalami angina atau menunjukkan tanda
iskemik pada ECG saat beban kerja sedang harus dipertimbangkan
untuk evaluasi lebih lanjut untuk mengkuantifikasi jumlah miokard
yang rusak, demikian pula dengan derajat miokard yang berpotensi
baik. Pilihan antara echokardiografi stress dan scanning perfusi radio-
isotop tergantung pada pengalaman dari tiap sentra dan sumberdaya
yang tersedia. Bagi dokter yang berkompeten, kedua teknik-teknik ini
lebih sensitif dan spesifik dibandingkan ECG exercise.
16
17
Rehabilitasi
Rehabilitasi ditujukan untuk mengembalikan pasien ke kehidupan
seperti semula, dan harus dipertimbangkan faktor fisik, psikologis, dan
sosioekonominya. Prosesnya harus dimulai sesegera mungkin setelah
penatalaksanaan di rumah sakit, dan diteruskan pada minggu dan
bulan-bulan berikutnya. Rehabilitasi secara detail tidak dibahas di
sini, karena pertimbangan panjang lebar dan metodenya terdapat dalam
laporan Working Group on Rehabilitation of the European Society of
Cardiology.
17
18
Nasehat tentang gaya hidup
Penyebab yang mungkin dari penyakit jantung koroner harus
didiskusikan dengan pasien dan rekannya selama perawatan di rumah
sakit, dan nasehat secara individu mengenai diet yang sehat,
pengontrolan berat badan, merokok dan olahraga harus diberikan.
Aktivitas Fisik
Semua pasien harus diberi nasehat, dengan mengamati aktivitas fisik
berdasarkan hasil pemulihan mereka dari serangan jantung, umurnya,
kadar aktivitas mereka sebelum serangan, dan keterbatasan fisik
mereka. Penilaian tersebut sangat dibantu dengan tes sebelum
kepulangan, yang tidak hanya merupakan informasi klinis yang sangat
berharga tetapi juga dapat meyakinkan kembali pasien yang terlalu
cemas (Amstrong, 1972).
6. Preventif Sekunder
Merokok
Walau belum ada penelitian secara acak yang dilakukan, bukti
meyakinkan bahwa bagi mereka yang menghentikan kebiasaan
merokok mempunyai mortalitas separuh lebih sedikit dibanding dengan
mereka yang tidak berhenti. Hal ini merupakan pencegahan sekunder
yang potensial : usaha keras harus dilakukan untuk penghentian
merokok. Kebanyakan pasien tidak merokok selama serangan akut dan
periode laten ini merupakan kesempatan bagi tenaga kesehatan
profesional untuk membantu pasien menghentikan kebiasaan tersebut.
Merokok biasanya dilakukan kembali setelah pulang ke rumah
sehingga dukungan dan nasehat selama rehabilitasi diperlukan. Studi
secara acak menunjukkan keefektifan dari program yang diarahkan
untuk perawat : protokol untuk penghentian merokok harus diadopsi
oleh setiap rumah sakit (Monica, 1994).
18
19
Percobaan yang dilakukan secara luas menggunakan aspirin
menunjukkan bahwa antikoagulan oral efektif dalam mencegah
reinfark dan kematian pada infark miokard. Pasien dalam percobaan
ini diacak paling tidak selama 2 minggu setelah infark. Peranan
antikoagulan oral setelah infark miokard akut kurang jelas dan hanya
dievaluasi setelah pemberian trombolitik. Pada pasien tersebut belum
ada bukti yang jelas mengenai keuntungan antikoagulan.
Kemungkinannya, pada beberapa pasien, yang mempunyai aneurisma
ventrikel kiri, yang mempunyai fibrilasi atrial, atau secara ECG
terbukti ada trombus pada ventrikel kiri, akan menguntungkan bila
diberikan antikoagulan oral awal, tetapi penelitian tentang ini sangat
sedikit. Kombinasi antara antikoagulan dan antiplatelet setelah infark
miokard akut memberikan hasil sementara ini cukup memuaskan
(GISSI, 1986).
Beta Blocker
Beberapa uji dan meta-analisis menunjukkan bahwa obat-obat
penghambat -adrenoseptor mengurangi kematian dan reinfark 20-25%
pada mereka yang sembuh dari infark miokard akut. Uji positif telah
dilakukan dengan propranolol, metaprolol, timolol, dan acebutolol,
namun kajian dengan -blocker lainnya, meskipun tidak bermakna,
mempunyai efek yang sama baiknya. Sekitar 25% penderita memiliki
kontraindikasi terhadap -blocker karena gagal jantung yang tak
terkontrol, penyakit pernafasan, atau kondisi-kondisi lain. Dari
sisanya, mungkin separuh dapat didefinisikan sebagai resiko rendah
dimana penghambat hanya memberi suatu keuntungan marginal,
dengan berpikir efek samping minor namun terkadang menyulitkan.
Masih terdapat opini yang berbeda, apakah -blocker harus diberikan
kepada semua orang yang indikasi, atau apakah -blocker seharusnya
hanya diberikan kepada mereka dengan resiko sedang yang memiliki
banyak keuntungan (BBPP, 1988).
Kalsium Antagonis
Uji dengan verapamil dan diltiazem telah memberi kesan bahwa
keduanya dapat mencegah reinfark dan kematian, namun harus hati-
hati, perlu dipikirkan keberadaan fungsi ventrikel yang menurun.
Kalsium antagonis mungkin tepat bila -blocker merupakan kontra
indikasi (terutama pada penyakit obstruksi jalan nafas).
Uji dengan dihidropiridin gagal menunjukkan keuntungan untuk
memperbaiki prognosis setelah reinfark miokard; oleh karenanya,
hanya diberikan bagi indikasi-indikasi klinis yang jelas, dengan
berpikir efek samping yang dapat terjadi pada mereka dengan fungsi
ventrikel kiri yang rendah (Gibbons, 1993).
19
20
Nitrat
Tidak ada bukti bahwa nitrat oral atau transdermal memperbaiki
prognosis setelah infark miokard, Uji ISIS-4 dan GISSI-3 gagal
menunjukkan suatu keuntungan pada 4-6 minggu setelah kejadian.
Nitrat, tentu saja, tetap menjadi terapi pertama hanya bagi angina
pectoris.
ACE inhibitor
Beberapa uji telah membuktikan bahwa ACE inhibitor mengurangi
kematian setelah infark miokard. Dalam uji SAVE pasien dilibatkan 11
hari setelah masa akut memiliki fraksi ejeksi kurang dari 40% pada
pencitraan nuklir, dan jika mereka bebas dari iskemia yang manifes
pada sebuah tes olahraga. Tidak didapatkan keuntungan dalam hal
penurunan mortalitas pada tahun pertama, namun terdapat pengurangan
19% pada 3-5 tahun berikutnya dari follow-up (dari 24,6%). Reinfark
dan gagal jantung lebih sedikit, terlihat bahkan dalam tahun pertama.
Pada uji AIRE pasien diacak untuk ramipil dengan rata-rata 5
hari setelah onset infark miokard ditunjukkan oleh gambaran klinis
dan radiologis dari gagal jantung. Pada rata-rata 15 bulan kemudian,
kematian berkurang dari 22,6% hingga 16,9%. Pada kajian TRACE,
pasien diacak untuk tradolapril atau placebo suatu median 4 hari
setelah infark, mereka memiliki disfungsi ventrikel kiri yang
diperlihatkan oleh indeks wall motion 1,2 atau kurang. Rata-rata
follow-up 108 minggu, angka kematian 34,7% pada kelompok
perlakuan dan 42,3% pada kelompok pacebo. Mengambil ketiga kajian
tersebut bersama-sama, diindikasikan pemberian ACE inhibitor kepada
pasien yang mengalami gagal jantung pada keadaan IMA, memiliki
fraksi ejeksi kurang dari 40% atau indeks wall motion 1,2 atau kurang,
dan tidak ada kontraindikasi (Lindsay, 1995).
Sebagaimana diskusi diatas, dapat diberikan ACE inhibitor
kepada semua pasien dengan infark akut sejak masuk RS, dengan
syarat tidak terdapat kontra indikasi. Berlawanan terhadap kebijakan
tersebut, terdapat kenaikan insiden dari hipotensi dan gagal ginjal
pada mereka yang menerima ACE inhibitor pada tahap akut, dan
sedikit keuntungan pada mereka dengan resiko relatif rendah, seperti
halnya pasien dengan infark inferior yang kecil.
Lipid-Lowering Agents
Scandinavian Simvastatin Survival Study (4S) melaporkan keuntungan
akan penurunan lemak pada suatu populasi 4.444 pasien angina
dan/atau pascainfark dengan kolesterol serum 5,5 – 6,0 mmol/l (212
– 308 mg/dl) setelah pelaksanaan diet dilakukan. Pasien tidak
dimasukkan ke dalam uji sampai 6 bulan setelah infark akut, dan
kelompok resiko relatif rendah diikutkan. Angka kematian
keseluruhan pada suatu median 5-4 tahun turun 30% (dari 12 – 8%).
Diperoleh 33 yang diselamatkan per 1.000 pasien yang diberi
perlakuan selama periode ini. Terdapat penurunan angka kematian
akibat penyakit koroner, dibanding pembedahan pintas koroner. Pasien
20
21
di atas usia 60 tahun tampak hasilnya sama dengan pasien yang lebih
muda. Wanita diuntungkan dalam hal kejadian koroner mayor, namun
pengurangan kematian yang bermakna secara statistik belum jelas; hal
ini mungkin karena jumlah yang relatif kecil dari wanita yang direkrut.
Lipid-lowering Agents seharusnya diberikan kepada pasien
dengan dislipidemia, namun masih terdapat kontroversi tentang
seberapa cepat penanganan harus dimulai setelah kejadian, dan apakah
kriteria untuk penanganan dapat diperluas kepada mereka dengan kadar
lipid yang lebih rendah (Monica, 1994).
1. Gagal jantung
Kegagalan ventrikel kiri selama fase akut dari infark miokard
dihubungkan dengan prognosis yang buruk jangka pendek dan panjang.
Gambaran klinis berupa sesak nafas, suara jantung ketiga (S 3 )dan
ronchi paru yang mulanya pada daerah basal namun dapat meluas ke
seluruh lapangan dari kedua paru. Namun demikian, kongesti paru
yang nyata dapat terjadi tanpa tanda-tanda yang jelas. Auskultasi
diulang pada daerah jantung dan paru dan dilakukan pada semua pasien
selama periode awal infark miokard, bersama-sama dengan pengamatan
tanda-tanda vital lainnya (Amstrong, 1972).
Pengawasan umum termasuk pemantauan aritmia, pemeriksaan
kelainan elektrolit, dan penegakan diagnosa dari keadaan yang terjadi
bersamaan seperti disfungsi katub atau kelainan paru. Kongesti
pulmonal dapat dinilai dengan menggunakan alat foto X-ray thorax
yang mudah dibawa. Echokardiografi berguna dalam menilai fungsi
ventrikel, dan menentukan kelainan, seperti regurgitasi mitral dan
defek septum ventrikel, yang menyebabkan fungsi jantung menurun.
Pada beberapa kasus, angiografi koroner mampu memberikan penilaian
tambahan program terapetik.
Dearajat kegagalan jantung dapat dikategorikan menurut
klasifikasi killip; kelas 1 : tidak ada ronchi atau S 3 ; kelas 2 : ronchi
pada kurang dari 50% lapangan paru atau adanya S 3 ; kelas 3 : ronchi
lebih dari 50% dari lapangan paru; kelas 4 : shock.
21
22
2. Syok Kardiogenik
Didefinisikan sebagai tekanan sistolik <90mmHg dan ada gejala
penurunan sirkulasi perifer yang ditandai dengan vasokonstriksi
perifer, output urine yang rendah (<20ml per jam) dan penurunan
kesadaran.
22
23
aritmia. Umumnya dihubungkan dengan kerusakan pada ventrikel kiri
tetapi dapat juga terjadi pada infark ventrikel kanan. Kelainan
ventrikel harus diperiksa dengan EKG dan hemodinamiknya diukur
dengan kateter balon. Pasien dengan syok kardiogenik dapat
menyebabkan asidosis. Koreksi asidosis merupakan hal yang penting
mengingat ketekolamin mempunyai efek pada medium asam.
23
24
kebutuhan. Prognosa post operasi yang jelek ditandai dengan syok
kardiogenik, lokasi posterior, disfungsi ventrikel kanan, umur, waktu
yang lama antara ruptur dan pembedahan.
Regugirtasi Mitral
Biasanya regugirtasi mitral pada kasus ini ringan dan refluknya
sementara. Bila terjadi regurgitasi akut diperlukan terapi agresif yaitu
pembedahan. Kematian akibat mitral regurgitasi diakibatkan
penyempitan arteri sirkumfleksa kiri dan kanan dengan keterlibatan
otot papilary posteromedial.
Syok kardiogenik dan oedem paru dengan regurgitasi mitral
yang berat membutuhkan operasi darurat. Angiografi koroner
dilakukan bila kondisi pasien memungkinkan. Pada gagal jantung
kongestif, kateterisasi primer dan reperfusi dengan trombolisis atau
PTCA dapat dilakukan. Penggantian katup merupakan pilihan prosedur
pada ruptur dan disfungsi otot papilary walaupun harus diseleksi.
Revaskularisasi dilakukan pada obstruksi pembuluh darah besar.
Aritmia Ventrikuler
Ritme ventrikuler yang ektopik sering terjadi pada hari pertama, dari
aritmia kompleks (kompleks multiform, waktu yang cepat, atau
fenomena R on T). Kelainan tersebut sebagai prediksi kejadian
fibrilasi ventrikuler masih dipertanyakan.
Takikardi ventrikuler
Durasi yang cepat dari takikardi ventrikuler dapat ditoleransi dan tidak
membutuhkan penanganan, tetapi dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan hipotensi dan gagal jantung. Lignocaine adalah obat
pilihan, tetapi beberapa obat lain juga cukup efektif. Dosis awal 1mg
per kg diberikan secara intravena, dan separuhnya diulang tiap 8-10
menit sampai maksimumnya 4mg. Hal ini dapat diteruskan dengan
pemberian infus intravena untuk mencegah rekurensi. Countershock
dibutuhkan bila ada takikardia ventrikuler yang menetap. Penting
untuk membedakan takikardi ventrikuler yang sementara dan yang
menetap. Penting untuk membedakan takikardi ventrikuler dengan
irama idioventrikuler yang dipercepat, biasanya tidak berbahaya dari
proses reperfusi dimana rate ventrikuler kurang dari 120 per menit.
Fibrilasi ventrikuler
24
25
Jika alat defibrilator tersedia, defibrilasi yang cepat sebaiknya
dilakukan. Jika tidak ada, pukulan prekordial bermanfaat untuk
dilakukan. Rekomendasi dari European Resuscitation Council harus
diikuti.
Aritmia Supraventrikuler
Merupakan komplikasi dari 15-20% kasus infark miokard dan sering
dihubungkan dengan kerusakan ventrikel kiri yang berat dan gagal
jantung. Biasanya bersifat self limited. Biasanya berlangsung beberapa
menit sampai beberapa jam dan berulang. Pada beberapa kasus tidak
memerlukan penanganan jika berlangsung dengan singkat. Digoksin
merupakan obat yang efektif dalam memperlambat, tetapi amiodarone
lebih manjur dalam menghentikan aritmia. Countershock mungkin
diperlukan tetapi hanya jika terjadi rekurensi yang tinggi. Takikardi
supraventrikuler yang lain sangat jarang terjadi dan biasanya self
limited. Pada umumnya berespon terdapap tekanan sinus karotikus, -
blocker, lebih efektif jika tidak ada kontra indikasi, verapamil tidak
dianjurkan. Countershock juga mungkin digunakan jika aritmia tidak
dapat ditoleransi.
25
26
IV. PENUTUP
1. Pasien
Pasien dengan kecurigaan adanya serangan jantung harus mendapatkan
diagnosis yang cepat, penyembuhan nyerinya, resusitasi dan terapi
reperfusi jika diperlukan. Pasien dengan kecurigaan atau telah
didiagnosis infark miokard harus dirawat oleh staf yang terlatih dan
berpengalaman di unit jantung yang modern. Mereka sebaiknya
mempunyai akses untuk mendapat metode diagnosis yang modern dan
perawatan, baik itu di tempat perawatan awal atau di tempat yang lebih
khusus. Mereka harus mendapat informasi yang cukup setelah pulang,
rehabilitasi, dan pencegahan sekunder. Dia dan rekannya yang terkait
harus tahu, mengenali dan bereaksi bila ada serangan jantung lagi.
26
27
3. Dokter Umum
Mengingat dokter umum merupakan titik pertama dalam kontak
terhadap penderita yang dicurigai mengalami infark miokard, mereka
harus bisa bertindak dengan cepat atau membuat persiapan untuk
melakukan defibrilasi dan trombolisis secara efektif. Mereka
sebaiknya terlibat dalam program lokal penanganan kedaruratan
jantung. Mereka harus melihat segera setelah pasien pulang dari rumah
sakit, untuk meyakinkan bahwa rehabilitasi diatur dengan baik dan
mengamati pelaksanaan pencegahan sekunder yang baik.
4. Pemegang kebijaksanaan
Mereka harus mendorong pelatihan masyarakat untuk RKP dasar dan
personel ambulans dalam BLS dan ALS. Mereka harus mengatur suatu
sistem yang optimal untuk perawatan pasien yang mengalami henti
jantung dan infark miokard, dengan mengkoordinasikan aktivitas
pelayanan ambulans, dokter umum, dan pelayanan rumah sakit. Mereka
juga sebaiknya memastikan bahwa unit gawat darurat mempunyai
protokol yang baik untuk penanganan pasien yang dicurigai mengalami
infark miokard serta tenaga terlatih yang tersedia setiap saat. Dan
sebaiknya disediakan tempat tidur yang sesuai untuk perawatan infark
miokard. Dokter yang terlatih mengenai kardiologi harus selalu ada.
Dan harus diselenggarakan rehabilitasi pasien sepulang dari rumah
sakit setelah infark miokard. Harus dipastikan bahwa tersedia fasilitas
di rumah sakit mereka atau daerah untuk managemen lebih lanjut dan
penanganan komplikasi infark miokard, atau bila tidak ada, harus
diatur hubungan dengan pusat kesehatan yang lain.
27
28
V. DAFTAR PUSTAKA
28
29
15. Topol EJ, George BS. Kereiakes DJ et al. And the TAMI Study
Group. A randomized controlled trial of intravenous tissue
plasminogen activator and early intravenous heparin in acute
myocardial infarction. Circulation 1989; 79: 281-6
16. Gibbons RJ, Holmes DR, Reeder GS, Bayley KR, Hopfenspirger
MR, Gersh BJ. Immediate angioplasty compared with the
administration of a thrombolytic agent followed by conservative
treatment for myocardial infarction. N Engl J Med 1993; 328:
685-91
17. Zijlstra F. de Boer MJ. Hoorntje JCA. Reiffers S. Reiber JHC.
Suryapranata H. A comparison of immediate coronary angioplasty
with intravenous streptokinase in acute myocardial infarction. N
Engl J Med 1993; 328: 680-4
18. TIMI Research Group. Immediatevs delayed catheterization and
angioplasty following thrombolytic therapy. Am J Med 1987; 317:
581-8
19. Lindsay HSJ, Zaman AG, Cowan JC. ACE inhibitor after
myocardial infarction: patient selection or treatment for all? Br
Heart J 1995; 73: 397-400
20. Walsh JT, Gray D, Keating NA, Cowley AJ hampton JR. ACE for
whom? Implications for clinical practice of post infarct trials. Br
Heart J 1995; 73: 470-4
21. Woods KL, Flectcher S, Roffe C, Haider Y. Intravenous
magnesium sulphate in suspected acute myocardial infarction: the
second Leicester intravenous magnesium Intervention Trial
(LIMIT-2). Lancet 1992; 339: 1553-58
22. TIMI IIIB investigators. Effects of tissue plasminogen activator
and comparison of early invasive and conservative strategies in
unstable angina and non-Q wave myocardial infarction. Results of
the TIMI IIIB Trial. Circulation 1994; 89: 1545
23. The Beta-Blocker Pooling Research Group. The Beta-Blocker
Pooling Project (BBPP); subgroup findings from randomized trials
in post infarction patients. Eur Heart J 1988; 9: 8-16
24. The TIMI Study Group. Comparison of invasive and conservative
strategies after treatment with aintavenous tissue plasminogen
activator in acute myocardial infarction: results of the
Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) Phase II trial. N
Engl J Med 1989; 320: 618-27.
29