DISUSUN OLEH:
Ristianti Affandi
1102010248
PEMBIMBING :
Dr. Prasila Darwin, Sp.KJ
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan konversi juga disebut disosiatif karena dahulu di anggap terjadi hilangnya
asosiasi antara berbagai proses mental seperti identitas pribadi dan memori, sensori dan
fungsi motorik. Ciri utamanya adalah hilangnya fungsi yang tidak dapat dijelaskan secara
medis. Pada penderita didapatkan hilangnya fungsi seperti memori (amnesia psikogenik),
berjalan-jalan dalam keadaan trans (fugue), fungsi motorik (paralisis dan pseudoseizure), atau
fungi sensorik (anesthesia sarung tangan dan kaus kaki, glove and stocking anaesthesia).
Istilah konversi didasarkan pada teori kuno bahwa perasaan dan anxietas dikonversikan
menjadi gejala-gejala dengan akibat terselesaikannya konflik mental (keuntungan primer)
dan didapatkannya keuntungan praktis seperti perhatian dari orang lain (keuntungan
sekunder).1
Gangguan konversi berkaitan dengan gangguan kecemasan. Dari beberapa literatur
mengatakan bahwa gangguan konversi bisa merupakan bagian dari gangguan somatoform
yaitu individu mengeluhkan gejala-gejala gangguan fisik yang terkadang berlebihan, tetapi
pada dasarnya tidak terdapat gangguan fisiologis. Pada gangguan disosiatif, individu
mengalami gangguan kesadaran, ingatan, dan identitas. Munculnya kedua gangguan ini
biasanya berkaitan dengan beberapa pengalaman yang tidak menyenangkan, dan terkadang
gangguan ini muncul secara bersamaan.1
BAB II
PEMBAHASAN
DEFINISI
Gangguan disosiatif atau konversi (conversion disorders) menurut DSM-IV
didefinisikan sebagai suatu gangguan yang ditandai oleh adanya satu atau lebih gejala
neurologis (sebagai contohnya paralisis, kebutaan, dan parastesia) yang tidak dapat dijelaskan
oleh gangguan neurologis atau medis yang diketahui. Disamping itu diagnosis mengharuskan
bahwa faktor psikologis berhubungan dengan awal atau eksaserbasi gejala.1,2,3
Adapun menurut PPDGJ III gangguan konversi atau disosiatif adalah adanya
kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integrasi normal (dibawah kendali kesadaran) antara:
ingatan masa lalu, kesadaran akan identitas dan penginderaan segera (awareness of identity
and immediate sensations), dan kendali terhadap gerakan tubuh.2
EPIDEMIOLOGI
Gangguan konversi tidak jarang ditemukan dalam masyarakat. Menurut penelitian
prevelensinya 1 berbanding 10.000 kasus dalam populasi, penelitian lain menyebutkan sekitar
1% sampai 5% dari suatu populasi dengan program psikiatri mengalami gangguan konversi.
Referensi lain menyebutkan bahwa ada peningkatan yang tajam dalam kasus-kasus gangguan
konversi yang dilaporkan, dan menambah kesadaran para ahli dalam menegakkan diagnosis,
menyediakan kriteria yang spesifik, dan menghindari kesalahan diagnosis antara disosiatif
identity disorder, schizophrenia atau gangguan personal.1,4,5
Dalam beberapa studi, mayoritas dari kasus gangguan konversi ini mengenai wanita
90% atau lebih dan lebih banyak pada dewasa muda dibandingkan dengan dewasa tua.
Gangguan konversi bisa terkena oleh orang di belahan dunia manapun, walaupun struktur
dari gejalanya bervariasi.1,3
Di Indonesia, dalam kehidupan sehari-hari gambaran disosiatif kadang dijumpai di
pelbagai daerah dan di sebagian daerah dianggap sebagian dari budaya atau merupakan akibat
dari ritual kepercayaan tertentu.3
ETIOLOGI
Gangguan konversi belum dapat diketahui penyebab pastinya, namun biasanya terjadi
akibat trauma masa lalu yang berat dan tidak ada gangguan organik yang dialami. Gangguan
ini terjadi pertama pada saat anak-anak namun tidak khas dan belum bisa teridentifikasikan,
dalam perjalanan penyakitnya gangguan konversi ini bisa terjadi sewaktu-waktu dan trauma
masa lalu pernah terjadi kembali, dan berulang-ulang sehingga terjadinya gejala gangguan
konversi.4
Dalam beberapa referensi menyebutkan bahwa trauma yang terjadi berupa :
Pelecehan seksual
Pelecehan fisik
Kekerasan rumah tangga ( ayah dan ibu cerai )
Lingkungan sosial yang sering memperlihatkan kekerasan
Identitas personal terbentuk selama masa kecil, dan selama itupun, anak-anak lebih
mudah melangkah keluar dari dirinya dan mengobservasi trauma walaupun itu terjadi pada
orang lain.3
MANIFESTASI KLINIS
Menurut DSM-IV gambaran utama gangguan disosiatif berupa gangguan kesadaran,
ingatan, identitas atau persepsi lingkungan.3
Pada gangguan konversi, kemampuan kendali dibawah kesadaran dan kendali selektif
tersebut terganggu sampai taraf yang dapat berlangsung dari hari kehari atau bahkan jam ke
jam. Gejala umum untuk seluruh tipe gangguan konversi meliputi :3
1.
2.
3.
4.
5.
Hilang ingatan (amnesia) terhadap periode waktu tertentu, kejadian dan orang
Masalah gangguan mental, meliputi depresi dan kecemasan,
Persepsi terhadap orang dan benda di sekitarnya tidak nyata (derealisasi)
Identitas yang buram
Depersonalisasi
FAKTOR RISIKO
Orang-orang dengan pengalaman gangguan psikis kronik, seksual ataupun emosional
semasa kecil sangat berisko besar mengalami gangguan konversi. Anak-anak dan dewasa
yang juga memiliki pengalaman kejadian yang traumatik, contohnya; perang, bencana,
penculikan, dan prosedur medis yang invasif juga dapat menjadi faktor risiko terjadinya
gangguan konversi ini.3
4
DIAGNOSIS
Untuk pedoman diagnosis pasti maka hal-hal berikut ini harus ada :2
1. Gambaran klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan yang tercantum pada
F44. (Misalnya F44.0 Amnesia Disosiatif)
2. Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut.
3. Bukti adanya penyebab psikologis dalam bentuk hubungan kurun waktu yang jelas
dengan problem dan kejadian-kejadian yang stressful atau hubungan interpersonal yang
terganggu (meskipun hal tersebut disangkal penderita).2
Diagnosis gangguan disosiatif berdasarkan klasifikasi, dibagi menjadi;2
F44.0 Amnesia Disosiatif
F44.1 Fugue Disosiatif
F44.2 Stupor Disosiatif
F44.3 Gangguan Trans dan Kesurupan
F44.4-F44.7 Gangguan Disosiatif dari gerakan dan Penginderaan
F44.4 Gangguan motorik Disosiatif
F44.5 Konvulsi Disosiatif
F44.6 Anestesia dan Kehilangan Sensorik Disosiatif
F44.7 Gangguan Disosiatif campuran
F44.8 Gangguan Disosiatif lainnya
F44.9 Gangguan disosiatif YTT
Sedangkan berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat
(DSM IV) ada 4 diagnostik spesifik gangguan dissosiatif:3
1.
2.
3.
4.
Amnesia Disosiatif
Fugue Disosiatif
Gangguan Identitas Disosiatif
Gangguan Depersonalisasi
Amnesia adalah gejala disosiatif yang paling sering, karena terjadi pada hampir semua
gangguan disosiatif dan diperkirakan merupakan gangguan disosiatif yang paling sering,
lebih sering pada wanita dibandingkan laki-laki, dan lebih sering pada dewasa muda
dibandingkan dewasa yang lebih tua.1,3,5
Pada amnesia disosiatif biasanya didapati gangguan ingatan yang spesifik saja dan tidak
bersifat umum. Informasi yang dilupakan biasanya tentang peristiwa yang menegangkan atau
traumatik dalam kehidupan seseorang.1
Bentuk umum dari amnesia disosiatif melibatkan amnesia untuk identitas pribadi
seseorang, tetapi daya ingat informasi umum masih ingat misalnya seperti apa yang dimakan
saat sarapan.1,4
Diagnostik menurut PPDGJ-III dan DSM-5 memerlukan :3
1. Amnesia, baik total maupun parsial, mengenai kejadian yang bersifat stress atau traumatic
yang baru terjadi (hal ini mungkin hanya dapat dinyatakan bila ada saksi yang
memberikan informasi).
2. Tidak ada gangguan mental organik, intoksikasi atau kelelahan berlebihan (sindrom
amnesik organic, F04, F1x.6).
Berdasarkan DSM IV, kriteria amnesia disosiatif diantaranya :2
a. Gangguan yang predominan adalah adanya satu atau lebih episode tidak mampu
mengingat informasi personal yang penting, biasanya keadaan yang traumatic atau penuh
stress yang tidak dapat dijelaskan hanya sebagai lupa biasa
b. Terjadi gangguan bukan bagian khusus dari gejala identitas, disosiasi fugue, PTSD,
gangguan stress akut, atau gangguan somatisasi dan tidak disebabkan efek fisiologis
langsung dari penggunaan zat, gangguan neurologic atau kondisi medik umum.
c. Gejala tersebut secara klinis menyebabkan distress atau hendaya yang bermakna dalam
fungsi social, pekerjaan atau area penting lainnya.
Amnesia dari amnesia disosiatif dapat berupa: (1) amnesia terlokalisasi (localized
amnesia), tipe yang paling sering, adalah kehilangan daya ingat terhadap peristiwa-peristiwa
dalam periode waktu yang singkat (beberapa jam sampai beberapa hari); (2) amnesia umum
(generalized amnesia), adalah kehilangan daya ingat akan pengalaman selama hidupnya; (3)
amnesia selektif (tersistematisasi), adalah kegagalan untuk mengingat beberapa peristiwa
tetapi tidak semuanya selama suatu periode waktu yang singkat.1,5
Beberapa pasien, walaupun sangat jarang, mengalami gangguan secara tiba-tiba dimana
sejumlah besar ingatan yang berhubungan dengan informasi pribadi tidak dapat diingat
walaupun pasien dalam keadaan sadar. Presentasi yang lebih umum yaitu pasien dengan
6
hilangnya bagian besar dari aspek memori kehidupan pribadinya dari memori sadar. Pasienpasien ini biasanya tidak mengeluh kehilangan memori, dan kondisi mereka ini biasanya
ditemukan setelah didapatkan sejarah hidup menyeluruhnya. Onset akut biasanya terjadi
akibat dari stress psikologis yang sangat berat yang memberatkan pasien baik secara fisik
maupun mental. Onset dan kesembuhan amnesia biasanya terjadi secara mendadak. Memori
pasien biasanya pulih setelah perawatan yang tepat, walalupun tidak jarang amnesia menetap
dan menjadi kronik.4,5
Yang paling sulit dibedakan adalah amnesia buatan yang disebabkan oleh simulasi
secara sadar (malingering). Untuk itu penilaian secara rinci dan berulang mengenai
kepribadian premorbid dan motivasi diperlukan. Amnesia buatan (conscious simulation of
amnesia) biasanya berikatan dengan problema yang jelas mengenai keuangan, bahaya
kematian dalam peperangan, atau kemungkinan hukuman penjara atau hukuman mati.2
Diagnosis Banding : 3
1. Amnesia global transien yang disebabkan serangan iskemia sepintas (TIA)
2. Amnesia buatan (conscious simulation of amnesia)
3. Gangguan disosiasi lainnya (Fugue disosiatif, gangguan identitas disosiatif).
Penatalaksanaan
Selama dilakukan wawancara, klinikus bisa mendapat kunci penting akan adanya trauma
psikologik yang menjadi pencetus gangguan. Pemberian barbiturate intravena jangka pendek
atau menengah seperti thiopental (pentothal) atau sodium amobarbital serta benzodiazepine
dapat membantu pasien memulihkan ingatan yang terlupakan. Hipnoterapi juga dapat
dilakukan untuk relaksasi. Setelah pasien mengingat menori yang hilang dilakukan
psikoterapi untuk memasukkan ingatan tersebut dalam kesadaran mereka.4
Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Gejala amnesia disosiatif biasanya hilang mendadak dan penyembuhan umumnya terjadi
secara komplit dan sedikit kekambuhan. Pada beberapa kasus terutama yang ada keuntungan
sekunder gejalanya akan menghilang dalam tempo yang lebih lama.4
F44.1 Fugue Disosiatif
Disosiasi fugue ditandai dengan perjalanan tak terduga yang tiba-tiba oleh seseorang
dari rumah ataupun tempat kerjanya dengan disertai ketidakmampuan untuk mengingat
sebagian atau keseluruhan masa lalunya. Disosiatif fugue memiliki semua ciri amnesia
disosiatif ditambah gejala perilaku melakukan perjalanan meninggalkan rumah. Pada
beberapa kasus, penderita mungkin menggunakan identitas baru. Fugue disosiatif jarang
terjadi, kira-kira 0.2% dari keseluruhan populasi, dan walaupun penyalahgunaan alkohol
7
Sebuah episode fugue sering muncul akibat adanya stres psikologis seperti dislokasi sosial
atau perang. Biasanya, fugue berlangsung selama beberapa hari, kadang beberapa bulan tetapi
hanya sedikit kasus yang diketahui.5
Diagnosis Banding
Epilepsi parsial kompleks / Postictal fugue
Demensia atau delirium
Penatalaksanaan
Pengobatan fugue disosiatif sama dengan amnesia disosiatif. Wawancara psikiatrik saja atau
dengan pemberian obat dan hipnosis mungkin dapat mengungkapkan adanya stressor
psikologik yang memicu timbulnya fugue disosiatif. Psikoterapi digunakan untuk membantu
agar dapat menerima stressor dan menyelesaikannya. Psikoterapi yang sesuai adalah
psikoterapi supportif-ekspresif.3
Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Biasanya fugue disosiatif terjadi dalam waktu yang pendek, dari beberapa jam sampai
beberapa hari. Sangat jarang terjadi dalam beberapa bulan dan perjalanan yang sangat jauh.
Umumnya perbaikan spontan, cepat, dan jarang terjadi kekambuhan.3
F.44.2 Stupor Disosiatif
Perilaku individu memenuhi kriteria untuk stupor, akan tetapi dari pemeriksaan tidak
didapatkan adanya tanda penyebab fisik. Seperti juga pada gangguan-gangguan disosiatif
lain, didapat bukti adanya penyebab psikogenik dalam bentuk kejadian-kejadian yang penuh
stress ataupun masalah sosial atau interpersonal yang menonjol.1,3
Stupor disosiatif bisa didefinisikan sebagai sangat berkurangnya atau hilangnya
gerakan-gerakan voulunter dan respon normal terhadap rangsangan luar seperti cahaya, suara
dan perabaan (sedangkan kesadaran dalam artian fisiologis tidak hilang).3
Menurut PPDGJ-III dan DSM-5 diagnosis pasti harus ada :2
1. Stupor, sangat berkurangnya atau hilangnya gerakan-gerakan volunter dan respon normal
terhadap rangsangan luar seperti misalnya cahaya, suara, dan perabaan (sedangkan
kesadaran tidak hilang)
2. Tidak ditemukan adanya gangguan fisik atau gangguan psikiatrik lain yang dapat
menjelaskan keadaan stupor tersebut.
3. Adanya problem atau kejadian-kejadian baru yang penuh stress (psychogenic causation)
9
Diagnosis Banding :3
a. Stupor katatonik
b. Stupor depresif atau manik
F44.3 Gangguan Trans dan Kesurupan
Merupakan gangguan-gangguan yang menunjukkan adanya kehilangan sementara
aspek penghayatan akan identitas diri dan kesadaran terhadap lingkungannya, dalam
beberapa kejadian, individu tersebut berperilaku seakan-akan dikuasai oleh kepribadian lain,
kekuatan gaib, malaikat atau kekuatan lain.2
Hanya gangguan trans yang involunter (diluar kemampuan individu) dan bukan
merupakan aktivitas yang biasa, kegiatan keagamaan ataupun budaya.2
Tidak ada penyebab organik (misalnya epilepsi lobus temporal, cedera kepala,
intoksikasi zat psikoaktif). Gangguan trans yang terjadi selama suatu keadaan skizofrenik
atau psikosis akut disertai halusinasi atau waham atau kepribadian multipel tidak boleh
dimasukkan dalam kelompok ini.2
F44.4 Gangguan Motorik Disosiatif
Bentuk yang paling lazim dari gangguan ini adalah kehilangan kemampuan untuk
menggerakkan seluruh atau sebagian dari anggota gerak. Paralisis dapat bersifat parsial
dengan gerakan yang lemah atau lambat atau total. Berbagai bentuk inkoordinasi dapat
terjadi, khususnya pada kaki dengan akibat cara jalan yang bizarre. Dapat juga terjadi
gemetar.2
Gejala tersebut seringkali menggambarkan konsep dari penderita mengenai gangguan
fisik yang berbeda dengan prinsip fisiologik maupun anatomik.2
F.44.5 Konvulsi Disosiatif (Pseudo seizures)
Dapat menyerupai kejang epileptic dalam hal gerakannya akan tetapi jarang disertai
lidah tergigit, luka serius karena jatuh saat serangan dan mengompol, tidak dijumpai
kehilangan kesadaran tetapi diganti dengan keadaan seperti stupor atau trans.2
F.44.6 Anestesia dan Kehilangan Sensorik Disosiatif
Bagian kulit yang mengalami anestesi sering kali mempunyai batas yang tegas
(menggambarkan pemikiran pasien mengenai fungsi tubuhnya dan bukan menggambarkan
kondisi klinis sebenarnya).2
10
Dapat pula terjadi perbedaan antara hilangnya perasaan pada berbagai jenis modalitas
penginderaan yang tidak mungkin disebabkan oleh kerusakan neurologis, misal hilangnya
perasaan dapat disertai dengan keluhan parestesia. 2
Kehilangan penglihatan jarang bersifat total, lebih banyak berupa gangguan ketajaman
penglihatan, kekaburan atau tunnel vision meskipun ada gangguan penglihatan mobilitas
pasien serta kemampuan motoriknya sering kali masih baik. 2
Tuli disosiatif dan anosmia jauh lebih jarang terjadi dibandingkan dengn hilang rasa
dan penglihatan.2
F44.7 Gangguan Disosiatif campuran
Campuran dari gangguan-gangguan tersebut di atas.2
F44.8 Gangguan Disosiatif lainnya
Sindrom Ganser
Ciri-ciri dari gangguan ini adalah jawaban kira-kira, yang biasanya disertai
beberapa gejala disosiatif lainnya, sring kali dalam keadaan yang menunjukkan
kemungkinan adanya penyebab yang bersifat psikogenik dan harus dimasukkan di
sini.3
11
c. Tidak mampu mengingat (lupa) informasi personal yang penting yang tidak bisa
dijelaskan dengan lupa yang biasa
d. Gangguan tersebut tidak disebabkan efek fisiologik langsung penggunaan zat
(hilang kesadaran atau perilaku kacau selama intoksikasi alkohol), atau kondisi
medik umum (kejang parsial kompleks).
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan dengan menggali kondisi fisik dan neurologiknya. Bila tidak ditemukan
kelainan fisik, perlu dijelaskan pada pasien dan dilakukan pendekatan psikologik terhadap
penanganan gejala-gejala yang ada.
Penanganan penyakit ini sebagai berikut:
1. Terapi obat
Terapi ini sangat baik untuk dijadikan penangan awal, walaupun tidak ada obat yang
spesifik dalam menangani gangguan konversi ini. Biasanya pasien diberikan resep
berupa anti-depresan dan obat anti-cemas untuk membantu mengontrol gejala mental
pada gangguan konversi ini.
12
13
tidak berupa obat anti depresan ataupun obat anti stress, karena diketahui bahwa jika
menanamkan sugesti yang baik terhadap usia belia, maka nantinya akan didapatkan hasil
yang maksimal, dengan penangan yang minimal.1,2,5
14
BAB III
KESIMPULAN
Secara umum gangguan konversi (dissociative disorders) bisa didefinisikan sebagai
adanya kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integrasi normal (dibawah kendali sadar)
meliputi ingatan masa lalu, kesadaran identitas dan penginderaan segera (awareness of
identity and immediate sensations) serta kontrol terhadap gerak tubuh.1,3
Gangguan konversi bukanlah penyakit yang umum ditemukan dalam masyarakat.
Dalam beberapa studi, mayoritas dari kasus gangguan konversi ini mengenai wanita 90%
atau lebih, Gangguan konversi bisa terkena oleh orang di belahan dunia manapun, walaupun
struktur dari gejalanya bervariasi.2
Ada beberapa penggolongan dalam gangguan konversi, antara lain adalah Amnesia
Disosiatif, Fugue Disosiatif, Stupor Disosiatif, Gangguan Trans dan Kesurupan, Gangguan
Motorik Disosiatif, Konvulsi disosiatif dan juga Anestesia dan Kehilangan Sensorik
Disosiatif. 3
Penatalaksanaan dengan menggali kondisi fisik dan neurologiknya. Terapi obat.
sangat baik untuk dijadikan penangan awal, walaupun tidak ada obat yang spesifik dalam
menangani gangguan konversi ini. Biasanya pasien diberikan resep berupa anti-depresan dan
obat anti-cemas untuk membantu mengontrol gejala mental pada gangguan konversi ini. Bila
tidak ditemukan kelainan fisik, perlu dijelaskan pada pasien dan dilakukan pendekatan
psikologik terhadap penanganan gejala-gejala yang ada.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Hadisukanto Gitayanti. Gangguan Konversi. Dalam Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2010. hal. 268-272.
2. Maslim Rusdi. Gangguan Disosiatif (Konversi). Dalam Diagnosis Gangguan Jiwa.
Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM-5. Cetakan kedua. Jakarta: Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya; 2013. hal. 81-83.
3. Noorhana. Gangguan Disosiatif. Dalam Buku Ajar Psikiatri. Jakarta. Badan Penerbit
FKUI. 2014. Hal 305-309.
4. Kaplan Harold I, Sadock Benjamin J, dan Grebb Jack A. 2010. Sinopsis Psikiatri jilid 2.
Binarupa Aksara: Tangerang.
5. Guidelines for Treating Dissociative Identity Disorder in Adults, Third Revision:
Summary Version.
16