Anda di halaman 1dari 36

Proposal Penelitian Akhir

ANALISIS KADAR VITAMIN D DAN KADAR INSULIN PADA PENDERITA


DIABETES MELITUS TIPE 2
ANALYSIS OF VITAMIN D AND INSULIN LEVEL IN PATIENT WITH TYPE
2 DIABETES MELITUS

AGUSTINI
P1507210133

PASCA SARJANA KEDOKTERAN


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU
(COMBINED DEGREE)
PROGRAM STUDI ILMU PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Diabetes melitus merupakan

suatu

kelompok

penyakit

metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena


kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. (ADA 2010).
Diabetes Melitus (DM) Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi
akibat insensitivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit
menurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap di
hasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes melitus tipe 2
dianggap sebagai non insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM)
(Corwin, 2001).
Berbagai

penelitian

epidemiologi

menunjukkan

adanya

kecenderungan peningkatan insiden dan prevalensi DM tipe 2 di


berbagai penjuru dunia (Gustaviani, 2007). World Health Organization
(WHO)

memprediksi

adanya

peningkatan

jumlah

penyandang

diabetes cukup besar untuk tahun-tahun mendatang (WHO,1999)


Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4
juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Wild,
2004). Laporan hasil penelitian dari berbagai daerah di Indonesia
yang dilakukan pada dekade 1980 menunjukkan sebaran prevalensi
DM tipe 2 antara 0,8% di tanah Toraja sampai 6,1% yang didapatkan
di Manado. Hasil penelitian pada era 2000 menunjukkan peningkatan
2

prevalensi yang sangat tajam. Sebagai contoh penelitian di Jakarta,


prevalansi DM 1,7% pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun 1993
dan kemudian menjadi 12,8% pada tahun 2001 di daerah sub-urban
(Gustaviani,2007).
Menurut Badan Kesehatan dunia WHO, secara global, penyakit
diabetes melitus menjangkiti sekitar 220 juta orang dan mempunyai
mortalitas sebesar 3,4 juta orang setiap tahun. Berdasarkan data
statistik, badan dunia WHO memprediksi tingkat kematian yang
disebabkan oleh penyakit diabetes melitus dapat meningkat menjadi 2
kalinya pada tahun 2005 sampai 2030.
Diagnosis DM didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa
darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal
bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai.
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan
cara enzimatik dengan bahan darah serum/plasma vena, walaupun
demikian sesuai kondisi setempat dapat juga dipakai darah lengkap
vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria
diagnosik yang berbeda sesuai WHO (Gustaviani, 2007;WHO,1999).
Menurut Smeltzer & Bare (2002) DM tipe 2 disebabkan
kegagalan relatif sel beta pankreas dan resisten insulin. Resisten
insulin adalah berkurangnya kemampuan insulin untuk merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat
produksi glukosa oleh hati. Sel beta tidak mampu mengimbangi
resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif
insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin
3

pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa


bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel beta
pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Smeltzer, Bare,
2002).
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam
amino, dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan
normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan
kemudian disekresikan ke dalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk
keperluan regulasi glukosa darah (sudoyo W, 2006, Hotamisligil G,
2006). Molekul insulin terdiri dari dua rantai polipeptida yang
dihubungkan oleh jembatan disulfide. Rantai A terdiri dari 21 asam
amino dan rantai B 30 asam amino.(Lina Y, 2005; Zhang B, 2002).
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor
hormone insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan
bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami pemecahan
sehingga terbentuk proinsulin yang selanjutnya dihimpun dalam
gelembung-gelembung (Secretory vesicles) sel tesebut. Dengan
bantuan enzim peptidase, selanjutnya proinsulin dirubah menjadi
insulin dan peptideC (C-peptide) yang siap untuk disekresikan
melalui membrane sel. (Sudoyo W, 2006).
Dalam keadaan fisiologis insulin disekresikan sesuai dengan
kebutuhan tubuh normal oleh sel beta dalam dua fase yaitu fase dini
(fase 1) dan fase lanjut (fase 2). Fase dini terjadi 3-10 menit pertama
setelah makan. Insulin yang disekresikan pada fase ini adalah insulin
yang disimpan dalam sel beta (siap pakai). Pada fase lanjut sekresi
4

insulin dimulai setelah 20 menit setelah stimulasi dengan glukosa.


Fase 1 sekresi insulin akan meningkat pada pemberian glukosa untuk
mencegah kenaikan glukosa darah, selanjutnya akan merangsang
fase 2 untuk meningkatkan insulin. Makin tinggi kadar glukosa darah
sesudah makan makin besar pula insulin dibutuhkan (sudoyo W, 2006,
Adam JMF, 2006).
Peningkatan

kadar

glukosa

darah

puasa

(GDP),

lebih

ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa endogen yang berasal


dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar.
Dalam hal ini, insulin berperan melalui efek inhibisi hormon tersebut
terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara berlebihan.
Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan
inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan
semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar. Apabila ada
gangguan pada mekanisme kerja insulin, menimbulkan hambatan
dalam utilisasi glukosa serta peningkatan kadar glukosa darah yang
secara klinis dikenal sebagai DM (Sudoyo W, 2006).
Hubungan antara vitamin D dengan diabetes melitus tipe 1
telah banyak dilaporkan (Luong K, Mathieu C, 2005). Pengobatan
vitamin D telah terbukti mencegah risiko diabetes melitus tipe 1 pada
hewan dan manusia (Gregori S, 2002). Efek ini terutama dihubungkan
dengan fungsi imunomodulator dari vitamin D namun sedikit yang
diketahui tentang hubungan antara vitamin D dan diabetes melitus tipe
2. Vitamin D menyebabkan defisiensi sekresi insulin berkurang pada

tikus dan manusia, selain itu adanya vitamin D receptor (VDR) dan
vitamin D-binding protein (DBP) mungkin mempengaruhi toleransi
glukosa dan sekresi insulin, sehingga menyebabkan risiko timbulnya
diabetes melitus tipe 2.(Iyengar S, Ortlepp JR, 2003)
Suatu penelitian prospektif oleh Pittas et.al, menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara asupan vitamin D dengan diabetes
melitus, peran vitamin D terhadap regulasi fungsi sel beta pankreas
terbukti oleh penemuan reseptor vitamin D pada sel beta pankreas
dan gangguan kapasitas sekresi insulin pada tikus yang kekurangan
reseptor fungsional vitamin D. (Pittas AG, 2006). Studi di Selandia
Baru melaporkan bahwa pasien baru yang di diagnosis diabetes
melitus tipe 2 atau toleransi glukosa terganggu memiliki kadar vitamin
D yang rendah dibandingkan subyek kontrol (Sragg R et al, 1995).
Selain

itu

data

epidemiologis

di

London

dan

Bangladesh

menunjukkan penurunan konsentrasi serum vitamin D pada populasi


berisiko diabetes melitus tipe 2. (Boucher BJ, 1995)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat

dirumuskan

pertanyaan penelitian sebagai berikut: Bagaimana kadar vitamin D


dan insulin pada penderita DM tipe 2, Toleransi glukosa tergganggu
dan bukan penderita DM tipe 2 ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum:
Menganalisis kadar vitamin D dan insulin sebagai faktor risiko
terjadinya resistensi insulin pada penderita DM tipe 2.
2. Tujuan Khusus:

a. Menentukan kadar vitamin D dan insulin pada penderita DM


tipe 2
b. Menentukan kadar vitamin D dan insulin pada penderita
toleransi glukosa tergganggu
c. Menentukan kadar vitamin D dan insulin pada bukan penderita
DM tipe 2
d. Membandingkan kadar vitamin D dan insulin pada penderita
DM tipe 2, toleransi glukosa tergganggu dan bukan penderita
DM tipe 2
e. Menentukan hubungan kadar vitamin D dan insulin pada
penderita DM, toleransi glukosa tergganggu dan bukan
penderita DM tipe 2.
D. Hipotesis Penelitian
Kadar vitamin D dan insulin pada penderita DM tipe 2 lebih
rendah dibandingkan kadar vitamin D dan insulin pada toleransi
glukosa tergganggu dan bukan penderita DM tipe 2
E. Manfaat Penelitian
1. Dengan menganalisis kadar vitamin D dan insulin pada penderita
DM tipe 2, bila terbukti mempunyai nilai yang bermakna, maka
dapat dijadikan anjuran pemeriksaan sebagai upaya pencegahan
penderita DM tipe 2.
2. Menambah informasi ilmiah mengenai peranan vitamin D dan
insulin pada patogenesis DM tipe 2.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Assosiation (ADA) tahun 2010,
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (ADA, 2010,
Gustaviani, 2007). Menurut World Health Organization (WHO) pada
tahun 1980 dikatakan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak
dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi
secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problem
anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor
dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan
fungsi insulin (WHO,1999).
Berbagai penelitian

epidemiologi

menunjukkan

adanya

kecenderungan peningkatan insiden dan prevalensi DM tipe 2 di


berbagai penjuru dunia (Gustaviani, 2007). World Health Organization
memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup
besar untuk tahun-tahun mendatang (WHO,1999) Untuk Indonesia,
WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun
2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Wild, 2004). Laporan
hasil penelitian dari berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan pada
dekade 1980 menunjukkan sebaran prevalensi DM tipe 2 antara 0,8%
di tanah Toraja sampai 6,1% yang didapatkan di Manado. Hasil
8

penelitian pada era 2000 menunjukkan peningkatan prevalensi yang


sangat tajam. Sebagai contoh penelitian di Jakarta, prevalansi DM
1,7% pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan kemudian
menjadi

12,8%

pada

(Gustaviani,2007).
Penyebab DM

tahun

tipe

2001
belum

di

daerah

sepenuhnya

sub-urban
jelas,

tetapi

diperkirakan disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor genetik dan


faktor lingkungan (Suryohudoyo, 2007).
a. Faktor genetik
Penelitian menunjukkan bahwa 40 penderita DM tipe 2
mempunyai keluarga DM. Hal ini tampak pada penelitian
DM tipe 2 kembar identik ternyata 60-90% keduanya
mengidap

DM.

Mutasi

gen

untuk

glukokinase

juga

dibuktikan sebagai penyebab hiperglikemia pada DM usia


muda atau Maturity onset of Diabetes of the Young (MODY)
(Sanusi, 2006).
b. Faktor Lingkungan
Disamping adanya kepekaan genetik, faktor lingkungan
sangat berperan dalam proses timbulnya DM tipe 2.
Kelebihan

energi

dan

perubahan

pola

hidup

dalam

kehidupan sehari-hari seperti aktifitas fisik yang kurang dan


pola makan yang tidak seimbang sangat berisiko timbulnya
DM tipe 2. Faktor lingkungan lainnya yang berperan adalah
malnutrisi yang terjadi pada awal kehidupan terutama pada
waktu janin dalam kandungan dan tahun pertama dari
kelahiran,

secara

lambat

laun

dapat

menyebabkan

kerusakan sel-sel beta pankreas pada usia dewasa.

Demikian pula obat-obatan diabetogenik seperti kortisol


(Sanusi, 2006).
Patogenesis DM tipe 2 belum sepenuhnya dipahami, namun
ada beberapa faktor yang menyebabkan peralihan dari toleransi
glukosa normal menjadi DM tipe 2 antara lain berkurangnya sekresi
insulin, pemanfaatan glukosa menurun, dan peningkatan produksi
glukosa (Powers AC, 2005). Ada dua kelainan utama yang
mendasarinya yaitu defek sel beta pankreas sehingga pelepasan
insulin berkurang, dan adanya resistensi insulin (Adam, 2006;
Masharani, 2007).
a. Gangguan sekresi insulin pada sel pankreas
Pankreas terdiri dari sel dan sel pulau-pulau langerhans
pankreas. Apabila kadar glukosa darah meningkat, maka sel
pankreas akan melepaskan insulin ke sirkulasi untuk
menurunkan kadar glukosa darah, sebaliknya apabila kadar
glukosa darah menurun, sel pankreas akan melepaskan
glucagon yaitu hormon yang meningkatkan glukosa darah
(Schteingart, 2006).
Sekresi insulin pada orang non diabetes meliputi dua fase
yaitu fase dini (fase 1) yang terjadi dalam 3-10 menit
pertama setelah makan. Insulin yang disekresi pada fase ini
adalah insulin yang disimpan dalam sel dan fase lanjut
(fase 2) yang terjadi 20 menit setelah stimulasi dengan
glukosa. Sekresi insulin fase 1 akan meningkat pada
pemberian glukosa untuk mencegah kenaikan kadar

10

glukosa darah dan kenaikan glukosa darah selanjutnya


akan merangsang fase 2 untuk meningkatkan insulin. Makin
tinggi kadar glukosa darah sesudah makan makin besar
pula insulin dibutuhkan, akan tetapi kemampuan ini hanya
terbatas pada kadar glukosa darah dalam batas normal.
(Sanusi, 2006)
Pada DM tipe 2, fase 1 sekresi insulin tidak dapat
menurunkan glukosa darah yang merangsang fase 2 untuk
menghasilkan insulin lebih banyak, akan tetapi sudah tidak
mampu meningkatkan sekresi insulin seperti pada orang
normal (Sanusi, 2006).
Gangguan sekresi insulin ini menyebabkan sekresi insulin
fase 1 tertekan, akibatnya kadar insulin dalam darah
menurun, kondisi ini memacu sel pankreas menghasilkan
glucagon. Glukagon meningkatkan pelepasan glukosa dari
hepar yang disebut hepatic glucose output (HGO), keadaan
ini mengakibatkan kadar glukosa darah puasa meningkat.
Sebaliknya secara berangsur-angsur fase 2 akan menurun.
Dengan demikian perjalanan DM tipe 2 dimulai dari
gangguan pada fase 1 yang menyebabkan hiperinsulinemia
dan gangguan fase 2 menyebabkan gangguan sel
(Sanusi, 2006).
Apabila terjadi resistensi insulin yaitu ketidak sanggupan
insulin memberi efek biologi yang normal pada kadar
glukosa plasma tertentu (Sanusi, 2006) maka pada tahap
11

awal sekresi insulin akan meningkat untuk mempertahankan


toleransi glukosa normal. Tetapi dalam perjalanan penyakit
sekresi insulin tidak lagi mencukupi kebutuhan tersebut
sehingga terjadi hiperglikemia (Powers, 2005).
Penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara kadar
glukosa plasma puasa dengan kadar insulin puasa. Pada
kadar glukosa plasma puasa 80-140 mg% maka kadar
insulin puasa meningkat tajam, akan tetapi bila kadar
glukosa darah puasa melebihi 140 mg% maka kadar insulin
tidak mampu meningkat lebih tinggi lagi dan pada tahap ini
mulai terjadi kelelahan sel bahkan sel fungsinya
menurun (Sanusi H, 2006). Hal tersebut dapat diperlihatkan
dengan kurva Starling (Gambar 1).
b. Resistensi Insulin
Resistensi insulin didefinisikan sebagai gangguan respons
biologis terhadap insulin baik yang endogen maupun
eksogen. Pada keadaan resistensi insulin, sel pankreas
memacu sekresi insulin untuk mempertahankan keadaan
normoglikemia.

Walaupun

mekanisme

belum

jelas

sepenuhnya, namun diduga penyebabnya antara lain


karena kelainan fungsi reseptor insulin, gangguan transport
glukosa dan peningkatan asam lemak bebas (Adam, 2006).
Pada awal resistensi insulin, tampak adanya resistensi dari
sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula

12

terikat pada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu,


kemudian terjadi reaksi intraseluler yang menyebabkan
mobilisasi pembawa GLUT-4 glukosa dan meningkatkan
transport glukosa menembus membrane sel. Pada pasienpasien DM tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin
dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh
berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel
yang

responsif

terhadap

insulin

atau

akibat

ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya terjadi


penggabungan yang abnormal antara kompleks reseptor
insulin dengan sistem transport glukosa (Gambar 2).
Ketidaknormalan postreseptor dapat mengganggu kerja
insulin (Schteingart, 2006).
Resistensi insulin mengakibatkan aktifitas glukoneogenesis
di hati meningkat sehingga menghasilkan glukosa lebih
banyak, di otot menyebabkan gangguan ambilan glukosa
dari darah sehingga terjadi hiperglikemia, sementara di
jaringan

lemak

terjadi

peningkatan

proses

lipolisis

menyebabkan pelepasan asam lemak bebas berlebihan ke


aliran darah (Mcphee, 2003).
Diagnosis DM didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa
darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal
bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai.
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan

13

cara enzimatik dengan bahan darah serum/plasma vena, walaupun


demikian sesuai kondisi setempat dapat juga dipakai darah lengkap
vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria
diagnosik yang berbeda sesuai WHO (Gustaviani, 2007;WHO,1999).
Ada perbedaan antara uji diagnotik dan pemeriksaan penyaring
DM. Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala
DM,

sedangkan

pemeriksaan

penyaring

bertujuan

untuk

mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko


DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan pada mereka yang
hasil pemeriksaan penyaring positif, untuk memastikan diagnosis
definitif (ADA, 2010;Gustaviani, 2007).
Pemeriksaan penyaring dilakukan dengan kelompok salah satu
risiko DM sebagai berikut: 1) usia >45 tahun, 2) berat badan lebih
atau IMT >23 kg/m2, 3) Hipertensi, 4) riwayat DM dalam garis
keturunan, 5) riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau
berat badan lahir bayi >4000 gram, 6) kolesterol HDL rendah dan
trigliserida tinggi (Gustaviani, 2007;PERKENI, 2006).
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan
khas berupa poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan
pasien adalah lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada pasien wanita.
Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan
kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan
14

diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan yang khas, hasil


pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali diambil saja abnormal,
belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan
konfirmasi lebih lanjut dengan satu kali lagi hasil yang abnormal baik
glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200
mg/dl pada hari yang lain atau dari hasil tes toleransi glukosa oral
(TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan 200
mg/dl (Gustaviani, 2007).
Beberapa dekade terakhir hasil penelitian klinik maupun
laboratorik menunjukkan bahwa DM merupakan suatu keadaan yang
heterogen baik penyebabnya maupun jenisnya. Selama bertahuntahun hal ini telah didiskusikan oleh banyak ahli dengan tujuan
mencapai persetujuan internasional tentang prosedur diagnostik,
kriteria dan terminologi (Brownlee, 2005, Gustaviani, 2007).
Berdasarkan penyebabnya DM dapat diklasifikasikan sebagai
berikut: (Gustaviani, 2007)
a. Tipe 1: destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi
insulin absolut
1) Autoimun
2) Idiopatik
b. Tipe 2: bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek
sekresi insulin disertai resistensi insulin.
c. Tipe lain:
1) Defek genetik fungsi sel beta
2) Defek genetik kerja insulin
3) Penyakit eksokrin pankreas
4) Endokrinopati
5) Karena obat atau zat kimia
6) Infeksi
15

7) Sebab imunologi yang jarang


8) Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
d. DM Gestasional.
B. Vitamin D
Vitamin D2 (ergocalciferol) dan vitamin D3 (cholecalciferol),
merupakan derivate steroid yang terbentuk dari ergosterol dan 7dehydrocholesterol. Vitamin D2 berbeda dari vitamin D3 dalam proses
pembentukan

rantai

19-carbon,

tetapi

dua

sterol

mempunyai

kesamaan dalam aktifitas sebagai anti rakhitis pada manusia. Struktur


metabolik aktifnya berupa 1,25-dihydroxyvitamin D 3 (1,25(OH)2D3.
(Permana H, 2004)
Vitamin D akan diangkut ke hati dan terikat oleh alfa globulin
spesifik (vitamin D-binding protein / DBP) dan sebagian kecil oleh
albumin dan lipoprotein. Kemudian mengalami hydroksilase menjadi
25-hydroxylated vitamin D (25(OH)2D3, calcidiol yang merupakan
bagian terbesar metabolit vitamin D yang berada di dalam sirkulasi,
oleh karena itu, 25(OH)2D3 merupakan ukuran terbaik status overall
vitamin D. Kadar normal berkisar 15-50 ng/dl (25-125 mmol/ml), tetapi
kadar < 15 ng/ml sudah mengarah ke defisiensi vitamin D. Selanjutnya
25(OH)2D3 di tubulus proksimal ginjal yang akan mengalami
hydroksilasi oleh 1 -hydroxylase menjadi bentuk 1,25 dihydroxytamin
D (1,25(OH)2D3). Hasil ini merupakan bentuk vitamin D yang paling
aktif. Langkah hidroksilasi tersebut dikendalikan oleh beberapa faktor
antara lain paratiroid hormone (PTH), fosfor, dan kalsium serum.
Konsentrasi 1,25 dihydrocholecalciferol D yang normal di dalam serum

16

adalah 20-60 pg/ml (50-150 pmol/L). Ginjal juga dapat mengkonversi


25(OH)2D menjadi 24,25-dihydroxyvitamin walaupun di sirkulasi
metabolit tersebut kadarnya 100 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
kadar 1,25(OH)2D namun peran biologisnya sampai saat ini masih
belum jelas (Permana H, 2004).
Vitamin D yang dibentuk di kulit atau diobsorpsi melalui usus
akan dirubah oleh hati menjadi 25-hydroxycholecalcipherol, yang
kemudian

oleh

ginjal

akan

dirubah

menjadi

1,25

dihydroxycholecalciferol (1,25 dihydroxy vitamin D3 = 1,25 DHCC)


yang

merupakan

suatu

hormon

dan

berperan

meningkatkan

penyerapan kalsium dan fosfat dari usus untuk kebutuhan mineral


pada pembentukan tulang dan sebagai perangsang pembentukan
osteoklast. Vitamin D larut dalam lemak dan oleh sebab itu untuk
dapat diangkut dalam darah membutuhkan vitamin D-binding protein
(DBP) yang spesifik (Permana H, 2004;Holick,2004). Pembentukan
1,25(OH)D3 terjadi terutama di ginjal, tetapi sintesis ekstrarenal juga
dapat terjadi seperti dalam sel pembuluh darah, kelenjar paratiroid,
dan makrofag. Reseptor vitamin D terdapat dalam beberapa sel target
yang mengatur penyerapan kalsium dan fosfor, proliferasi sel, fungsi
kekebalan tubuh dan merangsang sintesis dan sekresi insulin pada
pankreas. (Albert S, Valdivielso JM,2009).

17

Gambar 1. Sintesis dan target organ vitamin D. (Valdivielso JM,


2009)
Pada intoleransi glukosa dan DM tipe 2 umumnya didapatkan
adanya gangguan fungsi sel beta pankreas, resistensi insulin, dan
inflamasi sistemik. Terdapat bukti yang mendukung adanya pengaruh
vitamin D pada mekanisme ini, yaitu vitamin D dan fungsi sel beta

18

pankreas pada sekresi insulin terdapat beberapa bukti yang


mendukung peran menguntungkan dari vitamin D terhadap fungsi sel
beta pankreas (Gambar 1). Pada penelitian in vitro dan in vivo,
defisiensi vitamin D menyebabkan gangguan sekresi insulin glukosa
mediated dari sel beta tikus, sementara pemberian vitamin D
mempengaruhi sekresi insulin. Vitamin D memiliki efek langsung
terhadap fungsi sel beta yang dimediasi / diperantarai oleh ikatan
vitamin D bentuk aktif di sirkulasi, 1,25(OH) 2D dengan VDR, yang
diekspresikan oleh sel beta. Pada tikus dengan gangguan fungsional
VDR menunjukkan tergangguanya sekresi insulin.(Pittas G, Eliades
M, 2009)
Vitamin D dapat membantu fungsi sel beta pankreas melalui
beberapa cara:
1. Bentuk aktif vitamin D (1,25(OH) 2D) memasuki sel beta dari sirkulasi
dan berinteraksi dengan kompleks reseptor vitamin D-asam retinoid X
(VDR-RXR), yang terikat pada elemen vitamin D reseptor (VDRE)
yang terdapat di dalam promotor gen human insulin, untuk
meningkatkan aktivasi gen insulin dan meningkatkan sintesis insulin.
2. Vitamin D dapat membantu daya tahan sel beta dengan cara
mengatur inaktivasi dan efek sitokin dan faktor nuclear-kb (NF-kb).
Efek anti-apoptosis vitamin D juga dimediasi melalui down-regulasi
Fas-related pathways (Fas/fas-L).
3. Aktivasi vitamin D juga terjadi di intraseluler oleh bantuan enzim 1alpha hydroxylase yang diekspresikan dalam sel beta pankreas.
19

4. Efek vitamin D mungkin diperantarai/dimediasi secara tidak langsung


melalui regulasi Ca (Ca2+), kalsium flux melalui sel beta, dan kalsium
intraseluler. Proses pada kalsium flux dapat secara langsung
mempengaruhi sekresi insulin, yang merupakan proses calciumdependent.
5. Vitamin D juga mengatur calbidin, suatu protein sitosolik calciumbinding yang ditemukan pada sel beta pankreas, yang juga bekerja
sebagai modulator pelepasan depolarization-stimulated insulin melalui
regulasi pada kalsium intraseluler. Calbidin juga dapat melindungi dari
kematian sel apoptosis melalui kemampuannya untuk menstabilkan
kalsium intraseluler. (Pittas G, Eliades M, 2009)

Gambar 2. Fungsi sel beta pankreas dan vitamin D.(Eliades M,


Pittas G, 2009)
Penyebab utama defisiensi vitamin D adalah berkurangnya
asupan nutrisi, kurangnya paparan sinar matahari, keadaan yang
20

menyebabkan penurunan sintesa vitamin D di kulit dan penurunan


sintesa 25(OH)2D di ginjal akibat proses penuaan ginjal. Defisiensi
vitamin D yang terjadi dalam jangka waktu lama dan berat pada
dewasa muda akan menimbulkan osteomalasia, sedangkan pada
anak-anak akan mengalami rikect (suatu kelainan tulang yang khas
ditandai dengan adanya abnormalitas biokimiawi dan tulang), terjadi
kerusakan mineralisasi yang terus menerus, hiperparatiroid sekunder
berat, hipokalsemia, hipofosfatemia dan peningkatan fosfatase alkali.
Defisiensi vitamin D baru ditegakkan apabila dilakukan pemeriksaan
kadar 25(OH)2D dengan hasil biasanya sangat rendah bahkan dapat
tidak terdeteksi (Permana H, 2004)
Hubungan antara vitamin D dengan diabetes melitus tipe 1
telah banyak dilaporkan (Luong K, Mathieu C, 2005). Pengobatan
dengan vitamin D telah terbukti mencegah risiko diabtes melitus tipe 1
pada hewan dan manusia (Gregori S, 2002) Efek ini terutama
dihubungkan dengan fungsi imunomodulator dari vitamin D namun
sedikit yang diketahui tentang hubungan antara vitamin D dan
diabetes melitus tipe 2. Vitamin D menyebabkan defisiensi sekresi
insulin berkurang pada tikus dan manusia, selain itu adanya vitamin D
reseptor (VDR) dan vitamin D-binding protein (DBP) mungkin
mempengaruhi toleransi glukosa dan sekresi insulin, sehingga
menyebabkan risiko timbulnya diabetes melitus tipe 2 (Iyengar S;
Ortlepp JR, 2003).

21

Suatu penelitian prospektif oleh Pittas et.al, menunjukkan


bahwa terdapat hubungan antara asupan vitamin D dengan diabetes
melitus, peran vitamin D terhadap regulasi fungsi sel beta pankreas
terbukti oleh penemuan reseptor vitamin D pada sel beta pankreas
dan gangguan kapasitas sekresi insulin pada tikus yang kekurangan
reseptor fungsional vitamin D (Pittas AG, 2006). Studi di Selandia Baru
melaporkan bahwa pasien baru yang di diagnosis diabetes melitus
tipe 2 atau toleransi glukosa tergganggu memiliki kadar vitamin D
yang rendah dibandingkan subyek control (Sragg R et al, 1995).
Selain itu data epidemiologis di London dan Bangladesh menunjukkan
penurunan konsentrasi serum vitamin D pada populasi berisiko
diabetes melitus tipe 2 (Boucher BJ, 1995).
Faktor risiko utama DM tipe 2 adalah obesitas, namun
kehilangan berat badan sulit dicegah dalam waktu jangka panjang
pada penderita DM tipe 2 dengan obesitas. Hal yang sangat menarik
bahwa obesitas sering berkaitan dengan hipovitaminosis D. Massa
tubuh absolut memiliki hubungan yang terbalik dengan konsentrasi
serum 25(OH)2D dan berkorelasi positif dengan kadar serum PTH.
Hubungan ini dapat disebabkan oleh kapasitas jaringan adipose yang
besar dan penyimpanan vitamin D yang menyebabkan vitamin D
secara biologis tidak tersedia, peningkatan kadar PTH dan penurunan
serum

25(OH)2D3

sama

halnya

dengan

1,25(OH)2D3

dapat

meningkatkan kalsium intraseluler pada adiposity, yang kemudian


menstimulasi lipogenesis dan merupakan predisposisi peningkatan
22

berat badan. Dengan demikian nampak bahwa defisiensi vitamin D


yang ringan berkonstribusi atau merupakan konsekuensi obesitas
(Epstein S, 2010)
Defisiensi vitamin D berhubungan dengan risiko sindrom
metabolic dan DM tipe 2. Populasi menunjukkan bahwa vitamin D dan
kalsium penting dalam patogenesis DM tipe 2 karena dapat memicu
fungsi sel beta dan sensitivitas insulin. The National Health and
Nutrition Examination Survey (NHNES) melakukan penelitian Cross
sectional berskala besar dan memdapatkan korelasi yang terbalik
antara serum 25(OH)2D3 dengan insiden DM tipe 2 dan resistensi
insulin. Penelitian prospektif dari Medical Research Council Ely tahun
1990 sampai 2000, ditemukan hubungan antara serum 25(OH)2D3
dengan stasus glikemik dan terdapat korelasi positif antara plasma
25(OH)2D3 dengan sensitivitas insulin pada subyek sehat yang
dilakukan tes toleransi glukosa. Selain itu terapi osteomalasia yang
lama dengan vitamin D dapat meningkatkan sekresi insulin dan
memperbaiki toleransi glukosa (Epstein S, 2010).
Diabetes melitus tipe 2 merupakan kelainan poligenik, tetapi
kelainan monogenik yang sangat berkaitan dengan DM tipe 2 juga
ditemukan. Bentuk monogenik kurang ditemukan dan termasuk DM
subtipe maturyti onset diabetes (MODY). Protein yang berkaitan
dengan MODY adalah faktor transkripsi (seperti HNF-4, HNF-1,
IPF-1, HNF-1 dan NEUROD1). Sedangkan gen penyebab dari
bentuk poligenik dari DM tipe 2 sulit diidentifikasi namun terdapat

23

beberapa indikasi bahwa polimorfisme dari DBP dan VDR berkaitan


dengan toleransi glukosa tergganggu (Epstein S, 2010).
Protein DBP diketahui sebagai protein spesifik, terletak pada
kromosom 4q12 dan merupakan protein serum yang sangat
polimorfik, terutama diproduksi oleh hati, dengan tiga alel yang umum
(Gc1F, Gc1S, dan Gc2) dan 120 lebih varian yang jarang. Beberapa
penelitian menunjukkan polimorfisme DBP dan risiko penyakit karena
vitamin D. Hirai et al, mengevaluasi variasi DBP pada orang Jepang
dengan toleransi glukosa normal, penelitian ini memperlihatkan bahwa
orang dengan Gc1S/Gc2 dan Gc1s/Gc1S memiliki konsentrasi plasma
puasa lebih tinggi dari pada Gc1F/Gc1F.
Gen VDR terletak pada kromosom 12q13.11 dan mengandung
11 ekson. Gen polimorfisme dari VDR antara lain Bsml, Apal dan Taql.
Pada

penelitian

observasional

dilaporkan

hubungan

antara

polimorfisme VDR dan DM tipe 2, glukosa puasa, intoleransi glukosa,


sensitivitas insulin, sekresi insulin dan kadar calcitriol. Dilmec et al
tidak menemukan korelasi antara polimorfisme VDR (Apal, Taql) dan
risiko DM tipe 2 pada suatu penelitian terhadap 241 individu (72 DM
tipe 2 dan 169 sehat). Hubungan antara polimorfisme VDR dan risiko
DM tipe 2 pada populasi etnik yang berbeda memberikan hasil yang
bervariasi. Mekanisme dari hubungan ini masih belum dapat
dijelaskan, tetapi terdapat hubungan antara genotif VDR tertentu
dengan DM tipe 2 dan telah dilaporkan polimorfisme VDR dan vitamin
D

berperan

dalam

diferensiasi

dan

metabolisme

adiposity.

24

Polimorfisme VDR dapat berperan dalam patogenesis DM tipe 2


melalui pengaruhnya terhadap kapasitas sekretori sel beta pankreas.
VDR berkaitan dengan glukosa puasa tergganggu dan memberikan
pengaruh terhadap pentingnya vitamin D dalam modulasi sekresi
insulin (Epstein S, 2010).
Terdapat bukti yang kuat bahwa vitamin D penting untuk
mempengaruhi hemostasis glukosa dan juga diperantarai oleh aksinya
secara langsung pada fungsi sel beta pankreas. Beberapa penelitian
pada binatang dan manusia menunjukkan korelasi yang positif antara
defisiensi vitamin D dan intoleransi glukosa, serta sekresi insulin yang
terganggu. Defisiensi ini tampaknya memiliki pengaruh yang spesifik
pada insulin dan tidak pada hormon yang dihasilkan pankreas lainnya
seperti glucagon. Penelitian pada sel beta pankreas yang distimulasi
glukosa dan sulfonylurea yang dilakukan pada tikus dengan diet
kurang vitamin D memperlihatkan sekresi insulin dan toleransi glukosa
yang tergganggu. Kelainan ini dikoreksi sebagian oleh penambahan
vitamin D. Namun kelainan ini secara langsung disebabkan oleh
kurangnya vitamin D atau secara tidak langsung oleh hipokalsemia
masih tidak jelas (Epsten S, 2010).
Data yang lebih meyakinkan pada efek yang menguntugkan
dari vitamin D pada sekresi insulin diperoleh dari penelitian yang
memperlihatkan sintesis dan pelepasan insulin oleh sel beta pankreas
yang

diisolasi

dari

binatang

normal

dapat

ditingkatkan

oleh

rangsangan glukosa pada pemberian dosis tinggi 1,25(OH) 2D3.

25

Stimulasi

sel

beta

pankreas

oleh

1,25(OH)2D3

menunjukkan

peningkatan kadar kalsium sitosolik, merupakan mekanisme dari


1,25(OH)2D3 memungkinkan stimulasi sekresi insulin. Kalsium penting
untuk eksositosis insulin dari sel beta dan untuk glikolisis sel beta
yang berperan dalam translasi kadar glukosa sirkulasi. Vitamin D
dapat mengatur sekresi dan sintesis insulin melalui fasilitasi konversi
proinsulin menjadi insulin, yang diketahui tergantung pada pemecahan
oleh endopeptidase yang tergantung kalsium pada sel beta pankreas.
Kalsium intraseluler yang tinggi memperbaiki ikatan kalmodulin pada
substrat-1 reseptor insulin, dengan demikian mengganggu fosforilasi
tyrosin dan aktivasi kinase phosphoinositide-3 yang distimulasi insulin.
Sedangakn PTH ditemukan berhubungan terbalik dengan sensitivitas
insulin. Mekanisme lain yang mungkin berhubungan adalah vitamin D
dapat secara langsung memodulasi pertumbuhan dan differensiasi sel
beta pankreas (Epstein S, 2010).
1,25(OH)2D3 dan analognya telah diketahui terikat pada VDR
inti dan VDR membran, yang kemudian menginduksi masing-masing
respon genomik dan nongenomik. Melalui penelitian ini, Sergeev dan
Rhoten melaporkan bahwa pemberian 1,25(OH) 2D3 menimbulkan
osilasi kalsium intraseluler pada sel beta pankreas dalam beberapa
menit (Epstein S, 2010)
Kajikawa dan kawan-kawan menunjukkan bahwa analog 6-scis, 1,25(OH)2lumisterol3 memiliki efek insulinotropik yang cepat,
melalui transduksi signal nongenomik melalui VDR membran, dan

26

mungkin tergantung pada tambahan aliran

kalsium yang masuk

melalui saluran kalsium yang tergantung tegangan pada membran


plasma, juga berkaitan dengan signal metabolik yang dibawa dari
glukosa pada sel beta pankreas. DM tipe 2 berkaitan dengan inflamasi
sistemik, yang berkaitan dengan resistensi insulin primer, Vitamin D
juga dapat memperbaiki sensitivitas insulin dan fungsi sel beta
pankreas

melalui

modulasi

langsung

serta

mempengaruhi

pembentukan sitokin inflamasi (Epstein S, 2010).


C. Insulin
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam
amino, dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan
normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan
kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk
keperluan regulasi glukosa darah (sudoyo W, 2006, Hotamisligil G,
2006). Molekul insulin terdiri dari dua rantai polipeptida yang
dihubungkan oleh jembatan disulfide. Rantai A terdiri dari 21 asam
amino dan rantai B 30 asam amino.(Lina Y, 2005; Zhang B, 2002).
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor
hormone insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan
bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami pemecahan
sehingga terbentuk proinsulin yang selanjutnya dihimpun dalam
gelembung-gelembung (Secretory vesicles) sel tesebut. Dengan
bantuan enzim peptidase, disini proinsulin dirubah menjadi insulin dan
peptideC

(C-peptide)

yang

siap

untuk

disekresikan

melalui

membrane sel. (Sudoyo W, 2006).


27

Dalam keadaan fisiologis insulin disekresikan sesuai dengan


kebutuhan tubuh normal oleh sel beta dalam dua fase yaitu fase dini
(fase 1) dan fase lanjut (fase 2). Fase dini terjadi 3-10 menit pertama
setelah makan. Insulin yang disekresikan pada fase ini adalah insulin
yang disimpan dalam sel beta (siap pakai). Pada fase lanjut sekresi
insulin dimulai setelah 20 menit setelah stimulasi dengan glukosa.
Fase 1 sekresi insulin akan meningkat pada pemberian glukosa untuk
mencegah kenaikan glukosa darah selanjutnya akan merangsang
fase 2 untuk meningkatkan insulin. Makin tinggi kadar glukosa darah
sesudah makan makin besar pula insulin dibutuhkan (sudoyo W,
2006, Adam JMF, 2006).

28

BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian merupakan

penelitian

observasional

dengan

pendekatan cross sectional study.


B. Tempat dan Waktu penelitian
1. Tempat Penelitian
a. Pengambilan sampel : Poliklinik endokrin dan Ruangan
Perawatan

Penyakit

dalam

BLU

RSUP

Dr.

Wahidin

Sudirohusodo Makassar.
b. Pemeriksaan Laboratorium: Instalasi Laboratorium Patologi
klinik BLU RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
2. Waktu penelitian
Penelitian dilakukan mulai bulan Desember 2013 sampai
sampel mencukupi.
C. Populasi dan sampel penelitian
Penderita DM yang menjalani pemeriksaan dan perawatan di
Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
D. Perkiraan Besar sampel
Besar sampel diperkirakan berdasarkan rumus:
n = za2pq
d2
Keterangan:
n
= besar sampel minimal
za
= nilai standar untuk 0,05 = 1,96
p
= prporsi variable yang diteliti = 0,28
q
= 1 p = 0,72
d
= tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki = 0,1
dari perhitungan dengan rumus di atas, maka jumlah sampel minimal
77 orang.
E. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
1. Kriteria inklusi

29

a. Orang dewasa yang datang ke poliklinik penyakit dalam BLU


RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan setelah dilakukan
pemeriksaan fisik dan laboratorik dinyatakan sebagai penderita
DM.
b. Bersedia

ikut

dalam

penelitian

dengan

mengisi

dan

menandatangani lembar Informed Consent.


c. Tidak mengkomsumsi vitamin D
2. Kriteria eksklusi
Penderita DM dengan terapi insulin
F. Izin subyek penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini, setiap tindakan dilakukan
seizin dan sepengetahuan pasien yang dijadikan sampel penelitian
melalui

lembar

Informed

Consent

dan

dinyatakan

memenuhi

persyaratan etik untuk dilaksanakan dari Komisi Etik Penelitian


Biomedik pada Manusia Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar
G. Cara kerja
1. Alokasi subyek
Penelitian dilakukan pada semua orang dewasa yang memenuhi
kriteria inklusi dan melakukan pemeriksaan di Poliklinik Penyakit
Dalam RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
2. Cara penelitian
a. Dilakukan pencatatan identitas penderita yang memenuhi
kriteria inklusi dan memberikan penjelasan lengkap mengenai
apa yang akan dilakukan terhadap mereka dan bila setuju
mereka akan mengisi dan menandatangani Informed Consent.
b. Pada subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi
dilakukan pengambilan sampel darah vena.

30

c. Sampel dibawa ke Instalasi Laboratorium Patologi Klinik RSUP


Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar untuk pemeriksaan kadar
Vitamin D dan Insulin.
3. Tes laboratorium
1. Pertama Inkubasi: inkubasi sampel (15 ml) dengan reagen
persiapan 1 dan 2 terikat vitamin D (25-OH) dilepaskan dari
protein vitamin D mengikat.
2. Kedua Inkubasi: inkubasi sampel kaleng ruthenium-label
kompleks protein D- mengikat vitamin terjadi antara vitamin D
(25-OH) dan ruthenilovanm protein vitamin D mengikat.
3. inkubasi:
Setelah
penambahan
mikropartikel
dilapisi
streptavidin dan vitamin D (25-OH), diberi label dengan biotin
akan kosong ruthenium-berlabel protein vitamin D mengikat.
Dibuat kompleks terdiri dari ruthenium-binding protein berlabel
vitamin D dan terbiotinilasi vitamin D (25-OH), yang mengikat
ke padat fase interaksi biotin dan streptavidin.
4. Campuran reaksi disedot ke dalam sel

ukur

dimana

mikropartikel magnetis ditangkap ke permukaan elektroda.


komponen yang tidak terpakai dihapus ProCell / M. ProCell
tegangan

elektroda

kemudian

menginduksi

emisi

chemiluminescent yang diukur dengan photomultiplier.


5. Hasilnya ditentukan dari kurva kalibrasi untuk unit 2-titik
kalibrasi dan kurva utama disediakan barcode reagen.

H. Alur Penelitian
Populasi penelitian
Memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
Pemeriksaan kadar vitamin D dan insulin
Analisis data
Hasil penelitian
31

I. Definisi Operasional dan Kriteria obyektif


1. Penderita DM tipe 2 adalah penderita dewasa yang melakukan
pemeriksaan di poliklinik Penyakit Dalam atau dirawat di Bagian
Perawatan Penyakit Dalam BLU RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
dan didiagnosis DM tipe 2 oleh dokter Bagian Penyakit Dalam
berdasarkan PERKENI 2006 yaitu poliuria, polidipsi, poliphagia,
penurunan berat badan yang tidak jelas penyebabnya. Kriteria
objektif: GDS >200 mg/dl dan atau GDP >126 mg/dl.
2. Bukan DM tipe 2 adalah orang dewasa yang tidak menderita DM
dengan kadar GDS normal.
3. Kadar vitamin D adalah

kadar

25(OH)D3

yang

diukur

menggunakan Elecsys 2010


J. Metode Analisis
Seluruh data yang diperoleh dikelompokkan sesuai dengan
tujuan dan jenis data. Data diolah menggunakan uji T tidak
berpasangan.

KEPUSTAKAAN
American Diabetes Association, 2010. Standar of Medical Care in
Diabetes-2010, Diabetes Care, vol.33 (Suppl 1): s11s61
Adam JMF, The first east Indonesia endo-metabolik update,
Makassar, Mei 2006

32

Adam JMF, Obesitas dan sindrom Metabolik, Ilmu Penyakit Dalam


fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar,
Cetakan Pertama, bandung, 2006, p: 9-10
Boucher BJ, Mannan N, Noonan K et al. Glcose intolerance and
impairement of insulin secretion in relation to vitamin D
deficiency in East London Asians. Diabetologya 1995;
38:1239-1245
Eliades M, Pittas AG, Vitamin D and Type 2 Diabetes, Cinic Rev Bone
Miner Metabolic, 2009
Epstein S, Vitamin D in Endocrinology And Metabolism Clinics of North
Gregori

S,

America, volume 39, Number 2, 2010; 243-446


Giarratama N, Smiroldo S et al. A 1alpha,25dihydroxyvitamin D(3) analog enhances regulatory Tcell and arrests autoimmune diabetes in NOD mice

Diabetes 2002; 51:1367-1374


Gustaviani R. 2007. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In :
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: FK UI.
P. 1857-1859
Hesmat R, Malazy OT, Effect of vitamin D on insulin resistance and
anthropometric parameters in type 2 diabetes; a
randomized

double-blind

clinical

trial,

Journal

of

Pharmaceutical Sciences, 2012


Iyengar S, Hamman RF, Marshall JA et al. On the role of vitamin D
binding globulin in glucose homeostasis: result from the
San Luis Valley Diabetes Study. Genet Epidemiol
1989;6:1239-1245.

33

Lina Y, Wijaya A, mekanisme molecular diabetes tipe 2 dalam forum


diagnostikum prodia, No.2, 2005
Liu J, Vitamin D and Diabetes Mellitus: What Do We Know? In Journal
of Hypo and Hyperglycemia, 2013
Luong K, Nguyen LTH, Nguyen DNP, The role of vitamin D in
protecting type 1 diabetes mellitus. Diabetes Metab res
Rev 2005; 21:338-346
Mathieu C, Gysemans C, Guilietti A et al. Vitamin D and diabetes.
Diabetologia 2005; 48:1247-1257.
Mezza T, Muscogiuri G, Vitamin D Deficiency: A new risk factor for
Type 2 diabetes, Review Article, 2012
Ortlepp JR. Metrikat J, Albrecht M et al. The vitamin d receptor gene
variant and physical activity predicts fasting glucose
levels in healthy young men. Diabet Med 2003;20:451454
Ozfirat Z and Tahseen AC, Vitamin D deficiency and type 2 diabetes,
2010
Permana H.,2004. Patofisiologi Primary Osteoporosis, Metabolisme
vitamin

D,

Bagian

Ilmu

Penyakit

Dalam

FKUP

Bandung,1-9.
Pitta AG., 2005. Diabetes Melitus: Diagnosis and Pathofisiology
(online).
http://ocw.tufts.edu/Content/14/lecturenotes/265878
Scragg R, Holdaway I, Singh V et al. Serum 25-hydroxyvitamin D3
levels decreased in IGT and diabetes. Diabetes Res
Clin Pract 1995: 27:181-188

34

Shankar A, Sabanayagam C, Kalindindi S, Serum 25-Hydroxyvitamin


D levels and Prediabetes Among Subjects free of
Diabetes, Diabetes Care, volume 34, may 2011
Shanthi B, Revathy C, Serum 25(OH)D and Type 2 Diabetes
mellitus.Original Article, 2012
Sung CC, Liao MT, Lu KC, Role of Vitamin D in Insulin Resistance,
Review Article, 2012
Sudoyo W, ARV, dkk, Insulin: Mekanisme sekresi dan aspek
metabolisme, buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III,
Edisi IV, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta,
2006, 1890-91
Suyono S., 2007. Diabetes Melitus di Indonesia, Dalam buku ajar Ilmu
Penyakit dalam, edisi ke 4, Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, 2007; 1852-1856
Talaei A, Mohamadi M, the effect of vitamin D on insulin resistance in
patients

with

type

diabetes,

Diabetology and

metabolic syndrome, 2013


Tsur A, Feldman BS, Decreased serum concentrations of 25hydroxycalciferol are Associated with increased risk of
progression to impaired fasting glucose and diabetes,
Diabetes care, volume 36, May 2013.
Valdivielso JM, A new role for vitamin D receptor activation in chronic
kidney disease, Am J Physiol renal Physiol 297, 2009
Wild S., Roglic G., Green A., et al. 2004. Global Prevalence of
Diabetes, Estimates for the year 200 and Projection for
2030. Diab Care. 27(5): 1047-1053
WHO. 1999. Definition, Diagnosis and Classification of Diabetes
melitus and lts Complication. Geneva
35

Zhang B, Insulin signaling and action: Glucose, lipids, protein,


www.endotext.com, April, 2002

36

Anda mungkin juga menyukai