Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindroma nefrotik (SN) merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis
yang terdiri dari edema, proteinuria masif, hipoalbuminemia, dan
hiperkolesterolemi. Edema yang ditemukan dapat bervariasi, mulai dari
ekstremitas saja sampai anasarka. Yang dimaksud proteinuria masif adalah apabila
didapatkan proteinuria sebesar 40 mg/m2/jam atau proteinuria +2 atau lebih.
Hipoalbuminemia apabila kadar albumin dalam darah 2,5 mg/dl serta kolesterol
dalam darah meningkat 200 mg/dl. Selain gejala-gejala klinis di atas, kadangkadang dijumpai hipertensi, hematuri dan azotemia.1,2
2.2

Epidemiologi

Insidensi SN bervariasi tergantung pada ras, usia, dan letak geografis. SN


sendiri merupakan penyumbang terbesar penyakit ginjal pada anak. Di Amerika
Serikat dan Inggris tercatat 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan
prevalensi 12-16 kasus per 100.000 anak. Di Indonesia sendiri dilaporkan 6 kasus
per 100.000 anak setiap tahunnya. Sekitar 75%-80% kasus SN di klinik
merupakan SN primer (idiopatik). Angka kejadian terbanyak pada anak berumur
antara 3-4 tahun. Pada anak-anak, berdasarkan histopatologis yang tampak pada
biopsi ginjal, paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (minimal change
nephropathy)(75%-85%), dengan kasus pada laki-laki dua kali lebih banyak
daripada wanita.2,3,4
2.3

Etiologi3,5

Sebab yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu
penyakit autoimun, yaitu reaksi antigen-antibodi.
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :
1. Sindrom nefrotik bawaan / kongenital, yaitu jenis sindrom nefrotik yang
ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun. Diturunkan
sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Resisten terhadap
semua pengobatan. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Prognosis
buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama
kehidupannya.
2. Sindrom nefrotik primer/idiopatik, faktor etiologinya tidak diketahui.
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara
primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada
penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Klasifikasi
sindroma nefrotik berdasarkan histopatologi, Churg dkk membagi dalam 4
golongan, yaitu:
Glomerulonefritis pascastreptokok
Glomerulonefritis kelainan minimal

17

Dengan mikroskop biasa glomerulus tampak normal, sedangkan


dengan mikroskop electron tampak foot processus sel epitel berpadu.
Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG atau
immunoglobulin beta-IC pada dinding kapiler glomerulus. Golongan
ini lebih banyak terdapat pada anak daripada orang dewasa. Prognosis
lebih baik dibandingkan dengan golongan lain
Glomerulonefritis membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang
tersebar tanpa proliferasi sel. Tidak sering ditemukan pada anak.
Prognosis kurang baik
Glomerulonefritis proliferatif
Glomerulonefritis proliferatif eksudatif difus
Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltasi sel polimorfonukleus.
Pembengkakkan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler
tersumbat. Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis yang timbul
setelah infeksi dengan Streptococcus yang berjalan progresif dan pada
sindrom nefrotik.prognosis jarang baik, tetapi kadang-kadang terdapat
penyembuhan setelah pengobatan yang lama.
Dengan penebalan batang lobular
Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang
lobular.
Dengan bulan sabit (crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel simpai
(kapsular) dan visceral. Prognosis biasanya buruk.
Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai
membrane basalis di mesangium. Titer globulin beta-1C atau beta-1A
rendah. Prognosis tidak baik.
Glomerulosklerosis fokal segmental
Pada kelainan ini yang menyolok sklerosis glomerulus. Sering
disertai dengan atrofi tubulus. Prognosisnya buruk.

Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom
nefrotik tipe kelainan minimal (SNKM) sekitar 80-80%. Pada dewasa prevalensi
sindrom nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada
anak-anak.Gambaran patologi anatomi lainnya adalah glomerulosklerosis fokal
segmental (GSFS) 7-9%, proliferatif mesangial difus (GNPMD) 6,2% dan
nefropati membranosa (GNM) 1,3%.
3. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit
sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya
efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah:
Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis,
sindrom Alport, miksedema.
Infeksi: hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS.
Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid,
timbal, racun serangga, bisa ular.

18

2.4

Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus


sistemik, purpura Henoch-Schnlein, sarkoidosis.
Neoplasma: tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal,
tumor wilms, leukemia.

Klasifikasi1

Secara klinis sindroma nefrotik dapat dibagi berdasarkan etiologi, gambaran


histopatologi, dan responnya terhadap steroid. Klasifikasinya adalah sebagai
berikut:
1. Berdasarkan etiologi
Sindrom nefrotik primer
Sindrom nefrotik kongenital
Sindrom nefrotik sekunder
2. Berdasarkan kelainan histopatologi
Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)
Glomerulosklerosis
glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/ subepitelial
Glomerulonefritis membranosa (GNM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
3. Berdasarkan respon terhadap terapi steroid
Steroid responsif (umumnya SNKM)
Steroid dependen (umumnya juga SNKM)
Steroid non responsif (umumnya GSFS, GSFG, GNMP)
Namun, pada umunya saat ini klasifikasi SN lebih didasarkan pada respon klinik
yaitu:
1. Sindrom nefrotik respon steroid (SNSS)
2. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)
Dalam praktik diberikan beberapa batasan yang dipakai pada SN yaitu:
1. Remisi: proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/
jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
2. Relaps: proteinuria 2+ (proteinuria 40 mg/m2 LPB/ jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu.
3. Relaps jarang: proteinuria +2/> muncul kembali kurang dari dua kali
dalam setahun setelah pengobatan steroid dihentikan.

19

4. Relaps sering : proteinuria +2/> muncul kembali 2 kali dalam 6 bulan


atau 3 kali dalam setahun setelah pengobatan steroid dihentikan.
5. Dependen steroid: relaps terjadi saat dosis steroid diturunkan atau
dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali
berturut-turut.
6. Resisten steroid: remisi tidak terjadi setelah akhir minggu ke delapan
pengobatan steroid alternating.
2.5

Patofisiologi2,5,7

Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya


sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar.
Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang
biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal.
Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif
tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan
akibat utama dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar
albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan
konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh
penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya -glikoprotein sebagai
perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara
spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid
kembali normal.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus
dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan
edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan
stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini
timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan
intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan
pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma
yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu
rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium
dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium
rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan
bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena
hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik
menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru
memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin
plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori
overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme
intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi
natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan
ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke
dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume

20

plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai
akibat hipervolemia.
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang
dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung
bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena
patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi
rangsangan yang lebih dari satu.

2.6

Manifestasi Klinis2,6

Manifestasi klinik utama adalah sembab, yang tampak pada sekitar 95%
anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara lambat sehingga
keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering
bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang
mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum
atau labia). Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif (anasarka). Sembab
bersifat menyeluruh, dependen dan pitting. Asites umum dijumpai, dan sering
menjadi anasarka. Anak-anak dengan asites akan mengalami restriksi pernafasan,
dengan kompensasi berupa tachypnea. Akibat sembab kulit, anak tampak lebih
pucat.
Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab
muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada
ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan
bekas bila ditekan (pitting edema). Sembab biasanya tampak lebih hebat pada
pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut
disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien
SNKM.
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom
nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang disebabkan

21

sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat,


atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang
berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena sembab
dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun karena edema.
Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada
pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan hernia
umbilikalis dan prolaps ani.
Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak,
maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat.
Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.
Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit
berat dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang
sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan
respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh
anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu sering dan lama
menyebabkan perkembangan dunia sosial anak menjadi terganggu. Pada
pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar
perut dan tekanan darah.
Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40
mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari.
Pasien SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien
dengan tipe yang lain.
Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum <
2.5 g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan
umumnya, berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol
LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar
lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria.
Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun
tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik.
Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal
penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin
serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan
SNKM. Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom
nefrotik. Pada pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi
pleura dan hal tersebut berkorelasi secara langsung dengan derajat sembab dan
secara tidak langsung dengan kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran
asites. USG ginjal sering terlihat normal meskipun kadang-kadang dijumpai
pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan ekogenisitas yang normal.
2.7

Penegakan Diagnosis1

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak
mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin
22

yang berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin


berwarna kemerahan.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di
kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema
skrotum/labia. Kadang-kadang ditemukan hipertensi.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan rutin
Darah tepi : Hb, jumlah leukosit, trombosit, hitung jenis, LED
Urinalisis : Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif ( 2+),
dapat disertai hematuria
Kimia darah : kolesterol, albumin/globulin, ureum/kreatinin,
asam urat, Na, K, Ca dan P
Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5
g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang
meningkat, rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan
kreatinin umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi
ginjal.
Klirens kreatinin (rumus Schwart) K x tinggi badan (cm)
Kreatinin serum (mg/dl)
Nilai K pada:

BBLR < 1 tahun

= 0,33

Aterm< 1 tahun

= 0,45

1-12 tahun

= 0,55

Perempuan 13-21 tahun = 0,57


Laki-laki 13-21 tahun

2.8

= 0,70

Tes Mantoux (sebelum terapi steroid dimulai)


Pemeriksaan atas indikasi
Foto thorak, EKG bila dijumpai edema berat
ASTO dan C3 bila dijumpai tanda-tanda nefritis
CRP dan biakan urin bila dijumpai LED , hematuria,
leukositosis, leukosituria dan silinderuria
ANA, anti DsDNA, C3, C4 bila dicurigai SLE
Biopsi ginjal dengan indikasi:
Usia >6 tahun dengan manifestasi sindroma nefritis
Usia <1 tahun
C3 menurun secara persisten
Steroid persisten/relaps sering (selama atau pasca terapi
steroid)

Tatalaksana1

1. Aktivitas

23

2.
3.

4.

5.

6.

7.

Aktivitas disesuaikan dengan kemampuan pasien, jika ada: edema anasarka,


dispnea, hipertensi tirah baring
Diet
- Protein normal sesuai RDA yaitu 2 gram/kgbb/hari
- Diet rendah garam (1-2 gram /hari) selama edema/mendapat terapi steroid
Diuretik
Restriksi cairan (30 ml/kgbb/hari) selama ada edema berat dan oliguria
loop diuretic Furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila kadar kalium rendah
< 3,5 mEq/L dapat dikombinasi dengan spironolakton 1-2 mg/kgbb/hari
diberikan pada edema berat/ anasarka. Diuretik > 1 minggu periksa
ulang natrium dan kalium plasma.
Bila disertai hipovolemia (hipoalbuminemia berat kadar albumin
1,5 gram/dl, berikan infus albumin rendah garam 20-25% 1gram/kgBB
atau plasma sebanyak 15-20 ml/kgBB dalam 1-2 jam, 15-30 menit
setelah infus albumin/ plasma selesai diberikan furosemid 1-2 mg/kgBB
IV.
Antibiotik/antiviral
Antibiotik diberikan bila:
edema anasarka dengan laserasi kulit diberikan amoksisilin, eritromisin
atau sefaleksin
infeksi beri antibiotik yang disesuaikan dengan derajat berat infeksi
bila terjadi infeksi Varicella diberikan Asiklovir 80 mg/kgBB/hari dibagi
4 dosis -> 7-10 hari, pengobatan kortikosteroid stop sementara
Imunisasi
vaksin virus hidup baru diberikan setelah 6 minggu pengobatan steroid
selesai
kontak dengan penderita Varicella, diberikan imunoglobulin VaricellaZoster dalam waktu <72 jam
Tuberkulostatika
Tes Mantoux (+), beri INH profilaksis
TBC aktif, beri OAT
Kortikosteroid
Pengobatan steroid untuk sementara tidak boleh diberikan bila dijumpai :
- hipertensi
- infeksi berat (viral/bakteri)
- azotemia
Pengobatan inisial pada pasien baru
Dosis inisial prednison atau prednisolon 60 mg/m2/hari atau 2
mg/kgBB/hari sesuai dengan BB ideal (BB/TB) dibagi 3 dosis (maksimal 80
mg/hari) selama 4 minggu
Remisi (+) pada 4 minggu pertama, dosis alternating 40 mg/m2/hari
(2/3 dosis inisial) selang sehari pada pagi hari sudah makan selama 4
minggu lalu stop. Bila remisi terjadi antara minggu ke-5 sampai dengan
akhir minggu ke8, steroid alternating dilanjutkan 4 minggu lagi.
Remisi (-) sampai akhir minggu ke 8 -> steroid resisten
Pengobatan SN relaps

24

Bila dijumpai proteinuria (>+2) setelah pengobatan steroid selesai,


perlu dicari faktor pemicunya (biasanya infeksi) dan diobati dengan AB
selama 5-7 hari.
Bila proteinuria jadi negatif tidak perlu diberi prednison, bila
proteinuria masih tetap (>+2) atau tidak ditemukan fokus infeksi mulai
dengan prednison dosis penuh sampai remisi (proteinuria negatif atau trace
3 hari berturut-turut) maksimal 4 minggu kemudian dilanjutkan dosis
alternating selama 4 minggu, stop
Bila pada full dose selama 4 minggu remisi (-), alternating 4 minggu
remisi (-) dapat dikatakan resisten steroid
Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid
Ada 4 pilihan:
1. pemberian steroid jangka panjang
2. pemberian Levamisol
3. pengobatan CPA
4. pengobatan Siklosporin
1) Steroid jangka panjang
Dimulai dengan prednison atau prednisolon dosis penuh (4 minggu)
sampai terjadi remisi. Lanjutkan dengan steroid alternating (4
minggu), kemudian dosis diturunkan perlahan 0,5 mg/kgbb setiap 4
minggu sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu
antara 0,10,5 mg/kgbb alternating, dapat diteruskan selama 612
bulan coba dihentikan (Gambar 3).
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat >0,5 mg/kgbb/AD,
tetapi < 1 mg/kgbb/alternating tanpa efek samping yang berat dapat
dicoba dikombinasi dengan Levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb
selama 4 12 bulan atau langsung diberi CPA.
Bila pasien:
1) relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb/alternating atau
2) meskipun dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
(a) efek samping steroid yang berat
(b) pernah relaps dengan gejala yang berat antara lain hipovolemia,
trombosis, sepsis diberikan CPA dengan dosis 2 3
mg/kgbb/hari selama 8 12 minggu.
2) Sitostatika
2.1. Siklofosfamid (CPA oral) 2-3 mg/kgbb/hari atau intravena 500
mg/m2/hari atau
2.2. Klorambusil 0,2 mg/kgbb/hari selama 8 minggu.
Pemantauan dengan pemeriksaan darah tepi: Hb, lekosit,
trombosit 1-2 x seminggu. Obat dihentikan bila jumlah lekosit <
3000/ul, Hb < 8 g/dl atau trombosit < 100.000/ul dan diteruskan
kembali setelah lekosit > 5000/ul.
3) Siklosporin (CyA)
25

Siklosporin dosis 5 mg/kgbb/hari dipakai pada:


1. Pada SN idiopatik yang tidak respon dengan pengobatan steroid
atau sitostatika (Gambar 3).
2. Pada SN relaps sering/dependen steroid

2.9

Komplikasi3
1. Tromboemboli
2. Infeksi
3. Hiperlipidemia
4. Hipokalsemia
5. Hipovolemia
6. Gagal ginjal akut
7. Anemia
8. Pertumbuhan abnormal

2.10 Prognosis
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di
atas 6 tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.

26

Anda mungkin juga menyukai