3 - Pengembangan Kelembagaan Dan Jejaring Sosial Dalam Pe
3 - Pengembangan Kelembagaan Dan Jejaring Sosial Dalam Pe
Pengembangan kelompok-kelompok
sosial-ekonomi berskala kecil dan
menengah perlu menjadi sasaran utama dalam kegiatan pembangunan yang
berbasiskan komunitas. Melalui pengembangan kelompok-kelompok seperti itu,
diharapkan akan mampu menurunkan angka pengangguran, meningkatkan daya
beli masyarakat, dan pada gilirannya mampu berdampak ganda terutama
memberikan peluang pengembangan kegiatan ekonomi lokal dan usaha-usaha
produktif di tingkat komunitas.
Untuk pengembangan kelompok-kelompok sosial ekonomi tersebut , perguruan
tinggi, LSM, dan stakeholders yang lain dapat berperanserta melalui pendekatan
hubungan kelembagaan dan jejaring sosial. Jejaring pengembangan kelompokkelompok sosial-ekonomi dengan mensinergikan fungsi-fungsi dari berbagai
stakeholders sebagai suatu bentuk pengembangan modal sosial (social capital).
Disamping itu, pengembangan kelembagaan menjadi sangat penting dalam
pengembangan usaha-usaha ekonomi produktif karena sampai sejauh ini
pengembangan tersebut memerlukan transaction cost yang tinggi.
Pengembangan kelembagaan sosial tersebut salah satu alternatifnya dapat
dikembangkan dengan pendekatan Jejaring Kelembagaan Kolaboratif mulai dari
tingkat komunitas sampai dengan tingkat lokalitas, menunjukkan bahwa
implementasi prinsip-prinsip kesetaraan, lebih bersifat informal, partisiptaif,
adanya komitmen yang kuat, dan mensinergikan kekuatan-kekuatan yang ada
sangat membantu memecahkan permasalahan dan menemukan solusi dalam upaya
pengembangan usaha-usaha produktif di tingkat komunitas.
25
26
Kelembagaan sosial pada dasarnya menyangkut seperangkat norma atau tata laku.
Konsisten dengan itu, maka fungsi kelembagaan sosial menurut Van Doorn dan
Lammers (1959) adalah : (1) Memberi pedoman berperilaku pada
individu/masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di
dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang
menyangkut kebutuhan-kebutuhan; (2) Menjaga keutuhan, dengan adanya
pedoman yang diterima bersama, maka kesatuan dalam masyarakat dapat
dipelihara; (3) Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol
sosial (social control). Artinya, sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah
laku anggotanya; dan (4) Memenuhi kebutuhan pokok manusia/masyarakat.
Fungsi-fungsi di atas menyatakan bahwa apabila seseorang hendak mempelajari
kebudayaan dan masyarakat tertentu maka harus pula diperhatikan dengan teliti
kelembagaan-kelembagaan sosial di masyarakat yang bersangkutan.
Dalam beberapa literatur dapat diidentifikasi berbagai definisi tentang
kelembagaan sosial. Diantaranya, ada yang tidak jelas membedakan antara ke
kelembagaan sebagai suatu sistem peraturan-peraturan dan kelembagaan sebagai
kelompok yang bersusunan dan berkelakuan menurut peraturan-peraturan
tersebut. Bahkan Broom dan Zelznick (1956) mengatakan, jika suatu asosiasi
melayani kepentingan umum dan bukan hanya kepentingan pribadi, dilakukan
secara teratur, tetap dan diterima oleh umum, maka dapat disebut suatu
institution. Jadi kelembagaan dan asosiasi adalah sama, hanya yang pertama
melayani kepentingan umum dan yang kedua melayani kepentingan khusus.
Pendapat Ogburn dan Nimkoff (1960) pada hakekatnya juga sama dengan pandangan di atas, bahwa tiada garis pemisahan yang jelas diantara kelembagaan dan
asosiasi, kecuali kelembagaan pada umumnya bersifat lebih penting. Demikian
pula menurut Uphoff (1993), sampai sejauh ini memang belum ada yang
membedakan secara eksplisit antara institusi dan organisasi. Meskipun demikian
Uphoff menegaskan, bahwa: institutions, whether organisations or not, are
complexes of norms and behaviors that persist over time by serving collectively
valued purposed, while organisations, whether institutions or not, are structures
of recognized and accepted roles.
Meskipun demikian, sebagian besar sosiolog berpendapat bahwa kelembagaan itu
bersifat suatu konsepsi, dan bukan sesuatu yang kongkrit. Suatu kelembagaan
adalah suatu kompleks peraturan-peraturan dan peranan-peranan sosial. Dengan
demikian, kelembagaan memiliki aspek kultural dan struktural. Segi kultural
berupa norma-norma dan nilai-nilai, dari segi struktural berupa pelbagai peranan
sosial. Kedua segi tersebut berhubungan erat satu sama lain.
Pandangan lain ialah yang memandang bahwa kelembagaan sosial sebagai
kompleks peraturan-peraturan dan peranan sosial yang mempengaruhi perilaku
orang-orang di sekitar pemenuhan kebutuhan-kebutuhan penting. Pandangan
seperti ini berimplikasi kepada perbedaan pemahaman tentang asosiasi. Seperti
telah dinyatakan di atas, Ogburn dan Nimkoff berpendapat bahwa kelembagaan
dan asosiasi pada prinsipnya sama, hanya kelembagaan lebih penting dan umum,
sedangkan asosiasi kurang penting dan bertujuan spesifik. Namun demikian,
27
dapat diamati, dipegang, atau dibuktikan melalui uji tindak (khusus modal
manusia); (4) sumbangannya dalam proses produksi dapat dihandalkan, diukur,
sehingga hasil akhirnya dapat diramalkan; (5) merupakan produk buatan manusia
yang disesuaikan dengan fungsinya dalam proses produksi. Permasalahannya,
apakah modal sosial memiliki sifat-sifat seperti itu ?
Apabila konsep sumberdaya manusia (SDM) dibandingkan dengan konsep modal
manusia, apa persamaan dan perbedaannya ? Kedua konsep tersebut sama-sama
menunjuk pada kemampuan teknis, ketrampilan yang dimiliki seseorang, yang
dalam konsep SDM merupakan daya yang dapat digunakannya untuk bergerak,
bekerja, sedangkan dalam konsep modal manusia itu merupakan modal yang
dapat digunakan, dirancang untuk memproduksi sesuatu. Perbedaannya terletak
pada nilai modal yang terdapat dalam modal manusia, dimana wujud dari modal
itu dapat diperhitungkan secara kurang lebih eksak untuk suatu proses produksi.
Sedangkan SDM yang dimiliki seseorang lebih mencakup kemampuan orang
secara menyeluruh sebagai manusia, termasuk di dalamnya kemampuan sosiologis
dan kematangan psikologis. Dengan demikian, dalam SDM terkandung dua
modal, yakni modal manusia dan modal sosial. Kedua modal ini sama-sama
merupakan produk sosial, artinya diperoleh melalui interaksi sosial dalam
masyarakat.
Modal fisik, yang jelas dari namanya, wujudnya dapat dipegang, dilihat, dinilai,
diukur daya tahan dan kekuatannya dalam suatu proses produksi. Bentuknya
dapat berupa prasarana dan sarana fisik. Akan tetapi perlu perlu dilakukan
pembedaan dari segi kepemilikan dan penguasaan: (1) modal fisik milik dan
penguasaan pribadi; (2) milik dan penguasaan kelompok terbatas; dan (3)
penguasaan terbatas. Orang atau kelompok dapat memperhitungkan modal fisik
dalam wujudnya yang berbeda untuk memasukkannya dalam proses produksi.
Meskipun sampai saat ini wujud modal sosial belum sejelas wujud modal manusia
dan modal fisik, namun pemahamannya lebih menekankan pada hubungan
timbal-balik antara modal dan sifat sosial yang menjelaskan modal tersebut.
Wujud modal yang dimaksud: dapat dirasakan, dilihat, dihandalkan, diharapkan,
dan digunakan. Modal merupakan potensi yang penggunaannya tergantung pada
keputusan orang (actor) atau kelompok dengan dasar pertimbangan tertentu, bisa
bersifat rasional, bisa sosial, dan bisa pula psikologis (Fukuyama, 2001). Selain
itu sesuai dengan sifat modalnya, modal sosial merupakan stock yang sewaktuwaktu dapat digunakan untuk efektifitas dan efisiensi proses produksi.
Sampai sejauh ini, tidak banyak pakar yang menjelaskan sifat sosial dalam konsep
modal sosial. Padahal hal itu penting untuk dipaparkan. Kata sifat sosial dalam
konsep ini tidak bersifat netral lagi, karena: (1) adanya saling-menguntungkan
paling kurang antara dua orang, kelompok, kolektivitas atau kategori sosial atau
manusia pada umumnya; (2) diperoleh melalui proses sosial: interaksi, sosialisasi,
institusionalisasi, strukturasi, dan sebagainya; (3) menunjuk pada hubungan
sosial, institusi, struktur sosial (Dasgupta, 2000); dan (4) semua sifat atau konsep
30
yang berhubungan dengan antara lain rasa percaya (trust), resiprositas, hak dan
kewajiban, jejaring sosial, dan sebagainya.
Oleh karena luasnya pengertian modal yang ditunjukkan oleh sifat sosialnya,
maka sampai sejauh ini pemahaman modal sosial dibatasi pada sifat lokalitas,
seperti pada masyarakat madani, pemerintah atau negara, atau partai politikyang
dipertimbangkan untuk menentukan konsep apa yang paling penting baginya.
Misalnya, dalam bidang irigasi yang dikelola oleh pemerintah, yang menonjol
adalah pengaturan (regulation) distribusi air yang didasarkan pada kemampuan
dibit air, luas areal, curah hujan, struktur tanah, dan pola tanam yang berlaku di
daerah tersebut. Sedangkan rasa percaya, sanksi, kewajiban timbal balik antara
pemberi pelayanan dan petani akan muncul dalam implementasinya. Hal ini akan
menjadi lebih jelas apabila ditelaah dalam kerangka konseptual modal sosial
masyarakat madani.
Sebelum memahami kerangka konseptual tersebut di atas, tampaknya terlebih
dahulu perlu dipahami mengenai hubungan antara modal manusia, modal fisik,
dan modal sosial. Upaya untuk memahami hubungan antara ketiga modal tersebut
adalah penting. Secara hipotetis hubungan tersebut dapat dipahami sebagai
berikut: (1) modal sosial dalam bentuk potensial, seperti struktur sosial dan
hubungan sosial, akan diaktualisasikan apabila ada rasa percaya (trust) pada orang
atau kelompok sosial lain akan potensi yang dimiliki orang tersebut berupa modal
manusia. Dalam kasus irigasi hal ini terlihat dengan jelas: hubungan antara
pemakai air dan petugas irigasi yang dapat saling menguntungkan (kelestarian
sarana irigasi) menimbulkan rasa percaya pada pemakai air karena keterampilan
teknis para petugas pembagi air dalam menjamin semua kebutuhan air mulai dari
hulu sampai hilir. Hubungan seperti ini dapat dirumuskan dalam formula
modal manusia-modal sosial, yang dapat dipahami modal manusia merupakan
dasar bagi aktualisasi modal sosial; (2) modal manusia dapat berkembang karena
modal sosial. Suatu contoh, keberhasilan pendidikan siswa menunjukkan
besarnya kedekatan dan komitmen orang tua terhadap pendidikan anak, sehingga
di rumah mereka menyediakan sarana belajar yang memadai (modal fisik), dan
dalam proses kegiatan belajar anak-anaknya mereka mengikuti proses pendidikan
anaknya di sekolah dengan antara lain membeli dua buku pelajaran, satu untuk
anaknya, satu untuk mereka sendiri.
Formula hubungan tersebut dapat
dirumuskan (modal fisik modal sosial) modal manusia, artinya modal fisik dan
modal sosial merupakan dasar bagi perkembangan modal manusia; (3) modal
fisisk dapat berkembang, bertahan, berfungsi dengan baik kalau didukung oleh
modal manusia dan modal sosial. Masih dengan contoh di bidang irigasi,
hubungan ini sangat jelas. Jaringan irigasi dapat bertahan kalau didukung oleh
tenaga terampil petugas irigasi, dan organisasi pemakai air yang ikut berpartisipasi
dalam meringankan beban tenaga petugas irigasi, misalnya dalam penyelesaian
konflik antara petani di hilir yang sulit mendapatkan air dengan tepat waktu.
Dengan demikian formula yang cocok untuk ini adalah: modal fisik modal
manusia modal sosial.
31
32
Koperas
i
LSM
O
Swast
a
Komunita
s
Desa
Lembaga
Keuangan
Kecamatan
Kabupaten
Provinsi
Pemerinta
h
Pusat
Perguruan
Tinggi
33