Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

GRAVIDA DENGAN GONORE

Pembimbing :

dr. Inu Mulyantoro, Sp. OG (K)

Disusun oleh :
Ahmad Izzudin Afif
01.209.5824

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2015

LAPORAN KASUS
3.1 Identitas

Nama

: Ny. T N H

Umur

: 24 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

No. CM

: 125.50.88

Status

: Menikah

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Pendidikan

: SMA

Nama Suami

: Tn. A

Umur

: 26 tahun

Tgl MRS

: 24/05/2015

3.2 Anamnesa
Keluhan Utama : Kenceng kenceng dan Keluar air dari jalan lahir
Penderita kiriman Puskesmas Banget Ayu dengan keluhan sakit perut hilang
timbul sejak pukul 06.00 dan keluar air dari jalan lahir sejak pukul 07.00,
keluar air tiba-tiba, berwarna jernih dan tidak berbau. Penderita juga
mengeluhkan bengkak pada kedua kakinya, dan penderita tidak ada riwayat
keluar darah dan lendir sebelumnya. Penderita tidak mengeluhkan pusing,
mual/ muntah (-), nyeri epigastrium (-), pandangan kabur (-), kejang(-) Pada
kehamilan sebelumnya menurut penderita, tekanan darahnya dalam batas
normal. Gerakan anak masih dirasakan. Hari pertama haid terakhir : penderita
lupa namun menurut pengakuan penderita umur
kehamilannya cukup 9 bulan.
Selama kehamilannya penderita memeriksa kehamilannya ke Puskesmas 4x,
terakhir tanggal 22 April 2015. Pemeriksaan USG belum pernah dilakukan.
Selama pemeriksaan kehamilan dikatakan keadaan janinnya sehat dan tekanan
darahnya dalam batas normal.

Riwayat Persalinan :

Kehamilan Pertama

Riwayat Perkawinan :

Penderita menikah 1 kali dan telah menikah 2 tahun

Riwayat Kontrasepsi:

Penderita mengakui belum pernah menggunakan


kontrasepsi

Riwayat Penyakit Terdahulu:


Penderita mengaku tidak memiliki riwayat penyakit yang kronis ataupun berat
seperti: Preeklampsi, DM, asma, hipertensi, kelainan jantung, penyakit paru, dan
penyakit berat lainnya.

3.3 Obyektif
3.3.1 Pemeriksaan Fisik
KU

: baik, CM

TB

: 146 cm

BB

: 61 kg

VS

: TD

K/L

: 170/110 mmHg

: 90x /menit

RR

: 20x /menit

: 37.200 C

: Dbn

Mata : anemis -/-, ikterus -/Thorax : Cor : S1 S2 tunggal, Reguler, Mur (-), Gal (-)
Pulmo : Ves +/+, Rh -/-, Whez -/Abdomen : membesar sesuai status obstetri
Ekstremitas : edema (+)/+
Refleks patella : +/+

Status Obstetri
Abdomen :
Leopold I : teraba bagian lunak (bokong)
Leopold II : teraba bagian punggung di perut kanan (puka)
Leopold III : teraba bagian bulat, keras (kepala)
Leopold IV : letak kepala, masuk PAP 4/5
Tinggi Fundus Uteri (TFU): 35 cm, Taksiran Berat Janin (TBJ) : 3.720 gram
His: (positif) 2 x /10 menit selama 30 detik
Denyut Jantung Janin (DJJ) : 12.12.12 (144 x/menit)
Pemeriksaan Dalam Vagina
VT : Pembukaan () 2 cm, effacement 25 %, ketuban (-) jernih, teraba kepala
sutura sagitalis melintang, penurunan H I+, tidak teraba bagian kecil/tali pusat
janin.
3.3.2 Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium
Hb

: 12,6 g/dl

Hematokrit : 38,6%
Trombosit : 311000 u/l
Leukosit : 15.350 u/l
Ureum : 33,9
Creatinin : 1,02
GD

: 89

OT/PT : 19/7
Protein : Trace
3.4 Assessment
G1 P0 A0 gr 39 mgg + pre eklampsia berat

3.5 Planning
Planning Diagnosis: Planning Terapi:
Inj. SM full dose

SM 20% 4 g iv pelan

SM 40% 10 g im, glut dex/sin masing-masing 5 g

Lajut SM maintenance
MgSO4 40% 5 g dalam 500 cc RD5%/ 6 jam ~ jadwal, jika syarat
terpenuhi.
Resusitasi intra uterine:
Tidur miring ke lateral kiri
O2 3-4 l/m, nasal canul
Pasang kateter
Usul terminasi kehamilan dengan SC CITO
Persiapan operasi:
Daftar OK, SP, sedia darah
Inj ampicillin 1 g iv (skin test)
c/ anestesi
PMO: observasi VS, keluhan, his, DJJ, produksi urine, balance cairan / 6 jam,
reflex patella, tanda tanda impending eclampsi

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Preeklampsia

merupakan

komplikasi

kehamilan

yang

ditandai

dengan

peningkatan tekanan darah disertai proteinuria pada wanita hamil yang sebelumnya tidak
mengalami hipertensi (Wang, Y, et al, 2000). Biasanya sindroma ini muncul pada akhir
trimester kedua sampai ketiga kehamilan (Cunningham, et al, 2007). Gejalanya
berkurang atau menghilang setelah melahirkan sehingga terapi definitifnya mengakhiri
kehamilan (Roberts, et al, 1993).
Preeklampsia dapat berakibat buruk baik pada ibu maupun janin yang
dikandungnya. Komplikasi pada ibu berupa sindroma HELLP (Hemolysis, Elevated Liver
Enzyme, Low Platelet), edema paru, gangguan ginjal, perdarahan, solusio plasenta bahkan
kematian ibu. Komplikasi pada bayi dapat berupa kelahiran premature, gawat janin, berat
badan lahir rendah atau intra uterine fetal death (IUFD) (Isler, et al, 1999).
Angka kejadian preeklampsia berkisar antara 5 15% dari seluruh kehamilan di
seluruh dunia. Preeklampsia bersama dengan penyakit hipertensi kehamilan lainnya
merupakan merupakan salah satu dari tiga penyebab kematian dan kesakitan terbanyak
pada ibu hamil dan melahirkan di samping infeksi dan perdarahan (Chunningham, et al,
2007). Sampai saat ini etiologi preeklampsia belum diketahui secara pasti. Terdapat
beberapa hipotesis mengenai etiologi preeklampsia antara lain iskemik plasenta,
maladaptasi imun dan factor genetik. Akhir-akhir ini disfungsi endotel dianggap berperan
dalam patogenesis preeclampsia (Wibowo N, 2001).
Di Indonesia, preeklampsia dan eklampsia masih merupakan salah satu penyebab
utama mortalitas maternal dan perinatal. Sebagian besar mortalitas tersebut disebabkan
oleh keterlambatan diagnosis dan penanganan dini preeklampsia dan eklampsia, sehingga
pasien tidak sempat mendapat penanganan yang adekuat sebelum sampai ke rumah sakit
rujukan, atau sampai ke rumah sakit rujukan dalam kondisi yang sudah buruk. Belum
semua rumah sakit rujukan memiliki fasilitas perawatan intensif yang memadai untuk
menangani kasus eklampsia pada khususnya, sehingga pengetahuan mengenai pengenalan
faktor resiko untuk dapat mendeteksi secara dini preeklampsia sangat diperlukan agar
tidak terjadi keterlambatan penanganan pertama dan rujukan (Prasetyorini, 2009)

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan Klasifikasi Preeklampsia Berat
Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa berkurangnya
perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan hipertensi
yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria (Cunningham, et al,
2007). Hipertensi ialah tekanan darah 140/90 mmHg. Dengan catatan, pengukuran darah
sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam. Sedangkan proteinuria adalah adanya
300 mg protein dalam urin 24 jam atau sama dengan 1+ dipstick (Angsar, 2008).
Preeklampsia termasuk dalam kelompok penyakit hipertensi dalam kehamilan,
yakni hipertensi yang ditemukan pada masa kehamilan. Preeklampsia dapat berkembang
dari preeklampsia yang ringan sampai preeklampsia yang berat (George, 2007).
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik 160
mmHg dan tekanan darah diastolik 110 mmHg disertai proteinuria 5 g/ 24 jam atau
kualitatif 4+. Sedangkan pasien yang sebelumnya mengalami preeclampsia kemudian
disertai kejang dinamakan eklampsia (Angsar, 2008). Penggolongan preeclampsia
menjadi preeclampsia ringan dan preeclampsia berat dapat menyesatkan karena
preeclampsia ringan dalam waktu yang relative singkat dapat berkembang menjadi
preeclampsia berat (Cunningham, et al, 2007).
Preeklampsia berat dibagi menjadi:
a) Preeklampsia berat tanpa impending eclampsia
b) Preeklampsia berat dengan impending eclampsia.
Disebut impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif
berupa :

Muntah-muntah

Sakit kepala yang keras karena vasospasm atau oedema otak

Nyeri epigastrium karena regangan selaput hati oleh haemorrhagia atau oedema, atau
sakit karena perubahan pada lambung
Gangguan penglihatan: penglihatan menjadi kabur sampai terkadang buta. Hal ini

disebabkan karena vasospasm, oedema atau ablation retinae. Perubahan perubahan ini
dapat dilihat dengan ophtalmoskop (Angsar, 2008).

2.2 Faktor Resiko Preeklampsia Berat


Terdapat banyak faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan,
termasuk preeclampsia berat, yaitu:

Primigravida, primipaternitas

Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multiple, diabetes mellitus,


hidrops fetalis, bayi besar.

Umur yang ekstrim.

Riwayat keluarga pernah preeclampsia/ eklampsia.

Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil (Angsar,
2008)

Resiko preeclampsia meningkat dari 4.3 % pada ibu hamil dengan BMI kurang dari
19,8 kg/m2 hingga 13,3% pada ibu hamil dengan BMI lebih dari 35 kg/m2

Faktor lingkungan juga memiliki kontribusi. Sebuah penelitian melaporkan bahwa


ibu hamil yang tinggal di dataran tinggi Colorado memiliki insiden preeclampsia
yang tinggi.

Walaupun merokok selama hamil berkaitan dengan dampak negative pada kehamilan
secara umum, namun merokok berkaitan dengan menurunnya resiko hipertensi
kehamilan. Plasenta previa telah dilaporkan menurunkan resiko hipertensi dalam
kehamilan (Cunningham, et al, 2007).
2.3 Etiologi Preeklampsia Berat
Setiap teori mengenai etiologi dan patofisiologi preeclampsia harus dapat
menjelaskan alasan mengapa hipertensi pada kehamilan cenderung terjadi pada:
Wanita yang terpapar dengan villi korionik untuk pertama kali
Wanita yang terpapar oleh vili korionik dalam jumlah besar, seperti pada kehamilan
kembar atau kehamilan mola.
Wanita dengan predisposisi penyakit vaskuler sebelumnya.
Wanita dengan predisposisi genetic ada yang pernah menderita hipertensi selama
kehamilan.
Vili korionik yang dapat mencetuskan preeclampsia tidak harus berada di dalam
rahim. Sedangkan ada atau tidaknya janin bukanlah suatu syarat untuk terjadinya
preeklampsia. Namun demikian, terlepas dari etiologinya, kaskade peristiwa yang
mengarah ke sindrom preeklampsia ditandai dengan sejumlah kelainan yang

mengakibatkan kerusakan endotel vaskular dengan vasospasme, transudasi plasma, dan


sequelae iskemik dan trombotik. Menurut Sibai (2003), penyebab potensial saat ini
masuk akal adalah sebagai berikut:
1. Invasi trofoblas abnormal pada pembuluh darah rahim.
2. Intoleransi imunologi antara jaringan ibu dan fetoplacental.
3. Maladaptasi ibu terhadap perubahan kardiovaskular atau perubahan respon inflamasi
dari kehamilan normal.
4. Faktor defisiensi nutrisi.
5. Faktor genetic (Cunningham, et al, 2007).
2.3.1 Invasi trofoblas abnormal
Pada implantasi normal, arteri spiralis uterus mengalami remodelling
akibat invasi endovascular trophoblasts ke dalam lapisan otot arteri spiralis. Hal ini
menimbulkan degenerasi lapisan otot arteri spiralis sehingga terjadi dilatasi dan
distensi (Gambar 2.1). Pada preeclampsia, terjadi invasi trofoblas namun tidak
sempurna dan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis.
Dalam hal ini, hanya pembuluh darah desidua (bukan pembuluh darah
miometrium) yang dilapisi oleh endovaskuler trofoblas. Akibatnya, lapisan otot
arteri spiralis tetap kaku dan keras serta tidak memungkinkan untuk mengalami
distensi dan dilatasi. Ini menciptkan suatu keadaan di mana arteri spiralis
mengalami vasokonstriksi relative. Madzali dan rekannya (2000) menunjukkan
bahwa keparahan defek invasi trofoblas pada arteri spiralis berkaitan dengan
keparahan hipertensi (Cunningham, et al, 2007).

10

Gambar 2.1
Implantasi plasenta yang normal menunjukkan adanya proliferasi trofoblas extravili, membentuk
saluran di bawah villi yang melekat. Trofoblas extravillous menginvasi desidua dan masuk ke dalam
artei spiralis. Hal ini menyebabkan perubahan pada endotel dan dinding otot pembuluh darah sehingga
pembuluh darah melebar (Cunningham, et al, 2007)

Gambar 2.2
Prerbandingan remodelling arteri spiralis pada kehamilan normal dan preeclampsia. Tampak pada gambar
bahwa pada preeclampsia terjadi remodeling yang tidak sempurna sehingga arteri spiralis relative menjadi
lebih konstriksi.
(Cunningham, et al, 2007)

11

De wolf dan rekannya (1980) mengamati arteri-arteri yang diambil dari sisi
implantasi plasenta dengan menggunakan mikroskop electron. Mereka menemukan
bahwa perubahan preeklampsi pada tahap awal termasuk kerusakan endotel,
insudasi plasma ke dalam pembuluh darah, proliferasi sel-sel miointima, dan
nekrosis medial. Mereka menemukan adanya lipid yang trerakumulasi di dalam selsel miointima kemudian di dalam makrofag. Dalam gambar 2.3 tampak sel-sel lipid
bersama sel inflamasi lainnya di dalam pembuluh darah dinamakan atherosis.
Biasanya, pembuluh darah yang terkena atherosis akan berkembang menjadi
aneurisma dan seringkali berkaitan dengan arteriola spiralis yang gagal untuk
melakukan adaptasi. Obstruksi pada lumen arteriola spiralis oleh atherosis dapat
mengganggu aliran darah plasenta. Hal inilah yang membuat perfusi plasenta
menurun dan menyebabkan terjadinya sindrom preeklampsi (Cunningham, et al,
2007)

Gambar 2.3
Atherosis dalam pembuluh darah ini diambil dari anyaman plasenta (sebelah kiri, menunjukkan
gambaran fotomikrograf; sebelah kanan, menunjukkan diagram skematik dari pembuluh darah).
Kerusakan endotel menyebabkan penyempitan pada lumen pembuluh darah akibat akumulasi
protein plasma dan foamy makrofag di bawah endotel. Foamy makrofag ditunjukkan oleh anak
panah yang melengkung, sedangkan anak panah yang lurus menunjukkan kerusakan endotel.

2.3.3 Teori Radikal Bebas dan Disfungsi Sel Endotel


Disfungsi sel endotel yang berkaitan dengan preeclampsia disebabkan oleh
gangguan adaptasi intravaskuler ibu terhadap kehamilan sehingga memicu proses
inflamasi intravaskuler sistemik (Gambar 2.4). Dalam teori ini dinyatakan bahwa
preeclampsia timbul akibat adanya leukosit aktif dengan jumlah yang ekstrem
dalam sirkulasi ibu. Singkatnya, sitokin-sitokin seperti Tumor Necrosis Factor
(TNF) dan interleukin (IL) dapat memicu stres oksidatif yang berkaitan dengan
preeklampsia. Stres oksidatif ini ditandai oleh spesies oksigen reaktif dan radikal

12

bebas yang memicu terbentuknya peroksida lipid. Proses ini selanjutnya


menghasilkan radikal beracun yang merusak sel-sel endotel, mengacaukan produksi
nitrit oksida, dan mengganggu keseimbangan prostaglandin. Akibat lainnya adalah
terbentuknya sel makrofag yang mengandung lipid (sel foam) di dalam atherosis;
aktivasi proses koagulasi mikrovaskuler menyebabkan trombositopenia; dan
peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan terjadinya edema dan proteinuria
(Cunningham, 2007).
Penelitian tentang efek stress oksidatif pada preeclampsia ini menimbulkan
ketertarikan untuk memberikan antioksidan sebagai pencegahan preeclampsia.
Antioksidan merupakan kelompok senyawa yang berfungsi untuk mencegah
kerusakan akibat produksi radikal bebas yang berlebihan. Contoh antioksidan
antara lain, vitamin E atau tokoferol, vitamin C (asam askorbat), dan karoten
(Angsar, 2008).

Gambar 2.4
Patofisiologi hipertensi dalam kehamilan (Cunningham, et al, 2007)

13

2.3.4 Faktor Defisiensi Nutrisi


Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, termasuk
hati halibut, dapat mengurangi resiko preeclampsia. Minyak ikan mengandung
banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat produksi tromboksan,
menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah.
Beberapa peneliti telah mencoba melakukan uji klinik bahwa konsumsi minyak
ikan atau bahan yang mengandung asam lemak tak jenuh dapat digunakan untuk
mencegah preeclampsia (Angsar, 2008).
Studi lain menunjukkan bahwa pada populasi dengan diet kaya buahbuahan dan sayuran yang banyak mengandung aktioksidan berkaitan dengan
penurunan tekanan darah. Studi ini berkaitan dengan penelitian Zhang bahwa
resiko preeklampsi menjadi dua kali lipat pada wanita yang mengkonsumsi asam
askorbat kurang dari 85 mg. C-Reactive Protein (CRP) yang merupakan marker
inflamasi, juga meningkat pada obesitas. Hal ini selanjutnya juga berkaitan dengan
preeclampsia karena obesitas pada orang tidak hamil pun dapat menyebabkan
aktivasi endotel dan respon inflamasi sistemik akibat atherosklerosis (Cunningham,
et al, 2007).
2.3.5 Faktor genetik
Preeklampsia adalah gangguan multifaktorial poligenik. Dalam review
komprehensif mereka, Ward dan Lindheimer (2009) menyebutkan insiden risiko
preeklampsia adalah 20 sampai 40 persen untuk anak wanita ibu preeklampsia; 11
sampai 37 persen untuk saudara wanita preeklampsia dan 22-47 persen dalam studi
kembar.
Dalam sebuah studi oleh Nilsson dan rekan kerja (2004) yang mencakup
hampir 1.200.000 kelahiran di Swedia, mereka melaporkan komponen genetik
untuk hipertensi kehamilan serta preeklampsia. Mereka juga melaporkan
konkordansi 60 persen di monozigotik pasangan kembar wanita.
Kecenderungan ini kemungkinan besar turun temurun adalah hasil interaksi
dari ratusan gen pewaris-baik ibu dan ayah-yang mengontrol fungsi metabolik
enzimatik dan banyak sekali setiap seluruh sistem organ. Dengan demikian,
manifestasi klinis pada wanita diberikan dengan sindrom preeklampsia akan
menempati spektrum sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Dalam hal ini ekspresi,

14

fenotipik akan berbeda antara genotipe yang sama tergantung pada interaksi dengan
faktor lingkungan (Cunningham, et al, 2007).
2.4

Patogenesis Preeklampsia Berat

2.4.1 Vasospasme
Konsep vasospasme diajukan oleh Volhard (1918) berdasarkan pengamatan
langsung tentang pembuluh darah kecil di kuku, mata, dan conjunctivae bulbar. Ia
juga menduga dari perubahan histologis terlihat dalam berbagai organ yang terkena.
Penyempitan pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi dan
hipertensi berikutnya. Pada saat yang sama, kerusakan sel endotel menyebabkan
kebocoran yang interstisial melalui darah konstituen, termasuk platelet dan
fibrinogen, yang disimpan pada subendothelial.
Wang dan kolega (2002) juga menunjukkan gangguan protein endothel
junctional. Suzuki dan rekannya (2003) menjelaskan perubahan resistensi
ultrastruktural di wilayah subendothelial arteri pada wanita preeklampsia. Dengan
aliran darah yang berkurang karena maldistribusi, iskemia jaringan sekitarnya akan
menyebabkan nekrosis, perdarahan, dan lain organ akhir gangguan karakteristik
sindrom tersebut (Cunningham, et al, 2007).
2.4.2 Aktivasi sel endotel
Selama dua dekade terakhir, aktivasi sel endotel menjadi bintang dalam
pemahaman kontemporer dari patogenesis preeklampsia. Dalam skema ini, faktor
yang tidak diketahui - kemungkinan berasal dalam plasenta - juga dikeluarkan ke
sirkulasi ibu dan memprovokasi aktivasi dan disfungsi vaskular endotelium.
Sindrom klinis preeklampsia diperkirakan merupakan hasil dari perubahan sel
endotel yang luas.
Selain mikropartikel, Grundmann dan rekan (2008) telah melaporkan bahwa
sirkulasi sel endotel, secara signifikan meningkat empat kali lipat dalam darah
perifer wanita preeklampsia.
Endotelium utuh memiliki sifat antikoagulan, dan sel endotel menumpulkan
respon otot polos vaskular untuk agonis dengan melepaskan oksida nitrat. Sel
endotel yang rusak atau teraktivasi dapat memproduksi oksida nitrat dan
mengeluarkan zat yang mempromosikan koagulasi dan meningkatkan kepekaan
terhadap vasopressors (Cunningham, et al, 2007).

15

Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel
endotel akan terjadi:

Gangguan metabolism prostaglandin (vasodilator kuat)

Agregasi sel trombosit untuk menutup endotel yang mengalami kerusakan.


Agregasi

trombosit

ini

memproduksi

tromboksan

(TXA2),

suatu

vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal, kadar prostasklin lebih tinggi


daripada kadar tromboksan. Pada preeclampsia, terjadi sebaliknya sehingga
berakibat naiknya tekanan darah.

Peningkatan endotelin (vasopresor), penurunan oksida nitrit (vasodilator).

Peningkatan faktor koagulasi.


Bukti lebih lanjut dari aktivasi endotel termasuk perubahan karakteristik

morfologi endotel kapiler glomerulus, permeabilitas kapiler meningkat, dan


meningkatnya konsentrasi mediator yang berperan untuk menimbulkan aktivasi
endotel. Penelitian menunjukkan bahwa serum dari wanita dengan preeklampsia
merangsang sel endotel yang dikultur untuk memproduksi prostasiklin dalam
jumlah yang lebih besar dibandingkan serum wanita hamil normal (Cunningham, et
al, 2007).

2.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding Preeklampsia Berat


Digolongkan preeclampsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala sebagai
berikut:

Tekanan darah sistolik 160 mmHg dan tekanan darah diastolic 110 mmHg.
Tekanan darah tidak turun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan
sudah menjalani tirah baring.

Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.

Oliguria, yaitu produksi urin <500 cc/24 jam.

Peningkatan kreatinin plasma (>1.2 mg/dL).

Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma, dan
pandangan kabur.

Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat teregangnya
kapsula Glisson oleh karena nekrosis hepatoseluler, iskemia, dan edema).

Gangguan fungsi hepar (peningkatan kadar AST dan ALT)

16

Edema paru-paru dan sianosis.

Hemolisis mikroangiopati (ditandai dengan peningkatan LDH)

Trombositopenia (<100.000/mm3)

Pertumbuhan janin intra uterin yang terlambat.

Sindrom HELLP.

2.7 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia adalah sebagai berikut :
1.

Melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah

2.

Mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia

3.

Mengatasi dan menurunkan komplikasi pada janin

4.

Terminasi kehamilan dengan cara yang paling aman

Perawatan preeklampsia berat dibagi menjadi dua unsur:

Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya: yaitu terapi medikamentosa dengan
pemberian obat-obatan untuk penyulitnya

Kedua baru menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya: yang tergantung


pada umur kehamilannya dibagi 2, yaitu:

Ekspektatif; Konservatif : bila umur kehamilan < 37 minggu, artinya: kehamilan


dipertahankan selama mungkin sambil memberi terapi medikamentosa

Aktif, agresif: bila umur kehamilan > 37 minggu, artinya kehamilan diakhiri
setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi.

2.7.1 Penanganan di Puskesmas


Mengingat terbatasnya fasilitas yang tersedia di Puskesmas, secara prinsip
pasien dengan PEB dan eklampsia harus dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan
dengan fasilitas yang lebih lengkap. Persiapan yang perlu dilakukan dalam merujuk
pasien PEB atau eklampsia adalah sebagai berikut :
1.

Pada pasien PEB/Eklampsia sebelum berangkat, pasang infus RD 5, berikan


SM 20 % 4 g iv pelan-pelan selama 5 menit, bila timbul kejang ulangan
berikan SM 20 % 2 g iv pelan-pelan. Bila tidak tersedia berikan injeksi
diazepam 10 mg iv secara pelan-pelan selama 2 menit, bila timbul kejang
ulangan ulangi dosis yang sama.

17

2.

Untuk pasien dengan eklampsia diberikan dosis rumatan setelah initial dose di
atas dengan cara : injeksi SM 40 % masing-masing 5 g im pada glutea kiri dan
kanan bergantian, atau drip diazepam 40 mg dalam 500 c RD 5 28 tetes per
menit.

3.

Pasang Oksigen dengan kanul nasal atau sungkup.

4.

Menyiapkan surat rujukan berisi riwayat penyakit dan obat-obat yang sudah
diberikan.

5.

Menyiapkan partus kit dan sudip lidah.

6.

Menyiapkan obat-obatan : injeksi SM 20 %, injeksi diazepam, cairan infuse,


dan tabung oksigen.

7.

Antasid untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang


dapat mencegah terjadinya aspirasi isi lambung yang sangat asam.

2.7.2 Penanganan di rumah sakit


Dasar pengelolaan PEB terbagi menjadi dua. Pertama adalah pengelolaan
terhadap penyulit yang terjadi, kedua adalah sikap terhadap kehamilannya.
Penanganan penyulit pada PEB meliputi (Prasetyorini, 2009):
a.

Pencegahan Kejang

Tirah baring, tidur miring kiri

Infus RL atau RD5

Pemberian anti kejang MgSO4 yang terbagi menjadi dua tahap, yaitu :
-

Loading / initial dose

: dosis awal

Maintenance dose

: dosis rumatan

Pasang Foley catheter untuk monitor produksi urin


Tabel 1. Tatacara Pemberian SM pada PEB
Loading dose
SM 20 % 4 g iv pelan-pelan

Maintenance dose
-

SM 40 % 10 g im, terbagi pada

glutea kiri dan kanan


SM 40 % 5 g per 500 cc RD5 30

selama 5 menit

tts/m
1. SM rumatan diberikan sampai 24
jam pada perawatan konservatif dan
24 jam setelah persalinan pada
perawatan aktif

18

Syarat pemberian SM :
- Reflex patella harus positif
- Respiration rate > 16 /m
- Produksi urine dalam 4 jam 100cc
- Tersedia calcium glukonas 10 %
Antidotum :
Bila timbul gejala intoksikasi SM

b.

dapat diberikan injeksi Calcium

gluconas 10 %, iv pelan-pelan dalam waktu 3 menit


Bila refrakter terhadap SM dapat diberikan preparat berikut :
1. Sodium thiopental 100 mg iv
2. Diazepam 10 mg iv
3. Sodium amobarbital 250 mg iv
4. Phenytoin dengan dosis :
- Dosis awal 100 mg iv
- 16,7 mg/menit/1 jam
500 g oral setelah 10 jam dosis awal diberikan selama 14 jam
Antihipertensi

Hanya diberikan bila tensi 180/110 mmHg atau MAP 126

Bisa diberikan nifedipin 10 20 mg peroral, diulang setelah 30 menit,


maksimum 120 mg dalam 24 jam

Penurunan darah dilakukan secara bertahap :


-

Penurunan awal 25 % dari tekanan sistolik

Target selanjutnya adalah menurunkan tekanan darah < 160/105


mmHg atau MAP < 125

c.

Diuretikum
Tidak diberikan secara rutin karena menimbulkan efek :

Memperberat penurunan perfusi plasenta

Memperberat hipovolemia

Meningkatkan hemokonsentrasi

Indikasi pemberian diuretikum :


1.

Edema paru

2.

Payah jantung kongestif

3.

Edema anasarka
Berdasarkan sikap terhadap kehamilan, perawatan pada pasien PEB

dibedakan menjadi perawatan konservatif dan perawatan aktif.


a.

Perawatan konservatif
1.

Tujuan :

19

Mempertahankan kehamilan hingga tercapai usia kehamilan yang


memnuhi syarat janin dapat hidup di luar rahim

Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi


keselamatan ibu

2.

Indikasi :
Kehamilan < 37 minggu tanpa disertai tanda dan gejala impending
eklampsia

3.

Pemberian anti kejang :


Seperti Tabel 1 di atas, tapi hanya diberikan maintainance dose ( loading
dose tidak diberikan )

4.

Antihipertensi
Diberikan sesuai protokol untuk PER.

5.

Induksi Maturasi Paru


Diberikan injeksi glukokortikoid, dapat diberikan preparat deksametason
2 x 16 mg iv/24 jam selama 48 jam atau betametason 24 mg im/24 jam
sekali pemberian.

6.

Cara perawatan :

Pengawasan tiap hari terhadap gejala impending eklampsia

Menimbang berat badan tiap hari

Mengukur protein urin pada saat MRS dan tiap 2 hari sesudahnya

Mengukur tekanan darah tiap 4 jam kecuali waktu tidur

Pemeriksaan Lab : DL, LFT, RFT, lactic acid dehydrogenase,


Albumin serum dan faktor koagulasi

Bila pasien telah terbebas dari kriteria PEB dan telah masuk kriteria
PER, pasien tetap dirawat selama 2 3 hari baru diperbolehkan
rawat jalan. Kunjungan rawat jalan dilakukan 1 minggu sekali
setelah KRS.

7.

Terminasi kehamilan

Bila pasien tidak inpartu, kehamilan dipertahankan sampai aterm

Bila penderita inpartu, persalinan dilakukan sesuai dengan indikasi


obstetrik

b.

Perawatan aktif
1.

Tujuan : Terminasi kehamilan

2.

Indikasi :

20

(i). Indikasi Ibu :

Kegagalan terapi medikamentosa :


-

Setelah 6 jam dimulainya terapi medikamaentosa terjadi


kenaikan tekanan darah persisten

Setelah 34 jam dimulainya terapi medikamentosa terjadi


kenaikan tekanan darah yang progresif

Didapatkan tanda dan gejala impending preeclampsia

Didapatkan gangguan fungsi hepar

Didapatkan gangguan fungsi ginjal

Terjadi solusio plasenta

Timbul onset persalinan atau ketuban pecah

(ii). Indikasi Janin


Usia kehamilan 37 minggu
PJT berdasarkan pemeriksaan USG serial
NST patologis dan Skor Biofisikal Profil < 8
Terjadi oligohidramnion
(iii). Indikasi Laboratorium
Timbulnya HELLP syndrome
3.

Pemberian antikejang : Seperti protokol yang tercantum pada tabel 1.

4.

Terminasi kehamilan :
Bila tidak ada indikasi obstetrik untuk persalinan perabdominam, mode
of delivery pilihan adalah pervaginam dengan ketentuan sebagai berikut :
(i) Pasien belum inpartu
Dilakukan induksi persalinan bila skor pelvik 8. Bila skor
pelvik < 8 bisa dilakukan ripening dengan menggunakan
misoprostol 25 g intravaginal tiap 6 jam. Induksi persalinan
harus sudah mencapai kala II sejak dimulainya induksi, bila tidak
maka dianggap induksi persalinan gagal dan terminasi kehamilan
dilakukan dengan operasi sesar.
Indikasi operasi sesar :
- Indikasi obstetrik untuk operasi sesar
- Induksi persalinan gagal
- Terjadi maternal distress
- Terjadi fetal compromised

21

- Usia kehamilan < 33 minggu


(ii) Pasien sudah inpartu
Perjalanan persalinan dilakukan dengan mengikuti partograf
Kala II diperingan
Bila terjadi maternal distress maupun fetal compromised,
persalinan dilakukan dengan operasi sesar
Pada primigravida direkomendasikan terminasi dengan operasi
sesar
2.8 Komplikasi Preeklampsia Berat
2.8.1 Penyulit Ibu
a. SSP

Perdarahan Intrakranial
Thrombosis vena sentral
Hipertensi ensephalopati
Edema cerebri
Edema retina
Macular atau retinal detachment
Kebutaan cortex

b. Gastrointestinal-hepatik:
Subcapsular hematoma hepar
Ruptur kapsul hepar
Ascites
c. Ginjal :

Gagal ginjal akut


Nekrosis Tubular Akuta

d. Hematologik:
DIC
Trombositopenia
e. Kardiopulmonal:
Edema paru
Arrest napas
Cardiac arrest
Iskemia miokardium
(Angsar, 2008)

22

2.8.2

Penyulit Janin

a. Solusio plasenta
b. IUFD
c. Kematian neonatal
d. Prematuritas
e. Cerebral palsy (Prasetyorini, 2009)

DAFTAR PUSTAKA
Angsar, 2008. Hipertensi dalam Kehamilan dalam Buku Ilmu Kebidanan Edisi keempat
halaman 534-559, editor: Saifudin, Abdul Bari, Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Cunningham FG, Mac Donald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hankins GD et al.
2001, Hypertension Disorders in Pregnancy. Williams Obstetrics. 21th ed. London:
Prentice-Hall International, 2001: 567-618.
Dekker GA, Sibai BM, Etiology and Pathogenesis of Preeclampsia: Current Concepts.
Am J Obstet Gynecol 1998; 179: 1359-1375.
Handaya, 2001. Penanganan preeklampsia/eklampsia. Jakarta: Prosiding Seminar Konsep
Mutakhir Preeklampsia.
Isler CM, Rinehart BK, Terrone DA, Martin RW, Magann EF, Martin JN. Maternal
Mortality with HELPP (Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, And Low Platelets)
Syndrome. Am J Obstet Gynecol 1999; 181: 924-928.
Prasetyorini, N, 2009. Penanganan Preeklampsia dan Eklampsia. Seminar POGI Cabang
Malang. Divisi Kedokteran Feto Maternal - FKUB/RSSA Malang
Roberts JM, Redman CWG. Preeclampsia: More Than Pregnancy-induced Hypertension.
Lancet 1993; 341: 1447-1454.
Roberts JM, Taylor RN, Musci TJ, Rodgers GM, Hubel CA, McLaughlin. Preeclampsia:
An Endothelial Cell Disorder. Am J Obstet Gynecol 1989; 161: 1200-1204.
Wang Y, Alexander JS. Placental Pathophysiology in Preclampsia. Pathophysiology 2000;
6: 261-270.

Anda mungkin juga menyukai