Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi
Nama
NRP
: E34101041
Departemen
Fakultas
: Kehutanan
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Ketua
Anggota
Mirna Aulia Pribadi. E34101041. Evaluasi Kualitas Air Sungai Way Sulan
Kecil
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Evaluasi Kualitas Air Sungai Way Sulan Kecil. Skripsi ini sebagai salah satu
syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Industri merupakan salah satu sektor yang memegang peranan penting
sebagai penggerak perekonomian Indonesia. Namun dalam penyelenggaraannya,
industri selalu bersinggungan dengan lingkungan hidup atas dampak yang
ditimbulkannya, sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap kualitas lingkungan
akibat kegiatan industri. Pada skripsi ini, penulis menyajikan hasil penelitian
mengenai kualitas air Sungai Way Sulan Kecil, terutama disebabkan adanya
masukan berupa limbah cair dari kegiatan Agro based industry khususnya industri
tapioka. Hasil dari evaluasi ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dalam
pengelolaan lingkungan, terutama Sub DAS Way Sulan, DAS Way Sekampung
secara holistik, interdisipliner dan terpadu.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ini
masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan demi penyempurnaan selanjutnya. Diharapkan hasil
penelitian ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi bagi pengelolaan
lingkungan, khususnya sumberdaya air yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan.
Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan rasa terima kasih yang tulus
kepada :
1. Ibu Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si dan Bapak Ir. Agus Priyono, MS atas
bimbingan, bantuan dan perhatian yang diberikan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp dan Bapak Effendi Tri Bachtiar, S.Hut
selaku dosen penguji, atas bantuan dan kesediaannya dalam meluangkan
waktu.
3. Papa dan Mama tersayang. Terima kasih atas curahan kasih sayang,
pengorbanan, doa dan nasehat untuk penulis. Semoga Allah SWT senantiasa
memberi limpahan rahmat dan karunia-Nya untuk Papa dan Mama. Amin.
4. Rozi Fahlepi untuk perhatian, dukungan, dan kesetiaan yang diberikan kepada
penulis. Serta untuk Tri Rahayuningsih atas persahabatan yang tidak ternilai.
5. Pihak PT. Florindo Makmur yang berkenan memberi izin kepada penulis
untuk melakukan penelitian mengenai kualitas limbah cair yang dihasilkan
dan dampaknya terhadap Sungai Way Sulan Kecil.
6. Seluruh staf Laboratorium Analisis Kimia dan Zoologi Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung yang telah membantu
dalam kelengkapan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian.
7. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Way Seputih Sekampung yang telah
memberi bantuan dalam kelengkapan data-data.
8. Seluruh staf Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata yang
telah memberikan bantuan dan kemudahan dalam penyelesaian pendidikan.
9. Teman-teman seperjuangan di Laboratorium Analisis Lingkungan dan
Pemodelan Spasial DKSH serta seluruh teman-teman KSH ceria 38 yang
telah membuat hari-hari penulis lebih berwarna.
Bogor, Desember 2005
Penulis
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ...............................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR...................................................................................
vi
I.
PENDAHULUAN ..............................................................................
2.4.2. Suhu...................................................................................
2.4.3. Kekeruhan..........................................................................
2.4.5. Debit..................................................................................
10
11
2.5.1. pH......................................................................................
11
12
13
13
14
2.5.6. Fosfat.................................................................................
15
2.5.7. Sianida...............................................................................
15
16
2.6.1. Makrozoobenthos...............................................................
16
II.
III
IV.
V.
2.7. Kualitas Air, Baku Mutu Air dan Baku Mutu Limbah Cair ..........
18
20
20
20
20
20
23
23
23
23
27
28
28
4.2. Iklim..............................................................................................
28
28
29
30
33
33
33
35
37
39
41
5.1.6. pH.........................................................................................
43
45
48
50
5.1.10.Nitrat ...................................................................................
52
5.1.11.Fosfat...................................................................................
54
5.1.12.Sianida.................................................................................
56
57
58
59
61
65
67
DAFTAR TABEL
No.
1.
Teks
Halaman
13
2.
14
3.
17
4.
21
5.
24
6.
25
7.
25
8.
26
9.
27
29
30
31
59
61
62
16. Konsentrasi beban limbah pada zona percampuran (mixing zone) .........
63
DAFTAR GAMBAR
No.
1.
Teks
Halaman
22
2.
32
3.
4.
5.
42
9.
39
8.
38
7.
35
6.
33
43
45
49
50
53
55
56
58
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Teks
Halaman
1. Hasil pengukuran sifat fisik kimia air Sungai Way Sulan di sekitar
dan di outlet limbah PT. Florindo Makmur ........................................
70
71
72
73
74
75
76
77
78
10. Jumlah dan jenis rata-rata makrozoobentos pada setiap stasiun .........
79
80
81
81
82
83
84
85
86
18. Hasil pengukuran sifat fisika-kimia perairan Sungai Way Sulan Kecil
87
90
I. PENDAHULUAN
tercemar, antara lain Way Tulang Bawang, Way Terusan, Way Pangubuhan, Way
Seputih dan Way Sekampung.
Pencemaran Sungai Way Sekampung disebabkan oleh beban limbah
yang langsung dibuang ke perairan Way Sekampung maupun berasal dari aliran
percabangan sungai yang telah tercemar limbah. Pencemaran mengakibatkan
dampak negatif berupa terganggunya ekosistem sungai serta kerusakan
lingkungan sekitarnya, terutama di bagian hilir Sungai Way Sekampung yang
merupakan daerah sebaran mangrove pada pesisir timur Lampung.
Hamparan mangrove di pesisir timur Lampung membujur dari daerah
Way Sekampung bagian selatan hingga ke utara daerah Way Penet (perbatasan
kawasan Taman nasional Way Kambas). Pada ekosistem ini terdapat beberapa
jenis burung air seperti Pecuk Ular (Anhinga melanogaster), Bangau Tongtong
(Leptotilus javanicus), Milky Stork (Mycterea cinerea), Storms Stork (Ciconia
stormi), Pasific Reef Egret atau Kuntul (Egretta sacra) dan Itik (Anas
gibberifrons atau Anas quequedula) yang memanfaatkan mangrove di sepanjang
pantai timur sebagai tempat mencari makan dan bersarang.
Aksornkoae (1993) dalam Kusmana et al. (2003) menggambarkan
bahwa polutan yang berasal dari pemukiman dan industri dapat menyebabkan
penurunan kualitas air sehingga menimbulkan tekanan dan gangguan terhadap
ekosistem mangrove. Gangguan tersebut berupa peningkatan suhu air,
pencemaran oksigen, nutrien, keseimbangan salinitas, hidrologi, sedimentasi,
turbiditas, bahan-bahan toksik dan erosi tanah, sehingga mengakibatkan
terganggunya keseimbangan rantai makanan dan proses alami seperti regenerasi
dan pertumbuhan pada ekosistem mangrove itu sendiri maupun pada ekosistem
sekitar pantai. Gangguan pada ekosistem mangrove juga dapat berdampak pada
penurunan fungsinya sebagai habitat satwa, sumber plasma nutfah, penghasil
kayu, serta fungsi lainnya.
Sebagai upaya mencegah serta mengurangi pencemaran lingkungan
perairan yang telah terjadi di Sungai Way Sekampung dan berbagai dampak
negatif yang ditimbulkan, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap kualitas air
Sungai Way Sekampung maupun percabangannya. Salah satu percabangan
tersebut adalah Sungai Way Sulan Kecil yang termasuk Sub DAS Way Sulan,
DAS Way Sekampung. Di wilayah Sub DAS Way Sulan sendiri terdapat banyak
industri yang sebagian besar adalah industri pengolah hasil pertanian, termasuk
industri tapioka. Berdasarkan hal-hal tersebut, Sungai Way Sulan Kecil diduga
memberi kontribusi terhadap pencemaran air pada Sungai Way Sekampung.
Evaluasi kualitas air Sungai Way Sulan Kecil dilakukan dengan cara
membandingkan hasil pengujian yang diperoleh selama penelitian dengan Surat
Keputusan Gubernur Lampung No. G/625/B.7/HK/1995 tentang Kualitas Air
Badan Penerima dan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan
Hidup Tahun 1991 tentang Baku Mutu Limbah Cair Industri Tapioka. Dengan
demikian akan dapat diketahui kualitas air Sungai Way Sulan Kecil pada saat
dilakukannya penelitian. Untuk menyajikan hasil penelitian dalam bentuk
informasi kualitas perairan juga akan digunakan pendekatan biologis.
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menentukan status kualitas badan penerima dari faktor fisik-kimia perairan di
Sungai Way Sulan Kecil.
2. Mengkaji tingkat keanekaragaman jenis biota perairan yang merupakan
bioindikator kualitas lingkungan perairan.
3. Menghitung besarnya beban pencemaran pabrik tapioka PT. Florindo Makmur
ke Sungai Way Sulan Kecil.
1.3. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat:
1. Memberi gambaran kondisi kualitas fisik-kimia dan biologi perairan di Sub
DAS Way Sulan yang mendapat pengaruh limbah industri tapioka.
2. Sebagai dasar dalam penetapan status kualitas Sungai Way Sulan Kecil.
3. Memberi masukan bagi pemerintah daerah selaku pengambil kebijakan dalam
pengelolaan lingkungan tentang kondisi air Sungai Way Sulan. Kecil
2.1. Sungai
Perairan dibagi dalam tiga kategori utama, yaitu tawar, estuaria dan
kelautan. Habitat air tawar menempati daerah yang relatif kecil pada permukaan
bumi bila dibandingkan dengan habitat lainnya, namun peranannya sangat penting
bagi manusia yaitu sebagai sistem pembuangan serta digunakan untuk keperluan
sehari-hari seperti mandi, cuci dan kakus (Michael, 1994 dalam Maranti, 2005).
Habitat air tawar merupakan sumber air yang paling praktis dan murah untuk
kepentingan domestik maupun industri. Habitat ini dibagi menjadi dua kategori
yaitu habitat air tergenang atau habitat lentik seperti danau, kolam, rawa atau pasir
terapung, serta habitat air mengalir atau habitat lotik seperti mata air, aliran air
(brook-creek) atau sungai (Odum, 1993).
Sungai adalah tempat bermuaranya air dari sumber mata air (hulu)
menuju suatu tempat dengan tingkat geografis yang lebih rendah setara dengan
ketinggian permukaan laut (hilir). Besar kecilnya sungai sangat tergantung pada
aspek daya dukung sekitarnya seperti debit air dari mata air, bentuk geografis
tanah pendukungnya, struktur geologis, sebaran flora dan fauna yang tumbuh di
sekitarnya dan bentang alam secara keseluruhan (Bapedalda Propinsi Lampung,
2004).
Daerah Aliran Sungai atau DAS diartikan sebagai suatu kawasan yang
mengalirkan air ke satu sungai utama. DAS adalah suatu wilayah penerima air
hujan yang dibatasi oleh punggung bukit atau gunung, dimana semua curah hujan
yang jatuh di atasnya akan mengalir di sungai utama dan akhirnya bermuara ke
laut, sehingga kualitas air sungai utama akan dipengaruhi oleh masukan-masukan
dari anak sungai (Bapedalda Propinsi Lampung, 2003).
Wilayah Propinsi Lampung dialiri lima sungai besar dan sekitar 25
sungai kecil yang membentuk lima Daerah Aliran Sungai (DAS) utama, yaitu
DAS Way Sekampung, DAS Mesuji, DAS Semangka, DAS Seputih dan DAS
Tulang Bawang. DAS Sekampung dibagi lagi menjadi 15 Sub DAS, yaitu Sub
DAS Sekampung-Batu Tegi, Sub DAS Merabung-Lahan Sukoharjo, Sub DAS
Way Tebu, Sub DAS Way Bulok, Sub DAS Way Sekampung Anak, Sub DAS
Way Seman, Sub DAS Sekampung Agroguruh, Sub DAS Way Kandis, Sub DAS
Way Galih, Sub DAS Way Bekarang, Sub DAS Way Sulan, Sub DAS Ketibung,
Sub DAS Way Jabung, Sub DAS Way Sragi dan Sub DAS Way Pisang. Way
Sekampung merupakan salah satu sungai besar di Propinsi Lampung yang
termasuk DAS Way Sekampung. Bagian hulu sungai Way Sekampung terletak di
daerah pegunungan dan perbukitan di sebelah utara Kecamatan Kota Agung,
Lampung Selatan dan bermuara di Laut Jawa.
2.2. Kualitas Perairan
Pengertian kualitas lingkungan (perairan) adalah sebagai faktor biofisika
kimia yang mempengaruhi kehidupan organisme perairan dalam ekosistemnya.
Menurut Wardoyo (1981) dalam Bapedalda (2003), perairan yang ideal adalah
perairan yang dapat mendukung organisme dalam menyelesaikan daur hidupnya.
Sedangkan menurut Boyd (1982) dalam Bapedalda (2003), kualitas lingkungan
perairan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan untuk menunjang kehidupan
dan pertumbuhan organisme air yang nilainya dinyatakan dalam suatu kisaran
tertentu.
Masuknya bahan pencemar dalam perairan dapat mempengaruhi kualitas
air dan terkait dengan kapasitas asimilasinya. Apabila kapasitas asimilasi
terlampaui, selanjutnya akan menurunkan daya dukung, nilai guna dan fungsi
perairan bagi peruntukan lainnya. Kualitas perairan ditentukan oleh nilai kisaran
parameter yang terukur di lingkungan perairan. Nilai kisaran parameter tersebut
secara langsung atau tidak langsung ditentukan oleh proses hidrodinamika suatu
perairan. Selain itu juga tergantung beberapa faktor seperti intensitas bahan
pencemar, iklim, kedalaman arus, topografi dan geografi, sehingga terjadi proses
perubahan sifat fisik, kimia dan biologis yang saling berinteraksi. Apabila salah
satu faktor terganggu atau mengalami perubahan akan berdampak pada sistem
ekologi (Bapedalda 2003).
kualitas
air
yang
disebabkan
oleh
aktivitas
manusia
dan
2.4.3. Kekeruhan
Kekeruhan adalah sebuah ukuran dari partikel-pertikel tersuspensi
seperti lumpur, lempung, bahan organik, plankton dan organisme mikroskopik di
dalam air yang biasanya terdapat pada suspensi oleh aliran turbulen dan gerak
brown. Jumlah material padat pada suspensi di dalam air dapat merupakan hasil
dari erosi secara alami, run-off dan blooming algae, maupun disebabkan oleh
penambahan material tersebut oleh manusia. Kekeruhan yang tinggi akan
mengurangi fotosintesis tumbuhan yang hidup di bawah permukaan air, perakaran
vegetasi perairan dan ganggang, dimana penurunan pertumbuhan ini pada
gilirannya akan menekan produktivitas ikan (Sutamihardja dan Husin, 1983).
Kekeruhan dan kecerahan merupakan parameter penting dalam
menentukan produktivitas suatu perairan. Tingkat kekeruhan suatu perairan
berbanding terbalik dengan tingkat kecerahannya atau meningkatnya kekeruhan
akan menurunkan kecerahan perairan. Koesoebiono (1979) dalam Suriani (2000)
menyatakan bahwa pengaruh utama dari kekeruhan adalah penurunan penetrasi
cahaya secara mencolok sehingga menyebabkan penurunan aktivitas fotosintesis
algae dan fitoplankton. Menurunnya aktivitas fotosintesis ini berakibat pada
penurunan produktivitas perairan.
Biasanya kondisi air yang keruh kurang disukai oleh bentos.
Pengendapan partikel tanah yang berlebihan menyebabkan penurunan hewan
bentos. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa pengendapan partikel tanah yang
berlebihan dapat menyebabkan penurunan kelimpahan makrozoobentos di sungai
sebesar 25% - 50%.
2.4.4. Padatan Total
Padatan total terdiri dari padatan terlarut (Total Dissolved Solid) dan
padatan tersuspensi (Total Suspended Solid) yang dapat bersifat organis dan
inorganis. Selanjutnya padatan tersuspensi sendiri dapat diklasifikasikan lagi
menjadi zat padat terapung yang selalu bersifat organis dan zat padat terendap
yang dapat bersifat organis dan inorganis (Alaerts dan Santika, 1984). Kehadiran
padatan total pada suatu perairan mengindikasikan jumlah bahan organik dan
mineral yang bersifat non-volatil (tidak menguap) pada suhu tertentu (Klein,
1971).
a. Padatan Tersuspensi
Padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air,
tidak terlarut dan tidak dapat mengendap langsung. Padatan tersuspensi terdiri
dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil daripada sedimen,
misalnya tanah liat, bahan-bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme, dan
sebagainya. Air buangan industri mengandung jumlah padatan tersuspensi dalam
jumlah yang sangat bervariasi tergantung dari jenis industrinya. Air buangan
industri-industri makanan, terutama industri fermentasi dan industri tekstil sering
mengandung padatan tersuspensi dalam jumlah relatif tinggi (Fardiaz, 1995).
Jika pada padatan tersuspensi berupa bahan organik dengan kadar yang
tinggi,
proses
pembusukan
sangat
mungkin
terjadi
sehingga
akan
Mason (1981) menyebutkan bahwa debit air merupakan fungsi dari kecepatan
arus rata-rata dengan luas potongan melintang sungai. Kecepatan arus yang
berkaitan dengan debit air ditentukan oleh keterjalan permukaan, tingkat tingkat
kekasaran, kedalaman dan lebar sungai. Klasifikasikan sungai berdasarkan
arusnya, yaitu : berarus sangat cepat (>100 cm/dt), berarus cepat (50 100 cm/dt),
berarus sedang (25 50 cm/dt), berarus lambat (10 25 cm/dt) dan berarus sangat
lambat (<10 cm/dt). Sedangkan (Sembiring, 1995) menyebutkan bahwa Faktorfaktor yang mempengaruhi fluktuasi debit yaitu curah hujan, intersepsi, infiltrasi
dan aliran permukaan. Debit air yang masuk ini akan berpengaruh terhadap proses
pengenceran berbagai bahan yang masuk ke dalam perairan tersebut dan
mempercepat proses pemurnian air sungai (Damhudi, 2000),
Golongan
I
II
III
IV
Kandungan DO (mg/l)
>6,0
4,5 6,0
2,0 4,5
<2,0
Kualitas Air
Tidak Tercemar
Tercemar Ringan
Tercemar Sedang
Tercemar Berat
oksigen
terlarut
dalam
air
dapat
menyebabkan
Kualitas Air
Tidak Tercemar
Tercemar Ringan
Tercemar Sedang
Tercemar Berat
2.5.5. Nitrat
Senyawa-senyawa nitrogen terdapat dalam keadaan terlarut atau sebagai
bahan tersuspensi dan merupakan senyawa-senyawa yang sangat penting dalam
air serta memegang peranan sangat kuat dalam reaksi-reaksi biologi perairan.
Jenis-jenis nitrogen anorganik utama dalam air adalah ion nitrat (NO3-) dan
amonium (NH4+), serta ditemukan pula nitrit (NO2-) dalam beberapa kondisi.
Nitrat (NO3-) merupakan senyawa toksik terutama bagi bayi dan binatang
memamah biak. Dalam sistem pencernaan bayi dan binatang memamah biak,
nitrat direduksi menjadi nitrit (NO2-) yang dapat mengikat hemoglobin dalam
darah sehingga mengurangi kemampuan hemoglobin sebagai pembawa oksigen
dalam
darah.
Hal
ini
menyebabkan
keadaan
yang
dikenal
sebagai
lingkungan
seperti
terjadinya
pencemaran
dapat
dianggap
sebagai
makrozoobenthos
adalah
insekta,
mollusca,
Jenis Makrozoobenthos
Cacing tubifisida, lintah, larva, siput
toleran khususnya Musculium dan
Pisidium
Ketahanan
sedang,
lebih Jenis-jenis siput yang menyukai
perairan berarus, Insecta, Crustacea
menyukai air jernih (fakultatif)
2.7. Kualitas Air, Baku mutu Air dan Baku Mutu Limbah Cair
Kualitas air adalah karakter (sifat) air yang digambarkan oleh nilai-nilai
dari berbagai macam faktor atau karakteristik atau komponen kualitas air (yang
sering disebut sebagai parameter kualitas air). Karakteristik-karakteristik tersebut
menggambarkan kondisi fisik-kimia dan mikrobiologi dari air. Kualitas air yang
diinginkan dinyatakan dalam nilai (beberapa diantaranya bisa disebut sebagai
kadar atau konsentrasi) tertentu. Tidak semua nilai yang rendah selalu berarti
baik, sebab komponen yang berfungsi sebagai nutrien biasanya diperlukan dalam
jumlah tertentu. Bila jumlah nutrien terlalu rendah dapat menyebabkan defisiensi,
tetapi bila terlalu tinggi menyebabkan keracunan. Maka dapat dikatakan bahwa
kualitas air ditentukan oleh konsentrasi bahan pencemar di dalam air. Agar tidak
terjadi penurunan kualitas air, maka muatan yang dibuang ke perairan harus
dibawah atau sama dengan daya tampung beban pencemaran.
Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1990 mendefinisikan daya tampung
beban pencemaran sebagai kemampuan air pada sumber air menerima beban
pencemaran limbah tanpa mengakibatkan turunnya kualitas air sehingga melewati
baku mutu air yang ditetapkan sesuai dengan peruntukannya. Pada pasal 7
Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1990 ditetapkan penggolongan air menurut
peruntukannya sebagai berikut:
Golongan A
Golongan B
Golongan C
Golongan D
Baku mutu air adalah batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau
komponen lain yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemaran yang
ditenggang adanya dalam air pada sumber air tertentu sesuai dengan
peruntukannya. Sedangkan baku mutu limbah cair adalah batas kadar dan jumlah
unsur pencemaran yang ditenggang adanya dalam limbah cair untuk dibuang dari
satu jenis kegiatan tertentu. Untuk dapat digunakan sebagai acuan dalam
memantau kualitas air, baku mutu air, daya tampung limbah dan baku mutu
limbah cair ini ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam lima
tahun.
perairan yang menerima limbah industri tapioka. Stasiun II berada pada aliran
sungai pada saat menerima air buangan (limbah) industri tapioka, stasiun III
berada pada aliran sungai yang berjarak 200 m setelah stasiun II dan stasiun IV
merupakan aliran sungai dimana pengaruh limbah industri diperkirakan telah
berkurang. Stasiun IV terletak sebelum percabangan dengan sungai lain. Lokasi
stasiun pengambilan contoh air dan spesimen makrozoobentos dapat dilihat pada
Gambar 1. Dilakukan pula pengambilan contoh limbah cair pada outlet IPAL
pabrik tapioka yang mengalirkan ke Sungai Way Sulan Kecil.
Pengambilan contoh air yang dianalisis dilakukan sesuai dengan titiktitik sampling yang telah ditetapkan dari badan sungai dan dilakukan secara
komposit sebanyak tiga ulangan dengan interval waktu satu minggu sekali. Pada
analisis fisika dan kimia air Sungai Way Sulan Kecil, parameter fisika dan kimia
yang diukur dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Parameter, alat dan metode analisis fisika-kimia yang digunakan
No.
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Parameter
Fisika
Warna
Suhu
TDS
TSS
Kekeruhan
Kimia
pH
DO
COD
BOD
Nitrat (NO3)
Fosfat (PO4)
Sianida (CN-)
Satuan
Alat/Metode
Analisis
Keterangan
PtCo
C
mg/l
mg/l
NTU
Spektrofotometrik
Termometer
Gravimetrik
Gravimetrik
Turbidity meter
Laboratorium
In situ
Laboratorium
Laboratorium
Laboratorium
Unit
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
pH meter
Titrimetrik
Titrimetrik
Titrimetrik
Spektrofotometrik
Spektrofotometrik
Titrimetrik
In situ
Laboratorium
Laboratorium
Laboratorium
Laboratorium
Laboratorium
Laboratorium
b. Parameter Biologi
Contoh benthos diambil pada daerah (lokasi) yang sama dengan stasiun
pengambilan contoh air (parameter fisika-kimia). Pengambilan dilakukan dengan
Surber Net. Kemudian spesimen benthos yang terambil dipisahkan dari lumpur
dan benda lain dengan saringan. Spesimen bentos dimasukkan ke dalam tempat
plastik lalu diberi larutan kimia pengawet (formalin 3%). Identifikasi dilakukan di
Laboratorium Zoologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Lampung.
kualitas
fisika
dan
kimia
perairan
terhadap
komunitas
a. Kepadatan
Odum (1993) mendefinisikan kepadatan sebagai jumlah individu suatu
jenis per stasiun (ind/m2). Kepadatan dihitung dengan rumus :
K=
1000.a
b
dimana:
b. Indeks Keanekaragaman
Salah satu cara terbaik untuk mengetahui dan menilai tingkat
pencemaran
pada
suatu
perairan
adalah
dengan
menghitung
indeks
H = - pi ln pi
I =1
dimana:
= indeks keanekaragaman
pi
ni
= jumlah jenis
ni
N
c. Indeks Keseragaman
Keseragaman (equitibilitas) merupakan salah satu komponen utama
keanekaragaman yang menyatakan pembagian individu yang merata di antara
jenis. Indeks keseragaman dihitung untuk mengetahui pola dominansi suatu jenis
atau beberapa kelompok jenis dalam suatu komunitas organisme.
E=
H'
H 'maks
dimana:
Hmaks
ni
i =1 N
n
dimana:
indeks dominansi
ni
< 0,4
Dominansi rendah
0,4 0,6
Dominansi sedang
>0,6
Dominansi tinggi
Beban Limbah
BOD
COD
SS
kg/ton
13,4
21,83
9,7
Sunber
: Djajadiningrat dan Amir (1989)
Keterangan
TDS
42,3
CuxQu + CwxQw
Qu + Qw
Dimana : Cd
Cw
Cu
Qw
= Debit limbah
Qu
BL
Q
Dimana :
BL
4.1. Letak
Penelitian ini dilakukan di aliran Sungai Way Sulan Kecil. Secara
administrasi, lokasi penelitian merupakan wilayah Desa Neglasari, Kecamatan
Katibung, Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung. Sedangkan Sungai
Way Sulan Kecil termasuk dalam Sub DAS Way Sulan yang merupakan bagian
DAS Way Sekampung.
4.2. Iklim
Berdasarkan data curah hujan dan hari hujan bulanan, tipe iklim yang ada di
wilayah studi berdasarkan klasifikasi iklim Scmidth & Ferguson (1951) adalah
tipe iklim B dengan curah hujan berkisar antara 2000 3000 mm/th. Suhu ratarata udara berkisar antara 28 - 30C, dengan kelembaban relatif antara 5062%.
Sedangkan berdasarkan klasifikasi iklim menurut Oldeman (1978), daerah
setempat termasuk dalam zone agroklimat C3, karena mempunyai bulan basah
dengan curah hujan >200 mm selama 4 sampai 5 bulan berturut-turut dan bulan
kering (curah hujan <100 mm) 4 6 bulan berturut-turut dalam setahun.
Nama Daerah
Nama Ilmiah
1.
Bambu
Bambusa sp.
2.
Cente Manis
Lantana camara
3.
Senggani
Melastoma polyantum
4.
Babadotan
Ageratum conyzoides
5.
Rumput teki
Cyperus rotundus
6.
Putri malu
Mimosa pudica
7.
Ilalang
Imperata cylindrica
8.
Waru
Hibiscus tiliaceus
9.
Ceplukan blungsum
Passiflora foetida
10.
Rumput mendongan
Fimbristilis ferruginea
11.
Sikejut
Mimosa sp.
12.
Pisang
Musa paradisiaca
13.
Mangga
Mangifera indica
14.
Ubi kayu
Manihot utilisima
15.
Rambutan
Nephelium lappaceum
16.
Pepaya
Carica papaya
17.
Kelapa
Cocos nucifera
18.
Jagung
Zea mays
19.
Sengon
Paraserianthes falcataria
20.
Nangka
Arthocarpus integra
21.
Durian
Durio zibethinus
22.
Rambutan
Nephelium sp.
23.
Melinjo
Gnetum gnemon
24.
Jengkol
Pithecellobium lobatum
25.
Jati
Tectona grandis
26.
Kelapa sawit
Elaeis quinensis
27.
Kopi
Coffea robusta
28
Kemiri
Aleurites moluccana
Nama Daerah
Nama Latin
1.
Sapi
Bos indicus
2.
Kerbau
Bos bubalus
3.
Kambing
Capra spec
4.
Kadal
Mabuya multifasciata
5.
Cecak
Calotes jubatus
6.
Burung gereja
Passer montanus
7.
Ayam
Gallus sp.
8.
Belalang daun
Tettigonia sp.
9.
Jangkrik
Grillus bimaculatus
10.
Kupu-kupu
Papilio polyxenue
11.
Capung
Pantala flavescana
12.
Kodok
Bufo biforcatus
3.
4.
5.
6.
7.
Jenis industri
Pengalengan minuman
Percobaan
pembuatan
pakan ternak
Industri makanan
Pembekuan udang (cold
storage)
Industri pakan udang
Industri pakan ternak
Pengalengan rajungan
Industri pakan ternak
Industri pakan ternak
Industri pakan ternak
Pengalengan rajungan
Industri tapioka
30
28
25
Warna (PtCo)
25
Hasil pengukuran I
20
Hasil pengukuran II
14.4
15
10
5
11.7
10
8
4.8
3
10.6
Nilai rata-rata
7
5.2
5
2.3
1.5
1.7
0
1
Stasiun pengukuran
warna air Sungai Way Sulan Kecil dalam kondisi normal, sehingga nilai satuan
warna air tidak mengalami peningkatan yang cukup besar.
Nilai rataan warna tertinggi pada stasiun 2 diperkirakan merupakan
pengaruh limbah cair industri tapioka. Bahan-bahan terlarut maupun tersuspensi
dalam limbah cair industri tapioka yang masuk ke perairan Way Sulan Kecil
diduga berperan dalam meningkatkan nilai satuan warna. Menurut pengamatan di
lapangan, sifat limbah cair tapioka sebelum mengalami pengolahan adalah
berwarna keputihan yang berasal dari proses pengendapan ubi kayu yang telah
diparut. Namun setelah mengalami proses pengolahan, warna limbah cair tapioka
berubah menjadi hijau (kehijauan). Masukan limbah cair tapioka pada Sungai
Way Sulan Kecil menyebabkan warna air sungai turut berubah menjadi kehijauan.
Perubahan warna air sungai ini yang menyebabkan nilai satuan warna pada
stasiun 2 meningkat. Peningkatan nilai satuan warna mengindikasikan adanya
tambahan zat warna pada perairan sehingga memperbesar penyimpangan atau
menyebabkan perubahan warna air sungai dari warna aslinya.
Pada stasiun 3 dan 4 terjadi penurunan nilai satuan warna secara
bertahap seiring adanya proses pengendapan serta penguraian partikel-partikel
padatan yang mempengaruhi perubahan warna air. Dengan adanya pengendapan
dan penguraian tersebut, partikel-partikel padatan yang menyebabkan perubahan
warna air semakin berkurang sehingga warna air mendekati sifat normalnya.
SK
Gubernur
Kepala
Daerah
Tingkat
Lampung
No.
5.1.2. Suhu
Suhu air merupakan faktor pembatas utama dalam lingkungan perairan
karena berpengaruh dalam menentukan atau mengendalikan kehidupan organisme
perairan sesuai dengan daya adaptasinya terhadap suhu air yang telah mencapai
atau melampaui toleransi organime perairan (lethal temperature). Menurut Ardi
(2002) dalam Maranti (2005), suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi aktivitas serta memacu atau menghambat perkembangbiakan
organisme perairan.
Suhu air juga berperan penting dalam menentukan kecepatan reaksi
penguraian bahan organik maupun anorganik yang terlarut, mempengaruhi tingkat
kelarutan garam-garam dan gas-gas dalam air terutama O2 yang berperan dalam
proses metabolisme mikro maupun makroorganisme, serta gas CO2 sebagai salah
satu komponen penting dalam proses fotosintesis yang menetukan produktivitas
lingkungan perairan dan suplai oksigen terlarut.
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa suhu air rata-rata pada keempat
stasiun berkisar antara 29,2 - 31,8C. Kisaran suhu tersebut masih tergolong
normal dalam badan air dan tidak membahayakan kehidupan biota akuatik karena
masih di bawah lethal temperature bagi organisme benthic dengan kisaran 35
40C (Welch, 1980 dalam Widiastuty, 2001). Gambar 4 memperlihatkan fluktuasi
suhu air pada stasiun-stasiun pengukuran. Suhu air rata-rata tertinggi terdapat
pada stasiun 2 sedangkan terendah pada stasiun 4.
40
Suhu (C)
30
35.4
33.5
35
27.2
29.5
30.1
35.4
31.9 31.8
28.2
31.3 31.2
27
31.2
29.7 29.2
26.6
Hasil pengukuran I
25
Hasil pengukuran II
20
15
Nilai rata-rata
10
5
0
1
Stasiun pengukuran
Suhu air rata-rata tertinggi pada stasiun 2 diduga sebagai pengaruh dari
masukan limbah cair tapioka. Menurut Suprawihadi (2001), selain bahan organik
limbah cair industri tapioka juga mengandung panas (kalor). Limbah cair tapioka
sebelum dibuang ke aliran Sungai Way Sulan Kecil telah mengalami proses
pengolahan berupa reaksi pemecahan (dissosiasi) atau dekomposisi bahan organik
oleh bakteri anaerob dan aerob di dalam Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
Proses pengolahan limbah melepas energi panas berupa kalor sehingga air limbah
memiliki suhu relatif tinggi, dan apabila limbah bercampur dengan air sungai
maka akan meningkatkan suhu air sungai.
Peningkatan suhu air Sungai Way Sulan Kecil akibat aktivitas bakteri
pengurai pada IPAL ditunjukkan oleh suhu air limbah yang relatif tinggi yaitu
32,3C (hasil pengukuran pada outlet IPAL PT. Florindo Makkmur). Namun
demikian, suhu limbah pada outlet termasuk dalam kisaran suhu yang optimum
untuk pertumbuhan bakteri yaitu 25C - 40C (Suprawihadi, 2001). Dengan
pertumbuhan bakteri yang baik pada suhu optimum tersebut, maka proses
penguraian bahan organik limbah cair tapioka oleh bakteri dapat berjalan,
sehingga diperoleh hasil penurunan konsentrasi BOD, COD, TSS, NH3, H2S dan
Sianida.
Suhu air sungai yang cukup tinggi juga terdapat pada stasiun 1 yaitu
30,1C. Hal ini diduga disebabkan banyaknya bahan-bahan organik yang
mengalami reaksi penguraian sehingga dihasilkan kalor yang cukup tinggi.
Bahan-bahan organik terutama berasal dari limbah industri, terutama industri
pakan ternak dan pakan udang yang terdapat di daerah hulu dan sepanjang aliran
Sungai Way Sulan Kecil sebelum stasiun 1. Berdasarkan sifatnya, limbah industri
pakan ternak dan pakan udang memiliki BOD, COD serta konsentrasi padatan
tersuspensi total berupa bahan organik yang tinggi, sehingga aktivitas
mikroorganisme pengurai dan energi panas yang dihasilkan semakin besar.
Dugaan tersebut ditunjukkan pula oleh nilai BOD, COD dan padatan total
tersuspensi yang relatif tinggi pada stasiun 1.
Kekeruhan (NTU)
50
48
46
39
40
37
Hasil pengukuran I
30
Hasil pengukuran II
20
10
0
0.3 0.1
17.47
15.47
0.82
3.6
14.54
0.78
3.85
13.79
1.08
Nilai rata-rata
3.3
Stasiun pengukuran
tapioka, pada Kepmen Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991 tentang
Baku Mutu Limbah Cair Untuk Industri Tapioka tidak ditetapkan baku mutu nilai
kekeruhan limbah. Namun menurut NTAC (1968) dalam Purwani (2001) kisaran
nilai kekeruhan pada Sungai Way Sulan Kecil masih tergolong normal karena
tingkat kekeruhan air yang disarankan adalah tidak melebihi 100 NTU untuk air
mengalir.
5.1.4. Padatan Terlarut Total (TDS)
Hasil pengukuran menunjukkan konsentrasi rata-rata padatan terlarut
total pada seluruh stasiun berkisar 120,67 - 643,33 mg/l. Gambar 6 menunjukkan
bahwa konsentrasi rata-rata TDS tertinggi terdapat pada stasiun 2 sedangkan TDS
pada stasiun 1 merupakan yang terendah.
1200
1000
1000
1000
800
TDS (mg/l)
1000
925
702
854
745
699
643.33
400
526
476.33
303
148
86
Hasil pengukuran I
Hasil pengukuran II
571.67
600
200
1000
162
128 120.67
158
0
1
Stasiun pe ngukuran
peningkatan zat padat dalam air baik secara terlarut, tersuspensi maupun secara
total.
Padatan terlarut pada limbah cair tapioka berasal dari proses pencucian
ubi kayu dan penyaringan. Pada proses-proses tersebut dihasilkan sisa air buangan
yang banyak mengandung karbohidrat berupa pati yang terlarut dan kotoran
lainnya, termasuk partikel tanah dalam ukuran koloid sehingga tidak segera
mengendap. Kenaikan TDS juga dapat disebabkan oleh kandungan nitrat dan
phospat yang terkandung pada limbah organik (Sutamihardja, 1983).
Rendahnya konsentrasi TDS di stasiun 1 diduga karena masukan berupa
padatan total didominasi oleh padatan tersuspensi. Penggunaan lahan dari hulu
dan sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil sampai stasiun 1 sebagian besar
merupakan pertanian lahan kering dan semak belukar, sehingga dimungkinkan
terjadinya erosi partikel tanah berukuran suspensi yang kemudian masuk ke
sungai. Demikian juga jika dilihat dari jenis industri sebelum stasiun 1 yang
didominasi oleh industri pakan ternak dan pakan udang. Limbah industri pakan
tersebut mengandung padatan total yang cenderung didominasi oleh padatan
tersuspensi (TSS). Penurunan konsentrasi TDS pada stasiun 3 dan 4
mengindikasikan adanya pengendapan partikelpartikel koloid secara berangsur
maupun penguraian partikel organik terlarut oleh mikroorganisme.
Besarnya TDS dalam suatu perairan memiliki korelasi positif dengan
kekeruhannya. Pola perubahan TDS secara spasial menyerupai pola perubahan
nilai kekeruhan yang menunjukkan adanya hubungan antara TDS dengan
kekeruhan. Korelasi ini sesuai dengan yang dikemukakan Efendi (2000) dalam
Fitriyana (2004) bahwa TDS merupakan gambaran seberapa besar (mg/l) jumlah
bahan-bahan yang menyebabkan kekeruhan perairan, namum demikian nilai TDS
yang tinggi tidak selalu diikuti tingginya nilai kekeruhan seperti halnya yang
terjadi pada air laut dan payau.
Berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No.
G/625/B.VII/HK/1995 nilai rata-rata TDS pada seluruh stasiun pengamatan masih
memenuhi kriteria baku mutu kualitas air golongan B yang telah ditetapkan untuk
Sungai Way Sulan yaitu 1000 mg/l. Sedangkan pada Kepmen Kependudukan dan
Lingkungan Hidup tahun 1991 tidak ditetapkan baku mutu untuk kandungan
padatan terlarut total pada limbah cair tapioka.
5.1.5. Padatan Tersuspensi Total (TSS)
Padatan tersuspensi total (TSS) perairan adalah jumlah bobot bahan yang
tersuspensi dalam satuan volume air tertentu dengan satuan mg/l atau bagian per
juta (ppm). Padatan ini merupakan partikel-partikel dengan ukuran maupun
bobotnya lebih kecil dibandingkan dengan padatan sedimen. Jumlah padatan
tersuspensi dapat mengurangi penetrasi sinar yang masuk ke dalam air sehingga
mengganggu proses fotosintesis tanaman air. Padatan tersuspensi dalam air
umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, kotoran manusia, kotoran hewan,
lumpur, sisa tanaman dan hewan, tanah liat, bahan-bahan organik tertentu, serta
limbah industri (Fardiaz, 1995 dan Sastrawidjaja, 1991).
Konsentrasi rata-rata TSS pada empat stasiun berkisar 110,1 - 154,47
mg/l. Menurut Lee et al. (1978) dalam Iskandar (1995), perairan dengan kisaran
TSS tersebut termasuk kategori tercemar berat. Gambar 7 memperlihatkan bahwa
konsentrasi rata-rata TSS tertinggi berada pada stasiun 1 dan terendah pada
stasiun 3. Tingginya TSS stasiun 1 diduga disebabkan oleh buangan limbah dari
industri sebelum stasiun 1 yang didominasi oleh industri pakan ternak dan pakan
udang. Dugaan ini berdasarkant sifat limbah industri pakan ternak dan pakan
udang mengandung TSS dengan konsentrasi tinggi. Selain itu, penggunaan lahan
dari hulu dan sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil sampai stasiun 1 sebagian
besar merupakan pertanian lahan kering dan semak belukar. Jenis penggunaan
lahan ini memungkinkan terjadinya erosi partikel tanah berukuran suspensi yang
kemudian masuk ke sungai dan meningkatkan konsentrasi padatan tersuspensi
dalam air sungai.
350
308
285
300
286
283
Hasil pengukuran I
TSS (mg/l)
250
Hasil pengukuran II
200
157
154.47
28.4
21.4
122.18
110.10
95
100
50
143.80
150
20.31
Nilai rata-rata
63
27
17.53
0
1
2
3
Stasiun pengukuran
Odum (1993)
menyatakan bahwa pada apabila perairan memiliki arus yang kuat, maka yang
mengendap adalah partikel yang ukurannya lebih besar. Sebaliknya, pada perairan
yang berarus lemah, maka yang mengendap ke dasar perairan adalah partikel yang
ukurannya lebih kecil. Partikel padatan tersuspensi mempunyai ukuran yang lebih
besar dari partikel terlarut dan koloid, tetapi lebih kecil dari partikel sedimen.
Konsentrasi TSS rata-rata pada stasiun 4 kembali meningkat. Hal ini diperkirakan
karena adanya masukan partikel tanah dari sisi sungai yang terbawa erosi,
mengingat stasiun 4 merupakan lokasi dengan penutupan vegetasi paling sedikit.
Menurut SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No.
G/625/B.VII/HK/1995 nilai baku mutu kualitas air golongan B untuk TSS tidak
8.44
9
7.77
7.74
7.5
6.55
6.4
5.76
6.99
6.64
5.88
6.72
6.56
5.86
6.72
6.52
5.88
Hasil pengukuran I
Hasil pengukuran II
Hasil pengukuran III
Nilai rata-rata
1
0
1
2
3
Stasiun pengukuran
pengukuran pH air limbah tapioka pada outlet IPAL PT. Florindo Makmur).
Tingginya pH limbah menandakan bahwa proses pengolahan limbah cair pada
IPAL pabrik tapioka berfungsi menaikkan pH limbah, bila mengingat sifat limbah
yang baru dihasilkan adalah memiliki pH yang relatif sangat rendah (masam).
Melalui proses pengolahan limbah, pH limbah dinaikkan sampai mendekati
normal agar saat dilepas ke perairan tidak membawa dampak merugikan baik
terhadap organisme air maupun bagi manusia yang menggunakan air sungai.
Sesuai dengan pernyataan Suprawihadi (2001) bahwa limbah cair
tapioka merupakan limbah yang memiliki nilai pH rendah (saat baru dihasilkan,
pH limbah mencapai 4), namun nilai pH limbah dapat naik bila dilakukan
pengolahan secara efisien dalam IPAL. Selain itu, peningkatan pH air sungai juga
karena pada limbah cair tapioka, selain mengandung bahan organik, juga dapat
mengandung larutan alkali. pH air sungai rata-rata pada stasiun 3 dan 4 kembali
mengalami penurunan, namun masih berada pada kisaran normal. Penurunan ini
disebabkan penguraian bahan organik sehingga meningkatkan asiditas perairan
Way Sulan Kecil.
Nilai pH rata-rata untuk semua stasiun pengukuran masih berada pada
kisaran yang normal dan ideal bagi organisme air pada umumnya yaitu 6 9.
Menurut
SK
Gubernur
Kepala
Daerah
Tingkat
Lampung
No.
Kecil.
Demikian
pula jika
ditinjau
berdasarkan
Kepmen
Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991, pH limbah cair tapioka masih
di bawah baku mutu baku mutu yaitu 6 9, sehingga aman untuk dibuang ke
Sungai Way Sulan Kecil.
5.1.7. DO (Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut (DO) merupakan faktor yang sangat penting bagi
kehidupan organisme pada ekosistem perairan. Adanya oksigen terlarut
memungkinkan organisme perairan melakukan respirasi yang mendukung proses
metabolisme. Berkaitan dengan pencemaran, terutama yang disebabkan oleh
limbah organik, nilai oksigen merupakan unsur pokok yang paling penting dan
sering digunakan untuk mengamati pengaruh dari pencemaran limbah organik
tersebut terhadap lingkungan perairan. Fluktuasi kandungan DO pada empat
stasiun pengukuran selama waktu penelitian diperlihatkan pada Gambar 9.
7
6
Hasil pengukuran I
DO (mg/l)
4.1
4
3
3.6
3
3.10
2.7
Hasil pengukuran II
3.4
3.2
2.6 2.5
2.97
2.77
2.9 2.8
3.03
2.4 2.4
Baku mutu
minimum
1
0
1
2
3
Stasiun pengukuran
sungai Way Sulan Kecil, industri merupakan jenis penggunaan lahan yang
berpotensi paling besar dalam menyebabkan pencemaran.
Limbah industri diperkirakan berpengaruh besar dalam menurunkan
kandungan DO di perairan Way Sulan Kecil. Konsentrasi DO di stasiun 1 yang
relatif rendah diduga disebabkan besarnya kandungan bahan organik pada limbah
industri. Limbah industri tersebut berasal dari industri-industri di hulu dan
sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil sebelum stasiun 1. Jenis penggunaan
lahan sebelum stasiun 1 yang berupa tanah industri sendiri, didominasi oleh
industri pakan ternak dan pakan udang. Iskandar (1995) menyatakan bahwa
limbah industri pakan sering menimbulkan masalah pencemaran perairan karena
BOD yang tinggi serta rendahnya kandungan oksigen terlarut. Limbah pakan
mengalami penguraian menjadi bahan beracun, seperti H2S, ammonia dan nitrit,
sehingga akibat dari buangan organik dalam jumlah yang berlebihan adalah
penurunan kandungan oksigen terlarut dalam air.
Konsentrasi DO pada stasiun 2 semakin menurun setelah mendapat
masukan limbah cair tapioka. Sukamto (1998) menyatakan bahwa akibat yang
ditimbulkan oleh cemaran tapioka adalah menurunnya kadar oksigen dalam air.
Penurunan nilai DO pada dasarnya dapat terjadi karena berbagai sebab yaitu
kenaikan temperatur, rendahnya fotosintesis tanaman air, besarnya respirasi
seluruh organisme air, aerasi yang kurang baik, kehadiran gas-gas lain serta
adanya masukan bahan-bahan organik sehingga reaksi pemecahan yang
memerlukan oksigen meningkat. Heriyati (2001) menyebutkan bahwa warna air
limbah juga akan mengakibatkan turunnya kandungan oksigen di perairan yang
menerima limbah tersebut.
Penurunan DO di stasiun 2 disebabkan terjadi dekomposisi bahan
organik oleh mikroorganisme yang membutuhkan oksigen. Stasiun 2 diperkirakan
merupakan zona aktif dekomposisi bagi mikroorganisme dalam penguraian bahan
organik yang terkandung dalam limbah cair tapioka. Pada kurva perubahan tipe
kualitas air menurut Hynes (1960) dalam Persoone dan De Pauw (1979), dapat
dilihat bahwa zona aktif dekomposisi ditandai dengan penurunan kadar oksigen
terlarut dalam air hingga mencapai konsentrasi paling rendah, serta BOD yang
mulai mengalami sedikit penurunan akibat berkurangnya bahan organik yang
mengalami penurunan di setiap stasiun pengamatan dapat dilihat pada Gambar 10.
450
400
350
400
400
400
400
351
COD (mg/l)
300
250
192 186.33
200
184
160
150
149.33
144
144
112
104
96.00
100
50
62
32
16
84.67
Hasil pengukuran I
Hasil pengukuran II
Hasil pengukuran III
Nilai rata-rata
Baku mutu maksimum
48
0
1
2
3
Stasiun pengukuran
Gambar 10. Hasil pengukuran COD pada Sungai Way Sulan Kecil
di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur.
Konsentrasi rata-rata COD tertinggi pada stasiun 1 diduga disebabkan
oleh besarnya kandungan bahan organik pada limbah yang berasal dari industri
pakan ternak dan pakan udang di daerah hulu sungai dan sepanjang aliran sungai
sebelum stasiun 1. Sedangkan pada stasiun 2 yang merupakan bagian Sungai Way
Sulan Kecil sesaat setelah menerima limbah cair tapioka justru terjadi penurunan
nilai rata-rata COD. Penurunan COD ini mengindikasikan bahwa limbah cair
tapioka diduga memiliki pengaruh berupa pengenceran terhadap aliran Sungai
Way Sulan Kecil yang telah tercemar limbah organik. Pengukuran COD air
limbah menghasilkan nilai yang lebih rendah daripada stasiun 1, yaitu 124,33
mg/l (hasil pengukuran pada outlet IPAL PT. Florindo Makmur selama
penelitian). Rendahnya nilai COD limbah dipengaruhi oleh suhu limbah yang
termasuk kisaran optimum untuk pertumbuhan bakteri. Pertumbuhan bakteri yang
baik pada suhu optimum menyebabkan proses penguraian bahan organik oleh
bakteri dapat berjalan efektif dan diperoleh hasil berupa penurunan COD
(Suprawihadi, 2001). Efek pengenceran membantu daya pemulihan aliran sungai
secara alami (self purification).
Penurunan COD pada stasiun 2 juga dapat terjadi karena bahan organik
pada staiun 1 telah mengalami penguraian sebelum mencapai stasiun 2, sehingga
pada stasiun 2 konsentrasinya telah berkurang. Masukan bahan organik dari
limbah cair tapioka yang relatif lebih sedikit daripada stasiun 1, tidak
menyebabkan konsentrasi bahan organik pada stasiun 2 melebihi konsentrasinya
di stasiun 1. Kecenderungan penurunan nilai COD juga dialami oleh stasiun 3 dan
4 seiring dengan makin sedikitnya kandungan bahan organik yang didekomposisi,
sehingga kebutuhan oksigen untuk reaksi penguraian bahan organik secara
kimiawi berkurang.
Menurut SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No.
G/625/B.VII/HK/1995, konsentrasi COD Sungai Way Sulan Kecil masih berada
di bawah baku mutu yang ditetapkan untuk kualitas air golongan B. Demikian
pula menurut Kepmen Kependudukan dan Lingkungan Hidup, COD limbah masih
di bawah baku mutu yang ditetapkan untuk limbah cair tapioka.
5.1.9. BOD (Biochemical Oxygen Demand)
BOD merupakan gambaran dari jumlah oksigen yang dibutuhkan
mikroorganisme dalam menguraikan (mendekomposisi) bahan organik. Nilai
BOD rata-rata pada empat stasiun berkisar 31,33 57,33 mg/l. Nilai rata-rata
BOD tertinggi terdapat pada stasiun 1, sedangkan BOD terendah pada stasiun 4.
Hasil pengukuran BOD pada setiap stasiun diperlihatkan pada Gambar 11.
140
127
120
Hasil pengukuran
BOD (mg/l)
100
Hasil pengukuran II
80
80
57.33
60
47.00
40
40
40
33
23
20
0
1
32.00
31.33
23
Nilai rata-rata
Baku mutu maksimum
11
60
52
2
3
Stasiun pengukuran
Gambar 11. Hasil pengukuran BOD pada Sungai Way Sulan Kecil
di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur.
Tingginya nilai BOD pada stasiun 1 diduga karena pengaruh limbah dari
industri pakan ternak dan pakan udang yang terletak di hulu dan sepanjang aliran
Sungai Way Sulan Kecil sebelum stasiun 1. Limbah industri pakan ternak dan
pakan udang merupakan polutan yang kaya bahan organik dan memiliki BOD
tinggi sehingga dapat meningkatkan nilai BOD Sungai Way Sulan Kecil.
Penurunan nilai rata-rata BOD yang cukup besar, mencapai 10,33 mg/l, terjadi
pada stasiun 2 walaupun stasiun ini merupakan bagian aliran sungai sesaat setelah
mendapat masukan limbah cair tapioka.
Kecenderungan penurunan BOD pada stasiun 2 diduga merupakan efek
pengenceran dari limbah cair tapioka, dimana sebagian besar komponennya
berupa air. Pada dasarnya, limbah tapioka saat baru dihasilkan memiliki tingkat
BOD yang tinggi karena besarnya kandungan bahan organik. Menurut Effendi
(1984) dalam Suprawihadi (2001), Total Organic Carbon pada limbah cair
tapioka sebesar 1512,40 mg/l dan BOD limbah mencapai 198,25 mg/l. Namun
dengan adanya treatment berupa penguraian (dekomposisi) oleh bakteri aerob dan
anaerob dalam IPAL, maka BOD dapat diturunkan sehingga dinilai aman bagi
lingkungan. Dugaan ini diperkuat dari hasil pengukuran BOD pada outlet limbah
yang menunjukkan nilai BOD limbah cair tapioka lebih rendah daripada stasiun 1
yaitu 22 mg/l. Rendahnya nilai BOD limbah dipengaruhi oleh suhu limbah yang
termasuk kisaran optimum untuk pertumbuhan bakteri. Pertumbuhan bakteri yang
baik pada suhu optimum menyebabkan proses penguraian bahan organik oleh
bakteri dapat berjalan efektif dan diperoleh hasil berupa penurunan BOD
(Suprawihadi, 2001).
Penurunan BOD pada stasiun 2 menunjukkan bahwa limbah cair tapioka
yang dibuang ke aliran Sungai Way Sulan Kecil memberi efek pengenceran
terhadap air sungai yang telah tercemar limbah dengan nilai BOD relatif tinggi.
Adanya masukan limbah yang sebagian besar komponennya berupa air
menyebabkan penurunan konsentrasi bahan organik pada Sungai Way Sulan
Kecil, sehingga kemampuan aliran sungai dalam memulihkan dirinya dari
pencemaran secara alami (self purification) akan meningkat. Penurunan BOD
pada stasiun 2 juga dapat terjadi karena bahan organik pada stasiun 1 telah
mengalami penguraian sebelum mencapai stasiun 2, sehingga pada stasiun 2
konsentrasinya telah berkurang. Masukan bahan organik dari limbah cair tapioka
yang relatif lebih rendah daripada stasiun 1, tidak menyebabkan konsentrasi bahan
organik pada stasiun 2 melebihi konsentrasinya di stasiun 1. Nilai BOD kembali
mengalami penurunan pada stasiun 3 dan 4. Penurunan ini diperkirakan karena
berkurangnya bahan organik sehingga proses dekomposisi oleh mikroorganisme
yang memerlukan oksigen berkurang. Stasiun 3 dan 4 disebut juga zona
pemulihan (recovery).
Penurunan BOD di stasiun 2 juga mengindikasikan bahwa pada stasiun
tersebut merupakan zona aktif dekomposisi bagi aktivitas mikroorganisme dalam
penguraian bahan organik yang terkandung dalam limbah cair tapioka. Pada kurva
perubahan tipe kualitas air menurut Hynes (1960) dalam Persoone dan De Pauw
(1979), dapat dilihat bahwa zona aktif dekomposisi ditandai dengan penurunan
kadar oksigen terlarut dalam air hingga mencapai konsentrasi paling rendah, serta
BOD yang mulai mengalami sedikit penurunan akibat berkurangnya bahan
organik yang didekomposisi oleh mikroorganisme. Kurva perubahan tipe kualitas
air menurut Hynes (1960) dalam Persoone dan De Pauw (1979) dapat dilihat pada
Lampiran 15.
Berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No.
G/625/B.VII/HK/1995 nilai rata-rata BOD pada empat stasiun pengamatan telah
melampaui baku mutu kualitas air golongan B, dan hanya memenuhi baku mutu
kualitas air golongan C pada SK tersebut. Sedangkan menurut Kepmen
Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991 nilai rata-rata BOD pada
limbah cair tapioka masih di bawah baku mutu yang ditetapkan.
5.1.10. Nitrat
Nitrat mewakili produk akhir dari pengoksidasian zat yang bersifat
nitrogen. Nitrogen di perairan terdapat dalam berbagai bentuk seperti gas (N2),
nitrit (NO2-), nitrat (NO3-), ammonia (NH3) dan amonium (NH4+) serta sejumlah
besar N yang berikatan dalam organik kompleks (APH, 1989 dalam Mayani,
2000). Berdasarkan hasil analisis, didapat kandungan rata-rata nitrat yang cukup
tinggi pada seluruh stasiun pengamatan yaitu berkisar 0,35 0,83 mg/l. Menurut
Effendi (2000) dalam Zola (2004) konsentrasi ini sudah melebihi yang dimiliki
perairan alami yang hanya 0,1 mg/l. Limbah cair tapioka merupakan salah satu
limbah yang berpotensi besar menambah muatan nitrogen ke dalam perairan
karena dalam ubi kayu terdapat kandungan protein mencapai 0,5 1,5%. Protein
merupakan sengawa yang dibentuk oleh unsur karbon, hidrogen, oksigen dan
nitrogen sehingga apabila teroksidasi akan terbentuk senyawa nitrat.
12
10
10
10
10
10
Hasil pengukuran I
Nitrat (mg/l)
8
Hasil pengukuran II
6
1.41
1.1
0.42
0.46 0.66
0.56
0.83
0.51
0
1
1.19
0.11
0.02
2
3
Stasiun pengukuran
0.44
0.46
0.51
0.09
0.35
Gambar 12. Hasil pengukuran nitrat pada Sungai Way Sulan Kecil
di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur.
`
Pada Gambar 12 diperlihatkan bahwa kandungan nitrat tertinggi terdapat
pada stasiun 2 yang diduga disebabkan adanya masukan limbah yang
mengandung nitrat dari industri tapioka. Pihak pabrik tapioka sendiri
menyumbangkan nitrat sebesar 1,07 mg/l ke badan sungai (hasil analisis limbah
pada outlet limbah). Peningkatan kadar nitrat mengindikasikan efisiensi dalam
pembenahan air limbah (Mahida, 1984). Namun, bila nitrat di perairan terdapat
dalam konsentrasi tinggi akan merangsang pertumbuhan ganggang yang tak
terbatas sehingga air kekurangan oksigen terlarut dan mengakibatkan kematian
bagi organisme akuatik yang tidak tahan dengan kondisi DO rendah (Alaerts dan
Santika, 1984). Limbah organik berpotensi besar dalam meningkatkan konsentrasi
nitrat di perairan. Pengaruh limbah organik terhadap konsentrasi nitrat di perairan
Way Sulan Kecil juga dapat dilihat pada stasiun 1 dimana kandungan nitrat juga
telah melebihi konsentrasi pada perairan alami. Tingginya kandungan nitrat pada
stasiun 1 diduga karena pengaruh limbah organik dari industri-industri di hulu dan
sepanjang Sungai Way Sulan Kecil sebelum stasiun 1.
Kandungan nitrat berangsur mengalami penurunan pada stasiun 3 dan 4.
Penurunan kandungan nitrat terjadi karena pemanfaatan atau penyerapan nitrat
oleh organisme akuatik, maupun pengendapan nitrat sehingga konsentrasinya
pada perairan berkurang. Seperti yang dikemukakan Welch (1980) dalam Mayani
(2000), pada umumnya fitoplankton memanfaatkan nitrogen anorganik seperti
nitrat (NO3-N) dan ammonia ( NH3-N).
Konsentrasi nitrat pada aliran Sungai Way Sulan Kecil masih memenuhi
baku mutu kualitas air golongan B berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995, yaitu 10 mg/l. Sedangkan untuk
konsentrasi nitrat dalam limbah cair tapioka tidak ditetapkan baku mutunya pada
Kepmen Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991.
5.1.11. Fosfat
Fosfat merupakan salah satu faktor penting dalam perairan, meski hanya
dibutuhkan dalam jumlah sedikit. Dalam air limbah, fosfat dapat berasal dari
limbah penduduk, industri dan pertanian (Alaerts dan Santika, 1984). fosfat tidak
bersifat toksik bagi organisme perairan. Namun bila kadar fosfat tinggi dan diikuti
kadar nitrogen tinggi maka akan mendukung pertumbuhan alga secara berlebihan
sehingga terjadi ledakan alga (algae bloom).
Berdasarkan hasil pengukuran fosfat, diketahui kandungan rata-rata
fosfat pada seluruh stasiun pengukuran yaitu 0,16 0,79 mg/l. Kisaran ini masih
memenuhi kadar fosfat pada perairan alami. Menurut Boyd (1988) dalam Zola
(2004) kadar fosfat perairan secara alami jarang melebihi 1 mg/l. Pada Gambar 13
dapat dilihat bahwa terdapat kenaikan kadar fosfat dari stasiun 1 ke 2. Kenaikan
kadar fosfat menandakan bahwa terdapat masukan limbah organik, dalam hal ini
limbah cair tapioka. Menurut hasil pengukuran outlet limbah, limbah cair tapioka
berkadar fosfat sebesar 1,29 mg/l (hasil pengukuran pada outlet IPAL PT.
Florindo Makmur selama penelitian). Namun kadar fosfat kembali mengalami
penurunan pada stasiun 3 dan 4. Penurunan ini biasanya disebabkan fosfor
mengalami pengendapan bersama partikel lumpur sehingga unsur tersebut
menghilang dari badan air (Welch, 1980 dalam Mayani, 2000). Penurunan juga
diduga terjadi karena adanya pemanfaatan fosfor oleh organisme akuatik seperti
fitoplankton.
1.2
1.09
Pospat (mg/l)
1
0.79
0.8
0.55
0.6
0.4
0.2
Hasil pengukuran I
0.73
0.28
0.18
0.16
Hasil pengkuran II
0.57
0.49
0.21
0.42
0.43
0.42
0.36
Nilai rata-rata
0.23
0.01
0
1
2
3
Stasiun pengukuran
Gambar 13. Hasil pengukuran fosfat pada Sungai Way Sulan Kecil
di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur.
Unsur fosfor dalam senyawa fosfat termasuk komponen yang sangat
penting dan sering dipermasalahkan dalam air. Unsur ini berkaitan dengan
esensial pertumbuhan ganggang dalam air karena bertindak sebagai nutrien yang
dibutuhkan oleh ganggang, sehingga fosfor termasuk faktor pembatas dalam
perairan. Menurut Alaerts dan Santika (1987), bila kadar fosfat dan nutrien
lainnya tinggi akan menyebabkan pertumbuhan ganggang yang tak terbatas
sehingga menghabiskan oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme air.
Berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No.
G/625/B.VII/HK/1995 tidak ditetapkan baku mutu konsentrasi fosfat untuk
berbagai peruntukan air sungai. Demikian pula dalam Kepmen Kependudukan
dan Lingkungan Hidup tahun 1991 tidak ditentukan baku mutu fosfat pada limbah
cair tapioka.
5.1.12. Sianida
Sianida merupakan senyawa khas bersifat toksik yang terkandung dalam
limbah industri yang menggunakan ubi kayu sebagai bahan baku kegiatan
produksinya. Sianida banyak terkandung dalam singkong beracun yang pada
umumnya merupakan bahan dasar industri tapioka. Kadar rata-rata sianida pada
perairan menurut hasil pengukuran selama waktu penelitian berkisar 0,002 0,08
mg/l. Kandungan sianida tertinggi terdapat pada stasiun 2 sedangkan kandungan
terendah pada stasiun 4, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 14
0.18
0.17
0.16
Sianida (mg/l)
0.14
Hasil pengukuran I
0.12
0.06
Nilai rata-rata
0.05
Baku mutu
maksimum
0.03
0.04
0.02
0.08
0.08
0.06
Hasil pengukuran II
0.1
0.1
0.02
0.003
0.01
0.001
0.02
0.01
0.001
0.01
0.001
2
3
Stasiu n pe ngukuran
0.004 0.01
0.001 0.0010.002
Gambar 14. Hasil pengukuran sianida pada Sungai Way Sulan Kecil
di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur.
Konsentrasi sianida tertinggi pada stasiun 2 disebabkan masukan limbah
cair tapioka yang mengandung sianida dengan kadar relatif tinggi, sehingga
menyebabkan peningkatan konsentrasi sianida di perairan Way Sulan Kecil. Hasil
pengukuran pada outlet limbah menunjukkan bahwa kadar sianida limbah cair
tapioka mencapai 0,09 mg/l, sehingga pada stasiun 2 terjadi peningkatan
konsentrasi sianida yang cukup tinggi.
Pada Gambar 14 diperlihatkan bahwa aliran sungai sebelum terkena
limbah cair tapioka (stasiun 1) juga memiliki kandungan sianida relatif tinggi dan
telah melampaui baku mutu maksimum yang diperbolehkan untuk kualitas air
golongan B, yaitu 0.02 mg/l. Hal ini mengindikasikan bahwa aliran Sungai Way
Sulan Kecil telah mendapat masukan limbah yang mengandung sianida sebelum
mendapat masukan limbah cair tapioka. Bila dilihat dari jenis industri yang
memungkinkan
terjadinya
penguapan
sianida
dan
penurunan
konsentrasinya di perairan.
Menurut SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No.
G/625/B.VII/HK/1995, sianida pada Sungai Way Sulan Kecil (stasiun 1, 2 dan 3)
telah melebihi baku mutu kualitas air golongan B. konsentrasi sianida pada stasiun
1 hanya memenuhi baku mutu kualitas air golongan C, sedangkan stasiun 2 dan 3
termasuk golongan D. Namun, pada stasiun 4 kadar sianida telah di bawah baku
mutu kualitas air yang ditetapkan untuk perairan golongan B. Menurut Kepmen
Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991, konsentrasi sianida pada
limbah masih di bawah baku mutu yang ditetapkan untuk limbah cair tapioka
yaitu 0,5 mg/l.
5.2. Struktur Komunitas Makrozoobentos
Hasil pengamatan makrozoobenthos di aliran Sungai Way Sulan Kecil
menunjukkan bahwa telah ditemukan 26 jenis makrozoobenthos yang tergolong
dalam phyllum Annelida dengan 2 kelas yaitu Oligochaeta (6 genus) dan
Hirudinea (3 genus), phyllum Arthropoda dengan 6 kelas yaitu Coleoptera (3
genus), Copepoda (4 genus), Diptera (4 genus), Adonata, Ephemenoptera dan
Hemiptera (masing-masing 1 genus), phyllum Aschelminyhes dengan 1 kelas
yaitu Nematoda (1 genus), phyllum mollusca dengan 1 kelas yaitu
keseluruhan,
nilai
kepadatan
atau
kemelimpahan
Kepadatan (ind/m2)
70
66
63
64
60
50
39
Stasiun 1
40
Stasiun 2
30
Stasiun 3
20
Stasiun 4
10
0
lingkungan
perairan
sangat
mempengaruhi
kehidupan
organisme yang hidup pada lingkungan tersebut. Oleh karena itu, nilai kepadatan
makrozoobenthos dapat digunakan untuk menggambarkan kualitas lingkungan
perairan. Semakin buruk kualitas suatu perairan, maka kepadatannya akan
semakin kecil, demikian pula jenisnya. Pada kualitas lingkungan yang semakin
buruk, jenis makrozoobenthos yang ditemukan akan semakin sedikit karena hanya
jenis-jenis yang mampu beradaptasi saja yang dapat bertahan.
Indeks
Keanekaragaman (H)
Keseragaman (E)
Dominansi (D)
1
2,25
0,83
0,16
Stasiun
2
1,58
0,60
0,33
3
1,63
0,60
0,33
4
2,04
0,75
0,20
Sulan Kecil pada seluruh titik pengamatan termasuk dalam kategori tercemar
sedang. Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener pada stasiun 1 menunjukkan
bahwa telah terjadi pencemaran pada bagian aliran sungai sebelum mendapat
masukan limbah cair tapioka yang diduga disebabkan beban limbah dari industriindustri sebelum stasiun 1.
Melalui
indeks
keanekaragaman
Shannon-Wiener
dapat
dilihat
penurunan kualitas perairan sebagai dampak yang ditimbulkan oleh limbah cair
industri tapioka. Penurunan kualitas perairan tersebut ditunjukkan oleh penurunan
indeks keanekaragaman makrozoobenthos yang cukup besar dari stasiun 1 ke
stasiun 2 hingga merupakan indeks yang paling rendah dari stasiun-stasiun
lainnya. Nilai keanekaragaman Shannon-Wiener yang kembali meningkat pada
stasiun 3 dan 4. Hal tersebut diduga karena terjadi perbaikan kondisi lingkungan
perairan (sifat fisik-kimia air). Terjadinya pencemaran di Sungai Way Sulan Kecil
juga dapat dilihat dari keberadaan beberapa spesies makrozoobenthos yang
berperan sebagai indikator pencemaran perairan. Makrozoobenthos indikator
tersebut antara lain: cacing Tubificidae, Muscullium sp, Diptera dan
Chironomidae yang memiliki sifat toleran dan sangat tahan terhadap bahan
pencemar. Selain itu juga ditemukan makrozoobenthos yang termasuk Crustacea
(Copepoda), Coleoptera dan Ephemenoptera yang memiliki ketahanan sedang
terhadap pencemaran (Wilhm, 1975).
Indeks keseragaman (E) secara umum memiliki kisaran 0 1, dimana
nilai E yang semakin mendekati satu berarti bahwa komunitas memiliki
keseragaman jenis yang semakin tinggi. Sebaliknya, nilai E yang semakin
mendekati nol menggambarkan sebaran individu yang tidak merata dan
diperkirakan terjadi dominansi dari sekelompok jenis tertentu yang telah mampu
beradaptasi dengan lingkungan perairan yang telah tercemar. Hasil perhitungan
nilai E pada seluruh stasiun pengukuran berkisar 0.60 0.83 (Tabel 12). Kisaran
indeks keseragaman pada stasiun 1 dan 4 termasuk tingkat keseragaman jenis
tinggi. Sedangkan stasiun 2 dan 3 memiliki indeks keseragaman yang sama dan
digolongkan ke dalam tingkat keseragaman jenis sedang. Besarnya indeks
keseragaman dipengaruhi oleh indeks dominansi. Seperti yang dikemukakan
Odum (1993) bahwa indeks dominansi yang semakin kecil akan meningkatkan
indeks kemerataan.
Berdasarkan Tabel 13, dapat pula dilihat bahwa indeks dominansi (D)
pada empat stasiun pengamatan berkisar antara 0,16 0,33. Nilai tersebut
menunjukkan dominansi dalam derajat yang rendah oleh satu atau sekelompok
jenis makrozoobenthos.
5.3. Beban Pencemaran Industri Tapioka PT. Florindo Makmur terhadap
Sungai Way Sulan Kecil.
Beban pencemaran industri tapioka yang dimaksud adalah besarnya
massa limbah, khususnya dalam bentuk parameter pencemar air seperti BOD,
COD, padatan tersuspensi (TSS) dan padatan terlarut (TDS). Beban pencemaran
industri tapioka hasil perhitungan menggunakan faktor konversi beban limbah
seperti yang disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Beban pencemaran industri tapioka PT. Florindo Makmur
Kapasitas
produksi
21000 ton/th
BOD
Beban pencemar
COD
TSS
TDS
Satuan
281400
458430
203700
888300
kg/th
8923,1
14536,7
6459,3
28167,8
mg/dt
Volume
limbah
432.525
m3/th
13,72 l/dt
Kapasitas
produksi
Faktor
konversi
Beban
limbah
Konversi
beban
limbah
e.
Debit
limbah
f.
Konsentrasi
pencemar
(a)
g.
Debit
limbah pada
outlet*)
h.
Konsentrasi
pencemar
(b)
Keterangan :
Satuan
ton/th
Nilai
BOD
COD
TSS
TDS
21000
13.4
21.83
9.7
42.3
28140
0
8923.1
458430
203700
888300
14536.7
6459.3
28167.8
650.37
1059.53
470.79
2053.05
316.8
516
229.3
999.9
kg/ton
a x b (kg/th)
c x 1000000
x 1/(365 x
24 x 60 x
60) mg/dt
liter/dt
13.72
d/e (mg/l)
liter/dt
28.17
*) debit limbah rata-rata pada outlet IPAL yang diukur pada saat penelitian.
(a) Konsentrasi pencemar pada debit menurut volume limbah yang dihasilkan PT.
Florindo Makmur.
(b) Konsentrasi pencemar pada debit hasil pengukuran.
Dalam memperkirakan beban pencemaran PT. Florindo Makmur
terhadap Sungai Way Sulan Kecil juga dihitung konsentrasi pencemar pada zona
percampuran (mixing zone). Mixing zone yang dimaksud adalah bagian perairan
sesaat setelah menerima limbah cair tapioka dan diperkirakan limbah telah
mengalami percampuran dengan air sungai. Pada penelitian ini, yang dimaksud
mixing zone adalah stasiun 2. Hasil selengkapnya mengenai konsentrasi beban
limbah pada zona percampuran (mixing zone) disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Konsentrasi beban pencemaran pada zona percampuran (mixing zone)
No.
Metode
Beban Limbah (mg/l)
Pendugaan
TDS TSS BOD COD Nitrat Fosfat Sianida
Konsentrasi
1. Pengukuran
643,33 143,8 47
149,33 0,83 0,79
0,08
langsung
2. Model pengenceran 149,14 153,35 55,53 183,17 0,68 0,22
0,07
sungai
(mixing zone)
3. Perhitungan hasil
53,65 229,30 316,76 516,03
faktor konversi
Besarnya konsentrasi beban limbah pada zona percampuran diduga
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan
sebagai berikut :
1. Kondisi kualitas Sungai Way Sulan Kecil di Sub DAS Way Sulan, DAS
Sekampung dari hulu ke hilir menurut sifat fisik dan kimia air telah
mengalami pencemaran. Limbah cair industri tapioka turut menimbulkan
dampak pada sifat fisik kimia air Sungai Way Sulan Kecil berupa peningkatan
nilai warna, suhu air, kekeruhan, TDS, pH, nitrat, fosfat dan sianida, serta
penurunan TSS, DO, BOD dan COD.
2. Kualitas fisika-kimia perairan Sungai Way Sulan Kecil tidak memenuhi
persyaratan baku mutu kualitas air golongan B pada Surat Keputusan
Gubernur Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995. Hal tersebut sesuai dengan
hasil pengukuran DO yang berada di bawah baku mutu minimum serta BOD
dan kadar sianida yang melebihi baku mutu maksimum yang ditetapkan untuk
kualitas air sungai golongan B. Kualitas air Sungai Way Sulan Kecil di titiktitik pengukuran hanya memenuhi peruntukan baku mutu golongan C (stasiun
1 dan 4) dan D (stasiun 2 dan 3).
3. Kepadatan makrozoobentos pada seluruh stasiun termasuk rendah (tidak
melimpah), yaitu 39 66 ind/m2. Indeks keseragaman berkisar 0,60 0,83
(kategori sedang sampai tinggi) dan indeks dominansi berkisar 0,16 0,33
(dominansi rendah). Sedangkan menurut indeks keanekaragaman ShannonWiener, tingkat pencemaran disemua stasiun adalah sama, yaitu tercemar
sedang dengan H berkisar 1,58 2,25.
4. Beban pencemaran pabrik tapioka PT. Florindo Makmur ke Sungai Way
Sulan Kecil yaitu BOD sebesar 281400 kg/th atau 8923,1 mg/dt, COD sebesar
458430 ton/th atau 14536,7 mg/dt, SS sebesar 203700 kg/dt atau 6459 mg/dt
dan TDS sebesar 888300 kg/dt atau 28167,8 mg/dt.
6.2. Saran
1. Perlu diadakan unit instalasi pengolahan limbah cair yang lebih representatif
dengan teknologi modern pada industri tapioka PT. Florindo Makmur. Hal
tersebut mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan limbah industri
tapioka tersebut terhadap lingkungan perairan dan teknologi pengolahan
limbah cair yang masih sangat sederhana.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dampak limbah cair industri
tapioka terkait efek pengenceran limbah tersebut terhadap konsentrasi BOD
dan COD di Sungai Way Sulan Kecil yang telah tercemar limbah organik.
DAFTAR PUSTAKA
Alaerts G, dan Santika SS. 1984. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional.
Surabaya.
Bapedalda Propinsi Lampung. 2003. Laporan Akhir Penyusunan Teknis Desain
Pengelolaan Limbah Terpadu Teluk Lampung. (tidak dipublikasikan)
__________________________. 2004. Teknis Analisis Pencemaran Air Sungai.
Kabupaten Lampung Selatan. (tidak dipublikasikan)
Fardiaz, S. 1995. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta.
Fitriyana, I. 2004. Kualitas Perairan Sungai Citarum Berdasarkan Indeks Kualitas
Air dan Indeks Biotik. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan)
Goldman, C. R. dan A. J. Horne. 1983. Limnology. McGrow-Hill Book
Company.
Heriyati. 2001. Kajian Terhadap Pengolahan Air Limbah PT. Indonesia Synthetic
Textile Mills, Tangerang, Banten. Skripsi. Program Manajemen
Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB.
Bogor. (tidak dipublikasikan)
Husin, Y. A. dan K. Eman. 1991. Metoda dan Teknik Analisa Kualitas Air.
Kursus Dasar dan Penyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Lembaga Penelitian IPB. Bogor.
Iskandar. 1995. Struktur Komunitas makrozoibentos di Kawasan Pandu Tambak
Inti Rakyat Karawang Jawa Barat. Tesis. Program Pascasarjana. IPB.
Bogor. (tidak dipublikasikan)
Kantor Menteri Negara KLH. 1988. Pedoman Baku Mutu Lingkungan. Nomor
Kep-02/MENKLH/I/1988. Sekretariat Menteri Negara Kependudukan
dan Lingkungan Hidup. Jakarta.
Klein, L. 1971. River Pollution. Volume I. Butterworth. London.
Kompas.
2002.
Industri
di
Lampung
Cemari
Lingkungan.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0202/21/daerah/indu19.htm.
Dikunjungi tanggal 26 Desember 2004.
Lampiran 1. Hasil analisis sifat fisik kimia air Sungai Way Sulan Kecil di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur
Stasiun Ulangan
keWarna Suhu Kekeruhan TDS
(Ptco) (C)
(NTU)
(mg/l)
I
II
III
IV
Outlet
1
10
2
3
3
1.5
Rata-rata 4.8
1
30
2
8
3
5.2
Rata-rata 14.4
1
28
27.2
29.5
33.5
30.1
28.2
35.4
31.9
31.8
27
46
0.3
0.1
15.47
48
0.82
3.6
17.47
39
86
148
128
120.67
303
702
925
643.33
162
21.4
157
285
154.47
28.4
95
308
143.80
20.31
Parameter/Satuan
PH
DO BOD COD Nitrat
(mg/l) (mg/l (mg/l) (mg/l)
)
7.5
3.6
127 351
1.1
6.4
3
5
16
0.42
5.76
2.7
40
192
0.46
6.55
3.10 57.33 186.33 0.66
8.44
3.2
52
104
1.41
6.64
2.6
9
184
0.56
5.88
2.5
80
160
0.51
6.99
2.77 47.00 149.33 0.83
7.74
4.1
40
144
1.19
2
3
Rata-rata
1
2
3
Rata-rata
7
2.3
11.7
25
5
1.7
10.6
35.4
31.3
31.2
26.6
31.2
29.7
29.2
0.78
3.85
14.54
37
1.08
3.3
13.79
699
854
571.67
158
526
745
476.33
27
283
110.10
17.53
63
286
122.18
6.56
5.86
6.72
7.77
6.52
5.88
6.72
2.4
2.4
2.97
3.4
2.9
2.8
3.03
1
2
3
Rata-rata
29
11
4.8
15
29
35.5
32.4
32.3
49.2
1.21
4.5
18.30
319
719
1001
679.67
17.3
35
345
132.43
7.5
6.7
5.93
6.71
3.9
3.1
2.9
3.3
TSS
(mg/l)
23
32
33
112
32.00 96.00
23
62
11
48
60
144
31.33 84.67
25
19
22
22
112
181
80
124.33
Fosfat Sianida
(mg/l) (mg/l)
0.18
0.01
0.28
0.16
0.73
1.09
0.55
0.79
0.21
0.001
0.003
0.06
0.02
0.05
0.02
0.17
0.08
0.001
0.11
0.02
0.44
0.46
0.51
0.09
0.35
0.49
0.57
0.42
0.23
0.42
0.43
0.36
0.001
0.1
0.03
0.001
0.004
0.001
0.002
1.7
0.9
0.6
1.07
1.09
1.3
1.47
1.29
0.14
0.013
0.11
0.09
Kec.
Arus
(m/dt)
0.6
0.8
0.7
0.7
0.8
0.9
0.9
0.87
0.5
Debit
(l/dt)
0.7
0.6
0.6
0.4
0.4
0.4
0.4
-
612.5
525
525
174
174
174
174
26.9
27.8
29.8
28.17
450
600
525
525
600
675
675
652.5
437.5
Kelas
Famili
1 Annelida
2 Annelida
Oligochaeta Chaestogaster
Oligochaeta Aelosomatidae
3
4
5
6
7
Annelida
Annelida
Annelida
Annelida
Arthropoda
Oligochaeta
Oligochaeta
Hirudinea
Hirudinea
Coleoptera
Naididae
Tubificidae
Helobdella
Hirudinidae
Chrysanelidae
8 Arthropoda
9 Arthropoda
10 Arthropoda
11 Arthropoda
12 Arthropoda
13 Arthropoda
14 Aschelminthes
15 Mollusca
Jumlah
Coleoptera
Copepoda
Diptera
Diptera
Diptera
Hemiptera
Nematoda
Bivalvia
Dytiscidae
Senecellidae
Daphniidae
Chironomidae
Heleidae
Belostomatidae
Rhabditidae
Cyrenidae
Keterangan
n1 :
n2 :
n3 :
ni :
Jumlah Makrozoobentos
Sub Stasiun 1a
Sub Stasiun 1b Sub Stasiun 1c
ni
n1 n2 n3
na n1 n2 n3 nb n1 n2 n3 nc
7 5.00
5 7 4.00 6 6 9 7.00 5.33
Troglochaetus beranecki sp 4 4
16 18 11.33
12 4.00
12 15 9.00 8.11
Aelosoma sp
Pristina barbata sp
4 1.33
6 2.00
1.11
3
1.00
5 1.67 3
1.00 1.22
Tubifex sp
1 2 1.00
2 2 1.33 0.78
Cambarincola sp
3 1.00
3 1.00 0.67
Gnathobdellida sp
3
1.00
2
0.67 0.56
Donacia sp
Dytiscus sp
3 1.00
3 1.00 0.67
3 1.00
3 1.00 0.67
Senecella sp
2 1 1.00
2 2 1.33 0.78
Daphnia sp
1 9
3.33
5
1.67 3 6
3.00 2.67
Pentanaura sp
3 2
1.67 3 1
1.33 1.00
Dasyhelea sp
4
1.33
3
1.00 0.78
Belostoma sp
2
0.67
5
1.67
1 3 1.33 1.22
Rhabditis sp
2
0.67
4
1.33 1 2
1.00 1.00
Musculium sp
Genus
10 34
:
Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu pertama
Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu kedua
Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu ketiga
Jumlah rata-rata makrozoobentos stasiun 1
Kelas
Annelida
Annelida
Annelida
Annelida
Annelida
Annelida
Arthropoda
Arthropoda
Arthropoda
Arthropoda
Arthropoda
Arthropoda
Aschelminthes
14 Mollusca
Jumlah
Oligochaeta
Oligochaeta
Oligochaeta
Oligochaeta
Oligochaeta
Hirudinea
Diptera
Diptera
Diptera
Copepoda
Copepoda
Coleoptera
Nematoda
Bivalvia
(pelecypoda)
Jumlah Makrozoobentos
Sub Stasiun 2a
Sub Stasiun 2b
Sub Stasiun 2c
n1 n2 n3 na n1 n2 n3 nb n1 n2 n3 nc
Chaestogaster Troglochaetus beranecki sp 3 7 1 3.67 3 9 23 11.67 3 6 17 8.67
Aelosomatidae Aelosoma sp
12 13 8.33
1 3 1.33
5 3 2.67
Naididae
5
1.67
Pristina barbata sp
Ophiodonaisserpentina sp
2 1 1.00
Tubificidae
4
1.33
Tubifex sp
Hirudinidae
1 0.33
Gnathobdellida sp
Heleidae
2
0.67 2
0.67
Dasyhelea sp
Daphniidae
2
0.67
2 0.67
Daphnia sp
Chironomidae Symbiocladius sp
1 0.33
Senecellidae Senecella sp
1 0.33
Photidae
2
0.67
Leptoceros sp
Helodidae
1 0.33
Scirtes sp
Rhabditidae
1 0.33
1 1 0.67
Rhabditis sp
8.00
4.11
0.56
0.33
0.44
0.11
0.44
0.44
0.11
0.11
0.22
0.11
0.33
Cyrenidae
0.44
Famili
Genus
Musculium sp
Keterangan :
0.67
0.67
3 21 17 13.67 5 18 33 18.67
n1
n2
n3
ni
5 17 23 15.00
ni
15.78
Kelas
Famili
1 Annelida
2 Annelida
3 Annelida
4 Annelida
5 Annelida
6 Arthropoda
7 Arthropoda
8 Arthropoda
9 Arthropoda
10 Arthropoda
11 Arthropoda
12 Arthropoda
13 Arthropoda
14 Aschelminthes
15 Platyhelminthes
Jumlah
Oligochaeta
Chaestogaster
Oligochaeta
Aelosomatidae
Oligochaeta
Tubificidae
Oligochaeta
Naididae
Hirudinea
Helobdella
Coleoptera
Dytiscidae
Copepoda
Diaptomidae
Copepoda
Cyclopidae
Adonata
Agriidae
Ephemenoptera Potomanthidae
Diptera
Heleidae
Diptera
Daphniidae
Diptera
Chironomidae
Nematoda
Rhabditidae
Turbellaria
Jumlah Makrozoobentos
Sub Stasiun 3a
Sub Stasiun 3b
Sub Stasiun 3c
n1 n2 n3
na n1 n2 n3 nb n1 N2 n3
nc
Troglochaetus beranecki sp 2 12 41 18.33 5 3 26 11.33 2 6 21 9.67
12 3 5.00
12 5 5.67
10 5
5.00
Aelosoma sp
2
6 2.67
3 1.00
Tubifex sp
6 2.00
7
2.33
Pristina barbata sp
2
0.67
Cambarincola sp
2 0.67
Dytiscus sp
3
1.00
1
0.33
Dioptomus sp
2
0.67
Cyclops sp
2
0.67
Enallagma sp
2
0.67
Potamanthus sp
2
0.67 4
1.33 3
1.00
Dasyhelea sp
3 1.00
Daphnia sp
3 1.00
1
0.33
Symbiocladius sp
1
2
1.00
Rhabditis sp
3
1.00
Dugesia sp
Genus
Keterangan :
4 29
58 30.33 11 20 40 23.67
n1
n2
n3
ni
5 17
41
21.00
ni
13.11
5.22
1.22
1.44
0.22
0.22
0.44
0.22
0.22
0.22
1.00
0.33
0.44
0.33
0.33
25.00
Phylum
Kelas
1 Annelida
2 Annelida
Oligochaeta
Oligochaeta
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Oligochaeta
Oligochaeta
Oligochaeta
Hirudinea
Amphipoda
Copepoda
Copepoda
Coleoptera
Diptera
Diptera
Diptera
Nematoda
Turbellaria
Annelida
Annelida
Annelida
Annelida
Arthropoda
Arthropoda
Arthropoda
Arthropoda
Uniramida
Uniramida
Uniramida
Aschelminthes
Platyhelminthes
Keterangan :
Jumlah Makrozoobentos
Famili
Genus
Sub Stasiun 4a Sub Stasiun 4b
Sub Stasiun 4c
n1 n2 n3 na n1 n2 n3 nb n1 n2 n3 nc
Chaestogaster
2.33 11 9 5 8.33
Troglochaetusberanecki sp 8 16 17 13.67 7
Aelosomatidae Aelosoma sp
16 17 11.00
13 8 7.00
8 7 5.00
Tubifex sp
Tubificidae
3
1.00 3
1.00
1 2 1.00
Naididae
3 8 3.67
Pristina barbata sp
Branchiobdellida Branchiobdellida sp
6
2.00
Ichthyobdellidae Piscicola punctata sp
2
0.67
Photidae
2 4 2.00
5 1.67
Leptoceros sp
Cyclopidae
5
1.67
Cyclops sp
Diaptomidae
4
1.33
Dioptomus sp
Dytiscidae
4
1.33
Dytiscus sp
Chironomidae
5
1.67
5 1.67
Pentanaura sp
Heleidae
3
1.00
Dasyhelea sp
Daphniidae
2 5 2.33
Daphnia sp
Rhabditidae
6 2.00
2 2 1.33
Rhabditis sp
4 1.33
2 1 1.00
Dugesia sp
16 44 47 35.67 21 18 14 17.67 11 25 35 23.67
n1
n2
n3
ni
ni
8.11
7.67
1.00
1.22
0.67
0.22
1.22
0.56
0.44
0.44
1.11
0.33
0.78
1.11
0.78
25.67
Lampiran 6. Analisis Kepadatan, Indeks keanekaragaman Shannon Wiener, keseragaman dan dominansi stasiun 1
No
Phylum
1 Annelida
2 Annelida
3 Annelida
4 Annelida
5 Annelida
6 Annelida
7 Arthropoda
8 Arthropoda
9 Arthropoda
10 Arthropoda
11 Arthropoda
12 Arthropoda
13 Arthropoda
14 Aschelminthes
15 Mollusca
Jumlah
Keterangan :
Kelas
Oligochaeta
Oligochaeta
Oligochaeta
Oligochaeta
Hirudinea
Hirudinea
Coleoptera
Coleoptera
Copepoda
Diptera
Diptera
Diptera
Hemiptera
Nematoda
Bivalvia (pelecypoda)
Famili
Chaestogaster
Aelosomatidae
Naididae
Tubificidae
Helobdella
Hirudinidae
Chrysanelidae
Dytiscidae
Senecellidae
Daphniidae
Chironomidae
Heleidae
Belostomatidae
Rhabditidae
Cyrenidae
Genus
Troglochaetus beranecki sp
Aelosoma sp
Pristina barbata sp
Tubifex sp
Cambarincola sp
Gnathobdellida sp
Donacia sp
Dytiscus sp
Senecella sp
Daphnia sp
Pentanaura sp
Dasyhelea sp
Belostoma sp
Rhabditis sp
Musculium sp
ni
5.33
8.11
1.11
1.22
0.78
0.67
0.56
0.67
0.67
0.78
2.67
1.00
0.78
1.22
1.00
K
13.33
20.28
2.78
3.06
1.94
1.67
1.39
1.67
1.67
1.94
6.67
2.50
1.94
3.06
2.50
26.56
66.39
ni/N
0.20
0.31
0.04
0.05
0.03
0.03
0.02
0.03
0.03
0.03
0.10
0.04
0.03
0.05
0.04
H
0.32
0.36
0.13
0.14
0.10
0.09
0.08
0.09
0.09
0.10
0.23
0.12
0.10
0.14
0.12
E
0.12
0.13
0.05
0.05
0.04
0.03
0.03
0.03
0.03
0.04
0.09
0.05
0.04
0.05
0.05
D
0.04
0.09
0.002
0.002
0.001
0.001
0.0004
0.001
0.001
0.001
0.01
0.001
0.001
0.002
0.001
2.25
0.83
0.16
ni
: Indeks Keseragaman
: Kepadatan (individu/m2)
: Indeks Dominansi
Lampiran 7. Analisis Kepadatan, Indeks keanekaragaman Shannon Wiener, keseragaman dan dominansi stasiun 2
No
Phylum
1 Annelida
2 Annelida
3 Annelida
4 Annelida
5 Annelida
6 Annelida
7 Arthropoda
8 Arthropoda
9 Arthropoda
10 Arthropoda
11 Arthropoda
12 Arthropoda
13 Aschelminthes
14 Mollusca
Jumlah
Kelas
Famili
Oligochaeta
Chaestogaster
Oligochaeta
Aelosomatidae
Oligochaeta
Naididae
Oligochaeta
Oligochaeta
Tubificidae
Hirudinea
Hirudinidae
Diptera
Heleidae
Diptera
Daphniidae
Diptera
Chironomidae
Copepoda
Senecellidae
Copepoda
Photidae
Coleoptera
Helodidae
Nematoda
Rhabditidae
Bivalvia (pelecypoda) Cyrenidae
Genus
Troglochaetus beranecki sp
Aelosoma sp
Pristina barbata sp
Ophiodonais serpentina sp
Tubifex sp
Gnathobdellida sp
Dasyhelea sp
Daphnia sp
Symbiocladius sp
Senecella sp
Leptoceros sp
Scirtes sp
Rhabditis sp
Musculium sp
Keterangan :
ni
N
K
H
E
D
:
:
:
:
:
ni
8.00
4.11
0.56
0.33
0.44
0.11
0.44
0.44
0.11
0.11
0.22
0.11
0.33
0.44
K
20.00
10.28
1.39
0.83
1.11
0.28
1.11
1.11
0.28
0.28
0.56
0.28
0.83
1.11
15.78
39.44
ni/N
0.51
0.26
0.04
0.02
0.03
0.01
0.03
0.03
0.01
0.01
0.01
0.01
0.02
0.03
H
0.34
0.35
0.12
0.08
0.10
0.03
0.10
0.10
0.03
0.03
0.06
0.03
0.08
0.10
E
0.13
0.13
0.04
0.03
0.04
0.01
0.04
0.04
0.01
0.01
0.02
0.01
0.03
0.04
0.26
0.07
0.001
0.000
0.001
0.00005
0.001
0.001
0.00005
0.00005
0.0002
0.00005
0.0004
0.001
1.58
0.60
0.33
Lampiran 8. Analisis Kepadatan, Indeks keanekaragaman Shannon Wiener, keseragaman dan dominansi stasiun 3
No Phylum
1 Annelida
2 Annelida
3 Annelida
4 Annelida
5 Annelida
6 Arthropoda
7 Arthropoda
8 Arthropoda
9 Arthropoda
10 Arthropoda
11 Arthropoda
12 Arthropoda
13 Arthropoda
14 Aschelminthes
15 Platyhelminthes
Jumlah
Kelas
Oligochaeta
Oligochaeta
Oligochaeta
Oligochaeta
Hirudinea
Coleoptera
Copepoda
Copepoda
Adonata
Ephemenoptera
Diptera
Diptera
Diptera
Nematoda
Turbellaria
Famili
Chaestogaster
Aelosomatidae
Tubificidae
Naididae
Helobdella
Dytiscidae
Diaptomidae
Cyclopidae
Agriidae
Potomanthidae
Heleidae
Daphniidae
Chironomidae
Rhabditidae
Genus
Troglochaetus beranecki sp
Aelosoma sp
Tubifex sp
Pristina barbata sp
Cambarincola sp
Dytiscus sp
Dioptomus sp
Cyclops sp
Enallagma sp
Potamanthus sp
Dasyhelea sp
Daphnia sp
Symbiocladius sp
Rhabditis sp
Dugesia sp
Keterangan :
ni
ni
13.11
5.22
1.22
1.44
0.22
0.22
0.44
0.22
0.22
0.22
1.00
0.33
0.44
0.33
0.33
K
32.78
13.06
3.06
3.61
0.56
0.56
1.11
0.56
0.56
0.56
2.50
0.83
1.11
0.83
0.83
25.00
62.51
ni/N
0.52
0.21
0.05
0.06
0.01
0.01
0.02
0.01
0.01
0.01
0.04
0.01
0.02
0.01
0.01
H
0.34
0.33
0.15
0.16
0.04
0.04
0.07
0.04
0.04
0.04
0.13
0.06
0.07
0.06
0.06
1.63
D
0.13
0.12
0.05
0.06
0.02
0.02
0.03
0.02
0.02
0.02
0.05
0.02
0.03
0.02
0.02
0.27
0.04
0.002
0.003
0.0001
0.0001
0.0003
0.0001
0.0001
0.0001
0.002
0.0002
0.0003
0.0002
0.0002
0.60
0.33
: Indeks Keseragaman
: Kepadatan (individu/m2)
: Indeks Dominansi
Lampiran 9. Analisis Kepadatan, Indeks keanekaragaman Shannon Wiener, keseragaman dan dominansi stasiun 4
No
Phylum
1 Annelida
2 Annelida
3 Annelida
4 Annelida
5 Annelida
6 Annelida
7 Arthropoda
8 Arthropoda
9 Arthropoda
10 Arthropoda
11 Arthropoda
12 Arthropoda
13 Arthropoda
14 Aschelminthes
15 Platyhelminthes
Jumlah
Kelas
Oligochaeta
Oligochaeta
Oligochaeta
Oligochaeta
Oligochaeta
Hirudinea
Amphipoda
Copepoda
Copepoda
Coleoptera
Diptera
Diptera
Diptera
Nematoda
Turbellaria
Famili
Chaestogaster
Aelosomatidae
Tubificidae
Naididae
Branchiobdellida
Ichthyobdellidae
Photidae
Cyclopidae
Diaptomidae
Dytiscidae
Chironomidae
Heleidae
Daphniidae
Rhabditidae
Genus
Troglochaetus beranecki sp
Aelosoma sp
Tubifex sp
Pristina barbata sp
Branchiobdellida sp
Piscicola punctata sp
Leptoceros sp
Cyclops sp
Dioptomus sp
Dytiscus sp
Pentanaura sp
Dasyhelea sp
Daphnia sp
Rhabditis sp
Dugesia sp
Keterangan :
ni
ni
8.11
7.67
1.00
1.22
0.67
0.22
1.22
0.56
0.44
0.44
1.11
0.33
0.78
1.11
0.78
K
20.28
19.17
2.50
3.06
1.67
0.56
3.06
1.39
1.11
1.11
2.78
0.83
1.94
2.78
1.94
25.67
64.17
ni/N
0.32
0.30
0.04
0.05
0.03
0.01
0.05
0.02
0.02
0.02
0.04
0.01
0.03
0.04
0.03
H
0.36
0.36
0.13
0.14
0.09
0.04
0.14
0.08
0.07
0.07
0.14
0.06
0.11
0.14
0.11
E
0.13
0.13
0.05
0.05
0.04
0.02
0.05
0.03
0.03
0.03
0.05
0.02
0.04
0.05
0.04
D
0.10
0.09
0.002
0.002
0.001
0.0001
0.002
0.0005
0.0003
0.0003
0.002
0.0002
0.001
0.002
0.001
2.04
0.75
0.20
: Kepadatan (individu/m2)
: Indeks Keseragaman
: Indeks Dominansi
Lamp
iran 10. Jumlah dan jenis rata-rata makrozoobentos pada setiap stasiun
No
1
Phylum
Annelida
Kelas
Oligochaeta
Famili
Chaestogaster
Genus
n1
n2
Troglochaetus
5.33 8
beranecki sp
2 Annelida
Oligochaeta
Aelosomatidae Aelosoma sp
8.11 4.11
3 Annelida
Oligochaeta
Naididae
Pristina barbata 1.11 0.56
sp
4 Annelida
Oligochaeta
Tubificidae
Tubifex sp
1.22 0.44
5 Annelida
Oligochaeta
Ophiodonais
0.33
serpentina sp
6 Annelida
Oligochaeta
Branchiobdellida Branchiobdellida
sp
7 Annelida
Hirudinea
Helobdella
Cambarincola sp 0.78
8 Annelida
Hirudinea
Hirudinidae
Gnathobdellida sp 0.67 0.11
9 Annelida
Hirudinea
Ichthyobdellidae Piscicola
punctata sp
10 Arthropoda
Adonata
Agriidae
Enallagma sp
11 Arthropoda
Coleoptera
Chrysanelidae
Donacia sp
0.56
12 Arthropoda
Coleoptera
Dytiscidae
Dytiscus sp
0.67
13 Arthropoda
Coleoptera
Helodidae
Scirtes sp
0.11
14 Arthropoda
Copepoda
Senecellidae
Senecella sp
0.67 0.11
15 Arthropoda
Copepoda
Photidae
Leptoceros sp
0.22
16 Arthropoda
Copepoda
Diaptomidae
Dioptomus sp
17 Arthropoda
Copepoda
Cyclopidae
Cyclops sp
18 Arthropoda
Diptera
Daphniidae
Daphnia sp
0.78 0.44
19 Arthropoda
Diptera
Chironomidae
Pentanaura sp
2.67
20 Arthropoda
Diptera
Chironomidae
Symbiocladius sp
0.11
21 Arthropoda
Diptera
Heleidae
Dasyhelea sp
1 0.44
22 Arthropoda
Ephemenoptera Potomanthidae Potamanthus sp
23 Arthropoda
Hemiptera
Belostomatidae Belostoma sp
0.78
24 Aschelminthes Nematoda
Rhabditidae
Rhabditis sp
1.22 0.33
25 Mollusca
Bivalvia
Cyrenidae
Musculium sp
1 0.44
(pelecypoda)
26 Platyhelminthes Turbellaria
Dugesia sp
26.56 15.78
Jumlah
n3
n4
13.11 8.11
5.22 7.67
1.44 1.22
1.22
0.67
0.22
0.22
0.22
0.22 0.44
1.22
0.44 0.44
0.22 0.56
0.33 0.78
1.11
0.44
1 0.33
0.22
0.33 1.11
0.33 0.78
25.00 25.67
1.
2.
3.
4.
5.
NAMA SUNGAI/
SEGMEN/LUAS
Anak Sungai
WAY
- Hulu
di wilayah Kec.
SEKAMPUNG
Pagelaran s/d muara di Kec.
Palas (Laut Jawa).
Way Kandis
- Hulu Way Kandis Besar di
Kec. Natar s/d pertemuan
dengan Way Sekampung.
Way Hui
- Hulu di Wilayah Kec.
Kedaton s/d pertemuan Way
Kandis Besar.
Way Galih
- Hulu di Desa Way Galih s/d
pertemuan
dengan
Way
Sekampung di Kec. Jabung.
Way Sulan
- Hulu di Kec. Panjang (Desa
Merbau
Mataran)
s/d
pertemuan Way Ketibung.
Way Ketibung
- Hulu di Desa Babatan Kec.
Ketibung
s/d
pertemuan
dengan Way Seputih (Desa
Cabang).
PERUNTUKAN
(Golongan)
B
B
B
B
B
B
Kepala
Daerah
Tingkat
Lampung
No.G/625/B.VII/HK/1995
No
Parameter
FISIKA
Zat Padat Terlarut
Suhu
KIMIA
a. Anorganik
1. Air Raksa
2. Amonia bebas
pH
3.
4. DO
BOD
5.
6. COD
Sulfat
7.
Nitrat
8.
9. Nitrit
10. Sulfida (H2S)
11. Sianida
b. Organik
1. Karbon Chloroform Ekst
2. Fenol
3. DDT
Minyak dan lemak
4.
MIKROBIOLOGIK
Koliform
tinja
1.
Total
koliform
2.
RADIOAKTIVITAS
Aktivitas Alpha
1.
2. Aktivitas Betha
1.
2.
Satuan
Kadar
Maksimum
mg/l
(C)
1.000
suhu air normal
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
0,001
0,5
5 9
*
6
400
12
10
1,0
0,05
0,01
Keterangan
* Air
permukaan
dianjurkan >
atau = 6.
Untuk
parameter
yang belum
0,5
mg/l
terdapat
0,002
mg/l
dalam
0,042
mg/l
ketetapan ini
nihil
mg/l
disesuaikan
dengan
2.000
Jlh/100ml
lampiran PP
10.000
Jlh/100ml
No. 20 Th,
1990 tentang
0,1
Bq/l
Pengendalian
1,0
Bq/l
Pencemaran
Air.
Lampiran 13. Baku mutu limbah cair untuk industri tapioka menurut
Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan
Hidup tahun 1991
No.
Lampiran 14. Kurva tipe perubahan kualitas air menurut Hynes (1960)
dalam Persoone dan De Pauw (1979)
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4
Lampiran 17. Peta penutupan lahan DAS Way Sekampung (Sub DAS Way Sulan)