Anda di halaman 1dari 10

DASAR-DASAR ETIK PENELITIAN DAN LANDASAN SERTA

PEDOMAN PELAYANAN RUMAH SAKIT


Tugas Ini Disusun Untuk Menyelesaikan Tugas Mata Kuliah Etika Keperawatan dan Hukum
Kesehatan Yang Dibina Oleh : Nurul Aini., S.Kep., Ners.,M.Kep

Disusun Oleh :

H. AHMAD
201010420311107

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2014/2015

DASAR-DASAR ETIK PENELITIAN


A. Informed Consent Pada Penelitian Biomedik
Informed Consent
Hubungan antara dokter dan pasien adalah hubungan yang berdasarkan kepercayaan
(fiduciary relationship). Pasien harus merasa bebas dan aman mengungkapkan segala
keluhan baik fisik maupun mental bahkan rahasia pribadinya kepada dokter. Pasien harus
percaya bahwa dokter tidak akan menceritakan persoalan pribadinya kepada orang lain.
Pasien menganggap bahwa dokter yang lebih mengetahui tentang penyakitnya dan pasrah
saja akan apa yang akan dilakukan dokter terhadapnya. Pandangan paternalistik
(paternalisme) ini menguasai hubungan antara dokter-pasien pada masa lalu.
Dengan perkembangan zaman, cara berpikir masyarakat berubah. Masyarakat mulai
kritis terhadap hak-haknya. Mereka tidak begitu saja menerima pendapat dokter tentang
penyakitnya tetapi ingin mengetahui lebih jelas tentang rencana pengobatan, resiko yang
mungkin terjadi, alternatif pengobatan lain, prognosis dan sebagainya.
Jay Katz mengemukakan teori The Idea of Informed Consent dengan mengatakan
bahwa keputusan tentang pengobatan kepada seorang pasien harus terjadi secara
kolaboratif (kerja sama) antara pasien dan dokter. Pada prinsipnya Informed consent adalah
suatu proses, bukan hanya sekedar meminta pasien menandatangani suatu formulir.
Penandatanganan oleh pasien hanya merupakan kelanjutan atau pengukuhan apa yang
sebenarnya sudah disepakati sebelumnya. Di Indonesia istilah Informed Consent
diterjemahkan sebagai Persetujuan Tindakan Medik dalam Peraturan Menteri Kesehatan
No. 585 tahun 1989 yang telah berlaku sejak 4 September 1989.
Manfaat Informed Consent
Informed Consent bermanfaat untuk :
1. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medik yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien. Misalnya tindakan medik yang tidak perlu atau tanpa indikasi,
penggunaan alat canggih dengan biaya tinggi dsbnya.
2. Memberikan perlindungan hukum bagi dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan
bersifat negatif. Misalnya terhadap resiko pengobatan yang tidak dapat dihindari
walaupun dokter telah bertindak seteliti mungkin.
Dengan adanya informed consent maka hak autonomy perorangan di kembangkan,
pasien dan subjek dilindungi, mencegah terjadinya penipuan atau paksaan, merangsang
profesi medis untuk mengadakan introspeksi, mengajukan keputusan-keputusan yang
rasional dan melibatkan masyarakat dalam memajukan prinsip autonomy sebagai suatu
nilai sosial serta mengadakan pengawasan dalam penelitian biomedik.

Informed Consent Pada Tindakan Bedah


Sebelum melakukan operasi, dokter operator sendiri harus memberikan penjelasan
(informasi) kepada pasien yang akan dioperasi tentang segala sesuatu yang menyangkut
tindakan bedah yang akan dilakukan. Dokter operator harus menjelaskan tentang tindakan
operasi apa yang akan dilakukan, manfaat operasi, resiko-resiko yang melekat pada
operasinya, alternatif lain yang ada dan apa akibatnya jika tidak dilakukan operasi..
Penjelasan ini harus diberikan supaya pasien dapat mengerti, memilih dan memutuskan
apa yang hendak dilakukan terhadap dirinya dengan mempertimbangkan aspek medis,
agama, sosial budaya, finansial, prospek kehidupan dan lain-lain. Menurut PerMenKes
No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989, pada keadaan tertentu di mana tidak ada dokter operator,
maka informasi harus diberikan oleh dokter lain dengan sepengetahuan atau petunjuk
dokter yang bertanggung jawab. Pemberian penjelasan (informasi) tidak dapat diwakilkan
oleh perawat. Dalam tindakan bukan pembedahan dan tindakan yang tidak invasif (tidak
mempengaruhi keutuhan jaringan lain) lainnya, informasi dapat diberikan oleh dokter lain
atau perawat dengan sepengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.. Dalam
keadaan gawat darurat tidak diperlukan Informed consent.
Persetujuan untuk pemberian anestesi biasanya dianggap sudah termasuk di dalam
persetujuan pasien untuk tindakan operasi. Bila pasien menolak untuk dibedah maka
dokter bedah sebaiknya menekankan lagi pentingnya operasi itu dan resiko-resiko yang
mungkin timbul akibat pembatalan operasi tersebut. Jika pasien tetap menolak maka
pasien diminta untuk menanda-tangani Surat Penolakan Tindakan Medik (Informed
Refusal).
Perluasan operasi (Extended operation) tidak boleh dilakukan kecuali jika pada waktu
operasi ditemukan hal yang tidak terduga sebelumnya dan sangat membahayakan jiwa jika
tidak segera dilakukan tindakan medik. Faktor-faktor yang dapat dipakai sebagai
pegangan untuk melakukan perluasan operasi adalah: 1) Kondisi yang ditemukan secara
wajar tidak mungkin didiagnosis sebelum operasi; 2) Tidak ada indikasi bahwa pasien
menginginkannya; 3) Perluasan operasi masih terletak di dalam lokasi insisi; 4) Praktek
medik yang baik mengharuskan dilakukan perluasan operasi; 5) Baik pasien maupun
keluarganya tidak bisa langsung dimintakan persetujuannya. Selain faktor-faktor di atas,
perluasan operasi itu juga tidak berkaitan dengan pembuangan organ atau anggota tubuh,
tidak mengakibatkan perubahan fungsi seksual dan tidak memberi resiko tambahan yang
serius.

B. Aspek Etik Penatalaksanaan Kelainan Kongenital


Aspek Hukum Penatalaksanaan Kelainan Kongenital
Berdasarkan pada pemahaman bahwa setiap prosedur diagnosis prenatal yang invasive
merupakan suatu tindakan medis, maka secara hukum pelaksanaannya diijinkan apabila
memenuhi beberapa persyaratan dasar yang disebut lex artis 3, sebagai berikut:
1) Dokter yang melakukan tindakan tersebut harus memiliki kualifikasi yang cukup
(kompeten).
2) Spesialis (kandungan, radiologi, dan sebagainya) yang mela-kukan pemeriksaan USG
harus sudah mendapat pelatihan yang cukup untuk itu.
3) Diperlukan adanya persetujuan setelah informasi (PSI) dari pasien yang
bersangkutan. Di beberapa negara, pemeriksaan USG bisa dilakukan (baik sebagian
atau seluruhnya) oleh paramedik atau tenaga nonmedis. Namun seorang spesialis
(radiologi atau OBSGIN) harus menjadi penanggung jawabnya dan yang akhirnya
menentukan diagnosis atas hasil pemeriksaan yang dia tanda tangani.
Penentuan jenis kelamin janin
Kemampuan USG untuk menentukan jenis kelamin adalah sebesar 89,4%10 sampai
91,3%11 dengan angka kesalahan sebesar 0,7 - 2,4%10,11. Tidak dapat dipungkiri bahwa
cukup banyak pasien yang datang meminta pemeriksaan USG dengan tujuan untuk
mengetahui jenis kelamin janinnya. Harrington dkk melaporkan bahwa kenyataannya
74,7% ibu hamil menginginkan informasi tentang jenis kelamin janinnya.10 Dalam
keadaan ini, prinsip patient autonomy mengatasi keengganan operator untuk tidak
memberikan informasi ini. Namun tidak jarang terjadi seorang pasien datang dengan
maksud untuk tidak ingin mengetahui kelamin bayinya. Oleh sebab itu sebelum
menyampaikan informasi ini, perlu ditanyakan dulu secara rutin keinginan pasien
tersebut melalui proses pengambilan PSI (informed consent).6,7,8,12. Ketakutan atau
hambatan untuk menyampaikan informasi jenis kelamin adalah timbulnya perasaan atau
perlakuan yang berbeda terhadap janinnya yang bisa berakhir dengan tindakan abortus
provokatus. Namun, sisi positifnya adalah pasangan suami istri ini akan lebih dahulu
mengetahuinya dan mempersiapkan hal-hal khusus bagi kelahiran bayinya termasuk
nama, warna baju, dan sebagainya.

Prenatal Informed Consent for Sonogram (PICS)


Terkait dengan prinsip patient autonomy dan lex artis, maka sudah seyogianyalah setiap
pasien yang hamil ditawari pemeriksaan USG yang sebelumnya harus mengikuti proses
PICS,6,7,9,12 sebagai berikut:
1) Ibu hamil harus diberikan informasi tentang keuntungan dan kerugian dari USG
obstetri.
2) Ibu hamil diberi kesempatan untuk memikirkan dan mengevaluasi informasi yang baru
diperolehnya.
3) Ibu hamil harus menyatakan secara lisan keinginan dan persetujuannya maupun
penolakannya terhadap pemeriksaan USG yang ditawarkan.
4) Pemeriksa atau ultrasonografer dapat merekomendasikan pendapatnya.
Skrining kelainan kongenital
Pemeriksaan USG telah diketahui sebagai salah satu metode yang noninvasif untuk
diagnosis prenatal. Walaupun hasil penelitian RADIUS (Routine Antenatal Diagnostic
Imaging Ultrasound) menyimpulkan bahwa skrining USG tidak memberikan manfaat
klinik yang signifikan, namun secara tegas menyimpulkan bahwa pemeriksaan USG rutin
meningkatkan kemampuan deteksi dini kelainan kongenital janin, kehamilan kembar,
menurunkan pemakaian tokolisis dan diagnosis serotinus. Sebagai konsekuensi dari
terdiagnosisnya kelainan kongenital prenatal maka permintaan akan terminasi kehamilan
sebelum viable maupun sesudah viable akan meningkat. Hal ini merupakan aspek etik
penting yang harus diantisipasi.
Dengan demikian seorang ultrasonografer seharusnya selain dilengkapi dengan
kemampuan untuk dapat menegakkan diagnosis kelainan kongenital sedini mungkin, juga
memiliki kemampuan untuk memberikan konseling genetik, etiologi dan pathogenesis
penyakit serta pilihan yang ditawarkan kepada pasien sehubungan dengan pengelolaan
cacat bawaan yang ditemukan. Tidak semuanya harus diterminasi. Ada yang dapat diterapi
inutero, diterminasi apabila keadaan semakin memburuk atau terapi pascasalin.
C. Konseling dan penatalaksanaan penderita transplantasi Organ
Peraturan Pemerintah No, 18 tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat
Anatomis serta Transplantasi alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia, mengharuskan adanya
persetujuan tertulis penderita dan atau keluarganya untuk bedah mayat klnis setelah
penderita meninggal, demikian pula untuk Transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia.
Persetujuan tidak diperlukan jika diduga penderita menderita penyakit yang dapat
membahayakan orang lain atau masyarakat sekitarnya, atau bila dalam waktu 2 kali 24 jam
tidak ada keluarga terdekat dating ke rumah sakit.

Immunosuppressive Medication
Perawat harus memahami bahwa ginjal yang ditransplantasi merupakan benda asing
yang dimasukkan kedalam tubuh si penerima, maka adakemungkinan terjadi reaksi tubuh
untuk menolak benda asing tersebut. Untuk mencegah terjadinya reaksi penolakan, pasien
perlu mengonsumsi obat-obat anti-rejeksi atau imunosupresan setelah menjalani
transplantasi ginjal. Obat-obatimunosupresan bekerja dengan jalan menekan sistem imun
tubuh sehinggamengurangi risiko terjadinya reaksi penolakan tubuh terhadap ginjal
cangkokan.
Predicting non-concordance (Memprediksi ketidakcocokan ginjal)
Dari pengkajian awal sebelum transplantasi dilakukan, seharusnya sudahdidapatkan
gambaran kelompok yang beresiko tinggi terjadi ketidakcocokanginjal. Yang juga harus
dijadikan pertimbangan adalah
1) Signs of previous non-concordance. Ketika terjadi ketidakcocokan denganterapi dialisis
tidak selalu berhubungan dengan ketidakcocokantransplantasi ginjal, ini sangat penting
untuk diketahui.
2) Attendance at appointments. Adalah sangat berhubungan antara kecocokanmedikasi
dengan ketepatan pasien dalam menepati janji. Pasien yangtidak selalu menepati janji
dalam pengobatan harus menjadi perhatian penting karena beresiko untuk terjadi
ketidakcocokan.
3) Age of the patient. Beda usia pasti berbeda juga bentuk tingkah laku nya.Anak-anak
cenderung kurang memahami dan tidak peduli, ketika remajadan orang dewasa
mengalami harga diri rendah karena berjuangmembangun body image dan estetika yang
terganngu akibat efek samping pengobatan. Data yang didapatkan usia 14-21tahun terjadi
ketidakcocokansebanyak 40-660% (Bunzel, 2000). Sementara orang tua lebih
beresikoterjadi ketidakcocokan dikarenakan dementia yang dialaminya.
D. Pengertian Rekam medik kesehatan (RMK) dan Visum Et Repertum (VER)
Rekam medis adalah keterangan baik yang tertulis maupun terekam tentang identitas,
anamnesa,penentuan fisik , laboratorium, diagnosa segala pelayanan dan tindakan medic yang
diberikan kepada pasien dan pengobatan baik yang dirawat inap , rawat jalan maupun yang
mendapatkan pelayanan gawat darurat.
Rekam medis mempunyai pengertian yang sangat luas , tidak hanya sekedar kegiatan
pencatatan, akan tetapi mempunyai pengertian sebagai suatu sistem penyelenggaraan rekam
medis yaitu mulai pencatatan selama pasien mendapatkan pelayanan medik , dilanjutkan
dengan penanganan berkas rekam medis yang meliputi penyelenggaraan penyimpanan serta

pengeluaran berkas dari tempat penyimpanan untuk melayani permintaan/peminjaman apabila


dari pasien atau untuk keperluan lainnya.
Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam ilmu kedokteran forensik, biasanya
dikenal dengan nama Visum. Visum berasal dari bahasa Latin, bentuk tunggalnya adalah
visa. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa, kata visum atau visa berarti tanda
melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu
hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan, sedangkan Repertum berarti melapor yang
artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara etimologi,
visum et repertum adalah apa yang dilihat dan ditemukan. Menurut Staatsblad Tahun 1937
Nomor 350.
Visum Et Repertum adalah laporan tertulis untuk kepentingan peradilan atas permintaan
yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan
pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta
berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya". Visum et repertum merupakan laporan ahli
dan sambil menunjuk LN 1937 -380 RIB/306[3] melalui ketentuan Pasal 1 angka 28, Pasal 120,
Pasal 133, dan Pasal 187 huruf c KUHAP. Selanjutnya, permintaan keterangan ahli dilakukan
penyidik secara tertulis, kemudian ahli yang bersangkutan membuat laporan yang berbentuk
surat keterangan atau visum et repertum. Dalam praktek pengadilan sepanjang pengalaman
penulis maka keterangan ahli dalam bentuk visum et repertum (diatur dalam sataatsblad Tahun
1937 Nomor 350, Ordonnantie 22 mei 1937 tentang visa reperta van genesskundigen yang
banyak dilampirkan dalam BAP (Berita Acara Pengadilan).

E. Cara Pelaksanaan RMK/VER


Penyelenggaraan Rekam Medis atau VER pada suatu sarana pelayanan kesehatan
merupakan salah satu indikator mutu pelayanan pada institusi tersebut. Berdasarkan data
pada Rekam Medis tersebut akan dapat dinilai apakah pelayanan yang diberikan sudah cukup
baik mutunya atau tidak, serta apakah sudah sesuai standar atau tidak. Untuk itulah, maka
pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan merasa perlu mengatur tata cara
penyelenggaraan Rekam Medis dalam suatu peraturan menteri keehatan agar jelas ramburambunya, yaitu berupa Permenkes No.749a1Menkes/Per/XII/1989.
Secara garis besar penyelenggaraan Rekam Medis dalam Permenkes tersebut diatur
sebagai berikut: I. Rekam Medis harus segera dibuat dan dilengkapi seluruhnya setelah
pasien menerima pelayanan (pasal 4). Hal ini dimaksudkan agar data yang dicatat masih
original dan tidak ada yang terlupakan karena adanya tenggang waktu. 2. Setiap pencatatan
Rekam Medis harus dibubuhi nama dan tanda tangan petugas pelayanan kesehatan. Hal ini
diperlukan untuk memudahkan sistim pertanggung-jawaban atas pencatatan tersebut (pasal
5). Pada saat seorang pasien berobat ke dokter, sebenamya telah terjadi suatu hubungan
kontrak terapeutik antara pasien dan dokter. Hubungan tersebut didasarkan atas kepercayaan
pasien bahwa dokter tersebut mampu mengobatinya, dan akan merahasiakan semua rahasia
pasien yang diketahuinya pada saat hubungan tersebut terjadi.

F. Manfaat RMK/VER
1. Aspek Administrasi
Suatu berkas rekam medis mempunyai nilai administrasi , karena isinya menyangkut
tindakan berdasarkan wewenang dan tanggung jawab sebagai tenaga mdis dan perawat
dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan.
2. Aspek Medis
Catatan tersebut dipergunakan sebagai dasar untuk merencanakan pengobatan/perawatan
yang harus diberikan kepada pasien, Contoh : Identitas pasien, name, age, sex, address,
marriage status, dan lain-lain.
3. Aspek Hukum
Menyangkut masalah adanya jaminan kepastian hukum atas dasar keadilan , dalam
rangka usaha menegakkan hukum serta penyediaan bahan tanda bukti untuk menegakkan
keadilan.
4. Aspek Keuangan
Isi Rekam Medis dapat dijadikan sebagai bahan untuk menetapkan biaya pembayaran
pelayanan . Tanpa adanya bukti catatan tindakan /pelayanan , maka pembayaran tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
5. Aspek Penelitian
Berkas Rekam medis mempunyai nilai penelitian , karena isinya menyangkut
data/informasi yang dapat digunakan sebagai aspek penelitian .
6. Aspek Pendidikan
Tiga Berkas Rekam Medis mempunyai nilai pendidikan , karena isinya menyangkut
data/informasi tentang kronologis dari pelayanan medik yang diberikan pada pasien.
7. Aspek Dokumentasi
Isi Rekam medis atau VER menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan dan
dipakai sebagai bahan pertanggungjawaban dan laporan sarana kesehatan. Berdasarkan
aspek-aspek tersebut, maka rekam medis atau VER mempunyai kegunaan yang sangat luas
yaitu :

1) Sebagai alat komunikasi antara dokter dengan tenaga kesehatan lainnya yang ikut ambil
bagian dalam memberikan pelayanan kesehatan.
2) Sebagai dasar untuk merencanakan pengobatan/perawatan yang harus diberikan kepada
seorang pasien.
3) Sebagai bukti tertulis atas segala tindakan pelayanan , perkembangan penyakit dan
4) pengobatan selama pasien berkunjung/dirawat di Rumah sakit.
5) Sebagai bahan yang berguna untuk analisa , penelitian dan evaluasi terhadap program
pelayanan serta kualitas pelayanan. Contoh : Bagi seorang manajer :
Berapa banyak pasien yang dating ke sarana kesehatan kita ? baru dan lama ?
Distribusi penyakit pasien yang dating ke sarana kesehatan kita
Cakupan program yang nantinya di bandingkan dengan target program
6) Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, sarana kesehatan maupun tenaga
kesehatan yang terlibat.
7) Menyediakan data dan informasi yang diperlukan untuk keperluan pengembangan
program , pendidikan dan penelitian.
8) Sebagai dasar di dalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan kesehatan.
9) Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan serta bahan
pertanggungjawaban dan laporan.

G. Aspek Hukum RMK/VER

Rahasia Kedokteran
McPake D, Burnapp L .(2009). Caring for patients after kidney transplantation . Nursing
Standard. 23,19, 49-57
Magee CC, Pascual M. (2004). Update in renal transplantation. Arch Intern Med;164:1373-88

LANDASAN Dan PEDOMAN PELAYANAN RUMAH SAKIT


Hak Dan Kewajiban Rumah Sakit dan Pasien
Kode Etik Rumah Sakit Indonesia
Keadaan Gawat Darurat Rumah Sakit
Trauma Kepala dan Cedera Otak

Mati Batang Otak dan Mati Otak


Keadaan Vegetatif Pasien
Perawatan Penderita Gawat
Resusitasi
Penghentian Resusitasi
Penderita Terminal
Tinjauan Hukum akhir Kehidupan
Pengertian Euthanasia dan Pembagiannya
Etik Kedokteran Dan Euthanasia

Anda mungkin juga menyukai