Anda di halaman 1dari 104

EVALUASI KUALITAS AIR SUNGAI WAY SULAN KECIL

KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

MIRNA AULIA PRIBADI


E34101041

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN


EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2005

EVALUASI KUALITAS AIR SUNGAI WAY SULAN KECIL


KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

MIRNA AULIA PRIBADI


E34101041

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN


EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2005

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi

: Evaluasi Kualitas Air Sungai Way Sulan Kecil


Kabupaten Lampung Selatan.

Nama

: Mirna Aulia Pribadi

NRP

: E34101041

Departemen

: Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Fakultas

: Kehutanan

Menyetujui
Komisi Pembimbing
Ketua

Anggota

Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si.

Ir. Agus Priyono, MS.

132 257 887

131 578 800


Mengetahui
Dekan Fakultas Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS


131 430 799
Tanggal Lulus :

Mirna Aulia Pribadi. E34101041. Evaluasi Kualitas Air Sungai Way Sulan
Kecil

Kabupaten Lampung Selatan. Dibimbing oleh Ir. Siti Badriyah

Rushayati, M.Si dan Ir. Agus Priyono, M.S.


RINGKASAN
Industri berskala besar di Lampung didominasi oleh industri tapioka.
Industri tapioka sendiri merupakan agro based industry yang berpotensi paling
besar dalam mencemari sungai di Lampung, salah satunya adalah Sungai Way
Sekampung, DAS Way Sekampung. Sungai Way Sekampung mendapat masukan
dari salah satu percabangannya yaitu Sungai Way Sulan Kecil yang banyak
menerima limbah kegiatan agro based industry. Tujuan dari penelitian ini adalah
menentukan status kualitas Sungai Way Sulan Kecil dari faktor fisika-kima
perairan, mengkaji tingkat keanekaragaman jenis biota perairan yang merupakan
bioindikator kualitas perairan, serta menghitung besarnya beban pencemaran
pabrik tapioka PT. Florindo Makmur ke Sungai Way Sulan Kecil.
Penelitian dilakukan pada aliran Sungai Way Sulan Kecil di sekitar
outlet limbah PT. Florindo Makmur pada bulan Juni Juli 2005. Data primer
meliputi sifat fisika-kimia perairan dan limbah cair tapioka meliputi warna dan
suhu air, kekeruhan, TDS, TSS, pH, DO, COD, BOD, nitrat, fosfat dan sianida,
serta struktur komunitas makrozoobenthos. Data sekunder meliputi peta
penggunaan lahan Sub DAS Way Sulan (DAS Way Sekampung), data kualitas
DAS Way Sekampung pada musim kemarau tahun 2005, data curah hujan ratarata sepuluh tahun terakhir dan data kapasitas produksi serta volume limbah yang
dihasilkan PT. Florindo Makmur. Analisis data dilakukan dengan cara
membandingkan data sifat fisika-kimia perairan dan limbah cair tapioka dengan
SK Gubernur Propinsi Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995 serta Kepmen
Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991, menghitung kepadatan
makrozoobenthos, indeks keanekaragaman (H), keseragaman (E) dan dominansi
(D), serta menentukan beban pencemaran industri tapioka PT. Florindo ke Sungai
Way Sulan Kecil.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas Sungai Way Sulan Kecil


dari hulu ke hilir telah tercemar. Pencemaran diduga disebabkan limbah dari
industri di sepanjang aliran sungai. Limbah cair industri tapioka sendiri turut
menimbulkan dampak pada sifat fisika-kimia perairan berupa peningkatan nilai
warna, suhu, kekeruhan, TDS, pH, nitrat, fosfat dan sianida, serta penurunan TSS,
DO, BOD dan COD. Kepadatan makrozoobenthos berkisar 39-66 ind/m2, H
berkisar 1,58-2,25, E berkisar 0,81-0,88 dan D berkisar 0,27-0,34. Beban
pencemaran pabrik tapioka PT. Florindo Makmur ke Sungai Way Sulan yaitu
BOD sebesar 281400 kg/th atau 8923,1 mg/dt, COD sebesar 458430 ton/th atau
14536,7 mg/dt, TSS sebesar 203700 kg/dt atau 6459 mg/dt dan TDS sebesar
888300 kg/dt atau 28167,8 mg/dt.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa kualitas fisika-kimia
perairan Sungai Way Sulan Kecil tidak memenuhi persyaratan baku mutu kualitas
air golongan B pada SK Gubernur Propinsi Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995
dikarenakan DO yang berada di bawah baku mutu minimum dan BOD dan sianida
yang telah melampaui baku mutu maksimum. Kepadatan makrozoobenthos
termasuk rendah, dengan keseragaman jenis tinggi dan tidak terjadi dominansi
oleh satu atau sekelompok jenis makrozoobenthos. Sedangkan status kualitas air
Sungai Way Sulan Kecil adalah tercemar sedang.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Evaluasi Kualitas Air Sungai Way Sulan Kecil. Skripsi ini sebagai salah satu
syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Industri merupakan salah satu sektor yang memegang peranan penting
sebagai penggerak perekonomian Indonesia. Namun dalam penyelenggaraannya,
industri selalu bersinggungan dengan lingkungan hidup atas dampak yang
ditimbulkannya, sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap kualitas lingkungan
akibat kegiatan industri. Pada skripsi ini, penulis menyajikan hasil penelitian
mengenai kualitas air Sungai Way Sulan Kecil, terutama disebabkan adanya
masukan berupa limbah cair dari kegiatan Agro based industry khususnya industri
tapioka. Hasil dari evaluasi ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dalam
pengelolaan lingkungan, terutama Sub DAS Way Sulan, DAS Way Sekampung
secara holistik, interdisipliner dan terpadu.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ini
masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan demi penyempurnaan selanjutnya. Diharapkan hasil
penelitian ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi bagi pengelolaan
lingkungan, khususnya sumberdaya air yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan.

Bogor, Desember 2005


Penulis

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan rasa terima kasih yang tulus
kepada :
1. Ibu Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si dan Bapak Ir. Agus Priyono, MS atas
bimbingan, bantuan dan perhatian yang diberikan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp dan Bapak Effendi Tri Bachtiar, S.Hut
selaku dosen penguji, atas bantuan dan kesediaannya dalam meluangkan
waktu.
3. Papa dan Mama tersayang. Terima kasih atas curahan kasih sayang,
pengorbanan, doa dan nasehat untuk penulis. Semoga Allah SWT senantiasa
memberi limpahan rahmat dan karunia-Nya untuk Papa dan Mama. Amin.
4. Rozi Fahlepi untuk perhatian, dukungan, dan kesetiaan yang diberikan kepada
penulis. Serta untuk Tri Rahayuningsih atas persahabatan yang tidak ternilai.
5. Pihak PT. Florindo Makmur yang berkenan memberi izin kepada penulis
untuk melakukan penelitian mengenai kualitas limbah cair yang dihasilkan
dan dampaknya terhadap Sungai Way Sulan Kecil.
6. Seluruh staf Laboratorium Analisis Kimia dan Zoologi Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung yang telah membantu
dalam kelengkapan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian.
7. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Way Seputih Sekampung yang telah
memberi bantuan dalam kelengkapan data-data.
8. Seluruh staf Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata yang
telah memberikan bantuan dan kemudahan dalam penyelesaian pendidikan.
9. Teman-teman seperjuangan di Laboratorium Analisis Lingkungan dan
Pemodelan Spasial DKSH serta seluruh teman-teman KSH ceria 38 yang
telah membuat hari-hari penulis lebih berwarna.
Bogor, Desember 2005
Penulis

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 13 Juni 1983 dari ayah


Drs. Rukis Pribadi, MES dan ibu Dra. Siti Cholidah. Penulis merupakan anak
pertama dari 2 (dua) bersaudara. Awal pendidikan formal penulis dimulai pada
tahun 1988 di TK. Pertiwi Dharma Wanita Propinsi Lampung dan lulus pada
tahun 1989. Kemudian penulis menempuh pendidikan dasar di Sekolah Dasar
Negeri 1 Rogojampi-Banyuwangi dan lulus pada tahun 1995. Selanjutnya penulis
meneruskan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1 Malang, lulus pada
tahun 1998. Penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMU Negeri 2
Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis
terdaftar sebagai Mahasiswa program Sarjana pada Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Pada tahun 2004 penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan
Pengelolaan Hutan (P3H) di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas
Timur dan Banyumas Barat (Resort Pemangkuan Hutan Baturraden dan Cilacap)
Jawa Tengah serta di Getas, Ngawi, Jawa Timur selama + 2 bulan. Penulis juga
telah melaksanakan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional
Way Kambas (TNWK) Propinsi Lampung pada bulan Februari April 2005.
Selama menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis aktif
di beberapa organisasi kampus, antara lain: International Forestry Student
Association (IFSA) Local Committee IPB dan Himpunan Mahasiswa Konservasi
Sumberdaya Hutan (HIMAKOVA-KSH IPB). Penulis juga pernah menjadi
asisten praktikum untuk mata kuliah Ilmu Ukur Tanah dan Pemetaan Wilayah
pada tahun 2003 2004.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
pada Fakultas Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian berjudul Evaluasi
Kualitas Air Sungai Way Sulan Kecil Kabupaten Lampung Selatan dibawah
bimbingan Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si dan Ir. Agus Priyono, MS.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ...............................................................................................

DAFTAR TABEL .......................................................................................

iv

DAFTAR GAMBAR...................................................................................

DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................

vi

I.

PENDAHULUAN ..............................................................................

1.1. Latar Belakang ............................................................................

1.2. Tujuan .........................................................................................

1.3. Manfaat ......................................................................................

TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................

2.1. Sungai .........................................................................................

2.2. Kualitas Perairan .........................................................................

2.3. Pencemaran Perairan ...................................................................

2.4. Sifat Fisika Perairan.....................................................................

2.4.1. Warna ................................................................................

2.4.2. Suhu...................................................................................

2.4.3. Kekeruhan..........................................................................

2.4.4. Padatan Total .....................................................................

2.4.5. Debit..................................................................................

10

2.5. Sifat Kimia Perairan ....................................................................

11

2.5.1. pH......................................................................................

11

2.5.2. DO (Dissolved Oxygen) .....................................................

12

2.5.3. COD (Chemical Oxygen Demand) .....................................

13

2.5.4. BOD (Biochemical Oxygen Demand) ................................

13

2.5.5. Nitrat .................................................................................

14

2.5.6. Fosfat.................................................................................

15

2.5.7. Sianida...............................................................................

15

2.6. Faktor Biologi Perairan................................................................

16

2.6.1. Makrozoobenthos...............................................................

16

II.

III

IV.

V.

2.7. Kualitas Air, Baku Mutu Air dan Baku Mutu Limbah Cair ..........

18

METODE PENELITIAN ..................................................................

20

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .........................................................

20

3.2. Bahan dan Alat ..............................................................................

20

3.3. Metode Pengambilan Data .............................................................

20

3.3.1. Data Primer..........................................................................

20

3.3.2. Data Sekunder......................................................................

23

3.4. Analisis Data .................................................................................

23

3.4.1. Analisis Kualitas Fisik dan Kimia Perairan ..........................

23

3.4.2. Analisis Komunitas Makrozoobentos ...................................

23

3.4.3. Perhitungan Beban Pencemaran ...........................................

27

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN .....................................

28

4.1. Letak .............................................................................................

28

4.2. Iklim..............................................................................................

28

4.3. Tanah dan Topografi......................................................................

28

4.4. Flora dan Fauna .............................................................................

29

4.5. Penggunaan Lahan.........................................................................

30

HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................

33

5.1. Sifat Fisika Kimia Perairan ............................................................

33

5.1.1. Warna ...................................................................................

33

5.1.2. Suhu .....................................................................................

35

5.1.3. Kekeruhan ............................................................................

37

5.1.4. Padatan Terlarut Total (TDS) ................................................

39

5.1.5. Padatan Tersuspensi Total (TSS)...........................................

41

5.1.6. pH.........................................................................................

43

5.1.7. DO (Dissolved Oxygen) ........................................................

45

5.1.8. COD (Chemical Oxygen Demand) ........................................

48

5.1.9. BOD (Biochemical Oxygen Demand)....................................

50

5.1.10.Nitrat ...................................................................................

52

5.1.11.Fosfat...................................................................................

54

5.1.12.Sianida.................................................................................

56

5.2. Struktur Komunitas Makrozoobenthos...........................................

57

5.2.1. Kepadatan ..........................................................................

58

5.2.2. Keseragaman, Dominansi, Keanekaragaman ......................

59

5.3. Beban Pencemaran Industri Tapioka PT. Florindo Makmur


VI.

Terhadap Sungai Way Sulan Kecil.................................................

61

KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................

65

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................

67

DAFTAR TABEL

No.
1.

Teks

Halaman

Kualitas air dan klasifikasi derajat pencemaran


menurut kriteria DO .............................................................................

13

2.

Klasifikasi derajat pencemaran menurut kriteria BOD ..........................

14

3.

Klasifikasi makrozoobenthos berdasarkan ketahanannya


terhadap bahan pencemar .....................................................................

17

4.

Parameter, alat dan metode analisis fisika-kimia yang digunakan ........

21

5.

Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener ...................

24

6.

Klasifikasi hubungan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener


dan tingkat pencemaran perairan ..........................................................

25

7.

Kriteria indeks keseragaman.................................................................

25

8.

Kriteria indeks dominansi.....................................................................

26

9.

Faktor konversi beban limbah industri tepung.......................................

27

10. Jenis-jenis flora yang ada di sekitar lokasi penelitian ............................

29

11. Jenis-jenis fauna yang ada di sekitar lokasi penelitian...........................

30

12. Jenis-jenis industri yang terdapat di sepanjang aliran


Sungai Way Sulan Kecil.......................................................................

31

13. Nilai rata-rata indeks keseragaman, dominansi dan keanekaragaman


Shannon-Wiener pada setian stasiun pengamatan .................................

59

14. Beban pencemaran industri tapioka PT. Florindo Makmur....................

61

15. Perhitungan beban pencemaran industri tapioka


PT. Florindo Makmur ke Sungai Way Sulan Kecil ...............................

62

16. Konsentrasi beban limbah pada zona percampuran (mixing zone) .........

63

DAFTAR GAMBAR

No.
1.

Teks

Halaman

Peta lokasi pengambilan contoh air dan spesimen


makrozoobentos di Sungai Way Sulan..................................................

22

2.

Letak industri-industri di sepanjang aliran Sungai Way Sulan...............

32

3.

Hasil pengukuran warna pada Sungai Way Sulan


di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ......................................

4.

Hasil pengukuran suhu pada Sungai Way Sulan


di sekitar outlet limbah PT. Florindo makmur.......................................

5.

42

Hasil pengukuran pH pada Sungai Way Sulan


di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ......................................

9.

39

Hasil pengukuran TSS pada Sungai Way Sulan


di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ......................................

8.

38

Hasil pengukuran TDS pada Sungai Way Sulan


di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ......................................

7.

35

Hasil pengukuran kekeruhan pada Sungai Way Sulan


di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ......................................

6.

33

43

Hasil pengukuran DO pada Sungai Way Sulan


di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ......................................

45

10. Hasil pengukuran COD pada Sungai Way Sulan


di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ......................................

49

11. Hasil pengukuran BOD pada Sungai Way Sulan


di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ......................................

50

12. Hasil pengukuran nitrat pada Sungai Way Sulan


di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ......................................

53

13. Hasil pengukuran fosfat pada Sungai Way Sulan


di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ......................................

55

14. Hasil pengukuran sianida pada Sungai Way Sulan


di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ......................................

56

15. Kepadatan makrozoobentos pada setiap stasiun pengamatan.................

58

DAFTAR LAMPIRAN

No.
Teks
Halaman
1. Hasil pengukuran sifat fisik kimia air Sungai Way Sulan di sekitar
dan di outlet limbah PT. Florindo Makmur ........................................

70

2. Jenis dan jumlah makrozoobentos stasiun 1 .......................................

71

3. Jenis dan jumlah makrozoobentos stasiun 2 ......................................

72

4. Jenis dan jumlah makrozoobentos stasiun 3 ......................................

73

5. Jenis dan jumlah makrozoobentos stasiun 4 .......................................

74

6. Analisis Kepadatan, Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi


stasiun 1 ...........................................................................................

75

7. Analisis Kepadatan, Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi


stasiun 2 ...........................................................................................

76

8. Analisis Kepadatan, Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi


stasiun 3 ...........................................................................................

77

9. Analisis Kepadatan, Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi


stasiun 4 ...........................................................................................

78

10. Jumlah dan jenis rata-rata makrozoobentos pada setiap stasiun .........

79

11. Peruntukan air sungai di wilayah Propinsi Lampung


menurut Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung
No. G/625/B.VII/HK/1995 ................................................................

80

12. Baku mutu kualitas air golongan B menurut Keputusan Gubernur

Kepala Daerah Tingkat I Lampung No.G/625/B.VII/HK/1995...........

81

13. Baku mutu limbah cair untuk industri tapioka


menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan
dan Lingkungan Hidup tahun 1991 ....................................................

81

14. Kurva tipe perubahan kualitas air menurut Hynes (1960).....................

82

15. Contoh gambar makrozoobenthos yang ditemukan


di stasiun pengamatan............................................................................

83

16. Stasiun-stasiun pengamatan...................................................................

84

17. Peta penutupan lahan DAS Way Sekampung


(Sub DAS Way Sulan)...........................................................................

85

18. Data curah hujan Kecamatan Ketibung tahun 1994 2005...................

86

18. Hasil pengukuran sifat fisika-kimia perairan Sungai Way Sulan Kecil

87

19. Hasil identifikasi makrozoobenthos di seluruh stasiun pengamatan.....

90

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Industri merupakan salah satu sektor yang memberi kontribusi sangat
besar dalam peningkatan perekonomian nasional. Propinsi Lampung sebagai
propinsi yang terletak di bagian selatan Pulau Sumatera dan paling dekat dengan
kota metropolitan DKI Jakarta, terus dipacu pertumbuhan industrinya sejak
Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama (PJPT I). Menurut data Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tahun 1997, di Propinsi Lampung terdapat
160 unit industri berstatus PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) dan 33 unit
industri PMA (Penanaman Modal Asing) yang semuanya dikategorikan dalam
kelompok industri menengah dan besar (Wiryawan et al., 1999). Berdasarkan
jenisnya, sebagian besar unit industri tersebut merupakan industri pengolah hasil
pertanian (agro based industry). Industri berskala besar didominasi oleh industri
tapioka disusul dengan pengolahan karet dan pabrik gula. Dominasi industri
tapioka dipengaruhi oleh ketersediaan bahan baku berupa ubi kayu, dimana
Lampung merupakan salah satu propinsi sentra penghasil ubi kayu di Indonesia.
Industri pengolah hasil pertanian sendiri merupakan jenis industri yang
sangat berpotensi mencemari lingkungan jika limbahnya tidak mendapat
perlakuan sebagaimana mestinya, mengingat kandungan bahan organik yang ada
pada buangan industri yang bersangkutan. Berdasarkan catatan Biro Lingkungan
Hidup Pemda Lampung, limbah industri yang berpotensi mencemari sungai 85
persennya berasal dari industri pengolah hasil pertanian (agro based industry).
Dari seluruh agro based industry yang beroperasi di Propinsi Lampung, industri
tapioka berpotensi paling besar dalam mencemari sungai, yaitu sebesar 56 persen.
Mengutip dari Kompas tanggal 21 Februari 2002, bahwa hampir seluruh
pabrik atau industri di Lampung merusak lingkungan hidup atau alam sekitarnya.
Hal tersebut dikarenakan pelanggaran terhadap persyaratan yang ditetapkan
pemerintah dalam konteks pelestarian lingkungan. Setiap tahun pencemaran
terjadi pada tiga daerah aliran sungai (DAS) utama Way Seputih, Way Tulang
Bawang dan Way Sekampung. Beberapa sungai di Lampung yang diduga

tercemar, antara lain Way Tulang Bawang, Way Terusan, Way Pangubuhan, Way
Seputih dan Way Sekampung.
Pencemaran Sungai Way Sekampung disebabkan oleh beban limbah
yang langsung dibuang ke perairan Way Sekampung maupun berasal dari aliran
percabangan sungai yang telah tercemar limbah. Pencemaran mengakibatkan
dampak negatif berupa terganggunya ekosistem sungai serta kerusakan
lingkungan sekitarnya, terutama di bagian hilir Sungai Way Sekampung yang
merupakan daerah sebaran mangrove pada pesisir timur Lampung.
Hamparan mangrove di pesisir timur Lampung membujur dari daerah
Way Sekampung bagian selatan hingga ke utara daerah Way Penet (perbatasan
kawasan Taman nasional Way Kambas). Pada ekosistem ini terdapat beberapa
jenis burung air seperti Pecuk Ular (Anhinga melanogaster), Bangau Tongtong
(Leptotilus javanicus), Milky Stork (Mycterea cinerea), Storms Stork (Ciconia
stormi), Pasific Reef Egret atau Kuntul (Egretta sacra) dan Itik (Anas
gibberifrons atau Anas quequedula) yang memanfaatkan mangrove di sepanjang
pantai timur sebagai tempat mencari makan dan bersarang.
Aksornkoae (1993) dalam Kusmana et al. (2003) menggambarkan
bahwa polutan yang berasal dari pemukiman dan industri dapat menyebabkan
penurunan kualitas air sehingga menimbulkan tekanan dan gangguan terhadap
ekosistem mangrove. Gangguan tersebut berupa peningkatan suhu air,
pencemaran oksigen, nutrien, keseimbangan salinitas, hidrologi, sedimentasi,
turbiditas, bahan-bahan toksik dan erosi tanah, sehingga mengakibatkan
terganggunya keseimbangan rantai makanan dan proses alami seperti regenerasi
dan pertumbuhan pada ekosistem mangrove itu sendiri maupun pada ekosistem
sekitar pantai. Gangguan pada ekosistem mangrove juga dapat berdampak pada
penurunan fungsinya sebagai habitat satwa, sumber plasma nutfah, penghasil
kayu, serta fungsi lainnya.
Sebagai upaya mencegah serta mengurangi pencemaran lingkungan
perairan yang telah terjadi di Sungai Way Sekampung dan berbagai dampak
negatif yang ditimbulkan, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap kualitas air
Sungai Way Sekampung maupun percabangannya. Salah satu percabangan
tersebut adalah Sungai Way Sulan Kecil yang termasuk Sub DAS Way Sulan,

DAS Way Sekampung. Di wilayah Sub DAS Way Sulan sendiri terdapat banyak
industri yang sebagian besar adalah industri pengolah hasil pertanian, termasuk
industri tapioka. Berdasarkan hal-hal tersebut, Sungai Way Sulan Kecil diduga
memberi kontribusi terhadap pencemaran air pada Sungai Way Sekampung.
Evaluasi kualitas air Sungai Way Sulan Kecil dilakukan dengan cara
membandingkan hasil pengujian yang diperoleh selama penelitian dengan Surat
Keputusan Gubernur Lampung No. G/625/B.7/HK/1995 tentang Kualitas Air
Badan Penerima dan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan
Hidup Tahun 1991 tentang Baku Mutu Limbah Cair Industri Tapioka. Dengan
demikian akan dapat diketahui kualitas air Sungai Way Sulan Kecil pada saat
dilakukannya penelitian. Untuk menyajikan hasil penelitian dalam bentuk
informasi kualitas perairan juga akan digunakan pendekatan biologis.
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menentukan status kualitas badan penerima dari faktor fisik-kimia perairan di
Sungai Way Sulan Kecil.
2. Mengkaji tingkat keanekaragaman jenis biota perairan yang merupakan
bioindikator kualitas lingkungan perairan.
3. Menghitung besarnya beban pencemaran pabrik tapioka PT. Florindo Makmur
ke Sungai Way Sulan Kecil.
1.3. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat:
1. Memberi gambaran kondisi kualitas fisik-kimia dan biologi perairan di Sub
DAS Way Sulan yang mendapat pengaruh limbah industri tapioka.
2. Sebagai dasar dalam penetapan status kualitas Sungai Way Sulan Kecil.
3. Memberi masukan bagi pemerintah daerah selaku pengambil kebijakan dalam
pengelolaan lingkungan tentang kondisi air Sungai Way Sulan. Kecil

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sungai
Perairan dibagi dalam tiga kategori utama, yaitu tawar, estuaria dan
kelautan. Habitat air tawar menempati daerah yang relatif kecil pada permukaan
bumi bila dibandingkan dengan habitat lainnya, namun peranannya sangat penting
bagi manusia yaitu sebagai sistem pembuangan serta digunakan untuk keperluan
sehari-hari seperti mandi, cuci dan kakus (Michael, 1994 dalam Maranti, 2005).
Habitat air tawar merupakan sumber air yang paling praktis dan murah untuk
kepentingan domestik maupun industri. Habitat ini dibagi menjadi dua kategori
yaitu habitat air tergenang atau habitat lentik seperti danau, kolam, rawa atau pasir
terapung, serta habitat air mengalir atau habitat lotik seperti mata air, aliran air
(brook-creek) atau sungai (Odum, 1993).
Sungai adalah tempat bermuaranya air dari sumber mata air (hulu)
menuju suatu tempat dengan tingkat geografis yang lebih rendah setara dengan
ketinggian permukaan laut (hilir). Besar kecilnya sungai sangat tergantung pada
aspek daya dukung sekitarnya seperti debit air dari mata air, bentuk geografis
tanah pendukungnya, struktur geologis, sebaran flora dan fauna yang tumbuh di
sekitarnya dan bentang alam secara keseluruhan (Bapedalda Propinsi Lampung,
2004).
Daerah Aliran Sungai atau DAS diartikan sebagai suatu kawasan yang
mengalirkan air ke satu sungai utama. DAS adalah suatu wilayah penerima air
hujan yang dibatasi oleh punggung bukit atau gunung, dimana semua curah hujan
yang jatuh di atasnya akan mengalir di sungai utama dan akhirnya bermuara ke
laut, sehingga kualitas air sungai utama akan dipengaruhi oleh masukan-masukan
dari anak sungai (Bapedalda Propinsi Lampung, 2003).
Wilayah Propinsi Lampung dialiri lima sungai besar dan sekitar 25
sungai kecil yang membentuk lima Daerah Aliran Sungai (DAS) utama, yaitu
DAS Way Sekampung, DAS Mesuji, DAS Semangka, DAS Seputih dan DAS
Tulang Bawang. DAS Sekampung dibagi lagi menjadi 15 Sub DAS, yaitu Sub
DAS Sekampung-Batu Tegi, Sub DAS Merabung-Lahan Sukoharjo, Sub DAS

Way Tebu, Sub DAS Way Bulok, Sub DAS Way Sekampung Anak, Sub DAS
Way Seman, Sub DAS Sekampung Agroguruh, Sub DAS Way Kandis, Sub DAS
Way Galih, Sub DAS Way Bekarang, Sub DAS Way Sulan, Sub DAS Ketibung,
Sub DAS Way Jabung, Sub DAS Way Sragi dan Sub DAS Way Pisang. Way
Sekampung merupakan salah satu sungai besar di Propinsi Lampung yang
termasuk DAS Way Sekampung. Bagian hulu sungai Way Sekampung terletak di
daerah pegunungan dan perbukitan di sebelah utara Kecamatan Kota Agung,
Lampung Selatan dan bermuara di Laut Jawa.
2.2. Kualitas Perairan
Pengertian kualitas lingkungan (perairan) adalah sebagai faktor biofisika
kimia yang mempengaruhi kehidupan organisme perairan dalam ekosistemnya.
Menurut Wardoyo (1981) dalam Bapedalda (2003), perairan yang ideal adalah
perairan yang dapat mendukung organisme dalam menyelesaikan daur hidupnya.
Sedangkan menurut Boyd (1982) dalam Bapedalda (2003), kualitas lingkungan
perairan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan untuk menunjang kehidupan
dan pertumbuhan organisme air yang nilainya dinyatakan dalam suatu kisaran
tertentu.
Masuknya bahan pencemar dalam perairan dapat mempengaruhi kualitas
air dan terkait dengan kapasitas asimilasinya. Apabila kapasitas asimilasi
terlampaui, selanjutnya akan menurunkan daya dukung, nilai guna dan fungsi
perairan bagi peruntukan lainnya. Kualitas perairan ditentukan oleh nilai kisaran
parameter yang terukur di lingkungan perairan. Nilai kisaran parameter tersebut
secara langsung atau tidak langsung ditentukan oleh proses hidrodinamika suatu
perairan. Selain itu juga tergantung beberapa faktor seperti intensitas bahan
pencemar, iklim, kedalaman arus, topografi dan geografi, sehingga terjadi proses
perubahan sifat fisik, kimia dan biologis yang saling berinteraksi. Apabila salah
satu faktor terganggu atau mengalami perubahan akan berdampak pada sistem
ekologi (Bapedalda 2003).

Terkait dengan kualitas lingkungan perairan, hasil penelitian yang


dilakukan oleh Maranti (2005) menyimpulkan bahwa Sungai Way Sekampung
memiliki kualitas dengan status tercemar sedang dengan indeks keanekaragaman
Shannon Wiener (H) berkisar 1,02 1,32 dan indeks kemelimpahan antara 15
963 ind/m2. Penelitian dilakukan pada lima stasiun pengamatan yang ditentukan
berdasarkan pertimbangan terwakilinya gambaran keadaan perairan sungai Way
Sekampung pada beberapa titik pengamatan.

Stasiun pengamatan tersebut

meliputi daerah sungai yang melalui kawasan perkebunan, persawahan, daerah


pemukiman penduduk serta kawasan industri. Stasiun pengamatan pertama berada
di Desa Sukoharjo I Kecamatan Sukoharjo yang termasuk Sub DAS Sekampung
Batu Tegi, dan stasiun terakhir berada di Dusun Sungging Sari Desa Peniangan
Kecamatan Jabung yang termasuk Sub DAS Way Jabung. Stasiun terakhir terletak
tepat setelah Sungai Way Sekampung mendapat masukan dari aliran Sungai Way
Sulan.
Berdasarkan penelitian tersebut juga dapat diketahui kualitas air Sungai
Way Sekampung menurut beberapa parameter fisik dan kimia, antara lain : suhu
air dari seluruh stasiun pengamatan berkisar antara 28,7C 31,53C, kecerahan
berkisar 0,1 0,63 m, kecepatan arus 1,26 3,53 m/dt, pH berkisar 6,32 6,63,
DO berkisar 3,27 4,27 mg/l, BOD berkisar 5,67 35,67 mg/l, COD berkisar
13,33 72 mg/l, nitrit berkisar 0,04 0,43 mg/l, nitrat berkisar 1,38 6,86 mg/l
dan ammonia berkisar 0,21 0,44 mg/l.
2.3. Pencemaran Perairan

Menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan


Hidup No. 02/MENKLH/I/1988 yang dimaksud dengan pencemaran air adalah
masuknya atau dimasukkannya zat, makhluk hidup (mikroorganisme patogen),
energi (air panas, air dingin dan lain-lain), atau komponen lain (zat radioaktif) ke
dalam air dan berubahnya tatanan air oleh kegiatan manusia atau proses alami,
sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu, yang menyebabkan air
kurang berfungsi sesuai dengan peruntukannya.

Definisi pencemaran air menurut Sutamihardja dan Husin (1983) adalah


penurunan

kualitas

air

yang

disebabkan

oleh

aktivitas

manusia

dan

mengakibatkan bahaya aktual terhadap kesehatan masyarakat atau penurunan


manfaat penggunaan air. Sedangkan menurut Fardiaz (1995), polusi air atau
pencemaran air adalah penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal, bukan
dari kemurniannya.
Air yang tersebar di alam tidak pernah terdapat dalam bentuk air murni,
tetapi bukan berarti semua air sudah terpolusi. Sebagai contoh, meskipun di
daerah pegunungan atau hutan yang terpencil dengan udara bersih dan bebas dari
polusi, air hujan selalu mengandung bahan-bahan terlarut seperti CO2, O2 dan N2,
serta bahan-bahan tersuspensi seperti debu dan partikel-partikel lainnya yang
terbawa dari atmosfer. Air permukaan dan air sumur biasanya mengandung
bahan-bahan metal terlarut seperti Na, Mg, Ca dan Fe. Air yang mengandung
komponen-komponen tersebut dalam jumlah tinggi disebut air sadah. Adanya
benda-benda asing yang mengakibatkan air tidak dapat digunakan secara normal
disebut polusi. Ciri-ciri air yang mengalami pencemaran sangat bervariasi
tergantung dari jenis air dan penyebab pencemaran atau komponen yang
mengakibatkan sumber pencemaran.
Husin dan Eman (1991) mengemukakan bahwa terdapat dua jenis
sumber pencemaran perairan, yaitu pencemaran yang dapat diketahui secara pasti
sumbernya (point sources), misalnya limbah industri dan pencemar yang tidak
diketahui secara pasti sumbernya (non point sources) yaitu pencemar yang masuk
ke perairan bersama air hujan dan limpasan permukaan. Dilihat dari segi
terjadinya pencemaran, maka sumber pencemar perairan dapat berasal secara
alami, yaitu disebabkan bencana alam maupun berasal dari aktivitas manusia
(anthropogenic), yaitu dari berbagai aktivitas manusia yang menghasilkan limbah
Untuk mengetahui apakah suatu perairan tercemar atau tidak, dilakukan
pengujian penentuan sifat-sifat air agar dapat diketahui apakah terjadi
penyimpangan dari batasan-batasan pencemaran air. Sifat-sifat air yang umum
diuji dan dapat digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran air misalnya: (1)
nilai pH, keasaman dan alkalinitas, (2) suhu, (3) warna, bau dan rasa, (4) jumlah

padatan, (5) nilai BOD/COD, (6) pencemaran mikroorganisme patogen, (7)


kandungan minyak, (8) kandungan logam berat, (9) kandungan bahan radioaktif.

2.4. Sifat Fisika Perairan


2.4.1. Warna
Warna air yang terdapat di alam sangat bervariasi, misalnya kuning,
coklat atau kehijauan. Air sungai biasanya berwarna kuning kecoklatan karena
mengandung lumpur. Warna air yang tidak normal biasanya menunjukkan adanya
polusi. Warna air dapat dibedakan atas dua macam yaitu warna sejati (true color)
yang disebabkan oleh bahan-bahan terlarut, dan warna semu (apparent color)
yang disebabkan oleh adanya bahan-bahan terlarut dan bahan-bahan tersuspensi,
termasuk diantaranya yang bersifat koloid (Fardiaz, 1995).
2.4.2. Suhu
Pada lingkungan perairan, suhu merupakan faktor pembatas utama
karena organisme akuatik sering memiliki toleransi yang sempit terhadap variasi
suhu (Odum, 1993). Suhu air sangat penting untuk diketahui secara akurat karena
berkaitan dengan kelarutan garam-garam, gas-gas, dan derajat penguraian
(disosiasi) garam-garam terlarut demikian pula derajat konduktivitas dan dalam
menentukan pH (Sutamihardja dan Husin, 1983). Terhadap organisme perairan,
suhu dapat mempengaruhi proses metabolisme dan fisiologis secara luas. Selain
metabolisme, suhu juga berpengaruh terhadap proses respirasi, tingkah laku,
penyebaran, kecepatan makan, pertumbuhan dan reproduksi organisme perairan
(Train, 1974 dalam Sutomo, 1999).
Fardiaz (1995) menyatakan bahwa kenaikan suhu akan mengakibatkan
penurunan jumlah oksigen terlarut di dalam air, peningkatan kecepatan reaksi
kimia, terganggunya kehidupan ikan dan hewan air lainnya bahkan kematian ikan
dan hewan air lainnya tersebut jika batas suhu yang mematikan terlampaui.
Menurut Welch (1980) dalam Widiastuty (2001), suhu air dengan kisaran 35 40C merupakan lethal temperature bagi makrozoobenthos artinya pada suhu
tersebut organisme bentik telah mencapai titik kritis dan dapat menyebabkan
kematian.

2.4.3. Kekeruhan
Kekeruhan adalah sebuah ukuran dari partikel-pertikel tersuspensi
seperti lumpur, lempung, bahan organik, plankton dan organisme mikroskopik di
dalam air yang biasanya terdapat pada suspensi oleh aliran turbulen dan gerak
brown. Jumlah material padat pada suspensi di dalam air dapat merupakan hasil
dari erosi secara alami, run-off dan blooming algae, maupun disebabkan oleh
penambahan material tersebut oleh manusia. Kekeruhan yang tinggi akan
mengurangi fotosintesis tumbuhan yang hidup di bawah permukaan air, perakaran
vegetasi perairan dan ganggang, dimana penurunan pertumbuhan ini pada
gilirannya akan menekan produktivitas ikan (Sutamihardja dan Husin, 1983).
Kekeruhan dan kecerahan merupakan parameter penting dalam
menentukan produktivitas suatu perairan. Tingkat kekeruhan suatu perairan
berbanding terbalik dengan tingkat kecerahannya atau meningkatnya kekeruhan
akan menurunkan kecerahan perairan. Koesoebiono (1979) dalam Suriani (2000)
menyatakan bahwa pengaruh utama dari kekeruhan adalah penurunan penetrasi
cahaya secara mencolok sehingga menyebabkan penurunan aktivitas fotosintesis
algae dan fitoplankton. Menurunnya aktivitas fotosintesis ini berakibat pada
penurunan produktivitas perairan.
Biasanya kondisi air yang keruh kurang disukai oleh bentos.
Pengendapan partikel tanah yang berlebihan menyebabkan penurunan hewan
bentos. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa pengendapan partikel tanah yang
berlebihan dapat menyebabkan penurunan kelimpahan makrozoobentos di sungai
sebesar 25% - 50%.
2.4.4. Padatan Total
Padatan total terdiri dari padatan terlarut (Total Dissolved Solid) dan
padatan tersuspensi (Total Suspended Solid) yang dapat bersifat organis dan
inorganis. Selanjutnya padatan tersuspensi sendiri dapat diklasifikasikan lagi
menjadi zat padat terapung yang selalu bersifat organis dan zat padat terendap
yang dapat bersifat organis dan inorganis (Alaerts dan Santika, 1984). Kehadiran
padatan total pada suatu perairan mengindikasikan jumlah bahan organik dan

mineral yang bersifat non-volatil (tidak menguap) pada suhu tertentu (Klein,
1971).
a. Padatan Tersuspensi
Padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air,
tidak terlarut dan tidak dapat mengendap langsung. Padatan tersuspensi terdiri
dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil daripada sedimen,
misalnya tanah liat, bahan-bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme, dan
sebagainya. Air buangan industri mengandung jumlah padatan tersuspensi dalam
jumlah yang sangat bervariasi tergantung dari jenis industrinya. Air buangan
industri-industri makanan, terutama industri fermentasi dan industri tekstil sering
mengandung padatan tersuspensi dalam jumlah relatif tinggi (Fardiaz, 1995).
Jika pada padatan tersuspensi berupa bahan organik dengan kadar yang
tinggi,

proses

pembusukan

sangat

mungkin

terjadi

sehingga

akan

menurunkan/menghabiskan oksigen terlarut dalam perairan. Bahan mineral dan


organik tersuspensi dapat menjadi endapan yang menutupi dasar aliran sehingga
menyebabkan kematian pada tumbuhan dan hewan perairan (Klein, 1971).
b. Padatan Terlarut
Padatan terlarut adalah padatan-padatan yang mempunyai ukuran lebih
kecil daripada padatan tersuspensi. Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa
anorganik dan organik yang larut air, mineral dan garam-garamnya (Fardiaz,
1995). Agregat TDS dapat berupa substansi-substansi karbonat, bikarbonat,
klorida, sulfat, phospat, nitrat, serta garam-garam kalsium, magnesium, sodium
potasium dan lain-lain (Sutamihardja, 1983).
2.4.5. Debit
Debit air adalah volume air yang mengalir pada suatu penampang
melintang sungai per satuan waktu. Data debit air sungai memberikan informasi
mengenai jumlah air yang mengalir pada waktu tertentu. Oleh karena itu, data
debit air berguna untuk mengetahui cukup tidaknya penyediaan air untuk berbagai
keperluan (domestik, irigasi, pelayaran, tenaga listrik dan industri), pengelolaan
DAS, pengendalian sedimen, prediksi kekeringan dan penilaian beban pencenaran
air (Puslitbang Pengairan, 1989 dalam Perdani, 2001).

Mason (1981) menyebutkan bahwa debit air merupakan fungsi dari kecepatan
arus rata-rata dengan luas potongan melintang sungai. Kecepatan arus yang
berkaitan dengan debit air ditentukan oleh keterjalan permukaan, tingkat tingkat
kekasaran, kedalaman dan lebar sungai. Klasifikasikan sungai berdasarkan
arusnya, yaitu : berarus sangat cepat (>100 cm/dt), berarus cepat (50 100 cm/dt),
berarus sedang (25 50 cm/dt), berarus lambat (10 25 cm/dt) dan berarus sangat
lambat (<10 cm/dt). Sedangkan (Sembiring, 1995) menyebutkan bahwa Faktorfaktor yang mempengaruhi fluktuasi debit yaitu curah hujan, intersepsi, infiltrasi
dan aliran permukaan. Debit air yang masuk ini akan berpengaruh terhadap proses
pengenceran berbagai bahan yang masuk ke dalam perairan tersebut dan
mempercepat proses pemurnian air sungai (Damhudi, 2000),

2.5. Sifat Kimia Perairan


2.5.1. pH
Nilai pH suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa
dalam air dan merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Adanya
karbonat, hidroksida dan bikarbonat meningkatkan kebasaan air, sementara
adanya asam-asam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan kemasaman. pH
air dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan perairan dan
mempengaruhi tersedianya hara-hara serta toksitas dari unsur-unsur renik. pH
perairan tawar berkisar dari 5,0 9,0 dimana pada kisaran tersebut ikan air tawar
masih dapat hidup (Saeni, 1989).
Menurut Fardiaz (1995), nilai pH air yang normal adalah 6 sampai 8
(sekitar netral), sedangkan pH air yang terpolusi, misalnya air buangan, berbedabeda tergantung dari jenis buangannya. Pada industri-industri makanan,
peningkatan keasaman air buangan pada umumnya mengandung asam mineral
dalam jumlah tinggi sehingga keasamannya juga tinggi. Perubahan keasaman
pada air buangan, baik ke arah alkali (pH naik) maupun ke arah masam (pH
menurun), akan sangat mengganggu kehidupan ikan dan hewan air di sekitarnya.

2.5.2. DO (Dissolved Oxygen)


Pada perairan umum, konsentrasi oksigen sangat penting selain bagi
kelangsungan hidup biota di dalamnya tetapi juga menentukan kemampuan air
untuk membersihkan diri secara alamiah dari bahan pencemar. Oksigen pada
ekosistem perairan terutama dihasilkan dari aktivitas fotosintesis. Selain itu juga
diperoleh melalui difusi langsung dari udara (Odum, 1993).
Menurut Goldman dan Horne (1983), faktor lingkungan yang paling
penting dalam mengatur konsentrasi oksigen dan karbondioksida adalah
temperatur. Selain temperatur, juga tergantung dari (1) fotosintesis tanaman, (2)
respirasi seluruh organisme , (3) aerasi air, (4) kehadiran gas-gas lain, dan (5)
reaksi kimia yang mungkin terjadi. Angin memainkan peranan yang sangat
penting dalam kelarutan dan distribusi oksigen di dalam air karena memberi
energi yang memungkinkan gas oksigen untuk berpindah antar kolom air.
Sedangkan menurut Fardiaz (1995), bervariasinya konsentrasi oksigen terlarut
dalam keadaan jenuh tergantung dari suhu dan tekanan atmosfer. Semakin tinggi
suhu air, semakin rendah tingkat kejenuhan. Konsentrasi oksigen terlarut yang
terlalu rendah akan mengakibatkan ikan-ikan dan binatang air lainnya yang
membutuhkan oksigen akan mati. Sebaliknya, konsentrasi oksigen yang terlalu
tinggi juga mengakibatkan proses pengkaratan semakin cepat karena akan
mengikat hidrogen yang melapisi permukaan logam.
Kandungan oksigen di perairan dapat dijadikan petunjuk tentang adanya
bahan organik. Limbah organik yang masuk ke dalam perairan akan mengalami
dekomposisi. Proses ini merupakan aktivitas bakteri yang memerlukan oksigen
terlarut dalam perairan. Oleh karena itu, pesatnya aktivitas bakteri dalam
menguraikan bahan organik di perairan akan menurunkan oksigen terlarut.
Kandungan oksigen terlarut akan semakin rendah jika masukan limbah ke
perairan semakin besar. Hal ini berhubungan dengan semakin bertambahnya
aktivitas dekomposisi dalam menguraikan limbah yang masuk (Abel, 1989 dalam
Bapedalda Propinsi Lampung, 2003).

Menurut Nemerow (1991), nilai DO merupakan unsur pokok yang


paling sering digunakan untuk mengamati pengaruh polusi organik pada suatu
perairan. Parameter ini sendiri terkadang memberikan hasil pemeriksaan yang
cukup mewakili kondisi aktual. Lee et al. (1978) dalam Bapedalda Propinsi
Lampung (2003), membedakan kualitas air berdasarkan kandungan oksigen yang
terlarut dalam air seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kualitas air dan klasifikasi derajat pencemaran menurut kriteria DO
(Lee et al., 1978 dalam Bapedalda Propinsi Lampung, 2003)
No.
1.
2.
3.
4.

Golongan
I
II
III
IV

Kandungan DO (mg/l)
>6,0
4,5 6,0
2,0 4,5
<2,0

Kualitas Air
Tidak Tercemar
Tercemar Ringan
Tercemar Sedang
Tercemar Berat

2.5.3. COD (Chemical Oxygen Demand)


Besarnya nilai COD menggambarkan jumlah oksigen yang dibutuhkan
oleh bahan oksidan, misalnya kalium dikhromat K2Cr2O7, untuk mengoksidasi
bahan-bahan organik yang terdapat dalam air. Uji COD merupakan suatu cara
untuk mengetahui jumlah bahan organik yang lebih cepat daripada uji BOD, yaitu
berdasarkan reaksi kimia dari suatu bahan oksidan (Fardiaz, 1995). Angka COD
merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organis yang secara alamiah
dapat dioksidasi melalui proses mikrobiologi, dan mengakibatkan berkurangnya
oksigen trelarut dalam air (Alaerts dan Santika, 1984). Menurut Sutamihardja dan
Husin (1983), air dengan nilai COD yang tinggi dapat mengurangi tingkat oksigen
terlarut sehingga mempengaruhi kelangsungan hidup organisme akuatik.
2.5.4. BOD (Biochemical Oxygen Demand)
Nilai BOD menggambarkan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh
bakteri untuk menguraikan (mendekomposisi) secara aerobik sejumlah bahan
organik selama periode tertentu pada suhu yang ditetapkan. Toksisitas,
konsentrasi mikroorganisme, bahan inorganik dan faktor-faktor lain akan sangat
mempengaruhi tingkat reaksi (Nemerow, 1991).

Nilai BOD tidak menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya,


tetapi hanya mengukur secara tidak langsung jumlah oksigen yang dibutuhkan
untuk mengoksidasi bahan organik. Jika konsumsi oksigen tinggi yang
ditunjukkan oleh semakin kecilnya sisa oksigen terlarut, berarti terdapat
kandungan bahan organik yang membutuhkan banyak oksigen.
Menurunnya

oksigen

terlarut

dalam

air

dapat

menyebabkan

terganggunya proses metabolisme suatu biota perairan. Jika konsentrasi oksigen


yang terlarut terlalu rendah. Mikroorganisme aerobik tidak dapat hidup dan
berkembangbiak. Namun sebaliknya, mikroorganisme yang bersifat anaerob akan
menjadi aktif (Bapedalda Propinsi Lampung, 2003).
Seperti halnya pada klasifikasi derajat pencemaran menurut kandungan
DO, kualitas air juga dapat digolongkan berdasarkan kriteria BOD suatu perairan.
Klasifikasi derajat pencemaran berdasarkan BOD dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi derajat pencemaran menurut kriteria BOD (Lee et al., 1978
dalam Bapedalda Propinsi Lampung,2003)
No.
1.
2.
3.
4.

Kandungan BOD (mg/l)


<3,0
3,0 5,0
5,0 15
15

Kualitas Air
Tidak Tercemar
Tercemar Ringan
Tercemar Sedang
Tercemar Berat

2.5.5. Nitrat
Senyawa-senyawa nitrogen terdapat dalam keadaan terlarut atau sebagai
bahan tersuspensi dan merupakan senyawa-senyawa yang sangat penting dalam
air serta memegang peranan sangat kuat dalam reaksi-reaksi biologi perairan.
Jenis-jenis nitrogen anorganik utama dalam air adalah ion nitrat (NO3-) dan
amonium (NH4+), serta ditemukan pula nitrit (NO2-) dalam beberapa kondisi.
Nitrat (NO3-) merupakan senyawa toksik terutama bagi bayi dan binatang
memamah biak. Dalam sistem pencernaan bayi dan binatang memamah biak,
nitrat direduksi menjadi nitrit (NO2-) yang dapat mengikat hemoglobin dalam
darah sehingga mengurangi kemampuan hemoglobin sebagai pembawa oksigen
dalam

darah.

Hal

ini

menyebabkan

keadaan

yang

dikenal

sebagai

methemoglobinemia (penyakit bayi biru). Saeni (1989) menyatakan bahwa

sumber-sumber nitrogen dalam air meliputi hancuran bahan organik, buangan


domestik, limbah industri, limbah peternakan, dan pupuk.
2.5.6. Fosfat
Fosfat merupakan senyawa yang mengandung ion unsur fosfor. Fosfor
dalam air terjadi baik sebagai bahan padat maupun bentuk terlarut. Fosfor padat
dapat terjadi sebagai suspensi garam-garam yang tidak larut, dalam bahan
biologik, atau teradsorpsi dalam bahan padat. Fraksi yang paling baik dari
senyawa fosfat yang terlarut paling mungkin terdapat dalam bentuk senyawa
organik yang terlarut. Fosfor anorganik yang terlarut terjadi terutama sebagai
bentuk ion ortofosfat. Kenaikan konsentrasi fosfat menyatakan adanya zat
pencemar.
Menurut Mahida (1984), fosfor adalah komponen yang sangat penting
dalam permasalahan air dan merupakan salah satu dari beberapa unsur kunci yang
esensial untuk pertumbuhan ganggang dalam air. Sumber-sumber fosfor adalah
pencemaran industri, hanyutan dari pupuk, limbah domestik, hancuran bahan
organik, dan mineral-mineral fosfat. Fosfat dari deterjen dalam limbah domestik
dan industri merupakan sumber yang paling memegang peranan penting dalam
kelebihan hara fosfor dalam air.
2.5.7. Sianida
Keberadaan sianida merupakan sifat khas penting yang yang
membedakan sampah industri dari limbah domestik normal (Mahida, 1984).
Industri tapioka berpotensi besar dalam menghasilkan limbah dengan kandungan
sianida sangat tinggi. Hal ini disebabkan umbi singkong (ubi kayu) sebagai bahan
baku industri tapioka mengandung asam sianida dengan konsentrasi besar.
Sumber cemaran sianida pada industri tapioka terutama pada limbah
cairnya. Limbah cair industri tapioka berupa sisa air buangan dari proses
pencucian dan penyaringan, banyak mengandung karbohidrat berupa pati serta
cemaran lain yang terlarut. Salah satu cemaran yang ikut terlarut dalam air
buangan adalah asam sianida dengan kadar 80% sampai 90% (Sukamto, 1998).

Asam sianida merupakan senyawa racun yang cukup mematikan.


Keracunan sianida dapat menimbulkan kerusakan hati, kepala pusing, muntahmuntah, mata berkunang-kunang, gangguan sistem pernapasan dan pada konsumsi
dengan dosis 0,5 3,5 mgHCN/kg berat badan dapat menyebabkan kematian.
2.6. Faktor Biologi Perairan
2.6.1. Makrozoobenthos
Gangguan

lingkungan

seperti

terjadinya

pencemaran

dapat

menyebabkan terjadinya perubahan pada struktur dan fungsi sistem biologi.


Fenomena tersebut menjadi dasar percobaan untuk mengukur tingkat dan beratnya
pencemaran dengan cara menganalisis perubahan pada sistem biologi.
Bentos merupakan organisme yang melekat atau beristirahat pada dasar
atau hidup di dasar endapan (Odum, 1993). Sedangkan zoobenthos merupakan
hewan yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktu hidupnya pada atau
di dekat sedimen. Biasanya zoobenthos tersebar dalam grup hewan-hewan kecil
yang terdiri dari larva serangga, crustacea dan molusca. Golongan utama yang
biasanya

dianggap

sebagai

makrozoobenthos

adalah

insekta,

mollusca,

Oligochaeta, Hirudinea, Gastropoda, Pelecypoda, Crustacea, Plecoptera, Odonata,


Ephemaraptera, Hemiptera, Megaloptera, Trichoptera, Coleoptera, dan Diptera.
Dibandingkan dengan organisme lainnya, makrozoobenthos lebih efektif
dalam penentuan kualitas air. hal ini disebabkan oleh beberapa alasan antara lain
(Widiastuty, 2001) :
1. Mempunyai sifat hidup yang relatif menetap meskipun kualitas air tidak
mengalami perubahan.
2. Termasuk sebagai hewan yang menghuni habitat aquatik dalam spektrum luas
dengan berbagai kualitas air.
3. Mempunyai masa hidup relatif lama (beberapa bulan hingga dua tahun)
sehingga keberadaannya memungkinkan untuk merekam kualitas lingkungan
di sekitarnya.
4. Mempunyai beberapa jenis yang memberikan respon berbeda terhadap
kualitas air.

5. Rata-rata lebih mudah untuk diidentifikasi dibandingkan dengan jenis


bioindikator lainnya.
6. Mudah dalam pengumpulannya.
Patrick (1950) dalam Nemerow (1991) mengelompokkan organisme
yang dapat digunakan sebagai indikator biologi kondisi sungai dalam tujuh
kelompok taksonomi, yaitu:
1. Ganggang biru-hijau (blue-green algae), beberapa ganggang hijau dan
rotifera.
2. Oligochaeta, lintah (leeches), siput (snails).
3. Protozoa
4. Diatoms, ganggang merah (red algae), dan sebagian besar ganggang hijau.
5. Semua rotifera (kecuali pada poin pertama) ditambah remis besar atau
semacam kijing (clams), cacing, dan beberapa siput.
6. Semua insecta dan crustacea.
7. Semua ikan.
Wilhm (1975) mengklasifikasikan makrozoobenthos menjadi tiga
kelompok berdasarkan tingkat ketahanannya terhadap bahan pencemar seperti
pada Tabel 3.
Tabel 3. Klasifikasi makrozoobenthos berdasarkan ketahanannya terhadap bahan
pencemar
No.
Kelompok
1. Sangat tahan terhadap bahan
pencemar (toleran)
2.
3.

Jenis Makrozoobenthos
Cacing tubifisida, lintah, larva, siput
toleran khususnya Musculium dan
Pisidium

Ketahanan
sedang,
lebih Jenis-jenis siput yang menyukai
perairan berarus, Insecta, Crustacea
menyukai air jernih (fakultatif)

Tidak tahan terhadap pencemar Siput


dari
famili
Viviparidae,
dan hanya menyukai air bersih Amnicolidae, Insecta atau larva insecta
(intoleran)
atau nimfa ordo Ephemeridae,
Odonata, Neuroptera, Hemiptera, dan
Coleoptera.
Sumber : Wilhm (1975)

2.7. Kualitas Air, Baku mutu Air dan Baku Mutu Limbah Cair
Kualitas air adalah karakter (sifat) air yang digambarkan oleh nilai-nilai
dari berbagai macam faktor atau karakteristik atau komponen kualitas air (yang
sering disebut sebagai parameter kualitas air). Karakteristik-karakteristik tersebut
menggambarkan kondisi fisik-kimia dan mikrobiologi dari air. Kualitas air yang
diinginkan dinyatakan dalam nilai (beberapa diantaranya bisa disebut sebagai
kadar atau konsentrasi) tertentu. Tidak semua nilai yang rendah selalu berarti
baik, sebab komponen yang berfungsi sebagai nutrien biasanya diperlukan dalam
jumlah tertentu. Bila jumlah nutrien terlalu rendah dapat menyebabkan defisiensi,
tetapi bila terlalu tinggi menyebabkan keracunan. Maka dapat dikatakan bahwa
kualitas air ditentukan oleh konsentrasi bahan pencemar di dalam air. Agar tidak
terjadi penurunan kualitas air, maka muatan yang dibuang ke perairan harus
dibawah atau sama dengan daya tampung beban pencemaran.
Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1990 mendefinisikan daya tampung
beban pencemaran sebagai kemampuan air pada sumber air menerima beban
pencemaran limbah tanpa mengakibatkan turunnya kualitas air sehingga melewati
baku mutu air yang ditetapkan sesuai dengan peruntukannya. Pada pasal 7
Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1990 ditetapkan penggolongan air menurut
peruntukannya sebagai berikut:
Golongan A

: Air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung


tanpa pengolahan terlebih dahulu;

Golongan B

: Air yang dapat digunakan sebagai air baku air minum;

Golongan C

: Air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan


peternakan;

Golongan D

: Air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian, dan dapat


dimanfaatkan untuk usaha perkotaan, industri, pembangkit listrik
tenaga air.

Peruntukan air sesuai dengan penggolongannya sebagaimana yang dimaksudkan


pada pasal 7, dapat ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dengan
ketentuan persyaratan yang ditetapkan sebagai dasar penggolongan sama dengan
atau lebih ketat daripada peraturan pemerintah tersebut.

Baku mutu air adalah batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau
komponen lain yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemaran yang
ditenggang adanya dalam air pada sumber air tertentu sesuai dengan
peruntukannya. Sedangkan baku mutu limbah cair adalah batas kadar dan jumlah
unsur pencemaran yang ditenggang adanya dalam limbah cair untuk dibuang dari
satu jenis kegiatan tertentu. Untuk dapat digunakan sebagai acuan dalam
memantau kualitas air, baku mutu air, daya tampung limbah dan baku mutu
limbah cair ini ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam lima
tahun.

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian


Pengambilan data kualitas air Sungai Way Sulan Kecil dilaksanakan pada
aliran Sungai Way Sulan Kecil di sekitar outlet limbah industri tapioka PT.
Florindo Makmur, Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung. Pengambilan
contoh air dilakukan pada lima lokasi, sedangkan pengambilan spesimen
makrozoobenthos dilakukan pada empat lokasi. Kedua jenis pengambilan contoh
tersebut masing-masing dilakukan sebanyak tiga ulangan. Waktu penelitian baik
penelitian di lapangan, analisis laboratorium, maupun pengambilan data sekunder
dilaksanakan selama dua bulan yaitu pada bulan Juni sampai Juli 2005.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang dipergunakan untuk penelitian adalah zat kimia terdiri dari
H2SO4 0,1 N untuk mengawetkan sampel air dan larutan formalin 3% dalam air
untuk mengawetkan spesimen benthos. Sedangkan alat-alat yang digunakan
meliputi pH meter, termometer Hg, water sampler, jerigen 1 liter, botol plastik,
tempat plastik, plastik hitam, pipet, Ekman grab, dan saringan. Peralatan lain
disesuaikan dengan parameter fisika-kimia dan biologi perairan yang diukur dan
metode analisisnya.
3.3. Metode Pengambilan Data
3.3.1. Data Primer
a. Parameter Fisika dan Kimia Perairan
Data parameter fisika dan kimia diperoleh dari pengambilan contoh air
Sungai Way Sulan Kecil pada lima stasiun (lokasi). Stasiun I berada pada aliran
sungai setelah menerima limbah dari industri-industri di Kawasan Industri
Lampung (PT.KAIL), industri pakan ternak, pengalengan rajungan dan
pengalengan minuman. Stasiun 1

berjarak 200 m sebelum melewati bagian

perairan yang menerima limbah industri tapioka. Stasiun II berada pada aliran
sungai pada saat menerima air buangan (limbah) industri tapioka, stasiun III

berada pada aliran sungai yang berjarak 200 m setelah stasiun II dan stasiun IV
merupakan aliran sungai dimana pengaruh limbah industri diperkirakan telah
berkurang. Stasiun IV terletak sebelum percabangan dengan sungai lain. Lokasi
stasiun pengambilan contoh air dan spesimen makrozoobentos dapat dilihat pada
Gambar 1. Dilakukan pula pengambilan contoh limbah cair pada outlet IPAL
pabrik tapioka yang mengalirkan ke Sungai Way Sulan Kecil.
Pengambilan contoh air yang dianalisis dilakukan sesuai dengan titiktitik sampling yang telah ditetapkan dari badan sungai dan dilakukan secara
komposit sebanyak tiga ulangan dengan interval waktu satu minggu sekali. Pada
analisis fisika dan kimia air Sungai Way Sulan Kecil, parameter fisika dan kimia
yang diukur dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Parameter, alat dan metode analisis fisika-kimia yang digunakan
No.

1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Parameter
Fisika
Warna
Suhu
TDS
TSS
Kekeruhan
Kimia
pH
DO
COD
BOD
Nitrat (NO3)
Fosfat (PO4)
Sianida (CN-)

Satuan

Alat/Metode
Analisis

Keterangan

PtCo
C
mg/l
mg/l
NTU

Spektrofotometrik
Termometer
Gravimetrik
Gravimetrik
Turbidity meter

Laboratorium
In situ
Laboratorium
Laboratorium
Laboratorium

Unit
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l

pH meter
Titrimetrik
Titrimetrik
Titrimetrik
Spektrofotometrik
Spektrofotometrik
Titrimetrik

In situ
Laboratorium
Laboratorium
Laboratorium
Laboratorium
Laboratorium
Laboratorium

b. Parameter Biologi
Contoh benthos diambil pada daerah (lokasi) yang sama dengan stasiun
pengambilan contoh air (parameter fisika-kimia). Pengambilan dilakukan dengan
Surber Net. Kemudian spesimen benthos yang terambil dipisahkan dari lumpur
dan benda lain dengan saringan. Spesimen bentos dimasukkan ke dalam tempat
plastik lalu diberi larutan kimia pengawet (formalin 3%). Identifikasi dilakukan di
Laboratorium Zoologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Lampung.

Gambar 1. Peta lokasi pengambilan contoh air dan spesimen makrozoobentos


di Sungai Way Sulan Kecil.

3.3.2. Data Sekunder


Data sekunder yang dikumpulkan meliputi:
1. Peta penggunaan lahan DAS Sekampung (Sub DAS Way Sulan).
2. Data kualitas DAS Way Sekampung pada musim kemarau tahun 2005.
3. Data curah hujan rata-rata bulanan selama sepuluh tahun terakhir.
4. Data kapasitas produksi dan volume limbah PT. Florindo Makmur.
3.4. Analisis Data
3.4.1. Analisis Kualitas Fisika dan Kimia Perairan
Analisis data untuk parameter fisika dan kimia air Sungai Way Sulan
Kecil yaitu dengan membandingkan hasil pengukuran dengan SK Gubernur
Lampung No. G/625/B.7/HK/1995 tentang Kualitas Air Badan Penerima. Untuk
hasil pengukuran pada outlet limbah tapioka dibandingkan dengan Keputusan
Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991 tentang Baku
Mutu Limbah Cair Industri Tapioka.
3.4.2. Analisis Komunitas Makrozoobenthos
Analisis makrozoobenthos dilakukan untuk mengetahui pengaruh
perubahan

kualitas

fisika

dan

kimia

perairan

terhadap

komunitas

makrozoobenthos sebagai indikator biologis pada perairan yang dinamis


(mengalir). Dengan mengetahui struktur komunitas makrozoobenthos juga dapat
diketahui kondisi dan tingkat kualitas suatu perairan. Analisis komunitas
makrozoobenthos meliputi perhitungan kepadatan, indeks keanekaragaman,
keseragaman dan dominansi.

a. Kepadatan
Odum (1993) mendefinisikan kepadatan sebagai jumlah individu suatu
jenis per stasiun (ind/m2). Kepadatan dihitung dengan rumus :
K=

1000.a
b

dimana:

= Kepadatan makrozoobenthos (ind/m2)

= Jumlah makrozoobenthos yang dihitung (individu)

= Luas bukaan transek surber atau Ekmen Grab


(20 x 20 cm2) dengan nilai 1000 merupakan konversi
dari cm2 ke m2

b. Indeks Keanekaragaman
Salah satu cara terbaik untuk mengetahui dan menilai tingkat
pencemaran

pada

suatu

perairan

adalah

dengan

menghitung

indeks

keanekaragaman jenis makrozoobenthosnya. Indeks keanekaragaman yang


digunakan adalah indeks diversitas Shannon-Wiener. Indeks tersebut tidak
tergantung pada besarnya contoh, yang berarti bahwa dengan contoh yang sedikit
dapat diperoleh indeks yang dapat dipercaya untuk keperluan pembandingan
sehingga cocok untuk pengukuran keanekaragaman makrozoobenthos pada
perairan dengan jumlah spesies sedikit. Untuk keperluan ini hanya diperlukan
kemampuan membedakan jenis tanpa harus mengidentifikasinya (Odum, 1993).
Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H) dihitung dengan rumus :
S

H = - pi ln pi
I =1

dimana:

= indeks keanekaragaman

pi

= jumlah total individu

ni

= jumlah individu jenis ke-i

= jumlah jenis

ni
N

Nilai H dari hasil perhitungan dengan rumus di atas mencerminkan tingkat


keanekaragaman, penyebaran dan stabilitas komunitas yang klasifikasinya dapat
dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H)


Kategori

Nilai Indeks Shannon


>3

Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu


tiap spesies tinggi dan kestabilan komunitas tinggi.
1 3
Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah
individu tiap spesies sedang dan kestabilan
komunitas sedang.
<1
Keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah
individu tiap spesies rendah dan kestabilan
komunitas rendah.
Sumber : Wilhm et al.,(1975) dalam Mason (1981)
Melalui nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wieners (H) dapat diketahui
tingkat pencemaran suatu perairan. Hubungan H dengan tingkat pencemaran
perairan seperti diperlihatkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Klasifikasi hubungan Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H) dan
tingkat pencemaran perairan
Tingkat Pencemaran
(kualitas lingkungan)
>3
Air bersih
1 3
Tercemar sedang
<1
Tercemar berat
Sumber : Wilhm dan Doris (1968) dalam Wilhm (1975)
Indeks Diversitas Shannon (H)

c. Indeks Keseragaman
Keseragaman (equitibilitas) merupakan salah satu komponen utama
keanekaragaman yang menyatakan pembagian individu yang merata di antara
jenis. Indeks keseragaman dihitung untuk mengetahui pola dominansi suatu jenis
atau beberapa kelompok jenis dalam suatu komunitas organisme.
E=

H'
H 'maks

dimana:

= indeks keseragaman (skala 0 1)

= indeks keanekaragaman Shannon-Wiener

Hmaks

= indeks keanekaragaman maksimum


= ln S (dimana S adalah jumlah jenis dalam
komunitas)

Indeks keseragaman (E) menggambarkan tingkat keseragaman jenis. Kriteria


indeks keseragaman dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Kriteria indeks keseragaman
Indeks Keseragaman (E)
< 0,4
0,4 0,6
> 0,6
Sumber : Fitriyana (2004)

Tingkat Keseragaman Jenis


Keseragaman jenis rendah
Keseragaman jenis sedang
Keseragaman jenis tinggi

Semakin kecil nilai E, maka semakin kecil pula keseragaman


populasinya. Hal tersebut menggambarkan penyebaran jumlah individu tiap jenis
tidak sama atau ada kecenderungan dominasi dari satu spesies. Untuk nilai E yang
mendekati 1 berarti sebaran individu-individu antar jenis relatif merata. Tetapi
untuk nilai E mendekati 0 menggambarkan sebaran individu yang tidak merata
atau terdapat sekelompok jenis tertentu yang kelimpahannya relatif lebih besar
daripada jenis lainnya (dominan). Dalam memperkirakan terjadinya pencemaran
di lingkungan perairan, perhitungan nilai E menggambarkan kemampuan
sekelompok jenis tertentu yang telah mampu beradaptasi dengan kondisi tingkat
pencemaran tertentu.
d. Indeks Dominansi
Untuk mengetahui adanya dominansi satu jenis atau beberapa kelompok
jenis dalam suatu komunitas, selain menggunakan indeks keseragaman juga
dilakukan dengan perhitungan indeks dominansi. Indeks dominansi menyatakan
derajat dimana dominansi dipusatkan dalam satu, beberapa, atau banyak jenis.
Dengan arti lain, indeks dominansi dihitung untuk menentukan spesies tertentu
yang mendominasi suatu komunitas (Odum, 1993).
D=

ni

i =1 N
n

dimana:

indeks dominansi

ni

jumlah individu jenis ke-I

jumlah seluruh individu

Kriteria indeks dominansi seperti pada Tabel 18 berikut.


Tabel 8. Kriteria indeks dominansi
Indeks Dominansi (D)

Kategori Dominansi Jenis

< 0,4

Dominansi rendah

0,4 0,6

Dominansi sedang

>0,6

Dominansi tinggi

Sumber : Udayana (1997)


3.4.3. Perhitungan Beban Pencemaran
Atas dasar jenis sumber pencemar yang diketahui, maka beban
pencemaran dapat diketahui pula, yaitu dengan menggunakan faktor konversi.
Beban pencemaran pada limbah cair industri tapioka PT. Florindo Makmur ke
Sungai Way Sulan Kecil, sesuai besarnya kapasitas produksi. Pada setiap ton
produk berupa tepung tapioka akan dihasilkan satuan volume limbah yang
mengandung beban pencemaran dengan nilai tertentu (faktor konversi beban
limbah). Sehingga besarnya beban limbah/beban pencemaran pada suatu proses
produksi adalah hasil kali antara besarnya kapasitas produksi dengan faktor
konversi beban limbah. Faktor konversi beban limbah untuk indutri tepung dapat
dilihat pada Tabel 19.
Tabel 9. Faktor konversi beban limbah industri tepung
Satuan

Beban Limbah
BOD
COD
SS
kg/ton
13,4
21,83
9,7
Sunber
: Djajadiningrat dan Amir (1989)
Keterangan

TDS
42,3

: BOD (Biochemical Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen


Demand), SS (Suspended Solid), TDS (Total Suspended Solid).

Konsentrasi beban limbah di zona percampuran (mixing zone) dapat


diketahui dengan cara :
a. Pengukuran langsung
b. Model Pengenceran Sungai (Mixing zone)
Cd =

CuxQu + CwxQw
Qu + Qw

Dimana : Cd

= Kadar air di hilur

Cw

= Kadar air dalam limbah

Cu

= Kadar air di hulu

Qw

= Debit limbah

Qu

= Debit sungai di hulu

c. Perhitungan konsentrasi menggunakan hasil faktor konversi


C=

BL
Q
Dimana :

= Konsentrasi limbah (mg/l)

BL

= Beban pencemaran (mg/dt)

= Debit air (l/dt)

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Letak
Penelitian ini dilakukan di aliran Sungai Way Sulan Kecil. Secara
administrasi, lokasi penelitian merupakan wilayah Desa Neglasari, Kecamatan
Katibung, Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung. Sedangkan Sungai
Way Sulan Kecil termasuk dalam Sub DAS Way Sulan yang merupakan bagian
DAS Way Sekampung.
4.2. Iklim
Berdasarkan data curah hujan dan hari hujan bulanan, tipe iklim yang ada di
wilayah studi berdasarkan klasifikasi iklim Scmidth & Ferguson (1951) adalah
tipe iklim B dengan curah hujan berkisar antara 2000 3000 mm/th. Suhu ratarata udara berkisar antara 28 - 30C, dengan kelembaban relatif antara 5062%.
Sedangkan berdasarkan klasifikasi iklim menurut Oldeman (1978), daerah
setempat termasuk dalam zone agroklimat C3, karena mempunyai bulan basah
dengan curah hujan >200 mm selama 4 sampai 5 bulan berturut-turut dan bulan
kering (curah hujan <100 mm) 4 6 bulan berturut-turut dalam setahun.

4.3. Tanah dan Topografi


Jenis tanah sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil adalah jalur
meander dari lembah aluvial luas, endapan halus, dengan lereng 0 3%. Tekstur
tanahnya lempung pasiran dan memiliki jeluk yang dalam ( 10 meter) dicirikan
dengan ditemukan bahan induk pada kedalaman tersebut. Lokasi penelitian berada
pada ketinggian 65 75 mdpl. Bentuk muka lahan bergelombang sampai
berbukit-bukit. Sedangkan ketinggian lokasi pabrik terhadap daerah sekitar 3
meter. Kedalaman air tanah di sekitar daerah penelitian berkisar antara 8 10
meter dengan variasi musiman sekitar 1,5 meter. Kondisi air tanah masih di
bawah baku mutu untuk air minum sehingga layak digunakan sebagai sumber air
bersih oleh penduduk.

4.4. Flora dan Fauna


Jenis-jenis tanaman yang terdapat di sekitar lokasi penelitian pada umumnya
merupakan tanaman budidaya dan sebagian kecil merupakan semak belukar.
Sedangkan jenis fauna yang terdapat di sekitar lokasi penelitian sebagian besar
merupakan hewan peliharaan. Jenis-jenis flora yang ada di sekitar lokasi
penelitian disajikan pada Tabel 10 dan jenis-jenis fauna disajikan pada Tabel 11.
Tabel 10. Jenis-Jenis flora yang ada di sekitar lokasi penelitian
No.

Nama Daerah

Nama Ilmiah

1.

Bambu

Bambusa sp.

2.

Cente Manis

Lantana camara

3.

Senggani

Melastoma polyantum

4.

Babadotan

Ageratum conyzoides

5.

Rumput teki

Cyperus rotundus

6.

Putri malu

Mimosa pudica

7.

Ilalang

Imperata cylindrica

8.

Waru

Hibiscus tiliaceus

9.

Ceplukan blungsum

Passiflora foetida

10.

Rumput mendongan

Fimbristilis ferruginea

11.

Sikejut

Mimosa sp.

12.

Pisang

Musa paradisiaca

13.

Mangga

Mangifera indica

14.

Ubi kayu

Manihot utilisima

15.

Rambutan

Nephelium lappaceum

16.

Pepaya

Carica papaya

17.

Kelapa

Cocos nucifera

18.

Jagung

Zea mays

19.

Sengon

Paraserianthes falcataria

20.

Nangka

Arthocarpus integra

21.

Durian

Durio zibethinus

22.

Rambutan

Nephelium sp.

23.

Melinjo

Gnetum gnemon

24.

Jengkol

Pithecellobium lobatum

25.

Jati

Tectona grandis

26.

Kelapa sawit

Elaeis quinensis

27.

Kopi

Coffea robusta

28

Kemiri

Aleurites moluccana

Tabel 11. Jenis-jenis fauna yang ada di sekitar lokasi penelitian


No.

Nama Daerah

Nama Latin

1.

Sapi

Bos indicus

2.

Kerbau

Bos bubalus

3.

Kambing

Capra spec

4.

Kadal

Mabuya multifasciata

5.

Cecak

Calotes jubatus

6.

Burung gereja

Passer montanus

7.

Ayam

Gallus sp.

8.

Belalang daun

Tettigonia sp.

9.

Jangkrik

Grillus bimaculatus

10.

Kupu-kupu

Papilio polyxenue

11.

Capung

Pantala flavescana

12.

Kodok

Bufo biforcatus

4.5. Penggunaan Lahan


Penggunaan lahan di lokasi penelitian dan sekitarnya adalah sawah,
pekarangan, permukiman pedesaan, pabrik/industri, kebun campuran, dan tegalan.
Pada lokasi penelitian, penutupan kanopi relatif rapat. Jenis-jenis penggunaan
lahan di Sub DAS Way Sulan terdiri dari pertanian lahan kering, pertanian lahan
kering bercampur semak dan tanah industri. Badan Koordinasi Survey dan
Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) mendefinisikan pertanian lahan kering sebagai
areal pertanian yang tidak dialiri air. Sedangkan tanah industri adalah areal tanah
yang digunakan untuk kegiatan ekonomi berupa proses pengolahan bahan-bahan
baku untuk menjadi barang jadi/setengah jadi menjadi barang jadi.

Menurut pengamatan di lapangan, Sub DAS Way Sulan khususnya di


sekitar Sungai Way Sulan Kecil dari hulu sampai hilir, terdapat berbagai industri
yang sebagian besar merupakan jenis industri pengolah hasil pertanian dan
membuang limbahnya pada aliran Sungai Way Sulan Kecil. Industri-industri
tersebut didominasi oleh industri pakan ternak dan pakan udang skala besar. Jenisjenis industri yang membuang limbahnya pada aliran Sungai Way Sulan Kecil
disajikan pada Tabel 12, sedangkan letaknya terhadap Sungai Way Sulan Kecil
dan lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
Tabel 12. Jenis-jenis industri yang terdapat di sepanjang aliran Sungai Way Sulan
Kecil
No.
Nama perusahaan
1. PT. Coca Cola Company
2. PT. Kawasan Industri Lampung
(PT. KAIL), terdiri dari :
a. Balai percobaan LIPPI
b. PT. Indofood Sukses Makmur Tbk.
c. PT. Indocom

3.
4.
5.
6.
7.

d. PT. Bratasena Citra Darmaja


e. PT. Charoen Pokphand Indonesia Tbk.
f. PT. Phillip Morris
PT. Toyota Bio
PT. Japfa Comfeed Tbk.
PT. Sierrad Green Tbk.
PT. Panji Saburai Putera
PT. Florindo Makmur (divisi tapioka)

Jenis industri
Pengalengan minuman
Percobaan
pembuatan
pakan ternak
Industri makanan
Pembekuan udang (cold
storage)
Industri pakan udang
Industri pakan ternak
Pengalengan rajungan
Industri pakan ternak
Industri pakan ternak
Industri pakan ternak
Pengalengan rajungan
Industri tapioka

Gambar 2. Letak industri-industri di sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Sifat Fisika Kimia Perairan


5.1.1. Warna
Warna air dapat dijadikan sebagai salah satu indikator terjadinya
pencemaran lingkungan perairan. Walaupun dalam kondisi tidak terpolusi warna
air tidak selalu jernih, namun biasanya air yang terpolusi memiliki warna tidak
normal yang disebabkan oleh adanya bahan-bahan terlarut dan bahan-bahan
tersuspensi, termasuk yang bersifat koloid (Fardiaz, 1995). Fluktuasi hasil
pengukuran warna air Sungai Way Sulan Kecil selama penelitian disajikan pada
Gambar 3.
35
30

30

28
25

Warna (PtCo)

25

Hasil pengukuran I

20

Hasil pengukuran II
14.4

15
10
5

Hasil pengukuran III

11.7

10
8
4.8
3

10.6

Nilai rata-rata

7
5.2

5
2.3

1.5

1.7

0
1

Stasiun pengukuran

Gambar 3. Hasil pengukuran warna air Sungai Way Sulan Kecil


di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur.
Hasil analisis nilai rata-rata satuan warna pada keempat stasiun berkisar
4,8 14,4 PtCo. Nilai rata-rata terendah terdapat pada stasiun 1 dan tertinggi pada
stasiun 2. Rendahnya nilai warna pada stasiun 1 diperkirakan karena masukan dari
hulu sungai (sebelum stasiun 1), termasuk limbah industri, tidak bersifat
menambah ataupun mengubah warna air sungai sehingga relatif tidak
menyebabkan penyimpangan warna air sungai dari kondisi normalnya. Hal ini
dimungkinkan karena air limbah industri memiliki warna hampir menyerupai

warna air Sungai Way Sulan Kecil dalam kondisi normal, sehingga nilai satuan
warna air tidak mengalami peningkatan yang cukup besar.
Nilai rataan warna tertinggi pada stasiun 2 diperkirakan merupakan
pengaruh limbah cair industri tapioka. Bahan-bahan terlarut maupun tersuspensi
dalam limbah cair industri tapioka yang masuk ke perairan Way Sulan Kecil
diduga berperan dalam meningkatkan nilai satuan warna. Menurut pengamatan di
lapangan, sifat limbah cair tapioka sebelum mengalami pengolahan adalah
berwarna keputihan yang berasal dari proses pengendapan ubi kayu yang telah
diparut. Namun setelah mengalami proses pengolahan, warna limbah cair tapioka
berubah menjadi hijau (kehijauan). Masukan limbah cair tapioka pada Sungai
Way Sulan Kecil menyebabkan warna air sungai turut berubah menjadi kehijauan.
Perubahan warna air sungai ini yang menyebabkan nilai satuan warna pada
stasiun 2 meningkat. Peningkatan nilai satuan warna mengindikasikan adanya
tambahan zat warna pada perairan sehingga memperbesar penyimpangan atau
menyebabkan perubahan warna air sungai dari warna aslinya.
Pada stasiun 3 dan 4 terjadi penurunan nilai satuan warna secara
bertahap seiring adanya proses pengendapan serta penguraian partikel-partikel
padatan yang mempengaruhi perubahan warna air. Dengan adanya pengendapan
dan penguraian tersebut, partikel-partikel padatan yang menyebabkan perubahan
warna air semakin berkurang sehingga warna air mendekati sifat normalnya.
SK

Gubernur

Kepala

Daerah

Tingkat

Lampung

No.

G/625/B.VII/HK/1995 tentang baku mutu kualitas air golongan B, maupun


Kepmen Kependudukan dan Lingkungan Hidup tentang baku mutu limbah cair
tapioka, tidak menetapkan baku mutu nilai warna.

5.1.2. Suhu
Suhu air merupakan faktor pembatas utama dalam lingkungan perairan
karena berpengaruh dalam menentukan atau mengendalikan kehidupan organisme
perairan sesuai dengan daya adaptasinya terhadap suhu air yang telah mencapai
atau melampaui toleransi organime perairan (lethal temperature). Menurut Ardi
(2002) dalam Maranti (2005), suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi aktivitas serta memacu atau menghambat perkembangbiakan
organisme perairan.
Suhu air juga berperan penting dalam menentukan kecepatan reaksi
penguraian bahan organik maupun anorganik yang terlarut, mempengaruhi tingkat
kelarutan garam-garam dan gas-gas dalam air terutama O2 yang berperan dalam
proses metabolisme mikro maupun makroorganisme, serta gas CO2 sebagai salah
satu komponen penting dalam proses fotosintesis yang menetukan produktivitas
lingkungan perairan dan suplai oksigen terlarut.
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa suhu air rata-rata pada keempat
stasiun berkisar antara 29,2 - 31,8C. Kisaran suhu tersebut masih tergolong
normal dalam badan air dan tidak membahayakan kehidupan biota akuatik karena
masih di bawah lethal temperature bagi organisme benthic dengan kisaran 35
40C (Welch, 1980 dalam Widiastuty, 2001). Gambar 4 memperlihatkan fluktuasi
suhu air pada stasiun-stasiun pengukuran. Suhu air rata-rata tertinggi terdapat
pada stasiun 2 sedangkan terendah pada stasiun 4.
40

Suhu (C)

30

35.4

33.5

35
27.2

29.5

30.1

35.4
31.9 31.8

28.2

31.3 31.2
27

31.2

29.7 29.2

26.6

Hasil pengukuran I

25

Hasil pengukuran II

20

Hasil pengukuran III

15

Nilai rata-rata

10
5
0
1

Stasiun pengukuran

Gambar 4. Hasil pengukuran suhu air Sungai Way Sulan Kecil


di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur.

Suhu air rata-rata tertinggi pada stasiun 2 diduga sebagai pengaruh dari
masukan limbah cair tapioka. Menurut Suprawihadi (2001), selain bahan organik
limbah cair industri tapioka juga mengandung panas (kalor). Limbah cair tapioka
sebelum dibuang ke aliran Sungai Way Sulan Kecil telah mengalami proses
pengolahan berupa reaksi pemecahan (dissosiasi) atau dekomposisi bahan organik
oleh bakteri anaerob dan aerob di dalam Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
Proses pengolahan limbah melepas energi panas berupa kalor sehingga air limbah
memiliki suhu relatif tinggi, dan apabila limbah bercampur dengan air sungai
maka akan meningkatkan suhu air sungai.
Peningkatan suhu air Sungai Way Sulan Kecil akibat aktivitas bakteri
pengurai pada IPAL ditunjukkan oleh suhu air limbah yang relatif tinggi yaitu
32,3C (hasil pengukuran pada outlet IPAL PT. Florindo Makkmur). Namun
demikian, suhu limbah pada outlet termasuk dalam kisaran suhu yang optimum
untuk pertumbuhan bakteri yaitu 25C - 40C (Suprawihadi, 2001). Dengan
pertumbuhan bakteri yang baik pada suhu optimum tersebut, maka proses
penguraian bahan organik limbah cair tapioka oleh bakteri dapat berjalan,
sehingga diperoleh hasil penurunan konsentrasi BOD, COD, TSS, NH3, H2S dan
Sianida.
Suhu air sungai yang cukup tinggi juga terdapat pada stasiun 1 yaitu
30,1C. Hal ini diduga disebabkan banyaknya bahan-bahan organik yang
mengalami reaksi penguraian sehingga dihasilkan kalor yang cukup tinggi.
Bahan-bahan organik terutama berasal dari limbah industri, terutama industri
pakan ternak dan pakan udang yang terdapat di daerah hulu dan sepanjang aliran
Sungai Way Sulan Kecil sebelum stasiun 1. Berdasarkan sifatnya, limbah industri
pakan ternak dan pakan udang memiliki BOD, COD serta konsentrasi padatan
tersuspensi total berupa bahan organik yang tinggi, sehingga aktivitas
mikroorganisme pengurai dan energi panas yang dihasilkan semakin besar.
Dugaan tersebut ditunjukkan pula oleh nilai BOD, COD dan padatan total
tersuspensi yang relatif tinggi pada stasiun 1.

Nilai rata-rata suhu air pada stasiun 3 dan 4 kembali mengalami


penurunan karena pengaruh dari masukan limbah relatif berkurang, serta adanya
daya pemulihan aliran sungai secara alami (self purification). Menurut hasil
pengukuran pada seluruh stasiun dapat dilihat adanya pengaruh yang sangat besar
dari aktivitas industri terhadap peningkatan suhu air Sungai Way Sulan Kecil.
Pada Bapedalda Propinsi Lampung (2004) disebutkan bahwa perubahan suhu air
sungai, khususnya di atas suhu normal (>35C) dapat disebabkan oleh tingginya
suhu air limbah suatu industri yang masuk ke badan sungai. Dampak primer
kenaikan suhu air sungai akan menyebabkan kematian biota air, sedangkan
dampak sekunder akan berpengaruh terhadap kehidupan flora dan fauna air dan
darat yang hidup di sekitarnya. Sedangkan Fardiaz (1995) menyatakan bahwa
kenaikan suhu air dapat menyebabkan penurunan oksigen terlarut dalam air.
Suhu air rata-rata pada semua stasiun masih termasuk dalam kisaran
normal bila dibandingkan dengan lethal temperature organisme benthic dan masih
memenuhi baku mutu yang ditetapkan pada SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat
I Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995 untuk kualitas air golongan B (layak
diperuntukkan sebagai air minum). Sedangkan pada Kepmen Kependudukan dan
Lingkungan Hidup, tidak ditetapkan baku mutu suhu limbah cair tapioka.
5.1.3. Kekeruhan
Kekeruhan merupakan gambaran sifat optik air suatu perairan yang
ditentukan berdasarkan banyaknya sinar (cahaya) yang dipancarkan dan diserap
oleh partikel-partikel yang ada dalam air tersebut (Alaerts dan Santika, 1987).
Pengukuran kekeruhan pada empat stasiun selama penelitian menghasilkan nilai
rata-rata berkisar 13,79 - 17,47 NTU.
Hasil pengukuran menunjukkan nilai rata-rata kekeruhan tertinggi
terdapat pada stasiun 2 sedangkan nilai terendah pada stasiun 4. Gambar 5
memperlihatkan peningkatan kekeruhan pada stasiun 2 yang diduga merupakan
pengaruh dari pembuangan limbah cair industri tapioka ke Sungai Way Sulan
Kecil. Peningkatan kekeruhan ini disebabkan adanya masukan padatan total
berupa bahan organik maupun partikel tanah yang tidak segera mengendap, yang
berasal dari proses penyaringan dan pencucian ubi kayu. Hasil pengukuran pada

outlet IPAL pabrik tapioka selama penelitian menunjukkan nilai kekeruhan


limbah yang lebih tinggi dari kekeruhan perairan (stasiun 1) yaitu 18,30 mg/l.
Dibandingkan dengan stasiun 3 dan 4, stasiun 1 juga memiliki kekeruhan relatif
tinggi. Kekeruhan pada stasiun 1 disebabkan adanya partikel padatan, terutama
padatan total tersuspensi yang terkandung pada limbah dari industri pakan ternak
dan pakan udang yang berada di daerah hulu dan sepanjang aliran Sungai Way
Sulan Kecil sebelum stasiun 1. Kekeruhan juga dapat disebabkan oleh partikel
tanah dari sisi sungai sebelum stasiun 1 yang tererosi, terkait dengan penggunaan
lahan di Sub DAS Way Sulan yang didominasi pertanian lahan kering dan
sebagian bercampur semak.
60

Kekeruhan (NTU)

50

48

46

39

40

37

Hasil pengukuran I

30

Hasil pengukuran II

20
10
0

0.3 0.1

Hasil pengukuran III

17.47

15.47

0.82

3.6

14.54

0.78

3.85

13.79

1.08

Nilai rata-rata

3.3

Stasiun pengukuran

Gambar 5. Hasil pengukuran kekeruhan pada Sungai Way Sulan Kecil


di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur.
Pada stasiun 3 dan 4 nilai kekeruhan kembali berangsur mengalami
penurunan. Hal ini disebabkan pengendapan partikel padatan maupun penguraian
partikel padatan yang berupa bahan organik oleh mikroorganisme. Pada dasarnya
kekeruhan disebabkan oleh adanya zat-zat koloid yaitu zat yang terapung serta
terurai secara halus sekali. Kekeruhan juga disebabkan oleh kehadiran zat organik
yang terurai secara halus, jasad-jasad renik, lumpur, tanah liat dan zat koloid
serupa atau benda terapung yang tidak mengendap dengan segera (Mahida, 1984).
Menurut SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No.
G/625/B.VII/HK/1995 tentang baku mutu kualitas air golongan B, nilai baku
mutu kekeruhan tidak ditentukan. Demikian pula untuk kualitas limbah cair

tapioka, pada Kepmen Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991 tentang
Baku Mutu Limbah Cair Untuk Industri Tapioka tidak ditetapkan baku mutu nilai
kekeruhan limbah. Namun menurut NTAC (1968) dalam Purwani (2001) kisaran
nilai kekeruhan pada Sungai Way Sulan Kecil masih tergolong normal karena
tingkat kekeruhan air yang disarankan adalah tidak melebihi 100 NTU untuk air
mengalir.
5.1.4. Padatan Terlarut Total (TDS)
Hasil pengukuran menunjukkan konsentrasi rata-rata padatan terlarut
total pada seluruh stasiun berkisar 120,67 - 643,33 mg/l. Gambar 6 menunjukkan
bahwa konsentrasi rata-rata TDS tertinggi terdapat pada stasiun 2 sedangkan TDS
pada stasiun 1 merupakan yang terendah.
1200
1000

1000

1000
800
TDS (mg/l)

1000

925

702

854
745

699

643.33

400

526

476.33

Hasil pengukuran III


Nilai rata-rata

303
148
86

Hasil pengukuran I
Hasil pengukuran II

571.67

600

200

1000

162

128 120.67

158

0
1

Stasiun pe ngukuran

Gambar 6. Hasil pengukuran TDS pada Sungai Way Sulan Kecil


di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur.
Tingginya konsentrasi TDS di stasiun 2 diduga disebabkan oleh
masukan limbah cair tapioka yang mengandung padatan terlarut dengan
konsentrasi cukup tinggi, sehingga meningkatkan konsentrasi TDS di perairan
Way Sulan Kecil. Dugaan tersebut diperkuat oleh hasil pengukuran pada outlet
IPAL pabrik tapioka yang menunjukkan bahwa limbah cair tapioka memiliki
konsentrasi TDS relatif tinggi yaitu 679,67 mg/l. Menurut Soeriaadmadja (1984)
dalam Sukamto (1998), industri tapioka pada dasarnya mengakibatkan

peningkatan zat padat dalam air baik secara terlarut, tersuspensi maupun secara
total.
Padatan terlarut pada limbah cair tapioka berasal dari proses pencucian
ubi kayu dan penyaringan. Pada proses-proses tersebut dihasilkan sisa air buangan
yang banyak mengandung karbohidrat berupa pati yang terlarut dan kotoran
lainnya, termasuk partikel tanah dalam ukuran koloid sehingga tidak segera
mengendap. Kenaikan TDS juga dapat disebabkan oleh kandungan nitrat dan
phospat yang terkandung pada limbah organik (Sutamihardja, 1983).
Rendahnya konsentrasi TDS di stasiun 1 diduga karena masukan berupa
padatan total didominasi oleh padatan tersuspensi. Penggunaan lahan dari hulu
dan sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil sampai stasiun 1 sebagian besar
merupakan pertanian lahan kering dan semak belukar, sehingga dimungkinkan
terjadinya erosi partikel tanah berukuran suspensi yang kemudian masuk ke
sungai. Demikian juga jika dilihat dari jenis industri sebelum stasiun 1 yang
didominasi oleh industri pakan ternak dan pakan udang. Limbah industri pakan
tersebut mengandung padatan total yang cenderung didominasi oleh padatan
tersuspensi (TSS). Penurunan konsentrasi TDS pada stasiun 3 dan 4
mengindikasikan adanya pengendapan partikelpartikel koloid secara berangsur
maupun penguraian partikel organik terlarut oleh mikroorganisme.
Besarnya TDS dalam suatu perairan memiliki korelasi positif dengan
kekeruhannya. Pola perubahan TDS secara spasial menyerupai pola perubahan
nilai kekeruhan yang menunjukkan adanya hubungan antara TDS dengan
kekeruhan. Korelasi ini sesuai dengan yang dikemukakan Efendi (2000) dalam
Fitriyana (2004) bahwa TDS merupakan gambaran seberapa besar (mg/l) jumlah
bahan-bahan yang menyebabkan kekeruhan perairan, namum demikian nilai TDS
yang tinggi tidak selalu diikuti tingginya nilai kekeruhan seperti halnya yang
terjadi pada air laut dan payau.
Berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No.
G/625/B.VII/HK/1995 nilai rata-rata TDS pada seluruh stasiun pengamatan masih
memenuhi kriteria baku mutu kualitas air golongan B yang telah ditetapkan untuk
Sungai Way Sulan yaitu 1000 mg/l. Sedangkan pada Kepmen Kependudukan dan

Lingkungan Hidup tahun 1991 tidak ditetapkan baku mutu untuk kandungan
padatan terlarut total pada limbah cair tapioka.
5.1.5. Padatan Tersuspensi Total (TSS)
Padatan tersuspensi total (TSS) perairan adalah jumlah bobot bahan yang
tersuspensi dalam satuan volume air tertentu dengan satuan mg/l atau bagian per
juta (ppm). Padatan ini merupakan partikel-partikel dengan ukuran maupun
bobotnya lebih kecil dibandingkan dengan padatan sedimen. Jumlah padatan
tersuspensi dapat mengurangi penetrasi sinar yang masuk ke dalam air sehingga
mengganggu proses fotosintesis tanaman air. Padatan tersuspensi dalam air
umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, kotoran manusia, kotoran hewan,
lumpur, sisa tanaman dan hewan, tanah liat, bahan-bahan organik tertentu, serta
limbah industri (Fardiaz, 1995 dan Sastrawidjaja, 1991).
Konsentrasi rata-rata TSS pada empat stasiun berkisar 110,1 - 154,47
mg/l. Menurut Lee et al. (1978) dalam Iskandar (1995), perairan dengan kisaran
TSS tersebut termasuk kategori tercemar berat. Gambar 7 memperlihatkan bahwa
konsentrasi rata-rata TSS tertinggi berada pada stasiun 1 dan terendah pada
stasiun 3. Tingginya TSS stasiun 1 diduga disebabkan oleh buangan limbah dari
industri sebelum stasiun 1 yang didominasi oleh industri pakan ternak dan pakan
udang. Dugaan ini berdasarkant sifat limbah industri pakan ternak dan pakan
udang mengandung TSS dengan konsentrasi tinggi. Selain itu, penggunaan lahan
dari hulu dan sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil sampai stasiun 1 sebagian
besar merupakan pertanian lahan kering dan semak belukar. Jenis penggunaan
lahan ini memungkinkan terjadinya erosi partikel tanah berukuran suspensi yang
kemudian masuk ke sungai dan meningkatkan konsentrasi padatan tersuspensi
dalam air sungai.

350

308

285

300

286

283

Hasil pengukuran I

TSS (mg/l)

250

Hasil pengukuran II

200

157

154.47

28.4

21.4

122.18

110.10

95

100
50

Hasil pengukuran III

143.80

150

20.31

Nilai rata-rata

63

27
17.53

0
1

2
3
Stasiun pengukuran

Gambar 7. Hasil pengukuran TSS pada Sungai Way Sulan Kecil


di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur.
Pada stasiun 2 terjadi penurunan TSS rata-rata sebesar 10,67 mg/l.
Penurunan kadar TSS tersebut diperkirakan karena telah terjadi pengendapan
maupun proses penguraian partikel organik teruspensi dari stasiun 1. Limbah cair
tapioka sendiri memberi kontribusi TSS ke perairan dengan konsentrasi yang
lebih rendah daripada stasiun 1 yaitu 132,43 mg/l (hasil pengukuran TSS air
limbah pada outlet IPAL pabrik tapioka selama penelitian), sehingga diduga
memberi efek pengenceran terhadap TSS air Sungai Way Sulan Kecil. Proses
pengendapan maupun penguraian partikel organik tersuspensi terus terjadi hingga
stasiun 3 yang dapat dilihat dari penurunan kadar TSS. Pengendapan padatan
tersuspensi diperkirakan terjadi karena Sungai Way Sulan Kecil memiliki arus
yang kuat (Lampiran 1). Menurut Mason (1981), arus Sungai Way Sulan kecil
pada stasiun 1, 2 dan 3 termasuk kategori

arus yang cepat.

Odum (1993)

menyatakan bahwa pada apabila perairan memiliki arus yang kuat, maka yang
mengendap adalah partikel yang ukurannya lebih besar. Sebaliknya, pada perairan
yang berarus lemah, maka yang mengendap ke dasar perairan adalah partikel yang
ukurannya lebih kecil. Partikel padatan tersuspensi mempunyai ukuran yang lebih
besar dari partikel terlarut dan koloid, tetapi lebih kecil dari partikel sedimen.
Konsentrasi TSS rata-rata pada stasiun 4 kembali meningkat. Hal ini diperkirakan
karena adanya masukan partikel tanah dari sisi sungai yang terbawa erosi,
mengingat stasiun 4 merupakan lokasi dengan penutupan vegetasi paling sedikit.
Menurut SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No.
G/625/B.VII/HK/1995 nilai baku mutu kualitas air golongan B untuk TSS tidak

ditentukan. Namun menurut Kepmen Kependudukan dan Lingkungan Hidup


tahun 1991, kandungan padatan tersuspensi total pada limbah cair tapioka PT.
Florindo Makmur masih sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan yaitu 150 mg/l.
5.1.6. pH
Nilai pH perairan merupakan suatu ukuran kadar asam atau basa dalam
perairan melalui konsentrasi ion hidrogen (H+) dan merupakan parameter penting
untuk mengetahui kualitas air dan limbah. Ion H+ selalu ada dalam keseimbangan
dinamis dengan air yang membentuk suasana untuk semua reaksi kimiawi yang
berkaitan dengan masalah pencemaran air karena sumber ion hidrogen tidak
pernah habis. Jumlah reaksi tanpa ion H+ dapat dikatakan sedikit saja karena
selain pada molekul air (H2O), ion H+ juga merupakan unsur senyawa lain. Pada
kehidupan biologi dan mikrobiologi, nilai pH memiliki peranan yang sangat
penting (Alaerts dan Santika, 1984). Hasil pengukuran pH pada keempat stasiun
pengamatan berkisar 6,55 6,99. Nilai pH terendah terdapat pada stasiun 1, dan
nilai pH tertinggi pada stasiun 2. Fluktuasi nilai pH pada seluruh stasiun
penelitian disajikan pada Gambar 8.
10
9
8
7
pH

8.44

9
7.77

7.74

7.5
6.55

6.4
5.76

6.99

6.64
5.88

6.72

6.56
5.86

6.72

6.52
5.88

Hasil pengukuran I
Hasil pengukuran II
Hasil pengukuran III
Nilai rata-rata

Baku mutu maksimum

Baku mutu minimum

1
0
1

2
3
Stasiun pengukuran

Gambar 8. Hasil pengukuran pH pada Sungai Way Sulan Kecil


di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur.
Rendahnya pH air rata-rata pada stasiun 1 diduga karena besarnya
kandungan bahan organik pada limbah yang berasal dari industri-industri di hulu
dan sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil sebelum stasiun 1, sehingga dalam
proses penguraiannya oleh mikroorganisme maupun terjadinya pembusukan

menyebabkan kondisi asiditas air meningkat (pH menurun). Pada Gambar 8


diperlihatkan bahwa terdapat kenaikan pH rata-rata dari stasiun 1 ke stasiun 2.
Sedangkan pada stasiun 3 nilai pH rata-rata kembali mengalami penurunan dan
nilainya stabil pada stasiun 4.
Kenaikan pH air rata-rata pada stasiun 2 diduga disebabkan pH limbah
cair tapioka yang dibuang ke Sungai Way Sulan Kecil relatif lebih tinggi
dibandingkan pH air sungai. Dugaan ini berdasarkan pengukuran pH limbah yang
menunjukkan

pH relatif lebih tinggi daripada stasiun 1 yaitu 6,71 (hasil

pengukuran pH air limbah tapioka pada outlet IPAL PT. Florindo Makmur).
Tingginya pH limbah menandakan bahwa proses pengolahan limbah cair pada
IPAL pabrik tapioka berfungsi menaikkan pH limbah, bila mengingat sifat limbah
yang baru dihasilkan adalah memiliki pH yang relatif sangat rendah (masam).
Melalui proses pengolahan limbah, pH limbah dinaikkan sampai mendekati
normal agar saat dilepas ke perairan tidak membawa dampak merugikan baik
terhadap organisme air maupun bagi manusia yang menggunakan air sungai.
Sesuai dengan pernyataan Suprawihadi (2001) bahwa limbah cair
tapioka merupakan limbah yang memiliki nilai pH rendah (saat baru dihasilkan,
pH limbah mencapai 4), namun nilai pH limbah dapat naik bila dilakukan
pengolahan secara efisien dalam IPAL. Selain itu, peningkatan pH air sungai juga
karena pada limbah cair tapioka, selain mengandung bahan organik, juga dapat
mengandung larutan alkali. pH air sungai rata-rata pada stasiun 3 dan 4 kembali
mengalami penurunan, namun masih berada pada kisaran normal. Penurunan ini
disebabkan penguraian bahan organik sehingga meningkatkan asiditas perairan
Way Sulan Kecil.
Nilai pH rata-rata untuk semua stasiun pengukuran masih berada pada
kisaran yang normal dan ideal bagi organisme air pada umumnya yaitu 6 9.
Menurut

SK

Gubernur

Kepala

Daerah

Tingkat

Lampung

No.

G/625/B.VII/HK/1995, pH air pada seluruh stasiun pengamatan masih memenuhi


kriteria baku mutu kualitas air golongan B yang telah ditetapkan untuk Sungai
Way Sulan

Kecil.

Demikian

pula jika

ditinjau

berdasarkan

Kepmen

Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991, pH limbah cair tapioka masih

di bawah baku mutu baku mutu yaitu 6 9, sehingga aman untuk dibuang ke
Sungai Way Sulan Kecil.
5.1.7. DO (Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut (DO) merupakan faktor yang sangat penting bagi
kehidupan organisme pada ekosistem perairan. Adanya oksigen terlarut
memungkinkan organisme perairan melakukan respirasi yang mendukung proses
metabolisme. Berkaitan dengan pencemaran, terutama yang disebabkan oleh
limbah organik, nilai oksigen merupakan unsur pokok yang paling penting dan
sering digunakan untuk mengamati pengaruh dari pencemaran limbah organik
tersebut terhadap lingkungan perairan. Fluktuasi kandungan DO pada empat
stasiun pengukuran selama waktu penelitian diperlihatkan pada Gambar 9.
7
6

Hasil pengukuran I

DO (mg/l)

4.1

4
3

3.6
3

3.10
2.7

Hasil pengukuran II

3.4

3.2
2.6 2.5

2.97

2.77

2.9 2.8

3.03

2.4 2.4

Hasil pengukuran III


Nilai rata-rata

Baku mutu
minimum

1
0
1

2
3
Stasiun pengukuran

Gambar 9. Hasil pengukuran DO pada Sungai Way Sulan Kecil


di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur.
Hasil pengukuran menunjukkan nilai rata-rata kandungan DO pada
empat stasiun termasuk kisaran rendah yaitu 2,77 - 3,10 mg/l. Konsentrasi ratarata DO tertinggi terdapat pada stasiun 1 dan terendah pada stasiun 2. Rendahnya
kisaran DO tersebut merupakan indikasi kuat telah terjadi pencemaran yang
diduga disebabkan limbah industri. Dilihat dari penggunaan lahan sepanjang

sungai Way Sulan Kecil, industri merupakan jenis penggunaan lahan yang
berpotensi paling besar dalam menyebabkan pencemaran.
Limbah industri diperkirakan berpengaruh besar dalam menurunkan
kandungan DO di perairan Way Sulan Kecil. Konsentrasi DO di stasiun 1 yang
relatif rendah diduga disebabkan besarnya kandungan bahan organik pada limbah
industri. Limbah industri tersebut berasal dari industri-industri di hulu dan
sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil sebelum stasiun 1. Jenis penggunaan
lahan sebelum stasiun 1 yang berupa tanah industri sendiri, didominasi oleh
industri pakan ternak dan pakan udang. Iskandar (1995) menyatakan bahwa
limbah industri pakan sering menimbulkan masalah pencemaran perairan karena
BOD yang tinggi serta rendahnya kandungan oksigen terlarut. Limbah pakan
mengalami penguraian menjadi bahan beracun, seperti H2S, ammonia dan nitrit,
sehingga akibat dari buangan organik dalam jumlah yang berlebihan adalah
penurunan kandungan oksigen terlarut dalam air.
Konsentrasi DO pada stasiun 2 semakin menurun setelah mendapat
masukan limbah cair tapioka. Sukamto (1998) menyatakan bahwa akibat yang
ditimbulkan oleh cemaran tapioka adalah menurunnya kadar oksigen dalam air.
Penurunan nilai DO pada dasarnya dapat terjadi karena berbagai sebab yaitu
kenaikan temperatur, rendahnya fotosintesis tanaman air, besarnya respirasi
seluruh organisme air, aerasi yang kurang baik, kehadiran gas-gas lain serta
adanya masukan bahan-bahan organik sehingga reaksi pemecahan yang
memerlukan oksigen meningkat. Heriyati (2001) menyebutkan bahwa warna air
limbah juga akan mengakibatkan turunnya kandungan oksigen di perairan yang
menerima limbah tersebut.
Penurunan DO di stasiun 2 disebabkan terjadi dekomposisi bahan
organik oleh mikroorganisme yang membutuhkan oksigen. Stasiun 2 diperkirakan
merupakan zona aktif dekomposisi bagi mikroorganisme dalam penguraian bahan
organik yang terkandung dalam limbah cair tapioka. Pada kurva perubahan tipe
kualitas air menurut Hynes (1960) dalam Persoone dan De Pauw (1979), dapat
dilihat bahwa zona aktif dekomposisi ditandai dengan penurunan kadar oksigen
terlarut dalam air hingga mencapai konsentrasi paling rendah, serta BOD yang
mulai mengalami sedikit penurunan akibat berkurangnya bahan organik yang

didekomposisi oleh mikroorganisme. Kurva perubahan tipe kualitas air menurut


Hynes (1960) dalam Persoone dan De Pauw (1979) dapat dilihat pada Lampiran
15.
Rendahnya oksigen terlarut pada stasiun 2, selain karena aktivitas
penguraian bahan organik oleh mikroorganisme yang membutuhkan oksigen,
diduga disebabkan tingkat kejenuhan oksigen karena suhu air yang relatif tinggi
yaitu sebesar 31,8C. Suhu air pada stasiun 2 mengalami peningkatan hampir 2C
dibandingkan dengan stasiun 1. Fardiaz (1995) mengemukakan bahwa konsentrasi
oksigen terlarut dalam keadaan jenuh dipengaruhi oleh suhu air. Semakin tinggi
suhu air maka tingkat kejenuhan oksigen akan semakin rendah. Korelasi
konsentrasi oksigen terlarut dengan suhu air dapat dilihat dari pola kenaikan dan
penurunan suhu, dimana kenaikan suhu air pada setiap stasiun diikuti dengan
penurunan kadar oksigen terlarutnya.
Peningkatan nilai warna air sungai diduga turut berpengaruh terhadap
penurunan DO pada air sungai. Penambahan zat warna limbah cair tapioka pada
air Sungai Way Sulan Kecil sehingga menyebabkan perubahan warna air sungai,
dapat berakibat pada turunnya kandungan oksigen terlarut. Dugaan ini sesuai
pernyataan Heriyati (2001) bahwa warna air limbah tidak hanya merugikan
lingkungan perairan secara estetika, tetapi juga mengurangi kandungan oksigen di
dalam air. Korelasi positif antara kandungan DO dan warna air juga dapat dilihat
dari kesamaan pola kenaikan maupun penurunan konsentrasi DO dengan nilai
warna.
Cholik (1989) dalam Iskandar (1995) menyatakan kandungan oksigen
terlarut dapat berkurang bahkan mencapai nol bila kebutuhan oksigen untuk
penguraian bahan organik lebih besar daripada input oksigen ke badan air. Input
oksigen ke badan air salah satunya melalui aktivitas fotosintesis tumbuhan yang
hidup di bawah permukaan air, misalnya algae dan fitoplankton. Aktivitas
fotosintesis tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan penetrasi cahaya
terhadap lapisan air yang juga ditentukan oleh kekeruhan air. Kekeruhan air yang
tinggi akan mengurangi penetrasi cahaya sehingga menyebabkan penurunan
fotosintesis algae dan fitoplankton. Berdasarkan hal tersebut, penurunan DO pada
stasiun 2 diduga disebabkan pula oleh rendahnya suplai oksigen karena

peningkatan kekeruhan air, sehingga mengurangi aktivitas fotosintesis tumbuhan


yang hidup di bawah permukaan air.
Konsentrasi oksigen terlarut mulai meningkat kembali pada stasiun 3
dan 4. Pemulihan kualitas ini disebabkan berkurangnya reaksi penguraian bahan
organik, adanya daya pemulihan aliran sungai secara alami (self purification),
penurunan suhu air, pemulihan warna air sungai mendekati warnanya dalam
kondisi normal/alami, serta penurunan kekeruhan air sehingga terjadi peningkatan
penetrasi cahaya untuk aktivitas fotosintesis algae dan fitoplankton.
Melalui pengukuran nilai DO dapat diketahui kualitas suatu perairan
dalam hal ini Sungai Way Sulan Kecil. Menurut Lee et al. (1978) dalam
Bapedalda Propinsi Lampung (2003) kisaran nilai rata-rata DO pada keempat
stasiun mencerminkan kualitas air yang tercemar sedang. Berdasarkan SK
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995, nilai
rata-rata DO pada stasiun 1 dan 4 sesuai dengan baku mutu kualitas air golongan
C, sedangkan pada stasiun 2 dan 3 kisaran nilai rata-rata DO termasuk baku mutu
kualitas air golongan D. Menurut SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
Lampung tentang Peruntukan Air Sungai di Propinsi Lampung, maka dapat
dinyatakan bahwa nilai DO Sungai Way Sulan Kecil tidak memenuhi persyaratan
baku mutu kualitas air golongan B yang ditetapkan untuk Sungai Way Sulan.
Sedangkan konsentrasi DO limbah cair tapioka juga relatif sangat rendah. Namun
dalam Kepmen Kependudukan Lingkungan hidup tahun 1991, baku mutu DO
pada limbah cair tapioka tidak ditetapkan.
5.1.8. COD (Chemical Oxygen Demand)
Uji coba kebutuhan oksigen kimiawi (COD) merupakan suatu parameter
yang sering digunakan secara luas sebagai suatu ukuran kekuatan pencemaran dari
limbah domestik maupun industri. Hasil pengukuran COD seluruh stasiun
menunjukkan kisaran 84,67 186,33 mg/l. Nilai COD tertinggi terdapat pada
stasiun 1 dan terus mengalami penurunan pada stasiun-stasiun berikutnya, hingga
mencapai nilai terendah pada stasiun 4. Nilai rata-rata COD yang cenderung

mengalami penurunan di setiap stasiun pengamatan dapat dilihat pada Gambar 10.
450
400
350

400

400

400

400

351

COD (mg/l)

300
250
192 186.33

200

184
160

150

149.33

144

144
112

104

96.00

100
50

62
32

16

84.67

Hasil pengukuran I
Hasil pengukuran II
Hasil pengukuran III
Nilai rata-rata
Baku mutu maksimum

48

0
1

2
3
Stasiun pengukuran

Gambar 10. Hasil pengukuran COD pada Sungai Way Sulan Kecil
di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur.
Konsentrasi rata-rata COD tertinggi pada stasiun 1 diduga disebabkan
oleh besarnya kandungan bahan organik pada limbah yang berasal dari industri
pakan ternak dan pakan udang di daerah hulu sungai dan sepanjang aliran sungai
sebelum stasiun 1. Sedangkan pada stasiun 2 yang merupakan bagian Sungai Way
Sulan Kecil sesaat setelah menerima limbah cair tapioka justru terjadi penurunan
nilai rata-rata COD. Penurunan COD ini mengindikasikan bahwa limbah cair
tapioka diduga memiliki pengaruh berupa pengenceran terhadap aliran Sungai
Way Sulan Kecil yang telah tercemar limbah organik. Pengukuran COD air
limbah menghasilkan nilai yang lebih rendah daripada stasiun 1, yaitu 124,33
mg/l (hasil pengukuran pada outlet IPAL PT. Florindo Makmur selama
penelitian). Rendahnya nilai COD limbah dipengaruhi oleh suhu limbah yang
termasuk kisaran optimum untuk pertumbuhan bakteri. Pertumbuhan bakteri yang
baik pada suhu optimum menyebabkan proses penguraian bahan organik oleh
bakteri dapat berjalan efektif dan diperoleh hasil berupa penurunan COD
(Suprawihadi, 2001). Efek pengenceran membantu daya pemulihan aliran sungai
secara alami (self purification).

Penurunan COD pada stasiun 2 juga dapat terjadi karena bahan organik
pada staiun 1 telah mengalami penguraian sebelum mencapai stasiun 2, sehingga
pada stasiun 2 konsentrasinya telah berkurang. Masukan bahan organik dari
limbah cair tapioka yang relatif lebih sedikit daripada stasiun 1, tidak
menyebabkan konsentrasi bahan organik pada stasiun 2 melebihi konsentrasinya
di stasiun 1. Kecenderungan penurunan nilai COD juga dialami oleh stasiun 3 dan
4 seiring dengan makin sedikitnya kandungan bahan organik yang didekomposisi,
sehingga kebutuhan oksigen untuk reaksi penguraian bahan organik secara
kimiawi berkurang.
Menurut SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No.
G/625/B.VII/HK/1995, konsentrasi COD Sungai Way Sulan Kecil masih berada
di bawah baku mutu yang ditetapkan untuk kualitas air golongan B. Demikian
pula menurut Kepmen Kependudukan dan Lingkungan Hidup, COD limbah masih
di bawah baku mutu yang ditetapkan untuk limbah cair tapioka.
5.1.9. BOD (Biochemical Oxygen Demand)
BOD merupakan gambaran dari jumlah oksigen yang dibutuhkan
mikroorganisme dalam menguraikan (mendekomposisi) bahan organik. Nilai
BOD rata-rata pada empat stasiun berkisar 31,33 57,33 mg/l. Nilai rata-rata
BOD tertinggi terdapat pada stasiun 1, sedangkan BOD terendah pada stasiun 4.
Hasil pengukuran BOD pada setiap stasiun diperlihatkan pada Gambar 11.
140

127

120
Hasil pengukuran

BOD (mg/l)

100

Hasil pengukuran II

80

80
57.33

60

47.00

40

40

40

33
23

20

0
1

32.00

31.33
23

Nilai rata-rata
Baku mutu maksimum

11

Hasil pengukuran III

60
52

2
3
Stasiun pengukuran

Gambar 11. Hasil pengukuran BOD pada Sungai Way Sulan Kecil
di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur.

Tingginya nilai BOD pada stasiun 1 diduga karena pengaruh limbah dari
industri pakan ternak dan pakan udang yang terletak di hulu dan sepanjang aliran
Sungai Way Sulan Kecil sebelum stasiun 1. Limbah industri pakan ternak dan
pakan udang merupakan polutan yang kaya bahan organik dan memiliki BOD
tinggi sehingga dapat meningkatkan nilai BOD Sungai Way Sulan Kecil.
Penurunan nilai rata-rata BOD yang cukup besar, mencapai 10,33 mg/l, terjadi
pada stasiun 2 walaupun stasiun ini merupakan bagian aliran sungai sesaat setelah
mendapat masukan limbah cair tapioka.
Kecenderungan penurunan BOD pada stasiun 2 diduga merupakan efek
pengenceran dari limbah cair tapioka, dimana sebagian besar komponennya
berupa air. Pada dasarnya, limbah tapioka saat baru dihasilkan memiliki tingkat
BOD yang tinggi karena besarnya kandungan bahan organik. Menurut Effendi
(1984) dalam Suprawihadi (2001), Total Organic Carbon pada limbah cair
tapioka sebesar 1512,40 mg/l dan BOD limbah mencapai 198,25 mg/l. Namun
dengan adanya treatment berupa penguraian (dekomposisi) oleh bakteri aerob dan
anaerob dalam IPAL, maka BOD dapat diturunkan sehingga dinilai aman bagi
lingkungan. Dugaan ini diperkuat dari hasil pengukuran BOD pada outlet limbah
yang menunjukkan nilai BOD limbah cair tapioka lebih rendah daripada stasiun 1
yaitu 22 mg/l. Rendahnya nilai BOD limbah dipengaruhi oleh suhu limbah yang
termasuk kisaran optimum untuk pertumbuhan bakteri. Pertumbuhan bakteri yang
baik pada suhu optimum menyebabkan proses penguraian bahan organik oleh
bakteri dapat berjalan efektif dan diperoleh hasil berupa penurunan BOD
(Suprawihadi, 2001).
Penurunan BOD pada stasiun 2 menunjukkan bahwa limbah cair tapioka
yang dibuang ke aliran Sungai Way Sulan Kecil memberi efek pengenceran
terhadap air sungai yang telah tercemar limbah dengan nilai BOD relatif tinggi.
Adanya masukan limbah yang sebagian besar komponennya berupa air
menyebabkan penurunan konsentrasi bahan organik pada Sungai Way Sulan
Kecil, sehingga kemampuan aliran sungai dalam memulihkan dirinya dari
pencemaran secara alami (self purification) akan meningkat. Penurunan BOD
pada stasiun 2 juga dapat terjadi karena bahan organik pada stasiun 1 telah
mengalami penguraian sebelum mencapai stasiun 2, sehingga pada stasiun 2

konsentrasinya telah berkurang. Masukan bahan organik dari limbah cair tapioka
yang relatif lebih rendah daripada stasiun 1, tidak menyebabkan konsentrasi bahan
organik pada stasiun 2 melebihi konsentrasinya di stasiun 1. Nilai BOD kembali
mengalami penurunan pada stasiun 3 dan 4. Penurunan ini diperkirakan karena
berkurangnya bahan organik sehingga proses dekomposisi oleh mikroorganisme
yang memerlukan oksigen berkurang. Stasiun 3 dan 4 disebut juga zona
pemulihan (recovery).
Penurunan BOD di stasiun 2 juga mengindikasikan bahwa pada stasiun
tersebut merupakan zona aktif dekomposisi bagi aktivitas mikroorganisme dalam
penguraian bahan organik yang terkandung dalam limbah cair tapioka. Pada kurva
perubahan tipe kualitas air menurut Hynes (1960) dalam Persoone dan De Pauw
(1979), dapat dilihat bahwa zona aktif dekomposisi ditandai dengan penurunan
kadar oksigen terlarut dalam air hingga mencapai konsentrasi paling rendah, serta
BOD yang mulai mengalami sedikit penurunan akibat berkurangnya bahan
organik yang didekomposisi oleh mikroorganisme. Kurva perubahan tipe kualitas
air menurut Hynes (1960) dalam Persoone dan De Pauw (1979) dapat dilihat pada
Lampiran 15.
Berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No.
G/625/B.VII/HK/1995 nilai rata-rata BOD pada empat stasiun pengamatan telah
melampaui baku mutu kualitas air golongan B, dan hanya memenuhi baku mutu
kualitas air golongan C pada SK tersebut. Sedangkan menurut Kepmen
Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991 nilai rata-rata BOD pada
limbah cair tapioka masih di bawah baku mutu yang ditetapkan.
5.1.10. Nitrat
Nitrat mewakili produk akhir dari pengoksidasian zat yang bersifat
nitrogen. Nitrogen di perairan terdapat dalam berbagai bentuk seperti gas (N2),
nitrit (NO2-), nitrat (NO3-), ammonia (NH3) dan amonium (NH4+) serta sejumlah
besar N yang berikatan dalam organik kompleks (APH, 1989 dalam Mayani,
2000). Berdasarkan hasil analisis, didapat kandungan rata-rata nitrat yang cukup
tinggi pada seluruh stasiun pengamatan yaitu berkisar 0,35 0,83 mg/l. Menurut
Effendi (2000) dalam Zola (2004) konsentrasi ini sudah melebihi yang dimiliki

perairan alami yang hanya 0,1 mg/l. Limbah cair tapioka merupakan salah satu
limbah yang berpotensi besar menambah muatan nitrogen ke dalam perairan
karena dalam ubi kayu terdapat kandungan protein mencapai 0,5 1,5%. Protein
merupakan sengawa yang dibentuk oleh unsur karbon, hidrogen, oksigen dan
nitrogen sehingga apabila teroksidasi akan terbentuk senyawa nitrat.
12
10

10

10

10

10

Hasil pengukuran I
Nitrat (mg/l)

8
Hasil pengukuran II
6

Hasil pengukuran III


Nilai rata-rata

Baku mutu maksimum


2

1.41

1.1
0.42

0.46 0.66

0.56
0.83
0.51

0
1

1.19
0.11

0.02

2
3
Stasiun pengukuran

0.44

0.46

0.51
0.09

0.35

Gambar 12. Hasil pengukuran nitrat pada Sungai Way Sulan Kecil
di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur.
`
Pada Gambar 12 diperlihatkan bahwa kandungan nitrat tertinggi terdapat
pada stasiun 2 yang diduga disebabkan adanya masukan limbah yang
mengandung nitrat dari industri tapioka. Pihak pabrik tapioka sendiri
menyumbangkan nitrat sebesar 1,07 mg/l ke badan sungai (hasil analisis limbah
pada outlet limbah). Peningkatan kadar nitrat mengindikasikan efisiensi dalam
pembenahan air limbah (Mahida, 1984). Namun, bila nitrat di perairan terdapat
dalam konsentrasi tinggi akan merangsang pertumbuhan ganggang yang tak
terbatas sehingga air kekurangan oksigen terlarut dan mengakibatkan kematian
bagi organisme akuatik yang tidak tahan dengan kondisi DO rendah (Alaerts dan
Santika, 1984). Limbah organik berpotensi besar dalam meningkatkan konsentrasi
nitrat di perairan. Pengaruh limbah organik terhadap konsentrasi nitrat di perairan
Way Sulan Kecil juga dapat dilihat pada stasiun 1 dimana kandungan nitrat juga
telah melebihi konsentrasi pada perairan alami. Tingginya kandungan nitrat pada

stasiun 1 diduga karena pengaruh limbah organik dari industri-industri di hulu dan
sepanjang Sungai Way Sulan Kecil sebelum stasiun 1.
Kandungan nitrat berangsur mengalami penurunan pada stasiun 3 dan 4.
Penurunan kandungan nitrat terjadi karena pemanfaatan atau penyerapan nitrat
oleh organisme akuatik, maupun pengendapan nitrat sehingga konsentrasinya
pada perairan berkurang. Seperti yang dikemukakan Welch (1980) dalam Mayani
(2000), pada umumnya fitoplankton memanfaatkan nitrogen anorganik seperti
nitrat (NO3-N) dan ammonia ( NH3-N).
Konsentrasi nitrat pada aliran Sungai Way Sulan Kecil masih memenuhi
baku mutu kualitas air golongan B berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995, yaitu 10 mg/l. Sedangkan untuk
konsentrasi nitrat dalam limbah cair tapioka tidak ditetapkan baku mutunya pada
Kepmen Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991.
5.1.11. Fosfat
Fosfat merupakan salah satu faktor penting dalam perairan, meski hanya
dibutuhkan dalam jumlah sedikit. Dalam air limbah, fosfat dapat berasal dari
limbah penduduk, industri dan pertanian (Alaerts dan Santika, 1984). fosfat tidak
bersifat toksik bagi organisme perairan. Namun bila kadar fosfat tinggi dan diikuti
kadar nitrogen tinggi maka akan mendukung pertumbuhan alga secara berlebihan
sehingga terjadi ledakan alga (algae bloom).
Berdasarkan hasil pengukuran fosfat, diketahui kandungan rata-rata
fosfat pada seluruh stasiun pengukuran yaitu 0,16 0,79 mg/l. Kisaran ini masih
memenuhi kadar fosfat pada perairan alami. Menurut Boyd (1988) dalam Zola
(2004) kadar fosfat perairan secara alami jarang melebihi 1 mg/l. Pada Gambar 13
dapat dilihat bahwa terdapat kenaikan kadar fosfat dari stasiun 1 ke 2. Kenaikan
kadar fosfat menandakan bahwa terdapat masukan limbah organik, dalam hal ini
limbah cair tapioka. Menurut hasil pengukuran outlet limbah, limbah cair tapioka
berkadar fosfat sebesar 1,29 mg/l (hasil pengukuran pada outlet IPAL PT.
Florindo Makmur selama penelitian). Namun kadar fosfat kembali mengalami
penurunan pada stasiun 3 dan 4. Penurunan ini biasanya disebabkan fosfor
mengalami pengendapan bersama partikel lumpur sehingga unsur tersebut

menghilang dari badan air (Welch, 1980 dalam Mayani, 2000). Penurunan juga
diduga terjadi karena adanya pemanfaatan fosfor oleh organisme akuatik seperti
fitoplankton.
1.2

1.09

Pospat (mg/l)

1
0.79

0.8

0.55

0.6
0.4
0.2

Hasil pengukuran I

0.73

0.28
0.18

0.16

Hasil pengkuran II

0.57
0.49

0.21

0.42

Hasil pengukuran III

0.43

0.42

0.36

Nilai rata-rata

0.23

0.01

0
1

2
3
Stasiun pengukuran

Gambar 13. Hasil pengukuran fosfat pada Sungai Way Sulan Kecil
di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur.
Unsur fosfor dalam senyawa fosfat termasuk komponen yang sangat
penting dan sering dipermasalahkan dalam air. Unsur ini berkaitan dengan
esensial pertumbuhan ganggang dalam air karena bertindak sebagai nutrien yang
dibutuhkan oleh ganggang, sehingga fosfor termasuk faktor pembatas dalam
perairan. Menurut Alaerts dan Santika (1987), bila kadar fosfat dan nutrien
lainnya tinggi akan menyebabkan pertumbuhan ganggang yang tak terbatas
sehingga menghabiskan oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme air.
Berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No.
G/625/B.VII/HK/1995 tidak ditetapkan baku mutu konsentrasi fosfat untuk
berbagai peruntukan air sungai. Demikian pula dalam Kepmen Kependudukan
dan Lingkungan Hidup tahun 1991 tidak ditentukan baku mutu fosfat pada limbah
cair tapioka.

5.1.12. Sianida
Sianida merupakan senyawa khas bersifat toksik yang terkandung dalam
limbah industri yang menggunakan ubi kayu sebagai bahan baku kegiatan
produksinya. Sianida banyak terkandung dalam singkong beracun yang pada
umumnya merupakan bahan dasar industri tapioka. Kadar rata-rata sianida pada
perairan menurut hasil pengukuran selama waktu penelitian berkisar 0,002 0,08
mg/l. Kandungan sianida tertinggi terdapat pada stasiun 2 sedangkan kandungan
terendah pada stasiun 4, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 14
0.18

0.17

0.16

Sianida (mg/l)

0.14

Hasil pengukuran I

0.12

0.06

Nilai rata-rata

0.05

Baku mutu
maksimum

0.03

0.04
0.02

Hasil pengukuran III

0.08

0.08
0.06

Hasil pengukuran II

0.1

0.1

0.02
0.003
0.01
0.001

0.02
0.01

0.001
0.01
0.001

2
3
Stasiu n pe ngukuran

0.004 0.01
0.001 0.0010.002

Gambar 14. Hasil pengukuran sianida pada Sungai Way Sulan Kecil
di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur.
Konsentrasi sianida tertinggi pada stasiun 2 disebabkan masukan limbah
cair tapioka yang mengandung sianida dengan kadar relatif tinggi, sehingga
menyebabkan peningkatan konsentrasi sianida di perairan Way Sulan Kecil. Hasil
pengukuran pada outlet limbah menunjukkan bahwa kadar sianida limbah cair
tapioka mencapai 0,09 mg/l, sehingga pada stasiun 2 terjadi peningkatan
konsentrasi sianida yang cukup tinggi.
Pada Gambar 14 diperlihatkan bahwa aliran sungai sebelum terkena
limbah cair tapioka (stasiun 1) juga memiliki kandungan sianida relatif tinggi dan
telah melampaui baku mutu maksimum yang diperbolehkan untuk kualitas air
golongan B, yaitu 0.02 mg/l. Hal ini mengindikasikan bahwa aliran Sungai Way
Sulan Kecil telah mendapat masukan limbah yang mengandung sianida sebelum
mendapat masukan limbah cair tapioka. Bila dilihat dari jenis industri yang

terletak sebelum stasiun 1, diduga bahwa tingginya konsentrasi sianida pada


stasiun 1 disebabkan oleh limbah industri pakan ternak dan pakan udang.
Kandungan sianida pada limbah industri tersebut berasal dari bahan baku
pembuatan pakan ternak dan pakan udang yang sebgaian besar komposisinya
terdiri dari ubi kayu. Bahan baku pembuatan pakan ternak terdiri dari ubi kayu
(tepung tapioka), jagung dan ikan, sedangkan bahan baku pembuatan pakan udang
terdiri dari ubi kayu (tapioka), jagung, ikan dan kepala udang.
Pada stasiun 3 dan 4 konsentrasi sianida mengalami penurunan yang
relatif besar, bahkan kandungan sianida pada stasiun 4 telah berada di bawah baku
mutu maksimum yang diperbolehkan. Besarnya penurunan konsentrasi sianida
disebabkan karena sifatnya yang mudah menguap (volatil) pada suhu 25,70 0C
(titik didih sianida). Jika dilihat dari suhu air yang telah melebihi titik didih
sianida,

memungkinkan

terjadinya

penguapan

sianida

dan

penurunan

konsentrasinya di perairan.
Menurut SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No.
G/625/B.VII/HK/1995, sianida pada Sungai Way Sulan Kecil (stasiun 1, 2 dan 3)
telah melebihi baku mutu kualitas air golongan B. konsentrasi sianida pada stasiun
1 hanya memenuhi baku mutu kualitas air golongan C, sedangkan stasiun 2 dan 3
termasuk golongan D. Namun, pada stasiun 4 kadar sianida telah di bawah baku
mutu kualitas air yang ditetapkan untuk perairan golongan B. Menurut Kepmen
Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991, konsentrasi sianida pada
limbah masih di bawah baku mutu yang ditetapkan untuk limbah cair tapioka
yaitu 0,5 mg/l.
5.2. Struktur Komunitas Makrozoobentos
Hasil pengamatan makrozoobenthos di aliran Sungai Way Sulan Kecil
menunjukkan bahwa telah ditemukan 26 jenis makrozoobenthos yang tergolong
dalam phyllum Annelida dengan 2 kelas yaitu Oligochaeta (6 genus) dan
Hirudinea (3 genus), phyllum Arthropoda dengan 6 kelas yaitu Coleoptera (3
genus), Copepoda (4 genus), Diptera (4 genus), Adonata, Ephemenoptera dan
Hemiptera (masing-masing 1 genus), phyllum Aschelminyhes dengan 1 kelas
yaitu Nematoda (1 genus), phyllum mollusca dengan 1 kelas yaitu

Bivalvia/Pelecypoda (1 genus) serta phyllum Platyhelminthes dengan 1 kelas


yaitu Turbellaria (1 genus). Jumlah dan jenis rata-rata makrozoobenthos pada
setiap stasiun pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 10.
5.2.1. Kepadatan
Secara

keseluruhan,

nilai

kepadatan

atau

kemelimpahan

makrozoobenthos pada keempat stasiun pengamatan berkisar 39 66 ind/m2.


Kisaran kepadatan atau kemelimpahan benthos ini termasuk rendah, sesuai
dengan yang dikemukakan Stolyarov (1995) dalam Zola (2004) bahwa kriteria
tidak melimpah adalah 0 200 ind/m2, agak melimpah 200 500 ind/m2,
melimpah 500 1000 ind/m2, sangat melimpah >1000 ind/m2. Kepadatan
tertinggi terdapat pada stasiun 1 sedangkan kepadatan terendah pada stasiun 2.
Kepadatan makrozoobenthos pada masing-masing stasiun pengamatan dapat
dilihat pada Gambar 15.

Kepadatan (ind/m2)

70

66

63

64

60
50

39

Stasiun 1

40

Stasiun 2

30

Stasiun 3

20

Stasiun 4

10
0

Gambar 15. Kepadatan makrozoobentos pada setiap stasiun pengamatan.


Kondisi

lingkungan

perairan

sangat

mempengaruhi

kehidupan

organisme yang hidup pada lingkungan tersebut. Oleh karena itu, nilai kepadatan
makrozoobenthos dapat digunakan untuk menggambarkan kualitas lingkungan
perairan. Semakin buruk kualitas suatu perairan, maka kepadatannya akan
semakin kecil, demikian pula jenisnya. Pada kualitas lingkungan yang semakin
buruk, jenis makrozoobenthos yang ditemukan akan semakin sedikit karena hanya
jenis-jenis yang mampu beradaptasi saja yang dapat bertahan.

Pada stasiun 1 yang memiliki kepadatan tertinggi diperkirakan bahwa


stasiun ini kondisinya lebih baik daripada stasiun lainnya. Sebaliknya, stasiun 2
memiliki nilai kepadatan jauh lebih rendah daripada stasiun pengamatan lainnya.
Demikian pula dengan jumlah jenisnya dimana pada stasiun 2 ditemukan jenis
makrozoobenthos yang paling sedikit. Rendahnya nilai kepadatan dan sedikitnya
jenis makrozoobenthos yang ditemukan pada stasiun 2, diperkirakan karena
stasiun 2 merupakan bagian aliran Sungai Way Sulan Kecil yang mendapat
tekanan paling besar terutama setelah menerima masukan limbah cair industri
tapioka sehingga hanya jenis-jenis makrozoobenthos yang dapat beradaptasi dan
memiliki toleransi tinggi terhadap tekanan pencemaran yang lebih tinggi saja yang
dapat bertahan. Ristiono (2000) menyatakan bahwa apabila makrozoobenthos
dapat beradaptasi dengan baik maka akan dapat bertahan dan sebaliknya.
Kepadatan kembali meningkat pada stasiun 3 dan 4 dimana peningkatan ini
diduga karena membaiknya kualitas perairan sehingga mendukung kehidupan
biota air dan organisme yang berasosiasi.
5.2.2. Keseragaman, Dominansi, Keanekaragaman
Hasil analisis indeks keseragaman, dominansi dan keanekaragaman pada setiap
stasiun pengamatan disajikan pada Tabel 13 berikut.
Tabel 13. Nilai rata-rata indeks keseragaman, Dominansi dan Keanekaragaman
Shannon Wiener pada setiap stasiun pengamatan
No.
1.
2.
3.

Indeks
Keanekaragaman (H)
Keseragaman (E)
Dominansi (D)

1
2,25
0,83
0,16

Stasiun

2
1,58
0,60
0,33

3
1,63
0,60
0,33

4
2,04
0,75
0,20

Perhitungan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener pada seluruh


stasiun pengamatan menunjukkan kisaran 1,58 2,25 (Tabel 12). Menurut Wilhm
et al. (1975) dalam Mason (1981) kisaran indeks keanekaraman Shannon-Wiener
pada seluruh stasiun menunjukkan bahwa keanekaragaman makrozoobenthos,
penyebaran jumlah individu tiap spesies dan kestabilan komunitasnya termasuk
dalam kategori sedang. Bila dihubungkan dengan tingkat pencemaran, maka
menurut Wilhm dan Doris (1968) dalam Wilhm (1975), kualitas Sungai Way

Sulan Kecil pada seluruh titik pengamatan termasuk dalam kategori tercemar
sedang. Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener pada stasiun 1 menunjukkan
bahwa telah terjadi pencemaran pada bagian aliran sungai sebelum mendapat
masukan limbah cair tapioka yang diduga disebabkan beban limbah dari industriindustri sebelum stasiun 1.
Melalui

indeks

keanekaragaman

Shannon-Wiener

dapat

dilihat

penurunan kualitas perairan sebagai dampak yang ditimbulkan oleh limbah cair
industri tapioka. Penurunan kualitas perairan tersebut ditunjukkan oleh penurunan
indeks keanekaragaman makrozoobenthos yang cukup besar dari stasiun 1 ke
stasiun 2 hingga merupakan indeks yang paling rendah dari stasiun-stasiun
lainnya. Nilai keanekaragaman Shannon-Wiener yang kembali meningkat pada
stasiun 3 dan 4. Hal tersebut diduga karena terjadi perbaikan kondisi lingkungan
perairan (sifat fisik-kimia air). Terjadinya pencemaran di Sungai Way Sulan Kecil
juga dapat dilihat dari keberadaan beberapa spesies makrozoobenthos yang
berperan sebagai indikator pencemaran perairan. Makrozoobenthos indikator
tersebut antara lain: cacing Tubificidae, Muscullium sp, Diptera dan
Chironomidae yang memiliki sifat toleran dan sangat tahan terhadap bahan
pencemar. Selain itu juga ditemukan makrozoobenthos yang termasuk Crustacea
(Copepoda), Coleoptera dan Ephemenoptera yang memiliki ketahanan sedang
terhadap pencemaran (Wilhm, 1975).
Indeks keseragaman (E) secara umum memiliki kisaran 0 1, dimana
nilai E yang semakin mendekati satu berarti bahwa komunitas memiliki
keseragaman jenis yang semakin tinggi. Sebaliknya, nilai E yang semakin
mendekati nol menggambarkan sebaran individu yang tidak merata dan
diperkirakan terjadi dominansi dari sekelompok jenis tertentu yang telah mampu
beradaptasi dengan lingkungan perairan yang telah tercemar. Hasil perhitungan
nilai E pada seluruh stasiun pengukuran berkisar 0.60 0.83 (Tabel 12). Kisaran
indeks keseragaman pada stasiun 1 dan 4 termasuk tingkat keseragaman jenis
tinggi. Sedangkan stasiun 2 dan 3 memiliki indeks keseragaman yang sama dan
digolongkan ke dalam tingkat keseragaman jenis sedang. Besarnya indeks
keseragaman dipengaruhi oleh indeks dominansi. Seperti yang dikemukakan

Odum (1993) bahwa indeks dominansi yang semakin kecil akan meningkatkan
indeks kemerataan.
Berdasarkan Tabel 13, dapat pula dilihat bahwa indeks dominansi (D)
pada empat stasiun pengamatan berkisar antara 0,16 0,33. Nilai tersebut
menunjukkan dominansi dalam derajat yang rendah oleh satu atau sekelompok
jenis makrozoobenthos.
5.3. Beban Pencemaran Industri Tapioka PT. Florindo Makmur terhadap
Sungai Way Sulan Kecil.
Beban pencemaran industri tapioka yang dimaksud adalah besarnya
massa limbah, khususnya dalam bentuk parameter pencemar air seperti BOD,
COD, padatan tersuspensi (TSS) dan padatan terlarut (TDS). Beban pencemaran
industri tapioka hasil perhitungan menggunakan faktor konversi beban limbah
seperti yang disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Beban pencemaran industri tapioka PT. Florindo Makmur
Kapasitas
produksi
21000 ton/th

BOD

Beban pencemar
COD
TSS
TDS

Satuan

281400

458430

203700

888300

kg/th

8923,1

14536,7

6459,3

28167,8

mg/dt

Volume
limbah
432.525
m3/th
13,72 l/dt

Pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa beban pencemaran terbesar dari


limbah cair industri tapioka adalah padatan terlarut (TDS), sedangkan beban
pencemaran terkecil adalah padatan tersuspensi (TSS). Besarnya beban
pencemaran berupa TDS disebabkan kandungan karbohidrat berupa pati yang
terlarut dan kotoran lainnya pada limbah cair tapioka. Selain itu seperti limbah
organik lainnya, limbah cair tapioka juga mengandung nitrat dan fosfat yang
merupakan TDS limbah. Jika dihitung berdasarkan kondisi debit Sungai Way
Sulan Kecil, besarnya kontribusi pencemaran PT. Florindo makmur terhadap
Sungai Way Sulan Kecil adalah sebagai berikut: TDS sebesar 53,65 mg/l, TSS
sebesar 229,30 mg/l, BOD sebesar 316,76 mg/l dan COD sebesar 516,03 mg/l.
Contoh perhitungan beban pencemaran industri tapioka PT. Florindo Makmur ke
Sungai Way Sulan Kecil secara rinci dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Perhitungan beban pencemaran industri tapioka PT. Florindo


Makmur ke Sungai Way Sulan Kecil
No.
a
b
c
d.

Kapasitas
produksi
Faktor
konversi
Beban
limbah
Konversi
beban
limbah

e.

Debit
limbah
f.
Konsentrasi
pencemar
(a)
g.
Debit
limbah pada
outlet*)
h.
Konsentrasi
pencemar
(b)
Keterangan :

Satuan
ton/th

Nilai

BOD

COD

TSS

TDS

21000

13.4

21.83

9.7

42.3

28140
0
8923.1

458430

203700

888300

14536.7

6459.3

28167.8

650.37

1059.53

470.79

2053.05

316.8

516

229.3

999.9

kg/ton
a x b (kg/th)
c x 1000000
x 1/(365 x
24 x 60 x
60) mg/dt
liter/dt

13.72

d/e (mg/l)
liter/dt

28.17

*) debit limbah rata-rata pada outlet IPAL yang diukur pada saat penelitian.
(a) Konsentrasi pencemar pada debit menurut volume limbah yang dihasilkan PT.
Florindo Makmur.
(b) Konsentrasi pencemar pada debit hasil pengukuran.
Dalam memperkirakan beban pencemaran PT. Florindo Makmur
terhadap Sungai Way Sulan Kecil juga dihitung konsentrasi pencemar pada zona
percampuran (mixing zone). Mixing zone yang dimaksud adalah bagian perairan
sesaat setelah menerima limbah cair tapioka dan diperkirakan limbah telah
mengalami percampuran dengan air sungai. Pada penelitian ini, yang dimaksud
mixing zone adalah stasiun 2. Hasil selengkapnya mengenai konsentrasi beban
limbah pada zona percampuran (mixing zone) disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16. Konsentrasi beban pencemaran pada zona percampuran (mixing zone)
No.

Metode
Beban Limbah (mg/l)
Pendugaan
TDS TSS BOD COD Nitrat Fosfat Sianida
Konsentrasi
1. Pengukuran
643,33 143,8 47
149,33 0,83 0,79
0,08
langsung
2. Model pengenceran 149,14 153,35 55,53 183,17 0,68 0,22
0,07
sungai
(mixing zone)
3. Perhitungan hasil
53,65 229,30 316,76 516,03
faktor konversi
Besarnya konsentrasi beban limbah pada zona percampuran diduga

menggunakan tiga metode, yaitu: pengukuran secara langsung di lapangan,


menggunakan rumus model pengenceran sungai (mixing zone) dan dengan
perhitungan beban limbah hasil faktor konversi. Pada Tabel 15 dapat dilihat
perbedaan hasil perhitungan dari masing-masing metode pendugaan konsentrasi
beban limbah di zona percampuran. Konsentrasi beban limbah melalui
pengukuran langsung menunjukkan hasil relatif tidak jauh berbeda dibandingkan
dengan konsentrasi yang diperoleh dari perhitungan menggunakan model
pengenceran sungai. Namun pendugaan konsentrasi beban limbah menggunakan
hasil perhitungan faktor konversi menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan
dibandingkan dengan kedua metode lainnya.
Perbedaan konsentrasi beban limbah yang diperoleh melalui pengukuran
langsung, dengan perhitungan menggunakan model pengenceran sungai
disebabkan oleh pengaruh eksternal maupun internal perairan. Pengaruh tersebut
dapat berupa pengendapan, penguraian, maupun masukan dari sekitar sungai yang
terjadi pada saat aliran air sungai dari stasiun 1 menuju stasiun 2, serta aliran
limbah dari outlet (lokasi pengukuran) sampai stasiun 2. Sedangkan perbedaan
pendugaan konsentrasi dengan perhitungan beban limbah hasil faktor konversi
dikarenakan konsentrasi tersebut merupakan beban limbah rata-rata selama satu
tahun.

Besarnya konsentrasi beban limbah dipengaruhi oleh debit sungai


(stasiun 2) yang mengalami fluktuasi sesuai musim kemarau dan penghujan. Pada
penelitian ini, perhitungan konsentrasi beban limbah dengan faktor konversi
hanya menggunakan debit sesaat bukan debit rata-rata tahunan, sehingga
mempengaruhi hasilnya. Bila dibandingkan dengan kedua metode lainnya,
perhitungan konsentrasi beban limbah dengan hasil faktor konversi menunjukkan
hasil yang lebih besar kecuali nilai TDS. Hal ini disebabkan curah hujan yang
masih cukup tinggi sehingga debit air sungai menjadi relatif besar dan konsentrasi
beban limbah menjadi lebih kecil, walaupun pada saat dilakukan pengukuran
merupakan musim kemarau. Dalam hal ini, curah hujan berperan dalam
mempengaruhi besarnya dampak limbah cair tapioka terhadap Sungai Way Sulan
Kecil. Hal tersebut dikarenakan dampak yang disebabkan limbah tidak hanya
ditentukan dari sifat toksisitas dan volume limbah saja, melainkan juga dari
konsentrasi limbah. Masukan air hujan dapat memberikan efek pengenceran
terhadap limbah sehingga konsentrasinya menjadi lebih kecil dan dampak yang
ditimbulkan juga menjadi relatif berkurang.
Dari hasil perhitungan beban pencemaran dapat diketahui bahwa beban
pencemaran yang ditimbulkan oleh industri tapioka PT. Florindo Makmur relatif
besar. Sehingga untuk mencegah pencemaran lingkungan akibat besarnya beban
pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah industri tapioka, maka perlu diterapkan
teknologi pengolahan limbah yang efisien dan representatif.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan
sebagai berikut :
1. Kondisi kualitas Sungai Way Sulan Kecil di Sub DAS Way Sulan, DAS
Sekampung dari hulu ke hilir menurut sifat fisik dan kimia air telah
mengalami pencemaran. Limbah cair industri tapioka turut menimbulkan
dampak pada sifat fisik kimia air Sungai Way Sulan Kecil berupa peningkatan
nilai warna, suhu air, kekeruhan, TDS, pH, nitrat, fosfat dan sianida, serta
penurunan TSS, DO, BOD dan COD.
2. Kualitas fisika-kimia perairan Sungai Way Sulan Kecil tidak memenuhi
persyaratan baku mutu kualitas air golongan B pada Surat Keputusan
Gubernur Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995. Hal tersebut sesuai dengan
hasil pengukuran DO yang berada di bawah baku mutu minimum serta BOD
dan kadar sianida yang melebihi baku mutu maksimum yang ditetapkan untuk
kualitas air sungai golongan B. Kualitas air Sungai Way Sulan Kecil di titiktitik pengukuran hanya memenuhi peruntukan baku mutu golongan C (stasiun
1 dan 4) dan D (stasiun 2 dan 3).
3. Kepadatan makrozoobentos pada seluruh stasiun termasuk rendah (tidak
melimpah), yaitu 39 66 ind/m2. Indeks keseragaman berkisar 0,60 0,83
(kategori sedang sampai tinggi) dan indeks dominansi berkisar 0,16 0,33
(dominansi rendah). Sedangkan menurut indeks keanekaragaman ShannonWiener, tingkat pencemaran disemua stasiun adalah sama, yaitu tercemar
sedang dengan H berkisar 1,58 2,25.
4. Beban pencemaran pabrik tapioka PT. Florindo Makmur ke Sungai Way
Sulan Kecil yaitu BOD sebesar 281400 kg/th atau 8923,1 mg/dt, COD sebesar
458430 ton/th atau 14536,7 mg/dt, SS sebesar 203700 kg/dt atau 6459 mg/dt
dan TDS sebesar 888300 kg/dt atau 28167,8 mg/dt.

6.2. Saran
1. Perlu diadakan unit instalasi pengolahan limbah cair yang lebih representatif
dengan teknologi modern pada industri tapioka PT. Florindo Makmur. Hal
tersebut mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan limbah industri
tapioka tersebut terhadap lingkungan perairan dan teknologi pengolahan
limbah cair yang masih sangat sederhana.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dampak limbah cair industri
tapioka terkait efek pengenceran limbah tersebut terhadap konsentrasi BOD
dan COD di Sungai Way Sulan Kecil yang telah tercemar limbah organik.

DAFTAR PUSTAKA

Alaerts G, dan Santika SS. 1984. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional.
Surabaya.
Bapedalda Propinsi Lampung. 2003. Laporan Akhir Penyusunan Teknis Desain
Pengelolaan Limbah Terpadu Teluk Lampung. (tidak dipublikasikan)
__________________________. 2004. Teknis Analisis Pencemaran Air Sungai.
Kabupaten Lampung Selatan. (tidak dipublikasikan)
Fardiaz, S. 1995. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta.
Fitriyana, I. 2004. Kualitas Perairan Sungai Citarum Berdasarkan Indeks Kualitas
Air dan Indeks Biotik. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan)
Goldman, C. R. dan A. J. Horne. 1983. Limnology. McGrow-Hill Book
Company.
Heriyati. 2001. Kajian Terhadap Pengolahan Air Limbah PT. Indonesia Synthetic
Textile Mills, Tangerang, Banten. Skripsi. Program Manajemen
Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB.
Bogor. (tidak dipublikasikan)
Husin, Y. A. dan K. Eman. 1991. Metoda dan Teknik Analisa Kualitas Air.
Kursus Dasar dan Penyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Lembaga Penelitian IPB. Bogor.
Iskandar. 1995. Struktur Komunitas makrozoibentos di Kawasan Pandu Tambak
Inti Rakyat Karawang Jawa Barat. Tesis. Program Pascasarjana. IPB.
Bogor. (tidak dipublikasikan)
Kantor Menteri Negara KLH. 1988. Pedoman Baku Mutu Lingkungan. Nomor
Kep-02/MENKLH/I/1988. Sekretariat Menteri Negara Kependudukan
dan Lingkungan Hidup. Jakarta.
Klein, L. 1971. River Pollution. Volume I. Butterworth. London.
Kompas.

2002.
Industri
di
Lampung
Cemari
Lingkungan.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0202/21/daerah/indu19.htm.
Dikunjungi tanggal 26 Desember 2004.

Kusmana, C. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan. Institut


Pertanian Bogor. Bogor.

Mahida, U. N. 1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Rajawali


Press. Jakarta.
Maranti. I. 2005. Indeks Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobentos
Sebagai Indikator Pencemaran di DAS Way Sekampung pada Musim
Kemarau. Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas Lampung. Lampung. (tidak
dipublikasikan)
Mason, C. F. 1981. Biology of Fresh Water Pollution. Longman. London and
New York.
Mayani, I. 2000. Kesuburan Perairan Berdasarkan Kandungan Unsur Hara dan P
serta Struktur Komunitas Fitoplankton di Situ Citayam, Bojong Gede,
Bogor, Jawa Barat. Skripsi. Program Manajemen Sumberdaya Perairan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. (tidak
dipublikasikan)
Nemerow, N. L. 1991. Stream, Lake, Estuary, and Ocean Pollution. Second
Edition. Van Nostrand Reinhold. New York.
Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Penerjemah:
Samingan, T. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 Tentang Pengendalian Pencemaran
Air dan Lingkungan.
Perdani, V. 2001. Evaluasi Kualitas Air dan Komunitas Makrozoobenthos pada
Sungai Cileungsi-Bekasi di Kabupaten Bogor. Skripsi. Program
Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan)
Persoone, G. dan N. De Pauw. 1979. Systems of Biological for Water Quality
Assessment in O. Ravera (Ed) Biological Aspects of Freshwater
Pollution : Proceedings of The Course held at London. Pergamon Press.
Oxford.
Roby, A. 2003. Gadung, HCN dan Penyebabnya. http://www.indomedia.com/
sripo/2003/10/06/0610op1.htm. Dikunjungi tanggal 10 Mei 2005.
Ristiono. 2002. Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos Sebagai Bioindikator
Tingkat Pencemaran Perairan Batang Lembang Solok. Eksakta Berkala
Ilmiah FMIPA. Universitas Negeri Padang.
Saeni, M. S. 1989. Kimia Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ditjen Pendidikan Tinggi. PAU (Ilmu Hayati) IPB. Bogor.

Sembiring, S. 1995. Pengaruh Perubahan Penutupan Vegetasi Terhadap Fluktuasi


Debit dan Sedimentasi pada Sub DAS Cijambu Jawa Barat. Tesis.
Program Pascasarjana. IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan)
Sukamto. 1998. Studi Peningkatan Kualitas Limbah Cair Industri Tapioka Secara
Katalitik. Skripsi. Jurusan Kimia. Fakultas Pertanian Universitas
Lampung. Lampung. (tidak dipublikasikan)
Suprawihadi, R. 2001. Pengolahan Limbah Cair Tapioka dengan Sistem
Kombinasi Biofilter Anaerob-Aerob Aliran ke Atas dan Aspek
Kesehatan Masyarakatnya. Tesis. Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Program Pasca Sarjana. Universitas Indonesia. Jakarta.
(tidak dipublikasikan)
Suriani, N. 2000. Tingkat Pencemaran Sungai Badung Bagian Hilir Ditinjau dari
Sifat Fisiko-Kimia dan Jenis Hewan Makrobentos di Denpasar Selatan,
Bali. Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan)
Sutamihardja, R. T. M. 1983. Water Pollution. In UNESCO-BIOTROP Training
Seminar in Environmental Science and Management. SEAMEOBIOTROP. Bogor.
Sutamihardja, R.T. M. dan Y. A. Husin. 1983. Water Pollution Analysis
Technique. In UNESCO-BIOTROP Training Seminar in Environmental
Science and Management. SEAMEO-BIOTROP. Bogor.
Sutomo. 1999. Eko-Tipologi Komunitas Zooplankton di Perairan Pesisir PLTU
Muara Karang serta Kaitannya dengan Limbah Panas. Tesis. Program
Pascasarjana. IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan)
Udayana, D. 1997. Penentuan Beban Pencemaran dan Status Kualitas Perairan
Sungai Karang Mumus Akibat Buangan Bahan Organik. Tesis. Program
Pasca Sarjana. IPB. Bogor.
Wibisono, M. 2001. Struktur Komunitas Phytoplankton Laut di Sekitar Pulau
Karimun Kecil Kepulauan Riau. Lembaran Publikasi Lemigas. Vol 39
(3).
Widiastuty, S. 2001. Dampak Pengelolaan Limbah Cair PT Pupuk Sriwidjaja
Terhadap Kualitas Air Sungai Musi Kotamadya Palembang. Tesis.
Program Pascasarjana. IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan)
Wilhm, J. F. 1975. Biological Indicator of Pollution in B. A. Whitton, (Ed). River
Ecology. Blackwell Sci Publ. London.
Wiryawan, B., B. Marsden, H. A. Susanto, A. K. Mahi, M. Ahmad, H.
Poespitasari (Ed). 1999. Atlas Sumberdaya Pesisir Lampung. Kerjasama
Pemda Propinsi Lampung dengan Proyek Pesisir. Bandar Lampung.

Zola, E. 2004. Makrozoobentos sSebagai Bio-Sensor Pencemaran Sungai di


Sekitar Tempat Pembuangan Air Olahan Limbah Cair RSUD Serang.
Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas
Lampung. Bandar Lampung. (tidak dipublikasikan)

Lampiran 1. Hasil analisis sifat fisik kimia air Sungai Way Sulan Kecil di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur
Stasiun Ulangan
keWarna Suhu Kekeruhan TDS
(Ptco) (C)
(NTU)
(mg/l)
I

II

III

IV

Outlet

1
10
2
3
3
1.5
Rata-rata 4.8
1
30
2
8
3
5.2
Rata-rata 14.4
1
28

27.2
29.5
33.5
30.1
28.2
35.4
31.9
31.8
27

46
0.3
0.1
15.47
48
0.82
3.6
17.47
39

86
148
128
120.67
303
702
925
643.33
162

21.4
157
285
154.47
28.4
95
308
143.80
20.31

Parameter/Satuan
PH
DO BOD COD Nitrat
(mg/l) (mg/l (mg/l) (mg/l)
)
7.5
3.6
127 351
1.1
6.4
3
5
16
0.42
5.76
2.7
40
192
0.46
6.55
3.10 57.33 186.33 0.66
8.44
3.2
52
104
1.41
6.64
2.6
9
184
0.56
5.88
2.5
80
160
0.51
6.99
2.77 47.00 149.33 0.83
7.74
4.1
40
144
1.19

2
3
Rata-rata
1
2
3
Rata-rata

7
2.3
11.7
25
5
1.7
10.6

35.4
31.3
31.2
26.6
31.2
29.7
29.2

0.78
3.85
14.54
37
1.08
3.3
13.79

699
854
571.67
158
526
745
476.33

27
283
110.10
17.53
63
286
122.18

6.56
5.86
6.72
7.77
6.52
5.88
6.72

2.4
2.4
2.97
3.4
2.9
2.8
3.03

1
2
3
Rata-rata

29
11
4.8
15

29
35.5
32.4
32.3

49.2
1.21
4.5
18.30

319
719
1001
679.67

17.3
35
345
132.43

7.5
6.7
5.93
6.71

3.9
3.1
2.9
3.3

TSS
(mg/l)

23
32
33
112
32.00 96.00
23
62
11
48
60
144
31.33 84.67
25
19
22
22

112
181
80
124.33

Fosfat Sianida
(mg/l) (mg/l)
0.18
0.01
0.28
0.16
0.73
1.09
0.55
0.79
0.21

0.001
0.003
0.06
0.02
0.05
0.02
0.17
0.08
0.001

0.11
0.02
0.44
0.46
0.51
0.09
0.35

0.49
0.57
0.42
0.23
0.42
0.43
0.36

0.001
0.1
0.03
0.001
0.004
0.001
0.002

1.7
0.9
0.6
1.07

1.09
1.3
1.47
1.29

0.14
0.013
0.11
0.09

Kec.
Arus
(m/dt)
0.6
0.8
0.7
0.7
0.8
0.9
0.9
0.87
0.5

Debit
(l/dt)

0.7
0.6
0.6
0.4
0.4
0.4
0.4
-

612.5
525
525
174
174
174
174
26.9

27.8
29.8
28.17

450
600
525
525
600
675
675
652.5
437.5

Lampiran 2. Jenis dan jumlah makrozoobentos stasiun 1


No Phylum

Kelas

Famili

1 Annelida
2 Annelida

Oligochaeta Chaestogaster
Oligochaeta Aelosomatidae

3
4
5
6
7

Annelida
Annelida
Annelida
Annelida
Arthropoda

Oligochaeta
Oligochaeta
Hirudinea
Hirudinea
Coleoptera

Naididae
Tubificidae
Helobdella
Hirudinidae
Chrysanelidae

8 Arthropoda
9 Arthropoda
10 Arthropoda
11 Arthropoda
12 Arthropoda
13 Arthropoda
14 Aschelminthes
15 Mollusca
Jumlah

Coleoptera
Copepoda
Diptera
Diptera
Diptera
Hemiptera
Nematoda
Bivalvia

Dytiscidae
Senecellidae
Daphniidae
Chironomidae
Heleidae
Belostomatidae
Rhabditidae
Cyrenidae

Keterangan
n1 :
n2 :
n3 :
ni :

Jumlah Makrozoobentos
Sub Stasiun 1a
Sub Stasiun 1b Sub Stasiun 1c
ni
n1 n2 n3
na n1 n2 n3 nb n1 n2 n3 nc
7 5.00
5 7 4.00 6 6 9 7.00 5.33
Troglochaetus beranecki sp 4 4
16 18 11.33
12 4.00
12 15 9.00 8.11
Aelosoma sp
Pristina barbata sp
4 1.33
6 2.00
1.11
3
1.00
5 1.67 3
1.00 1.22
Tubifex sp
1 2 1.00
2 2 1.33 0.78
Cambarincola sp
3 1.00
3 1.00 0.67
Gnathobdellida sp
3
1.00
2
0.67 0.56
Donacia sp
Dytiscus sp
3 1.00
3 1.00 0.67
3 1.00
3 1.00 0.67
Senecella sp
2 1 1.00
2 2 1.33 0.78
Daphnia sp
1 9
3.33
5
1.67 3 6
3.00 2.67
Pentanaura sp
3 2
1.67 3 1
1.33 1.00
Dasyhelea sp
4
1.33
3
1.00 0.78
Belostoma sp
2
0.67
5
1.67
1 3 1.33 1.22
Rhabditis sp
2
0.67
4
1.33 1 2
1.00 1.00
Musculium sp
Genus

10 34

:
Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu pertama
Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu kedua
Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu ketiga
Jumlah rata-rata makrozoobentos stasiun 1

35 26.33 3 28 36 22.33 16 37 40 31.00 26.56

Lampiran 3. Jenis dan jumlah makrozoobentos stasiun 2


No Phylum
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Kelas

Annelida
Annelida
Annelida
Annelida
Annelida
Annelida
Arthropoda
Arthropoda
Arthropoda
Arthropoda
Arthropoda
Arthropoda
Aschelminthes

14 Mollusca
Jumlah

Oligochaeta
Oligochaeta
Oligochaeta
Oligochaeta
Oligochaeta
Hirudinea
Diptera
Diptera
Diptera
Copepoda
Copepoda
Coleoptera
Nematoda
Bivalvia
(pelecypoda)

Jumlah Makrozoobentos
Sub Stasiun 2a
Sub Stasiun 2b
Sub Stasiun 2c
n1 n2 n3 na n1 n2 n3 nb n1 n2 n3 nc
Chaestogaster Troglochaetus beranecki sp 3 7 1 3.67 3 9 23 11.67 3 6 17 8.67
Aelosomatidae Aelosoma sp
12 13 8.33
1 3 1.33
5 3 2.67
Naididae
5
1.67
Pristina barbata sp
Ophiodonaisserpentina sp
2 1 1.00
Tubificidae
4
1.33
Tubifex sp
Hirudinidae
1 0.33
Gnathobdellida sp
Heleidae
2
0.67 2
0.67
Dasyhelea sp
Daphniidae
2
0.67
2 0.67
Daphnia sp
Chironomidae Symbiocladius sp
1 0.33
Senecellidae Senecella sp
1 0.33
Photidae
2
0.67
Leptoceros sp
Helodidae
1 0.33
Scirtes sp
Rhabditidae
1 0.33
1 1 0.67
Rhabditis sp

8.00
4.11
0.56
0.33
0.44
0.11
0.44
0.44
0.11
0.11
0.22
0.11
0.33

Cyrenidae

0.44

Famili

Genus

Musculium sp

Keterangan :

0.67

0.67

3 21 17 13.67 5 18 33 18.67

n1

Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu pertama

n2

Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu kedua

n3

Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu ketiga

ni

Jumlah rata-rata makrozoobentos stasiun 2

5 17 23 15.00

ni

15.78

Lampiran 4. Jenis dan jumlah makrozoobentos stasiun 3


No Phylum

Kelas

Famili

1 Annelida
2 Annelida
3 Annelida
4 Annelida
5 Annelida
6 Arthropoda
7 Arthropoda
8 Arthropoda
9 Arthropoda
10 Arthropoda
11 Arthropoda
12 Arthropoda
13 Arthropoda
14 Aschelminthes
15 Platyhelminthes
Jumlah

Oligochaeta
Chaestogaster
Oligochaeta
Aelosomatidae
Oligochaeta
Tubificidae
Oligochaeta
Naididae
Hirudinea
Helobdella
Coleoptera
Dytiscidae
Copepoda
Diaptomidae
Copepoda
Cyclopidae
Adonata
Agriidae
Ephemenoptera Potomanthidae
Diptera
Heleidae
Diptera
Daphniidae
Diptera
Chironomidae
Nematoda
Rhabditidae
Turbellaria

Jumlah Makrozoobentos
Sub Stasiun 3a
Sub Stasiun 3b
Sub Stasiun 3c
n1 n2 n3
na n1 n2 n3 nb n1 N2 n3
nc
Troglochaetus beranecki sp 2 12 41 18.33 5 3 26 11.33 2 6 21 9.67
12 3 5.00
12 5 5.67
10 5
5.00
Aelosoma sp
2
6 2.67
3 1.00
Tubifex sp
6 2.00
7
2.33
Pristina barbata sp
2
0.67
Cambarincola sp
2 0.67
Dytiscus sp
3
1.00
1
0.33
Dioptomus sp
2
0.67
Cyclops sp
2
0.67
Enallagma sp
2
0.67
Potamanthus sp
2
0.67 4
1.33 3
1.00
Dasyhelea sp
3 1.00
Daphnia sp
3 1.00
1
0.33
Symbiocladius sp
1
2
1.00
Rhabditis sp
3
1.00
Dugesia sp
Genus

Keterangan :

4 29

58 30.33 11 20 40 23.67

n1

Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu pertama

n2

Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu kedua

n3

Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu ketiga

ni

Jumlah rata-rata makrozoobentos stasiun 3

5 17

41

21.00

ni
13.11
5.22
1.22
1.44
0.22
0.22
0.44
0.22
0.22
0.22
1.00
0.33
0.44
0.33
0.33
25.00

Lampiran 5. Jenis dan jumlah makrozoobentos stasiun 4


No

Phylum

Kelas

1 Annelida
2 Annelida

Oligochaeta
Oligochaeta

3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Oligochaeta
Oligochaeta
Oligochaeta
Hirudinea
Amphipoda
Copepoda
Copepoda
Coleoptera
Diptera
Diptera
Diptera
Nematoda
Turbellaria

Annelida
Annelida
Annelida
Annelida
Arthropoda
Arthropoda
Arthropoda
Arthropoda
Uniramida
Uniramida
Uniramida
Aschelminthes
Platyhelminthes

Keterangan :

Jumlah Makrozoobentos
Famili
Genus
Sub Stasiun 4a Sub Stasiun 4b
Sub Stasiun 4c
n1 n2 n3 na n1 n2 n3 nb n1 n2 n3 nc
Chaestogaster
2.33 11 9 5 8.33
Troglochaetusberanecki sp 8 16 17 13.67 7
Aelosomatidae Aelosoma sp
16 17 11.00
13 8 7.00
8 7 5.00
Tubifex sp
Tubificidae
3
1.00 3
1.00
1 2 1.00
Naididae
3 8 3.67
Pristina barbata sp
Branchiobdellida Branchiobdellida sp
6
2.00
Ichthyobdellidae Piscicola punctata sp
2
0.67
Photidae
2 4 2.00
5 1.67
Leptoceros sp
Cyclopidae
5
1.67
Cyclops sp
Diaptomidae
4
1.33
Dioptomus sp
Dytiscidae
4
1.33
Dytiscus sp
Chironomidae
5
1.67
5 1.67
Pentanaura sp
Heleidae
3
1.00
Dasyhelea sp
Daphniidae
2 5 2.33
Daphnia sp
Rhabditidae
6 2.00
2 2 1.33
Rhabditis sp
4 1.33
2 1 1.00
Dugesia sp
16 44 47 35.67 21 18 14 17.67 11 25 35 23.67

n1

Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu pertama

n2

Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu kedua

n3

Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu ketiga

ni

Jumlah rata-rata makrozoobentos stasiun 3

ni
8.11
7.67
1.00
1.22
0.67
0.22
1.22
0.56
0.44
0.44
1.11
0.33
0.78
1.11
0.78
25.67

Lampiran 6. Analisis Kepadatan, Indeks keanekaragaman Shannon Wiener, keseragaman dan dominansi stasiun 1
No
Phylum
1 Annelida
2 Annelida
3 Annelida
4 Annelida
5 Annelida
6 Annelida
7 Arthropoda
8 Arthropoda
9 Arthropoda
10 Arthropoda
11 Arthropoda
12 Arthropoda
13 Arthropoda
14 Aschelminthes
15 Mollusca
Jumlah

Keterangan :

Kelas
Oligochaeta
Oligochaeta
Oligochaeta
Oligochaeta
Hirudinea
Hirudinea
Coleoptera
Coleoptera
Copepoda
Diptera
Diptera
Diptera
Hemiptera
Nematoda
Bivalvia (pelecypoda)

Famili
Chaestogaster
Aelosomatidae
Naididae
Tubificidae
Helobdella
Hirudinidae
Chrysanelidae
Dytiscidae
Senecellidae
Daphniidae
Chironomidae
Heleidae
Belostomatidae
Rhabditidae
Cyrenidae

Genus
Troglochaetus beranecki sp
Aelosoma sp
Pristina barbata sp
Tubifex sp
Cambarincola sp
Gnathobdellida sp
Donacia sp
Dytiscus sp
Senecella sp
Daphnia sp
Pentanaura sp
Dasyhelea sp
Belostoma sp
Rhabditis sp
Musculium sp

ni
5.33
8.11
1.11
1.22
0.78
0.67
0.56
0.67
0.67
0.78
2.67
1.00
0.78
1.22
1.00

K
13.33
20.28
2.78
3.06
1.94
1.67
1.39
1.67
1.67
1.94
6.67
2.50
1.94
3.06
2.50

26.56

66.39

ni/N
0.20
0.31
0.04
0.05
0.03
0.03
0.02
0.03
0.03
0.03
0.10
0.04
0.03
0.05
0.04

H
0.32
0.36
0.13
0.14
0.10
0.09
0.08
0.09
0.09
0.10
0.23
0.12
0.10
0.14
0.12

E
0.12
0.13
0.05
0.05
0.04
0.03
0.03
0.03
0.03
0.04
0.09
0.05
0.04
0.05
0.05

D
0.04
0.09
0.002
0.002
0.001
0.001
0.0004
0.001
0.001
0.001
0.01
0.001
0.001
0.002
0.001

2.25

0.83

0.16

ni

: Jumlah makrozoobentos setiap jenis (Individu)

: Indeks Keanekaragaman Shannon Wiener

: Jumlah total mkrozoobentos

: Indeks Keseragaman

: Kepadatan (individu/m2)

: Indeks Dominansi

Lampiran 7. Analisis Kepadatan, Indeks keanekaragaman Shannon Wiener, keseragaman dan dominansi stasiun 2
No
Phylum
1 Annelida
2 Annelida
3 Annelida
4 Annelida
5 Annelida
6 Annelida
7 Arthropoda
8 Arthropoda
9 Arthropoda
10 Arthropoda
11 Arthropoda
12 Arthropoda
13 Aschelminthes
14 Mollusca
Jumlah

Kelas
Famili
Oligochaeta
Chaestogaster
Oligochaeta
Aelosomatidae
Oligochaeta
Naididae
Oligochaeta
Oligochaeta
Tubificidae
Hirudinea
Hirudinidae
Diptera
Heleidae
Diptera
Daphniidae
Diptera
Chironomidae
Copepoda
Senecellidae
Copepoda
Photidae
Coleoptera
Helodidae
Nematoda
Rhabditidae
Bivalvia (pelecypoda) Cyrenidae

Genus
Troglochaetus beranecki sp
Aelosoma sp
Pristina barbata sp
Ophiodonais serpentina sp
Tubifex sp
Gnathobdellida sp
Dasyhelea sp
Daphnia sp
Symbiocladius sp
Senecella sp
Leptoceros sp
Scirtes sp
Rhabditis sp
Musculium sp

Keterangan :
ni
N
K
H
E
D

:
:
:
:
:

Jumlah makrozoobentos setiap jenis (Individu)


Jumlah total mkrozoobentos
Kepadatan (individu/m2)
Indeks Keanekaragaman Shannon Wiener
Indeks Keseragaman
Indeks Dominansi

ni
8.00
4.11
0.56
0.33
0.44
0.11
0.44
0.44
0.11
0.11
0.22
0.11
0.33
0.44

K
20.00
10.28
1.39
0.83
1.11
0.28
1.11
1.11
0.28
0.28
0.56
0.28
0.83
1.11

15.78

39.44

ni/N
0.51
0.26
0.04
0.02
0.03
0.01
0.03
0.03
0.01
0.01
0.01
0.01
0.02
0.03

H
0.34
0.35
0.12
0.08
0.10
0.03
0.10
0.10
0.03
0.03
0.06
0.03
0.08
0.10

E
0.13
0.13
0.04
0.03
0.04
0.01
0.04
0.04
0.01
0.01
0.02
0.01
0.03
0.04

0.26
0.07
0.001
0.000
0.001
0.00005
0.001
0.001
0.00005
0.00005
0.0002
0.00005
0.0004
0.001

1.58

0.60

0.33

Lampiran 8. Analisis Kepadatan, Indeks keanekaragaman Shannon Wiener, keseragaman dan dominansi stasiun 3
No Phylum
1 Annelida
2 Annelida
3 Annelida
4 Annelida
5 Annelida
6 Arthropoda
7 Arthropoda
8 Arthropoda
9 Arthropoda
10 Arthropoda
11 Arthropoda
12 Arthropoda
13 Arthropoda
14 Aschelminthes
15 Platyhelminthes
Jumlah

Kelas
Oligochaeta
Oligochaeta
Oligochaeta
Oligochaeta
Hirudinea
Coleoptera
Copepoda
Copepoda
Adonata
Ephemenoptera
Diptera
Diptera
Diptera
Nematoda
Turbellaria

Famili
Chaestogaster
Aelosomatidae
Tubificidae
Naididae
Helobdella
Dytiscidae
Diaptomidae
Cyclopidae
Agriidae
Potomanthidae
Heleidae
Daphniidae
Chironomidae
Rhabditidae

Genus
Troglochaetus beranecki sp
Aelosoma sp
Tubifex sp
Pristina barbata sp
Cambarincola sp
Dytiscus sp
Dioptomus sp
Cyclops sp
Enallagma sp
Potamanthus sp
Dasyhelea sp
Daphnia sp
Symbiocladius sp
Rhabditis sp
Dugesia sp

Keterangan :
ni

Jumlah makrozoobentos setiap jenis (Individu)

ni
13.11
5.22
1.22
1.44
0.22
0.22
0.44
0.22
0.22
0.22
1.00
0.33
0.44
0.33
0.33

K
32.78
13.06
3.06
3.61
0.56
0.56
1.11
0.56
0.56
0.56
2.50
0.83
1.11
0.83
0.83

25.00

62.51

ni/N
0.52
0.21
0.05
0.06
0.01
0.01
0.02
0.01
0.01
0.01
0.04
0.01
0.02
0.01
0.01

H
0.34
0.33
0.15
0.16
0.04
0.04
0.07
0.04
0.04
0.04
0.13
0.06
0.07
0.06
0.06
1.63

D
0.13
0.12
0.05
0.06
0.02
0.02
0.03
0.02
0.02
0.02
0.05
0.02
0.03
0.02
0.02

0.27
0.04
0.002
0.003
0.0001
0.0001
0.0003
0.0001
0.0001
0.0001
0.002
0.0002
0.0003
0.0002
0.0002

0.60

0.33

: Indeks Keanekaragaman Shannon Wiener

: Jumlah total mkrozoobentos

: Indeks Keseragaman

: Kepadatan (individu/m2)

: Indeks Dominansi

Lampiran 9. Analisis Kepadatan, Indeks keanekaragaman Shannon Wiener, keseragaman dan dominansi stasiun 4

No

Phylum
1 Annelida
2 Annelida
3 Annelida
4 Annelida
5 Annelida
6 Annelida
7 Arthropoda
8 Arthropoda
9 Arthropoda
10 Arthropoda
11 Arthropoda
12 Arthropoda
13 Arthropoda
14 Aschelminthes
15 Platyhelminthes
Jumlah

Kelas
Oligochaeta
Oligochaeta
Oligochaeta
Oligochaeta
Oligochaeta
Hirudinea
Amphipoda
Copepoda
Copepoda
Coleoptera
Diptera
Diptera
Diptera
Nematoda
Turbellaria

Famili
Chaestogaster
Aelosomatidae
Tubificidae
Naididae
Branchiobdellida
Ichthyobdellidae
Photidae
Cyclopidae
Diaptomidae
Dytiscidae
Chironomidae
Heleidae
Daphniidae
Rhabditidae

Genus
Troglochaetus beranecki sp
Aelosoma sp
Tubifex sp
Pristina barbata sp
Branchiobdellida sp
Piscicola punctata sp
Leptoceros sp
Cyclops sp
Dioptomus sp
Dytiscus sp
Pentanaura sp
Dasyhelea sp
Daphnia sp
Rhabditis sp
Dugesia sp

Keterangan :
ni

ni
8.11
7.67
1.00
1.22
0.67
0.22
1.22
0.56
0.44
0.44
1.11
0.33
0.78
1.11
0.78

K
20.28
19.17
2.50
3.06
1.67
0.56
3.06
1.39
1.11
1.11
2.78
0.83
1.94
2.78
1.94

25.67

64.17

ni/N
0.32
0.30
0.04
0.05
0.03
0.01
0.05
0.02
0.02
0.02
0.04
0.01
0.03
0.04
0.03

H
0.36
0.36
0.13
0.14
0.09
0.04
0.14
0.08
0.07
0.07
0.14
0.06
0.11
0.14
0.11

E
0.13
0.13
0.05
0.05
0.04
0.02
0.05
0.03
0.03
0.03
0.05
0.02
0.04
0.05
0.04

D
0.10
0.09
0.002
0.002
0.001
0.0001
0.002
0.0005
0.0003
0.0003
0.002
0.0002
0.001
0.002
0.001

2.04

0.75

0.20

Jumlah makrozoobentos setiap jenis (Individu)

: Jumlah total mkrozoobentos

: Indeks Keanekaragaman Shannon Wiener

: Kepadatan (individu/m2)

: Indeks Keseragaman

: Indeks Dominansi

Lamp

iran 10. Jumlah dan jenis rata-rata makrozoobentos pada setiap stasiun
No
1

Phylum
Annelida

Kelas
Oligochaeta

Famili
Chaestogaster

Genus

n1

n2

Troglochaetus
5.33 8
beranecki sp
2 Annelida
Oligochaeta
Aelosomatidae Aelosoma sp
8.11 4.11
3 Annelida
Oligochaeta
Naididae
Pristina barbata 1.11 0.56
sp
4 Annelida
Oligochaeta
Tubificidae
Tubifex sp
1.22 0.44
5 Annelida
Oligochaeta
Ophiodonais
0.33
serpentina sp
6 Annelida
Oligochaeta
Branchiobdellida Branchiobdellida
sp
7 Annelida
Hirudinea
Helobdella
Cambarincola sp 0.78
8 Annelida
Hirudinea
Hirudinidae
Gnathobdellida sp 0.67 0.11
9 Annelida
Hirudinea
Ichthyobdellidae Piscicola
punctata sp
10 Arthropoda
Adonata
Agriidae
Enallagma sp
11 Arthropoda
Coleoptera
Chrysanelidae
Donacia sp
0.56
12 Arthropoda
Coleoptera
Dytiscidae
Dytiscus sp
0.67
13 Arthropoda
Coleoptera
Helodidae
Scirtes sp
0.11
14 Arthropoda
Copepoda
Senecellidae
Senecella sp
0.67 0.11
15 Arthropoda
Copepoda
Photidae
Leptoceros sp
0.22
16 Arthropoda
Copepoda
Diaptomidae
Dioptomus sp
17 Arthropoda
Copepoda
Cyclopidae
Cyclops sp
18 Arthropoda
Diptera
Daphniidae
Daphnia sp
0.78 0.44
19 Arthropoda
Diptera
Chironomidae
Pentanaura sp
2.67
20 Arthropoda
Diptera
Chironomidae
Symbiocladius sp
0.11
21 Arthropoda
Diptera
Heleidae
Dasyhelea sp
1 0.44
22 Arthropoda
Ephemenoptera Potomanthidae Potamanthus sp
23 Arthropoda
Hemiptera
Belostomatidae Belostoma sp
0.78
24 Aschelminthes Nematoda
Rhabditidae
Rhabditis sp
1.22 0.33
25 Mollusca
Bivalvia
Cyrenidae
Musculium sp
1 0.44
(pelecypoda)
26 Platyhelminthes Turbellaria
Dugesia sp
26.56 15.78
Jumlah

n3

n4

13.11 8.11
5.22 7.67
1.44 1.22
1.22

0.67
0.22
0.22
0.22
0.22 0.44

1.22
0.44 0.44
0.22 0.56
0.33 0.78
1.11
0.44
1 0.33
0.22
0.33 1.11

0.33 0.78
25.00 25.67

Lampiran 11. Peruntukan air sungai di wilayah Propinsi Lampung menurut


Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung
No. G/625/B.VII/HK/1995
No.

1.
2.
3.
4.
5.

NAMA SUNGAI/
SEGMEN/LUAS
Anak Sungai
WAY
- Hulu
di wilayah Kec.
SEKAMPUNG
Pagelaran s/d muara di Kec.
Palas (Laut Jawa).
Way Kandis
- Hulu Way Kandis Besar di
Kec. Natar s/d pertemuan
dengan Way Sekampung.
Way Hui
- Hulu di Wilayah Kec.
Kedaton s/d pertemuan Way
Kandis Besar.
Way Galih
- Hulu di Desa Way Galih s/d
pertemuan
dengan
Way
Sekampung di Kec. Jabung.
Way Sulan
- Hulu di Kec. Panjang (Desa
Merbau
Mataran)
s/d
pertemuan Way Ketibung.
Way Ketibung
- Hulu di Desa Babatan Kec.
Ketibung
s/d
pertemuan
dengan Way Seputih (Desa
Cabang).

PERUNTUKAN
(Golongan)
B
B
B
B
B
B

Lampiran 12. Baku mutu kualitas air golongan B menurut Keputusan


Gubernur

Kepala

Daerah

Tingkat

Lampung

No.G/625/B.VII/HK/1995
No

Parameter

FISIKA
Zat Padat Terlarut
Suhu
KIMIA
a. Anorganik
1. Air Raksa
2. Amonia bebas
pH
3.
4. DO
BOD
5.
6. COD
Sulfat
7.
Nitrat
8.
9. Nitrit
10. Sulfida (H2S)
11. Sianida
b. Organik
1. Karbon Chloroform Ekst
2. Fenol
3. DDT
Minyak dan lemak
4.
MIKROBIOLOGIK
Koliform
tinja
1.
Total
koliform
2.
RADIOAKTIVITAS
Aktivitas Alpha
1.
2. Aktivitas Betha
1.
2.

Satuan

Kadar
Maksimum

mg/l
(C)

1.000
suhu air normal

mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l

0,001
0,5
5 9
*
6
400
12
10
1,0
0,05
0,01

Keterangan

* Air
permukaan
dianjurkan >
atau = 6.

Untuk
parameter
yang belum
0,5
mg/l
terdapat
0,002
mg/l
dalam
0,042
mg/l
ketetapan ini
nihil
mg/l
disesuaikan
dengan
2.000
Jlh/100ml
lampiran PP
10.000
Jlh/100ml
No. 20 Th,
1990 tentang
0,1
Bq/l
Pengendalian
1,0
Bq/l
Pencemaran
Air.
Lampiran 13. Baku mutu limbah cair untuk industri tapioka menurut
Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan
Hidup tahun 1991
No.

Kadar Maksimum Beban Pencemaran


Parameter
Maksimum
1. KOB5
200 mg/l
12,0 Kg/ton produk
2. KOK
400 mg/l
24,0 Kg/ton produk
3. Padatan tersuspensi total
150 mg/l
9,0 Kg/ton produk
4. CN- (Sianida)
0,5 mg/l
0,03 Kg/ton produk
5. pH
6 9
3
Keterangan: debit limbah maksimum sebesar 60 m per ton produksi.

Lampiran 14. Kurva tipe perubahan kualitas air menurut Hynes (1960)
dalam Persoone dan De Pauw (1979)

Lampiran 15. Contoh gambar makrozoobenthos yang ditemukan di stasiun


pengamatan

Lampiran 16. Stasiun-stasiun pengamatan

Stasiun 1

Stasiun 2

Stasiun 3

Stasiun 4

Lampiran 17. Peta penutupan lahan DAS Way Sekampung (Sub DAS Way Sulan)

Anda mungkin juga menyukai