I.PENDAHULUAN
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah
kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori A dalam stratifikasi DBD
oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka
perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak. 1-3 Data Departemen
Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat
peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan
case fatality rate sebesar 1,01% (2007).4-5
Berbagai faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan dan penyebaran kasus DBD,
antara lain:
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi,
2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali,
3. Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan
4. Peningkatan sarana transportasi.4
Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol vektor
nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang optimal pada penderita
DBD, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini. Sampai saat
ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi
suportif, yakni pemberian cairan pengganti.6 Dengan memahami patogenesis, perjalanan
penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat
dilakukan secara efektif dan efisien.
Infeksi dengue merupakan penyakit yang muncul kembali, cepat menyebar, ditularkan
oleh nyamuk Aedes, terutama Aedes aegypti1. Dalam 50 tahun terakhir ini insidensinya telah
meningkat 30 kali lipat, dan telah terjadi ekspansi geografis ke negara-negara baru terutama
di negra sub tropis. Diperkirakan ada 50 juta orang terinfeksi dengue setiap tahunnya.
Terdapat 2.5 milyar orang yang tinggal di daerah endemis dengue2.
Sejak tahun 1968 penyakit ini telah ditemukan di Surabaya dan Jakarta. Seiring dengan
berjalannya waktu penyakit ini tersebar ke seluruh wilayah Republik Indonesia, dan seiring
menyebabkan timbulnya Kejadian Luar Biasa (KLB). Angka kesakitan Demam Berdarah
1
Dengue (DBD) di Indonesia cenderung meningkat. Menurut Depkes RI insidensi DBD mulai
dari 0,05 insiden per 100.000 penduduk di tahun 1968, menjadi 35.19 insidensi per 100.000
penduduk di tahun 1998, dan menjadi 41.48 insiden per 100.000 penduduk di tahun 2010.
Virus Dengue menyebabkan infeksi yang bersifat simptomatik maupun asimtomatik.
Infeksi dengue simtomatik merupakan infeksi sistemik dalam perjalanan penyakit yang
sangat dinamis3, sulit diramalkan, dengan spectrum penyakit yang luas dan bermanifestasi
klinis mulai dari gejala yang ringan sampai berat.
Meskipun manifestasi infeksi cukup kompleks tetapi secara umum tatalaksananya relatif
simple, tidak mahal, dan sangat efektif dalam menyelematkan hidup penderita, sepanjang
penanganan diambil pada waktu yang tepat. Kunci keberhasilan penanganan adalah dengan
memahami dan waspada terhadap problem klinis selama fase-fase yang berbeda sepanjang
perjalanan penyakit, sehingga tatalaksana yang dilakukan sesuai dengan pendekatan yang
rational2.
Sampai saat ini belum ditemukan vaksin atau terapi antivirus untuk infeksi dengue dan
tatalaksana yang tepat sangat membantu penyembuhan4. Pengenalan tanda awal kegawatan
infeksi dengue sangat diperlukan oleh para dokter yag menangani pasien infeksi sejak awal
penyakit, karena hal ini sangat menentukan luarannya.
II. DEFINISI
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus
dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD. 7 DBD adalah salah satu manifestasi
simptomatik dari infeksi virus dengue.
Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut (gambar 1):5
1. Demam tidak terdiferensiasi
2. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7 hari, ditandai
dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia/ atralgia,
ruam kulit, manifestasi perdarahan [petekie atau uji bendung positif], leukopenia) dan
pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi
menderita demam dengue/ DBD pada lokasi dan waktu yang sama.
3. DBD (dengan atau tanpa renjatan)
III. ETIOLOGI
Virus dengue termasuk familia Flaviridae, dari genus Flavivirus. Atas dasar ekologinya
Flavivirus disebut Arbovirus atau virus athropoda-borne untuk menunjukkan bahwa virus ini
ditransmisikan oleh serangga6. Semua Flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung
protein yang menimbulkan terjadinya cross reaction (reaksi silang) pada uji serologis, hal ini
menyebabkan diagnosis pasti uji serologis sulit ditegakkan. Ada 4 serotipe dari virus dengue
yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4. Infeksi salah satu serotipe virus Den akan menghasilkan
antibodi protektif untuk serotipe tersebut pada waktu yang lama, tetapi tidak ada cross
protection (perlindungan silang) terhadap serotipe virus Den yang lain6.
Menurut World Health Organization (2005) demam berdarah dengue dapat dilihat
berdasarkan karakteristik epidemiologi, antara lain:
a.
b.
Vektor
Aedes aegypti adalah salah satu vektor nyamuk yang paling efisien untuk
arbovirus, karena nyamuk ini sangat antropofilik, hidup dekat manusia dan sering
hidup di dalam rumah. Wabah dengue juga telah disertai dengan Aedes albopictus,
Aedes polynesiensis, dan banyak spesies kompleks Aedes scutellaris. Setiap spesies
ini mempunyai distribusi geografisnya masing-masing. Namun, mereka adalah vektor
epidemik yang kurang efisien dibanding Aedes aegypti. Sementara penularan vertikal
(kemungkinan transovarian) virus dengue telah dibuktikan di laboratorium dan di
lapangan, signifikansi penularan ini untuk pemeliharaan virus belum dapat
ditegakkan. Faktor penyulit pemusnahan vektor adalah bahwa telur Aedes aegypti
dapat bertahan dalam waktu lama terhadap desikasi (pengawetan dan pengeringan),
kadang selama lebih dari satu tahun.
c.
Penjamu (Host)
Pada manusia, masing-masing keempat serotipe virus dengue mempunyai
hubungan dengan demam berdarah dengue. Studi di Kuba dan Thailand telah
menunjukkan bahwa hubungan yang tinggi secara konsisten antara infeksi DEN-2 dan
demam berdarah dengue, tetapi epidemik pada tahun 1976-1978 Indonesia, 19804
1982 Malaysia, 1989-1990 Tahiti, dan dari tahun 1983 seterusnya di Thailand, DEN-3
adalah serotipe predominan yang ditemukan dari pasien dengan penyakit berat. Pada
wabah tahun 1984 di meksiko, 1986 Puerto Rico, dan tahun 1989 El Salvador, DEN-4
paling sering diisolasi dari pasien demam berdarah dengue. Menurut Kardinan (2007)
seseorang yang pernah terinfeksi oleh salah satu serotypes biasanya kebal terhadap
serotypes tersebut dalam jangka waktu tertentu, namun tidak kebal terhadap serotypes
lainnya, bahkan menjadi sensitif terhadap serangan demam berdarah Dengue
Hemorrhagic Fever.
Sindrom syok dengue terjadi dengan frekuensi yang lebih tinggi pada dua
kelompok yang mempunyai keterbatasan secara imunologis: anak-anak yang telah
mengalami infeksi dengue sebelumnya, dan bayi dengan penyusutan kadar antibodi
dengue maternal. Fase akut infeksi, diikuti dengan inkubasi 3-13 hari, berlangsung
kira-kira 5-7 hari dan dikuti dengan respon imun. Infeksi pertama menghasilkan
imunitas
perlindungan sementara terhadap ketiga serotipe lainnya, dan infeksi sekunder atau
sekuensial mungkin terjadi setelah waktu singkat.
d.
Lingkungan (Environment)
Kesehatan lingkungan mempelajari dan menangani hubungan manusia dengan
lingkungan dalam keseimbangan ekosistem dengan tujuan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang optimal melalui pencegahan terhadap penyakit dan
gangguan kesehatan dengan mengendalikan faktor lingkungan yang dapat
menyebabkan timbulnya penyakit. Interaksi lingkungan dengan pembangunan saat ini
maupun yang akan datang saling berpengaruh (Fathi et al., 2005).
1) Kondisi Geografis
a) Ketinggian dari permukaan laut
Setiap kenaikan ketinggian 100 meter maka selisih suhu udara dengan tempat
semula adalah 0,5C. Bila perbedaan tempat cukup tinggi, maka perbedaan
suhu udara cukup banyak dan akan mempengaruhi faktor-faktor penyebaran
nyamuk, siklus pertumbuhan parasit di dalam tubuh nyamuk dan musim
penularan (Dit. Jen. PPM dan PL, 2004)
Distribusi Aedes aegypti juga dibatasi oleh ketinggian, nyamuk ini tidak
ditemukan diatas ketinggian 1000 m tetapi telah dilaporkan pada ketinggian
2121 m di India, pada 2200 m di Kolombia, dimana suhu rata-rata tahunan
meningkatan
penularan
demam
berdarah
(World
Health
Organization, 2005).
2) Kondisi Demografis
a)
Kepadatan penduduk
V.
PATOGENESIS
Patogenesis DBD bermacam-macam. Ada yang menerangkan bahwa virulensi virus yang
sangat berperan terhadap severity of disease. Ada juga teori peranan mediator, apoptosis,
genetik, dan antibody dependent enhancement. Sebagian ahli menganut antibody dependent
enhancement, di mana infeksi virus dengue yang kedua dengan serotype virus yang berbeda
akan memberikan manifestasi penyakit yang lebih parah. Teori-teori ini pada akhirnya
menjelaskan akan adanya gangguan hemostasis, permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma.
Nyamuk membutuhkan darah untuk mematangkan telurnya, tidak hanya darah manusia,
darah sapi juga bisa. Jadi sapi juga bias mengalami DBD. Virus dengue membutuhkan waktu
kira-kira 10 hari untuk bereproduksi. Kemudian nyamuk yang mengandung virus menggigit
manusia sehat. Virus dengue akan ada untuk selamanya dalam tubuh virus sampai nyamuk
mati.
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue adalah
hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan hipotesis immune
enhancement.
Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1977 (gambar 2), sebagai
akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik
pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan
titer tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga
menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya
kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a
dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya
cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan
natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa.9,10
8
Akan tetapi pelebaran celah sel endotel terutama disebabkan oleh pelepasan sitokin inflamasi.
Adapun mekanisme hipotesis antibody dependent enhancement dijelaskan sebagai berikut :
10
Peningkatan antibodi-terikat adalah proses di mana strain tertentu dari virus dengue,
bergabung dengan antibodi non-penetral, menginisiasi munculnya monosit yang lebih
banyak, sehingga meningkatkan produksi virus.
Monosit yang terinfeksi melepaskan mediator vasoaktif, mengakibatkan permeabilitas
pembuluh darah meningkat dan manifestasi perdarahan yang menjadi ciri DBD dan DSS.
Dengan demikian, manifestasi klinis yang paling penting dalam penyakit DBD adalah
kebocoran plasma. Dan untuk mengetahui tanda-tanda kebocoran plasma bukannya trombosit
yang dipantau tetapi hematokrit. Selain itu, penting juga pemantauan urine output dan
hemostasis. Dari pengalaman dokter, apabila tidak terjadi pendarahan massive, trombosit
3.000 atau 7.000 juga tidak mengakibatkan kematian pasien.
Adapun tingkat keparahan sindrom kebocoran kapiler tergantung ukuran celah endotel dan
lokasi atau daerah yang terkena infeksi, komposisi matriks kompartemen perivaskular, dan
perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik di intra dan ekstravaskular.
Tekanan hidrostatik dipengaruhi oleh tekanan pompa jantung yang mendorong plasma
keluar dari intravaskular ke ekstravaskular. Tekanan onkotik adalah nilai tekanan zat-zat yang
terkandung dalam darah yang memiliki sifat osmolaritas untuk menahan plasma tetap berada
pada intravaskular. Pada arteri tekanan hidrostatik lebih besar dari tekanan onkotik maka
plasma bisa keluar ke ekstravaskular memberikan nutrisi dan oksigen pada jaringan tubuh.
Sedangkan di mikrokapiler tekanan hidrostatik lebih kecil dari tekanan onkotik sehingga
cairan tubuh yang telah kehilangan nutrisi dan mengandung CO2 dapat dikembalikan ke
dalam pembuluh darah. Perlu dipahami bahwa apabila kita telah mengetahui kalau kebocoran
plasma dipengaruhi oleh tekanan onkotik, penggunaan koloid untuk meningkatkan tekanan
osmotik dapat dilakukan apabila telah diketahui adanya tanda-tanda kebocoran plasma.
Pelebaran celah endotel dapat juga menyebabkan leukosit keluar dari intravaskular mengejar
makrofag yang mengandung virus dengue, sehingga dapat dimengerti terjadi leukopenia pada
DBD.
Manisfestasi trombositopeni pada infeksi dengue memiliki beberapa hipotesa penyebab:
1. terjadi destruksi trombosit akibat interaksi antibody-antigen virus dengue di
permukaan trombosit;
2. kerusakan dinding endotel oleh virus dengue sehingga menyebabkan interaksi
trombosit dengan kolagen subendotel sehingga terjadilah agregasi dan destruksi
trombosit;
3. IL-6 menginduksi antibodi IgM antitrombosit sehingga terjadilah destruksi trombosit;
11
12
VII. DIAGNOSIS
Berdasarkan kriteria WHO 2011, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini
terpenuhi:2,5,9
Terdapat 3 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 2014), yaitu:2,5,9
1. Dengue Fever : Demam disertai gejala tidak khas (wajah memerah dan sakit kepala .
Kadang-kadang , menggigil menemani kenaikan suhu yang mendadak . setelah itu ,
mungkin ada nyeri retro - orbital pada gerakan mata atau tekanan mata , fotofobia ,
sakit punggung , dan nyeri pada otot dan sendi / tulang) dapat ditemui manifestasi
perdarahan petekie dan atau uji torniquet positif .
Laboratorium : Leukopenia , trombositopenia (100.000-150.000), peningkatan
hematokrit ringan (10%)
2. Dengue Haemorragic Fever : Seperti DF, uji tourniquet positif (10 spot/ inchi)
disertai perdarahan spontan di kulit dan perdarahan lain, terdapat pembesaran hepar.
LABORATORIUM : trombositopenia sedang hingga berat (50.000-100.000),
peningkatan hematokrit 15-20%
3. Dengue Shock Syndrome: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) dan peningkatan tekanan
diastole contoh : 100/90 atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan
lembab, tampak gelisah, CRT > 3 menit.
Jumlah
sesudahnya . Penurunan tiba-tiba trombosit di bawah 100 000 terjadi pada akhir
dari fase demam sebelum timbulnya shock atau penurunan demam . Tingkat
trombosit berkorelasi dengan keparahan DBD . Selain itu ada gangguan fungsi
trombosit . Perubahan ini berlangsung singkat dan kembali normal selama masa
pemulihan .
3. Hematokrit normal pada fase demam awal . Peningkatan ringan mungkin karena
demam , anoreksia dan muntah . Kenaikan mendadak hematokrit diamati secara
bersamaan atau segera setelah penurunan jumlah trombosit . Hemokonsentrasi
atau peningkatan hematokrit 20 % dari baseline , misalnya dari hematokrit 35 %
untuk 42 % merupakan bukti obyektif dari kebocoran plasma .
4. Temuan
14
15
IX. PENATALAKSANAAN
A. Tatalaksana Rawat Jalan Pasien
a. Istirahat tirah baring yang cukup di rumah
b. Minum yang cukup, tidak harus air putih boleh seperti susu , jus buah ,
elektrolit isotonik so , solusi rehidrasi oral ( oralit ) dan barley / air
c.
dianjurkan .
d. Kompres hangat dahi , ketiak dan kaki . Mandi hangat atau mandi
direkomendasikan untuk orang dewasa.
e. Segera bawa ke rumah sakit bila terdapat tanda bahaya.
B. Tatalaksana pasien dengan DF/DHF/DSS di Rumah Sakit
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD dewasa
mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori,
sebagai berikut:
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar 4).
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat (gambar 5).
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% (gambar 6).
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar 7)
16
17
laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi
kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid,
kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya
dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular,
aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki
efek alergi yang minimal.1-3
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif. Beberapa
efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah edema, asidosis
laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi.12,13 Kristaloid memiliki waktu bertahan
yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB)
akan menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang singkat
sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan
perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang
tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. 14 Namun
demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain
mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma,
mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.
15,16
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu: pada
jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular) yang
lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan
ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga
lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan 7 dengan penggunaan koloid
yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis
koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh:
hetastarch).15,16 Penelitian cairan koloid diban-dingkan kristaloid pada sindrom renjatan
dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam
pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan.17,18 Sebuah
penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada penderita
dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses
publikasi. Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran plasma
yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD
derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk
mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien
19
dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan
pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000
ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang
stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit
perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah
jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain
yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada
DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus
atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil secara
bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada
gambar 6 dan 7). Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun
kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu
dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.
Monitoring pada pasien Rawat inap
Kondisi umum, nafsu makan, muntah, perdarahan dan tanda-tanda dan gejala lainnya.
perfusi perifer dapat dilakukan sesering diindikasikan karena merupakan indikator awal
shock dan mudah dan cepat untuk dilakukan .
Tanda-tanda vital
seperti suhu, denyut nadi, frekuensi pernapasan dan tekanan darah harus diperiksa
setidaknya setiap 2-4 jam pada pasien non-shock dan 1-2 jam pada pasien shock.
Serial hematokrit harus dilakukan setidaknya setiap 4-6 jam dalam kasus yang stabil dan
harus lebih sering pada pasien yang tidak stabil atau mereka yang dicurigai perdarahan.
Output urine (jumlah urine) harus dicatat setidaknya setiap 8 sampai 12 jam di kasus rumit
dan pada setiap jam pada pasien dengan mendalam syok / berkepanjangan atau orang-orang
dengan kelebihan cairan. Selama periode ini jumlah urin harus 0,5ml/kgbb/jam.
Kriteria untuk pemulangan pasien
Tidak adanya demam selama setidaknya 24 jam tanpa penggunaan terapi anti - demam .
nafsu makan baik .
perbaikan klinis terlihat .
Output urine memuaskan .
Minimal 2-3 hari telah berlalu setelah pemulihan dari shock.
Tidak ada gangguan pernapasan dari efusi pleura dan ascites sudah tidak ada .
20
Jumlah trombosit lebih dari 50 000 / mm3 . Jika tidak , pasien dapat dianjurkan untuk
menghindari kegiatan traumatis setidaknya 1-2 minggu untuk jumlah trombosit menjadi
normal. dalam kebanyakan kasus rumit , trombosit meningkat normal dalam 3-5 hari .
DAFTAR PUSTAKA
21
22