Anda di halaman 1dari 15

BAB I

Tinjauan Pustaka
1.1

Definisi
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan

oleh karena toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada
kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara.
1.2
Etiologi
Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif (basil aerob),
tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada
pemanasan 60C, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman
ini bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau merupakan formasi
mirip huruf cina. Kuman tumbuh secara aerob. Pada membran mukosa manusia
C.diphtheriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang
mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang
diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa,
maltosa atau sukrosa
Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis, intermedius
dan mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan
spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini
mungkin bias menerangkan mengapa pada seorang pasien biasa mempunyai
kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas C.diphtheriae adalah
kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro, toksin ini
dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji kematian)
atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek) yaitu suatu uji
reaksi polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat
molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu
fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal).

1.3

Epidemiologi
Difteria tersebar luas diseluruh dunia. Angka kejadian menurun secara nyata

setelah perang dunia II, setelah penggunaan toksoid difteria. Demikian pula terdapat
penurunan mortalitas yang berkisar antara 5-10%. Di ruang perawatan penyakit
menular bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo dalam tahun 1982-1986
rata-rata dirawat 200-400 kasus difteria setiap tahun dengan angka kematian sekitar 47%, akan tetapi dari tahun ke tahun tampak penurunan jumlah pasien dan pada tahun
1989 terdapat 130 kasus dengan angka kematian 3,08%.
Delapan puluh persen kasus terjadi di bawah 15 tahun, meskipun demikian
dalam suatu keadaan wabah, angka kejadian menurut ilmu tergantung status imunitas
populasi setempat. Faktor sosial ekonomi, pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek,
terbatasnya fasilitas kesehatan, merupakan faktor penting terjadinya penyakit. Angka
kesakitan dan kematian tahun 1992-1996 di Rumah Sakit Provinsi Jakarta, Semarang,
Bandung, Palembang dan Ujung Pandang ternyata masih tetap tinggi.
Difteria ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui
droplet (infeksi tetesan) ketika batuk, bersin atau berbicara. Muntahan/ debu bisa
merupakan wahana penularan (vehicles of transmission).
1.4

Patofisiologi dan Patogenesis


Kuman C. diphtheria masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang

biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi
toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui
pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah
hambatan pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai
dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati
kedudukan P dan A dalam ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah
dengan asam amino lain untuk membentuk pelipeptida sesuai dengan cetakan biru
RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan
transferRNA + dipeptide dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini
memerlukan enzim translokase (elongation factor-2) yang aktif.

Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel degan bantuan


fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan inaktivasi enzim
translokase melalui proses : NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2(inaktif) + H2
+ Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses translokasi
tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan,
akibatnya sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai
respons, terjadi inflamasi lokal bersama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak
eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi
semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang
melekat erat berwarna kelabu kehitaman, sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa
melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas
sendiri pada masa penyembuhan.
1.5

Manifestasi Klinis
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa bervariasi

dari tanpa gejala sampa keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor
primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenitas C.
diphtheria (kemampuan kuman membentuk toksin), dan lokasi penyakit secara
anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada
daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2-6
hari. Pasien pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita
keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,90C dan keluhan serta gejala lain
tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.
1.5.1

Difteria Hidung
Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala pilek

ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi
serosanguinus dan kemudian mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibis
atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorbsi
toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis
lambat dibuat.

1.5.2

Difteria Tonsil Faring


Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan dan

nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat, berwarna
putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum
molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Usaha melepaskan membran akan
mengakibatkan pendarahan. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular,
bila limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas,
timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas
membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat
terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan
dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari.
Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi berangsung-angsur dan bisa disertai penyulit
miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari
dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
1.5.3 Difteria Laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteria. Pada difteria primer
gejala toksik kurang nyata , oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin
yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran napas atas
lebih mencolok.Gejala klinis difteria laring, nafas berbunyi, stridor yang progresif,
suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi
suprasternal, intercostal, dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang
menutupi jalan napas bisa terjadi kematian mendadak.
1.5.4 Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga
Difteria kulit, difteria vulvovaginal, difteria konjungtiva dan difteria telinga
merupakan tipe difteria yang tidak lazim (unusual). Difteria kulit berupa tukak di
kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun.
Difteria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan
membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan
sekret purulen dan berbau.

Manifestasi Klinis Difteria


Gejala Klinis

RSCM
Kasus *m

RSHS RSK
Kasus *m
Kasus

*m%

RSU PMH
Kasus
*m

Demam
<2 hari
>2 hari

12
54

18.2
81.8

58
35

62.4
37.6

40
104

27.8
72.3

13
88

12.9
87.1

Obtruksi Laring
Derajat I
Derajat II
Derajat III
Derajat IV

7
4
11
10

10.6
6
16.7
15.2

0
12
36
8

0
12.9
36.7
6.6

13
5
0
59

9.0
3.5
0
3.5

17
21
18
23

16.8
20.8
17.8
22.8

Bullneck
Miokarditis

39
29

59
43.9

31
12

33.3
12.9

37
5

25.7
3.5

36
29

35.6
28.7

Keterangan :
*m

= Meninggal

RSCM =

RS.

RSK
Dr.

Cipto

Mangunokusumo, Jakarta
RSHS = RS. Hasan Sadikin, Bandung

= RS. Dr. Kariadi, Semarang

RSU PMH= RS. Dr. Muh Husein,


Palembang

1.6

Diagnosis
Diagnosis difteria harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, oleh karena

penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa pasien. Penentuan kuman difteria dengan
sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi
secara fluorescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis
pasti dengan isolasi C.diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan
tes toksinogenisitas secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek).
1.7

Diagnosis Banding

Difteria Hidung
Penyakit yang menyerupai Difteria hidung adalah rhinorrhea(common
cold,sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues kongenital).
Difteria Faring
Harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang disebabkan oleh
Streptokokus (tonsilitis akut, septic sore throat), mononucleosis infeksiosa,
tonsilitis membranosa non-bakterial, tonsilitis herpetika primer, moniliasis, blood

dyscrasia, pasca tonsilektomi.


Difteria Laring
Gejala difteria laring menyerupai laringitis, dapat menyerupai infectious
croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring, dan

benda asing dalam laring.


Difteria Kulit
Perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh
streptokokus dan stafilokokus.

1.9 Prognosis
Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik daripada
sebelumnya. Keadaan demikian telah terjadi di negara lain. Di Indonesia, pada daerah
kantong yang belum terjamah imunisasi masih dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis
buruk.
Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena
1) obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membrana difteria
2) adanya miokarditis dan gagal jantung
3) paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.

Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada
umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan
kelainan jantung yang menetap.
1.10 Imuninasi
Imunisasi pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap difteria
sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat bertahan selama 2-3 hari. Sedangkan
imunitas aktif diperoleh setelah menderita aktif yang nyata atau inapparent infection serta
imunisasi toksoid difteria. Imunitas terhadap difteria dapat diukur dengan uji Schick dan uji
Moloney.
Uji kepekaan Schick menentukan kerentanan (suseptibilitas) seorang terhadap difteria.
Uji Schick dilakukan dengan menyuntikkan toksin difteria yang dilemahkan secara
intrakutan. Bila tidak terdapat kekebalan (tidak mempunyai antitoksin), toksin akan
menimbulkan nekrosis jaringan; maka hasil disebut positif. Demikian sebaliknya, apabila
seorang mempunyai antitoksin, tidak mempunyai antitoksin, tidak menimbulkan reaksi dan
hasil dinyatakan negatif.
Uji kepekaan Moloney, lebih menentukan sensitivitas terhadap produk bakteri dari basil
difteria. Dilakukan dengan cara memberikan 0,1 ml larutan toksoid difteria secara
intradermal. Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul eritema > 10 mm, yang berarti bahwa
seorang telah mempunyai pengalaman dengan basil difteria sebelumnya sehingga terjadi
reaksi hipersensitivitas. Kerugian uji kepekaan Moloney, toksoid difteria bisa mengakibatkan
timbulnya reaksi yang berbahaya.
1.11 Pengobatan
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum
terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi C.diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta
dan penyulit difteria.
Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu.
Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet

yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
Khusus
1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang
dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka
kematian ini bisa meningkat sampai 30%.
Tabel 5. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe difteria
Difteria hidung
Difteria tonsil
Difteria faring
Difteria laring
Kombinasi lokasi di atas
Difteria + penyulit, bullneck
Terlambat pengobatan (>72

Dosis ADS (KI)


20.000
40.000
40.000
40.000
80.000
80.000 120.000
80.000 120.000

Cara Pemberian
Intramuskular
Intramuskular atau intravena
Intramuskular atau intravena
Intramuskular atau intravena
Intravena
Intravena
Intravena

jam), lokasi dimana saja

Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh
karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan
larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1mL ADS
dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif jika bila dalam 20
menit terjadi indurasi > 10 mm. uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum
1:10 dalam garam fisiologis.
Pada mata lain yang diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit
tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif,
ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas
negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara
empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien
berkisar antara 20.000 120.000 IU seperti yang tertera pada tabel 5.
Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100mL glukosa 5%
dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan
selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor
terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).

2. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh
bakteri dan menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000 IU/kgBB/hari
selama 10 hari, bila terdapat riwayat hipersensitivitas penisilin diberikan eritromisin 40
mg/kgBB/hari..
Pengobatan kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikutnya
terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorokan serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai
masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologis dan observasi harian. Anak yang telah
mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.
Pengobatan karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif
tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan
adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama
satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.

Tabel 6. Pengobatan terhadap Kontak Difteria


Biakan

Uji Schick

(-)

(-)

(+)

(-)

(+)

(+)

(-)

(+)

1.12 Pencegahan

Tindakan
Bebas isolasi: anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan
booster toksoid difteria
Pengobatan karier : penisilin 100 mg/kgBB/ hari oral/suntikan,
atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 1 minggu
Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40
mg/kgBB + ADS 20.000 KI
Toksoid difteria (imunisasi aktif), sesuaikan dengan status
imunisasi

Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan


tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya, setelah anak menderita difteria, kekebalan
terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi.
Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang
anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin
difteria tetapi tidak mempunyai antibodi terhadap organismenya. Keadaan demikian
memungkinkan seorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau
menderita difteria ringan.

LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS PASIEN
Nama
:L
Umur
: 5 6/12 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat
: Gunung Pangilun
Tanggal kunjungan ke poli : 13/05/2015
2.2 ANAMNESIS
Alloanamnesis oleh ayah kandung
Seorang pasien anak laki-laki berumur 5 6/12 tahun datang ke poliklinik anak RSUP
DR. M. Djamil Padang dengan:
Keluhan utama:
Batuk berdahak sejak 4 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
Batuk berdahak sejak 4 hari yang lalu. Batuk tidak disertai pilek
Pasien merupakan rujukan dari dokter spesialis anak dan 2 hari yang lalu telah dibawa
ke IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang untuk dilakukan swab tenggorok. Dari hasil

pewarnaan gram yang keluar 1 hari yang lalu didapatkan Corynebacterium


Diphtheriae (+). Keesokan harinya pasien datang ke poliklinik anak RSUP M.Djamil
untuk dirawat
Keluhan demam disangkal
Keluhan nyeri menelan tidak ada
Suara parau tidak ada
Keluhan sesak napas tidak ada
Mual dan muntah tidak ada
Nafsu makan baik
Buang air kecil warna dan frekuensi biasa
Buang air besar konsistensi dan jumlah biasa
Riwayat penyakit dahulu
Pasien belum pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya
Riwayat penyakit keluarga
Kakak laki-laki pasien dirujuk oleh spesialis anak dengan suspek difteri dan telah
dirawat di ruang isolasi bagian anak RSUP DR.M.Djamil Padang dan telah dilakukan swab
tenggorok dan membran saat diangkat mudah berdarah, namun dari hasil pewarnaan gram
didapatkan hasil Corynebacterium Diphtheriae (-)
Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi, kejiwaan dan kebiasaan
Anak ke 2 dari 3 bersaudara, lahir SC ai bekas SC sebelumnya, cukup bulan, berat badan
lahir 3992 gr, panjang badan lahir 51 cm, langsung menangis. Riwayat tumbuh kembang
sesuai dengan usia
Riwayat imunisasi dasar lengkap
Higiene dan sanitasi lingkungan cukup
Teman sekolah pasien ada yang sedang dirawat di ruang isolasi anak RSUP M.Djamil dengan
diagnosis difteri.
2.3 Pemeriksaan Fisik
Tanda vital
Keadaan umum
: sakit sedang
Kesadaran
: sadar
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
Frekuensi nadi
: 107x/menit
Frekuensi nafas
: 28x/menit
Suhu
: 37C
Berat Badan
: 20 kg
Tinggi badan
: 117 cm
Status gizi
BB/U= 20/19 x 100% = 107,8%
TB/U= 117/111 x100% = 105,45 %
BB/TB= 21,5/ 21,5 x 100% = 100%
Kesan
: Status gizi baik

Pemeriksaan Fisik
Kulit
Kepala
Leher
Rambut
Mata

:
: teraba hangat, sianosis tidak ada, pucat tidak ada, kuning tidak ada,
Turgor kembali cepat
: Bulat, simetris
: tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening.
: hitam dan tidak mudah rontok
: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
refleks cahaya +/+ normal, pupil isokor,diameter 2 mm/2 mm
: tidak ditemukan kelainan
: tidak ditemukan kelainan, nafas cuping hidung tidak ada
: mukosa mulut dan bibir basah
:tonsil T2-T2 ,hiperemis, tidak tampak pseudomembran
: hiperemis

Telinga
Hidung
Mulut
Tenggorok
Faring
Thorax
Paru
Inspeksi
: normochest, simetris kiri = kanan
Palpasi
: fremitus sama kiri dengan kanan
Perkusi
: sonor
Auskultasi
: suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi
: iktus cordis tidak terlihat
Palpasi
: iktus cordis teraba 1 jari medial Linea Mid Clavikula Sinistra RIC V
Perkusi : batas jantung atas RIC II, batas kanan Linea Sternalis Dextra, batas kiri 1
jari medial Linea Mid Clavicula Sinistra RIC V
Auskultasi
: irama teratur, bising tidak ada
Abdomen
Inspeksi
: distensi tidak ada, asites tidak ada
Palpasi
: supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi
: timpani
Auskultasi
: bising usus(+) normal
Punggung
: tidak ditemukan kelainan
Alat kelamin
: tidak dilakukan pemeriksaan
Anus
: colok dubur tidak dilakukan
Ekstremitas
: akral hangat, perfusi baik
2.4 Pemeriksaan Laboratorium
Belum dilakukan
2.5 Diagnosis Kerja :
Difteri Tonsil
2.6 Rencana tindakan selanjutnya :
- Pemeriksaan laboratorium darah rutin
- Kultur tenggorok
2.9 Terapi :
- Penisilin 100mg/kgBB/hari IV

- Paracetamol 10-15 mg/kgBB/kali po

- ADS 20000 IU

BAB III
DISKUSI

Seorang pasien anak laki-laki berumur 5 6/12 tahun datang ke poliklinik anak RSUP DR. M.
Djamil Padang dengan diagnosis kerja difteri tonsil. Diagnosis ditegakkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis diketahui bahwa pasien merupakan rujukan dari dokter spesialis anak
dan 2 hari yang lalu telah dibawa ke IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang untuk dilakukan swab
tenggorok. Dari hasil pewarnaan gram yang keluar 1 hari yang lalu didapatkan
Corynebacterium Diphtheriae (+). Keesokan harinya pasien datang ke poliklinik anak RSUP
M.Djamil untuk dirawat. Dari riwayat penyakit keluarga diketahui kakak laki-laki pasien
dirujuk oleh spesialis anak dengan suspek difteri dan telah dirawat di ruang isolasi bagian
anak RSUP DR.M.Djamil Padang dan telah dilakukan swab tenggorok dan membran saat
diangkat mudah berdarah, namun dari hasil pewarnaan gram didapatkan hasil
Corynebacterium Diphtheriae (-). Dari riwayat sosial dan lingkungan diketahui teman
sekolah pasien ada yang sedang dirawat di ruang isolasi anak RSUP M.Djamil dengan
diagnosis difteri.
Pasien direncanakaan pemberian terapi Penisilin 100mg/kgBB/hari intravena
Paracetamol 10-15 mg/kgBB/kali per oral, dan ADS 20000 IU. Prognosis pada pasien ini
cenderung baik

DAFTAR PUSTAKA

S.Sumarmo, Garna Herry, dan Rezeki Sri dkk. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.
Difteri; 312-320.

Anda mungkin juga menyukai