PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya
disebut UUD Tahun 1945) Bab 1 Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa 'Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar'.1
Kedaulatan rakyat maksudnya adalah hak khusus untuk menjalankan kewenangan
tertinggi atas suatu wilayah atau suatu kelompok orang, seperti negara atau daerah
tertentu.2 Istilah kedaulatan dalam bahasa Indonesia berarti kekuasaan atau dinasti
pemerintahan. Kedaulatan umumnya dijalankan oleh pemerintah atau lembaga
politik sebuah negara.
Pemilihan umum (disingkat Pemilu) adalah suatu kegiatan yang memproses
pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagaimana yang dimaksudkan dalam UUD
Tahun 1945 Bab 1 Pasal 1 ayat (2) tersebut di atas. Hal ini sesuai dengan asas
kedaulatan rakyat. Rakyat yang menentukan kedaulatan yang dimilikinya. Dalam
rangka pelaksanaan hak asasi, Pemerintah berkewajiban untuk melaksanakan
Pemilu.
Sejak Indonesia merdeka, Pemilu sudah dilaksanakan 10 (sepuluh) kali,
yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan
2009. Pemilu tahun 1955 sampai dengan 1999 dilaksanakan untuk memilih wakil
rakyat untuk menduduki jabatan di lembaga legislatif. Selanjutnya, badan
legislatiflah yang akan membuat undang-undang dan memilih Presiden.
Sedangkan Pemilu tahun 2004 dan 2009 dilaksanakan untuk memillih wakil
rakyat yang duduk di lembaga legislatif dan kemudian memilih Presiden dan
Wakil Presiden.
1
yang
berkedudukan
di
tingkat
Nasional,
Provinsi
dan
Wendy Melfa, Pemilukada (Demokrasi dan Otonomi Daerah ), (Lampung : BE Press, 2013),
hlm. 35.
6
Ibid, hlm 47.
pemilu diakibatkan bahwa para warga dinyatakan oleh KPU tidak memenuhi
syarat untuk menjadi pemilih, walaupun pada kenyataanya tidak demikian. Daftar
pemilih yang simpang siur membuat banyak pihak meragukan kredibilitas dan
kinerja KPU.
Fenomena terbaru ialah sengketa Pilkada Jawa Timur periode 2013
2018, di mana pada Pilkada tersebut salah satu pasangan calon Gubernur Jawa
Timur dan wakil Gubernur Jawa Timur yaitu Khofifah Indar Parawansah dan
Herman Suryadi Sumawiredja tidak diloloskan oleh KPU Jawa Timur untuk ikut
dalam Pilkada. KPU Jawa Timur menilai syarat syarat yang diperlukan bagi
pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur agar dapat ikut dalam Pilkada tidak
terpenuhi. Oleh sebab itu pasangan Khofifah dan Herman tidak dapat ikut sebagai
peserta di dalam Pilkada Jawa Timur.
Terkait dengan hal ini, Khofifah menilai bahwa KPU Jawa Timur telah
bekerja tidak secara professional. KPU Jawa Timur secara tidak langsung telah
memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon Gubernur dan Wakil
Gubernur Jatim dan meloloskan pasangan tersebut sebagai peserta Pilkada Jawa
Timur. Khofifah dan tim kuasa hukumnya memiliki bukti terkait dukungan
sepihak yang dilakukan oleh KPU Jawa Timur. Kubu Khofifah menilai bahwa
KPU Jawa Timur telah melanggar kode etik sebagai penyelenggara pemilu dan
mengadukan hal ini kepada DKPP.
Pelanggaran terhadap aturan Pemilu yang dilakukan oleh peserta dan
penyelenggara pemilu diselesaikan melalui jalur hukum pada Mahkamah
Konstitusi, sedangkan pelanggaran administrasi pemilu diselesaikan oleh
Bawaslu. Khusus pelanggaran etika yang dilakukan oleh pejabat penyelenggara
pemilu KPU dan Bawaslu beserta aparatur jajarannya) diselesaikan oleh DKPP.
Menurut Undang Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilu pasal 111, DKKP mempunyai tugas dan kewenangan untuk menangani
pelanggaran
kode etik
penyelenggara
pemilu.
Dengan adanya
Pejabat
pemilu berjalan sesuai dengan ketentuan dan peraturan, sehingga dapat diperoleh
hasil pemilu yang sesuai dengan asas penyelenggaraan pemilu, yaitu pemilu
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Dengan latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, penulis tertarik
melakukan penelitian untuk penulisan skripsi ini yang berjudul Kedudukan Dan
Wewenang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Dalam
Penegakan Etika Penyelenggara Pemilu Di Indonesia.
B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan tersebut di atas, pokokpokok permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
sebagai lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia?
2. Apakah bentuk pelanggaran kode etika penyelenggara pemilu?
3. Bagaimanakah kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
dalam pemberian sanksi terkait dengan penegakan etika penyelenggara
pemilu?
C. Tujuan Penelitian
Selaras dengan pokok permasalahan tersebut, tujuan penelitian ini yaitu:
1. Menjelaskan tentang kedudukan Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu sebagai lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia.
2. Menjelaskan tentang bentuk pelanggaran etika yang dilakukan oleh
penyelenggara pemilu di Indonesia.
perkembangan
sejarah,
teori,
dan
pemikiran
tentang
Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), hlm 1.
Gerry Stoker, The Politics of Local Government, 2nd edition, (London: The Macmillan Press,
1991), hlm. 63.
9
Ibid.
hampir
bersamaan
muncul
gelombang
deregulasi,
debirokratisasi,
Montesquieu
mengatakan bahwa terdapat tiga jenis organ negara yaitu lembaga legislatif,
lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif. Masing masing lembaga tersebut
memiliki fungsinya tersendiri dalam pemerintahan. Dewasa ini doktrin
13
Montesquieu tersebut sudah tidak relevan lagi digunakan sebagai rujukan. Hal ini
dikarenakan tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organ tersebut
bekerja secara eksklusif. Kenyataan sekarang menunjukkan bahwa hubungan
antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan ketiganya
bersifat sederajat serta saling mengendalikan satu sama lainnya dengan prinsip
check and balances.16
Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan,
lembaga pemerintahan non departemen, atau lembaga negara saja. Ada yang
dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh Undang Undang Dasar,
ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari Undang Undang,
dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden.
Hirarki kedudukannya tentu saja berdasarkan pada derajat pengaturannya menurut
perundang undangan yang berlaku.
Lembaga negara yang diatur dan dibentuk dengan Undang Undang
Dasar merupakan organ konstitusi yaitu Presiden, MPR, DPR, DPD, MK, MA,
BPK, TNI, Polri, Bank Sentral, Komisi Penyelenggara Pemilu, dan Komisi
Yudisial. sedangkan yang dibentuk berdasarkan Undang Undang merupakan
organ Undang Undang misalnya Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan
sebagainya, sementara yang hanya dibentuk karena Keputusan Presiden tentunya
lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang
duduk di dalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi
kekuasaan berdasarkan Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya.
Harus diakui bahwa di tengah masyarakat sekarang masih berkembang
pemahaman yang luas bahwa pengertian lembaga negara dikaitkan dengan cabang
cabang kekuasaan tradisional legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Lembaga
negara dikaitkan dengan pengertian lembaga yang berada di ranah kekuasaan
legislatif disebut lembaga legislatif, yang berada di ranah eksekutif disebut
16
10
lembaga pemerintah, dan yang berada di ranah yudikatif disebut sebagai lembaga
pengadilan.
Sebelum perubahan Undang Undang Dasar 1945 biasa dikenal adanya
istilah lembaga pemerintah, lembaga departemen, lembaga non departemen,
lembaga negara, lembaga tinggi negara dan lembaga tertinggi negara. 17 Dalam
istilah hukum tata negara biasa dipakai istilah yang menunjuk kepada pengertian
yang lebih terbatas yaitu alat perlengkapan negara yang biasanya dikaitkan
dengan cabang cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial.18
Bab III Undang Undang Dasar 1945 mengatur tentang kekuasaan
pemerintahan negara. Bab ini menggambarkan proses dan sistem pemerintahan
negara. Sebelum diadakan perubahan pertama Undang Undang Dasar 1945,
pengertian pemerintahan negara mencakup pengertian yang luas meliputi fungsi
legislative dan eksekutif sekaligus. Hal ini dapat dilihat di dalam rumusan pasal 5
ayat 1 Undang Undang Dasar 1945 yaitu Presiden memegang kekuasaan
membentuk undang undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.19
Setelah perubahan pertama Undang Undang Dasar 1945, mulai diadakan
pergeseran kekuasaan legislatif dengan mengalihkan lebih banyak peranan dalam
membentuk undang undang dari kewenangan Presiden menjadi kewenangan
Dewan Perwakilan Rakyat. Pergeseran ini berkaitan pula dengan pembagian
kekuasaan versus pemisahan kekuasaan. Sebelum diadakan perubahan, kedaulatan
rakyat dianggap tercermin dalam kekuasaan lembaga tertinggi negara, yaitu
Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai penjelmaan seluruh rakyat. Dari
lembaga tertinggi inilah kekuasaan dari rakyat dibagi bagikan kepada lembaga
lembaga tinggi negara lain secara distributif (division of power).20 Oleh karena itu
paham yang dianut bukan pemisah kekuasaan dalam arti horizontal, melainkan
pembagian kekuasaan dalam arti vertikal. Sejak perubahan pertama sampai
keempat terhadap Undang Undang Dasar 1945, Konstitusi negara kita
17
11
pengertian formal (in the formal sense) yaitu organized public power atau
mengenai inti ajaran Rule of law, yaitu keharusan menjamin apa yang diperoleh
masyarakat atau bangsa yang bersangkutan dipandang sebagai keadilan,
khususnya keadilan sosial.23 Rule of law sebagai suatu institusi sosial yang
memiliki struktur sosial sendiri dan mengakar pada budaya sendiri. 24 Rule of law
21
Sunaryati Hartono, Apakah The Rule Of Law itu, (Bandung: Alumni, 1982), hlm 56.
Ibid.
23
Ibid, hlm 65.
24
Ibid, hlm. 77.
22
12
hukum;
Pasal 27 ayat 1 yang menyebutkan bahwa segala warga negara bersamaan
dengan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
hadapan hukum;
Pasal 28 ayat 2 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja.
Prinsip-prinsip Rule of Law secara materiil / hakiki,25
Berkaitan erat dengan the enforcement of the Rule of Law;
25
Satjipto Rahardjo, Beberapa Masalah Hukum Dalam Masyarakat, (Jakarta: Rajawali Press,
1976), hlm. 51-52.
13
kepribadian nasional;
masing-masing bangsa;
Rule of law mempunyai akar sosial dan akar budaya Eropa;
Rule of law juga merupakan suatu legalisme, aliran pemikiran hukum;
mengandung wawasansosial, gagasan tentang hubungan antarmanusia;
Suatu hal yang harus diperhatikan bahwa dalam hubungan dengan negara
hanya berdasarkan prinsip tersebut, maka negara terbatas dalam pengertian negara
hukum formal, yaitu negara tidak bersifat proaktif melainkan pasif. Sikap negara
yang demikian ini dikarenakan negara hanya menjalankan dan taat pada apa yang
termaktub dalam konstitusi semata.
Dalam hubungan negara hukum organisasi pakar hukum internasional,
International Comission of Jurists (disingkat ICJ), secara intens melakukan kajian
terhadap konsep negara hukum dan unsur-unsur esensial yang terkandung di
dalamnya.
Secara praktis, pertemuan ICJ di Bangkok tahun 1965 semakin
menguatkan posisi Rule Of Law dalam kehidupan bernegara. Selain itu melalui
pertemuan tersebut telah digariskan bahwa disamping hak-hak politik bagi rakyat
harus diakui pula adanya hak-hak sosial dan ekonomi, sehingga perlu dibentuk
26
14
standar-standar
sosial
ekonomi.
Komisi
ini
merumuskan
syarat-syarat
Perlindungan konstitusional;
Pendidikan kewarganegaraan;
Etika atau ethics merupakan ilmu yang mempelajari tentang kesusilaan
atau ilmu tentang ahlak manusia. Secara umum etika berasal dari kata bahasa
Yunani yaitu ethos atau menurut E. Y Kanter Mores atau moralis yang berarti
kebiasaan, cara hidup, tabiat, akhlak atau watak yang akan muncul sebagai suatu
perilaku.28
Terdapat beberapa pendapat mengenai istilah etika ini, salah satunya
menurut Jihn O Manique menyebutkan bahwa etis (moral) adalah normatif, yang
mengandung penilaian tentang apa yang dianggap baik dan tidak baik, dan apa
yang sebaiknya dan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan. Selanjutnya Jihn
O Manique juga menjelaskan bahwa masalah moral yang dianggap baik itu erat
hubungannya dengan faham mengenai tanggung jawab atau responsibility29.
Pengertian etika politik secara subtantif tidak dapat dipisahkan dengan
manusia sebagai pelaku etika. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan
bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral
senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subyek etika. Walaupun dalam
hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun negara, etika politik tetap
meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih
27
Miriam Budiarjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm.
57 - 58
28
Ibid, hlm. 69
29
Inu Kencana, Etika Pemerintahan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm. 23
15
16
yang mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur sikap, perilaku,
tindakan, ucapan dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya.
Aturan ini tentu harus dilakukan agar dapat mencapai suatu kemajuan
dalam suatu kehidupan yang dicita citakan yaitu aman, tenteram, damai,
sejahtera dan untuk itu sudah seharusnya setiap gerak dan langkah yang dialkukan
sebaiknya harus selalu menjunjung tinggi dan memegang teguh norma etika yang
ada.
Aparatur negara dan pemerintah memiliki tujuan untuk mendidik dan
mensejahterakan rakyat. Untuk dapat melakukan hal tersebut seorang pemimpin
atau pelaksana negara harus memiliki etika yang baik dalam melaksanakan
tugasnya. Ajaran untuk berperilaku baik dan benar sesuai dengan nilai nilai
keutamaan
yang
berhubungan
dengan
hakikat
manusia
disebut
etika
pemerintahan30.
Etika pemerintahan juga bagian dari praktik yurisprudensi atau filosofi
hukum yang mengatur operasi dari pemerintah dan hubungannya dengan orang
orang dalam pemerintahan. Prinsip prinsip etika harus disesuaikan dengan
keadaan, waktu, dan tempat, prinsip etika yang bersifat authority, yang bersifat
perintah menjadi suatu peraturan sehingga kadang kadang merupakan atribut
yang tidak bisa dipisahkan. Dalam etika pemerintahan apa yang dianjurkan
merupakan paksaan (imperative) yang dalam kehidupan sehari
- hari dapat
17
18
Amir Santoso, Demokrasi dan Pergantian Kekuasaan secara Damai, (Prisma, 1992), hlm. 22.
Gouw Giok Siong, Warga negara dan Orang Asing, (Jakarta: Keng Po, 1958), hlm. 82.
33
R. Eep Saefullah Fatah, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1994), hlm. 15.
34
Ibid, hlm. 44
32
19
kepentingan dan tujuan yang dicapai elit politik. Akhirnya, setiap kebijakan
negara yang harus ditaati dengan dalih sebagai bagian dari the politics of the
common good.
Dalam interaksi politik yang normal, demokratisasi dan pemilu akan
berjalan sebagai tradisi yang dijalankan secara wajar. Dengan demikian,
perubahan pemerintahan dan pergantian penguasa yang menjadi akibatnya dapat
disandarkan pada aturan main yang jelas dalam konstitusi. Namun, jika demokrasi
dan pemilu dilakukan sebagai akibat terjadinya konflik politik, seringkali muncul
penguasa yang memaknai demokrasi dan pemilu sebagai dalih atas kekuasaan
yang dimilikinya
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini dilakukan
dengan cara metode penelitian hukum normatif atau disebut juga penelitian
hukum kepustakaan. Penelitian ini mempergunakan bahan pustaka atau data
sekunder yang mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier. Bahan hukum primer mencakup norma, atau kaedah dasar,
peraturan dasar, Peraturan Perundang undangan, bahan hukum yang tidak
dikodifikasikan, dan Yurisprudensi.
Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti misalnya, rancangan undang undang, hasil hasil
penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan lain lain.35
Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah
kamus, ensiklopedia, indeks, dan lain lain.36
35
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986,) hlm.
52.
36
Ibid.
20
Bahan dasar penelitian kepustakaan dapat dilihat dari sudut informasi yang
dapat diberikan yaitu: bahan /sumber yakni bahan pustaka yang berisikan
pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir, ataupun pengertian baru tentang
fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan. Misalnya buku buku,
kertas kerja konperensi, seminar dan lain lain.37
Bahan/sumber sekunder yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi
tentang bahan primer. Misalnya, intisari, abstrak, bibliografi, dan lain lain. 38
Bahan tersier atau bahan penunjang merupakan petunjuk terhadap bahan primer
dan sekunder.39
Penelitian hukum normatif terhadap bahan bahan kepustakaan yang
berkaitan dengan pemilihan umum pada umumnya bersumber pada peraturan
perundang undangan, sistem pemilu, penyelenggara pemilu, dan yang terkait
dengan pengawas penyelenggara pemilu. Bahan hukum yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan dibagi dalam lima bab, yang terdiri dari beberapa sub
bab. Bab pertama menguraikan mengenai latar belakang, pokok permasalahan,
tujuan penulisan, manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian, serta
sistematika penulisan.
Bab kedua menguraikan mengenai sejarah penyelenggaraan Pemilu yang
telah berlangsung beberapa kali, di antaranya pada tahun 1955, pada masa Orde
Baru, pada era Refomasi, yaitu Pemilu Tahun 2004 dan Tahun 2009. Bagian ini
juga menguraikan mengenai lembaga-lembaga yang menyelenggarakan Pemilu,
yaitu KPU, dan lembaga yang mengawasi Pemilu, yaitu Bawaslu.
37
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1985), hlm. 29.
38
Ibid.
39
Ibid, hlm. 33.
21
22