Anda di halaman 1dari 12

Calcium Channel Blocker sebagai Tokolitik: Prinsip

Kerja, Efek Samping, dan Kombinasi Terapeutik


Robert Gaspar dan Judit Hajagos-Toth
Abstrak: Ca2= channel blockers (CCB) dihidropiridin banyak digunakan dalam
terapi persalinan prematur. Mekanisme kerjanya sebagai tokolitik melibatkan
blokade saluran Ca2+ tipe L, dipengaruhi oleh saluran K yang diaktivasi oleh Ca 2+,
reseptor beta adrenergik (Beta-AR), dan hormon seksual. Pada praktik klinis,
sebagian besar pengalaman didapat dari penggunaan nifedinpine, yang efikasinya
lebih superior dan sebanding dengan jenis beta-agonis dan antagonis oksitosin.
Selain itu, jenis ini memiliki efek samping yang lebih baik dibandingkan dengan
mayoritas tokolitik lain. Efek samping CCB yang paling sering ditemui dan paling
dapat ditoleransi adalah takikardi, sakit kepala, dan hipotensi. Usaha terapi
tokolitik kini dilakukan untuk menemukan kombinasi agen tokolitik yang
memberikan kerja terapi yang lebih baik. Penelitian manusia dan hewan yang
terserdia menunjukkan bahwa kombinasi CCB dengan agonis beta-AR adalah
sesuatu yang menguntungkan, walaupun kombinasi semcam ini dapat memberi
risiko edema paru pada kehamilan non tunggal dan penyakit jantung pembuluh
pada ibu. Data praklinis mengindikasikan manfaat potensial dari kombinasi CCB
dan antagonis oksitosin. Walau demikian, kombinasi CCB dengan progesterone
atau inhibitor siklooksigenase dapat menekan efikasinya. CCB kemungkinan
masih menjadi salah satu kelompok obat paling penting dalam inhibisi segera
untuk kontraksi prematur uterus. Signifikansinya dapat diperkuat dengan
penelitian klinis lebih lanjut dalam penggunaan secara kombinasi sebagai agen
tokolisis.
Kata kunci: nifedipine, persalinan prematur, tokolisis, kombinasi
1. Pendahuluan
Kelahiran prematur (pre-term birth/PTB) adalah salah satu masalah klinis pada
praktik obstetri. Insidensi PTB dapat berbeda dari satu daerah ke daerah lain,

angkanya sangat bervariasi di penjuru dunia, antara 5-11%. Terlepas dari


ketersediaan berbagai obat yang menghambat kontraksi prematur (tokolisis),
farmakoterapi untuk PTB masih belum tepat. Selain itu, efek samping pada ibu
dan janin yang disebabkan oleh dosis tinggi obat semacam ini dapat memicu
munculnya komplikasi lebih lanjut; maka dari itu terdapat kebutuhan tinggi untuk
obat yang efektif dan dapat ditoleransi dengan baik untuk melawn PTB. Ca 2+
channel blocker (CCB), dan khususnya nifedipine dan nicardipine, adalah jenis
yang sering dipakai untuk keperluan tokolisis. Dua jenis obat ini dianggap
semakin penting, dan semakin lebih signifikan daripada tokolitik tradisional
seperti bloker reseptor beta-adrenergik (beta-AR) atau magnesium sulfat.
Walaupun keduanya tak memenuhi kriteria sebagai tokolitik ideal, CCB memiliki
sifat tertentu yang membuatnya lebih baik dari tokolitik lain. Haas et al.
menyimpulkan bahwa CCB memiliki kemungkinan tinggi dalam menunda PTB
dan memperbaiki keluaran neonatal.

2. Mekanisme Kerja CCB pada Miometrium Hamil


Aktivitas kontraktil uterus diatur oleh peningkatan konsentrasi Ca 2+ pada sel
miometrium. Voltage-gated Ca2+ channel (VGCC) memerantarai influks Ca2+
dalam responnya terhadap depolarisasi membran dan meeregulasi proses seperti
kontraksi. Ca2+ berikatan dengan calmodulin dan mengaktivasi myosin light chain
kinase (MLCK) pada sel miometrium dan maka dari itu berakibat pada fosforilasi
serine 19 pada myosin light chain dan memulai cross bridge cycling selanjutnya.
Terdapat dua sumber untuk meningkatkan aktivator Ca 2+: masuk melalui
permukaan membran menembus VGCC dan/atau lepas dari retikulum
sarkoplasmik. Pada uterus, di mana potensial kerja terjadi, depolarisasi resultan
dan akibatnya berupa pembukaan VGCC membuatnya menjadi sumber utama
Ca2+ untuk kontraksi. Setiap kontraksi diikuti oleh penurunan Ca2+ pada uterus dan
setiap istirahat dan kontraksi akan hilang bila VGCC diblokir.

Saluran Ca2+ tipe L voltage-dependent telah diidentifikasi pada miometrium uterus


pada

penelitian

elektrofisiologis,

farmakologis,

dan

molekuler.

Mereka

bertanggung jawab untuk mayoritas saluran kalsium yang teramati pada


miometrium manusia. Saluran Ca2+ adalah kompleks protein yang terdiri atas lima
subunit berbeda (1, 2, , , ) yang dikodekan oleh berbagai gen. Dihidropiridine
(DHP) seperti nifedipine berikatan dengan sisi pengikat DHP pada saluran tipe L,
yang terletak pada subunit 1. Peningkatan ekspresi salah satu isoform VGCC
pada hamil dan persalinan. Peningkatan kapasitas ikatan DHP terlihat pada
separuh akhir kehamilan yang mendukung peran VGCC tipe L pada proses
parturisi.
Maka dari itu CCB memberikan peran yang cukup penting untuk tujuan terapi dan
eksperimental. Aktivitas dan sensitivitas saluran Ca2+ tipe L terhadap CCB DHP
dipengaruhi setidaknya oleh tiga faktor.

2.1. Faktor 1: Saluran K yang diaktivasi oleh Ca2+ (BKCa)


Uterus mengandung saluran BKCa dan ekspresi serta distribusinya telah dikenal
berjenis gestation-regulated. Saluran BKCa adalah berbagai kelompok saluran K+
yang berpartisipasi dalam repolarisasi dan hiperpolarisasi potensial aksi. Saluran
ini diaktivasi oleh peningkatan kadar Ca2+ intraseluler. Pembukaan saluran BKCa
memiliki kaitan dengan hiperpolarisasi kecil, yang berakibat pada penurunan
pembukaan saluran Ca2+ tipe L dan penurunan konsentrasi Ca2+, dan maka dari itu
terjadi relaksasi. Peran saluran BKCa dalam kombinasi dengan nifedipine diteliti
oleh Moynihan et al., yang menyimpulkan bahwa bloker saluran BK Ca secara
signifikan melawan efek relaksan dari nifedipine. Walau demikian, penelitian lain,
dengan paxilline dan tetraetilamonium, mengindikasikan bahwa saluran BK Ca dan
saluran K+ lain, kontras dengan miometrium manusia, tak terlibat dalam efek
relaksasi nifedipine pada miometrium tikus hamil.

2.2 Faktor 2: Reseptor Beta-Adrenergik


Sistem adrenergik memainkan suatu peranan penting dalam pengendalian
kontraktilitas uterus. Kini, agonis 2-AR masih menjadi tokolitik yang paling
sering dipakai, walaupun signifikansi terapeutik pada PTB terus dipertanyakan.
Stimulan -AR diketahui menghasilkan relaksasi sel otot polos dengan
mengaktivasi protein Gs, dan subunit Gs menstimulasi adenyl cyclase. Ini
meningkatkan

tingkat

cyclic

adenosine

monophosphate

(cAMP),

yang

mengaktivasi protein kinase A, ini adalah bentuk teraktivasi yang menginduksi


fosforilasi saluran Ca2+. Mekanisme ini dikenal pada otot jantung dan dapat serupa
dengan yang ada pada miometrium hamil. Salah satu penelitian pertama mengenai
efek kombinasi agonis 2 dan CCB dilaporkan oleh Lever et al. Data literatur
menunjukkan bahwa baik isradipine dan nifedipine mempotensiasi aksi relaksasi
terbutaline dan salmeterol pada trakea yang terisolasi. Bersama-sama, hasil
tersebut menunjukkan suatu peningkatan efek relaksan agonis 2 dikombinasikan
dengan CCB pada miometrium hamil. Efikasi agonis 2-AR dan CCB pada
miometrium hamil telah diinvestigasi baik secara in vitro maupun in vivo.
Sinergisme telah diamati pada efek relaksasi uterus dari nifedipine dan agonis 2AR terbutaline, walaupun cakupan potensiasi bergantung pada potensiasi urutan
pemberian kedua senyawa. Terbutaline mungkin mengaktivasi saluran Ca v1.2 dan
menekan efek pelepasan maksimal dari nifedipine. Efek resultan dari peningkatan
kadar cAMP dan aktivasi saluran Cav1.2 dan aktivasi saluran Cav1.2 menyebabkan
relaksasi otot yang lebih lemah. Pada kasus sebaliknya, ketika nifedipine
diberikan pertama, saluran Ca1.2 terblokir, maka terbutaline tak dapat
mengaktifkannya.

2.3. Faktor 3: Progesterorn


Faktor lain yang meregulasi saluran Ca2+ tipe L adalah rasio progesterone
(P4)/estrogen (E2).

P4 adalah komponen kunci dalam regulasi kompleks fungsi reproduktif wanita


normal. Ini memainkan peranan penting dalam pengelolaan kehamilan dan inisiasi
parturisi melalui modulasi kontraktilitas dan eksitabilitas miometrial. P4
mendukung kehamilan dan mencegah parturisi dengan memodulasi kontraktilitas
dan eksitabilitas miometrium. P4 mendukung kehamilan dan mencegah parturisi
dengan mendorong pasivitas miometrium. Kada P4 normalnya menurun pada saat
sebelum mulai persalinan, dan maka dari itu P4 juga digunakan sebagai
profilaksis pencegahan PTB.
Kombinasi P4 dan agonis 2-AR juga telah diteliti pada miometrium hamil. Pra
terapi dengan P4 meningkatkan ekspresi 2-AR selama kehamilan dan merubah
efek agonis 2-AR pada miometrium hamil; P4 dan turunannya telah dianggap
sebagai obat untuk melawan PTB.
Telah terlihat bahwa ekspresi mRNA dari subunit 1Cpore-forming dari saluran
Ca2+ tipe L diatur oleh hormon glukokortikoid, tapi perubahan spesifik jaringan
dapat terjadi. Eksperimen biokimiawi telah mendeteksi keberadaan dua bentuk
saluran Ca tipe L pada jaringan natif: satu bentuk pendek ( 1C-short) dan satu bentuk
panjang (1C-long). Helguera et al. menyatakan bahwa mekanisme yang diperantarai
oleh P4 lebih mengarah pada pembentukan bentuk panjang, dalam keadaan di
mana saluran menunjukkan aktivitas yang lebih rendah. Baru-baru ini kami telah
mengamati bahwa pra terapi P4 in vivo (selama 7 hari) menekan efek inhibitori
maksimal dari nifedipine dan meningkatkan EC 50 in vitro, dan juga meniadakan
kemampuan nifedipine untuk menunda persalinan pada persalinan in vivo tikus
prematur yang diinduksi oleh hormon. Hasil ini berkorelasi dengan hipotesis
bahwa P4 menekan aktivitas saluran Ca tipe L. walau demikian, Baumbach et al.
melaporkan bahwa P4 meningkatkan efek relaksasi dari nifedipine pada
miometrium manusia in vitro. Pada penelitian itu, P4 ditambahkan langsung pada
susunan jaringan. Telah diketahui bahwa kerja cepat P4 pada kontraktilitas otot
polos tak disebabkan oleh efek genomik melalui mekanisme yang diperantarai
reseptor, tapi lebih ke efek langsung pada membran plasma. Keadaan di mana tiga

faktor mempengaruhi saluran Ca tipe L yang disebut di atas disajikan pada Tabel
1.

Tabel 1. Pengaruh beberapa faktor fisiologis pada saluran Ca tipe L pada


miometrium hamil.
Faktor fisiologis

Efek pada salraun Ca tipe Relevansi

Aktivasi saluran BKCa

L
Inhibisi

mungkin ada
Kemungkinan

yang

peningkatan

efek tokolitik CCB

Aktivasi -AR
Pembukaan

Peningkatan efek tokolitik


CCB

Efek progesterone jangka


panjang

klinis

Ekspresi

bentuk

kurang sensitif
3. Efikasi CCB untuk Melawan PTB

yang Kemungkinan

penurunan

efek tokolitik CCB

Sejumlah obat digunakan untuk melawan ancaman PTB, walaupun hanya


antagonis oksitosin yang telah diarahkan secara spesifik sebagai pengobatan
tokolitik (Tabel 2). Maka, CCB DHP digunakan untuk tujuan ini, tapi mereka
belum dilisensikan untuk digunakan sebagai tokolisis. Banyak data menunjukkan
efikasi nifedipine, di mana sedikit informasi yang tersedia mengenai kerja
nicardipine pada PTB.
Nifedipine digunakan per oral untuk tokolisis dan penyakit kardiovaskuler. Dosis
nifedipine yang sesuai untuk tokolisis masih dalam penelitian. Dalam
perbandingan dua rejimen dosis untuk nifedipine oral pada penelitian ancaman
PTB pada usia kehamilan antara 24 dan 34 minggu, telah ditemukan bahwa obat
dosis tinggi (20 mg dosis awal, dan 120-160 mg/hari selama 48 jam, diikuti 80120 mg per hari selama 36 minggu) tak memiliki keunggulan bila dibandingkan
dengan dosis rendah (10 mg dosis awal, 60-80 mg per hari selama 48 jam, diikuti
60 mg per hari selama hingga 36 minggu) yang menghasilkan kepasifan uterus.
Pada penelitian kecil di Bulgaria, nifedipine (40 mg empat kali sehari) menunda

mayoritas kehamilan dengan kontraksi uterus dini (32 dari 41 pasien) tanpa efek
samping yang signifikan.
Telah terdapat laporan mengenai rendahnya kerja nifedipine pada kontraksi
prematur. Percobaan randomisasi dengan kontrol placebo menunjukkan bahwa
nifedipine 20 mg yang diberikan setiap 4-6 jam sekali tidak mempertahankan
kehamilan atau menunda persalinan bila dibandingkan dengan kelompok placebo.
Pada percobaan terkini, tokolisis yang dikelola dengan nifedipine (80 mg/hari
peroral selama 12 hari) tak menghasilkan reduksi signifikan terhadap ancaman
PTB, walaupun angka keluaran perinatal yang buruk lebih rendah bila
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil ini menunjukkan bahwa
penggunaan nifedipine tak secara signifikan menunda persalinan.
Pada kehamilan kembar dimana nifedipine diberikan untuk tokolisis sebagai
pengganti tarbutaline subkutan setelah rawat inap untuk gejala rekuren PTB
memiliki dampak positif untuk memperpanjang kehamilan dan perbaikan keluaran
neonatal.
Pada penelitian lain, nifedipine ditemukan lebih efektif daripada indomethacin
dalam menginhibisi kontraksi uterus selama 2 jam pertama; walau demikian, tak
ada perbedaan antara indomethacin dan nifedipine dalam menunda persalinan
hingga 7 hari.
Atosiban dan nifedipine telah menunjukkan tak ada perbedaan signifikan dalam
menunda persalinan. Bukti terbatas ini menunjukkan tak ada perbedaan esensial
dalam efikasi tokolitik dari kedua obat. Pemberian per oral, harga yang lebih
murah dan kemungkinan morbiditas neonatal yang lebih baik, mendorong
penggunaan nifedipine.
Nicardipine memiliki fitur unggulan di atas nifedipine yakni dapat diberikan
secara intravena, dan ini adalah pilihan pertama untuk beberapa ahli obstetri pada
pengelolaan PTB. Walau demikian, nicardipine intravena tak meningkatkan durasi
kehamilan bila dibandingkan dengan nifedipine oral. Median durasi antara terapi
untuk PTB dan persalinan secara signifikan lebih panjang bila nifedipine

digunakan pula. Nicardipine oral juga merupakan obat tokolitik yang efektif dapat
ditoleransi dengan baik. Obat ini dapat menghentikan PTB lebih cepat daripada
magnesium sulfat parenteral.
Nicardipine lebih dahulu ditemukan efektif sebagaimana salbutamol dalam terapi
PTB, dan diperkirakan memiliki keunggulan pada kasus khusus kehamilan dengan
hipertensi, diabetes, atau kardiopati ibu. Suatu pembandingan kecil antara
nicardipine dengan salbutamol pada penelitian kecil di Tunisia menguak tak ada
perbedaan signifikan pada efikasi kedua senyawa dalam hal rerata waktu hingga
hilangnya kontraksi uterus. Walau demikian, efek simpang sekunder yang lebih
sedikit ditemukan pada nicardipine, yang mana membuatnya menjadi tokolitik lini
pertama.

4. Efek Samping CCB selama Tokolisis


CCB secara umum dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping ibu yang paling
umum adalah sakit kepala yang berkaitan dengan hipotensi transien akibat dosis
awal. Takikardia ibu adalah efek simpang kedua yang peling sering ditemui
setelah terapi nicardipine. Selain sakit kepala pada ibu, ansietas dan muntah sering
terjadi sebagai efek samping nifedipine. Sebagai efek samping ringan, nifedipine
dapat menyebabkan palpitasi dan flushing selama tokolisis, tapi ini terjadi pada
kurang dari 10% pasien. Nifedipine tak mempengaruhi pergerakan janin, denyut
nadi atau aliran darah dan tampaknya tak memberi efek langsung pada janin.
Telah diketahui bahwa efek samping obat tak berkaitan dengan kadarnya di
plasma. Reaksi simpang dapat terjadi dalam rentang konsentrasi plasma yang
besar (6-101 mg/mL), dan maka dari itu tak perlu menyesuaikan dosis nifedipine
sesuai berat badan, BMI atau usia kehamilan.
Nifedipine dicurigai bertanggung jawab untuk dispneu berat pada tujuh pasien
hamil. Telah dihipotesiskan bahwa komplikasi ini akibat ketidakseimbangan
ventilasi/perfusi paru sebagai akibat diafragma yang terangkat karena hamil.
Perubahan tersebut biasanya semakin jelas bila hamil kembar. Pemberian

nifedipine berakibat ketidaksesuaian ventilasi-perfusi dan dispneu. Observasi


tersebut mempertanyakan keamanan nifedipine sebagai agen tokolitik pada pasien
dengan kehamilan multipel. Selain itu, tokolisis dengan nifedipine oral telah
dilaporkan bertanggung jawab atas edema paru ibu.
Suatu perbandingan efek samping nifedipine dan nicardipine mengungkap bahwa
pasien pada kelompok yang dikelola dengan nicardipine memiliki efek samping
yang lebih signifikan (31% vs 16% untuk kelompok nifedipine), walaupun efek
hipotensif nifedipine lebih tinggi.
Edema paru maternal yang diinduksi oleh infus nicardipine dilaporkan pada lima
wanita hamil saat tokolisis. Terapi dihentikan segera setelah diagnosis, tapi dua
pasien memerluka rawat inap di unit rawat intensif. Tiga kasus edema paru ibu
lain selama PTB berkaitan dengan kombinasi salbutamol dan nicardipine
intravena. Direkomendasikan bahwa penggunaan bersama CCBS dan beta agonis
untuk terapi PTB harus dihindari.

5. Efek Tokolitik CCB dalam Kombinasi dengan Obat Lain


Ide untuk terapi kombinasi tokolitik bukanlah hal baru. Laporan pertama untuk
tokolisis yang efektif denga nkombinasi nifedipine dan tarbutaline beta mimetik
yang dipublikasikan pada tahun 1985. Efeknya dramatis, durasi kehamilan
dilakukan hanya pada pasien. Efikasi kombinasi nifedipine dan salmeterol terbukti
dalam model PTB yang diinduksi oleh hormon melibatkan tikus dan strim
miometrial manusia dari sectio caesar dalam hal kehamilan aterm. Hasil yang
menjanjikan tersebut dilingkupi oleh temuan kerugian klinis dari kombinasi CCB
dan beta-mimetik, yakni, kemungkinan peningkatan risiko infark miokardial dan
edema paru. Seperti yang disebutkan di awal, CCB dapat memicu masalah
pernapasan pada monoterapi, dan sifat ini dapat tertahan ketika diaplikasikan
secara kombinasi dengan obat lain, seperti glukokortikoid dan atosiban,
khususnya pada kehamilan multipel. Menariknya, sebuah penelitian terkini telah
mengungkap bahwa atosiban saja dapat menginduksi dispneu dan edema paru

pada kehamilan multi janin. Walaupun beberapa peneliti menunjukkan bahwa


kombinasi CCB dan beta-mimetik harus dihindari, ini mungkin terbatas hanya
pada kehamilan kembar dan pada gangguan jantung pembuluh yang diderita ibu.
Satu penelitian telah dilakukan untuk menginvestigasi efikasi kombinasi CCB dan
antagonis oksitosin untuk tokolisis. Kombinasi atosiban + nifedipine memicu efek
tokolitik aditif pada kontraktilitas strip miometril pada pasin prematur dan aterm.
Menariknya, kombinasi nifedipine+colecoxib memicu efek yang lebih lemah dari
pada nifedipine saja. Kombinasi nifedipine dan atosiban maka dari itu dapat
memicu penelitian klinis.
Analog P4 telah diperkenalkan kembali ke dalam terapi tokolitik di dekade lalu
sebagai senyawa preventif melawan PTB. Untuk wanita dengan riwayat PTB
spontan, P4 menekan insidensi PTB sebelum 34 minggu, tapi tak memiliki efek
bermanfaat pada kehamilan multipel atau pada kondisi serviks yang pendek.
Preterapi P$ telah ditemukan dapat merubah struktur saluran Ca, memicu ekspresi
bentuk saluran yang kurang sensitif, dan untuk melemahkan efek tokolitik
nifedipine

pada

tikus

hamil.

Efek

tokolitik

kombinasi

17-alfa-

hidroksiprogesterone caproate dan nifedipine tak lebih baik dari pada nifedipine
saja dalam suatu percobaan klinis dengan randomisasi. Hasil ini menunjukkan
bahwa terapi P4 mungkin tak memperburuk efikasi tokolitik CCB pada manusia.
Modifikasi efek tokolitik nifedipine oleh senyawa lain dan risiko potensial dari
kombinasinya dituliskan pada Tabel 3.

Tabel 3. Efek miometrial untuk berbagai kombinasi nifedipine.


Kombinasi

Perubahan

Nifedipine+ritodrine

miometrial
Meningkat

pada
(baik

relaksasi Risiko kombinasi


pada Edema

paru,

infark

penelitian manusia dan hewan miokardial


Nifedipine+atosiban

in vivo

Tak ada informasi (data

Meningkat
Nifedipine+celecoxib

manusia in vitro)
Menurun

Nifedipine+progesterone

(pada
(pada

manusia in vitro)
Menurun

(pada

hewan in vivo)

penelitian dari eksperimen in vitro


saja)
penelitian Tak ada informasi (data
dari eksperimen in vitro
penelitian saja)
Tak ada risiko khusus bila

Tak berubah (pada penelitian dibandingkan


manusia in vivo)

dengan

monoterapi nifedipine

6. Kesimpulan
CCB semakin digunakan untuk tokolisis, walaupun resminya tak dilisensikan
untuk tujuan ini. Efikasinya setidaknya ekuivalen dengan obat yang digunakan
secara tradisional, tapi efek simpangnya terlihat lebih ringan dan ditoleransi lebih
baik daripada agonis beta adrenergik dan tak lebih parah dari pada antagonis
oksitosin. Sayangnya, CCB dalam monoterapi tak lebih baik daripada tokolitik
lain dalam usaha tokolisis jangka panjang (mempertahankan kehamilan).
Efek nifedipine dalam terapi tokolitik mungkin lebih diperkuat dengan kombinasi
bersama senyawa lain. Efikasinya dapat meningkat dengan Beta2-mimetik
konsentrasi rendah. Walau demikian, pemberian agonis Beta2-adrenergik tak
dapat mendahului pemberian nifedipine. Terdapat sejumlah temuan klinis yang
memperingatkan kombinasi penggunaan dua golongan obat ini dalam kehamilan
multipel dan pada gangguan kardiovaskuler ibu hamil. Di sisi lain, kombinasinya
dapat diteliti dalam kehamilan tunggal yang memerlukan tokolisis. Dengan
memperhatikan terbatasnya informasi sifat yang tersedia dari penelitian preklinik,
suatu percobaan untuk mengevaluasi efek kombinasi tokolitik CCB dan atosiban
mungkin dapat dilakukan di masa depan.
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa CCB DHP harus menjadi salah satu
golongan paling penting dari obat untuk inhibisi cepat segera kontraksi uterus
prematur. Terdapat kebutuhan penting untuk tinjauan sistematik yang lebih baru

(misal menurut prinsip tinjauan Cochrane) pada aplikasi klinis CCB pada
persalinan prematur. Selain itu, penelitian klinis lebih lanjut diperlukan untuk
menginvestigasi bagaimana meningkatkan efikasi kombinasi dengan obat lain.

Anda mungkin juga menyukai