Anda di halaman 1dari 18

Anestesia Untuk Pasien Dengan Penyakit Neuromuskuler

KONSEP KUNCI

Kelemahan yang terjadi pada myasthenia gravis diduga disebabkan oleh destruksi
autoimun atau inaktivasi reseptor asetilkolin postsinaps di neuromuscular junction,
sehingga mengakibatkan penurunan jumlah reseptor dan hilangnya lipatan di
membrane postsinaps.

Pasien myasthenia gravis yang mengenai otot respirasi atau bulbar mendapat risiko
aspirasi paru yang lebih tinggi.

Sebagian besar pasien myasthenia gravis sangat sensitif terhadap nondepolarizing


neuromuscular blocking agents (NMBAs).

Pasien myasthenia gravis memiliki risiko terbesar untuk mengalami gagal napas
pascaoperasi. Durasi penyakit yang lebih dari 6 tahun, penyakit paru penyerta,
tekanan inspirasi puncak <25 cmH2O, kapasitas vital <4 mL/kg, dan dosis
piridostigmin >750 mg/hari digunakan untuk memprediksi perlunya ventilasi
pascaaoperasi setelah dilakukan timektomi.

Pasien dengan sindrom myasthenia sangat sensitif terhadap depolarizing NMBA dan
nondepolarizing NMBA.

Degenerasi otot-otot respirasi pada pasien distrofi otot mengganggu mekanisme batuk
yang efektif sehingga menyebabkan retensi sekresi dan infeksi paru berulang

Degenerasi otot jantung pada pasien distrofi otot juga biasa ditemukan, tetapi yang
mengakibatkan kardiomiopati hipertrofik hanya ditemukan pada 10% pasien.

Suksinilkolin telah digunakan secara aman pada beberapa pasien Duchenne dan
Becker muscular dystrophies tetapi langkah yang terbaik adalah dengan menghindari
penggunaannya karena responnya yang tidak dapat diprediksi dan memiliki risiko
menginduksi hiperkalemia atau memicu hipertermia malignan.

Pada pasien dengan paralisis periodik, penanganan anestesi ditujukan untuk


mencegah serangan. Pengawasan elektrokardiografi yang hati-hati diperlukan untuk
mendeteksi serangan dan aritmia selama anestesi.

Pada pasien dengan paralisis periodik, respon terhadap NMBA tidak dapat diprediksi.
Peningkatan sensitivitas terhadap nondepolarizing NMBA lebih cenderung dijumpai
pada pasien paralisis periodik dengan hipokalemia.

Walaupun penyakit neuromuskuler relatif jarang dijumpai, pasien datang ke ruang operasi
dengan bebarapa kesamaan di pelayanan kesehatan tersier untuk menentukan diagnosis,
mengobati komplikasi, atau untuk penanganan operasi dari penyakit yang tidak
berhubungan. Penurunan kekuatan otot pernapasan dan peningkatan sensitivitas terhadap
agen penyekat neuromuskuler (NMBA) membuat pasien ini cenderung mengalami gagal
ventilasi pascaoperasi. Pemahaman dasar mengenai gangguan utama dan interaksi
potensialnya

dengan agen anestesi dibutuhkan untuk menghindari morbiditas

pascaoperasi karena penyakit tersebut.


MYASTHENIA GRAVIS
Myasthenia gravis memiliki ciri otot rangka yang lemah dan mudah lelah dan
diklasifikasikan berdasarkan apakan kelemahan otot pada pasien hanya mengenai okuler
atau mengenai okuler dan nonokuler. Prevalens myasthenia gravis antara 5 hingga 40 per
100.000 orang. Insidens sekitar 4-11 per juta dan tertinggi pada wanita selama dekade
ketiga; pada laki-laki, biasanya pada dekade keenam dan ketujuh. Kelemahan karena
myasthenia gravis diduga disebabkan oleh destruksi autoimun atau inaktivasi reseptor
asetilkolin postsinaps di neuromuscular junction, sehingga mengakibatkan penurunan
jumlah reseptor dan hilangnya lipatan di membrane postsinaps. Antibodi (IgG) terhadap
reseptor asetilkolin nikotinik di neuromuscular junction ditemukan pada 85-90% pasien
dengan myasthenia gravis menyeluruh dan mencapai 50-70% pasien dengan myasthenia
okuler. Sepuluh hingga lima belas persen pasien myasthenia berkembang mengalami
timoma, sementara 65% mengalami hiperplasia timus. Penyakit autoimun yang lain
(hipotiroidisme, hipertiroidisme, dan reumatoid artritis) juga ditemukan pada 10% pasien.
Perjalanan penyakit mudah dikenali dengan adanya eksaserbasi dan remisi.
Remisi dapat parsial atau komplit. Kelemahan yang terjadi dapat asimetris, terbatas pada
satu kelompok otot, atau menyeluruh. Otot-otot okuler paling sering terkena,
menyebabkan fluctuating ptosis dan diplopia. Dengan terkenanya bulbar, kelemahan otot

laring dan faring dapat mengakibatkan disarthria, kesulitan mengunyah dan menealan,
masalah pembersihan sekresi, atau aspirasi paru. Penyakit yang berat biasanya berkaitan
dengan kelemahan otot proksimal (terutama di leher dan bahu) dan terkenanya otot-otot
pernapasan. Kekuatan otot memiliki ciri khas akan membaik dengan istirahat tetapi
memburuk dengan cepat bila bekerja. Infeksi, stres, operasi, dan kehamilan memiliki efek
yang tidak dapat diprediksi pada penyakit ini tetapi sering menyebabkan eksaserbasi.
Klasifikasi myasthenia
Kelas I

Kelemahan otot okuler

Kelas II

Kelemahan otot nonokuler ringan1

Kelas III

Kelemahan otot nonokuler sedang2

Kelas IV

Kelemahan otot nonokuler berat1

Kelas V

Intubasi trakea2 atau trakeostomi untuk proteksi jalan napas dengan atau
tanpa ventilasi mekanis

(dengan atau tanpa) Kelemahan otot okuler pada berbagai tingkat keparahan

1
2

Kecuali saat periode perioperasi

Obat-obat antikolinesterase

merupakan agen yang paling sering digunakan untuk

mengobati kelemahan otot. Obat-obat tersebut meningkatkan jumlah asetilkolin di


neuromuscular junction melalui inhibisi asetilkolinesterase di cakram motorik.
Piridostigmin adalah agen yang paling sering digunakan; obat ini memiliki durasi efektif
2-4 jam bila diberi per oral. Pemberian antikolinesterase yang berlebihan dapat
menyebabkan krisis kolinergik secara mendadak, yang ditandai oleh meningkatnya
kelemahan dan efek muskarinik yang berlebih, antara lain: salivasi, diare, miosis, dan
bradikardia. Uji edrophonium dapat membantu membedakan krisis kolinergik dengan
krisis miastenik. Meningkatnya kelemahan hingga setelah 10 jam pemberian
edrophonium intravena menandakan krisis kolinergik, sementara meningkatnya kekuatan
menandakan krisis miastenik. Bila uji ini ekuivokal atau jika pasien secara jelas
mengalami manifestasi hiperaktivitas kolinergik, semua obat kolinesterase sebaiknya
dihentikan dan pasien dipantau dengan hati-hati (sebagian besar kasus dirawat di ICU).
Obat antikolinesterase seringkali merupakan satu-satunya agen yang digunakan untuk

mengobati pasien dengan penyakit yang ringan. Penyakit yang sedang atau berat diobati
dengan kombinasi obat antikolinesterase dan terapi imunomodulasi. Kortikosteroid
biasanya yang pertama dicoba, diikuti azatioprin atau siklosporin. Beberapa pengobatan
imunomodulasi alternatif juga dapat dicoba, di antaranya siklofosfamid, mikofenolat,
mofetil, dan imunoglobulin intravena. Plasmaferesis dicadangkan untuk pasien dengan
disfagia atau gagal napas, atau untuk menormalkan kekuatan otot saat praoperasi pada
pasien yang menjalani prosedur operasi. Setelah dilakukan timektomi, 85% pasien di
bawah usia 55 tahun menunjukkan perbaikan klinis bahkan tanpa adanya tumor di timus,
tetapi perbaikan dapat tertunda hingga beberapa tahun kemudian.
Pertimbangan Anestesi
Pasien dengan myasthenia dapat datang untuk timektomi atau untuk prosedur operasi
atau obstetrik yang tidak berkaitan. Pada semua kasus, pasien sebaiknya di bawah
pengawasan medis terbaik yang mungkin didapat sebelum dilakukan operasi. Pasien
miastenik dengan kelemahan respirasi dan orofaring sebaiknya diobati dengan agresif
saat praoperasi dengan imunoglobulin intravena atau plasmaferesis. Jika kekuatan
dinormalkan, insidens komplikasi respirasi postoperasi seharusnya serupa dengan pasien
nonmyasthenia yang menjalani prosedur operasi yang serupa. Pasien yang dijawalkan
untuk timektomi sering sedang mengalami kekuatan otot yang memburuk, sementara
mereka yang menjalani prosedur operasi elektif dapat dalam keadaan yang terkontrol atau
remisi. Penyesuaian pengobatan antikolinesterase, imunosupresan, atau terapi steroid
dapat diperlukan. Penanganan terapi antikolinesterase pada periode perioperasi
merupakan hal yang kontroversial tetapi mungkin sebaiknya disesuaikan perindividu.
Berbagai masalah potensial dalam melanjutkan terapi tersebut, di antaranya perubahan
kebutuhan pasien setelah operasi, peningkatan refleks vagal, dan kemungkinan
terganggunya anastomosis usus secara sekunder karena hiperperistalsis. Ditambah lagi,
agen-agen tersebut dapat memperpanjang durasi anestesi lokal tipe ester dan suksinilkolin
karena mempunyai sifat menghambat kolinesterase plasma. Sebaliknya, pasien dengan
penyakit menyeluruh tahap lanjut dapat memburuk dengan signifikan ketika agen
antikolinesterase tidak diberikan.

Pengobatan-pengobatan tersebut sebaiknya diulang kembali ketika pasien mulai


kembali mendapat asupan oral. Bila diperlukan, inhibitor kolinesterase juga dapat
diberikan secara parenteral dengan dosis 1/30 dari dosis oral.
Evaluasi praoperasi sebaiknya fokus pada perjalanan penyakit yang terkini,
kelompok otot yang terkena, terapi obat, dan penyakit lain yang juga ada. Pasien
myasthenia gravis dengan serangan pada otot pernapasan atau bulbar memiliki
peningkatan risiko untuk terjadinya aspirasi paru. Pramedikasi dengan metoklopramid
atau H2 blocker dapat menurunkan risiko tersebut, tetapi penelitian yang mendukung
pada kelompok pasien ini masih kurang. Karena beberapa pasien dengan myasthenia
sering sangat sensitif terhadap depresan respirasi, pramedikasi dengan opioid,
benzodiazepin, dan obat-obat serupa biasanya tidak diberikan.
Dengan NMBA sebagai pengecualian, agen anestesi standar dapat digunakan
untuk pasien myasthenia gravis. Depresi pernapasan yang mencolok dapat dijumpai
bahkan setelah pemberian barbiturat atau opioid dalam dosis yang moderat. Propofol
dapat lebih menjadi pilihan karena durasi kerjanya yang singkat. Anestesi dengan agen
volatil secara umum lebih memuaskan. Anestesi dalam dengan agen volatil saja pada
pasien myasthenia dapat memberikan relaksasi yang cukup untuk intubasi trakea dan juga
sebagian besar prosedur operasi. Beberapa klinisi secara rutin berusaha menghindari
NMBA. Respon terhadap suksinilkolin tidak dapat diprediksi. Pasien dapat mengalami
mnifestasi berupa resistensi relatif, efek yang berkepanjangan, atau respon yang tidak
biasa (blok fase II; lihat chapter 9). Dosis suksinilkolin dapat ditingkatkan menjadi 2
mg/kg untuk mengatasi resistensi, tetapi efek yang berkepanjangan sebaiknya
diantisipasi. Sebagian besar pasien dengan myasthenia sangat sensitif terhadap
nondepolarizing NMBA. Bahkan dosis defasikulasi pada beberapa pasien dapat
mengakibatkan paralisis yang hampir lengkap. Jika NMBA dibutuhkan, dosis kecil agen
nondepolarisasi dengan masa kerja yang relatif pendek dapat dipilih. Blokade
neuromuskuler sebaiknya dipantau sangat hati-hati dengan stimulator saraf. Fungsi
ventilasi sebaiknya dievaluasi secara hati-hati sebelum ekstubasi. Pasien myasthenia
gravis memiliki risiko terbesar untuk mengalami gagal napas pascaoperasi. Durasi
penyakit yang lebih dari 6 tahun, penyakit paru yang diakibatkan myasthenia gravis,
tekanan inspirasi puncak <25 cmH2O, kapasitas vital <4 mL/kg, dan dosis piridostigmin

>750 mg/hari digunakan untuk memprediksi perlunya ventilasi pascaaoperasi setelah


dilakukan timektomi.
Perempuan dengan myasthenia dapat mengalami peningkatan kelemahan saat
trimester akhir kehamilan dan periode awal postpartum. Anestesi epidural secara umum
dapat dipilih untuk pasien-pasien tersebut karena dapat menghindari masalah-masalah
potensial dengan depresi napas dan NMBA selama anestesi umum. Blokade motorik
dalam kadar tinggi yang berlebihan juga dapat menyebabkan hipoventilasi. Bayi dengan
ibu myasthenia dapat memperlihatkan myasthenia sementara selama 1-3 minggu, yang
diinduksi oleh transfer antibodi reseptor asetilkolin melalui plasenta, kadang-kadang
dibutuhkan ventilasi mekanik terkontrol.
LAMBERT-EATON MYASTHENIC SYNDROME
Lambert-Eaton myasthenic syndrome (LEMS) adalah sindrom paraneoplastik yang
ditandai oleh kelemahan otot proksimal dengan ciri khas dimulai di ektremitas bawah,
tetapi dapat menyebar ke ekstremitas atas, bulbar, dan otot-otot respirasi. Mulut kering,
impotensi pada pria, dan manifestasi lain dari disfungsi otonom juga sangat sering
terjadi. LEMS biasanya berkaitan dengan karsinoma sel kecil pada paru. Penyakit ini juga
bisa ditemukan dengan keganasan tersembunyi lain atau sebagai penyakit autoimun
idiopatik. Gangguan yang terjadi disebabkan oleh defek presinaps pada transmisi
neuromuskuler. Antibodi terhadap voltage-gated calcium channel di ujung saraf
menurunkan secara bermakna pengeluaran kuanta asetilkolin di cakram motorik. Sel-sel
karsinoma sel kecil mengekspresikan voltage-gated calcium channel yang identik, yang
bertindak sebagai pemicu respon autoimun pada pasien LEMS paraneoplastik.
Berlawanan dengan myasthenia gravis, kelemahan otot membaik dengan kerja
berulang dan kurang membaik secara signifikan dengan obat-obat antikolinesterase.
Guanidine

hydrochloride

dan

3,4-diaminopyridine

(DAP),

yang

meningkatkan

pengeluaran asetilkolin, sering meberi perbaikan yang signifikan pada LEMS.


Penggunaan guanidine hydrochloride dibatasi oleh hepatotoksisitasnya. DAP di AS
tersedia hanya berdasarkan rasa kasihan (is available only on compassionate-use basis),
tetapi tersedia luas di negara lain. Sebagian besar pasien LEMS membaik dengan
imunosupresi atau plasmaferesis.

Pasien dengan sindrom miastenik sangat sensitif baik terhadap depolarizing dan
nondepolarizing NMBA. Respon terhadap obat lain yang digunakan dalam anestesi
biasanya normal. Agen volatil saja sering sudah cukup untuk mendapat efek relaksasi otot
untuk intubasi dan sebagian besar prosedur operasi. NMBA sebaiknya diberikan hanya
dengan kenaikan yang kecil dan dengan pemantauan neuromuskuler secara hati-hati.
Penanganan defek autonom dibahas pada bab 27.
DISTROFI OTOT
Pertimbangan Praoperasi
Distrofi otot adalah sekelompok penyakit herediter heterogen yang ditandai oleh nekrosis
serat otot dan regenerasi, sehingga menyebabkan kelemahan yang progresif dan
degenerasi otot. Kasus sporadik kemungkinan disebabkan oleh mutasi. disglikosilasi Dystroglycan (-DG) adalah patofisiologi tersering pada distrofi otot yang kongenital dan
salah satu bentuk limb-girdle muscular dystrophy (distrofi otot pada gelang ekstremitas).
Duchennes Muscular Dystrophy
Duchennes Muscular Dystrophy (DMD) adalah bentuk distrofi otot yang paling sering
dan paling berat. Bentuk varian utama yang lain, yaitu Becker, myotonic
facioscapulohumeral, dan limb-girdle dystrophy. DMD adalah penyakit pautan-X resesif
sehingga hampir secara eksklusif mengenai laki-laki. Insidens penyakit ini mendekati 1
hingga 3 kasus per 10.000 kelahiran bayi laki-laki yang hidup dan paling sering muncul
saat usia 3 dan 5 tahun. Penyandang penyakit ini menghasilkan distrofin yang abnormal,
suatu protein yang ditemukan di sarkolema serat otot. Pasien pada perkembangannya
memiliki ciri khas akan mengalami kelemahan otot proksimal yang simetris dan
bermanifestasi sebagai gangguan berjalan. Infiltrasi lemak menyebabkan pembesaran
(pseudohipertrofi) otot, terutama pada betis. Kelemahan yang progresif dan kontraktur
pada akhirnya akan menyebabkan kifoskoliosis. Di usia 12 tahun, sebagian besar pasien
mengggunakan kursi roda. Perkembangan penyakit ini dapat ditunda hingga 2-3 tahun
dengan terapi glukokortikoid pada beberapa terapi. Gangguan intelektual biasa ditemukan
tetapi umumnya tidak progresif. Kadar kreatinin kinase (CK) plasma 10-100 kali lebih
tinggi dari normal bahkan pada awal penyakit dan diperkirakan merefleksikan

peningkatan yang abnormal dari permeabilitas membran sel otot. Karier perempuan juga
sering memiliki kadar CK plasma yang tinggi, kelemahan otot dalam derajat yang
bervariasi, dan, sangat jarang, terlibatnya jantung. Konsentrasi mioglobin plasma juga
dapat meningkat. Diagnosis dikonfirmasi dengan biopsi otot. Delesi atau duplikasi pada
gen distrofin dapat dideteksi dengan menggunakan analisis Southern blot atau metode
polymerase chain reaction pada 65% pasien dengan Duchennes atau Beckers muscular
dystrophy.
Degenerasi otot-otot pernapasan pada pasien distrofi otot mengganggu
mekanisme batuk yang efektif dan menyebabkan retensi retensi sekresi dan infeksi paru
yang berulang. Kombinasi kifoskoliosis yang bermakna dan gangguan pada otot
mengakibatkan defek ventilasi restriktif yang berat. Hipertensi pulmoner biasa ditemukan
dengan progresi penyakit. Degenerasi otot jantung pada pasien distrofi otot juga biasa
terjadi, tetapi yang sampai mengalami dilated atau hypertrophic cardiomyopathy hanya
10% pasien. Regurgitasi mitral sekunder karena disfungsi musculus papillare juga dapat
ditemukan pada 25% pasien. Kelainan pada elektrokardiografi (EKG) antara lain interval
P-R memanjang, dan gelombang R yang mencolok di prekordium kanan dengan
gelombang Q yang dalam di prekordium kiri. Aritmia atrial juga biasa terjadi. Kematian
biasanya disebabkan infeksi paru berulang, gagal napas, atau gagal jantung pada usia 1525 tahun.
Beckers Muscular Dystrophy
Beckers Muscular dystrophy, suatu penyakit yang lebih jarang terjadi (1:30.000
kelahiran bayi laki-laki), juga merupakan distrofi otot pautan-X resesif. Penyakit ini juga
diduga disebabkan oleh delesi atau mutasi titik pada gen distrofin, menyebabkan defek
pada produksi distrofin. manifestasinya hampir identik dengan Duchennes muscular
dystrophy kecuali bahwa penyakit ini biasanya muncul lebih lambat (saat remaja) dan
berkembang lebih lambat. Retardasi mental lebih jarang terjadi. Pasien sering mencapai
usia dekade keempat atau kelima, walaupun beberapa dapat hidup hingga usia 80-an.
Kematian biasanya disebabkan komplikasi respirasi. Kardiomiopati dapat terjadi pada
beberapa kasus dan dapat muncul mendahului kelemahan otot yang berat.

Distrofi Miotonik
Distrofi Miotonik (MD) adalah gangguan multisistem yang merupakan penyebab
tersering myotoniaperlambatan relaksasi setelah kontraksi otot dalam respon terhadap
rangsangan listrik atau perkusi. Penyakit ini ditransmisikan secara autosom dominan dan
memiliki insidens 1:8000. Bentuk yang paling sering terletak di kromosom 19, lokus
q12.3; gen tersebut mengkode serin/treonin protein kinase. Trinukleotida berulang yang
terlalu panjang diperkirakan menyebabkan penyakit ini. MD bermanifestasi saat dekade
kedua atau ketiga kehidupan; namun, pasien dapat datang mulai dari bayi hingga usia
lanjut. Myotonia adalah manifestasi terpenting yang muncul di awal penyakit, tetapi
seiring dengan berkembangnya penyakit, kelemahan otot dan atrofi menjadi lebih utama.
Kelemahan dan atrofi ini biasanya mengenai otot-otot kranial (orbicularis oculi dan oris,
masseter, dan sternocleidomastoideus) dan mengakibatkan tampilan wajah yang khas.
berbeda dengan sebagian besar miopati, otot-otot distal lebih terlibat daripada otot-otot
proksimal. Kadar CK plasma normal atau sedikit meningkat.
Berbagai sistem organ terlibat pada penyakit ini dengan bukti katarak presenil;
kebotakan prematur di bagian frontal; hipersomnolen dengan sleep apnea; dan disfungsi
endokrin yang menyebabkan insufisiensi pankreas, adrenal, tiroid, dan gonad.
Keterlibatan respirasi menyebabkan penurunan kapasitas vital. Hipoventilasi alveolar
disebabkan baik oleh disfungsi paru-paru atau sistem saraf pusat. Hipoksemia kronik
dapat menyebabkan terjadinya kor pulmonal. Hipomotilitas gastrointestinal menyebabkan
pasien lebih berisiko terhadap aspirasi paru. Atoni uterus dapat memperlambat kelahiran
dan meningkatkan insiden retensio plasenta. Manifestasi pada jantung, yang sering terjadi
sebelum tampak gejala klinis lainnya, dapat berupa aritmia atrium, berbagai derajat blok
jantung, dan yang lebih jarang, depresi pada fungsi ventrikel
Miotonia biasanya digambarkan pasien sebagai kekakuan yang dapat menjadi
lebih ringan dengan aktivitas yang terus-menerus, sehingga miotonia sering disebut
sebagai fenomena pemanasan (warm up phenomenon). Pasien sering melaporkan bahwa
udara yang dingin memperparah kekakuan walaupun studi elektrifisiologi telah
menunjukkan peeningkatan pada keluaran miotonik melalui pendinginan. Pengobatan
antimiotonik dapat dilakukan dengan medikasi yang menstabilkan membran. Fenitoin,
Kuinin sulfat, dan prokainamida telah digunakan untuk mengatasi hal ini. Fenitoin tidak

terlihat memperparah konduksi jantung yang abnormal, sedangkan kuinin dan


prokainamida dapat memperpanjang interval P-R. Mexiletine dan tocainide sebaiknya
tidak digunakan pada pasien dengan MD .Suatu pacu jantung sebaiknya ditempatkan
pada pasien yang memiliki kelainan konduksi yang nyata, bahkan jika pasien tersebut
asimtomatik.
Distrofi Fasioscapulohumeral
Distrofi Fasioscapulohumeral adalah suatu varian autosomal dominan dengan insiden
sekitar 1-3: 100.000, disebabkan oleh delesi DNA pada kromosom 4q35. Penyakit ini
terjadi baik pada pria maupun wanita, walaupun pada wanita, kelainan ini bersifat lebih
asimtomatik. Pasien biasanya berada pada usia dekade ke dua atau tiga dengan gejala
lemah pertama kali ditemukan pada otot wajah dan gelang bahu. Otot pada ekstrimitas
bawah lebih jarang terkena, dan otot pernapasan biasanya tidak terlibat. Penyakit ini
bersifat progresif lambat dan memiliki perjalanan yang bervariasi. Level CK plasma
biasanya normal atau hanya sedikit meningkat. Keterlibatan jantung jarang terjadi, namun
paralisis atrium telah terjadi pada beberapa pasien. Komplikasi lebih lanjut adalah
kehilangan seluruh aktivitas listrik atrium dan ketidakmampuan atrium untuk memacu
jantung, dimana pacu ventrikel masih dapat terjadi. Harapan hidup sangat sedikit
terpengruh pada pasien ini.
Distrofi Limb-Girdle
Distrofi otot limb-girdle bersifat heterogen, terdiri atas kelainan neuromuskular, yang
dibuktikan melalui molekuler genetic. Sindrom limb-girdle mencakup severe childhood
autosomal recessive muscular dystrophy (SCARMD, kromosom 13), distrofi otot
autosomal resesif (kromosom 15) dan sindrom autosomal resesif lainnya yang masih
belum sepenuhnya terdefinisi seperti Erbs (tipe scapulohumeral) dan Leyden-Mobius
(tipe pelvifemoral). Penyakit timbul sebagian besar pada waktu anak sampai decade
kedua dan tiga dengan lemah otot pada bahu, panggul, atau keduanya. Penyakit ini
bersifat sangat lambat progresivitasnya. Level CK plasma biasanya meningkat.
Keterlibatan jantung, sebagaimana yang terjadi pada distrofi otot Duchennes dapat
timbul sebagai aritmia yang berulang atau gagal jantung kongestif namun bersifat relatif

jarang. Komplikasi pernapasan, misalnya hipoventilasi dan infesksi napas yang berulang
dapat terjadi pada awal penyakit namun lebih sering terjadi pada penyakit lama (>30
tahun)
Pertimbangan Anestesi
A. Distrofi otot Duchenne dan Becker
Pengaturan anestesi pada pasien ini adalah rumit karena tidak hanya

melibatkan

kelemahan otot, namun juga karena adanya gejala keterlibatan jantung dan paru. Telah
ada dugaan bahwa penyakit ini berhubungan dengan hipertermia maligna namun belum
terbukti. Pramedikasi preoperative dengan sedatif atau opioid harus dihindari karena
risiko aspirasi karena lemahnya otot pernapasan atau karena hipomotilitas lambung yang
dapat meningkat. Posisi intraoperatif juga dapat menjadi rumit bila pasien kifoskoliosis
atau kontraktur saat fleksi pada ekstremitas atau leher. Suksinil kolin telah digunakan
secara aman pada pasien distrofi otot Duchenne dan Becker namun sebaiknya dihindari
untuk mencegah respon-respon yang tidak diduga sebelumnya serta adanya risiko induksi
hiperkalemia berat atau memicu terjadinya hipertermia maligna. Walaupun beberapa
pasien menunjukkan respon yang normal terhadap non depolarizing NMBAs, namun bagi
pasien lain, dapat bersifat sangat sensitif. Depresi napas dan sirkulasi dapat terlihat pada
anestesi inhalasi (volatile) pada pasien dengan penyakit lebih parah. Anestesi lokal atau
regional dapat menjadi pilihan pada pasien ini. Komplikasi pernapasan dapat
menimbulkan morbiditas perioperatif. Pasien dengan kapasitas vital kurang dari 30% dari
yang diperkirakan, memiliki risiko tertinggi dan sering membutuhkan ventilasi mekanik
postoperatif sementara.
B. Distrofi Miotonic (MD)
Pasien dengan MD memiliki risiko tinggi terhadap komplikasi perioperatif pada
pernapasan dan jantung. Pembedahan dengan anestesi umum sebaiknya dihindari ketika
tidak mutlak dibutuhkan. Pengetahuan tentang diagnosis MD pada pasien sangat penting
bagi pengobatan pasien karena bagaimanapun pasien dengan penyakit ini tidak bercerita
secara langsung tentang penyakitnya. Bahkan beberapa pasien mungkin menunjukkan
gejala yang ringan dan tidak terdiagnosis. Sebagian besar masalah perioperatif tampak

pada pasien MD dengan lemah otot yang parah dan pada kasus yang tidak terdiagnosis
oleh ahli bedah dan anestesi.
Pasien dengan MD memiliki perubahan respon terhadap sejumlah

obat-obat

anestesi. Perubahan tersebut terutama menjadi sangat sensitif bahkan terhadap opioid
dosis rendah, sedatif, dan agen inhalasi dan intravena, yang semuanya dapat
menimbulkan henti napas mendadak dan berkepanjangan. Premedikasi sebaiknya
dihindari jika memungkinkan. Suksinil kolin merupakan kontraindikasi karena dapat
memicu terjadinya kontraksi miotonik yang intens; trismus dapat menghalangi
pembukaan mulut untuk intubasi. Kontraksi otot pernapasan, dinding dada, atau otot
laring dapat membuat ventilasi menjadi sulit dilakukan, atau bahkan tidak
memungkinkan. Obat lain yang bekerja pada motor end plate, seperti dechamethonium,
neostigmin, dan physostigmine dapat memperburuk miotonia. Anestesi regional dapat
dilakukan namun tidak selalu dapat mencegah kontraksi otot. Penyulit miotonia jarang
terjadi, dan kejadian ini dapat dikurangi melalui injeksi procaine ke dalam otot atau
dengan memberikan 300-600 mg quinine hidroklorida secara intravena.
Respon terhadap NMBAs nondepolarizing dilaporkan masih normal. Namun
bagaimanapun non depolarizing NMBA tersebut tidak selalu dapat mencegah atau
mengurangi kontraksi otot. Sebaliknya, nondepolarizing NMBA dapat menginduksi
kontraksi otot, maka direkomendasikan penggunaan non depolarizing tipe short acting
(cisatracurium atau mivacurium). Kekakuan postoperatif kebanyakan berkaitan dengan
agen inhalasi, khususnya ketika terkait dengan penurunan suhu, dapat menginduksi
kontraksi otot dalam ruang pulih. Meperidin dosis rendah terkadang dapat mencegah
kekakuan tersebut, dan mungkin kontraksi otot tersebut.
Induksi anesthesia tanpa komplikasi ditemukan pada sejumlah agen, termasuk
thiopental, agen inhlasi dan propofol (dengan atau tanpa ketamin). Blokade
neuromuskular, jika dibutuhkan sebaiknya sebaiknya dilakukan dengan menggunkan
short acting NMBA. Nitrous Oxide dan agen inhalasi dapat digunakan sebagai anestesi
maintenance. Reaksi dengan antikolinesterase harus dihindari jika mungkin. Terdapat
hubungan antara tipe anestesi yang digunakan dengan komplikasi postoperative yang
muncul.

Komplikasi

postoperative

yang

utama

adalah

hipoventilasi

paru

yang

berkepanjangan, atelektasis, dan pneumonia. Peningkatan hygiene paru melalui terapi


fisik, spirometri insentif, dan pemantauan postoperatif yang cermat merupakan tujuan.
Pencegahan aspirasi juga menjadi tujuan. Pasien dengan bedah abdomen atas atau pasien
dengan kelemahan proksimal yang berat sering mengalami komplikasi ini . Abnormalitas
akibat konduksi jantung perioperatif lebih jarang terjadi, namun masih membutuhkan
pemantauan kardiovaskular secara cermat.
Hubungan antara MD dan hipertensi maligna telah dipikirkan namun belum
ditetapkan. Tidak tampak bahwa pasien dengan MD memiliki resiko yang lebih tinggi
terhadap hipertensi maligna. Yang menarik, kedua kelainan berada pada kromosom 19,
walaupun pada lokasi yang berbeda.
C. Bentuk lain dari distrofi otot
Pasien dengan distrofi fasioscapulohumeral dan panggul umumnya memiliki respon yang
normal terhadap agen anestesi. Dilain pihak, karena variabilitas yang tinggi dan tumpang
tindih antara berbagai bentuk variasi dari distrofi otot, nondepolarizing NMBA sebaiknya
digunakan secara hati-hati dan suksinil kolin sebainya dihindari.
MIOTONIA
Miotonia Kongenital dan paramiotonia congenital
Miotonia congenital adalah kelainan yang manifestasinya pada awal kehidupan dengan
gejala miotonia umum. Penyakit ini disebabkan oleh mutasi sebuah gen pada kromosom
7q35 yang mengkode kanal klorida pada membran permukaan serat otot skelet. Baik
autosomal dominan (Thomsens) dan resesif (Beckers) form exist. Penyakit ini
melibatkan otot skelet dan tanpa menghasilkan kelemahan, lemah yang sedikit atau
nonprogresif. Banyak pasien, pada kenyataannya memiliki musculature yang
berkembang dengan baik karena karena kontraksi otot yang cukup konstan. Miotonia
biasanya lebih menyulitkan pada pasien dengan miotonia daripada pada pasien MD.
Terapi antimiotonik mencakup fenitoin, mexiletine, quinine sulfat atau prokainamid. Obat
lainnya yang telah digunakan mencakup tocainida, dantrolen, prednisone, asetazolamid,
dan taurin. Tidak ada keterlibatan jantung pada miotonia kongenital dan diharapkan
angka harapan hidupnya juga normal.

Paramiotonia kongenital adalah kelainan autosomal dominan yang sangat jarang,


berupa kelainan pada kromosom 17q. Pada penyakit ini terjadi mutasi subunit- pada
kanal Na. Gejala paramiotonia kongenital mencakup kekakuan yang sementara
(miotonia) dan biasanya lemah setelah pajanan terhadap suhu dingin. Kekakuan
memburuk dengan aktivitas, berlawanan dengan miotonia sebenarnya (true miotonia),
sehingga dinamakan paramiotonia. Konsentrasi kalium serum dapat meningkat mengikuti
serangan serupa dengan paralisis yang terjadi secara periodik karena hiperkalemia. Obat
yang telah digunakan untuk menghambat respon dingin mencakup mexiletine dan
tocainide.
Pengaturan anestesi pada pasien dengan miotonia congenital dan paramiotonia
dipersulit oleh kondisi respon abnormal terhadap suksinil kolin, kontraksi miotonik
intraoperatif dan kebutuhan untuk mencegah hipotermia. NMBA dapat secara
paradoksikal menyebabkan spasme otot, mencakup trismus, sehingga terdapat kesulitan
untuk melakukan intubasi dan ventilasi.
Infiltrasi pada otot dalam lapang operasi dengan anestesi lokal terdilusi dapat
meringankan kontraksi miotonik refrakter. Tidak ada pasien dengan tipe miotonia yang
seperti ini dilaporkan positif pada pemeriksaan in vitro untuk hipertermia maligna. Otot
yang tereksitasi pada pasien ini, bagaimanapun menunjukkan kontraksi miotonik yang
memanjang ketika terpapar pada nondepolarizing NMBA. Kontraksi otot yang berlebih
selama anestesi, mungkin menunjukkan iritasi pada miotonia dan bukan hipertermi
maligna.
PARALISIS PERIODIK
Kelainan ini ditandai dengan serangan mendadak berupa kelemahan otot yang temporer
atau paralisis. Gejala biasanya dimulai ketika anak-anak. Serangan pada umumnya
berlangsung selama beberapa jam dan tanpa melibatkan otot pernapasan. Lemah otot
yang terjadi disebabkan oleh hilangnya eksitabilitas serat otot karena terjadi depolarisasi
parsial pada potensial istirahat. Depolarisasi tersebut kemudian mencegah potensial aksi,
sehingga menyebabkan lemah otot.
Paralisis periodik diklasifikasikan menjadi bentuk primer, yaitu kanalopati genetik
dan bentuk sekunder, yaitu bentuk yang didapat. Tipe yang diturunkan disebabkan oleh

mutasi pada voltage gate kanal natrium, kalsium, atau kanal kalium. Klasifikasi adalah
didasarkan pada perbedaan secara klinis, namun dalam hal ini tidak berkaitan dengan
kanal ion spasifik. Kelainan yang berbeda pada kanal yang sama dapat menyebabkan
gambaran klinis yang berbeda, sedangkan mutasi pada kanal yang berbeda dapat
memiliki gambaran klinis yang sama. Bagaimanapun, klasifikasi klinis tersebut berguna
sebagai petunjuk untuk menetapkan terapi dan prognosis.
Terdapat kelainan bawaan dominan dengan defek pada voltage gate kanal
kalsium. Kelainan ini berkaitan dengan kadar kalium serum yang rendah selama
kelemahan. Kalainan bawaan dominan pada kanal natrium, yang juga menghasilkan
paralisis periodik, biasanya berkaitan dengan peningkatan kadar kalium serum selama
terjadinya kelemahan. Kedua kelainan tersebut menghasilkan membran otot yang tidak
dapat tereksitasi terhadap stimulasi langsung atau tidak langsung karena penurunan
konduktivitas kalium atau peningkatan konduktivitas natrium. Keduanya berkaitan
dengan pergeseran cairan dan elektrolit. Keduanya merupakan kelainan bawaan
autosomal dominan, namun keduanya memiliki sejumlah variasi alel sehingga
menghasilkan perbedaan klinis bila terjadi pada keluarga yang berbeda. Paramiotonia
yang sensitif terhadap dingin merupakan contoh kanalopati natrium.
Bentuk primer dari kelainan paralisis periodik memiliki sejumlah kemiripan
klinis. Yaitu ditandai oleh kelemahan yang terjadi secara sporadic. Kekuatan otot dan
konsentrasi kalium serum biasanya normal diantara serangan. Selain itu juga ditandai
oleh perburukan yang diinduksi oleh hipotermia. Kelemahan ini biasanya berlangsung
kurang dari 1 jam, namun dapat pula mencapai 2 hari, dan sering serangan dapat memicu
kelemahan jangka panjang yang progresif pada beberapa pasien. Kejadian dapat
meningkat pada saat beristirahat setelah latihan yang berat, namun dapat dikurangi
dengan latihan otot yang kontinu.
1. Kanalopati Voltage gate kalsium (paralisis hipokalemik periodik)
Varian hipokalemia sering terdapat pada anak-anak sampai dewasa muda. Seiring dengan
waktu, biasanya terdapat peningkatan frekuensi serangan, walaupun serangan tersebut
berkurang saat usia lanjut.
Varian hipokalemik adalah varian terbanyak dan dapat diturunkan, terjadi secara
sporadik atau dapat berkaitan dengan hipertiroidisme. Lebih dari 10% pria hipertiroid di

Amerika Latin atau Asia memiliki episode paralisis periodik karena hipokalemia. Episode
ini ditandai dengan kelemahan atau paralisis otot-otot ekstremitas yang berlangsung 3-4
jam, namun bisa sampai beberapa hari. Kejadian paling banyak terjadi pada pagi hari dan
dapat dipicu oleh kerja berat atau asupan tinggi karbohidrat. Latihan ringan dapat
mencegah atau menunda paralisis. Menariknya, anestesi lokal dengan antiphlogistik
malah dapat memicu sebuah episode serangan. Selama serangan, kadar kalium normal
sampai sedikit menurun, seiring dengan kadar fosfor. Ginjal menahan natrium, kalium,
klor, dan air, yang menyebabkan peningkatan volume cairan intraselular dan penurunan
volume ektraselular. Keadaan ini mungkin berhubungan dengan terjadinya oliguria,
obstipasi dan diaforesis. Pada keadaan ini juga dapat ditemukan perubahan pola EKG
sesuai dengan kadar kalium yang rendah. Sebagai catatan, kerusakan permanen otot dapat
berkembang menjadi serangan dengan frekuensi meningkat.
Diagnosis biasanya dibuat berdasarkan riwayat keluarga yang cermat, riwayat
pasien, dan perubahan miotonia kalium pada elektromiografi. Sebuah serangan akut
diatasi dengan 2-10 gr kalium oral tanpa glukosa, dengan disertai aktivitas fisik yang
ringan. Kalium iv tidak lagi direkomendasikan kerena dapat memicu hiperkalemia.
Kelainan in dapat dicegah dengan memberikan asetazolamid dosis rendah. Larutan
glukosa sebaiknya dihindari terkait dengan perubahan pada kalium serum, dapat
mengeksaserbasi hipokalemia dan kelemahan.
Bentuk sekunder kelaian ini berkaitan dengan tirotoksikosis. Seperti bentuk
primer, namun lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita, khuusnya pda keturunan
Asiatic dan pada dewasa muda. Sekali tiroid diterapi, episode serangan biasanya menjadi
lebih ringan. Kelainan dapat berkembang dimana pun mulai dari 10 hingga 25% pria Asia
yang hipertiroid. Keadaan metabolik dan pergeseraran cairan dan elektrolit yang terjadi
pada bentuk primer juga terjadi pada paralisis periodik hipokalemia sekunder.
Penanganan mencakup penanganan hipertiroidisme, pencegahan konsumsi makanan
tinggi karbohidrat serta makanan rendah kalium, dan kalium klorida untuk serangan akut.
Paralisis hipokalemik sekunder dapat pula terjadi jika terdapat kehilangan kalium yang
bermakna melalui ginjal atau melalui saluran cerna. Hal ini berhubungan dengan
kelemahan, yang memiliki episode waktu. Kadar kalium juga lebih rendah daripada
varian lain, dan terdapat beberapa hal yang menyebabkan kondisi ini. Terapi kelainan

primer dengan mengganti kalium sebagaimana mengobati asidosis atau alkalosis sangat
penting dilakukan untuk mencegah serangan.
Individu yang mengonsumsi garam barium dalam jumlah besar, Karena barium
memblok kanal kalium, dapat menyebabkan paralisis periodik hipokalemia. Kondisi ini
diatasi dengan menghentikan garam barium, dan memberikan kalium oral.
2. Kanalopati Natrium ( Paralisis Periodik Hiperkalemia)
Pasien dengan paralisis periodik tipe ini memiliki durasi serangan yang lebih singkat (1-2
jam) namun lebih sering. Kelainan ini merupakan kanalopati natrium primer
hiperkalemia membrane otot. Walaupun bersifat dominan, terdapat beberapa mutasi alel
multipel. Paralisis ini dipicu oleh inaktivasi kanal Na yang abnormal oleh sedikit
peningkatan K. Natrium dan air mengalir masuk ke dalam sel dengan depolarisasi
memanjang. Akibatnya terdapat hemokonsentrasi terkait dengan peningkatan kadar
kalium serum.
Presentasi klinis biasanya terjadi pada masa kanak-kanak dengan waktu serangan
adalah pagi hari, yang frekuensinya meningkat seiring waktu. Serangan menjadi makin
sering dan memburuk pada istirahat setelah latihan berat. Latihan ringan mencegah
paralisis pada otot yang sama. Frekuensi serangan menurun pada usia lanjut. Hipotermia,
kehamilan, konsumsi glukokortikoid, dan kalium memperburuk kondisi pasien. Selama
serangan, kadar kalium biasanya meningkat sampai melebihi 6 mEq/L namun tetap
normal diantara serangan. Karena pergeseran natrium dan air ke dalam sel, terjadi
hiponatremia dan hemokonsentrasi. Hipotermia dapat menginduksi kelemahan atau
membuatnya semakin parah.
Paralisis periodik normokalemik mirip dengan paralisis periodik hiperkalemik
dan sering memiliki genotip yang sama. Mereka berbeda dalam hal jumlah kebutuhan
glukosa, karena kadar kalium yang normal selama serangan. Namun walaupun kadar
kaliumnya normal, kondisi ini juga dapat berkembang menjadi miopati yang persisten.
Kadar kalium yang tinggi diantara episode lemah otot diduga merupakan bentuk
sekunder kelainan tersebut. Pada kondisi ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan
pengamatan pada riwayat keluarga, dokumentasi klinis berisi peningkatan kadar kalium
diantara serangan, dan sebuat elektromiogram yang menunjukkan miotonia terkait

dengan vigorous exercise yang diikuti oleh latihanKeadaan ini diterapi dengan asupan
tinggi karbohidrat yang sering, rendah kalium jika memungkinkan dan menghindari
aktivitas berat serta suhu dingin. Asetazolamid dapat membantu mencegah serangan.
Yang menarik, paramiotonia kongenital merupakan sebuah varian alel pada mutasi kanal
natrium.
Terdapat kelainan hiperkalemia sekunder pada individu (pria lebih sering daripada
wanita) dengan kadar kalium lebih dari 7 mEq/L. Kelemahan bertahan diantara serangan.
Ada

berbagai

penyebab

yang

melatarbelakangi,

namun

kebanyakan

kelainan

hiperkalemia disebabkan oleh kelemahan pada saat istirahat setelah latihan. Penanganan
ditujukan kepada kelainan primernya, dan membatasi jumlah kalium.
3. Kanalopati Kalium ( Sindrom Andersen)
Sindrom Andersen baru saja terdefinisi, merupakan kelainan bawaan yang terjadi pada
sekelompok pasien dengan paralisis periodik dan aritmia ventrikel yang tidak tergantung
pada kalium serum. Bentuk aritmia jantung yang luas dapat terjadi, dan dapat disertai
dengan tampilan dismorfik, tepatnya pada wajah dan kepala.
Pertimbangan Anestesi
Pada pasien dengan paralisis periodik, pengaturan anestesi adalah langsung bertujuan
untuk mencegah serangan. Evaluasi EKG secara cermat dibutuhkan untuk mendeteksi
serangan dan aritmia selama tindakan anestesi. Pengukuran konsentrasi kalium plasma
berulang intraoperatif disarankan untuk dilakukan kapanpun ketika memungkinkan.
Cairan iv yang mengandung glukosa sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan
paralisis hipokalemik, karena larutan tersebut justru menguntungkan pasien dengan
paralisis hiperkalemik dan normokalemik. Fungsi neuromuskuler sebabaiknya terus
dipantau selama anestesi umum. Pada pasien dengan paralisis periodik, respon terhadap
NMBAs tidak dapat diperkirakan. Peningkatan sensitivitas terhadap nondepolarizing
NMBA cenderung ditemui pada pasien dengan paralisis periodik hiperkalemia. Suksinil
kolin dikontraindikasikan pada paralisis hiperkalemia dan mungkin pada varian lain yang
berisiko hiperkalemia. Karena menggigil dan hipotermia dapat memicu serangan,
menjaga suhu inti intraoperatif merupakan hal yang sangat penting.

Anda mungkin juga menyukai