Anda di halaman 1dari 22

Kelainan Kulit berupa Bercak Putih

Yossie Firmansyah
102010328/ F2
Mahasiswi
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No 6, Jakarta 11510
Pendahuluan
Kulit adalah organ tubuh yang paling besar dan paling kelihatan. Organ ini
mempunyai beberapa fungsi penting, antara lain melindungi organ-organ dalam dan mengatur
suhu tubuh. Kulit juga berperan sebagai indicator yang menunjukkan bagaimana fungsifungsi tubuh Anda berjalan.
Namun, kulit tidak selamanya mulus dan terbebas dari berbagai penyakit. Karena
berbagai hal, kulit bisa mengalami kelainan, misalnya berupa bercak putih. Banyak hal yang
bisa memicu adanya bercak putih pada kulit. Beberapa penyakit diantaranya adalah kusta,
pitiriasis alba, pitiriasis versikolor, dan vitiligo.
Dari keempat penyakit di atas, yang harus diwaspadai adalah kusta. Karena tingkat
kerusakan yang diakibatkan penyakit ini sangat luar biasa dahsyatnya, bahkan dapat berujung
pada kematian jika terlambat ditangani.
Meskipun sama-sama mempunyai kelainan bercak-bercak putih, ada sejumlah
perbedaan yang khas dari tiap penyakit di atas yang akan dibahas secara lebih rinci dalam
makalah ini.
Anatomi Kulit secara Histopatologik
Pembagian kulit secara garis bersar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu:
1. Lapisan epidermis atau kutikel
2. Lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin)
3. Lapisan subkutis (hypodermis)

Gambar

1:

Struktur Kulit
Sumber:

http://catatandiky.blogspot.com/2010/07/mengenal-anatomi-kulit.html
Lapisan epidermis: Stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum
spinosum, dan stratum basale.
Stratum korneum (lapisan tanduk) adalah lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas
beberapa lapis sel-sel gepeng yang mati, tidak berintim dan protoplasmanya telah berubah
menjadi keratin (zat tanduk).
Stratum lusidum terdapat langsung di bawah lapisan korneum, merupakan lapisan selsel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut eleidin.
Lapisan tersebut tampak lebih jelas di telapak tangan dan kaki.
Stratum granulosum (lapisan keratohialin) merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel gepeng
dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya. Butir-butir kasar ini terdiri
atas keratohialin. Mukosa biasanya tidak mempunyai lapisan ini.
Stratum spinosum (stratum Malphigi) atau disebut pula prickle cell layer (lapisan
akanta) terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal yang besarnya berbeda-beda
karena adanya proses mitosis. Sel-sel ini makin dekat ker permukaan makin gepeng
bentuknya. Sel-sel stratum spinosum mengandung banyak glikogen.
Stratum basale terdiri atas sel-sel berbentuk kubus (kolumnar) yang tersusun vertical
pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar (palisade). Lapisan ini merupakan
lapisan epidermis yang paling bawah. Sel-sel basal ini mengadakan mitosis dan berfungsi
reproduktif. Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel yaitu:
a. Sel-sel berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik inti lonjong dan besar,
dihubungkan satu dengan yang lain oleh jembatan antar sel.

b. Sel pembentuk melanin (melanosit) atau clear sell merupakan sel-sel berwarna muda,
dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap, dan mengandung butir pigmen
(melanosomes)
Lapisan dermis adalah lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih terbal daripada
epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastic dan fibrosa padat dengan elemen selular dan
folikel rambut. Secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yakni:
a. Pars papilare, yaitu bagian menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan
pembuluh darah.
b. Pars retikulare, yaitu bagian di bawahnya yang menonjol ke arah subkutan, bagian ini
terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya serabut kolagen, elastin, dan retikulin.
Dasar (matriks) lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan kondroitin
sulfat, di bagian ini terdapat pula fibroblast. Serabut kolagen dibentuk oleh fibroblast,
membentuk ikatan (bundle) yang mengandung hidroksiprolin dan hidroksisilin.
Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel
lemak di dalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak ke pinggir
sitoplasma lemak yang bertambah
Lapisan sel-sel lemak disebut penikulus adipose, berfungsi sebagai cadangan
makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan getah bening.1
Anamnesis
Anamnesis yang akurat sangat vital dalam menegakkan diagnosis yang tepat pada
kondisi-kondisi yang mengenai kulit. Keluhan utama tersering di antaranya adalah ruam,
gatal, bengkak, ulkus, perubahan warna kulit, dan pengamatan tak sengaja saat pasien datang
dengan keluhan utama kondisi medis lain.
Dimanakah letak lesi pertama kali terlihat? Apakah terasa gatal? Adakah pemicu
(misalnya pengobatan, makanan, sinar matahari, dan allergen potensial?)
Lokasi anatomic lesi primer dan tempat lesi berikutnya memberikan petunjuk penting untuk
diagnosis.
Dimanakah letak benjolan? Apakah terasa gatal? Apakah berdarah? Apakah bentuk/
ukuran/ warnanya berubah? Adakah benjolan di tempat lain?
Bagaimana perubahan warna yang terjadi? (misalnya pigmentasi meningkat, ikterus,
pucat?) siapa yang memperhatikan adanya perubahan warna? Sudah berapa lama?
Bandingkan dengan foto terdahulu.
Adakah gejala penyerta yang menunjukkan adanya kondisi medis sistemik (misalnya
penurunan berat badan, artralgia, dan lain-lain?)

Pemeriksaan sistem tersebut selalu penting. Perhatikanlah keluhan-keluhan sistemik dan


setempat yang menyarankan kelainan medis yang berkaitan. Banyak lesi kulit merupakan
manifestasi penyakit sistemik penting pada kulit.
Pertimbangkan akibat yang mungkin ditimbulkan oleh kondisi kulit yang serius, seperti
kehilangan cairan, infeksi sekunder, penyebaran metastatic ke kelenjar getah bening atau
organ lain.
Bagaimana perubahan lesi kulit setelah terlihat? Catatlah urutan waktu dan
perkembangan perubahan kulit dan gejala atau tanda sistemik yang berkaitan.2,3
Ajukanlah beberapa pertanyaaan khusus:

Kapan lesi terlihat untuk pertama kalinya? Apakah timbul sebagai lesi tunggal dan
menyebar, atau semua lesi muncul serentak? Apakah lesi itu timbul tiba-tiba dalam

beberapa menit atau secara bertahap selama beberapa hari atau minggu?
Kapan lesi itu terlihat untuk pertama kalinya?
Bagaimana perubahan lesi kulit tersebut sejak timbul untuk pertama kalinya? Lesi
kulit berubah-ubah dan berkembang. Pada sebagian kasus, sebagian besar yang Anda
lihat akan mencerminkan peristiwa-peristiwa sekunder atau proses sisa, seperti akibat

eksoriasi, infeksi sekunder, dan jaringan parut atau jaringan kulit atrofi.
Apakah pasien tersebut makan obat apa saja atau terpapar dengan faktor-faktor yang

tidak lazim?
Apakah yang terjadi jika ruam tersebut terpapar sinar matahari?3
Tentukan: usia, latar belakang ras, pekerjaan, orientasi seksual, riwayat pengobatan
(bisakah ruam disebabkan oleh efek samping obat?), riwayat keluarga (terdapat
predisposisi genetic untuk terjadinya eksema, psoriasis, dan kanker kulit), riwayat
penyakit dahulu dan kesehatan sekarang, gejala penyerta (misalnya pada sendi,
genitalia), riwayat terpapar matahari (mudah terbakar atau warna kulit menjadi
cokelat, terpapar sinar matahari sepanjang hidup, sunburn, sun bed). Sinar matahari

bisa mengurangi atau memperberat ruam.4


Pemeriksaan dermatologi
Tahap berikutnya adalah memeriksa pasien. Pemeriksaan kulit dilakukan dengan
cahaya yang cukup sementara pasien berbaring terlentang, pertama dengan mata telanjang,
kemudian dengan kaca pembesar. Lakukan pemeriksaan medis umum bila relevan.
Untuk ruam, tentukan distribusinya: asimetris (menunjukkan penyebab eksogen,
misalnya infeksi local), simetris (penyebab endogen), local atau meluas. Perhatikan
morfologi: apakah berupa eritema atau urtikaria, merah dan bersisik (eksematosa,
psoriasiform, atau likenoid), vaskulitis, vesikobulosa, atau eritroderma? Periksa
tempat lain yang mungkin terkena. Lengkapi dengan pemeriksaan pada kulit kepala,

mata, mulut, tangan dan kuku, payudara, daerah anogenital, dan kaki. Periksa adanya

limfadenopati.
Untuk tonjolan/ benjolan, perhatikan lokasinya, morfologi, kelenjar getah bening yang
mengalir dari situ, dan hati ( untuk metastasis jauh). Perhatikan fenotip kulit yang
merupakan predisposisi kanker (mulus, berbintik-bintik, derajat dan tipe tahi lalat,
lentigninosa pada iris).4
Inspeksi dan palpasilah lesi atau bercak kemerahan yang ada (penggunaan kaca

pembesar). Hal-hal pokok dalam pemeriksaaan dermatologis yang baik adalah:


1. Lokasi dan/ atau distribusi dari kelainan yang ada.
Hal ini sangat membantu: sebagai contoh psoriasis mempunyai tempat predileksi pada
lutut, siku, kulit kepala, dan punggung bagian bawah; pada anak-anak eksema
cenderung terjadi di daerah fleksor; akne terutema terdapat pada wajah dan tubuh
bagian atas; karsinoma sel basal biasanya lebih sering muncul di kepala dan leher.
2. Karakteristik dari setiap lesi.
Tipe.
Ukuran, bentuk, garis tepi, dan batas-batasnya. Ukuran sebaiknya diukur
dengan tepat, daripada hanya membandingkannya dengan kacang polong,
jeruk atau koin. Lesi bisa mempunyai berbagai macam bentuk, misaknya
bulat, oval, anular, linier, atau tidak beraturan.: tepi-tepi yang lurus atau
bersudut mungkin disebabkan oleh faktor eksternal. Pada psoriasis bagian
tepinya berbatas tegas, sedangkan pada kebanyakan bercak-bercak eksema
tepinya berbatas tidak tegas.
Warna. Selalu ada manfaatnya untuk membuat catatan tentang warna:

merah, ungu, cokelat, hitam pekat, dan sebagainya.


Gambaran permukaan. Akan bermanfaat jika Anda menelusuri apakah
permukaan lesi halus atau kasar, dan untuk membedakan krusta (serum
yang mengering) dengan skuama (hyperkeratosis); beberapa penelusuran
pada skuama dapat membantu, misalnya terdapatnya warna keperakan

pada psoriasis.
Teksturdangkal/ dalam? Gunakan ujung jari Anda pada permukaan kulit;
perkirakan kedalaman dan letaknya apakah di dalam atau di bawah kulit;
angkat sisik atau krusta untuk melihat apa yang ada di bawahnya;

usahakan untuk menuat lesi memucat dengan tekanan.


3. Pemeriksaan lokasi-lokasi sekunder.
Carilah kelainan-kelainan di tempat lain yang dapat membantu diagnosis. Contoh
yang baik antara lain:
Kuku pada psoriasis
Jari jemari dan pergelangan tangan pada scabies.

Daerah sela-sela jari pada kaki pada infeksi jamur.


Mulut pada liken planus.
4. Teknik-teknik pemeriksaan khusus.
Mengerok plak psoriasis untuk memeriksa apakah terjadi pendarahan

kapiler.
Tanda Nikolksky pada penyakit dengan lepuhan.
Diaskopi bila dicurigai tuberkulosis kulit.

Macam-macam lesi dan karakteristiknya


Karakteristik lesi

Macula

permukaan rata.
Eritema: kemerahan pada kulit yang disebabkan pelebaran pembuluh

darah kapiler yang reversible.


Urtika
: edema setempat yang timbul mendadak dan hilang perlahan-

lahan.
Vesikel: gelembung berisi cairan serum, beratap, dan mempunyai dasar,

kecil (diameter < 0,5 cm).


Bula
: vesikel yang berukuran lebih besar (diameter > 0,5 cm).
Pustula : vesikel berisi nanah, bila nanah mengendap di bagian bawah:

vesikel hipopion.
Papula
: penonjolan di atas permukaan kulit, sirkumskrip, diameter <

0,5 cm, berisi zat padat.


Nodul
: benjolan/ massa padat sirkumskrip, terletak di kutan atau

: perubahan warna kulit yang berbatas tegas dengan

subkutan yang dapat dilihat atau diraba, diameter > 0,5 cm (2cm). Jika

diameter < 1 cm disebut nodulus.


Plak
: peninggian di atas permukaan kulit, permukaannya rata dan

berisi zat padat (biasanya infiltrate), diameter 2cm atau lebih.


Ulkus
: hilangnya jaringan yang lebih dalam dari eksoriasi. Ulkus
dengan demikian mempunyai tepi, dinding, dasar, dan isi. Termasuk erosi
dan eksoriasi dengan bentuk liniar ialah fisura atau rhagades, yakni
belahan kulit yang terjadi oleh tarikan jaringan di sekitarnya, terutama
terlihat pada sendi dan batas kulit dengan selaput lendir.

Karakteristik permukaan

Skuama: lapisan stratum korneum terlepas/ agregrasi dari kulit. Skuama


dapat dilihat dan diraba.

Krusta

serum.
Lapisan tanduk: penebalan yang terdiri dari keratin.
Erosi
: kelainan kulit karena kehilangan jaringan yang tidak

: cairan badan/ timbunan eksudat yang mengering, misalnya

melampaui stratum basal. (misalnya digaruk sampak ke stratum spinosum

akan keluar cairan serous).


Eksoriasi: garukan lebih dalam lagi sehingga tergores sampai ujung papil,
makan akan terlihat darah yang keluar selain serum. Kelaian kulit yang

disebabkan oleh hilangnya jaringan sampai dengan stratum papilare.


Maserasi: suatu penampakan perlunakan permukaan kulit, akibat keadaan

yang selalu basah.


Likenifikasi: penebalan kulit bagian luar yang rata, sering merupakan
akibat garukan.1, 5

Pemeriksaan penunjang
Ada beberapa kelainan kulit yang hampir selalu membutuhkan pemeriksaan
penunjang lebih lanjut; baik untuk memastikan suatu diagnosis dengan prognosisnya yang
penting atau yang menyangkut terapi organ dalam.

Lampu Wood adalah radiasi ultraviolet dengan panjang gelombang 360 nm,

bermanfaat dalam gangguan pigmentasi dan infeksi jamur pada kulit.


Mikrobiologi: apus untuk bakteri, kerokan untuk jamur.
Biopsy berguna dalam mendiagnosis banyak penyakit dan menyingkirkan keganasan.
Tes patch (tes temple): allergen tersangka diberikan pada kulit dan reaksi hasilnya

dibaca setelah 48 dan 96 jam.


Tes darah ( misalnya untuk sifilis, HIV, lupus, defisiensi besi).4

Kelainan pembentukan pigmen


Faktor-faktor yang mempengaruhi warna kulit

Hemoglobin
Pigmen eksogen di dalam atau pada permukaan kulit
Pigmen endogen (dibuat oleh tubuh sendiri, misalnya bilirubin)
Melanin dan feomelanin
Dua faktor yang terakhir merupakan faktor paling penting dalam menentukan dasar
warna kulit kita.
Manusia mempunyai kisaran warna alami yang lebih sempit. Warna coklat adalah

akibat dari melanin, dengan intensitas yang bervariasi, mulai dari hampir putih ( tidak ada
melanin) sampai yang hitam legam (melanin banyak). Secara genetic pigmen melanin adalah
dominan autosom.

Merah merupakan warna tambahan: hanya ada beberapa orang yang dapat membuat
feomelanin. Warna merah lebih sering didapatkan pada ras-ras tertentu (misalnya, ras Celt)
daripada ras lainnya (misalnya, Cina). Kebanyakan pigmen kulit manusia terdapat di dalam
keratinisut, setelah dibuat dalam melanosit adan ditransfer dalam melanosom. Ada
perbedaan antarras dalam hal produksi, distribusi, dan degradasi melanosom, tetapi tidak
dalam hal jumlah melanosit. Akan tetapi, perbedaan genetic yang penting dalam kemampuan
merespons terhadap radiasi ultraviolet, yang biasanya disebut dengan tipe-tipe kulit.
Tipe-tipe kulit
Tipe-tipe kulit

Tipe Iselalu terbakar, tak pernah menjadi coklat


Tipe II---mudah terbakar, sulit menjadi coklat.
Tipe IIIkadang-kadang terbakar, mudah menjadi
cokelat.
Tipe IVtidak pernah terbakar, mudah menjadi coklat.
Tipe pertama
Vsecara
genetic
cokelat
India) atau
Respons
terhadap
radiasi
UV (misalnya
adalah peningkatan
distribusi melanosom. Hal ini
Mongoloid
dengan
cepat dapat meningkatkan pigmentasi pada lapisan basal (stratum basale)
Tipe VIsecara genetic hitam (misalnya Kongoid atau

berubahnya warna kulit menjadi coklat karena sinar matahari (sun tan). Proses sun tan
menunjukkan adanya upaya kulit untuk memberikan perlindungan terhadapa efek-efek yang
berbahaya akibat radiasi UV, misalnya terjadinya penuaan dini dan kanker.
Hipopigmentasi
Penyebab-penyebab terpenting terjadinya hipopigmentasi adalah:

Kongenital: Albinisme, Fenilketonuria, Sklerosis tuberose, Nevi hipokromik.


Didapat (Acquired): Vitiligo, Suttons halo naevi, Lepra tipe tuberkoloid, Pitiriasis
(tinea) versikolor, Pitiriasis alba, Liken sklerosus dan atrofikus , Obat-obatan dan zatzat kimia: leukoderma okupasional yang timbul sendiri/ iatrogenic, Hipopigmentasi

pascaperadangan.
Didapat (Acquired)
Kelainan hipopigmentasi didapat sering ditemukan, dan pada kulit yang lebih sering
ditemukan, dan pada kulit yang lebih gelap dapat menjadi stigma tersendiri. Hal ini sebagian
karena gambaran kulit dengan hipopigmentasi yang berbercak-bercak bukan hanya terlihat
sangat buruk dari sisi kosmetik, tetapi juga karena bercak-bercak putih tersebut dalam
sebagian budaya dikaitkan sangat erat dengan lepra. 5
Working Diagnosis
Kusta/ Lepra/ Morbus Hansen
Kusta merupakan penyakti infeksi yang

kronik,

dan

penyebabnya

ialah

Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas

pertama, lalu kulit dan muka traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ
kecuali susunan saraf pusat.1
Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. didapatkan oleh seorang yang
bernama Hansen dalam tahun 1874, oleh karena penyakit lepra dikenal dengan Morbus
Hansen. Kuman mirip dengan kuman TBC, juga tahan asam, dan gram +.
Multiplikasi M. leprae yang sangat lambat dapat diamati pada model binatang yang
sebagian dapat menjelaskan masa ingkubasi yang lama yang ditemukan pada penyakit
manusia; masa 3-5 tahun diduga khas. Kejadian lepra yang jarang pada bayi semuda umur 3
bulan memberi kesan bahwa penularan dalam rahim dapat terjadi atau bahwa masa inkubasi
yang amat pendek dimungkinkan pada keadaan tertentu. Model penularan yang mungkin
termasuk kontak dengan epidermis lepas yang terinfeksi, minum ASI terinfeksim dan gigitan
nyamuk atau vector lain. Namun, sekarang penularan melalui sekresi hidung yang terinfeksi
tampak meruoakan dasar pada kebanyakan infeksi. Keterlibatan nasofaring yang luas
ditampakkan sebagai rhinitis kronik lazim pada penyakit lepromatosa.6
Epidemiologi
Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada dewasa, di Indonesia
penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun 13%, tetapi infeksi pada bayi, anak dibawah
umur 1 tahun jarang sekali. Insiden frekuensi puncak selama masa anak dan masa dewasa
awal di daerah endemic. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35
tahun.
Kusta terdapat di mana-mana, terutama Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah tropis dan
subtropics, serta masyarakat yang social ekonominya rendah. Makin rendah social ekonomi
makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor social ekonomi tinggi sangat membantu
penyembuhan.
Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi
ulserasi, mutilasi, dan deformitas.1,6
Patogenesis dan Patologi
Cedera diperantai melalui banyak jalurm beberapa darinya adalah pelepasan mediator
radang humoral oleh limfosit dan makrofag yang diaktifkan, penekanan syaraf oleh
granulomata yang membesar, dan pengendapan kompleks imun.
Tempat masuk M. leprae ke dalam hospes manusia belum diketahui. Keterlibatan
saluran pernapasan atau saluran cerna belum terdokumentasi sebelum munculnya lesi yang
melibatkan kulit dan saraf perifer. Pertumbuhan dan multiplikasi M. leprae adalah maksimal
pada 34-35 derajat celcius.

Populasi sel-T supresor spesifik M. leprae ditemukan dalam sirkulasi penderita


dengan lepromatisa, dan kenaikan jumlah sel T supresor ditemukan pada kulit granuloma. Sel
T dari penderita lepromatosa juga kurang menghasilkan interleukin 2 dan interferon gamma
pasca perangsangan oleh antigen M. leprae daripada sel T dari penderita tuberkuloid atau
kontrol normal. 6
Sebenarnya M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit, tidak lain disebabkan oleh respons imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya
reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh
karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.
Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intesitasnya
infeksinya.1
Manifestasi klinis
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan
histopatologis. Bila basil M. leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala
klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem
imunitas selular (SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid,
sebaiknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa.
Tipe I (Indetermintate) tidak termasik dalam spectrum. Manifestasi ini merupakan
bentuk lepra paling awal yang dapat dideteksi secara klinis. Walaupun lepra ini ditemukan
pada hanya 10-20% individu yang terinfeksi, lepra ini merupakan stadium dimana
kebanyakan penderita dengan lepra yang lanjut telah melewatinya.
Satu macula hipopigmentasi, diameter 2-4 cm., tepi kurang tegas, tanpa eritema atau

indurasi.
Anestesi minimal atau tidak ada, terutama jika lesi pada muka.
Biopsy jaringan mengandung granuloma, tetapi basil jarang ditemukan.
Diagnosis dibuat dengan eksklusi pada kontak penderita lepra.
Pada 50-75% penderita LI, lesi sembuh secara spontan, sisanya memburuk.

Tuberkuloid Kutub (TT)


Biasanya lesi tunggal, besar (sering berdiameter lebih dari 10 cm) dengan tepi
eritematosa menonjol dengan batas tegas. Sebelah dalam lesi datar, atrofim hipopigmentasi,
dan anestedik. Mungkin jarang ada lesi sebanyak empat. Saraf superficial yang paling dekat
sering secara terkesan menebal. Saraf ulnaris, tibialis posterior, dan aurikularis major yang
paling sering terkena. Pemeriksaan periodic semua penderita lepra dan kontaknya harus
meliputi palpasi saraf-saraf ini. Tanpa terapi, lesi cenderung membersar perlahan-lahan.
Lepra Borderline.

Kriteria klinis dan histologist untuk tiga subbagian lepra borderline kurang ditefaskan
dengan baik daripada lepra dua kategori kutub yang lain. Berbeda dengan gambaran
tuberkuloid dan lepromatosa, lepra pada bagian borderline tidak stabil. Misalnya faktor
hospes atau bakteri dapat berakibat menurunkan keadaan klinis Mea rah gambaran
lepromatosa atau meningkat ke aeah gambaran tuberkuloid.
Tuberkuloid borderline (TB)
Jumlah lesi lebih banyak tetapi ukurannya lebih kecil daripada lepra tuberkuloid.
Mungkin ada lesi satelit kecil sekitar lesi yang lebih tua, tepi lesi tuberkuloid kutang tegas
dan pusatnya atrofi dan anestesis. Biasanya ada penebalan dua saraf superficial atau lebih,
skuama tak jelas, hipopigmentasi.
Borderline (BB)
Lesi lebih banyak dan tampak lebih heterogen. Mereka dapat menjadi satu, dan
mungkin ada plak. Tepi-tepinya kurang tegas, dan tepi eritematosanya menghilang ke kulit
sekitarnya. Mungkin ada anesthesia, tetapi hipertesia lebih lazim. Penebalan saraf ringan
sampai sedang lazim ada, tetapi kelemahan otot berat dan neuropati tidak biasa.
Lepromatosa borderline (BL)
Ada sejumlah besar lesi yang tersebar secara asimetri yang tampak heterogen.
Macula, papula, plak dan nodulus mungkin semuanya ada bersama-sama. Lesi sendiri adalah
kecil kecuali kalau menyatu. Anesthesia ringan dan batang saraf superficial diselamatkan.
Respon awal terhadap terapi sering dramatis; nodul dan plak rata dalam 2-3 bulan. Dengan
terapi berlanjut lesi menjadi macula dan hampir tidak dapat dilihat.
Lepra Lepromatosa Kutub (LL)
Lesi tidak dapat dihitung, sering menyatu dan simetis. Pada mulanya mungkin hanya
macula yang kabur atau bahkan seragam, infiltrasi kulit difus tanpa lesi yang dapat
dibedakan. Ketika penyakit memburuk, lesi semakin menjadi papuler dan noduler, sehingga
dengan penebalan difus dan infiltrasi kilit, muka leo khas yang disertai dengan kehilangan
bulu mata, dan distorsi lobus telinga menjadi tampak. Anestesi kulit tidak terjadi atau ringan,
tetapi neuropati sensoris perifer simetris mungkin terjadi. Infiltrasi testis menyebabkan
azoospermia, infertilitas, dan ginekomastia lazim pada orang dewasa tetapi tidak lazim pada
anak. Basili dapat ditunjukkan pada kebanyakan organ dalam selain dari sistem saraf sentral,
tetapi cedera jaringan atau gangguan fungsi tidak sering. Glomerulonefritis, bila terjadi
diduga akibat pengendapan kompleks imun bukannya infeksi itu sendiri. 6

Gambar 2: Lepra
Sumber:http://hitam-

putihphoto.blogspot.com/2009/02/penyakit-kusta-tidak-mudah-menular.html
Diagnosis
1. Anamnesis teliti 80% diagnosis
Keluhan utama/ tambahan
Riwayat kontak dengan penderita
Latar belakang keluarga, asal kelahiran/ masa kecil/ sos-ekonomi.
2. Pemeriksaan fisik (klinis)
Bercak kulit: macula hipopigmentasi/ eritematosa+ gangguan rasa sentuh,
suhu dan nyeri
Penebalan saraf dan atau nyeri disertai dengan:
Gangguan sensoris rasa nyeri mati rasa.
Gangguan motoris paresis dan paralisis.
Gangguan otonom kulit kering dan retak, edema dan alopesia.
3. Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan
kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam,
antara lain ZIEHL-NEELSEN. Bakterioskopik negative pada seseorang penderita,
bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil M. leprae.
Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat,
yaitu kedua cuping telinga bagian bwah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif, berarti
yang paling eritematosa dan paling iritatif.
M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada sediaan.
Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran
(granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedang fragmented dan granular
merupakan bentuk mati. Secara teori penting untuk membedakan antara bentuk solid
dan nonsolid, berarti membedakan antara yang hidup dan mari, sebab bentuk yang
hidup itulah yang lebih berbahaya, karena dapat berkembangbiak dan dapat
menularkan ke orang lain.

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolidpada sebuah sediaan dinyatakan
0
1-10/ 100 LP
1-10/ 10 LP
1-10/ 1 LP
10-100/ 1 LP
100-1000/ 1 LP
> 1000/ 1 LP

BTA+1
+2
+3
+4
+5
+6

dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai 0 sampai


6+ menurut RIDLEY. 0 bila tidak ada BTA dalam
100 lapang pandang (LP).

Indeks morfologik (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid
dan nonsolid.
Rumus:
Jumlah solid

X 100%=%

Jumlah solid+ non solid


Syarat perhitungan:
Jumlah minimal kuman tidap lesi 100 BTA
IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya, karena untuk mendapat 100 BTA harus mencari

dalam 1000 sampai 10.000 lapangan.


Mulai dari IB 3 + harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+ maksimum harus dicari
dalam 100 lapangan.

Guna:

4.

Untuk melihat keberhasilan terapi.


Untuk melihat resistensi kuma BTA.
Untuk melihat infeksiositas penyakit.
Pemeriksaan histopatologik
Pada tipe TT ditemukan Tuberkel (Giant cell, limfosit)
Pada tipe LL ditemukan sel busa (Virchow cell/ sel lepra) yaitu histiosit dimana
didalamnya

BTA tidak mati, tapi berkembang biak membentuk gelembung.

Ditemukan lini tengan (subepidermal clear zone).


5. Tes Lepromin (daya imunitas penderita terhadap penyakit Lepra)1
Tes Mitsuda
Menggunakan basil lepra mati
Hasil reaksi diperiksa setelah 3-4 minggu
Interpretasi:
_
+/ +1
+2
+3

Tidak ada kelainan.


Papel+ eritema < 3 mm.
Papel+ eritema 3-5 mm.
Papel+ eritema > 5 mm.
Ulserasi.
Tes Fernandez
Menggunakan fraksi protein M. leprae

Hasil reaksi diepriksa setelah 48 jam.


Interpretasi:

_
Tidak ada kelainan.
+/ Indurasi + eritema < 5 mm.
+1
Indurasi + eritema 5-10 mm.
+2
Indurasi + eritema 10-15 mm.
+3
Indurasi + eritema 15-20mm.
Penatalaksanaan
Penyakit lepra biasanya dapat disembuhkan, tetapi pengobatan harus dalam waktu
bertahun-tahun. Obat terbaik ialah golongan sulfon. Jika reaksi lepra (panas, ruam, sakit dan
mungkin pembengkakan pada tangan serta kaki, atau kerusakan mata) timbul atau memburuk
selama minum obat, tetaplah minum obat tersebut dan sementara itu carilah pertolongan
dokter.
Mencegah kerusakan pada tangan dan kaki:
Borok yang besar dan hilangnya tangan serta kaki secara perlahan-lahan, yang begitu
sering terlihat pada penderita lepram sebenarnya bukan disebabkan oleh penyakit lepra
sendiri dan hal ini dapat dicegah. Cacat ini terjadi karena penderita tidak mampu lagi
melindungi tubuhnya terhadap luka, karena daya rasanya telah hilang. Cacat ini dapat dicegah
dengan:
1. Melindungi tangan dan kaki dari benda-benda yang dapat menimbulkan luka tajam,
luka memar, lepuh dan luka bakar; jangan berjalan tanpa alas sepatu dan alas kaki,
terutama di tempat yang penuh kerikil dan duri. Kenakan sepatu atau sandal. Taruh
bantalan lunak di dalam sepatu dan di bawah tali sandal yang dapat menimbulkan
gesekan. Jika Anda bekerja dengan menggunakan tangan, atau memasak makanan,
gunakanlah sarung tangan. Jangan sekali-kali mengangkat panci atau barang-barang
lain yang mungkin panas, tanpa pertama melindungi tangan anda dengan sarung
tangan yang tebal atau dengan lipatan kain. Kalau dapat, hindarkan pekerjaan yang
menggunakan benda-benda tajam atau panas. Jangan merokok.
2. Pada malam hari (atau lebih sering lagi jika Anda bekerja keras atau berjalan jauh),
periksalah tangan dan kaki Anda dengan cermat sekali atau suruh orang lain
memeriksanya. Tindakan ini harus dilakukan setiap hari. Carilah luka-luka karena
terpotong, luka memar atau karena duri juga periksalah daerah-daerah pada tangan
dan kaki yang kemerahan, panas, membengkak, atau memperlihatkan tanda-tanda
permulaan lepuh. Jika Anda menemukan semua benda ini, istirahatkan tangan atau
kaki Anda sampai kulitnya benar-benar pulih kembali. Dengan cara ini, kulit akan
menebal (kapalan) dan menjadi lebih kuat, dan tidak terjadi lepuh serta luka terbuka.

3. Jika Anda telah menderita borok yang terbuka, atau akan menjadi borok, jagalah agar
bagian tersebut selalu bersih dan istirahatkan sampai boroknya benar-benar telah
sembuh kembali. Kemudian berhatilah-hatilah agar tidak terjadi luka lagi pada daerah
tersebut.7
Obat antikusta yang paling banyak dipakai saat ini adalah DDS (diaminodifenil sulfon)
kemudian klofazimin, dan rifampisin.
DDS
Mekanisme kerja: menghambat kompetitif PABA (sama dengan sulfonamide).
Efek samping yang paling sering terlihat ialah hemolisis yang berhubungan erat dengan
besarnya dosis. Anoreksia, mual dan muntah dapat terjadi pada pemberian sulfon. Sulfon
dapat menimbulkan rekasi lepromatosis yang analog dengan reaski Jarisch-Herxheimer.
Sindrom yang disebut sindrom sulfon ini dapat timbul 5-6 mgg setelah terapi pada pasien
yang bergizi buruk.
Dosis: tablet 25 dan 100 mg secara oral. Pengobatan dimulai dengan dosis 25 mg dalam 2
minggu pertama dosis ini diberikan sekali dalam seminggu; kemudian setiap 2 minggu
frekuensi pemberian ditambahkan satu kali sampai tercapai pemberian ditambahan sati kali
sampai tercapai pemberian 5 kali semingggu. Setelah itu dosis dinaikan menjadi 50mg, yang
diberikan 4 kali seminggu untuk waktu yang tidak terbatas.
Natrium sulfokson hanya diberikan pada pasien yang mengalami gangguan saluran cerna.
Rifampisin
Efek antibakteriostatik untuk M. leprae. Dapat menimbulkan resistensi setelah terapi 2-4
tahun sehingga perlu dikombinasi.
Rifampisin+ Dapson M. leprae yang resisten terhadap Dapson.
Rifampisin + Klofazimin atau Etionamid M. leprae yang resisten terhadap Dapson.
Klofazimin
Turunan fenazin yang efektif terhadap basil lepra. Kedudukan obat ini sekarang ialah sebagai
pengganti dalam kombinasi dengan rifampisin bila basil lepra sudah resisten terhadap dapson.
Efektif untuk lepromatosis, tapi juga memiliki efek antiradang mencegah timbulnya
Eritema Nodosum.
Dapat menekan eksaserbasi Lepromatosis.
Efek samping: pigmentasi merah dan hitam.8
Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain
dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal,
tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki.
Cara lain ialah secara kekaryaaan, yaitu member lapangan pekerjaan yang sesuai cacat
tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu
dapat dilakuakan terapi psikologik.1
Komplikasi

Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi
ulserasi, mutilasi dan deformitas.
Sering tanda yang utama ialah hilangnya daya rasa, biasanya pertama-tama terjadi
pada tangan dan kaki. Kadang-kadang penderita lepra terbakar tanpa mengetahui,
karena tidak merasa panas atau sakit sehingga terjadi infeksi mutilasi.
Mata: iritis, iridosiklitis, gangguan visus (buta), lagofthalmus.
Hidung: epitaksis, hidung pelana (kerusakan tulang rawan).
Lidah: nodus, ulkus.
Larings: suara parau.
Ginjal; pielonefritis, nefritis intersisiel, glomerulonefritis, amilidosis ginjal.
Testis: epididimitis, orchitis, atrofi ginekomastia dan steril.
Kel, limfe limfadenitis.
Tulang dan sendi: arthritis, tendosinovitis, absorbsi tulang jari tangan (mutilasi).1
Prognosis
Penderita lepra yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai
risiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf.
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD) adalah
melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat.
Sebagian besar cacat pada lepra dapat dicegah.1
Differential Diagnosis
Pitiriasis versicolor
Pitiriasis versikolor disebabkan oleh Malassezia furfur. Pitiriasis versikolor adalah
suatu penyakit jamur kulit yang kronik dan asimtomatik serta ditandai dengan bercak putih
sampai coklat yang bersisik. Kelainan ini umumnya menyerang badan dan kadang-kadang
terlihat di ketiak, sela paha, tungkai atas, leher, muka, dan kulit kepala. Organisme penyebab
pitiriasis versikolor mengeluarkan sekresi asam azelat. Hal ini menyebabkan timbulnya
hipopigmentasi, terutama sesudah terkena paparan sinar matahari.
Distribusi penyakit
Di Indonesia penyakit ini mempunyai insiden yang tinggi.
Keluhan
Timbul bercak putih ataupun kecoklatan dan kehitaman yang kadang gatal bila
berkeringat. Bisa pula tanpa keluhan gatal sama sekali, tetapi penderita mengeluh karena
malu oleh adanya bercak tersebut.
Gambar

http://www.klikdokter.com/medisaz/read/2010/07/05/183/pitiriasis-versikolor.
Klinis
Pada orang kulit berwarna, lesi yang terjadi biasanya tampak sebagai bercak
hipopigmentasi, tetapi pada yang berkulit

pucat lesi bisa berwarna kecoklatan atau

kemerahan. Di atas lesi terdapat sisik halus. Bentuk lesi tidak teratur dapat berbatas tegas
sampai difus dan ukuran lesi dapat miliar, lentikular, numular sampai plakat.
Ada dua berntuk yang sering didapat, yaitu:
a. Bentuk macular, berupa bercak-bercak yang agak lebar dengan skuama halus di
atasnya dengan tepi tidak meninggi.
b. Bentuk folikular, (seperti tetesan air) sering timbul di sekitar folikel rambut.
Diagnosis banding
Penyakit ini harus dibedakan dengan dermatitis seboroik, sifilis stadium dua, pitiriasis
rosea, vitiligo, morbus Hansen, dan hipopigmentasi pascaperadangan.
Cara menegakkan diagnosis
Selain mengenal kelainan yang khas yang disebabkan Malassezia furfur seperti
dikemukakan di atas. Oleh karena itu, pitiriasis versikolor harus dibantu dengan pemeriksaan
sebagai berikut:
a. Pemeriksaan langsung dengan KOH 10%
Bahan-bahan kerokokan kulit diambil dengan cara mengerok bagian kulit yang
mengalami lesi. Sebelumnya kulit dibersihkan dengan kapas alcohol 60%, lalu
dikerok dengan skalperl steril dan hasil kerokan kulit ditampung dalam lempenglempeng steril pula. Sebagian dari bahan tadi kita periksa langsung dengan KOH 10%
yang diberi tinta Parker Biru Hitam. Dipanaskan sebentar, ditutup dengan gelas
penutup dan diperiksa di bawah mikroskop. Bila penyebabnya memang jamur akan
kelihatan garis yang memiliki indeks bias lain dari sekitarnya dan jarak-jarak tertentu
dipisahkan oleh sekat-sekat, atau seperti butir-butir yang bersambung seperti kalung.
Pada pitiriasis versikolor hifa tampak pendek-pendek, lurus atau bengkok disertai
banyak butiran kecil yang bergerombol.
b. Pembiakan
Organisme penyebab tinea versikolor belum dapat dibiakan pada media buatan.
Pemeriksaan dengan sinar wood dapat memberi perubahan warna pada seluruh daerah
lesi sehingga batas lesi lebih mudah dilihat. Daerah yang terkena infeksi akan
memperlihatkan fluoresensi warna emas sampai oranye.
Pengobatan
Tinea versikolor dapat diobati dengan berbagai obat yang manjur.
Pakaian, kain sprei, handuk, harus dicuci dengan air panas. Kebanyakan pengobatan akan
menghilangkan bukti infeksi aktif (skuama) dalam waktu beberapa hari, tetapi untuk
menjamin pengobatan yang tuntas pengobatan ketat ini harus dilanjutkan beberapa minggu.

Perubahan pigmen lebih lambat hilangnya. Daerah hipopigmentasi belum akan


tampak normal sampai daerah itu menjadi coklat kembali. Hal ini dapat terjadi karena
Malassezia furfur dapat menghambat pertumbuhan pigmen. Sesudah terkena sinar matahari
lebih lama daerah-daerah yang hipopigmentasi akan coklat kembali. Meskipun terapi nampak
sudah cukup, kambuh, atau kena infeksi lagi menrupakan hal biasa, namun selalu ada respons
terhadap pengobatan kembali. Tinea versikolor tidak member respons yang baik terhadap
pengobatan dengan griseofulvin.
Obat-obat antijamur yang dapat menolong, misalnya salep whitfield, salep salisisl
sulfur (salep 2/ 4), larutan salisil spiritus, larutan tiosulfat natrikus (35%) dan lotio kumerfeldi
juga dapat menolong. Obat baru, seperti selenium sulfide 2% dalam shampoo, derivate
imidasol (ketokonasol, isokonasol, toksilat dalam bentuk krim) atau larutan dengan
konsentrasi 1-2% sangat berkhasiat baik.
Obat-obat tablet ketokonasol 1x 200mg/ hari selama 10-14 hari dapat memberikan
hasil pengobatan yang baik, dan demikian juga obat turunan triasol seperti preparat tabel
itrakonasol 2x1-- ,g/ hari selama 10-14 hari member hasil yang memuaskan.
Prognosis
Umumnya baik, jika faktor-faktor predisposisi dapat dieliminasi dengan baik.
Vitiligo
Vitiligo adalah penyebab yang paling penting dari timbulnya bercak-bercak pucat
pada kulit. Hal yang terjadi pada kulit penderita vitiligo adalah depigmentasi, bukan
hipopigmentasi, walaupun dalam progesinya tidak selalu sempurna.
Secara khas terjadi hilangnya pigmen secara penuh pada kulit yang sesungguhnya
normal. Bercak-bercak bisa saja berukuran kecil, tetapi biasanya menjadi cukup besar, dan
bentuknya sering tidak teratur/ bervariasi dengan batas tegas. Depigmentasi bisa menyebar
luas ke seluruh tubuh. Walaupun vitiligo bisa terjadi di mana saja, tetapi sering terjadi secara
benar-benar simetris pada kulit tangan, di sekitar mulut, dan di sekitar mata.9 Lesi ini
merupakan sekitar separuh dari kasus defek pigmen didapat yang timbul sebelum usia 20
tahun.
Epidemiologi dan etiologi
Meskipun tidak terdapat pola penurunan genetic yang pasti, 30-40% penderita
memiliki riwayat keluarga yang positif. Abnormalitas terkait termasuk uveitis dan tumbuhnya
rambut uban premature. Sindrom Vogt-Koyanagi muncul dengan vitiligo, uveitis dan
tumbuhnya uban premature tetapi juga melibatkan sifat saraf sentral. Vitiligo lebih sering
pada penderita dengan penyakit tiroid (hipa atau hipertiroid), insufisiensi adrenal, anemia
pernisiosa dan diabetes mellitus. Penyebab vitiligo tidak diketahui, tetapi trauma tampaknya
memainkan peranan dalam menginduksi terjadinya lesi. Teori yang paling popular dari

pathogenesis vitiligo adalah mekanisme autoimun, berdasarkan temuan bahwa organ spesifik
autoantibody seperti tiroid, gastroparietal dan jaringan adrenal lebih sering ditemukan dalam
serum penderita dengan vitiligo daripada populasi umum. Sebagai alternative adalah teori
neurogenik bahwa senyawa, yang dilepas pada ujung saraf perifer kulit, dapat menghambat
melanogenesis, dan teori perubahan-diri (self destruct) mengatakan bahawa melanosit
menghancurkan dirinya sendiri karena mekanismer perlindungan yang tidak sempurna secara
normal akan membuang precursor melanin toksik.6
Kelainan ini masih sedikit sekali yang dipahami. Melanosit pada bercak-bercak awal
masih ada, tetapi tidak memproduksi melanin. Selanjutnya melanosit menjadi hilang sama
sekali, kecuali pada tempat yang dalam di sekitar folikel rambut. Vitiligo mungkin juga
merupakan proses autoimun di mana terdapat peningkatan autoantibody yang spesifik-organ
(sebagaimana pada alopesia areata, yang mungkin terjadi bersamaan dengan vitiligo).9
Manifestasi klinis
Daerah predileksi biasanya relative hiperpigmentasi, seperti wajah, terutama sekitar
mata dan mulut, aksila, bagian inguinal dan genital, serta areola.
Tempat-tempat yang sering terkena trauma dan gesekan juga mungkin
terkena, termasuk tangan dan kaki, siku, lutut dan pergelangan kaki. Bila
kulit kepala dan alis terkena, rambut dapat kehilangan pigmen.
Penyebaran umumnya simetrik tetapi kadang-kadang unilateral atau
berdasarkan dermatom.
Lamanya vitiligo bervariasi; beberapa lesi dapat menghilang secara spontan
sementara lainnya berkembang, tetapi depigmentasi yang membandel dapat timbul secara
progresif. Repigmentasi spontan timbul pada 10-20% penderita, paling sering pada lesi yang
penyebarannya pada daerah yang terkena pajanan sinar matahari. Secara histopatologi,
melanosit tidak terdapat pada daerah yang terkena dan tumbuh kembali pada epidermis dari
epitel folikel rambut saat repigmentasi terjadi.
Meskipun diagnosis biasanya dibuat secara klinis, tidak adanya melanosit dapat dipastikan
dengan pewarnaan DOPA atau mikroskop electron dari bahan yang diambil dari kulit yang
tidak berpigmen.6
Pasien vitiligo mengalami peninggian inisidensi berbagai kelainan autoimun,
termasuk hipotiroid, penyakit Graves, anemia pernisiosa, penyakit Addison, uveitis, alopesia
areata, kandidiasis mukokutaneus menahun, dan sindroma autoimun poliglandula (tipe I, II,
dan III). Penyakit kelenjar tiroid adalah yang paling sering bersama lesi ini, yang terjadi
sampai dengan 30 persen pasien vitiligo. Autoantibody sirkulasi yang sering ditemukan, dan
yang paling sering adalah antitiroglobulin, antimikron, dan antibody anti sel parietal.10
Pengobatan

Penanganan biasanya melibatkan pemberian psoralen oral atau topical disertai


pajanan sinar matahari atau sumber sinar ultra violet. Repigmentasi dapat terjadi sebagian
atau total, tetapi diperlukan waktu yang lama. Steroid topical berpotensi kuat kadang-kadang
efektif untuk menghasilkan repigmentasi vitiligo pada daerah yang sempit atau lesi awal pada
daerah yang tidak dapat menerima fototerapi seperti bibir. Lesi kecil dapat disamarkan
dengan pengolesan sediaan make up tertentu. Karena tidak adanya melanin, kulit yang
memiliki vitiligo terbakar oleh sinar matahari dan sebaiknya dilindungi setiap saat dengan
tabir surya yang sesuai.6,9
Pitiriasis alba
Bentuk dermatitis yang tidak spesifik (suatu eksema derajat rendah) dan belum
diketahui penyebabnya. Ditandai dengan adanya bercak kemerahan dan skuama sedikit
skuama pada permukaan kulit tampak pada wajah dan lengan atas yang akan menghilang
serta meninggalkan area yang depigmentasi/ hipopigmentasi yang sangat umum pada anakanak, terutama pada kulit yang berwarna gelap.1,5
Kelainan ini biasanya memberi respons (walaupun pelan-pelan terhadap pemakaian
pelembab, tetapi mungkin juga membutuhkan steroid topical yang ringan. Ada
kecenderungan menghilang pada saat pubertas.5
Nama lain dari pitiriasis alba adalah pitiriasis simpleks, pitiriasis makulata, impetigo
sika, impetigo pitiroides.
Gambar 5: Pitiriasis Alba
Sumber:
http://cetrione.blogspot.com/2008/06/pitiriasis-alba.html
Etiologi
Menurut

pendapat para ahli diduga adanya infeksi Streptococcus, tetapi

belum dapat dibuktikan.

Atas dasar riwayat penyakit dan distribusi lesi diduga impetigo


dapat merupakan faktor pencetus. Pitiriasis alba jua merupakan

manifestasi dermatitis non spesifik, yang belum diketahui penyebabnya. Sabun dan sinar
matahari bukan faktor yang berpengaruh.
Gejala klinis
Pitiriasis alba sering dijumpai pada anak berumur 3-16 tahun (30-40%). Wanita dan
pria sama banyak. Lesi berbentuk bulat, oval, atau plakat yang tak teratur. Warna merah muda
atau sesuai dengan warna kulit dengan skuama halus. Setelah eritema menghilang, lesi yang
dijumpai hanya depigmentasi dengan skuama halus. Bercak biasanya multiple 4 sampai 20
dengan diameter antara -2 cm. Pada anak-anak lokasi kelainan pada muka (50-60%),
paling sering di sekitar mulut, dagu, pipi, serta dahi. Lesi dapat dijumpai pada ekstremitas

dan badan. Dapat simetris pada bokong, paha atas, punggung, dan ekstensor lengan, tanpa
keluhan. Lesi umumnya menetap, terlihat sebagai leukoderma setelah skuama menghilang.
Diagnosis
Berdasarkan umur, skuama halus dan distribusi lesi. Diagnosis banding vitiligo, pada fase
eritrema sering diduga psoriasis.
Pengobatan
Umumnya mengecewakan. Skuama dapat dikurangi dengan krim emolien. Dapat
dicoba dengan preparat ter, misalnya likuor karbones detergens 3-5% dalam krim atau salap,
setelah dioleskan harus banyak terkena matahari.
Prognosis
Penyakit sembuh spontan setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun.
Kesimpulan
Lepra adalah infeksi oleh Mycobacterium leprae.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis berupa makula
hipopigmentasi, kelainan saraf,pemeriksaan bakteriologik, histopatologik dan tes

Lepromin.
Terdapat berbagai bentuk kelainan hipopigmentasi yang menyerupai Lepra dengan
berbagai faktor penyebab dan patogenesis yang berbeda. Karena itu diperlukan
pemeriksaan terperinci untuk menegakkan diagnosis yang tepat supaya dapat

dilakukan penatalaksaan terarah dengan hasil yang memuaskan.


Daftar Pustaka
1. Djuanda A, Hamxah M, Aisah S, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-5.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009. h. 73-323.
2. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Safitri A, editor. Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2005. h. 24.
3. Burnside JW, McGlynn TJ. Diagnosis fisik. Lukmanto H, editor. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 2004.h. 80-90.
4. Davey P. At a glance medicine. Safitri A, editor. Jakarta: Erlangga, 2005.h. 118-9.
5. Robin, Brown G, Burns T. Dermatologi: catatan kuliah. Jakarta: Erlangga, 2005. h. 1129.
6. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak. Wahab S, editor. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. h. 1046-8.
7. Werner D, Thuman C, Maxwell J. Apa yang anda kerjakan bila tidak ada dokter.
Achmad J, editor. Yogyakarta: CV Andi Offset, 2010. h. 255-8.
8. Gunawan GS, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. h. 633-5.
9. Penyakit jamur kulit. Edisi ke-2. Hartanto H, editor. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2005. h. 8-11.

10. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Harrison Prinsip-prinsip ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-13. Asdie Ah, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. h. 339-41.

Anda mungkin juga menyukai