Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya
disebut UUD Tahun 1945) Bab 1 Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa 'Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar'.1
Kedaulatan rakyat maksudnya adalah hak khusus untuk menjalankan kewenangan
tertinggi atas suatu wilayah atau suatu kelompok orang, seperti negara atau daerah
tertentu.2 Istilah kedaulatan dalam bahasa Indonesia berarti kekuasaan atau dinasti
pemerintahan. Kedaulatan umumnya dijalankan oleh pemerintah atau lembaga
politik sebuah negara.
Pemilihan umum (disingkat Pemilu) adalah suatu kegiatan yang memproses
pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagaimana yang dimaksudkan dalam UUD
Tahun 1945 Bab 1 Pasal 1 ayat (2) tersebut di atas. Hal ini sesuai dengan asas
kedaulatan rakyat. Rakyat yang menentukan kedaulatan yang dimilikinya. Dalam
rangka pelaksanaan hak asasi, Pemerintah berkewajiban untuk melaksanakan
Pemilu.
Sejak Indonesia merdeka, Pemilu sudah dilaksanakan 10 (sepuluh) kali,
yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan
2009. Pemilu tahun 1955 sampai dengan 1999 dilaksanakan untuk memilih wakil
rakyat untuk menduduki jabatan di lembaga legislatif. Selanjutnya, badan
legislatiflah yang akan membuat undang-undang dan memilih Presiden.
Sedangkan Pemilu tahun 2004 dan 2009 dilaksanakan untuk memillih wakil
rakyat yang duduk di lembaga legislatif dan kemudian memilih Presiden dan
Wakil Presiden.
1

Indonesia, Undang Undang Dasar 1945, Pasal 1 ayat (2).


Abdul Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, (Bandung:
Fokusmedia, 2009), hlm. 34.
2

Selanjutnya, pasal 18 dan pasal 19 UUD Tahun 1945 menyebutkan bahwa


badan legislatif DPR-RI dan Kepala Daerah Gubernur/Bupati/Walikota serta
DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota juga dipilih secara langsung dalam suatu
Pemilihan Umum.3 Hal ini dapat dipahami karena Lembaga DPR-RI adalah
lembaga legislatif yang mempunyai kekuasaan legislasi dan Kepala Daerah
Gubernu/Bupati/Walikota serta DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota adalah juga yang
mempunyai kekuasaan penyelenggara pemerintahan (kekuasaan) di wilayah
masing-masing.4 Dengan demikian rekrutmen pemilihan secara langsung dalam
suatu Pemilu proses rakyat mewakilkan kedaulatannya kepada Negara.
UUD Tahun 1945 pasal 22E mengatur mengenai Pemilu. Pemilu
diselenggarakan oleh suatu komite yang disebut Komisi Pemilihan Umum
(selanjutnya disebut KPU) yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. KPU
mempunyai kedudukan di Jakarta. Di tingkat Provinsi dibentuk KPU Provinsi
(disingkat KPUP) dan di tingkat Kabupaten/Kota dibentuk pula KPU Daerah
(disingkat KPUD). Di tingkat Kecamatan dibentuk Panitia Pemilihan Kecamatan
(disingkat PPK), dan di tingkat paling bawah yang bertugas melaksanakan
pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dibentuk Panitia
Pemungutan Suara (disingkat PPS). Untuk mengawasi proses tahapan Pemilu
yang dilaksanakan oleh KPU, dibentuk pula Badan Pengawas Pemilu
(BAWASLU)

yang

berkedudukan

di

tingkat

Nasional,

Provinsi

dan

Kabupaten/Kota. Selain dibentuk penyelenggara pemilu berupa KPU dan


Bawaslu, dibentuk pula Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (disingkat
DKPP) yang melakukan pengawasan dari sisi etika terhadap Pejabat
Penyelenggara Pemilu.
Peserta Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR/Legislatif) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terdiri
dari partai-partai Politik yang sudah lulus verifikasi oleh KPU. Peserta Pemilu
untuk memilih anggora Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah perseorangan.
3
4

Indonesia, Undang Undang Dasar 1945, Pasal 18 dan Pasal 19.


Dasril Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 65.

Peserta Pemilu untuk memilih Presiden/Wakil Presiden dan Gubernur serta


Bupati/Wakil Bupati-Walikota/Wakil Walikota adalah pasangan calon yang
diusulkan oleh partai politik yang memenuhi persyaratan perundang-undangan.5
Pemenang Pemilu adalah Partai/Perseorangan/Pasangan Calon yang
mendapat dukungan suara terbanyak dari rakyat yang memberikan suara.
Pemenang Pemilu diputuskan oleh KPU dan selanjutnya diserahkan kepada
Pemerintah untuk ditetapkan dan ditindaklanjuti dengan proses pelantikan atau
peresmiannya6.
Pemilu telah diatur dengan instrumen hukum berupa undang undang
mengenai penyelenggara Pemilu yaitu Undang Undang Nomor 22 Tahun 2007,
yang kemudian disempurnakan dengan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2011.
Kedua Undang Undang ini merupakan penjabaran terhadap UUD Tahun 1945
Pasal 22E ayat (6) yang intinya menjabarkan tugas pokok dan fungsi masingmasing Lembaga Penyelenggara Pemilu yaitu KPU, Bawaslu dan DKPP. DKPP
bukan lembaga penyelenggara Pemilu, tetapi tugas dan kewenangannya terkait
dengan para pejabat penyelenggara pemilu.
Pelaksanaan Pemilu yang sudah dilakukan selama ini masih memiliki
kelemahan. Permasalahan yang sering terjadi diakibatkan berbagai intervensi
yang dilakukan berbagai pihak terhadap KPU sebagai penyelenggara pemilu yang
dapat mempengaruhi hasil Pemilu. Berbagai pihak luar yang dimaksud, dapat
terdiri dari oknum aparat pemerintah dan partai politik, serta orang orang yang
memiliki kepentingan dalam pelaksanaan Pemilu. Intervensi yang menjadi
permasalahan antara lain ialah informasi, money politic, perhitungan suara,
keberpihakan oknum penyelenggara (imparsial) dan sebagainya.
Pada pemilu tahun 2004 dan tahun 2009 terjadi permasalahan mengenai
daftar pemilih, di mana banyaknya warga yang tidak dapat menggunakan hak
pilih pada pelaksanaan pemilu. Hambatan bagi warga negara untuk memilih pada
5

Wendy Melfa, Pemilukada (Demokrasi dan Otonomi Daerah ), (Lampung : BE Press, 2013),
hlm. 35.
6
Ibid, hlm 47.

pemilu diakibatkan bahwa para warga dinyatakan oleh KPU tidak memenuhi
syarat untuk menjadi pemilih, walaupun pada kenyataanya tidak demikian. Daftar
pemilih yang simpang siur membuat banyak pihak meragukan kredibilitas dan
kinerja KPU.
Fenomena terbaru ialah sengketa Pilkada Jawa Timur periode 2013
2018, di mana pada Pilkada tersebut salah satu pasangan calon Gubernur Jawa
Timur dan wakil Gubernur Jawa Timur yaitu Khofifah Indar Parawansah dan
Herman Suryadi Sumawiredja tidak diloloskan oleh KPU Jawa Timur untuk ikut
dalam Pilkada. KPU Jawa Timur menilai syarat syarat yang diperlukan bagi
pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur agar dapat ikut dalam Pilkada tidak
terpenuhi. Oleh sebab itu pasangan Khofifah dan Herman tidak dapat ikut sebagai
peserta di dalam Pilkada Jawa Timur.
Terkait dengan hal ini, Khofifah menilai bahwa KPU Jawa Timur telah
bekerja tidak secara professional. KPU Jawa Timur secara tidak langsung telah
memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon Gubernur dan Wakil
Gubernur Jatim dan meloloskan pasangan tersebut sebagai peserta Pilkada Jawa
Timur. Khofifah dan tim kuasa hukumnya memiliki bukti terkait dukungan
sepihak yang dilakukan oleh KPU Jawa Timur. Kubu Khofifah menilai bahwa
KPU Jawa Timur telah melanggar kode etik sebagai penyelenggara pemilu dan
mengadukan hal ini kepada DKPP.
Pelanggaran terhadap aturan Pemilu yang dilakukan oleh peserta dan
penyelenggara pemilu diselesaikan melalui jalur hukum pada Mahkamah
Konstitusi, sedangkan pelanggaran administrasi pemilu diselesaikan oleh
Bawaslu. Khusus pelanggaran etika yang dilakukan oleh pejabat penyelenggara
pemilu KPU dan Bawaslu beserta aparatur jajarannya) diselesaikan oleh DKPP.
Menurut Undang Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilu pasal 111, DKKP mempunyai tugas dan kewenangan untuk menangani
pelanggaran

kode etik

penyelenggara

pemilu.

Dengan adanya

Pejabat

Penyelenggara Pemilu, yaitu KPU dan Bawaslu, diharapkan penyelenggaraan

pemilu berjalan sesuai dengan ketentuan dan peraturan, sehingga dapat diperoleh
hasil pemilu yang sesuai dengan asas penyelenggaraan pemilu, yaitu pemilu
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Dengan latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, penulis tertarik
melakukan penelitian untuk penulisan skripsi ini yang berjudul Kedudukan Dan
Wewenang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Dalam
Penegakan Etika Penyelenggara Pemilu Di Indonesia.

B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan tersebut di atas, pokokpokok permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
sebagai lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia?
2. Apakah bentuk pelanggaran kode etika penyelenggara pemilu?
3. Bagaimanakah kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
dalam pemberian sanksi terkait dengan penegakan etika penyelenggara
pemilu?
C. Tujuan Penelitian
Selaras dengan pokok permasalahan tersebut, tujuan penelitian ini yaitu:
1. Menjelaskan tentang kedudukan Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu sebagai lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia.
2. Menjelaskan tentang bentuk pelanggaran etika yang dilakukan oleh
penyelenggara pemilu di Indonesia.

3. Menjelaskan sejauh mana kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara


Pemilu memberikan sanksi terkait dengan penegakan etika penyelenggara
pemilu di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat secara
teoretis maupun secara praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi pemikiran mengenai kedudukan dan wewenang DKPP
untuk menegakkan etika penyelenggara pemilu di Indonesia sesuai Undang
Undang 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Secara praktis, penelitian
ini diharapkan dapat memberikan pandangan atau argumen kepada masyarakat
umum dan KPU serta Bawaslu sebagai Penyelenggara Pemilu di Indonesia,
bahwa DKPP merupakan lembaga yang secara khusus bertugas melakukan
pengawasan terhadap penegakan etika bagi penyelenggara Pemilu di Indonesia.
E. Kerangka Teori
1. Teori Lembaga Negara
Dalam

perkembangan

sejarah,

teori,

dan

pemikiran

tentang

pengorganisasian, kekuasaan dan organisasi negara berkembang sangat cepat.7


Variasi struktur dan fungsi organisasi dan institusi institusi kenegaraan
berkembang menjadi banyak ragam dan bentuknya, baik di tingkat pusat maupun
di tingkat daerah. Gejala perkembangan semacam itu merupakan kenyataan yang
tak terelakan akibat tuntutan keadaan dan kebutuhan yang nyata, baik karena
faktor sosial, ekonomi, politik, dan budaya di tengah pengaruh globalisasi yang
semakin kompleks.
Semua corak, bentuk, bangunan, dan struktur organisasi yang ada
hanyalah mencerminkan respon negara dan pengambil keputusan dalam suatu
negara dalam mengorganisasikan berbagai kepentingan yang timbul dalam
masyarakat negara yang bersangkutan. Karena kepentingan yang timbul
7

Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), hlm 1.

bervariasi, maka corak organisasi negaranya juga berkembang dengan dinamika


sendiri.
Terdapat enam tipe organisasi sebagaimana dikemukakan Gerry Stoker,
yaitu:8
1. Organ yang bersifat central governments arms length agency:
2. Organ yang merupakan local authority implementation agency;
3. Organ atau institusi sebagai public/private partnership organization;
4. Organ sebagai user-organisation;
5. Tipe kelima, organ yang merupakan inter-govermental forum;
6. Tipe keenam, organ yang merupakan Joint Boards.

Menurut Gerry Stoker, both cental and local government have


encouraged experimentation with non-elected forms of government as a way
encouraging the greater involvement of major private corporate sector
companies, banks, and building societies in dealing with problems of urban and
economic decline. 9
Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah bersama sama terlibat
dalam upaya eksperimentasi kelembagaan yang mendasar dengan aneka bentuk
organisasi baru yang diharapkan lebih mendorong keterlibatan sektor swasta
dalam mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam mengatasi persoalan
ekonomi yang terus menurun. Masalah sosial, ekonomi, dan budaya yang
dihadapi semakin kompleks sehingga kita tidak dapat lagi mengandalkan bentuk
organisasi yang konvensional untuk mengatasinya.

Gerry Stoker, The Politics of Local Government, 2nd edition, (London: The Macmillan Press,
1991), hlm. 63.
9
Ibid.

Ragam bentuk organ pemerintahan mencakup struktur yang sangat


bervariasi, meliputi pemerintah pusat, kementerian kementerian yang bersifat
teritorial, ataupun intermediate institutions. Organ organ tersebut pada
umumnya berfungsi sebagai a quasi governmental world of appointed bodies, dan
bersifat nondepartemental agencies, single purpose authorities, dan mix public
private institutions.10
Di negara negara demokrasi yang telah mapan, seperti di Amerika
Serikat dan Perancis, pada tiga dasawarsa terakhir abad ke 20, juga banyak
bertumbuh lembaga lembaga negara baru. Lembaga baru tersebut biasa disebut
sebagai state auxiliary organs, atau auxiliary institutions sebaga lembaga negara
yang bersifat penunjang. Di antara lembaga lembaga itu kadang kadang ada
juga yang disebut sebagai self regulatory agencies, independent supervisory
bodies atau

lembaga lembaga yang menjalankan fungsi campuran (mix

fuction) antara fungsi fungsi regulatif, administratif, dan fungsi penghukuman


yang biasanya dipisahkan tetapi justru dilakukan secara bersamaan oleh lembaga
lembaga baru tersebut.11
Perkembangan lembagalembaga yang bersifat independen mencerminkan
adanya kebutuhan untuk mendekosentrasikan kekuasaan dari tangan birokrasi
ataupun organ organ konvensional pemerintahan tempat kekuasaan selama masa
sebelumnya terkonsentrasi. Organisasi kekuasaan yang birokratis, sentralistis,
dan terkonsentrasi tidak dapat lagi diandalkan, karena sebagai akibat dari
perkembangan yang semakin komplek dan rumit, oleh karena itu, pada waktu
yang

hampir

bersamaan

muncul

gelombang

deregulasi,

debirokratisasi,

desentralisasi, dan dekonsentrasi12.


Salah satu akibatnya, fungsi kekuasaan yang biasanya melekat dalam
fungsi lembaga eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif dialihkan menjadi fungsi
organ tersendiri yang bersifat independen. Oleh karena itu, kadang kadang
10

Asshidiqie, op. cit, hlm. 7.


Ibid.
12
Ibid, hlm 20.
11

lembaga baru tersebut menjalankan fungsi yang bersifat campuran dan


independen.
Istilah organ negara atau lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan
organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat atau organisasi non pemerintah
yang dalam bahasa Inggris disebut Non Government Organization13. Dengan
demikian, lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat
dapat disebut sebagai lembaga negara. Lembaga negara dapat berada dalam ranah
legislatif, eksekutif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran.
Konsepsi tentang lembaga negara ini dalam bahasa Belanda biasa disebut
staatsorgaan, yang dalam bahasa Indonesia hal itu identik dengan lembaga
negara, badan negara, atau disebut juga dengan organ negara. Dalam kamus
Hukum Bekanda Indonesia, kata staatsorgaan diterjemahkan sebagai alat
perlengkapan negara.14 Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa istilah
lembaga negara, organ negara, badan negara, dan alat perlengkapan negara
seringkali dipertukarkan. Akan tetapi menurut Natabaya,15 penyusun Undang
Undang Dasar 195 sebelum perubahan, cenderung konsisten menggunakan istilah
badan negara, bukan lembaga negara atau organ negara. Namun, Undang
Undang Dasar 1945 setelah perubahan melanjutkan kebiasaan MPR sebelum
masa reformasi yang tidak konsisten menggunakan peristilahan lembaga negara,
organ negara, dan badan negara.
Untuk memahami secara tepat, tidak ada jalan lain kecuali mengetahui
persis apa yang dimaksud dan apa kewenangan dan fungsi yang dikaitkan dengan
organisasi atau badan yang bersangkutan. Lembaga apa saja yang dibentuk yang
bukan lembaga masyarakat dapat disebut lembaga negara.

Montesquieu

mengatakan bahwa terdapat tiga jenis organ negara yaitu lembaga legislatif,
lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif. Masing masing lembaga tersebut
memiliki fungsinya tersendiri dalam pemerintahan. Dewasa ini doktrin
13

Ibid, hlm 27.


Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda Indonesia, cet -2,(Jakarta: Djambatan,
2002), hlm 390.
15
Asshidiqie, op. cit, hlm 28.
14

Montesquieu tersebut sudah tidak relevan lagi digunakan sebagai rujukan. Hal ini
dikarenakan tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organ tersebut
bekerja secara eksklusif. Kenyataan sekarang menunjukkan bahwa hubungan
antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan ketiganya
bersifat sederajat serta saling mengendalikan satu sama lainnya dengan prinsip
check and balances.16
Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan,
lembaga pemerintahan non departemen, atau lembaga negara saja. Ada yang
dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh Undang Undang Dasar,
ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari Undang Undang,
dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden.
Hirarki kedudukannya tentu saja berdasarkan pada derajat pengaturannya menurut
perundang undangan yang berlaku.
Lembaga negara yang diatur dan dibentuk dengan Undang Undang
Dasar merupakan organ konstitusi yaitu Presiden, MPR, DPR, DPD, MK, MA,
BPK, TNI, Polri, Bank Sentral, Komisi Penyelenggara Pemilu, dan Komisi
Yudisial. sedangkan yang dibentuk berdasarkan Undang Undang merupakan
organ Undang Undang misalnya Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan
sebagainya, sementara yang hanya dibentuk karena Keputusan Presiden tentunya
lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang
duduk di dalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi
kekuasaan berdasarkan Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya.
Harus diakui bahwa di tengah masyarakat sekarang masih berkembang
pemahaman yang luas bahwa pengertian lembaga negara dikaitkan dengan cabang
cabang kekuasaan tradisional legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Lembaga
negara dikaitkan dengan pengertian lembaga yang berada di ranah kekuasaan
legislatif disebut lembaga legislatif, yang berada di ranah eksekutif disebut
16

Ibid, hlm 32.

10

lembaga pemerintah, dan yang berada di ranah yudikatif disebut sebagai lembaga
pengadilan.
Sebelum perubahan Undang Undang Dasar 1945 biasa dikenal adanya
istilah lembaga pemerintah, lembaga departemen, lembaga non departemen,
lembaga negara, lembaga tinggi negara dan lembaga tertinggi negara. 17 Dalam
istilah hukum tata negara biasa dipakai istilah yang menunjuk kepada pengertian
yang lebih terbatas yaitu alat perlengkapan negara yang biasanya dikaitkan
dengan cabang cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial.18
Bab III Undang Undang Dasar 1945 mengatur tentang kekuasaan
pemerintahan negara. Bab ini menggambarkan proses dan sistem pemerintahan
negara. Sebelum diadakan perubahan pertama Undang Undang Dasar 1945,
pengertian pemerintahan negara mencakup pengertian yang luas meliputi fungsi
legislative dan eksekutif sekaligus. Hal ini dapat dilihat di dalam rumusan pasal 5
ayat 1 Undang Undang Dasar 1945 yaitu Presiden memegang kekuasaan
membentuk undang undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.19
Setelah perubahan pertama Undang Undang Dasar 1945, mulai diadakan
pergeseran kekuasaan legislatif dengan mengalihkan lebih banyak peranan dalam
membentuk undang undang dari kewenangan Presiden menjadi kewenangan
Dewan Perwakilan Rakyat. Pergeseran ini berkaitan pula dengan pembagian
kekuasaan versus pemisahan kekuasaan. Sebelum diadakan perubahan, kedaulatan
rakyat dianggap tercermin dalam kekuasaan lembaga tertinggi negara, yaitu
Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai penjelmaan seluruh rakyat. Dari
lembaga tertinggi inilah kekuasaan dari rakyat dibagi bagikan kepada lembaga
lembaga tinggi negara lain secara distributif (division of power).20 Oleh karena itu
paham yang dianut bukan pemisah kekuasaan dalam arti horizontal, melainkan
pembagian kekuasaan dalam arti vertikal. Sejak perubahan pertama sampai
keempat terhadap Undang Undang Dasar 1945, Konstitusi negara kita
17

Ibid, hlm. 38.


Ibid.
19
Indonesia, Undang Undang Dasar 1945, Ps. 5 ayat (1)
20
Asshidiqie, op cit, hlm 40.
18

11

meninggalkan doktrin pembagian kekuasaan dan mengadopsi gagasan pemisahan


kekuasaan dalam arti horizontal. Pemisahan kekuasaan yang dilakukan dengan
menerapkan prinsip check and balances di antara lembaga lembaga
konstitusional yang sederajat yang diidealkan saling mengendalikan satu sama
lain.
2. Teori Rule of Law dan Rule of Ethics
Rule of Law merupakan suatu legalisme hukum yang mengandung
gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan sistem peraturan dan
prosedur yang obyektif, tidak memihak, dan otonom. 21 Rule of Law adalah konsep
tentang common law, yaitu seluruh aspek negara menjunjung tinggi supremasi
hukum yang dibangun diatas prinsip keadilan dan egalitarian. Rule of Law adalah
rule by the law bukan rule by the man.
Menurut doktrin Rule of Law, keadilan harus berlaku bagi setiap orang.
Friedman berpendapat bahwa Rule of Law merupakan doktrin dengan semangat
idealism keadilan yang tinggi. Rule of Law dibedakan menjadi dua bagian,
yaitu:22

pengertian formal (in the formal sense) yaitu organized public power atau

kekuasaan umum yang terorganisasikan, misalnya negara.


pengertian hakiki (Ideological sense) yang erat hubungannya dengan
menegakkan rule of law karean menyangkut ukuran ukuran tentang
hukum yang baik dan buruk.
Untuk memahami pengertian dari Rule of law dibutuhkan pemahaman

mengenai inti ajaran Rule of law, yaitu keharusan menjamin apa yang diperoleh
masyarakat atau bangsa yang bersangkutan dipandang sebagai keadilan,
khususnya keadilan sosial.23 Rule of law sebagai suatu institusi sosial yang
memiliki struktur sosial sendiri dan mengakar pada budaya sendiri. 24 Rule of law
21

Sunaryati Hartono, Apakah The Rule Of Law itu, (Bandung: Alumni, 1982), hlm 56.
Ibid.
23
Ibid, hlm 65.
24
Ibid, hlm. 77.
22

12

tumbuh dan berkembang selama ratusan tahun seiring dengan pertumbuhan


masyarakat Eropa, sehingga mengakarkan sosial dan budaya Eropa, dan bukan
institusi netral.
Gerakan masyarakat yang menghendaki kekuasaan raja maupun
penyelenggara negara harus dibatasi dan diatur melalui suatu perundang
undangan, dan pelaksanaan dalam hubungannya dengan segala peraturan
perundang undangan sering diberikan istilah Rule of law. Pengertian Rule of
law berdasarkan substansi atau isinya sangat berkaitan dengan peraturan
perundang undangan yang berlaku dalam suatu negara. Konsekuensinya setiap
negara akan mengatakan mendasarkan pada Rule of law dalam kehidupan
negaranya,meskipun negara tersebut adalah negara otoriter. Atas dasar alasan ini
maka diakui bahwa sulit untuk menentukan pengertian Rule of law secara
universal, karena setiap masyarakat melahirkan pengertian yang berbeda beda.
3. Prinsip Rule of law
Prinsip secara formal Rule of law tertera di dalam Undang Undang
Dasar 1945. Jaminan adanya keadilan bagi masyarakat khususnya keadilan sosial
menjadi tujuan dari Rule of law. Prinsip Rule of law di dalam Undang Undang
dasar 1945 antara lain:
Pasal 1 ayat 3 yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara

hukum;
Pasal 27 ayat 1 yang menyebutkan bahwa segala warga negara bersamaan
dengan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali;


Pasal 28 ayat 1 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil di

hadapan hukum;
Pasal 28 ayat 2 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja.
Prinsip-prinsip Rule of Law secara materiil / hakiki,25
Berkaitan erat dengan the enforcement of the Rule of Law;

25

Satjipto Rahardjo, Beberapa Masalah Hukum Dalam Masyarakat, (Jakarta: Rajawali Press,
1976), hlm. 51-52.

13

Keberhasilan the enforcement of the rule of law tergantung pada

kepribadian nasional;
masing-masing bangsa;
Rule of law mempunyai akar sosial dan akar budaya Eropa;
Rule of law juga merupakan suatu legalisme, aliran pemikiran hukum;
mengandung wawasansosial, gagasan tentang hubungan antarmanusia;

masyarakat dan negara.


Rule of law merupakan suatu legalisme liberal.

Albert Venn Dicey dalam Introduction to the Law of the Constitution,


memperkenalkan istilah the Rule of Law yang secara sederhana diartikan sebagai
suatu keteraturan hukum. Menurut Dicey terdapat 3 unsur yang fundamental
dalam Rule Of Law, yaitu:26

Supremasi aturan-aturan hukum;

Kedudukan yang sama dimuka hukum;

Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh Undang-undang serta


keputusan pengadilan.

Suatu hal yang harus diperhatikan bahwa dalam hubungan dengan negara
hanya berdasarkan prinsip tersebut, maka negara terbatas dalam pengertian negara
hukum formal, yaitu negara tidak bersifat proaktif melainkan pasif. Sikap negara
yang demikian ini dikarenakan negara hanya menjalankan dan taat pada apa yang
termaktub dalam konstitusi semata.
Dalam hubungan negara hukum organisasi pakar hukum internasional,
International Comission of Jurists (disingkat ICJ), secara intens melakukan kajian
terhadap konsep negara hukum dan unsur-unsur esensial yang terkandung di
dalamnya.
Secara praktis, pertemuan ICJ di Bangkok tahun 1965 semakin
menguatkan posisi Rule Of Law dalam kehidupan bernegara. Selain itu melalui
pertemuan tersebut telah digariskan bahwa disamping hak-hak politik bagi rakyat
harus diakui pula adanya hak-hak sosial dan ekonomi, sehingga perlu dibentuk
26

Ibid., hlm. 56.

14

standar-standar

sosial

ekonomi.

Komisi

ini

merumuskan

syarat-syarat

pemerintahan yang demokratis dibawah Rule Of Law yang dinamis, yaitu27 :

Perlindungan konstitusional;

Lembaga kehakiman yang bebas dan tidak memihak;

Pemilihan umum yang bebas;

Kebebasan menyatakan pendapat;

Kebebasan berserikat/berorganisasi dan berposisi;

Pendidikan kewarganegaraan;
Etika atau ethics merupakan ilmu yang mempelajari tentang kesusilaan

atau ilmu tentang ahlak manusia. Secara umum etika berasal dari kata bahasa
Yunani yaitu ethos atau menurut E. Y Kanter Mores atau moralis yang berarti
kebiasaan, cara hidup, tabiat, akhlak atau watak yang akan muncul sebagai suatu
perilaku.28
Terdapat beberapa pendapat mengenai istilah etika ini, salah satunya
menurut Jihn O Manique menyebutkan bahwa etis (moral) adalah normatif, yang
mengandung penilaian tentang apa yang dianggap baik dan tidak baik, dan apa
yang sebaiknya dan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan. Selanjutnya Jihn
O Manique juga menjelaskan bahwa masalah moral yang dianggap baik itu erat
hubungannya dengan faham mengenai tanggung jawab atau responsibility29.
Pengertian etika politik secara subtantif tidak dapat dipisahkan dengan
manusia sebagai pelaku etika. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan
bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral
senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subyek etika. Walaupun dalam
hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun negara, etika politik tetap
meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih

27

Miriam Budiarjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm.
57 - 58
28
Ibid, hlm. 69
29
Inu Kencana, Etika Pemerintahan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm. 23

15

meneguhkan akar politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat


manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya.
Dalam pelaksanaan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar
kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan asas legalitas, secara demokrasi
dan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral. Etika politik ini harus
direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara kongkret dalam
pelaksanaan pemerintah negara.
Tujuan etika politik adalah mengarahkan pada hal yang lebih baik,
bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan
membangun institusi-institusi yang adil. Definisi etika politik membantu
menganalisis korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan strukturstruktur yang ada. Pengertian etika politik mengandung tiga tuntutan, yaitu upaya
hidup baik bersama dan untuk orang lain, upaya memperluas lingkup kebebasan,
dan membangun institusi-institusi yang adil.
Tiga tuntutan dari pengertian etika politik ini saling terkait erat. Hidup
bersama dan untuk orang lain tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima
pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Institusi-institusi yang
adil memungkinkan perwujudan kebebasan yang mencegah warga negara atau
kelompok-kelompok dari perbuatan yang saling merugikan. Kebebasan warga
negara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi yang tidak adil.
Pengertian kebebasan dimaksudkan sebagai sebagai syarat fisik, sosial, dan politik
yang perlu demi pelaksanaan kongkret kebebasan, kebebasan pers, kebebasan
berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.
Etika politik ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang jujur, bertatakrama
dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari
sifat munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan
berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.
Penyelenggaraan negara dilaksanakan oleh organ yang bernama aparatur
negara. Baik buruknya penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan terkait erat
dengan perilaku dari aparatur negara. Terkaitk dengan etika sebagaimana telah
disebutkan Jihn O Manique, etika penyelenggara negara merupakan nilai moral

16

yang mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur sikap, perilaku,
tindakan, ucapan dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya.
Aturan ini tentu harus dilakukan agar dapat mencapai suatu kemajuan
dalam suatu kehidupan yang dicita citakan yaitu aman, tenteram, damai,
sejahtera dan untuk itu sudah seharusnya setiap gerak dan langkah yang dialkukan
sebaiknya harus selalu menjunjung tinggi dan memegang teguh norma etika yang
ada.
Aparatur negara dan pemerintah memiliki tujuan untuk mendidik dan
mensejahterakan rakyat. Untuk dapat melakukan hal tersebut seorang pemimpin
atau pelaksana negara harus memiliki etika yang baik dalam melaksanakan
tugasnya. Ajaran untuk berperilaku baik dan benar sesuai dengan nilai nilai
keutamaan

yang

berhubungan

dengan

hakikat

manusia

disebut

etika

pemerintahan30.
Etika pemerintahan juga bagian dari praktik yurisprudensi atau filosofi
hukum yang mengatur operasi dari pemerintah dan hubungannya dengan orang
orang dalam pemerintahan. Prinsip prinsip etika harus disesuaikan dengan
keadaan, waktu, dan tempat, prinsip etika yang bersifat authority, yang bersifat
perintah menjadi suatu peraturan sehingga kadang kadang merupakan atribut
yang tidak bisa dipisahkan. Dalam etika pemerintahan apa yang dianjurkan
merupakan paksaan (imperative) yang dalam kehidupan sehari

- hari dapat

menimbulkan kesulitan. Hubungan etika pemerintahan dengan authority, misalnya


adalah berpakaian dinas. Hal ini sebenarnya hanya masalah etika, namun kalau
sudah dituangkan bukan lagi bersifat etis, tetapi bersifat pelaksanaan
(operasional). Kendatipun tidak ada sanksi yang tegas, etika mengikuti suatu
perubahan di dalam masyarakat yang bergantung pada kemauan, karena kehendak
masyarakat pada suatu waktu bisa berubah ubah.
Etika bergantung pada authority menghendaki orang harus tunduk pada
perintah, sedangkan pemerintah memupunyai sifat authority, yaitu sifat
memaksakan. Pemerintah tidak dapat melaksanakan perintah sekehendaknya yang
30

Ibid, hlm. 44.

17

bertentangan dengan nilai etika masyarakat. Etika dalam fungsi pemerintahan


antara lain,

Etika dalam proses kebijakan publik;

Etika dalam pelayanan publik;

Etika dalam pengaturan dan penataan kelembagaan pemerintahan

Etika dalam pembinaan dan pemberdayaan masyarakat;

Etika dalam kemitraan antara pemerintahan, pemerintah dengan


swasta, dan dengan masyarakat.

Etika pemerintahan tidaklah berdiri sendiri, di mana penegakannya terjalin


erat dengan pelaksanaan prinsip penerapan hukum. Sebuah pemerintahan yang
bersih akan tercapai apabila segala kebijakan dan tingkah laku dari aparatur
pemerintah juga baik dan bersih. Dengan demikian kebutuhan masyarakat akan
terpenuhi secara merata. Setiap warga masyarakat berhak memperoleh pelayanan
dan perlakuan yang adil dari aparatur pemerintah berdasarkan nilai nilai etika
dan hukum yang berlaku
B. Keterkaitan Demokratisasi dan Pemilu
Salah satu akar kedaulatan rakyat adalah demokratisasi yang dimaknai
sebagai implementasi demokrasi yang sesungguhnya, sehingga tidak ada
kedaulatan rakyat tanpa demokrasi dan tidak ada demokrasi tanpa adanya
kedaulatan rakyat. Dalam konsep demokrasi, pemerintahan dibangun atas
pemahaman bahwa rakyat memegang kedaulatan tertinggi dalam menentukan
corak pemerintahan yang diinginkannya.
Hal ini dapat diwujudkan ketika seorang penguasa dipilih oleh rakyat
melalui proses pemilihan yang kompetitif. Artinya dalam proses itu terdapat lebih
dari seorang calon. Para calon tersebut harus saling bersaing untuk

18

memperlihatkan kepada pemilih, siapa di antara mereka yang paling kompeten


untuk menjadi pemimpin.31
Adanya cara pemilihan sebagai wujud partisipasi rakyat dalam negara
merupakan wujud turut serta rakyat dalam mengawasi kegiatan dari pemerintah.
Hal ini menjadikan rakyat memiliki peran ganda, satu sisi seorang warga negara
menjadi orang yang patuh terhadap pemerintah, sisi lain rakyat menjadi pihak
yang berkuasa dalam negara.32 Oleh sebab itu, dalam negara yang menjunjung
tinggi asas demokrasi, rakyat merupakan penentu atau juri segala tindakan negara
melalui sarana yang dinamakan sebagai pemilihan umum.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemilu sebagai alat demokrasi
yang memposisikan pemilu sebagai representative government.33 Oleh sebab itu,
keterkaitan demokrasi dengan pemilu dapat dilihat dari sejauh mana pertarungan
antar kelompok yang menghasilkan representasi politik.34
Kebebasan dan penghormatan terhadap hak hak asasi manusia pada
intinya juga merupakan bagian dari demokrasi, sehingga tepat jika kemudian
pemilu sebagai sarana demokratisasi memberikan jaminan kebebasan memilih dan
sikap memilih sebagai suatu hak. Dengan demikian, kebebasan memilih seorang
wakil rakyat akan terkait erat dengan keinginan atau kemauan dari pemilihnya.
Ketidakbebasan dalam memilih atau menjalankan amanat rakyat yang
diwakilinya menyebabkan rakyat dan para wakilnya menjadi subordinasi
penguasa. Akibatnya, pemilu yang menjadi sarana memilih dan dipilih lebih
merupakan kamuflase politik yang penuh dengan penipuan politik yang
cenderung untuk mendapatkan keabsahan politik semata. Kondisi seperti ini,
sering terjadi terhadap negara yang iklim demokrasinya berada dalam tekanan
penguasa. Realita lainnya juga menunjukkan bahwa struktur kekuasaan yang
timpang akan berkaitan dengan kemampuan untuk mengatur berdasarkan
31

Amir Santoso, Demokrasi dan Pergantian Kekuasaan secara Damai, (Prisma, 1992), hlm. 22.
Gouw Giok Siong, Warga negara dan Orang Asing, (Jakarta: Keng Po, 1958), hlm. 82.
33
R. Eep Saefullah Fatah, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1994), hlm. 15.
34
Ibid, hlm. 44
32

19

kepentingan dan tujuan yang dicapai elit politik. Akhirnya, setiap kebijakan
negara yang harus ditaati dengan dalih sebagai bagian dari the politics of the
common good.
Dalam interaksi politik yang normal, demokratisasi dan pemilu akan
berjalan sebagai tradisi yang dijalankan secara wajar. Dengan demikian,
perubahan pemerintahan dan pergantian penguasa yang menjadi akibatnya dapat
disandarkan pada aturan main yang jelas dalam konstitusi. Namun, jika demokrasi
dan pemilu dilakukan sebagai akibat terjadinya konflik politik, seringkali muncul
penguasa yang memaknai demokrasi dan pemilu sebagai dalih atas kekuasaan
yang dimilikinya

F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini dilakukan
dengan cara metode penelitian hukum normatif atau disebut juga penelitian
hukum kepustakaan. Penelitian ini mempergunakan bahan pustaka atau data
sekunder yang mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier. Bahan hukum primer mencakup norma, atau kaedah dasar,
peraturan dasar, Peraturan Perundang undangan, bahan hukum yang tidak
dikodifikasikan, dan Yurisprudensi.
Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti misalnya, rancangan undang undang, hasil hasil
penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan lain lain.35
Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah
kamus, ensiklopedia, indeks, dan lain lain.36

35

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986,) hlm.
52.
36
Ibid.

20

Bahan dasar penelitian kepustakaan dapat dilihat dari sudut informasi yang
dapat diberikan yaitu: bahan /sumber yakni bahan pustaka yang berisikan
pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir, ataupun pengertian baru tentang
fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan. Misalnya buku buku,
kertas kerja konperensi, seminar dan lain lain.37
Bahan/sumber sekunder yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi
tentang bahan primer. Misalnya, intisari, abstrak, bibliografi, dan lain lain. 38
Bahan tersier atau bahan penunjang merupakan petunjuk terhadap bahan primer
dan sekunder.39
Penelitian hukum normatif terhadap bahan bahan kepustakaan yang
berkaitan dengan pemilihan umum pada umumnya bersumber pada peraturan
perundang undangan, sistem pemilu, penyelenggara pemilu, dan yang terkait
dengan pengawas penyelenggara pemilu. Bahan hukum yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan dibagi dalam lima bab, yang terdiri dari beberapa sub
bab. Bab pertama menguraikan mengenai latar belakang, pokok permasalahan,
tujuan penulisan, manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian, serta
sistematika penulisan.
Bab kedua menguraikan mengenai sejarah penyelenggaraan Pemilu yang
telah berlangsung beberapa kali, di antaranya pada tahun 1955, pada masa Orde
Baru, pada era Refomasi, yaitu Pemilu Tahun 2004 dan Tahun 2009. Bagian ini
juga menguraikan mengenai lembaga-lembaga yang menyelenggarakan Pemilu,
yaitu KPU, dan lembaga yang mengawasi Pemilu, yaitu Bawaslu.
37

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1985), hlm. 29.
38
Ibid.
39
Ibid, hlm. 33.

21

Bab ketiga menguraikan mengenai kedudukan Dewan Kehormatan


Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam penyelenggaraan pemilu. Kemudian akan
menguraikan bagaimana struktur organisasi dan tata kerja DKPP, serta tugas dan
wewenang dari DKPP tersebut. Selanjutnya di dalam bab ini juga akan dibahas
apa saja hambatan pelaksanaan tugas DKPP ini.
Bab keempat menguraikan mengenai kedudukan DKPP dalam penegakan
etika penyelenggara pemilu di Indonesia dan bagaimana bentuk pelanggaran etika
pejabat penyelenggara pemilu. Kemudian akan menguraikan mengenai bagaimana
proses DKPP memberikan sanksi terhadap pelanggaran etika penyelenggara
pemilu.
Bab kelima sebagai bagian penutup memaparkan kesimpulan
kesimpulan berdasarkan analisis atau pembahasan pokok-pokok permasalahan
pada penelitian ini. Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, bagian ini
mengajukan saran saran kepada pihak-pihak yang relevan dengan penelitian
yang dilakukan dan dapat menjadi masukan bagi perkembangan ilmu hukum di
bidang penyelenggaraan Pemilu.

22

Anda mungkin juga menyukai