Anda di halaman 1dari 9

3

Pengembangan Kelembagaan dan Jejaring


Sosial Dalam Pengembangan Masyarakat

Pengembangan kelompok-kelompok
sosial-ekonomi berskala kecil dan
menengah perlu menjadi sasaran utama dalam kegiatan pembangunan yang
berbasiskan komunitas. Melalui pengembangan kelompok-kelompok seperti itu,
diharapkan akan mampu menurunkan angka pengangguran, meningkatkan daya
beli masyarakat, dan pada gilirannya mampu berdampak ganda terutama
memberikan peluang pengembangan kegiatan ekonomi lokal dan usaha-usaha
produktif di tingkat komunitas.
Untuk pengembangan kelompok-kelompok sosial ekonomi tersebut , perguruan
tinggi, LSM, dan stakeholders yang lain dapat berperanserta melalui pendekatan
hubungan kelembagaan dan jejaring sosial. Jejaring pengembangan kelompokkelompok sosial-ekonomi dengan mensinergikan fungsi-fungsi dari berbagai
stakeholders sebagai suatu bentuk pengembangan modal sosial (social capital).
Disamping itu, pengembangan kelembagaan menjadi sangat penting dalam
pengembangan usaha-usaha ekonomi produktif karena sampai sejauh ini
pengembangan tersebut memerlukan transaction cost yang tinggi.
Pengembangan kelembagaan sosial tersebut salah satu alternatifnya dapat
dikembangkan dengan pendekatan Jejaring Kelembagaan Kolaboratif mulai dari
tingkat komunitas sampai dengan tingkat lokalitas, menunjukkan bahwa
implementasi prinsip-prinsip kesetaraan, lebih bersifat informal, partisiptaif,
adanya komitmen yang kuat, dan mensinergikan kekuatan-kekuatan yang ada
sangat membantu memecahkan permasalahan dan menemukan solusi dalam upaya
pengembangan usaha-usaha produktif di tingkat komunitas.

25

1. Kelembagaan dalam Pengembangan Masyarakat


Kelembagaan sosial merupakan terjemahan langsung dari istilah social-institution.
Akan tetapi adapula yang menggunakan istilah pranata sosial untuk istilah social
institution tersebut, yang menunjuk pada adanya unsur-unsur yang mengatur
perilaku warga masyarakat. Koentjaraningrat (1964) mengatakan pranata sosial
adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitasaktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam
kehidupan masyarakat. Definisi tersebut menekankan pada sistem tata kelakuan
atau sistem norma untuk memenuhi kebutuhan.
Oleh karena itu, dalam bab ini konsep kelembagaan sosial (social institution)
bukan yang dimaksud dengan istilah kelembagaan (yang berasal dari kata
institute) yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Istilah kelembagaan
biasanya merujuk kepada suatu badan, seperti organisasi ilmiah, organisasi
ekonomi, dan berbagai bentuk organisasi yang memiliki beragam tujuan. Dengan
demikian, dalam Sosiologi, yang dimaksud dengan kelembagaan sosial atau social
institution adalah suatu kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan adat
istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang penting. Kelembagaan itu
memiliki tujuan untuk mengatur antarhubungan yang diadakan untuk memenuhi
kebutuhan manusia yang paling penting (Polak, 1966).
Perihal sistem norma yang mengatur pergaulan hidup dengan tujuan tertentu,
apabila diwujudkan dalam hubungan antar manusia dinamakan organisasi sosial
(social organisation). Di dalam perkembangan selanjutnya, norma-norma
tersebut dapat dikategorikan ke dalam berbagai kebutuhan pokok kehidupan
manusia.
Misalnya, untuk kebutuhan matapencaharian menimbulkan
kelembagaan pertanian, peternakan, koperasi, industri, dan lain-lain. Untuk
kebutuhan hidup kekerabatan, menimbulkan kelembagaan keluarga, pelamaran,
perkawinan, perceraian, dan sebagainya. Dengan demikian, seperti yang
dinyatakan oleh Soekanto (1990), kelembagaan sosial terdapat di dalam setiap
masyarakat tanpa memperdulikan apakah masyarakat tersebut mempunyai taraf
kebudayaan bersahaja atau modern.
Selanjutnya, setiap masyarakat tentu mempunyai kebutuhan-kebutuhan pokok
yang apabila dikelompokkan akan terhimpun menjadi kelembagaan sosial.
Sebagai suatu batasan, dapatlah dikatakan kelembagaan sosial merupakan
himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan
pokok di dalam kehidupan masyarakat. Wujud kongkrit kelembagaan sosial
tersebut adalah asosiasi (association). Sebagai contoh, universitas merupakan
kelembagaan sosial, sedangkan UR, IPB, UI, UGM, ITB dan lain-lain adalah
contoh-contoh asosiasi.
Dari contoh-contoh tersebut, tepatlah batasan
kelembagaan sosial yang dikemukakan oleh Bertrand (1974), bahwa kelembagaan
sosial adalah tata abstraksi yang lebih tinggi dari grup, organisasi, dan sistem
sosial lainnya.

26

Kelembagaan sosial pada dasarnya menyangkut seperangkat norma atau tata laku.
Konsisten dengan itu, maka fungsi kelembagaan sosial menurut Van Doorn dan
Lammers (1959) adalah : (1) Memberi pedoman berperilaku pada
individu/masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di
dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang
menyangkut kebutuhan-kebutuhan; (2) Menjaga keutuhan, dengan adanya
pedoman yang diterima bersama, maka kesatuan dalam masyarakat dapat
dipelihara; (3) Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol
sosial (social control). Artinya, sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah
laku anggotanya; dan (4) Memenuhi kebutuhan pokok manusia/masyarakat.
Fungsi-fungsi di atas menyatakan bahwa apabila seseorang hendak mempelajari
kebudayaan dan masyarakat tertentu maka harus pula diperhatikan dengan teliti
kelembagaan-kelembagaan sosial di masyarakat yang bersangkutan.
Dalam beberapa literatur dapat diidentifikasi berbagai definisi tentang
kelembagaan sosial. Diantaranya, ada yang tidak jelas membedakan antara ke
kelembagaan sebagai suatu sistem peraturan-peraturan dan kelembagaan sebagai
kelompok yang bersusunan dan berkelakuan menurut peraturan-peraturan
tersebut. Bahkan Broom dan Zelznick (1956) mengatakan, jika suatu asosiasi
melayani kepentingan umum dan bukan hanya kepentingan pribadi, dilakukan
secara teratur, tetap dan diterima oleh umum, maka dapat disebut suatu
institution. Jadi kelembagaan dan asosiasi adalah sama, hanya yang pertama
melayani kepentingan umum dan yang kedua melayani kepentingan khusus.
Pendapat Ogburn dan Nimkoff (1960) pada hakekatnya juga sama dengan pandangan di atas, bahwa tiada garis pemisahan yang jelas diantara kelembagaan dan
asosiasi, kecuali kelembagaan pada umumnya bersifat lebih penting. Demikian
pula menurut Uphoff (1993), sampai sejauh ini memang belum ada yang
membedakan secara eksplisit antara institusi dan organisasi. Meskipun demikian
Uphoff menegaskan, bahwa: institutions, whether organisations or not, are
complexes of norms and behaviors that persist over time by serving collectively
valued purposed, while organisations, whether institutions or not, are structures
of recognized and accepted roles.
Meskipun demikian, sebagian besar sosiolog berpendapat bahwa kelembagaan itu
bersifat suatu konsepsi, dan bukan sesuatu yang kongkrit. Suatu kelembagaan
adalah suatu kompleks peraturan-peraturan dan peranan-peranan sosial. Dengan
demikian, kelembagaan memiliki aspek kultural dan struktural. Segi kultural
berupa norma-norma dan nilai-nilai, dari segi struktural berupa pelbagai peranan
sosial. Kedua segi tersebut berhubungan erat satu sama lain.
Pandangan lain ialah yang memandang bahwa kelembagaan sosial sebagai
kompleks peraturan-peraturan dan peranan sosial yang mempengaruhi perilaku
orang-orang di sekitar pemenuhan kebutuhan-kebutuhan penting. Pandangan
seperti ini berimplikasi kepada perbedaan pemahaman tentang asosiasi. Seperti
telah dinyatakan di atas, Ogburn dan Nimkoff berpendapat bahwa kelembagaan
dan asosiasi pada prinsipnya sama, hanya kelembagaan lebih penting dan umum,
sedangkan asosiasi kurang penting dan bertujuan spesifik. Namun demikian,
27

keduanya merupakan bentuk-bentuk organisasi sosial dan pengertian organisasi


sosial disamakan dengan struktur. Oleh karena itu, struktur diarti-kan lebih
luas.
Sebaliknya, organisasi adalah struktur khusus yang dibentuk dan disusun
dengan sengaja untuk kelompok-kelompok tertentu. Berdasarkan penjelasan di
atas, maka dapat dinyatakan bahwa ada dua perspektif tentang kelembagaan
sosial. Pertama, suatu perspektif yang memandang baik kelembagaan maupun
asosiasi sebagai bentuk organisasi sosial, yakni sebagai kelompok-kelompok,
hanya kelembagaan bersifat lebih universal dan penting. Sedangkan asosiasi
bersifat kurang penting dan bertujuan lebih spesifik. Misalnya, keluarga dan
negara adalah kelembagaan, sedangkan klub-klub sepakbola dan serikat-serikat
buruh adalah asosiasi. Kedua, perspektif yang memandang kelembagaan sebagai
kompleks peraturan dan peranan sosial secara abstrak, dan memandang asosiasiasosiasi sebagai bentuk-bentuk organisasi yang kongkrit.
Secara teoritis dan praktis, perspektif pertama mampu membedakan beragam
asosiasi sebagai bentuk-bentuk organisasi sosial dengan tujuan-tujuan spesifik.
Dalam masyarakat modern dikenal banyak kelompok-kelompok demikian, yang
mempunyai tujuan spesifik untuk memnuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu.
Dengan demikian, asosiasi-asosiasi dihubungkan dengan beragam kepentingan
dan kebutuhan dalam masyarakat modern yang kompleks. Sedangkan perspek-tif
yang kedua, secara prinsipil memandang penting proses pekelembagaan
(institutionalization) dan pembaharuan kelembagaan sosial.
Terlepas dari perbedaan antara kedua perspektif tersebut, kunci dalam memahami
kelembagaan sosial terletak pada tekanan akan kebutuhan pokok manusia. Ciriciri pokok yang membedakannya dari konsepsi-konsepsi lain seperti grup,
asosiasi, dan organisasi adalah sebagai berikut (Soekanto, 1990): (1) Merupakan
pengorganisasian pola pemikiran dan perilaku yang terwujud melalui aktivitas
masyarakat dan hasil-hasilnya; (2) Memiliki kekekalan tertentu: pekelembagaan
suatu norma memerlukan waktu yang lama karena itu cenderung dipertahankan;
(3) Mempunyai satu atau lebih tujuan tertentu; (4) Mempunyai lambang-lambang
yang secara simbolik menggambarkan tujuan; (5) Mempunyai alat untuk
mencapai tujuan tertentu; dan (6) Mempunyai tradisi tertulis atau tidak tertulis

2. Jejaring dalam Pengembangan Masyarakat: Suatu


Perspektif Modal Sosial
Modal sosial didefinisikan sebagai suatu sistem yang mengacu kepada atau hasil
dari organisasi sosial dan ekonomi, seperti pandangan umum (world-view),
kepercayaan (trust), pertukaran timbal-balik (reciprocity), pertukaran ekonomi
dan informasi (informational and economic exchange), kelompok-kelompok
formal dan informal (formal and informal groups), serta asosiasi-asosiasi yang
28

melengkapi modal-modal lainnya (fisik, manusiawi, budaya) sehingga


memudahkan terjadinya tindakan kolektif, pertumbuhan ekonomi, dan
pembangunan (Colletta & Cullen, 2000).
Modal sosial memiliki empat dimensi. Pertama adalah integrasi (integration),
yaitu ikatan yang kuat antar anggota keluarga, dan keluarga dengan tetangga
sekitarnya. Contohnya adalah ikatan-ikatan berdasarkan kekerabatan, etnik, dan
agama. Kedua adalah pertalian (linkage), yaitu ikatan dengan komunitas lain di
luar komunitas asal. Contohnya adalaj jejaring (network) dan asosiasi-asosiasi
bersifat kewargaan (civic associations) yang menembus perbedaan kekerabatan,
etnik, dan agama. Ketiga adalah integritas organisasional (organizational
integrity), yaitu keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjalankan
fungsinya, termasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan.
Keempat adalah sinergi (sinergy), yaitu relasi antara pemimpin dan institusi
pemerintahan dengan komunitas (state-community relations). Fokus perhatian
dalam sinergi ini adalah apakah negara memberikan ruang yang luas atau tidak
bagi aprtisipasi warganya. Dimensi pertama dan kedua berada pada tingkat
horizontal, sedangkan dimensi ketiga dan keempat, ditambah dengan pasar
(market), berada pada tingkat vertikal.
Modal sosial berkaitan erat dengan perdamaian maupu konflik kekerasan,
tergantung pada modal sosial yang terbentuk. Diantara modal sosial dengan
perdamaian dan kekerasan, terdapat variabel antara, yaitu kohesi sosial (social
cohesion). Kohesi sosial adalah terintegrasinya dimensi modal sosial pada tingkat
horizontal dengan vertikal. Bila kohesi sosial kuat, maka konflik kekerasan dapat
dihindari. Sebaliknya, konflik kekerasan terjadi manakala kohesi sosial lemah.
Kohesi sosial yang kuat ditandai dengan inklusi, adanya rule of law, negara
demokratis, akses dan persamaan terhadap kesempatan, birokrasi yang efisien dan
tidak korup serta masyarakat yang terbuka. Sedangkan kohesi sosial yang lemah
ditandai dengan eksklusi, negara yang otoritarian dan menindas, ketimpangan dan
ketidakadilan, birokrasi yang tidak efisien dan korup serta masyarakat yang
tertutup.
Pemahaman lain tentang modal sosial difokuskan pada seperti halnya modal
pada umumnya. Pokok permasalahan modal sosial adalah harus dapat
diidentifikasi melalui konsep modal itu sendiri, dan kata sifat yang
menjelaskannya, yakni sosial. Oleh karena dalam dunia empiris sulit
membedakan seseorang tentang faktor apa yang bekerja dalam dirinya sehingga
orang tersebut menampilkan suatu tindakan tertentu, dan menghasilkan sesuatu
yang sangat bermanfaat bagi perkembangan dirinya, perlu mengidentifikasi
beberapa macam modal yang mungkin dimiliki atau yang dapat dikuasai atau
dimanfaatkan seseorang dalam kegiatannya: dalam modal sosial, modal manusia,
dan modal fisik.
Modal pada mulanya merupakan konsep ekonomi. Di dalamnya terkandung
pengertian: (1) investasi jangka pendek, menengah, dan panjang; (2) pengorbanan
saat ini untuk memperoleh keuntungan di masa depan; (3) wujudnya jelas, artinya
29

dapat diamati, dipegang, atau dibuktikan melalui uji tindak (khusus modal
manusia); (4) sumbangannya dalam proses produksi dapat dihandalkan, diukur,
sehingga hasil akhirnya dapat diramalkan; (5) merupakan produk buatan manusia
yang disesuaikan dengan fungsinya dalam proses produksi. Permasalahannya,
apakah modal sosial memiliki sifat-sifat seperti itu ?
Apabila konsep sumberdaya manusia (SDM) dibandingkan dengan konsep modal
manusia, apa persamaan dan perbedaannya ? Kedua konsep tersebut sama-sama
menunjuk pada kemampuan teknis, ketrampilan yang dimiliki seseorang, yang
dalam konsep SDM merupakan daya yang dapat digunakannya untuk bergerak,
bekerja, sedangkan dalam konsep modal manusia itu merupakan modal yang
dapat digunakan, dirancang untuk memproduksi sesuatu. Perbedaannya terletak
pada nilai modal yang terdapat dalam modal manusia, dimana wujud dari modal
itu dapat diperhitungkan secara kurang lebih eksak untuk suatu proses produksi.
Sedangkan SDM yang dimiliki seseorang lebih mencakup kemampuan orang
secara menyeluruh sebagai manusia, termasuk di dalamnya kemampuan sosiologis
dan kematangan psikologis. Dengan demikian, dalam SDM terkandung dua
modal, yakni modal manusia dan modal sosial. Kedua modal ini sama-sama
merupakan produk sosial, artinya diperoleh melalui interaksi sosial dalam
masyarakat.
Modal fisik, yang jelas dari namanya, wujudnya dapat dipegang, dilihat, dinilai,
diukur daya tahan dan kekuatannya dalam suatu proses produksi. Bentuknya
dapat berupa prasarana dan sarana fisik. Akan tetapi perlu perlu dilakukan
pembedaan dari segi kepemilikan dan penguasaan: (1) modal fisik milik dan
penguasaan pribadi; (2) milik dan penguasaan kelompok terbatas; dan (3)
penguasaan terbatas. Orang atau kelompok dapat memperhitungkan modal fisik
dalam wujudnya yang berbeda untuk memasukkannya dalam proses produksi.
Meskipun sampai saat ini wujud modal sosial belum sejelas wujud modal manusia
dan modal fisik, namun pemahamannya lebih menekankan pada hubungan
timbal-balik antara modal dan sifat sosial yang menjelaskan modal tersebut.
Wujud modal yang dimaksud: dapat dirasakan, dilihat, dihandalkan, diharapkan,
dan digunakan. Modal merupakan potensi yang penggunaannya tergantung pada
keputusan orang (actor) atau kelompok dengan dasar pertimbangan tertentu, bisa
bersifat rasional, bisa sosial, dan bisa pula psikologis (Fukuyama, 2001). Selain
itu sesuai dengan sifat modalnya, modal sosial merupakan stock yang sewaktuwaktu dapat digunakan untuk efektifitas dan efisiensi proses produksi.
Sampai sejauh ini, tidak banyak pakar yang menjelaskan sifat sosial dalam konsep
modal sosial. Padahal hal itu penting untuk dipaparkan. Kata sifat sosial dalam
konsep ini tidak bersifat netral lagi, karena: (1) adanya saling-menguntungkan
paling kurang antara dua orang, kelompok, kolektivitas atau kategori sosial atau
manusia pada umumnya; (2) diperoleh melalui proses sosial: interaksi, sosialisasi,
institusionalisasi, strukturasi, dan sebagainya; (3) menunjuk pada hubungan
sosial, institusi, struktur sosial (Dasgupta, 2000); dan (4) semua sifat atau konsep
30

yang berhubungan dengan antara lain rasa percaya (trust), resiprositas, hak dan
kewajiban, jejaring sosial, dan sebagainya.
Oleh karena luasnya pengertian modal yang ditunjukkan oleh sifat sosialnya,
maka sampai sejauh ini pemahaman modal sosial dibatasi pada sifat lokalitas,
seperti pada masyarakat madani, pemerintah atau negara, atau partai politikyang
dipertimbangkan untuk menentukan konsep apa yang paling penting baginya.
Misalnya, dalam bidang irigasi yang dikelola oleh pemerintah, yang menonjol
adalah pengaturan (regulation) distribusi air yang didasarkan pada kemampuan
dibit air, luas areal, curah hujan, struktur tanah, dan pola tanam yang berlaku di
daerah tersebut. Sedangkan rasa percaya, sanksi, kewajiban timbal balik antara
pemberi pelayanan dan petani akan muncul dalam implementasinya. Hal ini akan
menjadi lebih jelas apabila ditelaah dalam kerangka konseptual modal sosial
masyarakat madani.
Sebelum memahami kerangka konseptual tersebut di atas, tampaknya terlebih
dahulu perlu dipahami mengenai hubungan antara modal manusia, modal fisik,
dan modal sosial. Upaya untuk memahami hubungan antara ketiga modal tersebut
adalah penting. Secara hipotetis hubungan tersebut dapat dipahami sebagai
berikut: (1) modal sosial dalam bentuk potensial, seperti struktur sosial dan
hubungan sosial, akan diaktualisasikan apabila ada rasa percaya (trust) pada orang
atau kelompok sosial lain akan potensi yang dimiliki orang tersebut berupa modal
manusia. Dalam kasus irigasi hal ini terlihat dengan jelas: hubungan antara
pemakai air dan petugas irigasi yang dapat saling menguntungkan (kelestarian
sarana irigasi) menimbulkan rasa percaya pada pemakai air karena keterampilan
teknis para petugas pembagi air dalam menjamin semua kebutuhan air mulai dari
hulu sampai hilir. Hubungan seperti ini dapat dirumuskan dalam formula
modal manusia-modal sosial, yang dapat dipahami modal manusia merupakan
dasar bagi aktualisasi modal sosial; (2) modal manusia dapat berkembang karena
modal sosial. Suatu contoh, keberhasilan pendidikan siswa menunjukkan
besarnya kedekatan dan komitmen orang tua terhadap pendidikan anak, sehingga
di rumah mereka menyediakan sarana belajar yang memadai (modal fisik), dan
dalam proses kegiatan belajar anak-anaknya mereka mengikuti proses pendidikan
anaknya di sekolah dengan antara lain membeli dua buku pelajaran, satu untuk
anaknya, satu untuk mereka sendiri.
Formula hubungan tersebut dapat
dirumuskan (modal fisik modal sosial) modal manusia, artinya modal fisik dan
modal sosial merupakan dasar bagi perkembangan modal manusia; (3) modal
fisisk dapat berkembang, bertahan, berfungsi dengan baik kalau didukung oleh
modal manusia dan modal sosial. Masih dengan contoh di bidang irigasi,
hubungan ini sangat jelas. Jaringan irigasi dapat bertahan kalau didukung oleh
tenaga terampil petugas irigasi, dan organisasi pemakai air yang ikut berpartisipasi
dalam meringankan beban tenaga petugas irigasi, misalnya dalam penyelesaian
konflik antara petani di hilir yang sulit mendapatkan air dengan tepat waktu.
Dengan demikian formula yang cocok untuk ini adalah: modal fisik modal
manusia modal sosial.

31

3. Jejaring Kelembagaan Berbasis Komunitas


Pengembangan usaha-usaha produktif yang berbasiskan kepada komunitas
diharapkan dapat melibatkan stakeholders yang lain (kelembagaan kolaboratif),
seperti organisasi pemerintah dan berbagai organisasi internasional. Meskipun
demikian, jejaring ini tidak akan mengadopsi pendekatan birokratis atau
teknokratis. Keberhasilan jejaring sebagai media untuk perumusan policy menjadi
sangat penting, tetapi ini semua tergantung kepada komitment semua stakeholders
dalam jejaring tersebut. Terdapat beragam institusi dalam suatu komunitas,
meskipun sangat sedikit jumlahnya, yang bergerak dalam usaha-usaha produktif
yang berbasiskan kepada komunitas dan telah melembaga, baik di sektor pertanian
maupun non-pertanian. Jejaring kelembagaan kolaboratif yang dikembangkan
harus mampu menjalin hubungan berdasarkan prinsip kesetaraan dengan institusiinstitusi tersebut. Oleh karena itu, sistem jejaringan yang terbentuk perlu
mempertimbangkan mekanisme pada sistem tradisional, karena mereka yang akan
menyaring penduduk yang ingin masuk dan dia yang akan menarik uang bagi
yang masuk. Perlu diingat bahwa aturan-aturan main yang menghambat pasar
agar dihapus, sehingga masyarakat tidak mengalami kesengsaraan. Hal-hal
demikian perlu diingat dalam membangun jejaring yang ada yakni
menyelamatkan jaringan pasar yang sudah ada dan aturan main yang merugikan
masyarakat harus dicabut.
Dalam hal pendanaan kegiatan produktif, peranan pemerintah lokal lebih bersifat
sebagai fasilitator bukan hanya sebagai donatur. Pemerintah lokal perlu
mengalokasikan dana untuk masyarakat lapisan bawah atau pengusaha kecil di
kawasan ini. Dalam hal ini penguatan kelembagaan merupakan hal penting dalam
pemberdayaan masyarakat. Untuk itu harus ada kesepakatan, bahwa harus
dimulai dengan penguatan kelembagaan dan alokasi dana. LSM yang bergiat
dalam pemberdayaan masyarakat bisa melengkapi kegiatan usaha-usaha
produktif.
Apabila dilandasi dengan respons yang baik serta prinsip-prinsip partisipatori,
maka hasil pemikiran stakeholders di tingkat lokal atau nasional perlu
dikembalikan pada jejaringan di tingkat komunitas dan lokal, sehingga rumusanrumusan dari jejaring ini perlu mendapat tanggapan dari seluruh masyarakat dan
tanpa harus diformalkan (Gambar 2).

32

Koperas
i

LSM
O

Swast
a

Komunita
s
Desa

Lembaga
Keuangan

Kecamatan
Kabupaten
Provinsi
Pemerinta
h

Pusat
Perguruan
Tinggi

Gambar 2. Jejaring Sosial Berbasis Komunitas

33

Anda mungkin juga menyukai