Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hipertensi atau tekanan darah tinggi diderita oleh hampir semua
golongan masyarakat di seluruh dunia. Jumlah mereka yang menderita
hipertensi terus bertambah terdapat sekitar 50 juta (21,7%) orang
dewasa Amerika yang menderita hipertensi, Thailand 17%, Vietnam
34,6%, Singapura 24,9%, Malaysia 29,9%. Di Indonesia, prevalensi
hipertensi berkisar 6-15% (InaSH, 2013).
Menurut perkiraan, sekitar 30% penduduk dunia tidak terdiagnosa
adanya hipertensi (underdiagnosed condition). Hal ini disebabkan tidak
adanya gejala atau dengan gejala ringan bagi mereka yang menderita
hipertensi. Sedangkan, hipertensi ini sudah dipastikan dapat merusak
organ tubuh, seperti jantung (70% penderita hipertensi akan merusak
jantung), ginjal, otak, mata serta organ tubuh lainnya. Sehingga,
hipertensi disebut sebagai silent killer (InaSH, 2013).
Penderita hipertensi yang tidak terkontrol sewaktu - waktu bisa jatuh
kedalam keadaan gawat darurat. Diperkirakan sekitar 1-8% penderita
hipertensi berlanjut menjadi “Krisis Hipertensi”, dan banyak terjadi pada
usia sekitar 30-70 tahun. Tetapi krisis hipertensi jarang ditemukan pada
penderita dengan tekanan darah normal tanpa penyebab sebelumnya.
Pengobatan yang baik dan teratur dapat mencegah insiden krisis
hipertensi menjadi kurang dari 1 %.
JNC membagi krisis hipertensi berdasarkan ada atau tidaknya
kerusakan organ sasaran yang progresif, yaitu hipertensi emergensi dan
hipertensi urgensi. Kerusakan organ yang dimaksud antara lain
ensefalopati hipertensi, infark miokard akut, gagal jantung kiri disertai
edema paru, diseksi aneurisma aorta, dan eklamsia. Tujuan utama pada
penangangan krisis hipertensi adalah menurunkan tekanan darah.
Upaya penurunan tekanan darah pada kasus hipertensi emergensi

1
harus dilakukan segera (<1 jam) sedangkan kasus hipertensi urgensi
dapat dilakukan dalam kurun waktu beberapa jam hingga hari.
Penanganan pertama yang dilakukan pada hipertensi emergensi ialah
memberikan obat antihipertensi kerja cepat secara intravena,
sedangkan pada hipertensi urgensi cukup dengan pemberian obat
antihipertensi secara oral. Selain itu, pasien dengan hipertensi
emergensi sebaiknya dirawat di ICU (Intensive Care Unit) demi
pemantauan secara ketat atas pemberian obat antihipertensi intravena.
Oleh karena itu, prinsip penatalaksanaan krisis hipertensi sangat
penting untuk diketahui mengingat semakin tingginya angka morbiditas
serta mortalitas pada pasien-pasien hipertensi yang tidak ditangani
dengan baik.

B. Rumusan Masalah
Apa konsep asuhan keperawatan dari pasien yang menderita krisis
hipertensi?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui konsep pemberian asuhan keperawatan pada
pasien yang menderita krisis hipertensi.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui dasar-dasar konsep medis dari krisis
hipertensi.
b. Untuk mengetahui masalah keperawatan yang mungkin muncul
pada pasien dengan krisis hipertensi.
c. Untuk mengetahui tindakan yang dapat dilakukan dalam
menghadapi kasus krisis hipertensi.

2
BAB II
KONSEP MEDIS

A. Definisi
Krisis hipertensi atau hipertensi darurat adalah suatu kondisi
dimana diperlukan penurunan tekanan darah dengan segera (tidak
selalu diturunkan dalam batas normal), untuk mencegah atau
membatasi kerusakan organ. (Mansjoer:522). Kedaruratan hipertensi
terjadi pada penderita dengan hipertensi yang tidak terkontrol atau
mereka yang tiba-tiba menghentikan penobatan. (Brunner &
Suddarth:908).
Krisis hipertensi adalah suatu keadaan klinis di mana tekanan darah
menjadi sangat tinggi dengan kemungkinan adanya kerusakan organ
seperti otak (stroke), ginjal, dan jantung. Krisis hipertensi sangat sering
terjadi pada pasien hipertensi lama yang tidak rutin atau lalai meminum
obat anti hipertensinya.
Penanganan antara kasus hipertensi emergensi dan urgensi jelas
berbeda, dan sangat mempengaruhi tatalaksana pasien ke depan, seperti
apakah pasien perlu masuk ICU, atau kah dapat langsung dipulangkan dengan
terapi anti hipertensi oral. Pemahaman akan perbedaan dari keduanya sangat
diperlukan guna menghindari kesalahan dalam penatalaksanaan kasus krisis
hipertensi dalam praktek klinis sehari-hari.
Penanganan krisis hipertensi berfokus pada penurunan tekanan darah
(tidak harus mencapai batas tekanan darah normal) untuk mencegah atau
membatasi terjadinya kerusakan organ target lebih lanjut. Sebagai contoh
kerusakan organ yang dimaksud adalah terjadinya hipertensif ensefalopati,
perdarahan intrakranial, stroke iskemik akut, miokardial infark akut, gagal
jantung kiri dengan edema pulmonal, unstable angina pectoris, diseksi
aneurisma aorta, gagal ginjal akut, dan eklampsia
B. Etiologi
Etiologi dari krisis hipertensi dipengaruhi oleh banyak hal. Beberapa
penyebab dari krisis hipertensi adalah

3
1. Pengobatan tidak terkontrol
2. Kelainan pada parenkim ginjal
3. Kelainan vaskuler ginjal
4. Efek konsumsi obat tertentu
5. Kelainan kolagen pada vaskuler
6. Penyakit cushing
7. Feokromositoma
8. Pre-eklampsia dan eklampsia
9. Kondisi paska operasi
Ada pula beberapa jenis obat yang dapat menimbulkan kejadian
krisis hipertensi pada pasien baik dengan normotensi maupun yang
sudah memiliki hipertensi antara lain kontrasepsi oral, kokain,
phencyclidine, penghambat MAO dengan tiramin, linezoid, NSAID, dan
amfetamin.

C. Manifestasi Klinis
1. Bidang neurologi
Sakit kepala, hilang/kabur penglihatan, kejang, defisit neurologi
fokal, dan gangguan kesadaran (somnolen, sopor, coma).
2. Bidang mata
Funduskopi perubahan retina, eksudat retina, dan edema papil.
3. Bidang kardiovaskuler
Nyeri dada, edema paru.
4. Bidang ginjal
Azotemia, proteinuria, dan oliguria.
5. Bidang obstetri
Pre-eklampsia dengan gejala berupa gangguan penglihatan, sakit
kepala hebat, kejang, nyeri abdomen kuadran atas, gagal jantung
kongestif, oliguria, serta gangguan kesadaran/gangguan
serebrovaskuler.

4
D. Patofisiologi
Secara akut, krisis hipertensi dapat dipicu oleh beberapa faktor yaitu
seperti kelainan hormonal tertentu, misalnya krisis tiroid, krisis
feokromositoma, kehamilan dengan preeklamsia/eklamsia,
penyalahgunaan obat-obatan tertentu seperti kokain dan amfetamin,
luka bakar, trauma kepala, glomerulonefritis akut, pembedahan, dan
lain-lain akan memicu terjadinya peningkatan resistensi vaskuler
sistemik yang selanjutnya bisa berdampak terjadinya kerusakan organ
target melalui dua jalur, yaitu peningkatan tekanan darah yang demikian
akan menimbulkan kerusakan sel-sel endotel pembuluh darah yang
akan diikuti dengan pengendapan sel-sel platelet dan fibrin sehingga
menyebabkan terjadinya nekrosis fibrinoid dan proliferasi intimal. Di sisi
lain, terjadi peningkatan sekresi zat-zat vasokontriktor seperti rennin-
angiotension dan katekolamin, sebagai mekanisme kompensasi yang
semakin mempertinggi peningkatan tekanan darah sehingga terjadi pula
natriuresis spontan yang mengakibatkan penurunan volume
intravaskuler. Kedua jalur mekanisme tersebut akan mengakibatkan
peningkatan tekanan darah yang semakin tinggi sehingga menimbulkan
iskemia jaringan dan pada akhirnya menyebabkan disfungsi organ.
(Kitiyakara & Guzman, 1998)

5
E. Pathway/WOC

(Sumber: Kitiyakara & Guzman, 1998)

6
F. Komplikasi
Menurut Alwi (2016), komplikasi yang dapat timbul pada penderita krisis
hipertensi adalah
1. Iskemia atau infark miokard
Iskemia atau infark miokard merupakan komplikasi yang sering
terjadi pada hipertensi berat. Tekanan darah harus diturunkan
sampai nyeri dada berkurang atau sampai tekanan diastolik
mencapai 100 mmHg.
2. Gagal jantung kongestif
Peningkatan resistensi vaskuler sistemik yang mencolok dapat
menimbulkan gagal jantung kiri. Natrium nitroprusid yang diberikan
bersama-sama dengan oksigen, morfin, dan obat pilihan lain dapat
menurunkan preload dan afterload.
3. Diseksi aorta akut
Diseksi aorta harus dipikirkan pada pasien dengan peinggian
tekanan darah yang mencolok yang disertai dengan nyeri di dada,
punggung, dan perut. Untuk menghentikan perluasan diseksi,
tekanan darah harus segera diturunkan. Tekanan darah diastolik
harus segera diturunkan sampai 100 mmHg, atau lebih rendah asal
tidak menimbulkan hipoperfusi organ target.
4. Insufisiensi ginjal
Pada pasien cangkok ginjal peninggian tekanan darah dapat
disebabkan stenosis arteri pada ginjal cangkok, siklosporin,
kortikosteroid, dan sekresi renin yang tinggi oleh ginjal asli.
5. Krisis katekolamin
Krisis katekolamin terjadi pada feokromositoma dan kelebihan dosis
kokain. Pada intoksikasi obat tersebut biasanya disertai kejang,
stroke, dan infark miokard.

7
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan tekanan darah: sistolik > 180 mmHg dan diastolik > 120
mmHg.
2. Funduskopi: spasme arteri segmental atau difus, edema retina,
perdarahan retina, eksudat retina, papil edema, dan vena
membesar.
3. Pemeriksaan neurologis: sakit kepala, bingung, kehilangan
penglihatan, defisit fokal neurologis, kejang, dan koma.
4. Status kardiopulmoner
5. Pemeriksaan cairan tubuh: oliguria pada gagal ginjal akut.
6. Pemeriksaan denyut nadi perifer
7. Pemeriksaan darah: hematocrit dan apusan darah
8. Urinalisis: proteinuria, eritrosit pada urin
9. Kimia darah: peningkatan kreatinin, azotemia (ureum > 200 mg/dl),
glukosa, dan elektrolit.
10. Pemeriksaan EKG: adanya iskemia, hipertropi ventrikel kiri
11. Foto thorax dilakukan jika terdapat kecurigaan gagal jantung atau
diseksi aorta.
(Tanto, 2014).

H. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis
Tujuan pengobatan adalah untuk menurunkan resistensi
vaskuler sistemik. Pada kegawatan hipertensi tekanan darah arteri
rata-rata diturunkan secara cepat, sekitar 25% dibandingkan dengan
tekanan darah sebelumnya, dalam beberapa menit atau jam.
Penurunan tekanan darah selanjutnya dilakukan secara lebih
perlahan. Sebaiknya penurunan tekanan darah secara cepat
tersebut dicapai dalam 1-4 jam, dilanjutkan dengan penurunan
tekanan darah dalam 24 jam berikutnya secara lebih perlahan
sehingga tercapai tekanan darah diastolik sekitar 100 mmHg.

8
Seperti sudah disebutkan di atas, pada kegawatan hipertensi
diberikan obat anti-hipertensi parenteral yang memerlukan titrasi
secara hati-hati sesuai dengan respons klinik. Setelah penurunan
tekanan darah secara cepat tercapai dengan pemberian obat anti-
hipertensi parenteral, dimulai pemberian obat anti-hipertensi oral.
Jika tekanan darah makin menurun dengan penambahan obat anti-
hipertensi oral tersebut, dilakukan titrasi penurunan dosis obat anti-
hipertensi parenteral sampai dihentikan. Pengukuran tekanan darah
yang berkesinambungan dapat dilakukan dengan menggunakan alat
monitor tekanan darah osilometrik otomatis.
Sebaiknya tekanan darah tidak diturunkan sampai normal atau
hipotensi, kecuali pada kasus diseksi aorta, karena akan
mengakibatkan terjadinya hipoperfusi organ target. Penurnan
tekanan darah sampai normal dapat dilaksanakan pada saat pasien
berobat jalan.
Obat parenteral yang digunakan pada terapi krisis hipertensi adalah:
a. Natrium nitropusida
b. Nikardipin hidroklorida
c. Nitrogliserin
d. Enaraplirat
e. Hidralazin hidroklorida
f. Diazoksid
g. Labetalol hidroklorida
h. Fentolamin.
(Devicaesaria, 2014)
2. Penatalaksanaan keperawatan
Bila diagnosis krisis hipertensi telah ditegakkan maka tekanan darah
perlu segera diturunkan. Langkah-langkah yang perlu diambil
adalah: rawat di ICU, pasang femoral intra arterial line dan
pulmonary arterial catheter bila ada indikasi untuk menentukan

9
fungsi kardiopulmonal dan status volume intravaskuler. Anamnese
singkat dan pemeriksaan fisik. (Devicaesaria, 2014)

10
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas
a. Pasien, meliputi: nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan,
agama, bangsa.
b. Penanggung jawab: nama, umur, jenis kelamin, alamat,
pendidikan, agama, bangsa dan hubungan dengan pasien.
2. Pengkajian primer
a. Airway
Kaji mengenai bersihan jalan napas, ada/tidaknya jalan napas,
dan distress pernapasan. Perhatikan tanda-tanda perdarahan di
jalan napas, sumbatan oleh muntah, dan edema laring.
b. Breathing
Kaji saturasi oksigen, frekuensi pernapasan, usaha dan
pergerakan dinding dada, suara napas melalui hidung atau mulut,
dan udara yang dikeluarkan dari jalan napas. Dengarkan adanya
bunyi krekles/mengi yang mengindikasikan kongesti paru.
Lakukan pemeriksaan darah arteri untuk mengkaji PaO 2 dan
PaCO2
c. Circulation
Kaji denyut nadi dan ritme – kemungkinan terdengar suara
gallop, kaji peningkatan JVP, tekanan darah, warna serta
kelembaban kulit, dan apakah ada tanda-tanda perdarahan baik
internal maupun eksternal. Pemeriksaan EKG mungkin
menunjukkan sinus takikardia, adanya suara jelas pada S4 dan
S3, right bundle branch block, dan right axis deviation.

11
d. Disability
Kaji tingkat kesadaran menggunakan teknik AVPU, Gerakan
ekstremitas, GCS, ukuran pupil, dan respon pupil terhadap
cahaya.
e. Exposure
Kaji Tanda-tanda trauma yang ada. Jika pasien stabil lakukan
pemeriksaan riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik.
3. Dasar data pengkajian
a. Aktivitas/istirahat
Terdapat kelemahan, keletihan, napas pendek-pendek, dan gaya
hidup cenderung monoton. Hal-hal tersebut ditandai dengan
frekuensi jantung meningkat, terdapat perubahan irama jantung,
dan takipnea.
b. Sirkulasi
Memiliki riwayat hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung
koroner, dan penyakit serebrovaskuler. Hal tersebut ditandai
dengan adanya kenaikan tekanan darah, hipotensi postural,
takikardia, perubahan warna kulit dan suhu tubuh rendah.
c. Integritas Ego
Memiliki riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi,
euphoria, dan terdapat multiple stress factors. Hal tersebut
ditandai dengan adanya letupan suasana hati, gelisah,
pernapasan menghela, penyempitan perhatian, tiba-tiba
menangis, otot wajah tegang, dan peningkatan pola berbicara.
d. Eliminasi
Memiliki riwayat gangguan ginjal.
e. Makanan/Cairan
Pola makannya suka mengkonsumsi makanan yang tinggi
natrium/garam, lemak, dan kolestrol. Hal ini ditandai dengan BB
normal atau obesitas, dan adanya edema.

12
f. Neurosensori
Mengeluh pusing/pening, sakit kepala, kepala berdenyut,
mengalami gangguan pengelihatan dan terjadi epistaksis. Hal ini
ditandai dengan terjadinya perubahan orientasi, penurunan
kekuatan genggaman, dan perubahan retinal optic.
g. Nyeri/ketidaknyamanan
Terasa nyeri yang hilang timbul pada daerah tungkai, sakit kepala
oksipital berat, dan nyeri pada area abdomen.
h. Pernapasan
Dyspnea yang berkaitan dengan aktivitas, takipnea, ortopnea,
dyspnea nocturnal proximal, batuk dengan/tanpa sputum, dan
pernah merokok. Hal ini ditandai dengan distress respirasi atau
penggunaan otot aksesoris pernapasan, adanya bunyi napas
tambahan, dan sianosis,
i. Keamanan
Mengalami gangguan koordinasi dan cara jalan. Hal ini ditandai
dengan terjadinya episode paresthesia unilateral transien, dan
hipotensi postura.
j. Pembelajaran/penyuluhan
Biasanya ada riwayat hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung,
dan diabetes melitus, dan penyakit ginjal dalam keluarga. Hal ini
faktor risiko lain yang dapat menyebabkan krisis hipertensi
adalah penggunaan pil KB atau hormon.

B. Masalah Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan pembuluh
darah serebral.
2. Risiko penurunan output jantung berhubungan dengan peningkatan
resistensi pembuluh, vasokontriksi, iskemia miokardial, dan hipertrofi
ventrikel.

13
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
hipertensi parah yang dapat menyebabkan kerusakan organ
4. Intolerensi aktivitas berubungan dengan kelemahan umum, gaya
hidup sedentary, ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai
oksigen.
5. Ketidakefektifan koping berhubungan dengan krisis situasional:
perubahan hidup, ketidakadekuatan relaksasi, ketidakadekuatan
sistem pendukung, nutrisi yang buruk, ekspektasi yang tidak
tercapai, dan ketidakefektifan metode koping.
6. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pengetahuan,
salah informasi, hambatan kognitif, dan penolakan terhadap
diagnosis.

14
C. Rencana Intervensi
NO DIAGNOSIS NOC NIC
KEPERAWATAN
1 Nyeri akut berhubungan Kontrol nyeri 1.1 Observasi adanya petunjuk nonverbal
dengan peningkatan Skala 1 (Tidak pernah mengenai ketidaknyamanan terutama pada
tekanan pembuluh darah menunjukkan), skala 2 (Jarang mereka yang tidak dapat berkomunikasi
serebral menunjukkan), skala 3 (Kadang- secara efektif
kadang menunjukkan), skala 4 1.2 Lakukan pengkajian nyeri komprehensif
(Sering menunjukkan), skala 5 yang meliputi lokasi, karakteristik,
(Secara konsisten menunjukkan) onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
1. Menggunakan tindakan atau beratnya nyeri dan factor pencetus
pencegahan 1.3 Berikan informasi mengenai nyeri seperti
2. Menggunakan tindakan penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
pengurangan nyeri tanpa dirasakan dan antisipasi dari
analgesic ketidaknyamanan akibat prosedur
3. Menggunakan analgesik 1.4 Pilih dan implementasikan tindakan yang
yang direkomendasiakan beragam (Misalnya farmakologi, non
4. Melaporkan nyeri yang farmakologi, interpersonal) untuk
terkontrol memfasilitasi penurunan nyeri sesuai
dengan kebutuhan
1.5 Kolaborasi dengan pasien, orang terdekat
dan tim kesehatan lainnya untuk memilih
dan mengimplementasikan tindakan

15
penurunan nyeri nonfarmakologi sesuai
kebutuhan
2 Risiko penurunan output 2.1 Tinjau pasien yang beresiko serta individu
jantung berhubungan degan kondisi yang dapat membuat stress
dengan peningkatan jantung
2.2 Periksa data laboratorium (Penanda jantung,
resistensi pembuluh,
jumlah sel darah lengkap, elektrolit, ABG,
vasokontriksi, iskemia nitrogen urea darah dan kreatinin, enzim
miokardial, dan hipertrofi jantung dan kultur seperti darah)
ventrikel 2.3 Pantau tekanan darah
2.4 Auskultasi bunyi jantung dan suara napas
2.5 Pantau respon terhadap obat-obatan untuk
mengendalikan tekanan darah
2.6 Terapkan diet sodium, lemak, dan
pembatasan kolesterol

3 Ketidakefektifan perfusi Keparahan hipertensi Perawatan gawat darurat


jaringan perifer Skala 1 (Berat), skala 2 (Besar), 3.1 Pantau tingkat kesadaran
berhubungan dengan skala 3 (Sedang), skala 4 (Ringan) 3.2 Pantau tanda-tanda vital
hipertensi parah yang dan skala 5 (Tidak ada) 3.3 Pantau adanya tanda dan gejala
dapat menyebabkan 1. Mimisan hipoglikemia (Misalnya takikardi, pusing,
kerusakan organ 2. Denyut jantung tidak teratur penglihatan kabur)
3. Pandangan kabur 3.4 Periksa tanda-tanda dan gejala status
4. Pusing hemodinamik terancam (Misalnya trauma
5. Peningkatan tekanan darah arteri atau pecah)

16
3.5 Mulai tindakan-tindakan untuk manajemen
syok (Misalnya posisi untuk perfusi optimal)
3.6 Berikan obat sesuai kebutuhan

4 Intoleransi aktifitas Toleransi terhadap aktivitas 4.1 Identifikasi adanya sumber-sumber agensi
berhubungan dengan Skala 1 (Sangat terganggu), skala 2 untuk membantu menurunkan factor resiko
kelemahan umum, gaya (Banyak terganggu), skala 3 (Cukup 4.2 Instruksikan factor resiko dan rencana untuk
hidup sedentary, terganggu), skala 4 (Sedikit mengurangi factor resiko
ketidakseimbangan antara terganggu) dan skala 5 (Tidak 4.3 Diskusikan dan rencanakan aktivitas-
kebutuhan dan suplai terganggu) aktivitas pengurangan resiko
oksigen 1. Frekuensi nadi ketika 4.4 Implementasikan aktivitas-aktivitas
beraktivitas pengurangan resiko
2. Tekanan darah sistolik ketika 4.5 Kolaborasi dengan individu atau kelompok
beraktivitas
3. Tekanan darah diastolik
ketika beraktivitas
4. Saturasi oksigen ketika
beraktivitas
5 Ketidakefektifan koping Koping Peningkatan koping
berhubungan dengan Skala 1 (Tidak pernah 5.1 Kenali latar belakang budaya/spiritual pasien
krisis situational: menunjukkan), skala 2 (Jarang 5.2 Sediakan informasi actual mengenai
Perubahan hidup, menunjukkan), skala 3 (Kadang- diagnosis, penanganan dan prognosis
ketidakadekuatan kadang menunjukkan), skala 4 5.3 Bantu pasien untuk mengidentifikasi strategi-
relaksasi, strategi positif untuk mengatasi keterbatasan

17
ketidakadekuatan system (Sering menunjukkan),skala 5 dan mengelola kebutuhan gaya hidup
pendukung, nutrisi yang (Secara konsisten menunjukkan) maupun perubahan peran
buruk, ekspetasi yang 1. Mengidentifikasi pola koping 5.4 Dukung pasien untuk mengidentifikasi
tidak tercapai, dan yang efektif kekuatan dan kemampuan diri
ketidakefektifan metode 2. Mengidentifikasi pola koping 5.5 Dukung pasien untuk mengidentifikasi
koping yang tidak efektif deskripsi yang realistic terhadap adanya
3. Adaptasi perubahan hidup perubahan peran
4. Menggunakan sistim 5.6 Dukung kemampuan mengatasi situasi
pendukung 5.7 Dukung keterlibatan keluarga dengan cara
5. Mengidentifikasi beberapa yang tepat
strategi koping
6. Menggunakan strategi
koping yang efektif
6 Defisit pengetahuan Pengetahuan : Manajemen Pengajaran : Proses penyakit
berhubungan dengan Hipertensi 6.1 Kaji tingkat pengetahuan pasien terkait
kurangnya pengetahuan, Skala 1 (Tidak ada pengetahuan), dengan proses penyakit yang spesifik
salah informasi, hambatan skala 2 (Pengetahuan terbatas), 6.2 Identifikasi kemungkinan penyebab
kognitif dan penolakan skala 3 (Pengetahuan sedang), 6.3 Jelaskan tanda dan gejala umum dari
terhadap diagnosis skala 4 (Pengetahuan banyak), penyakit hipertensi
skala 5 (Pengetahuan sangat 6.4 Jelaskan patofisiologi penyakit dan
banyak) bagaimana hubungannya dengan anatomi
5. Target tekanan darah dan fisiologi
6. Komplikasi potensial 6.5 Berikan informasi pada pasien mengenai
hipertensi kondisinya

18
7. Manfaat modifikasi gaya 6.6 Diskusikan perubahan gaya hidup yang
hidup mungkin diperlukan untuk mencegah
8. Diet yang dianjurkan komplikasi di masa yang akan datang
9. Strategi untuk membatasi dan/atau mengontrol penyakit
intake sodium 6.7 Edukasi pasien mengenai tindakan untuk
10. Manfaat olahraga teratur mengontrol/meminimalkan gejala
6.8 Perkuat informasi yang diberikan dengan
anggota tim kesehatan lain
(Sumber: Moorhead, et. al., 2016; Bulcheck et. al., 2016)

19
D. Evaluasi
Hal-hal yang penting untuk dievaluasi pada pasien yang menderita krisis
hipertensi antara lain
1. Kaji dan monitor tekanan darah menggunakan alat ukur yang akurat
2. Evaluasi mengenai tingkat stress
3. Kontrol nyeri
4. Pengetahuan pasien terkait proses penyakit, regimen terapi, dan
perubahan diet.
Hal penting lain yang perlu terus dievaluasi adalah intake obat
melalui I.V. dan bagaimana respon pasien terhadap pengobatan yang
diberikan. Ketika kondisi pasien telah stabil, pengobatan yang diberikan
dapat dititrasi untuk terus menurunkan tekanan darah. Di hari kedua
perawatan, ketika tekanan darah menurun, pengobatan yang diberikan
melalui I.V. dapat diubah menjadi melalui oral.

20
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Krisis Hipertensi adalah suatu keadaan peningkatan tekanan darah
yang mendadak sistolik ≥ 180 mmHg dan/atau tekanan darah
diastolik ≥ 120 mmHg, pada penderita hipertensi, yang
membutuhkan penanggulangan segera.
2. Patofisiologi terjadinya krisis hipertensi masih belum begitu jelas,
namun demikian ada dua peran penting yang menjelaskan
patofisiologi tersebut, yaitu: peran langsung dari peningkatan
tekanan darah dan peran mediator endokrin dan parakrin.
3. Tujuan utama pada penangangan krisis hipertensi adalah
menurunkan tekanan darah. Upaya penurunan tekanan darah pada
kasus hipertensi emergensi harus dilakukan segera (<1 jam)
sedangkan kasus hipertensi urgensi dapat dilakukan dalam kurun
waktu beberapa jam hingga hari. Penanganan pertama yang
dilakukan pada hipertensi emergensi ialah memberikan obat
antihipertensi kerja cepat secara intravena, sedangkan pada
hipertensi urgensi cukup dengan pemberian obat antihipertensi
secara oral. Selain itu, pasien dengan hipertensi emergensi
sebaiknya dirawat di ICU (Intensive Care Unit) demi pemantauan
secara ketat atas pemberian obat antihipertensi intravena.

B. Saran
Kritik dan saran membangun sangat kelompok kami butuhkan untuk
perbaikan dari makalah ini. Jika ada kesalahan kata dan penulisan
kami memohon maaf dan mengucapkan terimakasih.

21
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, et. al. (2016). Krisis Hipertensi dalam Penatalaksanaan di Bidang Ilmu
Penyakit Dalam: Panduan Praktis Klinis. Jakarta: Internal Publishing.

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dotcherman, J. M. (2016). Nursing


Interventions Classification (NIC) 6th Indonesian Edition. Singapore:
Elsevier.

Chakraborty S. (2017). Hypertension Urgencies & Emergencies. Retrieved


from http://www/apiindia.org/pdf/medicine_update_2017/mu_139.pdf

Devicaesaria, A. (2014). Hipertensi Krisis. Leading Journal Medicinus. Vol


21;9-17

Dongoes, et. al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan & Pedoman Umum
Untuk Perencanaan dan Dokumentasi Perawatan Pasien. 3 rd edition.
Jakarta: EGC

Hopkins, C. (2018, February 6). Hypertensive Emergencies. Retrieved from


https://emedicine.medscape.com/article/1952025-overview

Joint National Committee. (2013). Evidence Based Guidelines for the


Management of High Blood Pressure in Adults: Report from the Panel
Members Appointed to the Eighth Joint National Committee. JAMA
2013. 10;284-427

Kitiyakara, C., & Guzman, N. J. (1998). Malignant Hypertension and


Hypertensive Emergencies. Journal of the American Society of
Nephrology.

Konsensus Hipertensi InaSH. 2013. Retrieved from


www.drivehq.com/folder/p10733490/11314349336.aspx

Loftus, Toni Ann. (2015). Responding to a Hypertensive Crisis. American


Nurse Today. Vol. 10 No. 1

22
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., Swanson, E. (2016). Nursing
Outcomes Classification (NOC) 5th Indonesian Edition. Singapore:
Elsevier

Nursing Care Plan for Hypertension. (2018, October 29). Retrieved from
https://www.nrsng.com/care-plan/hypertension

Tanto, C. (2014). Kapita Selekta Kedokteran: edisi 4 Jilid 1. Jakarta: Media


Aesculapius.

Varon J. Marik, P. E. (2003). Clinical Review: The Management of


Hypertensive Crisis. NCBI. 7(5);374-384

Vera, Matt. (2018, August 14). 6 Hypertension Nursing Plans. Retrieved


from https://nurselabs.com/6-hypertension-htn-nursing-care-plans/

Whelton, P. K. et al. (2017). Guideline for the Prevention, Detection,


Evaluation and Management of High Blood Pressure in Adults. JACC.
139-145

23

Anda mungkin juga menyukai